Anda di halaman 1dari 3

Tingkat Korupsi

Sabtu, 3 Maret 2012 16:57 WIB

Indonesia adalah negara dengan tingkat korupsi termasuk paling luas (pervasive) di dunia.
Salah satu indikatornya adalah laporan dari Transparansi Internasional yang selalu
mendapatkan bahwa Indonesia konsisten, termasuk negara paling korup. Meskipun program
antikorupsi dilakukan sejak awal reformasi, belakangan ini kasus menunjukkan bukan hanya
tingkat sumber daya publik yang dikorupsi semakin menunjukkan jumlah yang fantastis, juga
keragaman aktor dan bentuk korupsi semakin bervariasi.

Banyak faktor yang menyebabkan kegagalan penanganan korupsi. Antara lain kelemahan
institusional birokrasi, lembaga politik seperti partai dan parlemen yang tidak bisa dikontrol
akuntabilitasnya oleh masyarakat, dan kelemahan masyarakat sipil sendiri.

Namun, salah faktor yang sering terlupakan di Indonesia adalah bahwa kegagalan program
antikorupsi bermula dari pemahaman karakteristik korupsi sendiri, yang berakibat dari cara
penangannya. Di tingkat internasional, perspektif pemahaman korupsi terpecah-pecah:
perspektif legalitas, antropoligis, ekonomi, dan institusional.

Secara umum dapat dikatakan semua pemahaman yang dihasilkan masih terpecah-pecah.
Suatu pemahaman tentang korupsi yang lengkap bukan saja harus memperhitungkan
perspektif yang sudah ada, melainkan harus mengkonstruksikannya lagi menurut kasus yang
ada di negara tersebut.

Penulis sedang terlibat upaya mengkonstruksikan pemikiran baru dalam memahami korupsi
di Indonesia untuk mengajak semua pihak berpikir bersama . Oleh karena itu, beberapa
tulisan ke depan dalam kolom ini akan lebih mengenai pemahaman mengenai korupsi dari
berbagai dimensinya. Kali ini tulisan membahas tentang level korupsi.

Kita mulai analisa level dengan ilustrasi dua kasus korupsi oleh pegawai tingkat rendah di
Ditjen pajak, kasus Gayus Tambunan yang sudah di vonis pengadilan dan kasus Dhana
Widyatmika yang baru terbongkar. Keduanya diduga menyimpan uang dalam jumlah yang
fantastis meskipun keduanya bukan pejabat tinggi.

Kedua kasus ini menimbulkan pertanyaan, seberapa banyak sesungguhnya kebocoran di salah
satu lembaga penting keuangan negara terjadi, meskipun lembaga pemerintah ini menjadi
contoh reformasi birokrasi di badan pembangunan internasional? Apakah ini merupakan
kasus kecerdikan perorangan, ataukah karena kelemahan sistem dalam organisasi tersebut?
Seberapa jauhkan suatu reformasi birokrasi dinilai keefektifannya, dari sudut skala dan
ukuran keberlanjutan dari pembaharuan organisasi itu?

Level Mikro

Korupsi sering sekali dibahas pada tingkat mikro, di mana persoalannya terletak pada
karakteristik individu, sekumpulan individu yang bersekongkol, atau sekelompok kecil orang.
Aktor dipandang sebagai tidak bermoral dan merupakan “apel busuk dalam sistem”. Aktor
adalah orang jahat yang tidak mematuhi sistem/peraturan. Jadi, dalam kasus Gayus, orang
inilah yang dipandang bermasalah: cerdik dan jahat.
Pandangan tentang kejahatan oknum adalah perspektif yang paling lama digunakan dalam
melihat korupsi. Perspektif ini tidak melihat organisasi tempat oknum itulah sumber masalah
korupsinya. Mengatasi korupsi hanya dindang sebagai persoalan mengenali dan menangkap
oknum-oknum jahat dalam organisasi. Pandangan semacam ini masih banyak yang
memandang persoalan korupsi pada tingkat ini, meskipun lebih banyak di kalangan orang
awam yang menjadi pemirsa media massa.

Level kedua adalah level meso: tingkat organisasi. Perspektif ini melihat persoalan korupsi
karena kelemahan organisasi. Satu atau lebih bagian dari organisasi mengandung kelemahan
yang memberi kesempatan individu atau sekelompok individu mengakali sistem, bahkan
mengembangkan cara-cara baru dalam korupsi.
Perspektif ini dominan dalam upaya pemberantasan korupsi melalui apa yang disebut
pendekatan pembaharuan institusional. Dalam kasus birokrasi negara di Indonesia,
kelemahan mulai dari sistem rekrutmen pegawai, kemudian penilaian kinerja, sistem
penghargaan, akuntabilitas kerja, hingga hubungan internal.

Program pembaharuan birokrasi diarahkan pada beberapa dimensi-dimensi ini. Ditjen Pajak
merupakan institusi negara yang paling komprehensif dalam reformasi institusional. Namun,
dengan terus terbongkarnya kasus korupsi membuktikan bahwa pembaharuan masih jauh dari
sempurna.

Kelemahan reformasi yang menggunakan perspektif ini bukan hanya dari perspektifnya
sendiri. Perlu dicatat dulu bahwa antara perspektif untuk memahami dengan perspektif yang
digunakan untuk program antikorupsi adalah dua hal yang berbeda. Suatu perspektif bisa
absah (cukup) sebagai suatu perspektif. Namun, suatu program antikorupsi harus menghadapi
kenyataan yang terus bergerak dan melewati batas-batas suatu organisasi. Karena itu program
anti korupsi tidak boleh terpaku pada satu perspektif.

Kelemahan program anti korupsi yang menggunakan perspektif meso (di tingkat organisasi)
sering melibatkan masalah ini. Pertama, program terlalu terpaku pada asumsi rasional
organisai modern. Yang menjadi perhatian hanya peraturan. Faktor kultur, identitas,
kognisi/macam pemahaman, dan hubungan/jaringan sosial hampir tidak diperhitungkan.
Padahal, faktor-faktor ini menyebabkan antara yang pemaknaan bercampur dengan rumusan
formal, antara yang formal dan informal, antara yang berada dalam batasan organisasi
menyatu dengan yang diluar organisasi.

Kelemahan yang paling diabaikan adalah bahwa dalam kenyataan terjadi perhubungan antara
organisasi/lembaga yang dapat menyuburkan korupsi. Korupsi yang dilakukan oleh satu
orang atau sekelompok orang dalam organisasi merupakan kerja sama dengan orang dari
organisasi lain.

Hal ini bisa terjadi dengan manipulasi hubungan formal yang ditetapkan antara organisasi-
organisasi itu. Contohnya adalah korupsi antara aktor di Ditjen Pajak dengan suatu korporasi,
atau dengan organisasi penegak hukum. Kejahatannya bukan saja dapat terjadi karena adanya
kelemahan di masing-masing organisasi, melainkan juga karena kelemahan yang ada dalam
rumusan hubungan antar lembaga yang antara lain tidak akuntabel. Kelompok korup dalam
suatu organisasi juga kadang-kadang menciptakan organisasi-organisasi baru untuk
mengakali sistem.

Level yang ketiga adalah level makro dimana korupsi terjadi karena proses besar yang terjadi
pada tingkat nasional, termasuk di dalamnya proses yang terjadi dalam desentralisasi.
Kelemahan sistem politik, lembaga-lembaga negara pengambil keputusan, kebijakan pasar,
kebijakan ekonomi yang berimplikasi pada proses alokasi sumber daya dalam masyarakat.
Korupsi dipandang dari perspektif jalinan antara institusi. Kasus Bank Century merupakan
contoh yang baik untuk menggambarkan perspektif makro.

Untuk menegakkan program antikorupsi, kita harus memperhitungkan kelemahan di setiap


level. Jika terpaksa harus memilih fokus, adalah lebih efektif menggunakan pendekatan meso,
yaitu tingkat organisasi. Namun, dimensi yang dikontrol harus lebih banyak, dilaksanakan
dengan konsisten tahap demi tahap. Juga adalah penting melihat hubungan antara organisasi
dimana interaksi terjadi. Dalam hal program anti korupsi, hubungan akuntabilitas, maka
kecakapan dan kekuatan organisasi pengontrol juga harus diperhitungkan dan diberdayakan.

Meuthia Ganie-Rochman
Ahli sosiologi organisasi, mengajar di Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai