Anda di halaman 1dari 111

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/367530183

Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Book · January 2023

CITATIONS READS

0 9,764

4 authors:

Seng Hansen Seng Hansun


Podomoro University UNSW Sydney
62 PUBLICATIONS 368 CITATIONS 145 PUBLICATIONS 1,048 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Andre Feliks Setiawan Susy Rostiyanti


Podomoro University Podomoro University
6 PUBLICATIONS 28 CITATIONS 28 PUBLICATIONS 119 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Seng Hansen on 30 January 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Etika Penelitian:
Teori dan Praktik
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Seng Hansen, dkk


Seng Hansen, dkk

Podomoro University

PRESS
ETIKA PENELITIAN: TEORI DAN PRAKTIK

Editor:
Seng Hansen, dkk.

Dr. Ir. Susy Fatena Rostiyanti, S.T., M.Sc., IPM.


Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, M.M.

Podomoro University Press (PU PRESS)


2023
ETIKA PENELITIAN: TEORI DAN PRAKTIK

Editor:
Ir. Seng Hansen, S.T., M.Sc., Ph.D., IPM.
Dr. Ir. Susy Fatena Rostiyanti, S.T., M.Sc., IPM.
Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, M.M.

Penulis:
Susy F. Rostiyanti
Seng Hansun
Andre Feliks Setiawan
Sri Sulastri
Nurmadina
Nukhbah Sany
Seng Hansen

ISBN: 9786239837273

Diterbitkan oleh:

Podomoro University Press (PU PRESS)


APL Tower Lt. 5 Jl. S. Parman Kav. 28 Jakarta Barat 11470

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip dan memperbanyak


sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin penulis dan penerbit.
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

DAFTAR ISI

Kata Sambutan Rektor Universitas Agung Podomoro……………………………. ii


Kata Sambutan Ketua LPPM Universitas Agung Podomoro……………………. iii
Editorial: Pemenuhan Etika Penelitian...................................................................... v
Bab 1 Penelitian dan Responden: Etika Menjaga Kerahasiaan Data………. 1
Bab 2 Etika Penelitian Informatika: 101……………………………………………… 17
Bab 3 Falsifikasi dan Fabrikasi Data dalam Penelitian Material
Konstruksi………………………………………………………………………………. 30
Bab 4 Auto Plagiat (Self Plagiarism) dalam Etika Penelitian: Jenis,
Sanksi, dan Pencegahannya……………………………………………………… 42
Bab 5 Proses Reviu Etika Penelitian: Studi Kasus di Poltek Kendal……… 62
Bab 6 Panduan Penyampaian Hasil Penelitian Kepada Partisipan pada
Penelitian Bidang Sosial…………………………………………………………… 70
Bab 7 Kepengarangan dalam Etika Publikasi Penelitian……………………… 81
Biodata Editor dan Kontributor…………………………………………………………. 98

i
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

KATA SAMBUTAN REKTOR


UNIVERSITAS AGUNG PODOMORO
Bacelius Ruru, S.H., LL.M.

Pada kesempatan yang baik ini, saya selaku Rektor Universitas


Agung Podomoro menyambut gembira dan memberikan apresiasi
atas terbitnya buku “Etika Penelitian: Teori dan Praktik” yang diedit
oleh Bapak Ir. Seng Hansen, S.T., M.Sc., Ph.D., IPM., Ibu Dr. Ir. Susy
Fatena Rostiyanti, S.T., M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto,
M.M., dimana beliau-beliau adalah dosen aktif di Program Studi
Manajemen dan Rekayasa Konstruksi dan Program Studi
Kewirausahaan Universitas Agung Podomoro. Mencermati isinya,
buku ini tampak berbeda dengan buku-buku sejenis yang telah
terbit sebelumnya. Selain dikemas secara sistematis, para penulis memberikan contoh-
contoh penerapan yang didasari dari berbagai pengalaman penelitian para penulis
sebagai seorang akademisi.
Ada beberapa alasan mengapa penting untuk mematuhi norma-norma etika dalam
penelitian. Norma mempromosikan tujuan penelitian, seperti pengetahuan, kebenaran,
dan menghindari kesalahan. Misalnya, larangan memalsukan atau salah mengartikan
data penelitian. Standar etika untuk publikasi ada untuk memastikan publikasi ilmiah
berkualitas tinggi sehingga meningkatkan kepercayaan publik terhadap temuan ilmiah.
Pada akhirnya kekayaan intelektual ini akan membuat masyarakat ilmiah menerima,
menghargai bahkan merasakan dampak positif atas karya dan gagasan mereka.
Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada para penulis yang telah memberikan
sumbangsih pengalaman dan pemikirannya melalui buku “Etika Penelitian: Teori dan
Praktik.” Kiranya buku ini memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan dan
kemajuan Bangsa Indonesia.

Jakarta, Desember 2022


Rektor Universitas Agung Podomoro

Bacelius Ruru

ii
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

KATA SAMBUTAN KETUA LPPM


UNIVERSITAS AGUNG PODOMORO
Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, M.M.

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermutu berasal dari kegiatan penelitian yang
bermutu dan berintegritas, mulai dari permulaan, perancangan, publikasi sampai hasil
penelitian itu dapat diterapkan dan bermakna bagi masyarakat. Untuk menghasilkan
penelitian yang bermutu, dibutuhkan tata cara, tata langkah dan tata tulis. Hal-hal
tersebut berkaitan dengan etika penelitian. Etika Penelitian terkait dengan beberapa
aspek seperti desain dan pelaksanaan penelitian, regulasi penelitian, prosedur dan
proses tinjauan etik dan masalah yang berkaitan dengan integritas ilmiah.
Dalam mendesain dan melaksanakan penelitian juga ada pedoman standar yang berlaku
secara internasional agar penelitian itu dianggap bermutu dan berintegritas. Sekarang ini
juga muncul beberapa regulasi dalam penelitian yang merupakan perkembangan dari
regulasi sebelumnya. Nilai, prinsip, dan standar yang memandu perilaku masing-masing
peneliti di beberapa bidang, termasuk dalam mendesain dan melaksanakan studi serta
melaporkan temuan. Misalnya, etika penelitian menetapkan bahwa penelitian yang
melibatkan pengumpulan data dari peserta manusia harus dievaluasi oleh dewan
peninjau kelembagaan (institutional review board, IRB).
Regulasi penelitian saat ini terus berkembang dan saat ini difokuskan ada aspek research
misconduct, yang berkaitan dengan kesalahan penelitian, pemalsuan, atau plagiarisme
dalam mengusulkan, melakukan, atau meninjau penelitian, atau dalam melaporkan hasil
penelitian; research involving human participants, aturan umum yang menjamin
perlindungan subyek manusia yang terlibat dalam penelitian; animal welfare, yaitu
regulasi yang menangani semua masalah hukum yang berkaitan dengan persyaratan
kesejahteraan hewan yang harus dipatuhi oleh peneliti.
Beberapa hal terkait dengan prosedur dan proses tinjauan etik seperti peserta penelitian
tidak boleh dirugikan dengan cara apa pun, penghormatan terhadap martabat peserta
penelitian harus diprioritaskan, persetujuan penuh harus diperoleh dari peserta sebelum
penelitian dan perlindungan privasi peserta penelitian harus dipastikan. Terakhir terkait
dengan integritas penelitian. Integritas penelitian adalah ketaatan pada prinsip
kejujuran, objektivitas, transparansi, profesionalisme, dan perilaku etis ketika
melakukan, mengelola, menggunakan hasil, dan mengkomunikasikan tentang kegiatan
ilmiah yang berkualitas tinggi dan bebas dari pengaruh yang tidak pantas.
Universitas Agung Podomoro dengan bangga telah menerbitkan buku yang berjudul
“ETIKA PENELITIAN: TEORI DAN PRAKTIK”. Buku ini merupakan bunga rampai dan
kolaborasi antar perguruan tinggi di Indonesia. Ini budaya yang bagus bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk dalam pendalaman dan
penyebarluasan kegiatan penelitian yang beretika.

iii
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Kita berharap buku ini bermakna bagi peneliti yang telah, sedang dan akan melakukan
penelitian. Kiranya buku ini bisa merajut dan memotivasi untuk kembali menghasilkan
karya-karya yang bermutu. Kiranya.

Jakarta, November 2022


Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Agung Podomoro

Sony Heru Priyanto

iv
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

EDITORIAL:
PEMENUHAN ETIKA PENELITIAN
Ir. Seng Hansen, S.T., M.Sc., Ph.D., IPM.

Universitas Agung Podomoro

Etika penelitian merupakan sebuah isu yang tengah ramai diperbincangkan oleh
berbagai komunitas peneliti di dunia. Baru-baru ini, sebuah kasus plagiarisme yang
diviralkan melalui Twitter memaksa si plagiat – seorang apoteker dan peneliti di bidang
farmasi dari Bangladesh, harus menarik artikelnya dan mundur dari program
doktoralnya di Hong Kong University (selengkapnya dapat diakses dari
https://retractionwatch.com/2022/08/24/how-a-tweet-sparked-an-investigation-
that-led-to-a-phd-student-leaving-his-program/). Selain kasus di atas, berbagai temuan
plagiarisme dan penarikan artikel ilmiah (retraction) turut terjadi di banyak jurnal
internasional bereputasi. Sudah menjadi tugas bagi pihak penerbit untuk memastikan
kualitas artikel yang diterbitkannya dan mencabut artikel yang telah terbukti melanggar
etika penelitian.
Berbicara mengenai etika penelitian, kita tidak saja berbicara mengenai plagiarisme.
Etika penelitian itu sendiri merujuk pada nilai, norma maupun standar perilaku yang
mengatur aktivitas penelitian. Setidaknya terdapat tiga dimensi etika penelitian yaitu
etika penelitian terkait subyek penelitian, proses penelitian, dan publikasi penelitian.
Etika terkait subyek penelitian dapat mencakup isu kerahasiaan data diri responden,
kesukarelaan dan persetujuan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian, dan
sikap saling menghargai antara peneliti dan responden penelitian. Etika terkait proses
penelitian mencakup antara lain isu integritas dan transparansi penelitian, kebebasan
ilmiah, fabrikasi maupun falsifikasi data. Sedangkan etika terkait publikasi penelitian
dapat berupa plagiarisme, pengajuan ganda (multiple submission), publikasi ganda
(multiple publication), dan isu sponsorship dan konflik kepentingan.
Meskipun etika penelitian ini penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan, pemenuhan etika
penelitian masih menjadi tantangan besar terutama bagi komunitas peneliti di Indonesia.
Pada kenyataannya, etika penelitian jarang dibahas dalam berbagai diskusi ilmiah di
Indonesia. Adapun isu terkait etika penelitian yang biasanya dibahas hanya seputar
plagiarisme. Padahal pemenuhan etika penelitian tidak saja bermanfaat bagi subyek
penelitian, tapi juga peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, kami menilai penting bahasan
etika penelitian yang lebih komprehensif bagi komunitas peneliti Indonesia.
Buku ini berhasil menyajikan tujuh pokok bahasan yang didedikasikan untuk
pemahaman dan perkembangan etika penelitian di Indonesia. Bab pertama ditulis oleh
Dr. Susy Fatena Rostiyanti yang juga merupakan salah satu editor buku ini. Dr. Susy
mengangkat topik etika menjaga kerahasiaan data, terutama informasi identitas
responden penelitian.

v
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Bab kedua berfokus pada pengantar etika penelitian di bidang informatika. Ditulis oleh
Bapak Seng Hansun, S.Si., M.Cs., Ph.D. (Candidate), bab ini memaparkan beberapa isu
etika penelitian di bidang ilmu keteknikan secara umum dan Informatika secara khusus.
Berbagai kasus pelanggaran etika di bidang Informatika dibahas sebagai kajian untuk
didiskusikan.
Bab ketiga ditulis oleh Bapak Andre Feliks Setiawan, S.T., M.Sc. Beliau menjelaskan
berbagai jenis penyimpangan ilmiah dalam bentuk falsifikasi dan fabrikasi terutama
untuk penelitian terkait material konstruksi. Beberapa faktor penyebab terjadinya
praktik ini juga diuraikan secara ringkas dan tepat. Selain itu, bab ini juga menekankan
pentingnya peran pemerintah dalam upaya menekan praktik falsifikasi dan fabrikasi
penelitian di Indonesia.
Selanjutnya, pelanggaran etika penelitian dalam bentuk plagiarisme dan auto plagiat
dibahas secara mendalam oleh Ibu Sri Sulastri, S.Sos., M.I.Kom. Plagiarisme merupakan
sebuah tindakan yang mengikis integritas akademik. Di sisi lain, auto plagiat masih jarang
didiskusikan sehingga bahasan yang disampaikan dalam bab ini menjadi sangat penting
untuk dipahami oleh para peneliti.
Bab lima menyajikan proses reviu etika penelitian sebagaimana diterapkan oleh
Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu (Poltek) Kendal. Ibu Nurmadina,
S.Hut., M.Si. tidak saja menyampaikan peraturan dan prosedur reviu etika beserta
kendala-kendalanya, tapi juga pentingnya peranan komite etika dalam menilai dan
menetapkan hasil telaah etik.
Pada bab selanjutnya, Ibu Nukhbah Sany, S.E., M.M. memaparkan panduan penyampaian
hasil penelitian kepada partisipan untuk penelitian bidang ilmu sosial. Disini beliau
menguraikan beberapa pertimbangan etis ketika peneliti menyampaikan hasil
penelitiannya kepada para partisipan. Berbagai isu terkait informasi apa yang dapat
disampaikan, kapan informasi tersebut dapat disampaikan, kepada siapa dan bagaimana
cara informasi disampaikan juga dibahas secara mendalam.
Bab terakhir ditulis oleh saya sendiri dengan mengangkat isu terkait kepengarangan
dalam etika publikasi penelitian. Status kepengarangan merupakan salah satu isu penting
yang harus disematkan kepada mereka yang memang pantas dinyatakan sebagai penulis
sebuah artikel ilmiah. Bab ini tidak saja menguraikan kriteria seseorang dapat disebut
pengarang/penulis artikel ilmiah, tapi juga tanggung jawab, jenis-jenis, negosiasi, dan
berbagai strategi untuk menyelesaikan konflik kepengarangan.
Mengingat permasalahan dan penyimpangan penelitian dapat terjadi akibat kurangnya
pemahaman para peneliti terkait etika penelitian, ketujuh bab dalam buku ini dapat
digunakan sebagai panduan bagi para peneliti mengenai apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan ketika melaksanakan sebuah penelitian. Kami berharap buku ini dapat
berkontribusi meningkatkan wawasan dan pemahaman para peneliti Indonesia terkait
pentingnya pemenuhan etika penelitian.

vi
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

BAB 1
PENELITIAN DAN RESPONDEN: ETIKA MENJAGA
KERAHASIAAN DATA
Susy F. Rostiyanti
Universitas Agung Podomoro

RINGKASAN
Penelitian merupakan serangkaian proses untuk menjawab permasalahan yang diangkat
sebagai pertanyaan penelitian. Desain penelitian menjadi tolok ukur penting bagi
kesiapan peneliti dalam menjalankan proses penelitian untuk menjawab pertanyaan
penelitian secara logis dan jelas. Salah satu prosesnya adalah pengumpulan data yang
melibatkan manusia sebagai subyek penelitian. Keterlibatan manusia sebagai responden
penelitian memiliki konsekuensi akan pentingnya menjaga etika. Enam prinsip etika
terhadap responden maupun data yang diberikan oleh responden yaitu menghormati,
sikap baik, keadilan, kejujuran, akurasi dan kelengkapan perlu menjadi pertimbangan
peneliti selama interaksinya dengan responden. Etika yang merupakan norma
menetapkan cara berperilaku dalam meneliti. Etika perlu dipahami sejak sebelum
pengumpulan data dilakukan melalui pemberian informasi penelitian kepada responden
sampai terbitnya persetujuan dan partisipasi responden dalam pengumpulan data.
Informasi yang diberikan kepada responden memegang peranan penting dalam
keberhasilan proses pengumpulan data. Kepastian terjaganya etika bagi responden
memberikan jaminan kerahasiaan informasi identitas. Kejelasan informasi dan jaminan
kerahasiaan menjadi dasar persetujuan (consent) yang diberikan responden. Dalam
memastikan terjaganya etika terkait responden tiga hal penting harus diperhatikan yaitu
privasi, anonimitas, dan kerahasiaan yang menjadi satu kesatuan utuh. Ketiga bentuk
etika ini diterapkan pada setiap jenis pengambilan data termasuk penelitian berbasis
elektronik. Setiap jenis pengambilan data memiliki isu yang berbeda satu dengan lainnya
sehingga peneliti perlu mengantisipasi isu yang mungkin muncul dalam bentuk
pengambilan data yang ditentukan dalam desain penelitian.

DATA DALAM PENELITIAN


Penelitian membutuhkan data untuk menjawab pertanyaan penelitian atas masalah yang
diangkat. Kumpulan pengamatan mentah, bukti, informasi, atau bahan empiris yang
belum diproses disebut sebagai data. Penelitian kuantitatif didasarkan pada pengukuran
numeris untuk mengidentifikasi karakteristik data. Sumber data pada penelitian
kuantitatif diperoleh dari laporan berupa kuesioner dan survei, atau berasal dari
wawancara terstruktur, observasi, tes, dan inventaris. Data kuantitatif biasanya
mencakup hipotesis atau pertanyaan penelitian yang akan diuji dengan desain penelitian
yang terstruktur. Sementara itu, data kualitatif tidak dapat dihitung namun lebih
berbentuk pengamatan yang hasilnya dianggap sebagai data. Sumber lain data kualitatif

1
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

adalah teks atau narasi lisan. Penelitian kualitatif memiliki desain penelitian dengan
struktur lebih longgar karena terkadang tidak dapat ditentukan atau tidak diketahui data
apa yang akan diperoleh sampai setelah data dikumpulkan.
Dalam pengumpulan data penelitian, Fellows dan Liu (2015) membagi metode
pengumpulan data ke dalam bentuk komunikasinya yaitu satu dan dua arah. Metode satu
arah meliputi kuesioner, wawancara terstruktur, pemeriksaan arsip/dokumen sekunder
dan observasi oleh peneliti. Sedangkan wawancara semi-terstruktur dan observasi
responden masuk ke dalam kategori metode dua arah. Secara garis besar, metode
pengumpulan data dapat dibagi menjadi enam pendekatan yaitu (Christensen, Johnson &
Turner 2014):
1. Tes. Metode ini dilakukan untuk pengukuran karakteristik responden. Tes pada
umumnya telah terstandar sehingga pengembangan model baru tidak perlu
dilakukan jika bentuk serupa telah ada. Pada tes yang telah terstandar, informasi
terkait reliabilitas, validitas, dan norma untuk perbandingan disediakan. Bentuk tes
yang telah terstandar memiliki keuntungan, salah satunya adalah komparasi ukuran
umum di seluruh populasi penelitian sangat mungkin dilakukan. Namun tes
terstandar umumnya mahal jika hak penggunaan model ini dibeli untuk setiap
responden penelitian. Kelemahan lain adalah kesulitan penggunaan tes terstandar
jika populasi penelitian bersifat spesifik.
2. Kuesioner. Allen (2017) mendefinisikan kuesioner sebagai kumpulan pertanyaan
tertulis yang disusun menjadi satu dokumen yang membutuhkan tanggapan untuk
setiap item pertanyaan di dalamnya. Pertanyaan yang diajukan kepada responden
atau peserta penelitian berkaitan dengan topik penelitiannya. Mayoritas kuesioner
dapat dikelola sendiri yang artinya responden dapat mengisi kuesioner tanpa
bantuan atau kehadiran peneliti saat pengisiannya. Jika pada awalnya kuesioner diisi
dengan menggunakan alat tulis maka saat ini pengisiannya dapat dilakukan secara
elektronik dengan menggunakan sarana yang tersedia di internet. Kuesioner dapat
berupa pertanyaan tertutup (responden memilih dari beberapa jawaban yang
diberikan oleh peneliti) dan pertanyaan terbuka (responden memberikan jawaban
dengan menggunakan kata-kata sendiri). Kelebihan metode kuesioner terletak pada
kemudahan dan murahnya proses pengumpulan data terutama proses pengisian
secara elektronik melalui email dan internet. Kuesioner elektronik bahkan dapat
mencakup area yang lebih luas dibandingkan kuesioner manual. Kuesioner yang
dikembangkan dengan baik juga memberikan rasa aman pada responden dengan
adanya anonimitas yang terjaga. Pada kuesioner berbentuk pertanyaan tertutup,
proses analisis umumnya mudah dilakukan. Namun kuesioner memiliki kelemahan
seperti pertanyaan harus cukup pendek sehingga memudahkan responden dalam
memberi tanggapan; kuesioner elektronik berpotensi pada rendahnya tanggapan
responden; dan perlunya validasi data hasil pengumpulan.
3. Wawancara. Interaksi dengan responden untuk mengumpulkan informasi dan/atau
membangun suatu pendapat dikenal sebagai wawancara. Wawancara dapat
dilakukan secara tatap muka maupun melalui telepon bahkan secara telekonferensi
melalui internet. Wawancara direkam baik dengan alat perekam maupun catatan
tertulis selama atau setelah wawancara. Data wawancara ditranskripsikan kata demi

2
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

kata untuk kemudian dianalisis. Protokol wawancara yang baik dibangun untuk
memastikan reliabilitas dan validitas hasilnya. Keuntungan metode ini adalah pada
kemungkinan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dari responden.
Namun pelaksanaannya yang dilakukan secara tatap muka, telepon atau
telekonferensi menyebabkan rendahkan anonimitas yang dirasakan responden.
4. Diskusi Kelompok Terpumpun. Dikenal sebagai Focus Group Discussion (FGD),
metode penelitian kualitatif ini dilaksanakan dengan mengelompokkan partisipan
dalam jumlah kecil dan homogen (6-12 orang). Kegiatan dipandu oleh moderator dan
direkam secara audio dan/atau video untuk mengumpulkan data dan informasi
secara sistematis dan terfokus pada topik atau masalah penelitian. Aspek yang
membedakan FGD dengan wawancara adalah pada interaksi dan diskusi di antara
para responden terkait isu-isu yang menjadi dasar penelitian. Keuntungan metode
FGD adalah peneliti dimungkinkan untuk memperoleh informasi lebih mendalam
dan mengamati reaksi antar responden selama prosesnya. Namun bentuk ini juga
memiliki kelemahan, antara lain jika: a) moderator kurang mampu memfasilitasi
responden dan membangun hubungan antar responden; b) adanya dominasi oleh
satu atau sebagian responden; dan c) adanya informasi yang tidak penting muncul
selama FGD.
5. Observasi. Data untuk penelitian kuantitatif maupun kualitatif dapat dikumpulkan
melalui observasi oleh peneliti terhadap kegiatan yang dilakukan orang. Dalam
penelitian kuantitatif, peneliti membuat standar prosedur pengumpulan data seperti
siapa yang diamati, apa yang diamati, kapan dan di mana dan bagaimana observasi
dilakukan. Prosedur sampling dapat digunakan dalam bentuk interval waktu
sehingga observasi tidak perlu dilakukan terus menerus. Dalam penelitian kualitatif,
prosedur observasi biasanya bersifat eksploratif dan terbuka dan hasilnya
dikumpulkan dalam catatan yang padat informasi. Melalui observasi peneliti
memperoleh informasi yang sulit diperoleh melalui wawancara langsung karena
keengganan responden. Namun, peneliti memiliki keterbatasan tempat penelitian
sehingga kesulitan pada pengamatan populasi yang besar atau tersebar.
6. Data sekunder. Metode lain dalam pengumpulan data adalah penggunaan data yang
telah ada sebelumnya. Data sekunder yang paling sering digunakan adalah dokumen,
data fisik, dan data penelitian yang diarsipkan. Penggunaan data sekunder memiliki
beberapa keunggulan seperti data dikumpulkan untuk periode waktu yang terjadi di
masa lalu dan kemudian dipelajari tren data tersebut serta ketersediaan data dalam
berbagai topik. Namun, kekurangan dari data sekunder antara lain adalah
kemungkinan tidak lengkapnya data; data yang tersedia hanya mewakili perspektif
tertentu yang kurang sesuai dengan pertanyaan peneliti; atau data telah
kedaluwarsa.
Hampir seluruh metode penelitian ini melibatkan pihak luar yang menjadi sumber data
yaitu responden atau partisipan. Allen (2017) mendefinisikan responden sebagai orang-
orang yang memberikan data untuk dianalisis pada suatu penelitian. Penggunaan
terminologi responden memberikan arti seseorang terlibat dalam pemberian data
namun tidak dalam proses penelitiannya. Sementara terminologi partisipan memberikan
pemahaman yang lebih luas. Partisipan bukan saja memberikan data namun memiliki

3
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

peran lebih seperti pihak yang diminta masukkannya pada aspek-aspek tertentu dalam
penelitian yang sedang dijalankan (Oliver 2010).
Sebelum proses pengumpulan data, instrumen survei dikembangkan dengan input
berupa tipe dan karakteristik responden yang diharapkan serta bagaimana rekrutmen
responden dilakukan. Saat ini sangat lazim rekrutmen dilakukan dengan memanfaatkan
internet maupun media sosial. Keikutsertaan responden umumnya karena topik
penelitian yang diangkat atau adanya harapan untuk memperoleh imbalan saat
berpartisipasi. Semakin spesifik topik penelitian yang diangkat maka semakin sulit
merekrut responden dalam jumlah yang cukup. Terlebih, dalam proses pengumpulan
data, responden berhak untuk menentukan apakah mereka ingin tetap berpartisipasi
dalam penelitian dan durasi kesertaannya. Hal utama yang perlu dipertimbangkan dalam
memperlakukan responden sebagai bagian dari penelitian antara lain adalah
ketersediaan responden dan etika terhadap responden.

ETIKA PENELITIAN TERHADAP RESPONDEN


Etika secara umum adalah norma atau nilai yang menjadi panduan dalam perilaku dan
keputusan (Neuman, 2014). Etika mendasari manusia dalam mengidentifikasi perilaku
dan keputusan yang benar dan baik maupun sebaliknya. Dengan demikian, etika
mengandung prinsip yang diterapkan untuk berperilaku termasuk perilaku dalam
meneliti. Anabo, Elexpuru-Albizuri, dan Villardón-Gallego (2019) menambahkan bahwa
etika penelitian dengan manusia sebagai subjek memiliki cakupan yang luas dan tunduk
pada prinsip hak asasi manusia. Sebagai norma, etika dibentuk ke dalam kode etik yang
merupakan seperangkat pedoman etika yang umumnya dalam bentuk dokumen tertulis
(Allen, 2017). Dalam penelitian di bidang-bidang tertentu bahkan telah tersedia kode etik
khusus seperti Federal Guidelines for the Ethical Conduct of Human Subjects Research yang
berlaku di Amerika Serikat. Kode etik ini menjadi dasar perilaku etis pada saat peneliti
melaksanakan penelitian pada manusia.
Ketersediaan kode etik sebagai pedoman penelitian dapat membantu peneliti menjaga
agar penelitian yang dilakukan berada pada koridor moral yang dapat diterima. Namun
ketiadaan kode etik bukan menjadi alasan untuk tidak menjaga etika penelitian. Etika
penelitian adalah serangkaian prinsip yang dikembangkan untuk memandu dan
membantu peneliti dalam melakukan penelitian berlandaskan etika (Johnson &
Christensen 2020). Etika penelitian menjadi bagian penting pada sebuah penelitian
karena ada partisipan atau responden yang terlibat sebagai sumber data. Kewajiban
moral dan profesional untuk menjaga etika penelitian berlaku setiap saat bahkan jika
partisipan tidak menyadari adanya etika dalam proses penelitian.
Contoh kasus pelanggaran etika penelitian yang kemudian diangkat ke pengadilan adalah
kasus Cambridge Analytica (https://www.ftc.gov/legal-library/browse/cases-
proceedings/182-3107-cambridge-analytica-llc-matter). Perusahaan yang tergabung
dalam kelompok Cambridge Analytica menyediakan data penelitian berupa karakter
psikologis pengguna Facebook di Amerika yang menjadi dasar strategi kampanye salah
satu partai di Amerika Serikat pada tahun 2016. Penyalahgunaan data lebih dari 87 juta

4
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

pengguna Facebook menjadi dasar kasus karena data dalam penelitian ini diperoleh
tanpa persetujuan (consent) dari responden.
Etika perlu dipertimbangkan sejak tahap awal sebuah penelitian. Masalah atau
pertanyaan penelitian yang diangkat dan tujuan dari sebuah penelitian yang ingin dicapai
mengarahkan peneliti dalam mengembangkan desain penelitian. Pada proses
pengembangan desain penelitian, peneliti menentukan sifat sampel penelitian,
bagaimana sampel penelitian akan diperoleh sampai dengan metodologi untuk
menjawab pertanyaan penelitian. Di dalam proses ini juga aspek etika perlu
dipertimbangkan (Christensen, Johnson & Turner, 2014; Oliver, 2010). Etika penelitian
bukan saja terkait dengan aspek profesional dari proses yang dijalankan oleh peneliti
namun juga aspek perilaku terhadap peserta penelitian dalam hal ini responden. Jika
etika dikaitkan dengan profesionalisme maka masalah yang mungkin terjadi adalah
pemalsuan dan plagiarisme atau dikenal sebagai scientific misconduct (Johnson &
Christensen 2020; Neuman, 2014). Sementara itu, dalam konteks perilaku terhadap
responden, aspek etika juga memiliki kepentingan yang sama besar karena berhubungan
dengan manusia lain yang diharapkan keterlibatannya dalam penelitian. Kepekaan
peneliti terhadap aspek etika mengurangi potensi kemunculan masalah etika dalam
seluruh proses penelitian yang dilakukan.
Beberapa prinsip etika ada dalam penelitian perlu dipertimbangkan oleh peneliti.
Prinsip-prinsip ini antara lain adalah (Allen 2017; Christensen, Johnson & Turner, 2014):
1. Menghormati. Penting bagi peneliti untuk mengakui dan menghormati responden.
Dengan menghormati hak responden, peneliti memberikan ruang bagi responden
untuk mendapatkan informasi lengkap dan akurat sebagai dasar pembuatan
keputusan keikutsertaannya dalam penelitian. Persuasi peneliti kepada responden
dijaga agar tetap menghormati hak responden.
2. Sikap baik. Dalam konteks ini, peneliti menjaga kesejahteraan responden dengan
memaksimalkan manfaat yang diperoleh responden dan meminimalkan kerugian
yang mungkin dialami pada partisipasinya dalam penelitian.
3. Keadilan. Prinsip keadilan berlaku pada pemilihan responden penelitian yang
dilakukan dengan adil. Seluruh responden secara adil merasakan manfaat dan
menerima beban yang sama.
4. Kejujuran. Keputusan etis yang perlu dijaga oleh peneliti adalah kejujuran. Penipuan
dan pemalsuan data merupakan bentuk permasalahan pada etika terkait prinsip
kejujuran. Pelanggaran etika kejujuran lainnya adalah membiaskan hasil penelitian.
5. Akurasi. Prinsip akurasi berlaku pada informasi yang diberikan kepada responden
dalam proses pengumpulan data. Selain itu prinsip akurasi perlu dijaga pada tahap
analisis data dan pelaporan hasil.
6. Kelengkapan. Prinsip lain dari etika adalah kelengkapan informasi. Responden
memiliki hak untuk memperoleh deskripsi penelitian secara komprehensif. Prinsip
kelengkapan berkaitan erat dengan informed consent atau penjelasan dan persetujuan
responden.

5
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

ISU ETIKA SEBELUM PENGUMPULAN DATA


Penelitian adalah sebuah proses dengan tujuan untuk menjawab sebuah permasalahan.
Pada proses ini, desain penelitian ditetapkan untuk mampu menjawab pertanyaan
penelitian secara logis dan jelas. Permasalahan yang diangkat dalam suatu penelitian
akan menentukan desain yang digunakan (Oliver 2010). Desain penelitian merupakan
rencana strategis yang dipilih oleh peneliti agar seluruh komponen penelitian seperti
pengumpulan data, pengukuran dan analisis terintegrasi dalam upaya menjawab
pertanyaan penelitian. Banyak isu yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan
desain penelitian termasuk isu etika. Pertimbangan etika idealnya diintegrasikan pada
semua tahapan yang dikembangkan dalam desain penelitian. Pada tahap awal penelitian,
isu etika muncul dalam pengumpulan data yang terkait dengan etika terhadap
responden.
Desain penelitian menetapkan jumlah responden yang dibutuhkan dalam pengumpulan
data untuk dapat diukur dan dianalisis hasilnya. Kecukupan jumlah responden yang
terlibat pada suatu penelitian akan menentukan keberhasilan dan kredibilitas peneliti
dalam menjawab pertanyaan penelitian (Marshall, Cardon, Poddar & Fontenot 2013;
Oliver 2010). Pada kondisi sempurna, tingkat respons yang diterima mencapai 100
persen. Namun pada kenyataannya, sebagian responden berpartisipasi aktif dalam
pengumpulan data dan ada sebagian lainnya yang memilih untuk tidak melanjutkan
partisipasinya dalam proses tersebut. Banyak alasan untuk kedua sikap yang diambil
responden dan salah satu cara untuk mengantisipasi kecenderungan responden dalam
proses pengumpulan data adalah kelengkapan informasi yang diperoleh responden
tentang semua aspek penelitian secara relevan dan ketersediaan waktu untuk memahami
informasi tersebut. Kelengkapan informasi dan ketersediaan waktu akan membantu
responden untuk mengambil keputusan atas partisipasinya dalam penelitian.

Penyediaan Informasi
Penyediaan informasi menjadi aspek penting dalam pengumpulan data untuk
memastikan calon responden memahami efek dalam kesertaannya pada suatu penelitian
(Wiles, 2013). Pernyataan penting dalam penyediaan informasi adalah “seberapa banyak
informasi yang harus diberikan”; “kapan informasi harus diberikan” maupun “seberapa
sering informasi diberikan?” Informasi yang diberikan haruslah cukup komprehensif
agar responden memahami keterlibatannya dalam penelitian namun tidak terlalu
berlebihan sehingga meredam maupun mengurangi keinginan responden untuk
berpartisipasi.
Dalam penyediaan informasi, muncul beberapa tantangan yang dihadapi peneliti
kaitannya dengan isu etika (Wiles, 2013). Pertama, Schermer, Custers dan Van der Hof
(2014) menekankan pada kecukupan informasi yang diberikan kepada responden. Untuk
memperoleh persetujuan (consent) responden, penting bagi peneliti untuk memastikan
kerahasiaan dan anonimitas responden. Sangat memungkinkan responden dapat
diidentifikasikan saat publikasi hasil penelitian sehingga peneliti perlu memastikan
bahwa tidak timbul risiko bagi responden yang terlibat. Penyediaan informasi sedikitnya

6
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

mampu membantu responden dalam antisipasi risiko yang mungkin timbul dari
keterlibatannya dalam pengumpulan data.
Tantangan lain yang dihadapi peneliti adalah kesulitan dalam pemberian informasi
sehingga memungkinkan muncul kesulitan lain yaitu perolehan persetujuan. Penelitian
yang dilakukan di tempat umum sering kali mengalami hal tersebut. Antisipasi yang
dapat dilakukan oleh peneliti adalah memberikan informasi kepada pihak yang
berwenang serta informasi dalam bentuk pemasangan poster dan sejenisnya kepada
individu yang berada di sekitar lokasi. Poster ini sedikitnya berisikan informasi
penelitian yang sedang berjalan dan waktu pengumpulan data dilakukan. Penyediaan
informasi seperti ini membantu calon responden untuk mengambil keputusan atas
partisipasinya dalam penelitian. Ferreira dan Serpa (2018) menambahkan pentingnya
reviu oleh komite etik sebelum penelitian di tempat umum dilakukan untuk agar
intervensi yang dilakukan peneliti kepada responden tidak menimbulkan isu etis.
Hak responden untuk menarik kesertaannya dari penelitian menjadi tantangan lain bagi
peneliti untuk mampu mengantisipasinya. Hak menarik diri responden dari
partisipasinya pada suatu penelitian merupakan bentuk otonomi responden (Anabo,
Elexpuru-Albizuri & Villardón-Gallego, 2019). Penyediaan informasi adalah bagian dari
surat persetujuan (informed consent) yang juga berisi hak responden untuk sewaktu-
waktu menarik diri dari partisipasinya. Penarikan kesertaan dalam penelitian bisa terjadi
saat data telah dianalisis sehingga peneliti perlu mengupayakan adanya batas
pengunduran diri responden dari penelitian. Responden memiliki hak untuk menarik
partisipasinya dari penelitian dan peneliti perlu mempertimbangkan konsekuensi dari
hal ini karena dapat memengaruhi jumlah responden yang dibutuhkan untuk kecukupan
data.
Penyediaan informasi inti untuk semua calon responden selain berisi ringkasan tentang
penelitian dan kontribusi yang diharapkan dari responden di dalamnya, juga berisi
persetujuan responden untuk berpartisipasi serta hak untuk menarik diri dari proses
penelitian kapan saja atas permintaannya. Pada beberapa bentuk penelitian,
perlindungan tambahan diberikan berupa janji bahwa setiap data yang diberikan
responden dapat dikembalikan berdasarkan permintaan.

Persetujuan (Informed Consent) Responden


Setelah calon responden mendapatkan informasi ringkas dan jelas terkait partisipasinya
dalam sebuah penelitian, peneliti mengajukan persetujuan (consent) kepada responden
untuk terlibat dalam proses pengumpulan data. Terminologi dari informed consent atau
persetujuan adalah kesepakatan untuk berpartisipasi dalam pengumpulan data setelah
memperoleh informasi tentang tujuan, prosedur, risiko, manfaat, prosedur alternatif, dan
batas kerahasiaan sebuah penelitian yang sedang dilakukan (Johnson & Christensen
2020). Dapat diartikan pula bahwa informed consent merupakan proses yang
memberikan kesempatan kepada calon responden untuk memilih apa yang akan atau
tidak akan terjadi pada mereka (Ripley dkk., 2018). Informed consent bertujuan untuk
membangun kepercayaan dan otonomi calon responden sekaligus melindungi mereka

7
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

dari potensi bahaya (Antoniou dkk., 2011). Potensi bahaya sangat mungkin dialami
responden terutama pada penelitian medis dan psikologi.
Bos (2020) mensyaratkan bahwa persetujuan harus: (1) diberikan secara sukarela; (2)
diperoleh dari responden yang kompeten secara hukum; (3) diinformasikan secara jelas,
dan (4) dipahami responden atas apa yang diharapkan darinya. Maka dari itu, informed
consent harus mencakup ringkasan singkat penelitian (Johnson & Christensen, 2020).
Ringkasan ini terbatas pada tujuan penelitian tanpa informasi yang mendetail pada
hipotesis atau teknis penelitian. Pada intinya, informed consent memberikan deskripsi
yang dapat memengaruhi kesediaan calon responden untuk berpartisipasi. Antoniou dkk.
(2011) menambahkan bahwa waktu baca informed consent yang paling efektif adalah
berkisar satu menit. Informed consent yang terlalu luas dengan waktu baca yang lebih
panjang dapat menimbulkan keengganan calon responden untuk berpartisipasi. Bothun,
Feeder dan Poland (2021) memperkuat argumen ini dengan pendapat bahwa diperlukan
strategi bentuk lain dari persetujuan seperti format multimedia atau diskusi pribadi
untuk meningkatkan pemahaman tentang formulir persetujuan.
Informed consent atau persetujuan yang diperoleh dari responden berisi antara lain: (a)
kesepakatan umum untuk berpartisipasi; (b) konfirmasi cara perekaman data; (c)
pengelolaan anonimitas dan kerahasiaan responden; serta (d) cara penelitian akan
didiseminasikan (Wiles, 2013). Persetujuan juga dapat berisikan (a) alasan responden
dilibatkan dalam penelitian; (b) harapan peneliti terhadap partisipasi responden; dan (c)
pihak yang dapat mengakses data (Antoniou dkk. 2011). Contohnya dapat dilihat pada
Lampiran. Umumnya persetujuan diberikan dalam sebuah formulir yang kemudian
ditandatangani. Kelebihan dari bentuk ini adalah adanya kepastian bahwa calon
responden memahami keterlibatannya dalam sebuah penelitian dan peneliti terlindungi
dari kemungkinan keluhan responden di masa yang akan datang. Namun
penandatanganan formulir dapat menimbulkan masalah terkait anonimitas karena ada
kemungkinan responden terlacak sehingga menjadi dilema bagi responden (Wiles,
2013). Sering kali calon responden memberikan data palsu untuk menghindari pelacakan
yang justru merugikan peneliti karena penelitian menjadi tidak valid.
Calon responden berubah menjadi responden setelah memperoleh informasi penelitian
dan setuju berpartisipasi di dalamnya. Pada saat ini maka dapat dikatakan peneliti
memperoleh informed consent dari responden. Dengan demikian, proses penelitian
selanjutnya dapat dilakukan yaitu pengumpulan data.

ISU ETIKA DALAM PENGUMPULAN DATA


Dalam penelitian yang berhubungan dengan manusia, jumlah responden dan tingkat
respons memberikan informasi sejauh mana data yang dikumpulkan adalah valid (Kelley,
Clark, Brown, & Sitzia, 2003). Semakin besar sampel atau semakin banyak responden
akan meningkatkan akurasi hasil penelitian namun waktu yang dibutuhkan untuk
pengumpulan data menjadi lebih panjang. Kelley dkk (2003) menambahkan bahwa
target jumlah responden dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya, tujuan penelitian,
dan kualitas statistik yang diinginkan.

8
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Rencana target jumlah responden perlu mempertimbangkan tingkat respons untuk


menjaga agar penelitian tidak bias yang pada akhirnya berimbas pada etika publikasi
penelitian. Pada penelitian dengan tingkat keterlibatan peneliti yang tinggi saat
pengumpulan data seperti wawancara akan memberikan tingkat respons yang tinggi,
namun penyebaran kuesioner melalui pos, internet dan prasarana lainnya dapat
menyebabkan tingkat respons yang lebih rendah. Tingkat respons yang tinggi pada
pengumpulan data melalui wawancara disebabkan karena adanya interaksi langsung
dengan responden sehingga mengurangi kemungkinan adanya kesalahan interpretasi
(Queirós, Faria, & Almeida, 2017).
Tingkat respons yang tinggi diperoleh melalui kerja sama yang baik antara peneliti dan
responden (Bos, 2020). Selama proses pengumpulan data, perlu dipastikan bahwa
responden nyaman dan tidak terintimidasi. Bahkan pada penelitian yang melibatkan
banyak pertanyaan atau aspek yang diharapkan dari responden dapat memberikan rasa
tidak nyaman atau bosan kepada responden (Johnson & Christensen, 2020).
Ketidaknyamanan yang dialami responden akan menimbulkan kontra produktif sehingga
hasil penelitian menjadi bias. Pada kondisi ini, sangat mungkin responden menarik diri
dari penelitian dan mengakhiri partisipasinya. Selain itu, isu etika muncul saat
pengumpulan data dilihat dari pendekatannya, baik wawancara, FGD maupun kuesioner.

Etika Pengumpulan Data Melalui Wawancara maupun FGD


Isu etika dalam pengumpulan data dapat muncul pada proses perekaman data. Interaksi
sangat besar terjadi antara peneliti dan responden pada saat pengumpulan data terutama
pada pengumpulan data dengan pendekatan wawancara maupun FGD sehingga
memungkinkan munculnya masalah etika (Oliver, 2010). Isu etika yang mungkin muncul
pada proses perekaman data disebabkan karena pada wawancara maupun FGD, data
diperoleh melalui rekaman audio maupun video. Penggunaan rekaman audio lebih
banyak digunakan daripada pencatatan. Pencatatan selama proses wawancara
mengurangi akurasi perekaman data namun dianjurkan sebagai data tambahan. Pada
beberapa penelitian data direkam dengan menggunakan video untuk merekam gerakan
dan ekspresi responden. Bahkan pada penelitian dengan FGD, rekaman video dapat
menggambarkan interaksi antar responden (Plummer, 2017).
Sebelum perekaman data, peneliti perlu menjelaskan kebutuhan merekam wawancara
atau FGD; cara rekaman akan digunakan untuk analisis: dan cara transkripsi data. Peneliti
perlu memberi kepastian pada responden bahwa jika tanpa sengaja nama responden
disebutkan selama proses perekaman, anonimitas responden tetap dijaga saat
transkripsi data (Oliver, 2010). Pada penelitian dengan FGD, Plummer (2017)
menggarisbawahi perlunya moderator dari tim peneliti untuk menjelaskan aturan
kepada responden terkait kerahasiaan. Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan
responden menceritakan isi FGD atau pembicaraan responden lainnya.
Selama perekaman data, peneliti dapat mengatur strategi dengan menempatkan alat
perekam pada tempat yang mudah dijangkau oleh responden. Kemudahan ini
memberikan responden keyakinan akan kendali yang dimilikinya selama proses

9
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

perekaman data. Responden dapat menekan tombol jeda saat dirasa perlunya
pertimbangan atas tanggapan yang diberikan responden.

Etika Pengumpulan Data Melalui Kuesioner


Walaupun interaksi dengan responden rentan pada penggunaan kuesioner dalam
pengumpulan data, namun isu etika yang berkaitan dengan kerahasiaan tetap dapat
muncul sehingga perlu diwaspadai pelaksanaannya (Oliver, 2010). Setelah informasi
penelitian diperoleh dan persetujuan diberikan, responden memasuki tahap pengisian
data identitas. Pada tahap ini penting untuk memastikan data yang diminta yang biasanya
digunakan untuk membuat profil responden tersimpan dan terjaga kerahasiaannya
(Wile,s 2013). Salah satu cara yang digunakan adalah memberikan nama samaran
(pseudonyms). Selain menjaga kerahasiaan, peneliti perlu mempertimbangkan data profil
yang dibutuhkan karena walaupun nama samaran telah diberikan, informasi tambahan
ini dapat memberikan petunjuk identitas responden. Contohnya adalah data lokasi,
domisili, jabatan dan sebagainya. Salah satu contoh pada kerahasiaan dalam
pengumpulan data melalui kuesioner adalah penelitian yang dilakukan atas permintaan
sebuah perusahaan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui motivasi karyawan pada
sebuah perusahaan. Populasi penelitian menjadi sangat jelas sehingga nama seluruh
responden dapat diketahui. Pada konteks ini, isu kerahasiaan menjadi masalah etika.
Responden akan memiliki kekhawatiran bahwa data yang diberikan dapat digunakan
untuk menjatuhkan mereka apabila hasil penelitian diberikan kepada perusahaan.
Kekhawatiran ini dapat menimbulkan keengganan sehingga untuk menjaga jumlah
sampel penelitian, peneliti mengirimkan pengingat berdasarkan data yang dimiliki. Hal
ini menunjukkan bahwa kerahasiaan responden telah dilanggar. Namun, jika peneliti
memberikan keyakinan bahwa anonimitas akan dijaga saat pengolahan data, maka isu
etika dapat dihindari.
Isu etika lainnya dalam pengumpulan data melalui kuesioner adalah sifat pertanyaan
yang diajukan. Sering kali untuk memudahkan responden dan meningkatkan tingkat
respons, peneliti meringkas pertanyaan dengan maksud agar responden tidak
mengalami kelelahan atau kecerobohan dalam memberikan jawaban. Penelitian yang
dilakukan oleh Bowling, Gibson, Houpt dan Brower (2021) mendapati hasil bahwa
responden cenderung semakin ceroboh saat pertanyaan semakin panjang. Walaupun
Bowling dkk. (2021) merekomendasikan adanya pengawasan saat pengisian kuesioner
namun hal ini tidak menjadi solusi efektif karena pengawasan dapat mengakibatkan
ketidaknyamanan bagi responden. Oliver (2010) menyarankan agar peneliti tetap
konsisten untuk membuat kuesioner yang komprehensif agar tidak terjadi ambiguitas
sehingga responden memahami konteks pertanyaan yang diajukan dan mampu
menjawabnya.
Penyebaran kuesioner dapat dilakukan langsung dengan memberikan lembar kuesioner
kepada responden maupun melalui pos, telepon dan secara daring (online) berbasis
elektronik. Pada penyebaran kuesioner melalui pos, peneliti harus menyadari bahwa
umumnya responden tidak ingin dilibatkan dalam penelitian yang menimbulkan biaya
bagi responden. Etika yang harus dijaga oleh peneliti adalah menyiapkan amplop

10
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

balasan-yang telah diberi perangko sehingga tidak menimbulkan kesulitan bagi


responden saat akan menyerahkan hasil pengisian kuesioner Oliver (2010). Dalam
konteks penyebaran kuesioner melalui pos, peneliti juga perlu mengantisipasi isu etika
terkait kerahasiaan karena data yang terkumpul memberikan informasi identitas
responden sebagai pengirim.

ISU ETIKA PADA PENGUMPULAN DATA BERBASIS ELEKTRONIK


Penggunaan internet sebagai pendekatan dalam melakukan penelitian sudah banyak
dimanfaatkan. Kemudahan pengumpulan data melalui internet bukan saja dari sisi
jangkauan yang lebih beragam namun juga akses yang lebih luas dalam waktu yang lebih
singkat (Christensen dkk., 2014). Namun penelitian berbasis internet tetap memiliki isu
etika antara lain privasi dan persetujuan (consent).
Kerahasiaan responden menjadi isu etika yang penting agar tidak terjadi pelanggaran
privasi dengan cara menyebarkan informasi rahasia responden (Johnson & Christensen,
2020). Pada penelitian berbasis internet, peneliti dapat saja memiliki keterbatasan
pemahaman akan privasi dan kerahasiaan informasi secara daring (dalam jaringan) atau
online atau melalui internet. Peretasan data saat transmisi dan penyimpanan dapat
terjadi sehingga data sangat mungkin disebarluaskan oleh pihak yang tidak bertanggung
jawab. Namun, pada penelitian berbasis daring, kerahasiaan responden dapat dijaga
melalui enkripsi data; responden tidak terlacak kecuali melalui alamat Internet Protocol
(IP) yang dimilikinya. Perlu digarisbawahi bahwa alamat IP dapat terlacak pada
penggunaan perangkat komputer pribadi. Selain itu, penelitian secara daring yang
menggunakan sistem survei daring komersial sangat rentan terhadap pelanggaran
privasi (Roberts & Allen, 2015). Situs hosting survei online komersial dapat menarik
informasi dari responden baik berupa alamat IP dan bahkan geolokasi dimana responden
berada. Untuk menjaga kerahasiaan responden pada konteks ini, peneliti perlu
menghapus alamat IP responden sebelum pengolahan data.
Sama halnya dengan penelitian lainnya, perolehan persetujuan dari responden sangat
penting pada penelitian berbasis internet. Roberts dan Allen (2015) menyarankan agar
calon responden mendapat informasi yang umumnya ditampilkan pada halaman
pertama dari tautan penelitian yang diberikan. Setelah informasi diberikan, pada bagian
bawah disediakan kotak yang harus dicentang calon responden sebagai bentuk
persetujuan. Antisipasi terhadap kemungkinan kurangnya pemahaman calon responden
terhadap penelitian perlu dilakukan. Peneliti dapat saja menyertakan Pertanyaan yang
Sering Diajukan (FAQ, Frequently Asked Question) sebagai cara membantu calon
responden memahami penelitian (Johnson & Christensen, 2020). Dengan demikian,
responden memiliki pemahaman yang lengkap untuk mengantisipasi keterlibatannya
dalam penelitian.

11
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

PRIVASI, ANONIMITAS, DAN KERAHASIAAN RESPONDEN


Privasi, anonimitas, dan kerahasiaan adalah pertimbangan utama terkait responden
dalam sebuah penelitian (Sugiura, Wiles, & Pope, 2017). Peneliti memiliki kewajiban
untuk melindungi identitas responden dan memastikan bahwa parameter perlindungan
telah ditetapkan sebelum penelitian dimulai (Giordano, O'Reilly, Taylor, & Dogra, 2007).
Peneliti perlu memastikan perlindungan data responden yang dapat menjadi petunjuk
sumber data penelitian. Hal ini juga berlaku untuk penelitian berbasis elektronik
(Roberts & Allen, 2015).
Privasi, anonimitas, dan kerahasiaan menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Jika kerahasiaan berkaitan dengan modifikasi informasi identitas responden maka
anonimitas merupakan pengumpulan data tanpa memperoleh sedikit pun informasi
identitas responden (Coffelt, 2017). Kerahasiaan juga berkaitan dengan penelitian
kualitatif sedangkan anonimitas umumnya dilakukan pada penelitian kuantitatif.
Anonimitas maupun kerahasiaan melindungi privasi responden. Jaminan akan
terlindungnya privasi responden membuka kesempatan lebih banyak bagi peneliti untuk
menggali informasi yang dibutuhkan untuk penelitiannya.
Sebelum memahami anonimitas dan kerahasiaan, perlu dimengerti makna dari privasi.
Privasi merupakan sebuah konsep pengendalian akses kepada informasi tentang
seseorang. Dalam konteks penelitian, privasi merupakan kontrol yang dimiliki peneliti
terhadap akses pihak luar atas informasi identitas responden. Johnson dan Christensen
(2020) memperlihatkan bahwa konsep ini memiliki dua aspek penting. Pertama adalah
kebebasan seseorang dalam hal ini responden untuk menetapkan waktu dan situasi
terkait bagaimana informasi dibagikan atau disembunyikan dari pihak luar. Aspek
lainnya adalah hak seseorang untuk menolak informasi yang tidak diinginkan.
Pada sebuah penelitian, peneliti akan berusaha untuk memastikan privasi responden
dengan mengumpulkan data secara anonim maupun memastikan bahwa informasi
identitas responden akan dijaga kerahasiaannya (Oliver, 2010). Anonimitas dianggap
sebagai cara terbaik untuk melindungi privasi karena peneliti pun tidak mengetahui
identitas responden. Salah satu cara anonimitas adalah dengan menggunakan nama
samaran (pseudonyms), walaupun Wiles (2013) berargumentasi bahwa nama samaran
tetap memungkinkan diketahuinya identitas responden karena memberi petunjuk secara
halus. Pemberian nama samaran dapat dilakukan langsung oleh responden maupun
administrator penelitian.
Di lain sisi, kerahasiaan bukan hanya berupa janji untuk menjaga informasi identitas
responden. Responden perlu mendapatkan informasi jelas pihak yang memiliki akses
pada data yang diberikan selain bagaimana cara peneliti menyimpan data yang diperoleh
(Bos, 2020). Pendekatan yang akan digunakan oleh peneliti untuk menjaga kerahasiaan
perlu dijelaskan sebelum persetujuan disepakati oleh responden. Dalam konteks
penelitian, kerahasiaan dapat dimaknai sebagai janji peneliti terkait apa saja yang akan
dilakukan terhadap informasi yang diperoleh dari responden (Johnson & Christensen,
2020).

12
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Pada beberapa kasus, terjadi pelanggaran kerahasiaan yang berarti bahwa peneliti tidak
memenuhi janji yang diberikan kepada responden. Pelanggaran atas kerahasiaan
diklasifikasikan ke dalam empat jenis pelanggaran yaitu (Bos, 2020):
(1) Pelanggaran yang dapat disalahkan: terjadi jika informasi identitas responden
dipublikasikan tanpa adanya persetujuan. Peneliti bertanggung jawab jika
terbukanya kerahasiaan responden dapat dicegah. Dalam hal ini, pelanggaran terjadi
karena anonimitas yang dilakukan terhadap responden tetap memberikan petunjuk
pada karakter unik tertentu dari responden dimaksud.
(2) Pelanggaran yang dapat dibenarkan: peneliti memiliki kewajiban untuk membuka
data informasi identitas responden pada keadaan yang memaksa. Pelanggaran
seperti ini mungkin terjadi pada penelitian di bidang sosial seperti bidang kejiwaan.
Responden yang memiliki tendensi berperilaku jahat perlu ditangani sesegera
mungkin sebelum muncul risiko kejiwaan yang berimplikasi pada pihak ketiga.
(3) Pelanggaran yang dipaksa: pada penelitian yang dapat membahayakan banyak orang,
muncul paksaan kepada peneliti untuk mengungkapkan informasi identitas
responden. Dalam konteks ini, terjadi pelanggaran karena keadaan yang memaksa
demi kepentingan yang lebih luas.
(4) Pengabaian kerahasiaan: bentuk ini pada dasarnya merupakan keinginan responden
untuk dapat diidentifikasi. Biasanya hal ini muncul karena responden menginginkan
keterlibatan yang lebih jauh dalam penelitian.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa pelanggaran atas kerahasiaan dimungkinkan
terjadi walaupun telah ada kesepakatan peneliti kepada responden untuk menjaganya.

REFERENSI
Allen, M. (Ed.). (2017). The SAGE encyclopedia of communication research methods. SAGE
Publications.
Anabo, I. F., Elexpuru-Albizuri, I., & Villardón-Gallego, L. (2019). Revisiting the Belmont
Report’s ethical principles in internet-mediated research: Perspectives from
disciplinary associations in the social sciences. Ethics and Information Technology,
21(2), 137-149.
Antoniou, E. E., Draper, H., Reed, K., Burls, A., Southwood, T. R., & Zeegers, M. P. (2011).
An empirical study on the preferred size of the participant information sheet in
research. Journal of Medical Ethics, 37(9), 557-562.
Bos, J. (2020). Research ethics for students in the social sciences. Springer Nature.
Bothun, L. S., Feeder, S. E., & Poland, G. A. (2021). Readability of Participant Informed
Consent Forms and Informational Documents: From Phase 3 COVID-19 Vaccine
Clinical Trials in the United States. Mayo Clinic Proceedings (Vol. 96, No. 8, 2095-
2101). Elsevier.

13
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Bowling, N. A., Gibson, A. M., Houpt, J. W., & Brower, C. K. (2021). Will the questions ever
end? Person-level increases in careless responding during questionnaire
completion. Organizational Research Methods, 24(4), 718-738.
Christensen, L. B., Johnson, R. B., & Turner, L. A. (2014). Research methods, design and
analysis, 12th Ed. Pearson.
Coffelt, T. A. (2017). Confidentiality and anonymity of participants. The SAGE encyclopedia
of communication research methods, 227-230.
Fellows, R., & Liu, A. M. M. (2015). Research Methods for Construction, Wiley Blackwell.
Ferreira, C. M., & Serpa, S. (2018). Informed consent in social sciences research: Ethical
challenges. International Journal Social Science Studies, 6, 13.
Giordano, J., O'Reilly, M., Taylor, H., & Dogra, N. (2007). Confidentiality and autonomy:
The challenge (s) of offering research participants a choice of disclosing their
identity. Qualitative health research, 17(2), 264-275.
Johnson, R. B., & Christensen, L. (2020). Educational research: Quantitative, qualitative,
and mixed approaches. Sage publications.
Kelley, K., Clark, B., Brown, V., & Sitzia, J. (2003). Good practice in the conduct and
reporting of survey research. International Journal for Quality in health care, 15(3),
261-266.
Marshall, B., Cardon, P., Poddar, A., & Fontenot, R. (2013). Does sample size matter in
qualitative research?: A review of qualitative interviews in IS research. Journal of
computer information systems, 54(1), 11-22.
Neuman, L.W. (2014). Basics of Social Research: Qualitative & Quantitative Approaches. 3rd
Ed. Pearson Education Limited.
Oliver, P. (2010). The student's guide to research ethics. McGraw-Hill Education (UK).
Plummer, P. (2017). Focus group methodology. Part 2: Considerations for analysis.
International Journal of Therapy and Rehabilitation, 24(8), 345-351.
Queirós, A., Faria, D., & Almeida, F. (2017). Strengths and limitations of qualitative and
quantitative research methods. European journal of education studies.
Ripley, K. R., Hance, M. A., Kerr, S. A., Brewer, L. E., & Conlon, K. E. (2018). Uninformed
consent? The effect of participant characteristics and delivery format on informed
consent. Ethics & Behavior, 28(7), 517-543.
Roberts, L. D., & Allen, P. J. (2015). Exploring ethical issues associated with using online
surveys in educational research. Educational Research and Evaluation, 21(2), 95-
108.
Schermer, B. W., Custers, B., & Van der Hof, S. (2014). The crisis of consent: How stronger
legal protection may lead to weaker consent in data protection. Ethics and
Information Technology, 16(2), 171-182.

14
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Sugiura, L., Wiles, R., & Pope, C. (2017). Ethical challenges in online research:
Public/private perceptions. Research Ethics, 13(3-4), 184-199.
Wiles, R. (2013). What are Qualitative Research Ethics? Bloomsburry Academic.

15
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

LAMPIRAN: SURAT PERSETUJUAN


Surat Persetujuan (Informed Consent)

Judul Penelitian:
Ketua Peneliti:
Anggota Peneliti: (jika ada)
Alamat korespondensi:
Nomor yang dapat dihubungi:

Bapak/Ibu/Saudara/i diundang untuk berpartisipasi dalam studi penelitian yang


menyelidiki ….. Jika Bapak/Ibu/Saudara/i secara sukarela berpartisipasi dalam
penelitian ini, kami akan menyampaikan pertanyaan yang berkaitan dengan ….

Penelitian ini akan melibatkan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk mengisi serangkaian


pertanyaan dalam konteks ….

Penelitian ini akan memakan waktu berkisar … sampai … (menit/jam).

Bapak/Ibu/Saudara/i mungkin tidak mendapatkan manfaat apa pun dari partisipasi


dalam penelitian ini, tetapi pertanyaan yang kami berikan kepada
Bapak/Ibu/Saudara/i akan membantu kami memahami ….

Jika Bapak/Ibu/Saudara/i secara sukarela berpartisipasi dalam penelitian ini,


Bapak/Ibu/Saudara/i perlu menyadari bahwa Bapak/Ibu/Saudara/i dapat
mengundurkan diri dan berhenti berpartisipasi dalam penelitian ini kapan saja
Bapak/Ibu/Saudara/i inginkan. Tidak ada sanksi apa pun yang dikenakan kepada
Bapak/Ibu/Saudara/i jika mengundurkan diri dan berhenti berpartisipasi dalam
penelitian ini.

Tidak ada risiko bagi Bapak/Ibu/Saudara/i dalam partisipasinya pada penelitian ini.

Semua informasi yang Bapak/Ibu/Saudara/i berikan kepada kami akan dijaga


kerahasiaannya. Kami tidak akan memberikan informasi apa pun kepada siapa pun di
luar tim peneliti. Seluruh data akan dihapus ketika penelitian selesai. Hasil penelitian
ini dapat dipresentasikan pada pertemuan profesional atau dipublikasikan dalam
jurnal profesional, tetapi nama Bapak/Ibu/Saudara/i dan informasi identitas lainnya
tidak akan diungkapkan.

Jika Bapak/Ibu/Saudara/i memiliki pertanyaan tentang penelitian ini atau jika


Bapak/Ibu/Saudara/i memiliki pertanyaan tentang hak Bapak/Ibu/Saudara/i sebagai
peserta penelitian, Bapak/Ibu/Saudara/i dapat menghubungi ketua peneliti di nomor
di atas.

Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini?


 Bersedia
 Tidak bersedia

16
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

BAB 2
ETIKA PENELITIAN INFORMATIKA: 101
Seng Hansun
Universitas Multimedia Nusantara

RINGKASAN
Dalam pelaksanaan suatu penelitian, para peneliti memerlukan pedoman yang dapat
menjaga dan memastikan mereka untuk tetap berada di jalur yang benar. Pedoman
tersebut tertuang dalam Etika Penelitian yang hendaknya diketahui, dipahami, dan
dipraktikkan oleh para peneliti. Dalam bab ini, kita akan membahas beberapa prinsip
dasar etika penelitian yang umum dijumpai dan diterima di berbagai bidang atau disiplin
ilmu. Selanjutnya, beberapa isu etika penelitian di bidang Ilmu Teknik secara umum dan
Informatika secara khusus dibahas ringkas di sini. Beberapa contoh kasus pelanggaran
etika yang melibatkan para peneliti di bidang Informatika juga dibahas sebagai bahan
pelajaran yang dapat didiskusikan. Terakhir, beberapa tips terkait hal-hal yang patut dan
tidak patut untuk dilakukan dalam pelaksanaan suatu penelitian menutup keseluruhan
pembahasan kita terkait pengantar etika penelitian Informatika.

PENDAHULUAN
Etika penelitian tidak ayal lagi menjadi salah satu ketentuan yang wajib dipahami dan
dipatuhi oleh para akademisi dan peneliti dalam melakukan sebuah penelitian ilmiah.
Keberhasilan sebuah penelitian tidak hanya dilihat dari dampak atau manfaat yang
diberikan oleh penelitian tersebut, namun juga mempertimbangkan berbagai aspek
lainnya terkait etika dalam penelitian yang dilakukan. Tidak jarang sebuah penelitian
dengan inovasi baru yang diajukan, mendapatkan pendanaan dari para sponsor raksasa,
dan diharapkan dapat memberi kontribusi lebih dalam pengembangan ilmu pengetahuan
maupun bagi kehidupan umat manusia, pada akhirnya ditarik kembali atau tidak diyakini
kebenaran hasilnya karena tidak memenuhi kaidah etika penelitian yang diakui.
Salah satu contoh kasus yang baru terkuak ke publik di tahun 2022 adalah kasus para
peneliti dan ahli mata dari Harvard University yang melakukan tindakan yang tidak dapat
dibenarkan (misconduct) dalam mempublikasikan hasil penelitian mereka.
Permasalahan inti dalam kasus ini adalah bahwa kelompok peneliti tersebut tidak
mengajukan dan memperoleh persetujuan etik (ethics approval) bagi penelitian yang
dilaksanakan. Padahal aturan terkait penelitian yang melibatkan manusia sebagai bagian
dari penelitiannya pasti memerlukan persetujuan etik dari Dewan Reviu terkait, dalam
hal ini setidaknya dari Institutional Review Board (IRB) Harvard University. Sebagai akibat
dari hal ini, terdapat delapan publikasi ilmiah yang diterbitkan di beberapa jurnal
bereputasi oleh kelompok peneliti dari Harvard University tersebut akhirnya ditarik
kembali (retracted) oleh redaksi jurnal yang menerbitkan naskah-naskah publikasi

17
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

tersebut. Hal ini tentunya memberikan dampak buruk bagi citra dan kualitas penelitian
terkait, yang tidak hanya terikat bagi para peneliti terkait, namun juga bagi institusi
tempat mereka bergabung. Bagi pembaca yang tertarik untuk mendalami kasus ini dapat
membaca informasi selengkapnya di Retraction Watch (Marcus, 2022a).
Mungkin bagi para pembaca ada yang menyadari dan memahami makna penggunaan
kode 101 di akhir judul bab ini – ‘Etika Penelitian Informatika: 101’. Merujuk pada definisi
yang diberikan dalam cyberdefinitions.com (What Does 101 Mean?, no date), kode 101
memiliki beberapa makna berbeda, namun yang paling umum digunakan dan dimaknai
dalam penggunaan di judul bab ini adalah sebagai ‘Pengantar Dasar’ sebuah materi atau
bahan ajar. Kode 101 bermula dari sistem penomoran kode mata kuliah pada beberapa
universitas di Amerika Serikat sekitar tahun 1920-an. Saat itu kode 101 kebanyakan
digunakan bagi mata kuliah-mata kuliah dasar atau pengantar bagi mahasiswa tingkat
pertama. Selanjutnya, penggunaan kode istilah tersebut meluas tidak hanya di kalangan
akademik, melainkan juga di kalangan umum untuk merujuk hal-hal dasar atau
pengantar suatu materi bagi orang awam (Engber, 2006).
Demikian pula, kita akan membahas beberapa prinsip dasar etika penelitian secara
ringkas di sini, mengingat pembahasan lebih mendalam dapat ditemukan di beberapa
bab atau bagian lain dari buku ini. Kita akan melihat lebih lanjut isu etika penelitian di
bidang Ilmu Teknik secara umum dan Informatika secara khusus, serta beberapa contoh
kasus pelanggaran etika yang melibatkan para peneliti di bidang Informatika. Beberapa
tips terkait hal-hal yang patut dan tidak patut untuk dilakukan dalam pelaksanaan suatu
penelitian mengikuti etika penelitian yang umum berlaku juga akan diberikan dalam
pembahasan bab ini, serta diakhiri dengan simpulan terkait etika penelitian Informatika.

PRINSIP DASAR ETIKA PENELITIAN


Etika penelitian yang lazim diterima dan dilaksanakan oleh para peneliti di suatu negara
dapat berbeda dengan negara lainnya. Sebagai contoh, dalam penelitian yang melibatkan
anak-anak dan remaja di bawah 18 tahun di Australia setidaknya membutuhkan
persetujuan dari orang tua (parental consent) (Smart, 2018), sementara di Indonesia
umumnya diterapkan persetujuan ganda (dual consent) baik dari orang tua maupun anak
yang menjadi subyek penelitian (Siagian dkk., 2021). Demikian pula, etika penelitian
antara satu bidang atau disiplin ilmu bisa sangat berbeda dengan bidang atau disiplin
ilmu lainnya.
Dalam naskah publikasi yang diterbitkan di BMC Medical Ethics, Sambiéni bahkan
menjelaskan bahwa terdapat perbedaan dan kelemahan dalam penerapan etika
penelitian dari empat negara berbeda (Burkina Faso, Palestina, Peru, dan Kongo) yang
ditujukan bagi studi socio-anthropological yang sama dalam bidang Kesehatan
Reproduksi (Sambiéni, 2018). Untuk itu, upaya standardisasi dan universalitas dalam
penerapan etika penelitian yang digawangi oleh dewan etik di tiap institusi perlu
diperhatikan.
Meskipun terdapat berbagai perbedaan yang dapat disebabkan oleh pandangan hidup,
budaya, kondisi geografis, situasi politik, dan sebagainya dalam penerapan etika

18
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

penelitian, beberapa prinsip dasar etika penelitian yang dapat diterima secara umum
dapat diturunkan. Prinsip-prinsip dasar ini kebanyakan mengacu pada kesepakatan atau
dokumen dasar terkait etika penelitian, seperti Nuremberg Code (1947), the Universal
Declaration of Human Rights (1948), the Declaration of Helsinki (1968), the Belmont
Report (1978), dan lain sebagainya (Weinbaum dkk., 2019; Barrow dkk., 2022). Tabel 1
memperlihatkan sepuluh prinsip dasar etika penelitian yang lazim diterima dalam
penelitian ilmiah (Weinbaum dkk., 2019).
Tabel 1. Sepuluh prinsip dasar etika penelitian (Weinbaum dkk., 2019)

Prinsip Dasar Etika Definisi


Kewajiban pada Para peneliti dan penelitian yang dilakukan harus memberikan
masyarakat kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat.
(Duty to society)
Manfaat Para peneliti harus memikirkan kesejahteraan para peserta
(Beneficence) penelitian sebagai tujuan dan berusaha mendapatkan lebih
banyak manfaat seraya mengurangi risiko penelitian yang
dilakukan.
Konflik kepentingan Para peneliti harus meminimalkan pengaruh finansial dan
(Conflict of interest) lainnya dalam penelitian mereka serta peserta penelitian yang
dapat mempengaruhi hasil penelitian. Konflik kepentingan ini
biasanya lebih tertuju pada para peneliti, namun bisa juga
melibatkan peserta penelitian bila mereka diberikan suatu
insentif finansial ataupun non finansial untuk berpartisipasi
dalam penelitian.
Penjelasan dan Seluruh peserta penelitian harus secara sukarela setuju untuk
persetujuan berpartisipasi dalam penelitian, tanpa tekanan dari
(Informed consent) keuntungan finansial atau lainnya, dan persetujuan mereka
harus termasuk pemahaman akan penelitian yang dilakukan
dan risiko yang dapat ditimbulkan. Saat para peserta tidak
dapat memberikan persetujuan atau saat kelompok rentan
terlibat dalam penelitian, tindakan-tindakan khusus harus
diambil oleh para peneliti dan institusi mereka untuk
melindungi para peserta penelitian.
Integritas Para peneliti harus menunjukkan kejujuran dan kebenaran.
(Integrity) Mereka tidak boleh memalsukan data, memalsukan hasil, atau
menghilangkan data terkait penelitian. Mereka harus
melaporkan seluruh temuan secara utuh, mengurangi atau
menghilangkan bias dalam metode yang dilakukan, dan
menyatakan asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian.
Tanpa diskriminasi Para peneliti harus mengurangi upaya-upaya untuk
(Nondiscrimination) mengurangi manfaat penelitian bagi kelompok tertentu dan
untuk menyangkal manfaat penelitian dari kelompok lainnya.
Tanpa eksploitasi Para peneliti tidak boleh mengeksploitasi atau mengambil
(Nonexploitation) keuntungan yang tidak wajar dari para peserta penelitian.
Privasi dan Privasi: Peserta penelitian memiliki hak untuk mengendalikan
kerahasiaan akses ke informasi pribadi mereka dan ke tubuh mereka dalam
(Privacy and hal pengumpulan spesimen biologis. Para peserta dapat
confidentiality)

19
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

mengendalikan bagaimana orang lain dapat melihat,


menyentuh, atau memperoleh informasi mereka.
Kerahasiaan: Para peneliti akan melindungi informasi pribadi
yang diberikan oleh peserta sejak diperoleh. Kerahasiaan
merupakan perpanjangan dari konsep privasi, yang merujuk
pada pemahaman peserta tentang, dan persetujuan pada, cara-
cara informasi yang dapat dikenali akan disimpan dan
dibagikan.
Kompetensi Para peneliti hanya terlibat dalam pekerjaan sesuai kualifikasi
profesional yang dimiliki untuk melakukannya, juga berpartisipasi dalam
(Professional program pelatihan guna meningkatkan keahlian mereka.
competence) Konsep ini mencakup bagaimana para peneliti memilih metode
penelitian, metode statistika, dan ukuran sampel yang sesuai
dan tidak akan mengarah pada hasil yang menyesatkan.
Disiplin profesional Para peneliti harus terlibat dalam penelitian yang beretika dan
(Professional membantu para peneliti lainnya terlibat dalam penelitian yang
discipline) beretika dengan mendeklarasikan perilaku beretika melalui
praktek latihan, menerbitkan dan mengomunikasikan,
memberikan mentor dan pelajaran, dan kegiatan-kegiatan
lainnya.
Catatan: Peserta penelitian merujuk pada seseorang dengan partisipasi aktif dalam
penelitian, sementara subyek penelitian dapat termasuk mereka yang datanya digunakan
dalam penelitian namun tidak memberikan persetujuan untuk berpartisipasi.
Beberapa prinsip dasar etika penelitian yang disajikan dalam Tabel 1 dapat dijumpai
secara umum di seluruh disiplin ilmu, sementara beberapa lainnya hanya dapat dijumpai
di beberapa disiplin dan jenis penelitian tertentu. Oleh karenanya, kesepuluh prinsip
dasar etika penelitian tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori tertentu,
seperti yang disajikan di dalam Tabel 2 (Weinbaum dkk., 2019).
Tabel 2. Kategori prinsip dasar etika penelitian (Weinbaum dkk., 2019)

Kategori Deskripsi Prinsip Dasar Etika


Pencarian etika Penelitian mendalami dirinya untuk  Kewajiban pada
ilmiah memberikan manfaat pada masyarakat. masyarakat
Tindakan dan Para peneliti harus memosisikan diri  Konflik kepentingan
perilaku etika mereka dalam cara tertentu, dan  Integritas
para peneliti mereka bertanggung jawab atas  Tanpa diskriminasi
pengetahuan dan kewaspadaan mereka  Kompetensi
terkait etika dan metode penelitian profesional
yang sesuai.  Disiplin profesional
Perlakuan etika Para peserta penelitian harus  Penjelasan dan
bagi peserta diperlakukan secara manusiawi dan persetujuan
penelitian mengikuti pedoman tertentu, dan efek  Manfaat
lingkungan atau sekunder lainnya dari  Tanpa diskriminasi
penelitian yang dilakukan harus  Tanpa eksploitasi
dipertimbangkan.  Privasi dan
kerahasiaan

20
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

ISU ETIKA BIDANG ILMU TEKNIK


Pada subbab sebelumnya, kita telah membahas sepuluh prinsip dasar etika penelitian
yang lazim dijumpai dan diterima dalam pelaksanaan sebuah penelitian. Meskipun tidak
semua prinsip dasar tersebut dapat diterapkan secara menyeluruh dalam pelaksanaan
sebuah penelitian (misal penelitian yang tidak melibatkan peserta tentunya tidak
membutuhkan persetujuan atau informed consent), pertimbangan-pertimbangan atas
setiap prinsip dasar tersebut patut menjadi pegangan tiap peneliti dalam melaksanakan
penelitiannya masing-masing.
Dalam subbab ini, kita akan membahas beberapa isu terkait etika penelitian yang
dilakukan, khususnya di bidang Ilmu Teknik, meskipun isu serupa juga dapat dijumpai
dalam bidang-bidang ilmu lainnya. Inovasi teknologi yang dihasilkan dari suatu
penelitian, utamanya dalam bidang Ilmu Teknik, dapat membawa dampak positif
maupun negatif.
Yang pertama terkait dengan isu moral dari inovasi teknologi yang dihasilkan dalam
sebuah penelitian. Isu moral ini dapat diidentifikasi dari penelitian-penelitian yang
menghasilkan temuan tidak alamiah, melanggar kodrat alam, atau melibatkan tindakan-
tindakan yang semestinya tidak berada dalam kuasa manusia. Sebagai contoh, penelitian-
penelitian yang melibatkan teknologi genetik untuk kloning, teknologi peningkatan
kemampuan tubuh manusia, penelitian kawin silang (hibrida), dan sebagainya (Brey &
Jansen, 2015).
Selanjutnya, perkembangan dan keterbukaan teknologi, seperti open science, open data,
dan open publication, juga dapat memunculkan beberapa isu baru terkait etika penelitian.
Open science merujuk pada keterbukaan aspek-aspek penelitian yang dilakukan
termasuk hasil penelitian yang dicapai dan cara memperolehnya sehingga bisa
digunakan oleh para peneliti lainnya. Open data memiliki keterkaitan erat dengan open
Science, dimana data maupun kode program dari penelitian yang dilakukan dapat dibagi
secara bebas ke para peneliti lainnya. Demikian pula open publication yang memfasilitasi
penelitian yang dilakukan untuk dapat dipublikasikan dan didistribusikan secara bebas
ke para pembaca maupun peneliti lainnya sangat terkait erat dengan open science. Isu
etika dapat muncul bila terjadi manipulasi dalam proses berbagi hasil penelitian ini
dengan menyembunyikan sebagian atau seluruh data, kode, ataupun hasil penelitian
yang diperoleh. Selain itu, aspek privasi dan kerahasiaan menjadi sulit terukur dengan
adanya konsep open data, serta konflik kepentingan dalam proses publikasi hasil
penelitian di sebuah open access journal terkait dengan open publication juga patut
menjadi perhatian (Weinbaum dkk., 2019).
Tersedianya beragam jenis data sebagai akibat dari perkembangan teknologi serta
jumlah data yang makin banyak tersedia untuk dapat diolah melahirkan konsep big data.
Namun demikian, big data juga dapat melahirkan beberapa pertanyaan terkait etika
penelitian, utamanya terkait dengan privasi. Meskipun data para peserta penelitian
primer telah dihilangkan (de-identified), informasi terkait peserta penelitian dapat
diperoleh kembali dengan menggunakan informasi-informasi dan teknologi baru terkait

21
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

big data analytics. Selain itu, data peserta penelitian konvensional bisa jadi terikat dengan
penjelasan dan persetujuan (informed consent) dan kendali atas penggunaan sekunder
dari data tersebut, namun dengan big data, beragam data dari penelitian-penelitian
tersebut dapat dilibatkan sehingga penggunaan sekunder atas data penelitian tersebut
menjadi sulit diantisipasi (Weinbaum dkk., 2019).
Isu etika berikutnya yang kerap muncul adalah permasalahan konflik kepentingan para
peneliti yang terlibat dalam sebuah penelitian. Bila terdapat suatu hasil produk dari
inovasi sebuah penelitian, misal berupa alat, aplikasi, program, atau bahkan algoritma
baru, maka hak atas kekayaan intelektual (intellectual property) atas produk tersebut
perlu dipertimbangkan dengan jelas dari awal. Apakah hak atas kekayaan intelektual
tersebut menjadi milik peneliti utama, institusi tempatnya bernaung, atau sponsor yang
membiayai pelaksanaan penelitian? Demikian pula pembahasan terkait dengan posisi
para penulis (authorship) dalam sebuah naskah publikasi dari hasil penelitian yang telah
dilaksanakan perlu didiskusikan dengan matang dari awal untuk mencegah munculnya
perselisihan di masa mendatang.
Jadi, pada dasarnya terdapat banyak isu etika yang dapat muncul sebagai akibat
kemajuan dan penerapan teknologi serta ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang
kehidupan. Khususnya untuk bidang Ilmu Teknik (engineering), merujuk pada laporan
yang disampaikan dalam Satori Project – sebuah proyek penilaian etika penelitian dan
inovasi di bidang Ilmu Teknik – beberapa isu etika yang kerap muncul disajikan dalam
Tabel 3 (Brey & Jansen, 2015).
Tabel 3. Daftar isu etika yang patut menjadi perhatian (Brey & Jansen, 2015)

Cabang Ilmu Isu Etika


Teknik Kimia  Limbah beracun dari pembuatan senyawa kimia
 Kesulitan dalam menentukan efek jangka panjang dari
paparan senyawa kimia baru
 Isu lingkungan terkait dengan dampak dan keamanan
lingkungan
 Konsumsi sumber daya alam untuk senyawa kimia
Teknik Sipil  Keamanan dari struktur bangunan
 Isu aksesibilitas bagi kelompok pengguna yang berbeda-beda
(bangunan, jalan, jembatan, dan sebagainya)
 Utilitas struktur bangunan bagi kelompok pengguna yang
berbeda-beda
 Isu-isu lingkungan
 Desain ruang penyiksaan atau tahanan yang dianggap tidak
manusiawi
 Kerusakan cagar warisan budaya
Robotika  Tanggung jawab untuk tindakan yang dilakukan robot dan
program-program kecerdasan buatan
 Isu kesejahteraan dan keamanan
 Isu-isu etika terkait robot sosial dan yang menyerupai
manusia (humanoid)
 Isu-isu etika terkait kendaraan tanpa awak (misal drones)

22
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

 Penerapan robotika untuk kepentingan militer


Teknik Lingkungan  Isu-isu umum dalam etika lingkungan, seperti tingkat
tanggung jawab bagi generasi mendatang
 Restorasi ekologis
 Isu-isu etika terkait geo-engineering, seperti penambangan
untuk eksplorasi dan produksi air, minyak bumi, atau gas
alam
 Isu-isu etika terkait Teknik Iklim, seperti ancaman tak terlihat
yang berbahaya akibat perubahan iklim
Teknologi Nuklir  Pengembangan senjata nuklir
 Resiko bencana nuklir
 Permasalahan pembuangan limbah nuklir
Nanoteknologi  Resiko kesehatan dan lingkungan
 Isu-isu etika terkait pengobatan dengan teknologi nano
(nanomedicine)
 Distribusi yang adil antara manfaat dan resiko teknologi nano
 Penerapan militer
 Resiko privasi akibat pengawasan molecular dan peralatan
pelacakan lainnya

KASUS PELANGGARAN ETIKA BIDANG INFORMATIKA


Setelah membahas beberapa isu etika penelitian di subbab sebelumnya, sekarang kita
akan melihat beberapa contoh kasus pelanggaran etika yang terjadi di dunia nyata. Untuk
beberapa contoh kasus yang dibahas di sini difokuskan pada kasus pelanggaran etika di
bidang Informatika atau Ilmu Komputer. Kebanyakan contoh kasus ini diambil dari
sebuah situs yang khusus membahas dan menginformasikan pelanggaran etika
penelitian, khususnya penarikan publikasi yang telah dilakukan oleh para peneliti yang
terjadi di berbagai belahan dunia, yakni Retraction Watch. Bagi para pembaca yang
tertarik untuk mempelajari contoh-contoh kasus pelanggaran serupa maupun
pelanggaran etika di bidang atau disiplin ilmu lainnya, bisa langsung membacanya di
https://retractionwatch.com/.
Kasus 1: Self-plagiarism Para Pemimpin Universitas
Kasus plagiasi tidak hanya dapat terjadi pada para peneliti pemula maupun mahasiswa,
namun juga pada para peneliti madya dan utama, serta ahli lainnya yang telah
berpengalaman dalam melakukan banyak penelitian dan mempublikasikan hasil
penelitiannya. Salah satu jenis plagiasi yang umum dijumpai dan mungkin tidak disadari
dilakukan oleh para peneliti adalah self-plagiarism atau plagiasi diri sendiri. Hal ini dapat
terjadi saat peneliti (penulis) melakukan tindakan plagiat terhadap karya tulisnya sendiri
tanpa memberikan rujukan atau sumber secara jelas.
Di akhir tahun 2020 hingga awal 2021, kasus self-plagiarism menerpa rektor terpilih
Universitas Sumatera Utara (USU), Dr Muryanto Amin. Beliau diduga melakukan self-
plagiarism pada beberapa hasil publikasinya sendiri, termasuk dengan menerbitkan hasil
penelitian yang sama dalam dua jurnal berbeda, yang pertama pada jurnal nasional dalam

23
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Bahasa Indonesia dan yang kedua pada jurnal internasional dalam Bahasa Inggris
(Pratama, 2020; Fadhil, 2021). Sebagai akibatnya, beliau dijatuhkan sanksi oleh Dewan
Rektorat USU melalui Surat Keputusan Nomor: 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021 (Pujiati,
2021). Namun, setelah dilakukan pendalaman oleh tim reviu independen yang dibentuk
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Dr Muryanto Amin
dinyatakan tidak bersalah dan tetap dilantik menjadi rektor USU (Nurita, 2021). Akan
tetapi, hal ini memberikan pelajaran bahwa pembaruan terhadap aturan plagiasi di
Indonesia, termasuk self-plagiarism, harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Kasus self-plagiarism juga menerpa pemimpin sebuah universitas di Jepang. Toshiaki
Miyazaki, pemimpin University of Aizu, dinyatakan bersalah telah melakukan self-
plagiarism pada empat karya tulisnya sendiri. Sebagai akibatnya, beliau diberikan sanksi
untuk melakukan pengembalian gaji sebesar 20% dari satu kali gaji yang diterimanya
sebagai pemimpin di universitas tersebut. Pendidikan etika penelitian juga akan kembali
diterapkan di universitas tersebut (Marcus, 2022b).
Kasus 2: Peningkatan Metrik Google Scholar Secara Tidak Wajar
Kasus pelanggaran etika lainnya yang kerap terjadi adalah upaya peningkatan suatu
metrik pengukuran produktivitas dan kualitas publikasi penelitian dari seorang peneliti,
misal metrik Google Scholar atau Scopus, yang dilakukan secara tidak wajar. Salah satu
contoh yang fenomenal adalah tindakan yang dilakukan oleh Juan Manuel Corchado,
seorang ilmuwan Komputer di University of Salamanca di Spanyol. Beliau termasuk
dalam 150 peneliti Spanyol dengan h-index tertinggi menurut Webometrics (Ranking of
researchers in Spain and Spaniards abroad (I): From 1 to 5000, 2022) serta memiliki lebih
dari 33,000 sitasi yang tercatat di Google Scholar (Juan M. Corchado (ORCID:0000-0002-
2829-1829), 2022).
Namun demikian, dari hasil penelusuran yang cukup gampang dilakukan, dapat diketahui
bahwa Corchado melakukan rujukan terhadap karya tulisnya sendiri secara tidak wajar.
Misal, dalam salah satu abstrak konferensi mengenai Internet of Things (IoT) dan
teknologi Blockchain untuk smart cities, beliau diketahui merujuk sekitar 44 referensi ke
karya tulisnya sendiri. Demikian pula, referensi yang sama dapat ditemukan pada abstrak
konferensi lainnya mengenai pemanfaatan kecerdasan buatan dalam teknologi
Pendidikan di Wuhan, China (Chawla, 2022). Jelas kedua konferensi tersebut memiliki
topik pembahasan dan penelitian yang berbeda, dan meskipun Corchado mengikuti
kedua konferensi tersebut, rujukan yang dilakukan oleh dirinya terhadap karya tulisnya
sendiri sangatlah tidak wajar untuk dilakukan.
Tindakan sitasi terhadap karya sendiri (self-citation) oleh peneliti sebenarnya tidak
menjadi suatu permasalahan selama dilakukan secara tepat dan wajar. Hal ini bahkan
patut dilakukan untuk menghindari terjadinya plagiasi diri sendiri (self-plagiarism)
sebagaimana yang dijabarkan di contoh kasus sebelumnya. Namun sekali lagi, dengan
berpegang pada norma dan etika penelitian, termasuk publikasi hasil penelitian, maka
self-citation perlu dilakukan secara wajar. Beberapa jurnal publikasi bereputasi bahkan
telah memberikan pedoman tertulis mengenai jumlah maksimal sitasi karya sendiri yang
dapat diterima oleh redaksi untuk sebuah artikel yang dikirimkan oleh penulis ke jurnal
tersebut. Selain melindungi dan menjaga kualitas publikasi terbitannya, kebijakan ini

24
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

juga berguna untuk menjaga reputasi peneliti atau penulis yang mengirimkan artikel
ilmiahnya ke jurnal tersebut.
Kasus 3: Penarikan 323 Artikel Prosiding dari ACM
Kasus terakhir yang kita bahas di sini merupakan salah satu contoh kasus pelanggaran
etika penelitian yang tidak dilakukan secara langsung oleh peneliti, melainkan oleh
instansi atau organisasi yang terlibat dalam publikasi hasil penelitian para peneliti.
Association for Computing Machinery (ACM) sebagai wadah internasional para peneliti
bidang komputasi mengeluarkan pernyataan resmi untuk menarik 323 artikel prosiding
dari salah satu konferensi ilmiah internasional yang diselenggarakan di Jakarta,
Indonesia pada Agustus 2021. Prosiding konferensi yang dimaksud adalah International
Conference on Information Management and Technology (ICIMTech) 2021 yang
diselenggarakan oleh Universitas Bina Nusantara (BINUS) bekerjasama dengan IEEE
Indonesia Section.
Namun, permasalahannya terletak pada ketidakjelasan proses reviu dan penyelenggara
yang memasukkan seluruh artikel konferensi tersebut di ACM. School of Information
System BINUS University selaku penyelenggara resmi konferensi ilmiah tersebut
menyatakan tidak pernah mengirimkan artikel para kontributor dalam acara konferensi
ICIMTech 2021 ke ACM Digital Library (Oransky, 2022). Pihak panitia resmi tidak
bekerjasama dengan ACM, melainkan dengan organisasi internasional serupa lainnya,
yakni Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE), dalam menyelenggarakan
konferensi tersebut. Demikian pula, seluruh artikel para kontributor dikirimkan dan
diterbitkan oleh IEEE dalam IEEE Xplore. Jumlah artikel yang diterima juga tidak
berjumlah 323 melainkan hanya 158 artikel yang telah melalui tahapan proses reviu dan
diseminasikan secara virtual dalam konferensi tersebut. Prosiding resmi ICIMTech 2021
dapat dilihat dalam tautan IEEE Xplore berikut:
https://ieeexplore.ieee.org/xpl/conhome/9534863/proceeding.
Jika memperhatikan isi prosiding ICIMTech 2021 yang terdapat di ACM pada tautan
https://dl.acm.org/doi/proceedings/10.1145/3465631, memang sudah sepatutnya
seluruh artikel di prosiding ICIMTech 2021 yang diterbitkan di ACM Digital Library
tersebut ditarik dan hanya prosiding ICIMTech 2021 di IEEE Xplore yang dapat diyakini
dan diakui kebenarannya. Dalam hal ini, artinya ACM telah kecolongan dan melakukan
kesalahan dalam menyimpan dan menerbitkan isi prosiding ICIMTech 2021. Kejadian ini
patut menjadi pelajaran bagi para pelaku yang terlibat dalam proses publikasi karya
ilmiah, dalam hal ini prosiding suatu konferensi yang telah dilaksanakan, untuk dapat
melakukan pengecekan kebenaran terkait pelaksanaan acara konferensi, proses reviu,
serta legalitas acara yang dilakukan sebelum menerbitkan prosiding dalam repositorinya
masing-masing.

DO’S – DON’TS
Dari beberapa contoh kasus dunia nyata yang telah dibahas di subbab sebelumnya, kita
mengetahui pentingnya pendidikan dan pengetahuan mengenai etika penelitian bagi
seluruh peneliti, baik peneliti tingkat muda, madya, maupun utama yang telah memiliki

25
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

banyak pengalaman di dunia penelitian. Etika ini menjadi pegangan bagi para peneliti
untuk tetap berada dalam jalur yang benar, meminimalkan kerugian atau resiko, dan
sekaligus memaksimalkan manfaat dari penelitian yang dilakukan.
Satu contoh kasus pelanggaran etika yang fatal terjadi adalah skandal Macchiarini. Paolo
Macchiarini merupakan seorang peneliti selebritis yang sangat populer di masanya
setelah mencetuskan ide trakea buatan (artificial trachea) dari sel punca (stem cells)
pasiennya. Sebagai seorang ahli bedah terkenal, beliau dinyatakan bersalah telah
melakukan pemalsuan informasi dan rekam jejak medis yang berujung pada kematian
beberapa pasien yang ditanganinya (Louet, 2016).
Sebelumnya, tulisan Paolo Macchiarini dan koleganya mengenai trakea buatan ini bahkan
telah diterbitkan di jurnal internasional bereputasi tinggi, the Lancet, pada tahun 2011.
Karya tulisnya bahkan mendapatkan banyak sitasi dari para peneliti lainnya, termasuk
setelah pertimbangan keraguan (expression of concern) akan isi karya tulis tersebut
dinyatakan dalam jurnal tersebut. Setelah skandal ini menguak pada 2016, baru
penyelidikan mendalam atas rekam jejak penelitian dan tulisan Macchiarini dilakukan.
Pada akhirnya, tim redaksi dan editor Lancet menarik kembali karya tulis Macchiarini di
tahun 2018 atas pertimbangan kesalahan yang telah terbukti dilakukan oleh Macchiarini
dalam publikasi karya ilmiahnya tersebut (Oransky, 2018; The Lancet, 2018).
Berkaca dari kasus tersebut, sekali lagi etika penelitian sepatutnya menjadi pedoman
para peneliti dalam melaksanakan penelitian, mulai dari awal sebelum penelitian
dilaksanakan, pada saat penelitian dilakukan, hingga di akhir saat publikasi hasil
penelitian dirampungkan. Tabel 4 menyajikan beberapa panduan mendasar terkait etika
penelitian yang patut (do’s) dan tidak patut (don’ts) untuk dilakukan (Enago Academy,
2021).
Tabel 4. Do’s dan Don’ts (Enago Academy, 2021)

Do’s Don’ts
Menyimpan seluruh rekam jejak aktivitas Melakukan fabrikasi, manipulasi, atau
penelitian yang dilakukan dengan baik mis-representasi data.
dan melaporkan data sebaik dan
seobyektif mungkin.
Menyatakan kepentingan finansial Menipu sponsor penelitian, kolega,
maupun personal yang mungkin dapat maupun komite etik dengan membuat
secara langsung ataupun tidak langsung bias terhadap interpretasi data, proses
mempengaruhi proyek penelitian yang peer review, atau keputusan personal.
dilakukan.
Memperlakukan binatang percobaan Menggunakan data penelitian eksternal
dengan baik dan menghargai nyawa apapun (baik yang sudah diterbitkan
mereka pada waktu digunakan dalam ataupun tidak) tanpa meminta izin atau
penelitian serta mengikuti panduan etika memberikan penghargaan yang sesuai.
yang berlaku.
Menghormati kekayaan intelektual, Mendukung praktek publikasi yang tidak
privasi, dan kerahasiaan serta bertanggung jawab. Tujuan utama Anda
memberikan penghargaan yang sesuai sebagai peneliti adalah untuk memajukan
ilmu pengetahuan dan membagikan

26
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

bagi kontribusi yang diberikan oleh para pengetahuan Anda kepada komunitas
peneliti lainnya. peneliti.

SIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dijabarkan dalam bab ini, kita dapat melihat betapa
pentingnya etika penelitian sebagai pedoman para peneliti dalam melaksanakan
penelitian yang berkualitas dan dapat dipercaya. Dengan menggunakan prinsip dasar
etika penelitian serta fokus pada isu etika di bidang Ilmu Teknik, khususnya Informatika,
etika penelitian dapat memastikan kita, para peneliti, untuk tetap berada di jalur yang
benar.
Namun demikian, tidak jarang pedoman terkait etika penelitian ini juga terasa
mengintimidasi para peneliti dalam melaksanakan penelitiannya. Kerap kita jumpai para
peneliti maupun akademisi yang enggan untuk mempublikasikan hasil penelitiannya
secara luas dengan berbagai alasan, salah satunya adalah kekhawatiran bila ditemukan
kesalahan dalam karya tulisnya yang berakibat pada ditariknya (retracted) karya tulis
tersebut. Di sini, kita cukup kembali mengingat tujuan dari etika penelitian tersebut,
yakni untuk memastikan kita telah melaksanakan penelitian dengan baik dan benar dari
awal hingga akhir penelitian dilakukan. Jikapun ditemukan kesalahan, semestinya hal
tersebut dapat ditemukan di saat proses peer review terhadap karya tulis penelitian yang
telah kita lakukan.
Selain itu, tidak hanya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, konsep etika penelitian
juga terus mengalami perubahan dan perkembangan. Misalnya praktek self-citation yang
bertujuan untuk meningkatkan reputasi para peneliti dengan menambahkan jumlah
sitasi terhadap karya tulis sendiri, belum mendapatkan banyak perhatian oleh para
redaksi jurnal di masa kini. Namun, hal ini bisa jadi jauh berbeda di beberapa tahun
mendatang, saat perhatian penuh akan praktik seperti ini telah mulai mengemuka di
dunia akademis dan penelitian.
Akhir kata, teruslah berusaha dan berupaya untuk menjaga rekam jejak penelitian yang
baik dengan berpegang pada prinsip dasar etika penelitian. Jangan ragu untuk melangkah
karena kontribusi kita, sebanyak atau sedikit apapun pada dunia pengetahuan, dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dan kesejahteraan umat manusia.

REFERENSI
Barrow, J. M., Brannan, G. D. & Khandhar, P. B. (2022). Research Ethics. StatPearls
[Internet]. Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459281/ (2
Mei 2022).
Brey, P. & Jansen, P. (2015). Ethics Assessment in Different Fields Engineering Sciences.
Diakses dari https://satoriproject.eu/media/2.b-Engineering.pdf (2 Mei 2022).
Chawla, D. S. (2022). How critics say a computer scientist in Spain artificially boosted his
Google Scholar metrics, Retraction Watch. Diakses dari

27
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

https://retractionwatch.com/2022/03/25/how-critics-say-a-computer-
scientist-in-spain-artificially-boosted-his-google-scholar-metrics/#more-124555
(30 April 2022).
Enago Academy. (2021). Importance of Research Ethics, Enago. Diakses dari
https://www.enago.com/academy/importance-of-research-ethics/ (1 Mei 2022).
Engber, D. (2006). 101: How did intro classes get their trademark number?, Slate. Diakses
dari https://slate.com/news-and-politics/2006/09/why-are-introductory-
classes-called-101.html (28 April 2022).
Fadhil, H. (2021). Dilakukan Rektor USU Terpilih, Apa Itu Self-plagiarism?. Diakses dari
https://news.detik.com/berita/d-5336255/dilakukan-rektor-usu-terpilih-apa-
itu-self-plagiarism (2 Mei 2022).
Juan M. Corchado (ORCID:0000-0002-2829-1829). (2022). Google Scholar. Diakses dari
https://scholar.google.com/citations?user=j7syrnkAAAAJ&hl=en (30 April
2022).
Louet, S. (2016). Macchiarini scandal: Overstepping the research ethics mark, Euro
Scientist. Diakses dari https://www.euroscientist.com/macchiarini-scandal-
overstepping-research-ethics-mark/ (1 Mei 2022).
Marcus, A. (2022a). Harvard eye researchers have eight papers retracted for lack of ethical
approval, Retraction Watch. Diakses dari
https://retractionwatch.com/2022/03/21/harvard-eye-researchers-have-eight-
papers-retracted-for-lack-of-ethical-approval/#more-124516 (30 April 2022).
Marcus, A. (2022b). University president in Japan self-plagiarized and will forfeit some pay,
Retraction Watch. Diakses dari
https://retractionwatch.com/2022/02/03/university-president-in-japan-self-
plagiarized-and-will-forfeit-some-pay/ (30 April 2022).
Nurita, D. (2021). Buntut Polemik Rektor USU, Kemendikbud Bakal Atur Soal Self-
Plagiarism. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1427617/buntut-
polemik-rektor-usu-kemendikbud-bakal-atur-soal-self-plagiarism/full&view=ok
(2 Mei 2022).
Oransky, I. (2018). The final verdict: Lancet retracts two papers by Macchiarini, Retraction
Watch. Diakses dari https://retractionwatch.com/2018/07/06/the-final-verdict-
lancet-retracts-two-papers-by-macchiarini/ (1 Mei 2022).
Oransky, I. (2022). More than 300 at once: Publisher retracts entire conference
proceedings, Retraction Watch. Diakses dari
https://retractionwatch.com/2022/04/20/more-than-300-at-once-publisher-
retracts-entire-conference-proceedings/#more-124726 (30 April 2022).
Pratama, R. B. (2020). Membedah Self-Plagiarism, Isu yang Menerpa Rektor Terpilih USU.
Diakses dari https://kumparan.com/kumparannews/membedah-self-
plagiarism-isu-yang-menerpa-rektor-terpilih-usu-1uo5agM4jUr (2 Mei 2022).
Pujiati. (2021). Memahami Self Plagiarism Setelah Isu yang Menimpa Rektor Terpilih USU.
Diakses dari https://www.duniadosen.com/self-plagiarism/ (30 April 2022).
Ranking of researchers in Spain and Spaniards abroad (I): From 1 to 5000 (2022)

28
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Webometrics. Diakses dari


https://www.webometrics.info/en/GoogleScholar/Spain (30 April 2022).
Sambiéni, N. E. (2018). Differences and structural weaknesses of institutional
mechanisms for health research ethics: Burkina Faso, Palestine, Peru, and
Democratic Republic of the Congo. BMC Medical Ethics, 19(S1), p. 47. doi:
10.1186/s12910-018-0284-3.
Siagian, C., Habib, M., & Kusumaningrum, S. (2021). Bagaimana melibatkan anak-anak
secara bermakna dalam penelitian?. Diakses dari
https://theconversation.com/bagaimana-melibatkan-anak-anak-secara-
bermakna-dalam-penelitian-164490 (2 Mei 2022).
Smart, J. (2018). Ethical considerations in research and evaluation with children and young
people, Australian Institute of Family Studies. Diakses dari
https://aifs.gov.au/cfca/2018/03/08/ethical-considerations-research-and-
evaluation-children-and-young-people (28 April 2022).
The Lancet. (2018). The final verdict on Paolo Macchiarini: Guilty of misconduct. The
Lancet, 392(10141), p. 2. doi: 10.1016/S0140-6736(18)31484-3.
Weinbaum, C., Landree, E., Blumenthal, M. S., Piquado, T., & Gaviria, C. I. G. (2019). Ethics
in Scientific Research: An Examination of Ethical Principles and Emerging Topics.
Santa Monica, Calif.: RAND Corporation. doi: https://doi.org/10.7249/RR2912.
What Does 101 Mean? (no date). cyberdefinitions.com. Diakses dari
https://www.cyberdefinitions.com/definitions/101 (28 April 2022).

29
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

BAB 3
FALSIFIKASI DAN FABRIKASI DATA DALAM PENELITIAN
MATERIAL KONSTRUKSI
Andre Feliks Setiawan
Universitas Agung Podomoro

RINGKASAN
Penelitian mengenai material konstruksi sangat rentan terhadap tindakan falsifikasi dan
fabrikasi. Hal ini dikarenakan penelitian material konstruksi umumnya dilakukan di
laboratorium dengan melakukan eksperimen atau pengujian material tanpa adanya
pengawasan khusus. Hal ini membuat keleluasaan kepada peneliti dalam melakukan
eksperimen atau pengujian material. Keleluasaan ini dapat menjadi celah bagi beberapa
peneliti yang berniat melakukan pelanggaran dan penyimpangan ilmiah, sehingga
penelitian material konstruksi sangat rentan terhadap falsifikasi dan fabrikasi. Falsifikasi
merupakan suatu rekayasa data dan/atau informasi penelitian secara tidak sah
(mengubah untuk menipu), sedangkan fabrikasi adalah pembuatan data dan/atau
informasi palsu dalam suatu penelitian (membuat untuk menipu). Tindakan falsifikasi
dan fabrikasi dapat dikategorikan sebagai sebuah penipuan. Penyimpangan falsifikasi
dan fabrikasi terjadi dikarenakan adanya perilaku peneliti yang secara sengaja untuk
tidak memenuhi standar etika dan integritas penelitian. Hal tersebut merupakan suatu
perilaku yang tidak etis dan melanggar norma serta etika ilmiah.
Terdapat banyak faktor penyebab terjadinya falsifikasi dan fabrikasi penelitian, di
antaranya adalah keuntungan finansial, usia peneliti, kenaikan jabatan akademik, budaya
penelitian, pengakuan ilmiah, jumlah penulis, dan tekanan publikasi. Tindakan
pencegahan diperlukan untuk menjaga integritas penelitian. Beberapa bentuk
pencegahan yang efektif adalah dengan melakukan pendampingan, pengawasan, serta
meningkatkan kesadaran dan kejujuran peneliti dalam mengungkapkan sumber dana
penelitian, data penelitian, dan menghindari penggunaan metode yang tidak lengkap. Hal
tersebut dapat dilaksanakan untuk mendeteksi kecurangan data penelitian, teknis
eksperimen, dan dapat menjaga kualitas data penelitian. Pemerintah melalui
Kemendikbudristek pun telah turut berupaya untuk menekan kasus falsifikasi dan
fabrikasi yang terjadi di Indonesia. Kemendikbudristek terus berupaya untuk
meningkatkan integritas akademik dengan melakukan pembinaan, evaluasi dan
pengukuran, bahkan membuat klasifikasi dan pelanggaran serta sanksi yang diberikan
untuk pelanggar integritas akademik.

MATERIAL KONSTRUKSI
Material konstruksi merupakan unsur penting dalam menghasilkan suatu bangunan yang
baik dan berkualitas. Pemilihan, spesifikasi, dan kontrol kualitas material konstruksi

30
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

harus dilakukan sebelum dilakukan pembangunan sebuah proyek bangunan. Menurut


Jones & Ashby (2019), material konstruksi harus memenuhi kriteria yang disyaratkan
meliputi:
a) Faktor ekonomi
b) Sifat mekanis
c) Sifat non-mekanis
d) Produksi atau pertimbangan konstruksi
e) Estetika
Selain kriteria-kriteria yang telah disebutkan di atas, “kualitas lingkungan” pun menjadi
hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Pada tahun 1997, terdapat perubahan Kode
Etik American Society of Civil Engineers (ASCE) dengan menambahkan “pembangunan
berkelanjutan” sebagai masalah etika. Pembangunan berkelanjutan atau sustainable
development pada dasarnya mengakui fakta bahwa sebuah desain harus disesuaikan
dengan kebutuhan generasi masa depan. Terdapat kaitan yang erat antara material
konstruksi yang dipilih untuk desain dan pembangunan berkelanjutan atau sustainable
development.
Material yang paling banyak digunakan dalam dunia konstruksi di antaranya adalah baja,
agregat, beton, pasangan bata, aspal, dan kayu (Mamlouk & Zaniewski, 2018). Material-
material utama tersebut pada umumnya tersusun atas beberapa material komponen
penyusun. Sebagai contoh material beton tersusun dari komponen penyusun berupa
semen, agregat halus, agregat kasar, air, serta bahan tambah lainnya atau yang dikenal
dengan istilah additives dan admixtures. Material-material penyusun inilah yang biasa
disebut sebagai material dasar. Sebagian dari material-material tersebut merupakan
material yang diambil dari alam dan persediaannya terbatas. Bila material-material
tersebut terus diambil dan digunakan tentunya akan menyebabkan eksploitasi masal
terhadap alam. Eksploitasi ini perlu dihindari untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan. Dalam usaha meningkatkan pembangunan berkelanjutan atau sustainable
development, penggunaan material agregat dari alam perlu dikurangi dan diperlukan
material pengganti atau substitusi yang dapat menggantikan material-material dasar
tersebut. Oleh karena itu penelitian-penelitian mengenai material baru yang bertujuan
untuk menemukan material pengganti/substitusi terus dilakukan sebagai upaya
meningkatkan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development.

PENELITIAN MATERIAL KONSTRUKSI


Penelitian terkait material konstruksi pada umumnya dilakukan untuk mengetahui
karakteristik serta performa material yang diteliti. Beberapa peneliti tidak memiliki
gambaran mengenai hasil yang akan didapat dari penelitian yang akan dilakukan, namun
tidak jarang juga para peneliti sudah memiliki pengetahuan dan referensi awal dari studi
literatur terkait material yang akan diteliti. Oleh karena itu beberapa peneliti memiliki
prediksi dan ekspektasi akan hasil yang diharapkan dari penelitian yang akan dilakukan.
Hal ini dapat mempengaruhi psikologis peneliti terhadap hasil yang diharapkan sehingga
terdapat kecenderungan peneliti untuk mencapai target yang diharapkan.

31
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Hasil dari pengujian material dasar konstruksi pada umumnya dapat dibagi menjadi 2
(dua) kategori hasil, yaitu hasil penelitian dengan performa material yang baik dan hasil
dengan performa material yang kurang baik (buruk). Jika hasil pengujian dari material
dasar baik, maka material dasar tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan performa
material konstruksi dengan menjadikan material dasar tersebut sebagai material
substitusi ataupun material tambahan. Ketika material dasar tersebut digunakan sebagai
material substitusi maupun material tambahan, dapat terjadi 2 (dua) hasil yang akan
didapatkan. Material dasar tersebut dapat memberikan hasil yang baik dan
meningkatkan performa untuk material utama, namun memungkinkan juga material
dasar tersebut tidak bekerja secara maksimal dengan kombinasi material lainnya
sehingga material dasar tersebut tidak memberikan hasil yang baik (buruk) bagi material
utama. Hasil seperti ini yang sering kali tidak sesuai dengan ekspektasi atau harapan dari
peneliti, sehingga psikologis peneliti tetap memiliki pengaruh yang cukup kuat agar
penelitiannya dapat tetap mencapai target yang diharapkan.

KEWAJIBAN PELAKSANAAN PENELITIAN


Pelaksanaan penelitian dan publikasi ilmiah adalah satu hal yang menjadi kewajiban bagi
seluruh akademisi tanpa terkecuali. Penelitian dan publikasi ilmiah merupakan salah
satu unsur utama dari tridharma perguruan tinggi yang sangat penting untuk
dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat pada persentase komponen penilaian jabatan
akademik atau pangkat dosen seperti terlihat pada Tabel 1.
Dosen/akademisi dituntut untuk dapat meningkatkan daya saing melalui penelitian dan
publikasi ilmiah. Fakta yang terjadi di Indonesia adalah terdapat banyak
dosen/akademisi yang masih hanya berfokus pada pelaksanaan pendidikan (mengajar)
saja. Hal ini membuat kompetensi akademisi/dosen di bidang penelitian untuk
menghasilkan publikasi ilmiah masih sangat lemah (Aristya & Taryono, 2021). Dapat
dilihat pada Tabel 1 bahwa persentase unsur utama pelaksanaan penelitian dalam
penilaian jabatan akademik dosen semakin meningkat dari jabatan asisten ahli hingga
guru besar atau profesor. Setiap akademisi tentunya memiliki goal atau tujuan akhir
untuk menjadi guru besar atau profesor, hal inilah yang mendorong para akademisi
untuk meningkatkan pelaksanaan penelitian dan publikasi ilmiah.
Tabel 1. Persentase komponen penilaian jabatan akademik atau pangkat dosen

Unsur Utama
Pelaksanaan Unsur
Jabatan Pelaksanaan Pelaksanaan
Pengabdian Penunjang
Pendidikan Penelitian
Masyarakat
Asisten Ahli ≥ 55% ≥ 25% ≤ 10% ≤ 10%
Lektor ≥ 45% ≥ 35% ≤ 10% ≤ 10%
Lektor Kepala ≥ 40% ≥ 40% ≤ 10% ≤ 10%
Profesor ≥ 35% ≥ 45% ≤ 10% ≤ 10%

32
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

(Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat


Dosen, 2019)
Selain itu bagi para akademisi yang sudah mendapatkan sertifikat pendidik atau yang
lebih dikenal dengan sertifikasi dosen pun dituntut untuk lebih produktif dalam
melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12/E/KPT/2021
tentang Pedoman Operasional Beban Kerja Dosen mengatur mengenai kewajiban khusus
(berupa kewajiban menulis buku ajar/buku teks atau publikasi ilmiah) bagi dosen yang
dibedakan berdasarkan jabatan fungsional. Setiap dosen memiliki kewajiban khusus
yang harus dipenuhi sesuai dengan jabatannya dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun.
Dengan adanya kewajiban khusus tersebut tentunya seluruh dosen dituntut agar lebih
produktif dalam melaksanakan penelitian dengan kualitas yang lebih baik. Namun
demikian pada praktiknya terdapat pelanggaran dan penyimpangan dalam pelaksanaan
penelitian dan publikasi ilmiah. Bentuk praktik ini merupakan fenomena yang
meresahkan dan dapat berdampak merusak kepercayaan publik terhadap validitas hasil
penelitian. Pelanggaran dan penyimpangan penelitian yang sering terjadi adalah
fabrikasi, falsifikasi, plagiat, kepengarangan tidak sah, konflik kepentingan, dan
pengajuan jamak. Pelanggaran dan penyimpangan penelitian pun dapat berupa rekayasa
data, rekayasa hasil/temuan, ataupun rekayasa kasus, selain itu pelanggaran dan
penyimpangan penelitian yang sering terjadi pun dapat berupa pemalsuan dan distorsi
data maupun hasil/temuan yang dilakukan secara sengaja. Dari pelanggaran dan
penyimpangan tersebutlah muncul istilah falsifikasi dan fabrikasi.

FALSIFIKASI DAN FABRIKASI


Pelanggaran dan penyimpangan ilmiah yang cukup banyak terjadi dalam material
konstruksi adalah fabrikasi dan falsifikasi. Secara umum falsifikasi merupakan tindakan
pelanggaran dan penyimpangan penelitian dengan mengubah informasi yang
sebenarnya atau sesungguhnya. Sedangkan fabrikasi adalah suatu tindakan perlanggaran
dan penyimpangan dalam penelitian dengan menambahkan data dan/atau informasi
yang sebelumnya tidak ada. Menurut Aristya & Taryono (2021), falsifikasi dan fabrikasi
merupakan sebuah fenomena yang dapat mengancam peneliti sebagai pencari kebenaran
objektif. Hal ini sangat berkaitan erat dengan psikologis peneliti ketika peneliti
mendapatkan data dan hasil yang tidak sesuai dengan ekspektasi atau harapan penulis,
hal tersebut merupakan perilaku yang tidak etis yang dilakukan oleh peneliti.
Penyimpangan fabrikasi dan falsifikasi penelitian terjadi dikarenakan adanya perilaku
seorang peneliti yang secara sengaja mengabaikan etika dan integritas akademik (Fanelli,
2009). Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dilakukan oleh peneliti untuk
kepentingan pribadi dan akan berdampak merugikan banyak pihak lain. Godecharle dkk.
(2013) menemukan adanya publikasi ilmiah dengan menggunakan data palsu dalam
skala besar. Hal ini berpotensi menyebabkan pemborosan sumber pendanaan penelitian,
teknologi, dan dapat menimbulkan risiko bagi orang banyak. Persaingan dalam
perebutan hibah penelitian maupun kenaikan pangkat (jabatan akademik) dosen dinilai

33
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

berdasarkan prestasi publikasi, hal ini membuat karya ilmiah sangat rentan
dimanipulasi.
Praktik manipulasi data dilakukan untuk memberikan data dan hasil/temuan sesuai
dengan keinginan dan mendukung harapan peneliti, hal ini merupakan tindakan yang
dilakukan untuk kepentingan pribadi (Steneck, 2006). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Tijdink dkk. (2014), terdapat 17% peneliti yang telah melakukan praktik
falsifikasi dan fabrikasi dengan menambahkan data maupun menghilangkan data untuk
tujuan memperbanyak publikasi ilmiah, memperoleh dana hibah, serta mempercepat
kenaikan pangkat dalam karier.
Falsifikasi
Menurut Adeleye & Adebamowo (2012), falsifikasi adalah suatu tindakan mengubah
proses, bahan, ataupun peralatan penelitian, serta merekam/mencatat/melaporkan hasil
penelitian palsu. Dengan demikian catatan/rekaman data hasil penelitian tersebut tidak
menggambarkan hasil yang sesungguhnya. Secara lebih ringkas falsifikasi dapat di
definisikan sebagai perekayasaan data serta informasi penelitian secara tidak sah dalam
penelitian (mengubah untuk menipu). Tindakan falsifikasi sangat sulit dideteksi, karena
praktik ini dilakukan sangat halus dan hampir tidak terlihat yang dihasilkan dari
manipulasi yang cerdik, oleh karena itu tindakan ini sangat sulit dibuktikan. Hanya
peneliti yang bersangkutan yang mengetahui secara pasti apakah mereka atau anggota
tim peneliti yang melakukan falsifikasi. Falsifikasi mungkin dilakukan oleh peneliti itu
sendiri, pengelola data (data manager), laboran, atau asisten laboran yang mencoba
menyenangkan atasan dengan memberikan data diinginkan dan diharapkan oleh atasan
ataupun peneliti itu sendiri (Zietman, 2013).
Praktik Falsifikasi
Tindakan falsifikasi banyak dijumpai pada penelitian eksperimen yang dilakukan di
laboratorium. Praktik falsifikasi pada umumnya dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat
secara langsung pada eksperimen di laboratorium. Tindakan falsifikasi dapat dilakukan
oleh seorang dosen yang sedang meneliti mengenai material baru sebagai alternatif atau
pengganti material yang biasa digunakan. Peneliti cenderung ingin mendapatkan hasil
yang baik dan menganggap hasil yang baik adalah hasil yang membuat performa suatu
material meningkat. Namun pada kenyataannya hasil penelitian yang baik tidak selalu
menghasilkan performa material menjadi lebih baik juga. Hasil penelitian yang baik
dapat menghasilkan performa material yang tidak baik juga. Sebagai contoh, jika suatu
penelitian eksperimen dilakukan dengan menggunakan material dasar baru untuk
digunakan sebagai salah satu komponen bahan tambahan maupun bahan substitusi, dan
hasil dari eksperimen tersebut menghasilkan performa material utama yang menurun,
maka eksperimen penggunaan material dasar baru tersebut tidak efektif dan tidak cocok
digunakan pada material utama. Hasil penelitian ini bukanlah suatu hasil penelitian yang
tidak baik atau buruk, hasil ini menandakan bahwa material dasar tersebut tidaklah
cocok dan tidak efektif digunakan pada material utama. Hasil penelitian tersebut dapat
dikatakan sebagai hasil penelitian yang baik, karena dengan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa material tersebut tidak efektif digunakan pada material utama
sehingga para peneliti selanjutnya maupun industri konstruksi tidak menggunakan

34
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

material tersebut. Hal ini akan sangat berbahaya jika terjadi tindakan falsifikasi dengan
memanipulasi hasil eksperimen tersebut sehingga menghasilkan performa material
utama menjadi lebih baik. Tindakan ini sangat merugikan terhadap penelitian-penelitian
berikutnya bahkan berdampak negatif pada industri konstruksi.
Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya pengaruh dari psikologis peneliti yang
bersangkutan. Peneliti tersebut merasa dan menilai bahwa penelitian yang telah
dilakukannya menghasilkan luaran yang buruk, sehingga muncul rasa takut dalam
melaporkan hasil penelitian dengan data yang sebenarnya. Secara psikologis peneliti
tersebut merasa hasil penelitiannya tidak bagus jika melaporkan hasil yang
sesungguhnya dan lebih memilih untuk melakukan tindakan falsifikasi.
Contoh dari praktik falsifikasi data dalam penelitian konstruksi dapat dilihat pada Tabel
2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa peneliti mengganti 3 data agar hasil penelitian lebih
sesuai dengan ekspektasi atau harapan (hipotesis awal).
Tabel 2. Contoh falsifikasi data

Umur Kuat Tekan Kuat Tekan


Benda Uji
(Hari) (f’c – MPa) (f’c – MPa)
7 18,3 18,3
14 25,1 24,2
Spesimen Kontrol
21 29,2 29,2
28 34,7 34,7
7 18,7 18,7
14 24,6 24,6
Spesimen Baru
21 27,8 30,2
28 31,2 37,1
Keterangan Data Sebenarnya Falsifikasi Data

Fabrikasi
Fabrikasi adalah proses pembuatan dan/atau penambahan data, pengamatan
(observasi), atau karakterisasi yang sebenarnya tidak pernah terjadi dalam
pengumpulan data atau melakukan eksperimen (Schienke, 2021). Secara lebih ringkas
fabrikasi dapat di definisikan sebagai pembuatan data dan/atau informasi palsu dalam
penelitian (membuat untuk menipu). Praktik fabrikasi dapat dijumpai ketika peneliti
sudah mendapatkan hasil eksperimen, dan peneliti tersebut ingin membuat pernyataan
atau klaim mengenai hasil penelitian yang belum lengkap/tuntas dengan menggunakan
asumsi atau data palsu. Menurut Aristya & Taryono (2021), fabrikasi dilakukan dengan
membuat data dan/atau informasi yang sebenarnya tidak pernah ada tetapi
melaporkannya dalam karya ilmiah. Data penelitian yang di laporkan tersebut
sebenarnya tidak pernah dilakukan dan hanya secara artifisial saja.

35
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Praktik Fabrikasi
Pada penelitian yang dilakukan oleh Adeleye & Adebamowo (2012) menyatakan bahwa
salah satu faktor dalam penyimpangan penelitian adalah terjadinya pemalsuan data
dalam penelitian. Hal ini dikarenakan oleh keadaan yang mendesak (urgensi) untuk
penerbitan artikel penelitian, sehingga peneliti mengorbankan etika penelitian untuk
kepentingan peneliti. Urgensi pelaku untuk penerbitan artikel penelitian ini pun terjadi
karena adanya tekanan ataupun tuntutan yang disyaratkan untuk kenaikan jabatan serta
kewajiban khusus yang harus dipenuhi oleh pelaku.
Selain itu peneliti dapat melakukan fabrikasi ketika peneliti tidak dapat mengidentifikasi
dengan benar keseluruhan data dan semua kriteria yang tercantum sehingga terjadi
praktik fabrikasi untuk membuat data penelitian secara lengkap. Hal tersebut terjadi
karena adanya tahapan pengujian atau eksperimen yang mungkin terlewat oleh peneliti,
sehingga peneliti menambahkan data yang terlewat yang sebenarnya tidak dilakukan
dalam eksperimen/penelitian. Hal ini pun tentunya sangat merugikan banyak pihak
karena hasil penelitian tersebut sebenarnya tidak valid dan hanya berupa asumsi atau
data palsu.
Tabel 3 menunjukkan contoh praktik falsifikasi data dalam penelitian material
konstruksi. Dari data yang disajikan pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa terjadi Tindakan
falsifikasi dengan membuat data berupa kuat tarik lentur tanpa melakukan pengujian
kuat tarik lentur.
Tabel 3. Contoh fabrikasi data

Umur Kuat Tekan Kuat Tarik Lentur


Benda Uji
(Hari) (f’c – MPa) (fr – MPa)
7 18,3 3,61
14 25,1 4,12
Spesimen Kontrol
21 29,2 4,56
28 34,7 4,97
7 18,7 3,72
14 24,6 4,35
Spesimen Baru
21 27,8 4,62
28 31,2 5,21
Keterangan Data Sebenarnya Fabrikasi Data

FAKTOR PENYEBAB FALSIFIKASI & FABRIKASI


Praktik pelanggaran dan penyimpangan penelitian sebagian besar dipengaruhi oleh
motivasi pelaku itu sendiri untuk mencari keuntungan serta kurangnya data penelitian.

36
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Penyimpangan atau pelanggaran penelitian secara individu disebabkan oleh perilaku


yang tidak etis, dan melanggar norma serta etika ilmiah. Faktor-faktor penyebab
penyimpangan atau pelanggaran penelitian dan publikasi ilmiah diantaranya adalah:
a) Keuntungan finansial
Salah satu faktor pendorong penyebab adanya praktik falsifikasi dan fabrikasi
yang diungkapkan oleh George (2018) adalah adanya keuntungan finansial secara
langsung maupun tidak langsung terhadap dana penelitian. Hal ini terjadi karena
adanya ambisi peneliti untuk mendapatkan hibah penelitian sehingga peneliti
melakukan pelanggaran atau penyimpangan penelitian demi mendapatkan hibah
penelitian.
b) Usia peneliti
Usia peneliti menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
penyimpangan atau pelanggaran penelitian. Menutur Fanelli dkk. (2015), peneliti
dengan usia yang lebih muda berisiko lebih tinggi dalam melakukan falsifikasi dan
fabrikasi. Hal ini dikarenakan kurangnya pengalaman yang dapat mengakibatkan
kesalahan dalam penelitian serta kemudahan akses internet sehingga peneliti usia
muda dapat dengan mudah mendapatkan data serupa terkait penelitian yang
dilakukan.
c) Kenaikan jabatan akademik
Adanya target dalam kenaikan jabatan akademik pun menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan peneliti melakukan tindakan falsifikasi dan fabrikasi. Peneliti
melakukan pelanggaran atau penyimpangan penelitian untuk memperbanyak dan
mempercepat proses publikasi yang tentunya mempercepat proses kenaikan
jabatan akademik. Hal ini tentunya bertentangan dengan etika penelitian yang
seharusnya dilaksanakan oleh para peneliti.
d) Budaya penelitian
Setiap institusi tentunya memiliki budaya penelitian yang dapat mempengaruhi
budaya peneliti yang berada dalam institusi tersebut. Van Dalen & Henkens
(2012), menyatakan pada beberapa budaya penelitian terdapat pemikiran yang
menekankan adanya publikasi dan hanya berfokus pada kuantitas penelitian
dibandingkan kualitas penelitian itu sendiri. Budaya tersebut tentunya cukup erat
kaitannya dengan tuntutan publikasi sehingga budaya semacam ini dapat
mempengaruhi terjadinya penyimpangan atau pelanggaran penelitian.
e) Pengakuan ilmiah
Faktor penyebab adanya tindakan falsifikasi dan fabrikasi pun dapat disebabkan
dari unsur psikologis dari peneliti itu sendiri. Salah satu unsur psikologi tersebut
adalah kebutuhan pengakuan ilmiah dari beberapa peneliti. Terdapat beberapa
peneliti yang merasa dirinya belum diakui dengan penelitian dan publikasi ilmiah
yang telah dihasilkan. Hal inilah yang memicu psikologis peneliti sehingga peneliti
melakukan falsifikasi dan fabrikasi untuk meningkatkan jumlah publikasi bahkan
membuat penelitian yang dianggap berdampak. Dengan demikian peneliti
mengharapkan adanya timbal balik berupa pengakuan ilmiah dari peneliti-
peneliti lainnya.
f) Jumlah penulis

37
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Jumlah penulis dalam sebuah artikel ilmiah pun merupakan salah satu faktor
terjadinya penyimpangan atau pelanggaran penelitian. Menurut Sun (2013),
kenaikan rata-rata jumlah penulis pada sebuah artikel dapat meningkatkan
probabilitas pelanggaran dan penyimpangan penelitian. Hal ini dikarenakan
jumlah peneliti yang terlibat dalam sebuah penelitian lebih banyak dan
menyebabkan probabilitas terjadinya praktik falsifikasi dan fabrikasi lebih tinggi
dan lebih sulit di deteksi dibandingkan dengan jumlah penulis yang lebih sedikit
dalam satu penelitian/publikasi ilmiah.
g) Tekanan Publikasi
Secara psikologis, tekanan atau tuntutan untuk melakukan publikasi ilmiah
menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya penyimpangan atau pelanggaran
penelitian. Terdapat 47 peneliti yang mengisi survei pada penelitian yang
dilaksanakan oleh Tijdink dkk. (2014) mengaku telah melakukan penyimpangan
atau pelanggaran penelitian termasuk di antaranya praktik falsifikasi dan
fabrikasi data untuk tujuan publikasi ilmiah. Hal ini tentunya didorong dengan
adanya tuntutan publikasi yang menjadi kewajiban peneliti sehingga peneliti
harus memenuhi kewajiban tersebut.

PENCEGAHAN PRAKTIK FALSIFIKASI & FABRIKASI


Sudah sepatutnya seluruh peneliti memperhatikan etika penelitian dan publikasi ilmiah.
Peneliti seharunya tidak melakukan falsifikasi (mengubah data) dan fabrikasi (membuat
data yang sebenarnya tidak pernah ada). Penyimpangan dan pelanggaran tersebut
berpotensi mengurangi pondasi ilmu pengetahuan, kemauan saling berbagi gagasan,
serta dapat mengurangi manfaat kerjasama ilmiah.
Tindakan pencegahan diperlukan untuk menjaga integritas penelitian. Beberapa bentuk
pencegahan yang efektif adalah dengan melakukan pendampingan, pengawasan, serta
meningkatkan kesadaran dan kejujuran peneliti dalam mengungkapkan sumber dana
penelitian, data penelitian, dan menghindari penggunaan metode yang tidak lengkap
(Zigmond & Fischer, 2002). Selain hal tersebut pencegahan praktik falsifikasi dan
fabrikasi dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran serta peran etika penelitian,
pendampingan, dan pengawasan. Hal tersebut dapat dilaksanakan untuk mendeteksi
kecurangan data penelitian, teknis eksperimen, dan dapat menjaga kualitas data
penelitian (Adams & Pimple, 2005).
Tindakan falsifikasi dan fabrikasi dapat dikategorikan sebagai sebuah penipuan.
Penipuan memiliki kaitan yang erat dengan kesalahan, segala bentuk penipuan adalah
sebuah kesalahan, tetapi tidak semua kesalahan adalah penipuan. Penipuan selalu
mengandung niat, sementara kesalahan mencakup berbagai kegiatan, mulai dari
kecerobohan, kekeliruan, hingga tindakan penipuan yang disengaja. Suatu tindakan
penipuan seharusnya dilaporkan dan diselidiki sepenuhnya (Barrett, 2006). Hal ini akan
menimbulkan efek jera kepada para pelaku penipuan.

38
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

PERAN PEMERINTAH
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah
turut berupaya untuk menekan kasus falsifikasi dan fabrikasi yang terjadi di Indonesia.
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan integritas akademik dengan melakukan
pembinaan, evaluasi dan pengukuran, bahkan membuat klasifikasi dan pelanggaran serta
sanksi yang diberikan untuk pelanggar integritas akademik. Salah satu unsur yang
terkandung di dalamnya adalah mengenai penyimpangan falsifikasi dan fabrikasi yang
merupakan kecurangan akademik.
Falsifikasi dan fabrikasi dapat terjadi berupa 3 jenis objek, yaitu data, gambar, dan
referensi yang digunakan pada karya ilmiah. Oleh karena itu tingkat penyimpangan
falsifikasi dan fabrikasi dapat ditentukan berdasarkan kombinasi dari beberapa jenis
penyimpangan atau pelanggaran. Tingkat penyimpangan terhadap integritas akademik
dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat ringan, sedang, dan berat (Anjungan
Integritas Akademik Indonesia, 2019). Tingkat penyimpangan tersebut disusun secara
berjenjang seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Tingkat penyimpangan falsifikasi dan fabrikasi

Poin Jenis Penyimpangan Falsifikasi dan Fabrikasi


Tingkat
Penyimpangan Data Gambar Referensi
Ringan 10 – 100 1 – 10% 1 – 10% 1 – 10%
Sedang 110 – 500 11 – 50% 11 – 50% 11 – 50%
Berat 510 – 1000 51 – 100% 51 – 100% 51 – 100%
(Anjungan Integritas Akademik Indonesia, 2019)
Tingkat penyimpangan integritas akademik falsifikasi dan fabrikasi dibuat setara karena
kedua penyimpangan tersebut sering muncul bersamaan. Sanksi untuk jenis
penyimpangan falsifikasi dan fabrikasi dibagi menjadi 3 jenis objek, yaitu data, gambar,
dan referensi; sehingga sanksi poin maksimal untuk penyimpangan falsifikasi dan
fabrikasi adalah 3000 poin (3 x 1000 poin).
Sebagai ilustrasi, untuk menentukan tingkat penyimpangan terhadap integritas
akademik dapat melibatkan falsifikasi dan/atau fabrikasi 15% data (150 poin), 5%
gambar (50 poin), dan 10% referensi (100 poin). Dalam kondisi demikian, penentuan
tingkat penyimpangan terhadap integritas akademik diakumulasikan menjadi satu skor
gabungan, yaitu 300 poin.
Seluruh masyarakat dapat melaporkan penyimpangan atau pelanggaran integritas
akademik melalui portal Anjungan Integritas Akademik Indonesia (ANJANI). Laporan
yang diterima akan ditindaklanjuti oleh Majelis Kehormatan Integritas Akademik, yang
merupakan pihak yang dipercaya sekaligus berwenang menindaklanjuti laporan atau
dugaan adanya penyimpangan terhadap integritas akademik oleh dosen, mahasiswa,
atau tenaga kependidikan.

39
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

REFERENSI
Adams, D., & Pimple, K. D. (2005). Research misconduct and crime lessons from criminal
science on preventing misconduct and promoting integrity. Accountability in
Research, 12(3). https://doi.org/10.1080/08989620500217495
Adeleye, O. A., & Adebamowo, C. A. (2012). Factors associated with research wrongdoing
in Nigeria. Journal of Empirical Research on Human Research Ethics, 7(5).
https://doi.org/10.1525/jer.2012.7.5.15
Anjungan Integritas Akademik Indonesia (ANJANI). (2019). Fabrikasi dan Falsifikasi.
https://anjani.kemdikbud.go.id/contents/fabrikasi-dan-falsifikasi-22212954
Aristya, V. E., & Taryono. (2021). Prinsip Penting Publikasi Ilmiah dan Pencegahan
Falsifikasi Fabrikasi. REFLEKSI EDUKATIKA: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 11(2), 178–
189.
Barrett, J. (2006). Clinical Research Fraud. Research Ethics, 2(4).
https://doi.org/10.1177/174701610600200405
Fanelli, D. (2009). How many scientists fabricate and falsify research? A systematic
review and meta-analysis of survey data. PLoS ONE, 4(5).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0005738
Fanelli, D., Costas, R., & Larivière, V. (2015). Misconduct Policies, Academic Culture and
Career Stage, Not Gender or Pressures to Publish, Affect Scientific Integrity. PLOS
ONE, 10(6), e0127556. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0127556
George, S. L. (2018). Research misconduct and data fraud in clinical trials: Prevalence and
causal factors. In Getting to Good: Research Integrity in the Biomedical Sciences.
https://doi.org/10.1007/s10147-015-0887-3
Godecharle, S., Nemery, B., & Dierickx, K. (2013). Guidance on research integrity: No
union in Europe. The Lancet, 381(9872). https://doi.org/10.1016/S0140-
6736(13)60759-X
Jones, D. R. H., & Ashby, M. F. (2019). Engineering materials 1: An introduction to
properties, applications and design. In Engineering Materials 1: An Introduction to
Properties, Applications and Design. https://doi.org/10.1016/C2015-0-04446-X
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 12/EKPT/2021 tentang Pedoman Operasional Beban Kerja
Dosen.
Mamlouk, M. S., & Zaniewski, J. P. (2018). Materials for Civil and Construction Engineers in
SI Units, 4th Edition. Pearson Prentice Hall.
DIKTI. (2019). Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan
Akademik/Pangkat Dosen. Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan DIKTI
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Jakarta.
Schienke, E. W. (2021). Ethical Dimensions of Systems Research. https://www.e-
education.psu.edu/bioet533/node/3
Steneck, N. H. (2006). Fostering integrity in research: Definitions, current knowledge, and

40
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

future directions. Science and Engineering Ethics, 12(1).


https://doi.org/10.1007/pl00022268
Sun, Y. C. (2013). Do journal authors plagiarize? Using plagiarism detection software to
uncover matching text across disciplines. Journal of English for Academic Purposes,
12(4). https://doi.org/10.1016/j.jeap.2013.07.002
Tijdink, J. K., Verbeke, R., & Smulders, Y. M. (2014). Publication pressure and scientific
misconduct in medical scientists. Journal of Empirical Research on Human Research
Ethics, 9(5). https://doi.org/10.1177/1556264614552421
Van Dalen, H. P., & Henkens, K. (2012). Intended and unintended consequences of a
publish-or-perish culture: A worldwide survey. Journal of the American Society for
Information Science and Technology, 63(7). https://doi.org/10.1002/asi.22636
Zietman, A. L. (2013). Falsification, fabrication, and plagiarism: The unholy trinity of
scientific writing. International Journal of Radiation Oncology Biology Physics, 87(2).
https://doi.org/10.1016/j.ijrobp.2013.07.004
Zigmond, M. J., & Fischer, B. A. (2002). Beyond fabrication and plagiarism: The little
murders of everyday science. Science and Engineering Ethics, 8(2).
https://doi.org/10.1007/s11948-002-0024-3

41
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

BAB 4
AUTO PLAGIAT (SELF PLAGIARISM) DALAM ETIKA
PENELITIAN: JENIS, SANKSI, DAN PENCEGAHANNYA
Sri Sulastri
Universitas Agung Podomoro

RINGKASAN
Pemenuhan kebutuhan hasil luaran dari kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi
menjadikan dosen dan mahasiwa wajib untuk melakukan penelitian dan menerbitkan
hasil penelitian tersebut. Dalam menerbitkannya, mahasiswa dan dosen harus
menjunjung tinggi integritas akademik seperti kejujuran, keadilan, kepercayaan,
menghormati, dan bertanggungjawab. Terdapat banyak jenis kegiatan yang dapat
mengikis integritas akademik seperti halnya plagiarisme. Kegiatan plagiarisme
merupakan perilaku ketidakjujuran, rendahnya rasa hormat, dan tidak
bertanggungjawab terhadap penggunaan karya orang lain. Plagiarisme tidak hanya
terjadi terhadap karya orang lain, namun dapat terjadi pada karya sendiri yang disebut
self plagiarism atau auto plagiat. Salah satu penyebab terjadinya self plagiarism adalah
ketidakpahaman tentang peraturan penerbitan dimana karya yang telah diterbitkan
dapat beralih kepemilikannya. Dengan demikian penulis tidak lagi dapat semena-mena
memperlakukan tulisannya sendiri, artinya harus tetap mengedepankan kaidah-kaidah
penulisan agar terhindar dari berbagai jenis plagiarisme.

PENDAHULUAN
Pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi telah
mengeluarkan aturan tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang terangkum
dalam Permenristek Dikti Nomor 44 Tahun 2015, di mana di dalamnya mengatur tentang
standar penelitian yang wajib dilaksanakan oleh dosen sebagai salah satu tugas dari
Tridharma Perguruan Tinggi selain pembelajaran dan pengabdian kepada masyarakat.
Ruang lingkup dalam standar tersebut mencakup hasil, isi, proses, penilaian, peneliti,
pengelolaan penelitian, sarana dan prasarana, dan pendanaan dan pembiayaan
penelitian. Setiap cakupan membahas secara mendetil standar-standar yang harus
dipenuhi. Standar ini juga mengatur tentang hasil penelitian mahasiswa dalam rangka
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan daya saing bangsa yang dimuat dalam Pasal 44 ayat (4). Standar ini
menjelaskan bahwa pelaksana penelitian adalah dosen dan mahasiswa. Dosen dan
mahasiswa dalam melaksanakan penelitian seperti yang telah diatur dalam standar di
atas, harus memperhatikan dan menjunjung tinggi integritas akademik yaitu kejujuran,
keadilan, kepercayaan, menghormati, dan tanggungjawab. Integritas akademik

42
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

merupakan cerminan moral sebuah perguruan tinggi. Hal ini diperkuat oleh pendapat
Rohamnu (2017) yang menjelaskan bahwa selain untuk menjunjung tinggi moral juga
menunjukkan integritas akademik dan menjadi tanggung jawab sivitas akademika dalam
mencari ilmu dan kebenaran dengan mengatasnamakan kejujuran, keadilan, rasa saling
menghargai, kepercayaan dan tanggungjawab. Sikap yang bertentangan dengan
integritas akademik disebut academic misconduct seperti penggunaan karya orang lain
tidak sesuai kaidah (plagiarism), perilaku unfair dalam ujian atau tes (cheating),
penyalahgunaan informasi dan sitasi (fabrication), pemanipulasian data dan proses
penelitian (falsification), dan membantu tindak kecurangan (facilitation of academic
dishonesty).

Penggunaan karya orang lain secara tidak etis merupakan salah satu bentuk
ketidakjujuran dalam proses penulisan hasil penelitian. Hal ini menjadi sangat umum dan
lumrah. Plagiat atau plagiarisme merupakan hal yang sangat mungkin dilakukan oleh
setiap sivitas akademika. Sosialisasi yang masih kurang membuat pemahaman tentang
plagiarisme masih awan bagi sebagian orang. Selain itu, hal ini juga didukung oleh
kemudahan dalam mendapatkan informasi baik menemukannya maupun
menggunakannya. Klik, copy, dan paste karya orang lain sangat dimungkinkan tanpa
memikirkan akibatnya ada orang lain sebagai pemilik tulisan yang dirugikan atau sering
disebut perilaku plagiarisme. Begitu pun perlakuan terhadap karya ilmiah milik sendiri
dapat dilakukan dengan semena-mena dalam penggunaanya. Padahal kegiatan tersebut
masuk ke dalam jenis tindakan plagiarisme dalam kategori self plagiarism atau auto
plagiat. Jenis plagiat ini masih harus terus disosialisasikan secara intensif dan persuasif
kepada sivitas akademika karena hal ini juga berkaitan dengan kaidah atau aturan dalam
penerbitan di mana ketika karya ilmiah sudah diterbitkan maka akan berpindah hak
ciptanya kepada penerbit sehingga penulis tidak dapat semena-mena dalam
menggunakan tulisannya tetap harus mengikuti kaidah penulisan secara etis. Perilaku-
perilaku yang menyimpang dari integritas akademik dapat dicegah dengan melakukan
beberapa upaya. Perguruan tinggi sebagai institusi memiliki peran penting dalam
pencegahan tersebut. Selain itu juga terdapat beberapa program strategis yang dapat
meminimalisir tindakan tersebut.

PLAGIARISME
Plagiarisme merupakan salah satu poin penting yang termasuk dalam cakupan etika
penelitian. Tidak hanya terbatas pada jenis bidang keilmuan tertentu, namun
diberlakukan untuk seluruh bidang keilmuan. Plagiarisme memiliki definisi yang
beragam, benang merahnya adalah perilaku yang tidak terpuji karena telah
memperlakukan karya orang lain tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang berlaku.
Definisi plagiarisme memiliki beberapa arti di mana semuanya menunjukkan pada
perilaku yang negatif. Plagiarisme diartikan sebagai tindakan mencuri dan menyebarkan
ide atau kata-kata orang lain sebagai milik sendiri, menggunakan hasil karya orang lain
tanpa mencantumkan sumbernya, melakukan pencurian sastra, menyajikan sebagai ide

43
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

atau produk baru dan asli yang berasal dari sumber yang sudah ada, serta proses
penyalinan karya orang lain yang melanggar hak cipta (Merriam-websiter dictionary;
Cambridge dictionary; Kamus Besar Bahasa Indonesia; 2022).

Definisi dari beberapa kamus tersebut, secara harfiah plagiarisme atau plagiat berupa
perilaku atau perbuatan atau proses atau praktik penyajian, pencurian, penyebaran,
penggunaan, penjiplakan karya orang lain ke dalam karya kita, sebagian atau seluruhnya
tanpa mencantumkan sumbernya dan termasuk pada pelanggaran hak-hak pemilik karya
tersebut. Hak penulis atau pemilik karya adalah pengakuan atas karyanya, lebih spesifik
bagi seorang akademisi menjadi pengakuan yang memiliki nilai ketika karya ilmiahnya
digunakan oleh orang lain atau disitasi. Di Indonesia karya yang disitasi dapat memiliki
nilai cum untuk kenaikan jenjang jabatan akademik dan akreditasi program studi
maupun institusinya.

Secara etimologi, istilah plagiat atau plagiarisme yang sering ditulis dalam beberapa
referensi diambil dari beberapa bahasa seperti Bahasa Latin yaitu Plagiarus artinya
penculik; atau Plagium artinya sebuah penculikan. Bahasa Yunani yaitu Plagium artinya
menculik, dan Bahasa Perancis yaitu Plagiat - istilah ini lebih sering digunakan dalam
Bahasa Indonesia artinya pengambilan karya orang lain seolah-olah menjadi karya
sendiri (Harliansyah, 2017; KBBI). Keseluruhan istilah yang diambil dari berbagai bahasa
menujukkan bahwa istilah plagiat atau plagiarisme mengarah pada perbuatan negatif
dan membahayakan. Secara sinonim pun istilah plagiat atau penculikan merujuk pada
perilaku yang tidak baik seperti pencuri, maling, pengutil, dan lain-lain (Thesaurus
Indonesia, 2021).

Selain itu juga terdapat definisi plagiarisme berdasarkan pandangan para pakar yang
telah dikembangkan berdasarkan konteks dan pengalaman di lapangan namun tetap
tidak terlepas dari etimologi plagiarisme itu sendiri. Pandangan para pakar menyiratkan
pada perilaku peneliti atau penulis yang tidak pantas dan tidak dibenarkan karena telah
melakukan tindakan pecurian dan penipuan atas karya orang lain yang jelas dilarang dan
melanggar hukum. Menurut Adhikari (2020), dalam konteks medis perilaku ini sudah
umum dilakukan di kalangan mahasiswa kedokteran hingga dokter senior di mana
melakukan peminjaman ide, penjelasan teori atau tulisan seseorang tanpa memberikan
referensi yang tepat. Terutama bagi penulis muda dan baru harus mengetahui kapan dan
bagaimana membuat kutipan referensi sehingga terhindar dari plagiat. Hal ini juga senada
dengan pendapat Wibowo (2012) di mana perilaku plagiarisme merupakan perilaku
yang terlarang karena di dalamnya terdapat ketidakjujuran dalam memperlakukan karya
orang lain baik itu pencurian karya atau pengakuan karya orang lain sebagai karya
sendiri. Pencurian karya orang lain tidak hanya sebatas pencurian ide, teori, karya sastra,
tetapi sering terjadi pada terbitan karya mahasiswa, artikel jurnal, dan buku (Roig, 2015).

Terdapat beberapa istilah dengan plagiarisme seperti ketidakjujuran, pencurian,


penipuan, penggunaan tanpa menyebutkan referensi yang tepat erat kaitannya dengan
etika penulisan dan integritas akademik. Menurut Harliansyah (2017), isu sentral dari
plagiarism adalah adanya ketidaketisan (unethical) dan ketidakjujuran akademik

44
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

(academic dishonesty) dalam penggunaan karya orang lain berupa tidak memberikan
kredit dan atribusi pemilik karya tersebut. Dari definisi berdasarkan pandangan pakar
dapat disimpulkan bahwa plagiarisme merupakan perbuatan atau tindakan pengambilan
karya orang lain secara tidak etis seolah-olah milik sendiri dan merupakan tindakan yang
melanggar. Karya orang lain tidak hanya terbatas pada tulisan, pemikiran, ide, tetapi
seluruh karya seperti karya sastra, film, dan karya lainnya baik yang dipublikasikan mau
pun tidak dipublikasikan.

Tindakan plagiarisme di Indonesia mendapat perhatian khusus dari lembaga


pemerintahan. Melalui Kementerian Pendidikan Nasional diterbitkan Permendiknas No.
17 Tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di perguruan tinggi.
Dalam peraturan ini terdapat definisi plagiat yaitu perbuatan secara sengaja atau tidak
sengaja dalam memperoleh atau mencoba atau mencoba memperoleh kredit atau nilai
suatu karya ilmiah dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah
orang lain tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.

Plagiarisme merupakan isu lama yang sudah dibahas mulai dari tahun 60an di kalangan
akademisi. Dari berbagai definisi di atas sudah dapat diidentifikasi jenis-jenis plagiat.
Penggunaan karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya, pengambilan kata,
paraphrase, dan lain-lain. Berikut adalah jenis-jenis plagiarisme yang dilihat dari
berbagai sudut pandang. Shadiqi (2019) mengklasifikasikan jenis plagiat dari berbagai
aspek yaitu:

a. Motivasi
Plagiarisme terjadi karena motivasi penulis, walaupun menurut Coover (dalam
Shadiqi, 2019) bahwa, apapun motivasinya, plagiarisme tetaplah plagiarisme. Artinya
memiliki konsekuensi atas perbuatan plagiarisme tersebut. Jenis ini terdiri dari tiga
bagian yaitu:
1. Intentional plagiarism atau deliberate plagiarism. Jenis ini dilakukan oleh penulis
secara sengaja. (Bernett & Campbell; Marshall & Rowland, dalam Shadiqi, 2019).
2. Unintentional plagiarism yaitu ketidak-sengajaan dalam melakukan plagiarisme,
hal ini bersumber dari ketidaktahuan seperti belum mengetahui batasan yang
jelas tentang plagiarisme. (Bernett & Campbell; dalam Shadiqi, 2019).
3. Inadvertent plagiarism terdapat pengabaian karena kelalaian dan tidak
melakukan kutipan (Bernett & Campbell; dalam Shadiqi, 2019).
b. Cara melakukan
Pada umumnya plagiarisme dapat dilihat dari cara melakukannya, bagaimana penulis
menggunakan tulisan atau karya orang lain, seberapa mirip, dan seberapa banyak
tulisan yang diambil. Menurut Shadiqi (2019) jenis ini mengarah pada tindakan
bagaimana cara menuliskan, menyalin, mengubah, dan mengambil sebagian karya
dengan menggunakan kaidah parafrase yang baik. Kategori plagiarisme dari cara
melakukannya adalah:
1. Patchwriting. Menurut Roig (dalam Shadiqi, 2019), patchwriting merupakan
tindakan menggunakan karya orang lain tetapi tidak menuliskan sumber

45
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

orisinalnya. Termasuk menggunakan sinonim dan memperpendek atau


memperpanjang frase.
2. Inappropriate paraphrasing yaitu tindakan menyalin teks dan menyebutkan
sumber aslinya hanya saja sedikit dilakukan perubahan namun tidak
menggunakan tanda baca sebagai bentuk kutipan langsung. (Cooper dalam
Shadiqi, 2019). Pada tipe ini penulis harus benar-benar jeli dengan cara penulisan
kutipan. Kutipan yang digunakan berupa kutipan langsung dan tidak langsung. Di
dalam melakukan kutipan harus memperhatikan aturan pengutipan, seperti
kutipan langsung menggunakan tulisan yang sama dengan membutuhkan tanda
petik. Tetapi kutipan tidak langsung adalah mengambil ide orang lain lalu
menuliskan kembali dengan bahasa penulis dan tetap menyebutkan sumbernya.
Aturan kutipan ini sangat bergantung pada tipe penulisan atau gaya selingkung
yang digunakan
3. Inappropriate paraphrasing artinya perilaku seolah-olah mengutip tidak langsung
melalui paraphrase tetap hanya mengganti, menambah, atau mengurangi
beberapa kata dalam satu kalimat atau paragraf dengan tetap mencantumkan
sumbernya.
4. Summaries. Pada tipe ini Cooper (2016) merangkum karya orang lain tanpa
menyebutkan sumber aslinya atau tidak melakukan kutipan sesuai kaidahnya.
c. Self-plagiarism
Tipe plagiat yang sering tidak disadari dan belum dipahami sebagai suatu kecurangan
karena menggunakan karya sendiri. Menurut Shadiqi (2019) tipe ini adalah perilaku
penyalahgunaan karya sendiri baik berupa pendaur-ulangan atau penggunaan ulang
teks (text recycling), pengulangan dan duplikasi terbitan (redundant and duplicate
publication) salami-slicing atau fragmentasi data (data fragmentation).
d. Spektrum plagiarism 2.0 dari Turn it in
Turn it in sebagai sebuat lembaga sekaligus brand tools anti plagiarisme telah
mengidentifikasi 12 jenis tipe karya yang tidak orisinal yang dirangkum dalam the
plagiarism spectrum 2.0. Adapun keduabelas tipe tersebut adalah:
1. Student collusion. Bekerjasama dengan pelajar lain untuk mengerjakan tugas
individu.
2. Word for word plagiarism. Melakukan copy-paste tanpa mencantumkan
atribusi/pengenal (sumber) yang tepat.
3. Self plagiarism. Menggunakan kembali karya seseorang yang diterbitka atau
dikirimkan sebelumnya tanpa mencantumkan atribusi/pengenal (sumber) yang
tepat.
4. Mosaic plagiarism. Menyalin frasa dan teks dari beberapa sumber menjadi karya
sendiri. Menggunakan kalimat tanpa tanda kutip atau atribusi (sumber).
5. Software-based textbase modification. Mengambil teks yang ditulis oleh orang
lain dan menggunakan software tertentu (text spinner, translation engine) untuk
menghindari deteksi plagiarisme.
6. Contract cheating. Melibatkan pihak ketiga (gratis, berbayar, atau setimpal)
untuk menyelesaikan tugas dan mengakui sebagai karya sendiri.

46
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

7. Inadvertante plagiarism. Lupa untuk mengutip dengan benar atau


mencantumkan sumbernya, atau ketidaksengajaan memparafrase.
8. Paraphrase plagiarism. Mengulang parafrase dari berbagai sumber tanpa
atribusi yang tepat.
9. Computer code plagiarism. Menyalin atau mengadaptasi source code tanpa ijin
dan atribusi kepada pembuat aslinya.
10. Source-base plagiarism. Memberikan informs yang tidak akurat atau tidak
lengkap tentang sumber informasi sehingga sulit atau tidak ditemukan.
11. Manual text modification. Memanipulasi teks untuk menyesatkan software
pendeteksi plagiarisme.
12. Data plagiarism. Melakukan falsifikasi atau fabrikasi atau merampas karya
orang lain dengan tidak semestinya dan membahayakan reputasi peneliti,
insitiusi, dan penerbit.

Dari jenis-jenis di atas terdapat benang merah yang jelas bahwa jenis plagiarisme
merupakan jenis tindakan tidak terpuji terhadap karya orang lain bahkan karya diri
sendiri. Beragam jenis plagiarisme tersebut di atas harus diketahui oleh para akademisi
baik dosen maupun mahasiswa. Perguruan tinggi sebagai institusi yang menaungi
masyarakat akademik harus secara intensif menyosialisasikan jenis-jenis plagiarisme
agar diketahui, dipahami, dan dihindari. Melalui pengetahuan dan pemahaman tentang
jenis-jenis plagiarisme dapat menunjukkan kualitas penulisan dan citra positif bagi
penulis dan institusinya.

PLAGIARISME DI KALANGAN AKADEMISI


Kalangan akademisi mendapat perhatian khusus terkait plagiarisme, hal ini dikarenakan
masyarakat umum berharap bahwa seluruh akademisi memiliki dan menjunjung tinggi
integritas. Namun demikian, dari berbagai jejak digital beberapa media nasional bahwa
terdapat beberapa kasus fenomenal terkait plagiarisme yang dilakukan oleh para
akademisi. Beberapa kasus plagiarisme di kalangan akademisi sebagai berikut:

Kasus 1, terjadi pada tahun 2010 berupa pelanggaran penggunaan karya orang
lain yang diterbitkan oleh media nasional berbahasa Inggris. Penjiplakan artikel
opini ini dilakukan oleh seorang dosen dari Universitas Parahyangan. Sanksi yang
diberikan berupa pemberhentian secara tidak hormat, namun demikian dosen
tersebut mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum diberhentikan secara tidak
hormat (Rudini, & Zubaedah, 2010).

Kasus 2, terjadi pada tahun 2010. Kegiatan plagiarisme dilakukan oleh


mahasiswa Program Doktor di ITB, berupa penjiplakan karya orang lain yang
diakui sebagai karya disertasi untuk meraih gelar Doktor. Sanksi yang diberikan
berupa pencopotan gelar dan ijazah doktor dinyatakan tidak berlaku. Selain itu
juga mengundurkan diri dari CPNS dosen ITB 2008-2009 (Fajarhati, 2010).

47
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Kasus 3, terjadi pada tahun 2012. Kasus ini berupa pelanggaran terhadap naskah
hasil mencontek atau menggunakan naskah yang sudah ada milik orang lain.
Dilakukan oleh tiga orang dosen untuk meningkatkan jabatannya menjadi guru
besar. Diketahui ketika menjalani uji karya tulis di Universitas Perguruan
Indonesia. Sanksi yang diberikan berupa penurunan pangkat dan jabatan serta
gagal menjadi guru besar (Prawira, 2012).

Kasus 4, terjadi pada tahun 2014. Jenis pelanggaran yang dilakukan adalah
menggunakan artikel opini orang lain tanpa menyebutkan sumber aslinya yang
diterbitkan pada Koran nasional. Dilakukan oleh salah satu dosen dari Universitas
Gajah Mada. Sanski berupa pengunduran diri yang dilakukan oleh dosen tersebut
(Kresna, 2014).

Kasus 5, terjadi pada tahun 2017. Berupa kasus plagiarisme pada disertasi untuk
meraih gelar doktor di Universitas Negeri Jakarta. Kasus ini berujung pada
pemberhentian Rektor kampus tersebut (Utama, 2017).

Kasus 6, terjadi tahun 2021. Calon rektor terpilih di kampus Universitas Sumatera
Utara melakukan auto plagiat atas artikel yang ditulisnya. Sanksi yang diberikan
berupa penundaan kenaikan pangkat, pengembalian insentif penulisan artikel,
dan penundaan pelantikan rektor (Muhardiansyah, 2021).

Dari beberapa kasus di atas, sudah selayaknya setiap perguruan tinggi memiliki komisi
etika untuk menangani pelanggaran-pelanggaran tersebut. Menentukan sanksi sebagai
efek jera dan akibat pelanggaran yang dilakukan, serta membuat panduan-panduan agar
terhindar dari plagiarisme. Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 telah memuat aturan
penanganan pelanggaran plagiarisme yang terjadi di perguruan tinggi, dan dapat
dijadikan acuan bagi perguruan tinggi dalam menangani pelanggaran tersebut.

AUTO PLAGIAT (SELF PLAGIARISM)


Self plagiarism memiliki istilah lainnya disebut auto plagiarisme atau auto plagiat.
Beberapa definisi tentang plagiarisme di Indonesia tidak ada yang menyentuh ranah auto
plagiat secara spesifik, termasuk Permendiknas No. 17 Tahun 2010. Dalam Permen
tersebut tidak menjelaskan atau memberikan batasan yang jelas tentang auto plagiat.
Namun demikian, auto plagiat termasuk pada salah satu jenis plagiarisme itu sendiri.
Terdapat perbedaan mencolok antar plagiarisme yang dibahas di atas dengan auto
plagiat yaitu sumber yang digunakan. The Charles Worthgroup, sebuah perusahaan
bidang layanan penerbitan khusus sektor akademik dan profesional yang berbasis di
United Kingdom dalam website-nya menuliskan bahwa terdapat perbedaan mendasar
antar plagiarisme dan auto plagiat. Perbedaan tersebut ada pada sumber yang digunakan
untuk tindakan plagiarisme. “Plagiarism is stealing from others, self plagiarism is stealing
from yourself” (Charlesworth Author Sevices, 2016). Jelas perbedaannya, plagiarisme

48
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

merupakan pencurian karya orang lain, sedangkan auto plagiat adalah pencurian karya
sendiri.

Terdapat beberapa definisi auto plagiat dari berbagai kalangan seperti pakar dan
institusi yang memiliki perhatian terhadap auto plagiarisme. Berikut definisi dari
beberapa institusi yang memiliki perhatian khusus terkait auto plagiat:

American Journal expert

Sebuah divisi dari Research Square yang berbasis di USA, mendefinisikan self
plagiarism sebagai penggunaan kembali kata-kata milik sendiri dari karya
sebelumnya dan merujuk pada penerbitan makalah di dua tempat. Divisi riset ini
menyimpulkan bahwa auto plagiat pengambilan kata-kata dan data penelitian dari
penerbitan sebelumnya seolah-olah baru (Mudrak, n.d.). Ithenticate, sebuah lembaga
dan nama tools pengecekan similarity dalam etika auto plagiat menyebutkan bahwa
“Self plagiarism is an area of increasing importance within scholarly research. Self
plagiarism may be one of the most dangerous forms of misconduct due to lack of
understanding of the ethic involved. The pressure to publish combined with an ever-
growing body of scholarly research makes it difficult for publishers and intitutions to
investigate and prevent cases of such duplication.” (Ithenticate, n.d.). Ithenticate
mendefinisikan auto plagiat suatu bentuk kesalahan yang fatal karena
ketidakpahaman penulis dalam etika penerbitan. Di satu sisi sulit bagi penerbit dan
lembaga sejenisnya untuk mencegah kasus duplikasi.

American Psychology Assosiation (APA)

Asosiasi psikologi di Amerika yang mengeluarkan gaya penulisan APA style,


menyebutkan bahwa “self-plagiarism is the presentation of your own previously
published work as original; like plagiarism, self-plagiarism is unethical. Self-plagiarism
deceives readers by making it appear that more information is available on a topic than
really exists. It gives the impression that findings are more replicable than is the case or
that particular conclusions are more strongly supported than is warranted by the
evidence. It may lead to copyright violations if you publish the same work with multiple
publishers” (American Psicholog Association, 2021). Sama seperti dua lembaga
sebelumnya, APA menyoroti auto plagiat sebagai tindakan tidak etis dalam
penerbitan dan melanggar hak cipta karena menerbitkan satu karya dalam beberapa
terbitan.

Auto plagiat sangat mungkin terjadi dan dilakukan oleh para akademisi atau siapa pun,
walaupun masih dalam perdebatan namun seiring waktu auto plagiat dapat dijabarkan
dalam definisi dan batasan yang jelas. Hal ini didukung oleh pandangan pakar terkait auto
plagiat seperti Hexam yang menyebutkan bahwa esensi dari auto plagiat adalah penulis
mencoba menipu dengan cara tidak memberitahu pembaca bahwa tulisannya

49
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

menggunakan tulisan sebelumnya (Roig, 2015). Hal ini sejalan dengan Rohmanu (2017)
yang mendefinisikan auto plagiat sebagai pengulangan penerbitan atau pemaparan
(presentasi) karya sendiri.

Sedangkan menurut Roig (2015), auto plagiat terjadi ketika kita memutuskan untuk
menggunakan kembali sebagian atau secara keseluruhan milik kita (ide, teks, data, dll.)
yang telah dipublikasikan sebelumnya tanpa menyebutkan bahwa telah dipublikasikan.
Bagi Suvak-Smolcic & Bilic Zulle (2013) auto plagiat masih menjadi hal yang harus
didiskusikan mengingat auto plagiat sulit ditafsirkan sebagai pencurian intelektual
karena seseorang tidak mungkin mencuri dari dirinya sendiri. Jika plagiarisme berarti
mencuri ide atau kata-kata orang lain dan diakui sebagai milik sendiri, apakah auto
plagiat berarti mencuri kata-kata sendiri? Masih menurut Suvak-smolcic & Bilic Zulle
(2013) bahwa auto plagiat itu bentuk dari plagiarisme dan itu harus diperlakukan
sebagai satu kesatuan. Dalam artikelnya Suvak-Smolcic & Bilic Zulle (2013) menyarankan
bahwa auto plagiat dapat diatur dalam Komisi Etika Publikasi.

Pendapat Suvak-Smolcic & Bilic Zulle tersebut di atas juga didukung oleh pendapat
Disemadi & Kang (2021), bahwa terkait isu auto plagiat belum ada kesepakatan dan
standar yang pasti, apakah yang dimaksud adalah pelanggaran hak cipta? Disemadi dan
Kang menjabarkan definisi auto plagiat dilihat dari sisi hukum normatif yaitu auto plagiat
dapat dianggap sebagai pelanggaran terutama apabila hak cipta dari karya sebelumnya
telah dialihkan kepada pihak lain. Hal ini telah diatur dalam pasal 80-86 UU Hak Cipta.
Masih menurut Disemadi dan Kang (2021) bahwa sering kali hak cipta atas suatu artikel
jurnal dipegang oleh pihak penerbit dan bukan dipegang oleh penulis, maka penulis
tersebut wajib mencantumkan sumber atas ciptaannya sendiri.

Definisi-definisi dan pendapat di atas terdapat dalam cakupan dari auto plagiat yaitu:

a. Penyalahgunaan karya sendiri.


Rasa sense of belonging yang tinggi menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak etis,
sekalipun karya milik sendiri terdapat aturan main dalam memperlakukan karya
tersebut. Sama seperti karya orang lain, diperlukan kejujuran untuk menuliskan
sumbernya walau pun dari karya sendiri.
b. Karya tersebut merupakan karya yang sudah dipublikasikan pada penerbit yang
berbeda atau duplikasi penerbitan.

Definisi di atas menggambarkan bahwa duplikasi penerbitan sangat tidak etis karena
akan ada banyak pihak yang dirugikan seperti penerbit. Terkadang suatu terbitan
memiliki aturan dalam penerimaan naskah, baik dari proses mau pun persyaratan
teknis lainnya. Hal itu cukup membutuhkan waktu yang lama. Tentunya ini sangat
bertentangan dengan keinginan penulis yang berharap secepatnya untuk diterbitkan
karena akan digunakan untuk kegiatan tertentu. Ketidaksabaran ini membuat penulis
berinisiatif untuk mengirimkan karyanya ke penerbitan lain dengan harapan akan
lebih cepat dipublikasikan dibanding penerbit sebelumnya. Jika kenyataanya
diterbitkan secara bersamaan maka akan ada tulisan yang sama diterbitkan dalam

50
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

dua terbitan yang berbeda. Hal ini harus dihindari agar tidak terjadi duplikasi
penerbitan.

c. Bermasalah dalam penerbitan, misalnya hak cipta.


Selain duplikasi, akan berdampak pada permasalahan hak cipta. Hak cipta di
Indonesia di lindungi oleh Undang-Undang No. 28 Tahun 2014, terkait auto plagiat
diatur dalam pasal 80-86 mengingat suatu ciptaan dapat dialihkan atau dilisensikan
kepada pihak lain. Dalam hal penerbitan artikel jurnal terkadang hak cipta ada pada
penerbit bukan pada penulis (Disemadi & Kang, 2021).

JENIS-JENIS AUTO PLAGIAT


Auto plagiat merupakan bagian dari plagiarisme itu sendiri. Namun demikian perilaku
auto plagiat memiliki beragam jenisnya, diantaranya:

1. Daur ulang teks (Text Recycling)

Daur ulang teks atau text recycling. Dalam artikelnya Shadiqi (2019) merangkum
definisi text recycling yang diambil dari beberapa pendapat seperti Burdine, de
Castro Maymone, & Vashi (2018), Cooper (2016), dan Mohapatra & Samal (2014)
yang menyebutkan bahwa daur ulang teks terjadi ketika peneliti bekerja secara
sistematik pada suatu topik menggunakan tulisan sebelumnya atau tulisan yang
belum terbit untuk tujuan yang baru. Namun daur ulang teks tidak dianggap
plagiarisme jika suatu naskah sebelumnya ditulis untuk dokumen ‘internal’ yang
tidak terpublikasi atau tanpa copyright dan lisensi penerbit (Cooper; Roig, as cite
Shadiqi, 2019). Artinya peneliti dapat menggunakan tulisan yang belum diterbitkan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Fitri (2010) yang menyebutkan bahwa auto plagiat
dan etika keilmuan di mana secara etika keilmuan tidak menyalahi apabila hak cipta
dari karya sebelumnya masih sama penulis yang bersangkutan belum dialihkan ke
pihak lain.

2. Duplikasi
Menurut Disemadi & Kang (2021), duplikasi terjadi saat seorang penulis
mempublikasikan suatu tulisan yang sama di beberapa tempat yang berbeda tanpa
memberitahukan kepada pihak penerbit. Pendapat yang sama diungkapkan oleh
Roig (2010) sebagai berikut “authors of a previously published paper submit roughly
the same manuscript to a different journal”. Jenis ini sangat sering terjadi karena
faktor psikologis internal penulis, seperti mencoba-coba artinya jika tidak
diterbitkan di jurnal pertama maka berharap diterbitkan di jurnal kedua. Jadwal
penilaian atau pengumpulan hasil publikasi untuk jenjang jabatan akademik yang
mendesak, sehingga penulis melakukan pengiriman artikel ke beberapa jurnal
dengan harapan ada jurnal yang dapat lebih cepat menerbitkan artikelnya. Menurut
Shadiqi (2019) penulis tidak diperbolehkan menebar jaring dengan menyebarkan
naskah ilmiahnya kebeberapa jurlan hanya untuk tujuan mendapatkan publikasi

51
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

tercepat karena tuntutan kewajiban pribadi, seperti proses kelulusan studi. Hal yang
harus disadari oleh penulis adalah adanya aturan dalam penerbitan. Setiap jurnal
memiliki tim mitra bestari yang telah dijadwalkan untuk melakukan reviu terhadap
keseluruhan artikel. Tim tersebut memiliki tanggung jawab terhadap seluruh isi
artikel dalam suatu jurnal yang dilihat dari kebaruan, kebenaran, dan keaslian.
Proses tersebut memakan waktu cukup lama sehingga membuat penulis tidak sabar
menunggu untuk terbit di jurnal tersebut. Hal yang menjadi permasalahan adalah
jika kedua artikel tersebut diterbitkan secara bersama-sama sehingga penulis tidak
memiliki waktu untuk melakukan pembatalan penerbitan artikel dari salah satu
jurnal tersebut. Untuk itu bagi penulis dalam hal ini dosen dan peneliti harus
mengetahui tanggungjawab terhadap pemenuhan penulisan untuk keawajiban
tertentu dengan cara memahami dan membuat perencanaan penulisan sehingga
tidak melakukan secara tergesa-gesa.
3. Salami Slicing atau data fragmentions
Perilaku pemecahan hasil penelitian ke dalam beberapa terbitan. Menurut Adhikari
(2010), terdapat kesamaan dari publikasi yang diterbitkan dengan sedikit
perubahan dalam penyajian tanpa diketahui oleh pembaca bahwa hal tersebut
pernah diterbitkan. Menurut Shadiqi (2019), tidak semua publikasi termasuk jenis
ini. Contoh yang diperbolehkan adalah ketika ada satu disertasi dipecah menjadi 1
(satu) naskah literature review dan 2 (dua) naskah yang lain dengan dua kelompok
sampel yang berbeda. Atau peneliti memiliki 1000 sampel, 500 data ditulis untuk 1
naskah alat ukur variabel X, sedangkan 500 data ditulis untuk 1 naskah korelasi
variable X dan Y, dengan catatan kedua naskah tersebut benar-benar ditulis berbeda
untuk menjelaskan dua persoalan yang berbeda pula yaitu sebagai validasi alat ukur
dan hubungan antar variabel. Pada jenis ini, peneliti memang harus benar-benar
membedakan tulisan yang satu dengan yang lainnya.

PENYEBAB TINDAKAN SELF-PLAGIARISME


Disintegritas Akademik

Penulisan erat kaitannya dengan budaya akademik karena tulisan merupakan bentuk
luaran hasil dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Di dalamnya terdapat aturan-aturan yang
disepakati, dipahami dan dijalankan sehingga menjadi suatu kebiasaan. Ha ini senada
dengan pendapat Multazam (2019), bahwa budaya akademik harus benar-benar
dihayati, dimaknasi, dan diamailkan yang betujuan untuk meningktakan intelektual dan
juga kejujuran. Kejujuran merupakan salah salah satu bentuk integritas akademik yang
harus dijunjung tinggi oleh seluruh masyarakat kampus. Integritas adalah mutu yang
harus dimiliki oleh setiap individu sivitas akademika yang ditunjukkan dalam tindakan
dan perbuatan sehari-hari dalam kehidupana kampus (Wiranata, Zamralita, & Basaria,
2020). Dimensi integritas akademik yaitu kejujuran (honesty), keadilan (fairness),
menghormati (respect), kepercayaan (trust), dan tanggungjawab (responsibility).

52
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Jika terdapat masyarakat kampus yang sudah tidak lagi menjunjung tinggi dimensi-
dimensi integritas akademik disebut masyarakat kampus yang disintegras akademik.
Ketidakjujuran, ketidakadilan, hilangnya rasa hormat, hilangnya rasa percaya, dan tidak
bertanggungjawab terhadap seluruh aktivitas atau kegiatan di area kampus. Plagiat
secara umum termasuk ke dalam disintegritas akademik kaitannya dengan penulisan.
Karena di dalamnya mengandung ketidakjujuran atas penggunaan karya orang lain
maupun diri sendiri. Ketidakadilan terhadap orang lain baik yang tulisannya digunakan
maupun orang sekitarnya yang menjunjung integritas akademik. Tidak memiliki rasa
hormat terhadap orang lain yang karyanya digunakan tanpa ijin juga terhadap proses
penciptaan karya tersebut. Tidak dapat dipercaya karena menyalahgunakan karya orang
lain dan juga tidak bertanggungjawab terhadap karya orang lain yang memiliki kekuatan
hukum seperti hak cipta, paten, dan lainnya. Begitu juga disintegritas ini dapat dilakukan
terhadap karya sendiri (auto plagiat), dimana tidak jujur menyebutkan bahwa tulisan
tersebut pernah diterbitkan sebelumnya.

Menurunnya Otentisitas Tulisan

Karya tulis seseorang seharusnya merupakan otentik hasil pemikiran penulis tersebut,
namun demikian banyaknya informasi memungkinkan penulis mengadopsi karya orang
lain. Terlebih kemudahan akses terhadap informasi memiliki dua sisi mata uang. Satu sisi
memudahkan dan menjaga kualitas penulisan, satu sisi mempermudah untuk melakukan
copy paste terhadap karya lainnya termasuk karya sendiri. Selain itu adanya kewajiban
melakukan sitasi terhadap karya sebelumnya menjadikan tulisan berisi kutipan-kutipan
yang terkadang tidak lagi berisi pemikiran orisinil penulis. Memang betul sebuah tulisan
harus mengacu pada teori atau penulisan sebelumnya tetapi juga harus memikirkan
otentikasi tulisan itu sendiri.

Mengejar Eksistensial

Auto plagiat banyak terjadi karena kebutuhan seorang peneliti atau dosen yang
diwajibkan untuk mengejar jenjang jabatan akademik tertentu. Hal ini tentunya selain
memenuhi kewajiban juga harus mengedepankan eksistensi seorang dosen atau peneliti.
Eksistensi dosen dan peneliti dilihat dari karya-karyanya hasil Tri Dharma dalam kurun
waktu tertentu. Tak jarang karena hal ini mengakibatkan segala cara digunakan termasuk
penyalahgunaan karya diri sendiri. Kurun waktu tertentu pun dapat menjadikan seorang
penulis untuk melakukan tindakan penyalahgunaan karya sendiri karena waktu
penilaian dari penerbitan yang sangat dibutuhkan dan waktunya yang sangat mendesak.

Kurangnya Kontrol Institusi

Institusi memiliki peran penting dalam terjadinya kegiatan atau praktik-praktik


plagiarisme termasuk self-plagiarisme. Pencapaian target luaran tanpa diimbangai oleh
penyadaran tentang pentingnya karya-karya orisinal dan membantu membuatkan
perencanaan penulisan luaran bagi dosen dan peneliti. Menurut Shadiqi (2021) Pada
institusi pendidikan, dosen dan mahasiswa dapat menjadi pelaku plagiarisme, untuk itu
diperlukan aturan tegas untuk mengurangi kecenderungan tindakan tersebut (Shadiqi,

53
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

2019). Institusi membuat aturan dan disosialisasikan secara intensif untuk


mengingatkan bagi dosen atau peneliti yang lama dan memberikan pengetahuan tentang
aturan-aturan dalam penulisan kepada dosen atau peneliti yang baru. Bentuk lain dari
kontrol institusi dapat berupa pelatihan-pelatihan penulisan, penyadaran tentang
bahayanya plagiarisme, dan proses penerbitan. Ragam kegiatan tersebut dapat
meningkatkan tingkat kesadaran dosen atau peneliti dalam menghindari plagiarisme.

Pemahaman Kode Etik Penerbitan

Hal ini yang jarang sekali diketahui oleh dosen, peneliti, atau penulis lainnya. Terdapat
kode etik dalam sebuah penerbitan, menurut Disemadi dan Kang (2021) sering kali hak
cipta atas suatu artikel jurnal ilmiah dipegang oleh pihak penerbit dan bukan dipegang
oleh penulis, oleh karena itu meskipun karya ilmiah tersebut adalah milik seorang
penulis, maka penulis tersebut harus tetap mencantumkan sumber atas ciptaanya
sendiri. Peneliti dan dosen wajib mengetahui ketentuan-ketentuan penerbitan dari
sebuah jurnal yang akan mempubilkasikan karyanya. Termasuk dari sisi substansi
artikel itu sendiri misalnya tentang kebaruan, kebenaran, dan keasliannya. Lalu
bagaimana dengan karya yang belum dipublikasikan? Menurut Fitri (2011) dalam
unggahannya di website LLDIKTI12 menyebutkan definisi auto plagiat dan etika
keilmuan, di mana secara etika keilmuan tidak menyalahi apabila hak cipta dari karya
sebelumnya masih sama penulis yang bersangkutan. Lain hal jika hak cipta tersebut
sudah dialihkan ke pihak lain. Untuk memberikan pemahaman kode etik penerbitan,
lembaga atau institusi harus menjembatani dosen atau peneliti melalui beragam
kegiatan. Seperti bekerja sama dengan penerbit untuk mengadakan sosialisasi dan
pelatihan terkait penerbitan hasil luaran.

SANKSI
Auto plagiat bagian dari plagiat merupakan perilaku yang bertentangan dengan
integritas akademik. Pada umumnya setiap tindakan yang bertentangan tentunya akan
mendapatkan sanksi sesuai dengan perilaku tersebut. Ada beberapa peraturan yang
dapat dijadikan acuan untuk sanksi tindakan auto plagiat diantaranya:

a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang


ditindaklanjuti oleh Permendiknas No. 17 Tahun 2010. Namun demikian dalam
peraturan tersebut tidak menyebutkan secara spesifik mengenai sanksi untuk auto
plagiat. Sanksi yang tercantum dalam Permendiknas No. 17 Tahun 2010 terdapat
pada Bab IV, Pasal 12 dan Pasal 13 yang mengacu pada tindakan plagiat secara umum
tidak mengklasifikasikan atau menggolongkan pada jenis atau tipe-tipe plagiat. Pada
pasal 12 ayat 1 yaitu sanksi terhadap mahasiswa hanya menyebutkan urutan jenis
sanksi dari yang ringan hingga berat yaitu teguran, peringatan, penundaan pemberian
sebagian hak mahasiswa, pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah,
pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak hormat, dan
pembatalan ijazah. Begitu juga pada ayat 2, sanksi untuk dosen, peneliti, dan tenaga

54
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

kependidikan berupa teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian hak,


penurunan pangkat dan jabatan, pencabutan hak, pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian secara tidak hormat, dan pembatalan ijazah. Pada undang-undang ini
juga, sanksi diberikan kepada pimpinan institusi jika tidak menjantuhkan sanksi
kepada plagiator. Sanksi tersebut berupa teguran, peringatan tertulis, dan
pernyataan dari pemerintah bahwa yang bersangkutan tidak berwenang melakukan
tindakan hukum dalam bidang akademik.
PASAL 13
1. Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf
c dijatuhkan sesuai dengan proporsi plagiat hasil telaan dan apabila dilakukan
secara tidak sengaja.
2. Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, dan
huruf g dijatuhkan sesuai dengan proporsi plagiat hasil telaan dan apabila
dilakukan secara sengaja dan/atau berulang.
3. Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d dijatuhkan sesuai dengan proporsi plagiat hasil telaan dan apabila
dilakukan secara tidak sengaja.
4. Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, dan
huruf h dijatuhkan sesuai dengan proporsi plagiat hasil telaan dan apabila
dilakukan secara sengaja dan/atau berulang.
5. Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 tidak menghapuskan
sanksi lain sesusai ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Undang-Undang Hak Cipta, melindungi setiap karya tulis ilmiah, apabila terjadi
pelanggaran maka dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 112
sampai dengan Pasal 120. Di dalam Undang-Undang Hak Cipta juga mengatur hal
terkait penggunaan karya orang lain yang tercantum dalam Pasal 44 angka 1 UU Hak
Cipta yaitu “penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubagan suatu
ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial
tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau
dicantumkan secara lengkap untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta; keperluan
keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan; keperluan
ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau keperluan
petunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta” (Disemedi & Kang, 2021).
UU Hak Cipta mengatur pencantuman sumber asli atau pemilik karya namun sama
dengan Undang-Undang lainnya tidak terlalu mengatur secara lebih spesifik mengenai
plagiarisme. Begitupun di dalam pasal-pasal yang mengatur sanksi pelanggaran Hak
Cipta, tidak terdapat pasal sanksi khusus tentang tindakan plagiarisme. Menurut
Disemedi dan Kang (2021), meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan mengenai
tindakan plagiarisme atau auto plagiat, namun dapat dikatakan sebagai pelanggaran

55
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

hak cipta jika tidak mencatumkan kepemilikan karya yang jelas, hal ini telah
melanggar hak eksklusif yang diberikan kepada pencipta atau pemegang hak cipta.
Hal lain yang masih belum tersosialisasikan dengan baik kepada khalayak umum
termasuk dosen dan peneliti terkait jenis pelanggaran dalam UU Hak Cipta adalah
terkait pengalihan ciptaan kepada pihak lain. UU Hak Cipta mengatur hal tersebut
dalam Pasal 80 hinggal Pasal 86, auto plagiat termasuk kepada pelanggaran kode etik
apabila hak cipta kayar sebelumnya telah dialihkan kepada pihak lain. Dalam hal ini
hak cipta suatu artikel yang diterbitkan dalam suatu jurnal merupakan milik penerbit
jurnal tersebut bukan milik penulis. Maka dari itu, penulis harus tetap mencatumkan
sumber atas ciptaannya sendiri karena karya tulis tersebut telah menjadi hak cipta
pihak penerbit.
Menurut Rizal (2010) bila ditinjau dari perspektif doktrin hukum, perilaku plagiarism
dapat dilihat sebagai pelanggaran hak cipta, persaingan secara tidak sehat, dan
pelanggaran moral. Pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi mengacu pada pasa
380 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan pidana bagi para pelaku
auto plagiat atau plagiarisme merupakan delik aduan, akan dituntut apabila ada
pengaduan dari pemegang hak cipta atas karya yang diplagiasi karena telah melanggar
hak ekonomi milik pencipta/pemegang hak cipta (Disemadi dan Kang, 2021).

PENCEGAHAN
Setiap pelanggaran dapat dicegah sejak dini. Upaya pencegahan auto plagiat diperlukan
dukungan dari berbagai pihak baik itu diri sivitas akademika masing-masing, institusi,
dan pemerintah. Disemadi dan Kang (2021) menyarankan beberapa upaya agar
terhindar dari plagiarisme seperti menjunjung kejujuran, sosialisasi mengenai HKI, tata
cara penulisan karya ilmiah sesuai kaidah, penegakan hukum baik pidana maupun
administratif, penggunaan sarana cek plagiarisme, dan batasan-batasan plagiarisme dari
top to bottom dalam hal ini dari Pihak Kementrian bekerjasama dengan institusi untuk
mengedukasi mahasiswa dan dosen.

Kontrol Institusi

Institusi dalam hal ini perguruan tinggi memegang peranan penting dalam upaya
pencegahan pelanggaran self plagiarism. Melalui aturan-aturan yang tegas dan sosialisasi
yang berkelanjutan menjadi upaya maksimal dari institusi agar integritas akademik tetap
terjaga.

a. Aturan institusi
Aturan institusi dapat berupa kebijakan-kebijakan berkaitan dengan integritas
akademik, etika penulisan, etika penelitian, dan aturan lain seperti panduan,
pedoman berkaitan dengan karya ilmiah sebagai hasil luaran dari kegiatan dosen dan
mahasiswa. Aturan ini perlu direncanakan, disusun, ditetapkan, disosialisasikan, dan
dijalankan secara berkelanjutan. Kegiatan sosialisasai untuk dosen dapat dilakukan

56
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

pada saat pertemuan dosen sebelum semester berjalan atau acara khusus untuk
sosialisasi aturan tersebut. Sedangkan untuk mahasiswa dapat dilakukan pada saat
orientasi mahasiswa baru atau program tertentu. Pada saat penyusunan dokumen
juga melibatkan peran aktif mahasiswa dan dosen dalam memberikan masukkan
sehingga menjadi dokumen yang diketahui dan dapat dipahami bersama. Feedback
dari mahasiswa dan dosen sangat diperlukan mengingat merekalah pelaksana aturan
tersebut. Aturan ini harus digawangi oleh sekumpulan orang yang tergabung dalam
komisi etika. Supaya dapat dijalankan dan diawasi dengan baik dan meminimalisir
perilaku plagiarisme dan ragamnya di perguruan tinggi.
b. Penyediaan tools plagiarism checker
Era keterbukaan informasi memudahkan setiap orang dalam mengakses informasi.
Semakin mudah juga untuk menggunakannya tanpa ada pengawasan yang ketat.
Seperti kegiatan copy-paste menjadi suatu hal yang paling memungkinkan dan banyak
dilakukan dalam penyusunan suatu karya ilmiah. Sekali pun terdapat dosen
pembimbing dan atau tim review, namun diperlukan alat untuk membantu
memudahkan untuk mengetahui kesamaan tulisan dengan tulisan yang lain.
Kecanggihan teknologi telah menciptakan tools plagiarism checker yang dapat
melakukan persentase kesamaan tulisan yang satu dengan yang lainnya. Beragam
tools dilihat dari jangkauan database dari yang terkecil, menengah, bahkan sangat
luas sekali. Hal ini berpengaruh pada hasil presentase cek kesamaan tulisan. Contoh
tools plagiarism yang berbayar seperti plagscan, turn it in, ithenticate, dan jenis
lainnya. Bagi lembaga pendidikan tinggi tools ini sangat diperlukan untuk menjaga
kualitas karya ilmiah hasil luaran dosen dan mahasiswa. Untuk itu penting
dianggarakan setiap tahunnya untuk berlangganan tools plagiarisme tersebut.
c. Sosialisasi integritas akademik
Institusi perguruan tinggi sudah seharusnya mengembalikan marwah masyarakat
kampus untuk menjunjung tinggi integritas akademik. Hal ini berkaitan dengan
harapan masyarakat umum yang melihat akademisi sebagai orang dan komuniats
yang menjunjuang tinggi kejujuran, keadilan, kepercayaan, menghargai,
tanggungjawab, dan rendah hati. Namun demikian banyaknya pelaku plagiat
(ketidakjujuran) justru dari kalangan akademisi. Untuk itu, diperlukan sosialisasi
yang berkelanjutan dan persuasif dengan beragam kegiatan berkenaan dengan
integritas akademik. Sosilasiasi tersebut merupakan langkah strategis dalam
pencegahan plagirisme (Harliansya, 2017). Hal ini sudah dilakukan di beberapa
universitas di Amerika dan negara lainnya seperti Cornel University (Code of
academic interity), Harvard University (Harvard guide to using sources), Harvard
Medical School (White paper: plagiarism and research misconduct), Masschusetts
Institute of Technology (MIT) (Academic integrity at the Massachusetts Institute of
Technology (MIT): a handbook for students), dan lain-lain.

57
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Literasi Informasi

Memiliki konsep untuk melatih orang-orang dalam menggunakan sumber-sumber


informasi, mempelajari teknik dan kemampuan dalam menggunakan alat-alat untuk
menyelesaikan tugas dalam memecahkan permasalahan. Paul Zurkowi menamakan
dengan konsep literasi Informasi. Konsep ini telah diperkenalkan pada tahun 1975 di
Amerika (Behrens dalam Septiyantono, 2014). Dari konsep di atas Zurkowi memandang
literasi informasi secara global tidak hanya dalam satu bidang tertentu dan menjelaskan
bahwa literasi informasi terjadi di lingkungan kerja dan membutuhkan teknik dan
keterampilan alat informasi (perangkat pencarian dan sumber informasi) serta hasilnya
digunakan untuk memecahkan suatu permasalaan. Dalam hal ini literasi informasi
memegang peranan penting dalam mencarikan solusi-solusi dari permasalahan
pekerjaan. Konsep tersebut memunculkan definisi literasi informasi yang dilihat dari
berbagai sudut pandang. Seperti Bruce (2003) melihat dari perspektif pendidikan bahwa
literasi memiliki pengertian sebuah kemampuan dalam mengakses, mengevaluasi,
mengorganisasi, dan menggunakan informasi dalam proses belajar, pemecahan masalah,
pembuatan kebijakan baik dalam kontek pembelajaran formal maupun informal, tempat
bekerja, di rumah dan pendidikan. Sama dengan konsep awal berbicara tentang
kemampuan seseorang terhadap informasi, definisi serupa dikeluarkan oleh UNESCO di
mana literasi informasi merupakan kemampuan seseorang untuk menyadari kebutuhan
informasi, menemukan dan mengevaluasi kualitas informasi yang diperoleh, menyimpan
dan menemukan kembali informasi, membuat dan menggunakan informasi secara etis
dan efektif, dan mengkomunikasikan pengetahuan (Septiyantono, 2014).

Dari berbagai definisi literasi informasi terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan di
mana seseorang melakukan identifikasi kebutuhan informasi, penelusuran informasi,
mengevaluasi informasi yang ditemukannya, penggunaan informasi secara etis, dan
mendesiminasikan informasi menjadi pengetahuan baru. Kegiatan tersebut dapat
meminimalisir terjadinya penyalahgunaan informasi atau menghindari praktik
plagiarism. Sehingga kegiatan literasi informasi ini dapat dijadikan salah satu langkah
strategis dalam meminimalisir plagiarisme. Di dalamnya terdapat keterampilan riset
online, penulisan ilmiah, berpikir kritis, dan keterampilan lainnya yang mendukung
dalam penggunaan informasi (Harliansyah, 2017). Melalui kegiatan literasi informasi
terdapat beberapa kegiatan pendukung lainnya yang dipersiapkan untuk meminimalisir
praktik plagiarisme termasuk auto plagiat. Artinya bahwa dosen atau peneliti yang melek
informasi maka akan terhindar dari auto plagiat atau plagiarisme.

REFERENSI
Adhikari, N. (2010). Avoiding plagiarism and self-plagiarism. J. Nepal Paediatr.Soc. 30(2),
77-78.

American Psychology Association. (n.d). Plagiarism. Retrieved from


https://apastyle.apa.org/style-grammar-guidelines/citations/plagiarism

58
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Cambridge dictionary. (2022) Retrieved from


https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/plagiarism

Charlesworth Author Services. (2016). Avoiding self-plagiarism in academic writing.


Retrieved from https://www.cwauthors.com/article/WhatIsSelf-Plagiarism

Dhammi, I. K. & Ul Haq, R. (2016). What is plagiarism and how to avoid it? Indian J. Orthop,
50(6), 581-583. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5122250/

Disemadi, H.S. & Kang, C. (2021). Self-Plagiarism dalam dunia akademik ditinjau dari
perspektif pengaturan. Jurnal Hukum, 13(1), 1-9.

Fajarhati, P. (2010). Press release kasus plagiarism Mochammad Zuliansyah. Retrieved


from https://www.itb.ac.id/berita/detail/2811/press-release-kasus-
plagiarisme-mochammad-zuliansyah

Fitri (2011). Seputar plagiat dan autoplagiat. Retrieved from


https://lldikti12.ristekdikti.go.id/2011/09/23/seputar-plagiat-dan-
autoplagiat.html

Gopalakrishnan, J. (2011). What is self-plagiarism and how to avoid it. Retrieved from
https://www.ithenticate.com/plagiarism-detection-blog/bid/65061/What-Is-
Self-Plagiarism-and-How-to-Avoid-It#.WJsOiFMrJqM

Harliansyah, F. (2017). Plagiarism dalam karya atau publikasi ilmiah dan langkah
strategis pencegahannya. Libria, 9 (1), 104-114.

Ithenticat. (n.d.) The Ethics of self-plagiarism. Retrieved from


https://www.ithenticate.com/resources/papers/ethics-of-self-plagiarism

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2022) Retrieved from https://kbbi.web.id/plagiarisme

Kresna (2014). Kasus plagiarisme, Anggito Abimanyu mundur dari UGM. Merdeka.
Retrieved from https://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-plagiarisme-
anggito-abimanyu-mundur-dari-ugm.html

Merriam-webster dictionary. (2022). Retrieved from https://www.merriam-


webster.com/dictionary/plagiarize

Mudrak, B. (n.d). Self-plagiarism: How to define it and why you should avoid it. Retrieved
from https://www.aje.com/arc/self-plagiarism-how-to-define-it-and-why-to-
avoid-it/

Muhardiansyah, Y. (2021, Januari 18). Pelantikan Rektor USU terpilih tunggu keputusan
Kemendikbud soal plagiarism. Merdeka. Retrieved from
https://www.merdeka.com/peristiwa/pelantikan-rektor-usu-terpilih-tunggu-
keputusan-kemendikbud-soal-plagiarisme.html

59
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Multazam, U. (2019). Kepemimpinan dan budaya akademik di perguruan tinggi. Ta’dibi:


Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, VII (2). Retrieved from https://e-
jurnal.stail.ac.id/index.php/tadibi/article/download/24/25

Peraturan Kementrian Pendidikan Nasional No.17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.

Peraturan Kementerian Riset dan Teknologi DIKTI Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

Prawira. (2012, Maret 1). Tiga doktor UPI diduga menjiplak. Tribunnews.
https://www.tribunnews.com/regional/2012/03/01/tiga-doktor-upi-diduga-
menjiplak

Rizal, J. (2010). Plagiarisme akademik: perspektif metode keilmuan dan doktrin hukum.
Jurnal Hukum & Pembangunan, 40(3), 339-363.

Rohmanu, A. (2017). Tata kelola mahasiswa terhadap integritas akademik dan


plagiarisme. Muslim Heritage, 1(2), 331-352. Retrived from
https://jurnal.iainponorogo.ac.id/index.php/muslimheritage/article/download/
603/465

Roig, M. (2015). Avoiding plagiarism, self-plagiarism, and othe questionable writing


practices: A guide to ethical writing. Retrieved from
https://ori.hhs.gov/sites/default/files/plagiarism.pdf

Rudini & Zubaedah, N. (2010, Februari 10). Plagiat, UNPAR copot guru besar. Okezone.
Retrieved from
https://edukasi.okezone.com/read/2010/02/10/65/302135/plagiat-unpar-
copot-guru-besar

Septiyantono, T. (2014). Literasi informasi. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.

Shadiqi, M.A. (2019). Memahami dan mencegah perilaku plagiarism dalam menulis karya
ilmiah: Understanding and avoiding plagiarism behavior in scientific writing.
Buletin Psikologi, 27(1) 30-42. Retrieved from
https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/view/43058

Supak-Smocic, V. & Bilic-Zulle, L. (2013). How do we handle self-plagiarism in submitted


manuscripts? Biochem Med (Zagreb), 23(2), 150-153. Retrieved from
https://hrcak.srce.hr/103791

Tesaurus Indonesia. (2021). Retrieved from https://tesaurus.id/sinonim/penculik.

Turnitin. (2016). Is recycling your own work plagiarism? Retrieved from


https://www.turnitin.com/blog/is-recycling-your-own-work-plagiarism

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

60
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Utama, A. (2017, September 28). Rektor UNJ dicopot sementara, gelar S3 doktor plagiat
sepatutnya juga dibatalkan. BBC. Retrieved from
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41416802

Wibowo, A. (2012). Mencegah dan menanggulangi plagiarisme di dunia


pendidikan=preventing and solving plagiarism in educational institution. Kesmas,
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 6 (5), 195-200.

Wiranata, K., Zamralita, Z., & Basaria, D. (2020). Gambaran integritas akademik pada
mahasiswa baru Universitas X. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, 4
(1), 254-263. Retrieved from
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/7059

61
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

BAB 5
PROSES REVIU ETIKA PENELITIAN: STUDI KASUS DI POLTEK
KENDAL
Nurmadina
Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu

RINGKASAN
Proses reviu etika penelitian dilakukan untuk memeriksa bahwa seluruh proses
penelitian yang akan dilakukan telah memenuhi syarat etik. Komite etik wajib
memberikan tanda bukti kelayakan etik/ethical clearance apabila peneliti mampu
memenuhi syarat yang telah ditentukan. Peninjau (reviewer) juga wajib memberikan
alasan atau masukan apabila pengajuan tidak memenuhi syarat etik. Dalam
melaksanakan tugas, peninjau etik menggunakan prosedur yang telah ditetapkan oleh
komite etik. Peninjau harus memiliki etika penelitian dan bersikap konsisten terhadap
kesepakatan komite etik.
Prosedur reviu perlu diketahui oleh peneliti sehingga memudahkan dalam proses reviu.
Beberapa tugas pada reviu etik di antaranya pengelompokan penelitian berdasarkan
risiko, penelaahan dokumen dan penentuan kesimpulan. Untuk memudahkan dalam
meriviu, komite etik dapat menyediakan kuesioner yang dapat diisi oleh peneliti secara
online. Dalam tulisan ini akan dijelaskan beberapa formulir dan persyaratan yang harus
dipenuhi pada pengajuan ethical clearance di Politeknik Industri Furnitur dan
Pengolahan Kayu. Reviu usulan penelitian dilakukan mencakup latar belakang, tujuan,
metode, kebermanfaatan penelitian terhadap pihak yang berkepentingan. Beberapa
dokumen pengajuan telaah etik yaitu data peneliti, anggota, sponsor, sampel penelitian,
lembar identifikasi risiko, hak atas data, dan komitmen etik. Tidak menutup
kemungkinan, jika suatu institusi menerapkan persyaratan etika penelitian yang telah
menjadi kesepakatan bersama. Kesepakatan yang diambil Politeknik Industri Furnitur
dan Pengolahan Kayu yaitu komitmen peneliti dalam mengembalikan kelestarian
lingkungan dari dampak yang ditimbulkan pada kegiatan penelitian

PERATURAN TERKAIT ETIKA PENELITIAN


Penelitian adalah bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang wajib dilaksanakan oleh
civitas akademika. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, dengan tegas menyatakan bahwa Perguruan Tinggi berkewajiban melaksanakan
Tridharma Perguruan Tinggi yaitu menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat. Dalam undang-undang tersebut, pengertian penelitian
adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis
untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman
dan/atau pengujian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. Peraturan terkait

62
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

etika penelitian secara jelas belum tercantum pada undang-undang tersebut. Beberapa
instansi yang telah menerbitkan peraturan terkait etika penelitian diantaranya
Kementerian Kesehatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan lembaga
pendidikan atau universitas secara mandiri.
Di tahun 2022, Direktur Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu telah
menerbitkan Peraturan tentang klirens etika penelitian yaitu Perdir No
11/BPSDMI/POLTEK-Kendal/PD/VIII/2022. Setiap dosen di Politeknik Industri
Furnitur dan Pengolahan Kayu (Polifurneka) diwajibkan memiliki dokumen kaji etik
untuk dapat melakukan penelitian. Komisi klirens etika penelitian dibuat yaitu
beranggotakan lima orang yang berwenang menyetujui permohonan klirens etik,
memberikan saran perbaikan, dan mencabut persetujuan permohonan.

ETIKA PENELITIAN DI POLIFURNEKA


Penelitian di Polifurneka memiliki cakupan yang luas yaitu mempelajari bidang keilmuan
teknik, desain, dan manajemen. Subjek penelitian yang sering digunakan adalah kayu dan
manusia, selain itu penelitian mendatang dimungkinkan menggunakan hewan coba. Oleh
karena itu, dibentuklah sterring committee etika penelitian yang bertugas membentuk
komite etik dan peraturannya. Sterring committee etika penelitian yaitu terdiri dari dosen
atau peneliti senior Polifurneka, dan Unit Sistem Penjaminan Mutu (SPM). Hasil rapat
tersebut menghasilkan panduan dan klirens etika penelitian. Menurut Peraturan BRIN
(2002), klirens etik riset adalah instrument untuk mengukur keberterimaan secara etik
dalam proses riset/ penelitian.
Panduan etika penelitian di Polifurneka dibentuk dengan mengelaborasi peraturan
terkait dari berbagai instansi. Instansi yang menjadi bahan elaborasi adalah Badan Riset
dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Conventry University. Kedua instansi tersebut
memberikan fasilitas untuk menilai keberterimaan secara etik dari proposal riset yang
dilakukan periset umum. BRIN membagi komisi etik berdasarkan lima bidang ilmu yaitu;
sosial humaniora, hewan coba, tenaga nuklir, kimia, dan kesehatan. Polifurneka
mengambil tiga bidang ilmu sebagai bahan elaborasi yaitu social humaniora, hewan coba,
dan kimia. Di samping itu, Polifurneka mengelaborasi reviu etik bidang keteknikan dari
Conventry University. Sumber informasi terkait etika penelitian dapat diperoleh dari
website institusi tersebut.

Peneliti mengajukan berkas telaah etik kepada komisi etik

Komisi etik menentukan tingkat Risiko Penelitian

Ketua komisi etik memberikan hasil telaah etik

Gambar 1. Alur reviu etika penelitian di Polifurneka

63
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Alur reviu etika penelitian di Polifurneka dibuat secara sederhana sehingga dapat
diproses secara tepat dan cepat. Gambar 1 menunjukkan alur reviu yaitu pada tahap
pertama peneliti mengajukan berkas sesuai dengan bidang ilmu penelitiannya. Sebagai
contoh, penelitian bidang finishing kayu menggunakan sampel bahan kimia maka peneliti
mengambil formulir riset bidang kimia. Menurut Mooney-Somers dan Olsen (2017),
kompetensi penelitian merupakan faktor penting terlaksananya penelitian sesuai etik. Di
negara maju, Australia telah dibentuk komite reviu etik manusia (HRECs) yang bertugas
melakukan tinjauan etis penelitian, sehingga penelitian dilakukan dan diawasi oleh orang
yang kompeten di bidangnya. Di Indonesia, perlu adanya kebijakan pemerintah tentang
pelaksanaan reviu etika penelitian pada setiap bidang. Saat ini, hanya bidang kesehatan
yang telah memiliki pedoman dan standar etika penelitian, yaitu berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2016 tentang Komisi Etik
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional yang dibentuk oleh Menteri
Kesehatan. Studi literatur terkait etika penelitian bidang seni di Indonesia belum banyak
dilakukan. Menurut Kuri (2020), etika penelitian bidang seni memberikan kepastian
terhadap subjek dan hak cipta produk.
Percobaan atau uji publik reviu etika penelitian di Polifurneka telah dilaksanakan di
tahun 2011 yaitu dengan 3 sampel. Kendala pertama yang dihadapi pada proses reviu
etika penelitian di Polifurneka adalah kurangnya jumlah dosen yang memiliki
kompetensi metodologis penelitian. Oleh sebab itu, UPPM melakukan peningkatan
kompetensi tim peninjau dengan pelatihan metode penelitian secara berkala. Polifurneka
juga merencanakan kegiatan studi banding pelaksanaan reviu etika penelitian ke institusi
pendidikan. Menurut Ralefala dkk. (2018) sebagai upaya memajukan etika penelitian di
Negara Botswana maka perlu dilakukan pelatihan etika penelitian untuk peneliti,
memberi dukungan pada Institutional Review Boards, membuat kebijakan etika
penelitian institusional, dan mengadakan perjanjian dengan pihak terkait.
Secara umum penelitian di Polifurneka dilakukan dengan metode kualitatif, kuantitatif,
dan campuran. Menurut Mooney-Somers & Olsen (2017), peninjau akan sulit
mempertimbangkan dan mengatasi masalah etika, tanpa pemahaman menyeluruh
tentang teknis metode penelitian. Peninjau etika penelitian membutuhkan kemandirian
dalam proses pengambilan keputusan. Prinsip yang perlu ditanamkan pada kegiatan
reviu etika penelitian adalah menghormati orang, peduli terhadap kesejahteraan dan
keadilan (CIHR, 2018). Keterbatasan sumber daya mengakibatkan peninjau etik
dilakukan oleh orang yang tidak sesuai dengan bidang penelitian. Menurut UK Research
and Innovation (2021), standar ilmiah atau manfaat penelitian bukanlah tanggung jawab
komite etika penelitian, maka sebaiknya dievaluasi oleh teman sejawat yang sesuai. Jika
komite etik membutuhkan pemahaman yang lebih tentang manfaat ilmiah proposal
makan mereka harus meminta saran dari peneliti independen dengan keahlian seperti
metode penelitian yang dijelaskan pada proposal.
Kendala kedua yang dihadapi pada reviu etika penelitian adalah kurangnya integritas
peninjau etik. Menurut studi eksplorasi yang dilakukan Brown dkk. (2020), kurangnya
sikap indipenden komite etik mengakibatkan munculnya istilah kawan dan lawan dalam
lingkungan kerja. Orisinalitas ide penelitian dapat hilang apabila komite etik berada pada
pihak lawan peneliti. Integritas dari reviu etika penelitian juga dapat dipengaruhi oleh

64
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

jabatan peneliti. Konflik kepentingan menjadi alasan yang sulit dihindarkan pada reviu
etika penelitian apabila peninjau etik berasal dari internal.
Kendala ketiga yang dialami pada proses reviu etika penelitian adalah ketidakpuasan
peneliti akibat terlalu lama durasi pengajuan hingga keputusan reviu etik. Hal tersebut
disebabkan oleh terbatasnya jumlah peninjau pada komite etik. Page & Nyeboer (2017)
memberi rekomendasi struktur Research Ethic Board yang terdiri dari empat komponen,
sehingga pelaksanaan reviu etika penelitian dapat efektif (Tabel 1).
Tabel 1. Struktur Research Ethic Board
Pemangku Kepentingan Aktifitas
Para peneliti  Membuat proposal penelitian ilmiah
 Memahami dan menerapkan standar etika penelitian
 Melengkapi syarat reviu etika penelitian
 Bersikap tanggap terhadap permintaan revisi dan
klarifikasi
Administrator penelitian  Memahami dan menerapkan persyaratan kelembagaan
 Memahami dan mampu mengkomunikasikan standar etika
penelitian
 Mengetahui permasalahan yang terjadi dan memberi
informasi kepada pihak institusi yang berwenang
Anggota komite etik  Memahami dan menerapkan standar etika penelitian
penelitian secara konsisten
 Menghormati jadwal reviu
 Mengikuti kegiatan pendidikan/pelatihan terkait
Institusi  Menyediakan dukungan administrasi, responsif terhadap
variasi dalam beban kerja
 Mendorong dan mendukung kesempatan belajar bagi
peneliti, administrator dan anggota komite etik penelitian
 Mempromosikan budaya menghormati reviu etika
penelitian

Tingkat Risiko Penelitian


Pengelompokan tingkat risiko didasarkan pada metode penelitian yang dilakukan.
Penelitian di Polifurneka dilakukan dengan metode kualitatif, kuatitatif, dan kombinasi
kualitatif-kuantitatif. Pengelompokan tingkat risiko termasuk peninjauan awal dan
membutuhkan waktu satu minggu. Koordinator komite etik kemudian membuat surat
tugas dalam rangka pemberian reviu etika penelitian. Proses reviu penelitian dengan
tingkat risiko rendah dilakukan oleh satu orang, dan penelitian dengan risiko sedang
dilakukan oleh dua orang. Tabel 2 adalah tingkat risiko penelitian di Polifurneka.

65
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Tabel 2. Tingkat risiko penelitian di Polifurneka


Tingkat Risiko Penelitian Peninjau
1. Rendah minimal satu orang peninjau
Penelitian dengan data sekunder (studi literatur, etik
analisis data yang telah dipublikasikan)

2. Sedang minimal dua orang peninjau etik


Penelitian dengan data primer (survei, wawancara,
pengujian di laboratorium, atau desain produk)

3. Tinggi komite etik eksternal


Penelitian dengan dampak risiko yang tinggi (topik
yang sangat sensitif atau partisipasi
individu/kelompok yang sangat rentan dan
terpinggirkan)

Berkas Telaah Etik


Ketua tim peneliti mengumpulkan berkas telaah etik kepada komisi etik sesuai dengan
format yang telah diberikan. Pembuatan format berkas telaah etik di Polifurneka
dilakukan olah tim perwakilan dosen Program Studi. Perwakilan dosen harapannya
dapat mewakili tiga bidang keilmuan, yaitu sosial, teknik, dan desain. Berkas telaah etik
yang wajib diserahkan kepada Komite Etik adalah:
1. Data Peneliti dan Sampel Penelitian
Data peneliti berfungsi untuk mengetahui keterlibatan setiap anggota peneliti dalam
melakukan penelitian. Setiap anggota diwajibkan memiliki kompetensi ilmiah dan
memberikan kontribusi dalam penelitian. Informasi yang tertulis sebagai data adalah
latar belakang pendidikan, penelitian, dan keahlian.
Data sampel penelitian berisikan jenis, jumlah dan detail informasi asal sampel yang
akan diteliti. Penelitian dengan benda mati seperti kayu maka wajib memuat
informasi terkait identitas dan asal kayu. Penelitian yang dilakukan di luar kampus
juga harus menyertakan form persetujuan ijin pengambilan data. Objek penelitian
yang melibatkan benda hidup maka kriteria inklusi/eksklusi wajib disertakan.
2. Data durasi dan lokasi penelitian
Peninjau mempertimbangkan kelayakan penelitian dengan melihat durasi
penelitian.
3. Lembar identifikasi dan penanganan risiko
Tujuan identifikasi risiko yaitu untuk meminimalkan risiko kerugian terhadap
seluruh pihak yang terlibat. Hal yang termasuk dalam risiko yaitu kemungkinan
bahaya yang akan terjadi, dan tingkat kerugian yang dihasilkan. Peninjau
membandingkan tingkat risiko terhadap manfaat yang dihasilkan. Pertimbangan
yang diperhatikan pada penelitian di Polifurneka diantaranya adalah keselamatan,
dan kesehatan pihak yang terlibat. Peneliti juga diwajibkan menulis penanganan
risiko terhadap hal yang kemungkinan terjadi.

66
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

4. Hak atas data


Hak atas data dibuat sebagai bentuk keamanan data penelitian. Ketua peneliti
memberikan pernyataan terkait siapa saja yang boleh memiliki data penelitian.
5. Komitmen etik
Lembar komitmen etik berisikan pernyataan ketua peneliti terhadap komitmen
etika.
6. Proposal penelitian
Proposal penelitian diperlukan dalam telaah etik mencakup latar belakang, landasan
teori, dan metode penelitian.

Lembar Daftar Periksa Peninjau Etika penelitian


Lembar daftar periksa (checklist) dimaksudkan sebagai panduan penilaian peninjau etika
penelitian. Adapun penilaian terhadap berkas dan rancangan penelitian di Polifurneka
tidak terbatas pada Tabel 3.
Tabel 3. Daftar periksa peninjau etika penelitian
Tujuan Apakah ada masalah penelitian, pertanyaan atau hipotesis yang
dinyatakan dengan jelas? dan
Apakah ada tinjauan yang memadai dari penelitian ini?
Desain Apakah desain penelitian sudah sesuai?
Penelitian Apakah metodenya jelas, dapat dibenarkan dan dapatkah metode
tersebut menjawab pertanyaan penelitian?
Apakah pemohon/tim peneliti memiliki izin, sumber daya, dan
keterampilan untuk menyampaikan proyek (kelayakan)?
Waktu Apakah jadwal proyek penelitian masuk akal dan layak?
Penelitian
Sampel Siapa saja pesertanya? Apakah kriteria inklusi/eksklusi jelas dan
penelitian dan benar?
kepesertaan Apakah ukuran sampel yang diusulkan sesuai, dapat dicapai, layak
dan memadai?
Jika peserta dianggap 'rentan', apakah ada perlindungan yang
memadai?
Apakah partisipan dapat mengundurkan diri dari penelitian, apakah
jelas bagaimana dan kapan peserta dapat mengundurkan diri?
Pengumpulan, Apakah jelas metode pengambilan data?
perijinan, dan Apakah ada perijinan pengambilan foto, video, atau rekaman audio
keamanan yang dibagikan atau digunakan untuk disebarluaskan?
data Apakah tindakan yang dilakukan untuk memastikan anonimitas dan
/atau kerahasiaan, dan keamanan informasi pribadi?
Di mana data penelitian disimpan? Dan siapa yang dapat mengakses
data?
Potensi Apakah desain penelitian telah mempertimbangkan segala bentuk
kerugian kerugian?
Apakah peserta diberi informasi yang memadai tentang potensi
risiko dan peneliti telah melakukan upaya pencegahan?

67
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Konflik Apakah ada konflik kepentingan yang telah diidentifikasi dan


kepentingan dimitigasi secara memadai?
Kesimpulan Apakah manfaat yang diusulkan dari proyek ini secara memadai lebih
besar daripada risiko terkait?
Apakah peneliti memiliki pengalaman/keterampilan yang
diperlukan untuk keseluruhan risiko dan melaksanakan penelitian?
Apakah penelitian mematuhi Kebijakan Perilaku dan Etika
Penelitian?
Apakah peneliti menyatakan komitmen etik sesuai peraturan yang
ditetapkan?

KOMITMEN ETIK
Dampak lingkungan yang ditimbulkan dari penelitian di bidang furnitur yaitu
tercemarnya lingkungan akibat proses produksi. Oleh sebab itu, komitmen etik disusun
sebagai langkah mengembalikan kelestarian lingkungan dari dampak yang ditimbulkan
pada kegiatan penelitian. Penelitian terkait furnitur sebagian besar menggunakan kayu
sebagai bahan. Komitmen etik di Polifurneka disusun berdasarkan konsensus bersama
terhadap partisipan/objek yang diteliti. Pernyataan yang tertulis di lembar komitmen
adalah rencana kegiatan dalam rangka melestarikan lingkungan.

PENETAPAN HASIL TELAAH ETIK


Peninjau etik akan memberikan komentar pada setiap poin check list penilaian. Peninjau
akan meminta klarifikasi atau revisi kepada peneliti apabila terdapat kekurangan berkas.
Peneliti diberikan waktu hingga sepuluh hari kerja untuk memperbaiki data. Apabila
jawaban reviu kurang jelas maka akan diadakan klarifikasi langsung antara komite etik
dan peneliti. Peninjau etika penelitian memberikan penjelasan secara tertulis terkait
alasan penolakan hasil reviu. Jika proposal tidak memenuhi standar etika yang
diharapkan atau diperlukan perubahan, peninjau harus memberikan umpan balik yang
jelas tentang apa yang perlu diperbaiki. Peninjau etik akan memberikan persetujuan
apabila seluruh syarat etika penelitian telah dipenuhi. Sertifikat izin etika penelitian
diberikan kepada ketua tim peneliti, dan mereka dapat memulai penelitiannya.

REFERENSI
Brown, C., Spiro J, & Quinton S. (2020). The role of research ethics committees: Friend or
foe in educational research? An exploratory study. British Educational Research
Journal, 46 (4), 747-769. DOI 10.1002/berj.3654
Canadian Institutes of Health Research (CIHR), Natural Sciences and Engineering
Research Council of Canada, and Social Sciences and Humanities Research Council.
(2018). Tri-Council Policy Statement: Ethical Conduct for Research Involving
Humans, Desember 2018.

68
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Kuri, E. L. (2020). Ethics in Arts-Based Research: Drawing on the Strengths of Creative


Arts Therapists. Canadian Journal of Counsellingand Psychotherapy, 54 (3), 197-
219.
Mooney-Somers, J., & Olsen, A. (2017). Ethical review and qualitative research
competence: Guidance for reviewers and applicants. Research Ethics, 13 (3-4),
128–138.
Page, SA., & Nyeboer, J. (2017). Improving the process of research ethics review. Research
Integrity and Peer Review, 2:14. DOI 10.1186/s41073-017-0038-7
Peraturan Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2022
tentang Klirens Etik Riset.
Peraturan Direktur No 11/BPSDMI/POLTEK-Kendal/PD/VIII/2022 tentang Kliren Etik
Penelitian. Kendal: Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2016 tentang Komisi
Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional yang dibentuk oleh
Menteri Kesehatan.
Ralefala, D., Ali, J., Kass, N., & Hyder, A. 2018. A case study of researchers’ knowledge and
opinions about the ethical review process for research in Botswana. Research
Ethics, 14 (1), 1-14.
UK Research and Inovation. (2021). Research organisations and research ethics
committees. https://www.ukri.org
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Jakarta: Republik Indonesia.

69
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

BAB 6
PANDUAN PENYAMPAIAN HASIL PENELITIAN KEPADA
PARTISIPAN PADA PENELITIAN BIDANG SOSIAL
Nukhbah Sany
Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu

RINGKASAN
Dalam hal penyampaian hasil penelitian kepada partisipan pada penelitian bidang sosial,
informasi yang layak diberikan kepada partisipan adalah manuskrip akhir yang telah
ditinjau oleh rekan sejawat dan telah diterima untuk dipublikasikan, terdiri atas hasil
penelitian individu dan hasil penelitian agregat. Hasil penelitian tidak memiliki aturan
baku dalam hal waktu terbaik penyampaiannya, namun secara umum dilakukan di akhir
penelitian ketika hasil sudah dilakukan diseminasi dan ditinjau rekan sejawat.
Penyampaian hasil dapat dilakukan minimal oleh satu personil, dengan catatan personil
tersebut terlatih dan berwawasan, aktif dalam penyusunan penelitian, dan menjadi pihak
yang selama ini berkoordinasi kepada partisipan. Cara penyampaian hasil penelitian
dapat dilakukan dengan menggunakan media terbaik yang dapat menghasilkan umpan
balik semaksimal mungkin dan dilengkapi material pendukung agar menambah manfaat
hasil dan mencegah potensi kerugian dari hasil yang disampaikan.

PERTIMBANGAN ETIS DALAM HAL PENYAMPAIAN HASIL PENELITIAN


Membicarakan isu etika pada penelitian bidang sosial, terdapat satu tema yang jarang
dibahas secara mendalam, yaitu mengenai resiprokasi atau upaya timbal balik yang
dilakukan penulis, khususnya terhadap partisipan yang telah membantu proses
penelitian. Pelaporan hasil penelitian terhadap pihak akademisi atau pembuat kebijakan
sudah diatur dengan jelas kewajibannya, namun berkaitan dengan pelaporan terhadap
partisipan, masih terdapat kerancuan (Friedlander dkk., 2021). Terkadang, peneliti
merasa tidak terdapat kewajiban untuk menyampaikan hasil penelitian dengan
pertimbangan tertentu. Sedangkan dari sudut pandang partisipan, keputusan akan
menerima atau tidaknya hasil penelitian seharusnya ada di tangan mereka (Purvis dkk.,
2017). Mengabaikan hak partisipan untuk mengetahui hasil penelitian akan
menimbulkan dampak negatif baik bagi peneliti, bidang ilmu yang diteliti, hingga
kesediaan partisipan untuk kembali berkontribusi di masa depan.
Hingga saat ini, keputusan pelaporan hasil penelitian kepada partisipan yang diikuti oleh
peneliti di bidang sosial kerap menggunakan kaidah etis yang diatur pada publikasi-
publikasi di bidang kesehatan. Dasar pemikirannya adalah kesamaan kedua bidang
dalam keikutsertaan manusia sebagai subjek penelitiannya. Pada penelitian di bidang
kesehatan, dikenal 3 prinsip utama yang harus diikuti peneliti, yaitu respect for person,
beneficence, dan justice (Fernandez dkk., 2004). Selain itu, kaidah pelaksanaan penelitian

70
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

yang baik sudah diatur WHO dalam Code of Conduct for Responsible Research (2017),
dengan memegang 8 prinsip utama antara lain kejujuran, ketegasan, transparansi,
keadilan, rasa hormat, pengakuan, akuntabilitas, dan promosi. Kegiatan pelaporannya
pun mengikuti prisip-prinsip tersebut, dengan penekanan pada penyampaian informasi
yang benar dan akurat.
Secara umum, penyampaian hasil penelitian harus menghormati tiga prinsip etis utama,
yaitu non-maleficence, respect for autonomy, dan beneficence (Hintz & Dean, 2019).
Penjelasan singkat dari ketiganya adalah sebagai berikut:
1. Non-maleficence merupakan prinsip etika yang melarang peneliti untuk
melakukan tindakan yang membahayakan atau merugikan partisipan. Prinsip ini
menurut Goldblatt dkk. (2011) merupakan kewajiban etika paling utama yang
harus dipegang seorang peneliti. Dalam konteks penyampaian hasil penelitian,
prinsip non-maleficence menjadi latar belakang peneliti memilih metode dan
menyaring informasi sehingga menghasilkan potensi kerugian paling minimal
pada partisipan.
2. Respect for autonomy merupakan prinsip etika yang mengharuskan peneliti untuk
menghormati hak partisipan dalam hal memilih menerima atau tidak menerima
hasil penelitian. Partisipan harus mendapatkan kesempatan untuk memilih. Bisa
jadi partisipan tidak bersedia untuk menerima hasil penelitian, meskipun ia setuju
untuk ikut serta pada prosesnya. Melalui prinsip etika ini pula, partisipan memiliki
hak untuk menghentikan keikutsertaannya meskipun proses penelitian belum
mencapai akhir dan peneliti harus menghormati keputusannya.
3. Beneficence merupakan prinsip etika yang harus dipertimbangkan peneliti ketika
merencanakan penyampaian hasil, yaitu memaksimalkan manfaat yang akan
diterima partisipan. Tantangan yang muncul dalam prinsip ini berkaitan dengan
tanggung jawab dan kepraktisan dari sudut pandang peneliti, serta pertimbangan
preferensi dan kapasitas partisipan yang berdampak pada teknik penulisan dan
pemilihan bahasa pada hasil penelitian yang disampaikan. Waktu paling optimal
dalam menyampaikan hasil serta media yang dipilih untuk memaksimalkan
manfaat yang diterima partisipan juga kerap menjadi hal yang sulit untuk
ditentukan.
Ketika menginformasikan hasil penelitian kepada partisipan sebagai subjek penelitian,
terdapat beberapa manfaat yang diharapkan akan muncul, yaitu:
1. Menunjukkan peran besar partisipan pada proses penelitian
2. Meminimalkan perasaan tereksploitasi oleh peneliti
3. Memberikan informasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan
meminimalkan risiko kerugian di masa depan partisipan
4. Mendiseminasikan informasi yang didapatkan dari penelitian di luar bidang
penelitian

71
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

5. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak penelitian pada ilmu


pengetahuan
6. Menekankan kontribusi partisipan terhadap peningkatan pemahaman terhadap
suatu penyakit atau terapi
7. Meningkatkan rasa percaya terhadap para peneliti dan terhadap proses penelitian
Namun, tetap muncul kekhawatiran bagi beberapa peneliti untuk menginformasikan
hasil penelitian kepada partisipan, sehingga kebijakan untuk mempublikasikan hasil
penelitian kepada partisipan tidak dapat dibakukan menjadi sebuah kewajiban. Risiko
paling besar yang dapat dialami partisipan adalah pengambilan keputusan medis yang
salah atau berbahaya dikarenakan informasi yang diberikan masih belum mencapai
kematangan yang diperlukan. Biasanya hal ini terjadi pada penelitian mengenai teknik
pengobatan/terapi baru yang masih rawan terhadap bias atau informasi yang belum
pasti. Selain itu, terdapat juga risiko emosional yang dapat dirasakan oleh partisipan atau
keluarga dari partisipan, biasanya dikarenakan informasi yang diberikan memantik
kenangan atau emosi negatif. Terakhir, terdapat risiko biaya bagi peneliti atau partisipan
dalam hal penyampaian hasil penelitian. Jika peneliti melakukan penelitian di wilayah
yang jauh dari tempat tinggalnya, proses penyampaian hasil mengharuskan peneliti
untuk kembali lagi ke lokasi penelitian, sehingga otomatis menimbulkan biaya tambahan
yang tidak sedikit. Hal tersebut diakibatkan beberapa hasil memang harus disampaikan
secara langsung agar dipahami dengan baik oleh partisipan Contoh dari kasus ini adalah
yang dialami oleh de Mel dkk. (2012) pada penelitiannya yang berlokasi di Sri Lanka.
Menanggapi dilema tersebut, beberapa peneliti pada bidang sosial menetapkan bahwa
terdapat kelonggaran untuk tidak mempublikasikan seluruh atau sebagian dari hasil
penelitian jika diperkirakan akan muncul risiko/kerugian dari tersampaikannya hasil
penelitian tersebut (Iphofen, 2009). Peneliti merupakan pihak yang memiliki kuasa
untuk memetakan pertimbangan etis ada/tidaknya risiko kerugian. Secara umum, 2
faktor yang dipertimbangkan adalah:
1. Potensi nilai bagi partisipan (misalnya, apakah hasil penelitian memberikan nilai
tambah di hidup partisipan?)
2. Pertimbangan kelayakan pengembalian hasil (misalnya, biaya dan sumber daya
yang perlu diadakan untuk melaksanakannya)
Peneliti harus menyadari jika potensi kerugian atau risiko yang dialami partisipan
merupakan hal yang tidak dapat dihindari, dan seharusnya tidak mencegah mereka
untuk membagikan hasil penelitian kepada pihak-pihak yang telah terlibat
menyukseskan prosesnya. Dalam bab ini, disusun rangkaian rekomendasi penyampaian
hasil yang merefleksikan komitmen terhadap ketepatan waktu, akurasi, dan kemudahan
untuk dipahami. 4 pertanyaan yang sering muncul dibahas sebagai berikut:

INFORMASI APA YANG AKAN DIBAGIKAN?


Peneliti harus menentukan “apa saja” informasi yang dianggap sebagai hasil penelitian.
Menurut Fernandez dkk. (2003), yang diakui sebagai hasil penelitian layak untuk
dikembalikan kepada partisipan adalah manuskrip akhir yang telah ditinjau oleh rekan

72
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

sejawat dan telah diterima untuk dipublikasikan. Terdapat dua tingkatan hasil penelitian
yang dapat dibagikan:
a. Hasil penelitian individu, menyajikan data terspesifik mengenai seorang
partisipan (transkrip, data skala, hasil uji kognitif, dan lain-lain).
b. Hasil penelitian agregat/umum, menyajikan data hasil penelitian secara luas (data
populasi subjek penelitian, data yang ditinjau rekan sejawat, dan lain-lain).
Idealnya, peneliti menawarkan hasil penelitian individu dan hasil penelitian agregat
sekaligus kepada partisipan, dengan tujuan untuk memberikan pemahaman menyeluruh
dari berbagai sudut pandang. Namun dalam praktiknya, terdapat kondisi-kondisi yang
menyebabkan peneliti tidak dapat membagikan hasil individu. Baik disebabkan oleh
keterbatasan sumber daya atau jenis model desain penelitian yang tidak menghasilkan
hasil individu (misalnya randomized design atau studi double blind), peneliti harus
menilai sejak awal agar dapat diinformasikan pada dokumen consent. Jika dinilai
penyampaian hasil individu tidak memungkinkan atau tidak dianjurkan, hasil penelitian
agregat tetap harus ditawarkan dengan asumsi partisipan menyetujui untuk ikut serta
pada penelitian. Oleh karena itu, rekomendasi untuk menawarkan kedua hasil penelitian
dapat dikecualikan pada beberapa jenis penelitian.
Dari sudut pandang etis, hasil penelitian individu lebih berisiko untuk menimbulkan stres
dan kerugian bagi partisipan. Pada bidang kesehatan di luar negeri, panduan dan
penilaian pengembalian hasil penelitian diatur oleh Institutional Review Boards (IRB).
Sedangkan dalam penelitian bidang sosial, peneliti merupakan pihak yang bertanggung
jawab untuk menganalisis apakah hasil penelitian individu memiliki potensi untuk
menimbulkan stres atau kerugian bagi partisipan atau pihak lain. Analisis dapat
dilakukan dengan menyusun daftar manfaat dan kerugian yang mungkin muncul jika
hasil disampaikan dan dimanfaatkan oleh partisipan. Jika dalam analisis potensi kerugian
termasuk minimal atau masih dalam tahap wajar (dibandingkan dengan manfaat yang
akan didapatkan), maka peneliti harus menawarkan hasil penelitian individu pada
dokumen consent.
Selain menyampaikan hasil penelitian dalam bentuk informasi yang utuh (tabel,
transkrip, dan lain-lain), peneliti juga harus mempersiapkan rangkuman dari hasil
penelitian untuk dibagikan kepada partisipan. Rangkuman ini dapat berbentuk tertulis
dan lisan (tersedia naskah penyampaian hasil atau sudah dalam berbentuk rekaman)
dalam berbagai versi, menyesuaikan level pemahaman dari partisipan. Secara umum,
bahasa yang digunakan penulis dalam menyampaikan rangkuman atau interpretasi dari
informasi utuh harus lugas dan mudah dimengerti (dikenal dengan istilah plain
language). Namun penting juga untuk melakukan analisis terhadap spektrum tingkat
literasi partisipan sebelum membuat rangkuman hasil penelitian, agar jenis penulisan
hasil dapat disesuaikan dari tingkatan tersebut. Bahasa sederhana (plain language)
bukan berarti memperbodoh (dumbing down) konten yang disajikan, melainkan berfokus
pada pembaca, menghilangkan kata-kata pengisi, memulai pembahasan dengan poin
utama, serta singkat dan jelas.
Hasil penelitian yang disampaikan harus memungkinkan pembaca untuk memahami:

73
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

a. Konteks dan tujuan dari penelitian, hasil utama, serta keterbatasan


b. Apa yang diketahui dan tidak diketahui peneliti mengenai hal yang berkaitan
dengan hasil penelitian, berdasarkan tingkat ketidakpastiannya
c. Jika melampirkan hasil penelitian individu dan hasil penelitian agregat, terdapat
penjelasan tentang kontribusi partisipan terhadap hasil agregat
d. Akses terhadap materi penunjang yang dapat memperluas cakupan pemahaman
partisipan
e. Jika terdapat potensi kerugian yang cukup besar, terdapat informasi mengenai
cara atau kontak yang dapat dihubungi untuk menguranginya.

KAPAN INFORMASI DAPAT DIBAGIKAN?


Informasi mengenai hasil penelitian dapat dibagikan hanya ketika partisipan telah
menyatakan kesediaannya untuk menerima hasil penelitian. Keputusan untuk menerima
atau menolak ditawarkan pertama kali di bagian awal penelitian (dalam dokumen
consent) dan ditawarkan ulang ketika proses penelitian telah mencapai tahap akhir.
Prinsip etika terhadap penawaran tersebut mengikuti respect for person dan non-
maleficence (Ferris & Sass-Korsak, 2011) sebagai berikut:
a. Jika diinginkan, partisipan memiliki hak untuk menerima salinan hasil penelitian.
b. Jika diinginkan, partisipan memiliki hak untuk menolak menerima salinan hasil
penelitian atau menolak untuk dihubungi oleh peneliti berkaitan dengan lanjutan
pelaksanaan penelitian.
Tidak ada aturan baku mengenai waktu penyampaian hasil penelitian yang harus diikuti
oleh peneliti. Peneliti dapat menentukan saat terbaik sesuai dengan konteks penelitian
yang dilakukan. Jika penelitian membutuhkan respon berkelanjutan yang rutin dari
partisipan untuk mencapai sebuah kesimpulan, peneliti dapat membagikan data yang
telah ditinjau oleh sejawat pada proses preliminary. Metode ini juga dapat dilakukan
ketika partisipan membutuhkan hasil analisis sementara untuk menentukan keputusan
yang segera. Namun, perlu dipahami bahwa hasil analisis pada proses preliminary yang
dibagikan bukanlah hasil terbaik dan masih dapat berubah jika peneliti menemui data-
data atau faktor-faktor yang dapat menyanggah kesimpulan sebelumnya. Selain itu,
pengambilan data yang berulang-ulang dapat memunculkan perasaan cemas pada
partisipan, terutama jika tema penelitian yang diambil berhubungan erat dengan
psikologi atau kesehatan partisipan.
Waktu yang paling umum diambil oleh peneliti dalam menyampaikan hasil penelitian
adalah di akhir proses penelitian, ketika hasil penelitian telah dilakukan diseminasi dan
melalui peninjauan sejawat. Peninjauan sejawat bertujuan untuk mempertahankan
integritas interpretasi data sebelum dipublikasikan dan melindungi partisipan dari
kerugian yang tidak semestinya (mengikuti prinsip etis non-maleficence). Oleh karena itu,
tidak jarang peneliti akan memberikan hasil penelitian selang beberapa tahun sejak

74
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

partisipan menyetujui formulir persetujuan. Sepanjang proses penelitian, terutama jika


sudah dapat diprediksi hasil baru bisa diketahui partisipan dalam selang waktu yang
cukup lama setelah proses pengambilan data, peneliti harus terus berupaya
mempertahankan jalur komunikasi.

SIAPA YANG MENYAMPAIKAN HASIL PENELITIAN DAN KEPADA SIAPA


INFORMASI DAPAT DIBAGIKAN?
Dalam penelitian dengan 1 personil, tanggung jawab untuk membagikan hasil penelitian
secara absolut jatuh kepada peneliti tersebut. Sedangkan pada penelitian berkelompok,
pemberian tanggung jawab diberikan kepada anggota atau delegasi terlatih yang
sepanjang proses penelitian aktif dalam penyusunan penelitian dan berkoordinasi
kepada partisipan. Secara lebih jelas, Fernandez dkk. (2003) merekomendasikan bahwa
pihak yang didelegasikan untuk menyampaikan hasil penelitian sebaiknya:
a. Turut hadir dalam tahap penyampaian consent di awal.
b. Membangun hubungan berkelanjutan dengan partisipan sepanjang proses
penelitian.
c. Merupakan pihak yang sama dengan yang mengurus publikasi penelitian.
Pertimbangan di atas bertujuan untuk memunculkan perasaan nyaman bagi partisipan
dalam berinteraksi dan berkonsultasi terkait dengan hasil penelitian. Dan karena pihak
yang didelegasikan tidak hanya bertugas memberikan hasil tetapi juga menjawab
pertanyaan umum atau lanjutan yang berkaitan dengan penelitian, maka pihak yang
ditugaskan harus memahami detail dan konteks dari penelitian yang dilakukan, termasuk
di dalamnya manfaat dan potensi kerugian yang bisa didapatkan dari penelitian.
Untuk meningkatkan transparansi, pada dokumen consent sebaiknya dicantumkan siapa
yang akan menjaga komunikasi dengan partisipan dan metode yang digunakan. Jika
komunikasi yang digunakan adalah dengan menghubungi nomor pribadi (telepon, SMS,
WhatsApp, email pribadi partisipan, dan media komunikasi lainnya), peneliti harus
memberikan informasi tambahan berupa alamat email atau tautan pada kolom
pertanyaan website institusi agar partisipan dapat menghubungi peneliti ketika terdapat
masalah pada jalur komunikasi yang telah diberikan sebelumnya.
Dalam mengidentifikasi pihak yang akan menerima hasil penelitian, peneliti harus selalu
berpatokan pada dokumen consent yang telah diisi oleh partisipan. Partisipan yang
memilih untuk menerima hasil penelitian harus mendapatkannya, meskipun tidak ada
manfaat langsung dari didapatkannya hasil tersebut. Hal ini berkaitan dengan
pertimbangan respect for person.
Selain memberikan hasil penelitian pada pihak individu, peneliti juga perlu
mempertimbangkan penyampaian hasil kepada komunitas. Dalam penyampaian hasil
tersebut, hanya hasil penelitian agregat yang dapat diberikan. Tujuannya adalah
melindungi data partisipan individu dari identifikasi pihak umum.

75
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

BAGAIMANA CARA INFORMASI DIBAGIKAN?


Aktivitas mengembalikan hasil penelitian dipahami sebagai sebuah proses distribusi
sistemik dari hasil akhir penelitian secara seragam, sebagai upaya menghargai keinginan
partisipan yang memilih untuk menerimanya dalam formulir consent (Hintz & Dean,
2019). Proses pengembalian hasil baru bisa dianggap selesai jika seluruh partisipan yang
setuju untuk menerimanya telah mendapatkan hasil dengan detail informasi yang telah
ditentukan oleh penulis sebelumnya.
Media penyampaian hasil penelitian disesuaikan dengan kemampuan finansial maupun
pertimbangan-pertimbangan sumber daya penulis lainnya. Jika penelitian merupakan
sebuah proyek hibah, maka biaya yang berkaitan dengan proses pengembalian hasil
harus diestimasi dan dimasukkan dalam proposal maupun laporan pertanggungjawaban.
Jika penulis tidak mendapatkan bantuan hibah penelitian dan mengalami keterbatasan
dalam hal penyampaian hasil, ringkasan hasil penelitian yang mudah dipahami partisipan
awam dapat diketik dalam sebuah dokumen Microsoft Word dan dikirimkan melalui
layanan hemat biaya seperti pos surat, email, atau akses daring lainnya. Hal ini sejalan
dengan Purvis dkk. (2017) yang merekomendasikan penggunaan fasilitas yang hemat
biaya bagi penulis. Namun, penggunaan metode tersebut memiliki keterbatasan bagi
penulis, khususnya dalam hal mendapatkan umpan balik dalam jangka waktu yang
diharapkan dan memfasilitasi diskusi dengan partisipan yang kebingungan atau merasa
stres setelah membaca hasil penelitian.
Pada kondisi ideal, penulis seharusnya membagikan hasil penelitian melalui media yang
memungkinkan komunikasi dua arah secara langsung, misalnya telepon, video
conference, atau secara tatap muka. Tetapi pada kondisi-kondisi yang membatasi
dilakukannya metode tersebut, penulis tetap harus mencantumkan kesempatan/jalur
komunikasi bagi partisipan untuk mengajukan pertanyaan secara langsung. Hintz dan
Dean (2019) merekomendasikan dalam hal metode pengembalian hasil penelitian,
peneliti dapat menyamakan caranya dengan metode yang digunakan ketika merekrut
partisipan. Misalnya, penelitian dengan metode wawancara dapat menggunakan
penyampaian tatap muka, sedangkan penelitian berbasis survei daring dapat
menggunakan informasi alamat email yang dipakai partisipan untuk mengirimkan
hasilnya. Khusus pada penelitian survei tanpa nama, peneliti dapat menyertakan tautan
ke halaman web atau media sosial untuk mengakses hasil penelitian.
Proses penyampaian hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, terlepas dari media
penyampaian yang dipilih, dapat dirangkum sebagai berikut (Fernandez dkk., 2003;
Partridge dkk., 2005):
a. Peneliti menjelaskan kembali jenis penelitian yang dilakukan oleh partisipan,
nama dan tujuan utama dari penelitian, dan sifat keterlibatan partisipan dalam
penelitian.
b. Peneliti menjelaskan hasil penelitian dan informasi-informasi yang berkaitan
dengan hasil yang dirasa penting untuk diketahui partisipan.

76
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

c. Peneliti menjelaskan hal-hal yang telah dilakukan setelah hasil penelitian


didapatkan dan menegaskan kembali aturan yang melindungi data pribadi
partisipan.
d. Jika ada, peneliti juga menyampaikan secara eksplisit rencana untuk
menghubungi kembali/follow-up partisipan di masa depan.
e. Peneliti memberikan kesempatan kepada partisipan untuk mengajukan
pertanyaan atau memberikan umpan balik terhadap hasil penelitian yang
diberikan.
Dalam mempermudah pemahaman mengenai hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti
ketika merencanakan pengembalian/penyampaian hasil penelitian kepada partisipan,
Hintz dan Dean (2019) merangkum praktik-praktik yang direkomendasikan pada tabel
berikut:
Tabel 1. Praktik-praktik yang direkomendasikan ketika menyampaikan hasil penelitian
kepada partisipan

Praktik Terbaik Poin Utama

Apa: Mendapatkan informed 1. Identifikasi partisipan atau pihak yang dapat


consent mengenai memberikan consent
pengembalian/penyampaian hasil 2. Meninjau proses pengembalian/penyampaian hasil,
penelitian risiko, serta manfaatnya
3. Mendapatkan consent mengenai
pengembalian/penyampaian hasil penelitian
4. Mencatat preferensi partisipan dalam menerima
hasil penelitian
5. Menetapkan mekanisme untuk mempertahankan
komunikasi dengan partisipan

Apa: Mendefinisikan “hasil 1. “Hasil penelitian” mencakup data-data yang


penelitian” yang akan diajukan dalam publikasi
disampaikan 2. Hasil penelitian tingkat individu end-of-study harus
disampaikan
3. Hasil agregat (tidak berisi hasil individu) juga harus
disampaikan

Siapa: Menentukan pihak yang 1. Peneliti atau delegasi terlatih menjadi pihak yang
akan menyampaikan hasil menyampaikan hasil penelitian
penelitian 2. Jika memungkinkan, delegasi harus hadir pada
proses awal (mendapatkan consent partisipan),
membangun komunikasi dengan partisipan selama
proses penelitian, dan cukup memahami konteks
dari hasil penelitian serta mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul

Siapa: Menentukan pihak yang 1. Jika diinginkan, hasil penelitian individu harus
akan menerima hasil penelitian disampaikan ke partisipan bersama dengan hasil
penelitian agregat
2. Hanya hasil penelitian agregat yang dapat
disampaikan ke komunikas

77
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Praktik Terbaik Poin Utama

Kapan: Menentukan waktu 1. Hasil penelitian disampaikan ke partisipan setelah


penyampaian hasil penelitian data dan interpretasi ditinjau oleh rekan sejawat
2. Aturan di atas boleh dilanggar dengan
pertimbangan: mencegah risiko, tidak ada rencana
mempublikasikan data, atau jika penelitian
dihentikan sebelum waktu yang direncanakan

Bagaimana: Menentukan 1. Proses penyampaian hasil terjadi ketika partisipan


mekanisme penyampaian hasil telah menerima secara langsung hasil tersebut
penelitian dengan cara yang sistematis
2. Media yang mendukung proses komunikasi
interaktif merupakan pilihan paling optimal
3. Pilihan terbaik peringkat dua adalah menyamakan
media penyampaian hasil dengan media yang
digunakan untuk merekrut partisipan di awal
proses penelitian

Bagaimana: Menyampaikan hasil 1. Ringkasan hasil ditulis dengan bahasa sederhana


penelitian dan menyediakan dan berfokus pada pembaca
sumber daya penunjang 2. Memulai informasi dengan poin utama dan
penyampaian singkat (maksimal 1 halaman)
3. Dalam laporan ringkasan, dibahas mengenai latar
belakang, tujuan, hasil, dan batasan penelitian
4. Tawarkan material pendukung dengan informasi
hasilnya serta lokasi akses publikasinya
5. Jika memungkinkan, sertakan sumber penunjang
yang dapat mendukung manfaat hasil atau
mencegah potensi kerugian dari hasil yang
disampaikan

Pembahasan mengenai praktik terbaik dari analisis di atas memungkinkan Hintz dan
Dean (2019) untuk tersusunnya prosedur perencanaan penyampaian hasil penelitian
yang dapat dilakukan oleh peneliti bidang sosial. Pertimbangan yang perlu dilakukan
dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini:

- Tentukan hasil - Dapatkan dan - Siapkan hasil dan


penelitian dokumentasikan informed sumber daya
- Tentukan siapa consent penunjang
- Tentukan bagaimana - Tentukan mekanisme - Sampaikan hasil
- Tetapkan kapan pemeliharaan komunikasi penelitian
- Tulis protokol dan dengan partisipan - Sediakan ruang
consent penelitian - Tegaskan kembali consent untuk pertanyaan

Sebelum pelaksanaan Selama pelaksanaan Setelah tinjauan rekan


sejawat

Gambar 1. Prosedur penyampaian hasil penelitian dari sudut pandang etika

78
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Melalui gambar di atas beserta pembahasan yang telah diberikan pada bab ini,
diharapkan peneliti dalam bidang sosial dapat memetakan dan merencanakan dengan
lebih jelas apa saja yang harus diambil dan ditentukan dalam hal menyampaikan hasil
penelitian sesuai kaidah etis. Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, peneliti juga
harus selalu menjunjung akuntabilitas, transparansi, dan keterbukaan dari proses awal
hingga akhir.

REFERENSI
De Mel S., McKenzie, D., & Woodruff, C. (2012). The Demand for, and the Consequences
of, Formalizations Among Informal Firms in Sri Lanka. American Economic Journal
Applied Economics, 5(2). 1-34. DOI:10.1257/app.5.2.122
Friedlander S., Rabb, M., Tangoren, C., Aker, J., Alan, S., & Udry, C. (2021, May 13). Sharing
Research Results with Participants: An Ethical Discussion. Center for Global
Development. Diakses dari https://www.cgdev.org/blog/sharing-research-
results-participants-ethical-discussion
Fernandez, C. V., Kodish, E., & Weijer, C. (2003). Informing the Study Participants of
Research Results: An Ethical Imperative. IRB Ethics and Human Research, 25(3),
12-19. DOI:10.2307/3564300
Ferris, L. E., & Sass-Korstsak, A. (2011). Sharing Research Findings with Research
Participants and Communities. The International Journal of Occupational and
Environmental Medicine, 2, 172-181.
Goldblatt, H., Karnieli-Miller, O., & Neumann, M. (2011). Sharing Qualitative Research
Findings with Participant: Study Experiences of Methodological and Ethical
Dilemmas. Patient Education and Counseling, 82, 389-395, DOI:
10.1016/j.pec.2010.12.016
Hintz, E. A., & Dean, M. (2019). Best Practices for Returning Research Findings to
Participants: Methodological and Ethical Considerations for Communication
Researches. Communicated Methods and Measures. DOI:
10.1080/19312458.2019.1650165
Iphofen, R. (2009). Ethical Decision-making in Social Research: A Practical Guide. Palgrave
Macmillan, New York.
Partridge, A. H., Wong, J. S., Knudsen, K., Gelman, R., Sampson, E., Gadd, M., Bishop, K. L.,
Harris, J. R., & Winer, E. P. (2005). Offering Participants Results of a Clinical Trial:
Sharing Results of a Negative Study. The Lancet, 365, 963-964. DOI: 10.1016/
S0140-6736(05)71085-0
Purvis, R. S., Abraham, T. H., Long, C. R., Steward, M. K., Warmack, T. S., & McElfish, P. A.
(2017). Qualitative Study of Participants’ Perceptions and Preferences Regarding
Research Dissemination. AJOB Empirical Bioethics, 8(2), 69-74. DOI:
https://doi.org/10.1080/23294515.2017.1310146

79
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

World Health Organization. (2017). Code of Conduct for Responsible Research. Diakses
dari https://www.who.int/docs/default-source/wpro---documents/regional-
committee/nomination-regional-director/code-of-
conduct/ccrr.pdf?sfvrsn=b2cb450_2&ua=1

80
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

BAB 7
KEPENGARANGAN DALAM ETIKA PUBLIKASI PENELITIAN
Seng Hansen
Universitas Agung Podomoro

RINGKASAN
Kepengarangan merupakan salah satu isu penting dalam etika penelitian. Status
kepengarangan harus diberikan secara tepat kepada mereka yang pantas
menyematkannya. Dalam bab ini, penulis berusaha menerangkan definisi
kepengarangan, kriteria pengarang, dan alasan mengapa status kepengarangan menjadi
penting dalam publikasi ilmiah. Selain itu, berbagai isu terkait kepengarangan juga
disajikan mencakup antara lain tanggung jawab kepengarangan, kontribusi penulis,
jenis-jenis kepengarangan, negosiasi kepengarangan, dan perubahan status
kepengarangan. Untuk dapat menghindari dan menyelesaikan konflik kepengarangan,
penulis juga memaparkan beberapa strategi antara lain identifikasi masalah
kepengarangan, menumbuhkan budaya etika kepengarangan, diskusi dan negosiasi,
dokumentasi, kontrak kepengarangan, memberikan pengakuan, dan pemenuhan
pedoman kepengarangan.

APA YANG DIMAKSUD KEPENGARANGAN?


Kepengarangan (authorship) merupakan salah satu isu penting dalam etika penelitian,
terutama terkait publikasi penelitian. Status kepengarangan harus disampaikan secara
tepat sebagai salah satu pilar etika yang memberikan pengakuan sepantasnya kepada
para penulis yang terlibat dalam publikasi suatu penelitian. Kepengarangan berasal dari
akar kata ‘pengarang’. Menurut KBBI Daring, pengarang sebagai kata benda adalah (1)
orang yang mengarang cerita, berita, buku, dan sebagainya; (2) penulis. Sedangkan
kepengarangan sebagai kata sifat berarti ‘berkaitan dengan pengarang’. Dalam bab ini,
kata pengarang dan penulis digunakan bergantian.
Beberapa ahli telah berusaha menjelaskan definisi pengarang dan kepengarangan dalam
konteks publikasi penelitian. Shamoo dan Resnik (2009) menguraikan pengarang
sebagai “… seseorang yang telah memberikan kontribusi signifikan terhadap proyek
melalui perencanaan, konseptualisasi, atau desain penelitian; menyediakan,
mengumpulkan, atau merekam data; menganalisis atau menafsirkan data; atau menulis
dan mengedit naskah.” Menurut Jennings dan El-adaway (2012), definisi tersebut masih
menjadi polemik karena ketidakjelasan dan lingkup definisinya yang luas sehingga
memungkinkan seseorang tetap dicatat sebagai penulis suatu publikasi meskipun orang
tersebut mungkin tidak benar-benar memahami proses maupun secara aktif
berpartisipasi dalam pelaksanaan penelitian itu. Hal ini terutama dari penggunaan kata
“atau” sebagai alternatif kegiatan kepengarangan.

81
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Definisi lain diuraikan oleh American Chemical Society (ACS) yang menyebutkan
pengarang adalah “… semua orang yang telah membuat kontribusi ilmiah yang signifikan
atas penelitian yang dilaporkan dan yang berbagi tanggung jawab dan akuntabilitas atas
hasil penelitian. Kontribusi lainnya harus ditunjukkan dalam catatan kaki atau pada
bagian pengakuan (acknowledgement). Hubungan administratif sebuah penelitian tidak
dengan sendirinya membuat seseorang memenuhi syarat untuk menjadi rekan penulis,
tetapi kadang-kadang mungkin tepat untuk memberikan pengakuan atas bantuan
administratif tersebut” (Whitbeck, 1998).
Terlepas dari perbedaan definisi tersebut, banyak ahli sepakat bahwa seseorang dapat
disebut sebagai penulis/pengarang sebuah karya ilmiah hanya jika: (1) mereka telah
berkontribusi secara signifikan terhadap naskah tersebut, (2) bersedia untuk
mempertahankan dan menjelaskan naskah dan hasil penelitiannya, dan (3) telah
membaca dan meninjau naskah tersebut (Elliot & Stern, 1997; Jennings & El-adaway,
2012; Olivier, 2003; Shamoo & Resnik, 2009; Whitbeck, 1998). Kriteria pengarang yang
lebih detail disyaratkan oleh International Committee of Medical Journal Editors (ICMJE),
yaitu: (1) berkontribusi secara substansial untuk konsepsi atau desain penelitian; atau
pengumpulan, analisis, maupun interpretasi data penelitian; (2) menyusun penelitian
atau merevisinya secara kritis pada konten intelektual yang penting; (3) memberikan
persetujuan akhir versi yang akan dipublikasikan; dan (4) menyepakati untuk
bertanggung jawab atas semua aspek penelitian dalam memastikan bahwa pertanyaan
yang terkait dengan keakuratan atau integritas dari bagian manapun pada penelitian
tersebut telah diinvestigasi dan diselesaikan dengan tepat” (Hong, 2017).

MENGAPA KEPENGARANGAN PENTING DALAM PUBLIKASI ILMIAH?


Meskipun bukan merupakan tujuan utama penelitian, publikasi menjadi tahap terakhir
dari rangkaian proses penelitian berupa pelaporan dan diseminasi hasil penelitian
kepada khalayak ramai. Kegiatan penelitian dan publikasi telah menjadi satu kesatuan
yang tak terpisahkan bagi perkembangan profesional seorang peneliti. Kepengarangan
sendiri menjadi cara utama untuk mengakui kontribusi seseorang yang terlibat dalam
suatu proyek penelitian (Gaffey, 2015).
Hal ini terutama penting bagi peneliti akademisi yang bekerja di sebuah institusi
pendidikan tinggi. Rekam jejak publikasi ilmiah biasanya menjadi bagian CV dari seorang
akademisi dan turut mempengaruhi pula jumlah gaji dan tunjangan yang akan
didapatkan oleh akademisi tersebut (Jennings & El-adaway, 2012). Di Indonesia, seorang
dosen wajib menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mencakup bidang
pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada
masyarakat. Publikasi penelitian termasuk pada bidang penelitian dan pengembangan
sehingga pengakuan kontribusi sebagai seorang penulis menjadi penting untuk
menjalankan tugas dosen berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2009 tentang
Dosen.
COPE (Committee on Publication Ethics atau Komite Etika Publikasi) Council (2019)
mencatat bahwa status kepengarangan menunjukkan hak istimewa, tanggung jawab, dan

82
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

sekaligus hak hukum seorang penulis di arena akademik. Dengan demikian,


kepengarangan bagi penulis menjamin bahwa mereka telah berkontribusi dalam
penciptaan suatu karya ilmiah, bersedia bertanggung jawab atas publikasi karya
tersebut, dan memiliki hak hukum atas karya tersebut sekaligus tidak akan melanggar
hak hukum penulis lainnya.
Bahkan saking pentingnya publikasi dalam dunia akademik, tekanan untuk menghasilkan
publikasi atau penelitian telah berdampak pada munculnya istilah published or perished
(publikasi atau binasa). Adanya tekanan untuk publikasi ini turut pula menyebabkan
beberapa oknum dosen untuk melanggar etika penelitian seperti rekayasa selama
pengumpulan dan analisis data, penipuan masalah pendanaan penelitian dan konflik
kepentingan, plagiarisme, hingga pengajuan ganda (dual submission) artikel ilmiah.
Meskipun sering diabaikan, status kepengarangan juga penting untuk diperhatikan dan
harus diperjelas dari awal penelitian dimulai.

APA SAJA ISU TERKAIT KEPENGARANGAN?


Tanggung Jawab Kepengarangan
Penulis sebuah artikel ilmiah wajib memahami tanggung jawab kepengarangan.
Tanggung jawab kepengarangan ini biasa dapat ditemukan pada laman penjelasan
kepengarangan yang terdapat pada suatu penerbit jurnal ilmiah. Berikut adalah sebuah
contoh tanggung jawab kepengarangan yang menjadi rujukan bagi para penulis di jurnal-
jurnal terbitan American Society of Civil Engineers sebagaimana dimuat dalam ASCE
Ethical Standards (ASCE, 2021):
 Kewajiban utama seorang penulis adalah menyajikan laporan singkat tentang
penelitian, pekerjaan, atau proyek yang dilengkapi dengan diskusi objektif
tentang signifikansinya.
 Artikel yang dikirimkan harus berisi detail dan referensi ke sumber informasi
publik untuk memungkinkan rekan penulis mengulangi pekerjaan atau
memverifikasi keakuratannya. Semua permintaan wajar oleh editor atau pengkaji
atas materi, data, dan protokol terkait harus dipenuhi penulis. Penulis harus
dengan jelas mencatat batasan berbagi data apa pun dalam pertanyaan saat
mengajukan artikel.
 Artikel tidak boleh mengandung bahan yang dijiplak atau data penelitian yang
dipalsukan. ASCE adalah anggota Komite Etika Publikasi (COPE). Sebagai anggota,
ASCE mengikuti pedoman yang direkomendasikan oleh COPE yang diuraikan di
publishingethics.org.
 Fragmentasi artikel ilmiah harus dihindari. Seorang insinyur atau peneliti yang
telah melakukan pekerjaan pada beberapa sistem terkait harus mengatur
publikasi sehingga setiap artikel memberikan penjelasan lengkap tentang aspek
tertentu dari studi umum.
 ASCE tidak akan mengkaji atau mempublikasikan artikel yang telah diterbitkan
sebelumnya dalam bentuk cetak maupun daring. “Telah diterbitkan sebelumnya”
umumnya berarti bahwa konten yang berada di bawah hak cipta entitas lain atau

83
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

tersedia secara luas dalam format cetak ataupun elektronik. Pertimbangan khusus
diberikan untuk tesis dan disertasi dan laporan pemerintah yang mungkin telah
diterbitkan secara daring sebelum pengajuan artikel.
 Penulis harus menahan diri dari mengkritik artikel lain dengan menyerang
penulis lain secara pribadi.
 Untuk melindungi integritas kepengarangan, hanya orang-orang yang telah
memberikan kontribusi signifikan terhadap penelitian atau proyek dan persiapan
artikel yang dapat dicantumkan sebagai rekan penulis. Penulis korespondensi
akan membuktikan fakta bahwa orang yang disebut sebagai rekan penulis
(coauthors) telah melihat versi final artikel dan menyetujui pengajuan untuk
publikasi.
 Tidaklah pantas untuk mengirimkan artikel dengan tujuan komersial yang jelas.
 Tidaklah pantas bagi seorang penulis untuk menulis atau menulis bersama sebuah
diskusi pada artikel yang diterbitkannya sendiri, kecuali dalam kasus penutupan
diskusi.

Kepengarangan dan Kontribusi Penulis


Pada penerbit tertentu, penulis tidak saja diminta untuk menjelaskan afiliasinya tetapi
juga kontribusinya. Hal ini terutama pada artikel ilmiah yang ditulis oleh lebih dari satu
penulis. Perihal kontribusi (contributorship) berguna bagi para editor jurnal untuk
memastikan bahwa kriteria kepengarangan telah dipenuhi dan hanya orang-orang yang
layak dan telah berkontribusi secara signifikan saja yang berhak dicantumkan sebagai
penulis. Editor dapat menyarankan rekan penulis (coauthors) yang tidak sesuai kriteria
untuk diberikan penghargaan pada bagian acknowledgement, bukan sebagai penulis.
Beberapa jurnal juga menyampaikan perihal kontribusi ini pada publikasi mereka.
Sebagai contoh, pedoman ICMJE merekomendasikan para penulis untuk menyatakan
kontribusi mereka dan editor harus mempublikasikan informasi tersebut (Albert &
Wager, 2003).

Jenis Kepengarangan Berdasarkan Jumlah Penulis


Secara umum, kepengarangan dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan jumlah
penulisnya, yaitu: kepengarangan tunggal dan kepangarangan bersama. Kepengarangan
tunggal (sole authorship atau single authorship) berarti bahwa hanya terdapat satu nama
penulis artikel tersebut sebagai penulis utama dan penulis korespondensi.
Kepengarangan tunggal lebih sering ditemukan pada bidang ilmu seni, humaniora, dan
ilmu sosial sedangkan kepengarangan bersama biasanya dijumpai pada disiplin ilmu
dimana kelompok multinasional berkolaborasi dalam proyek eksperimental jangka
panjang (COPE Council, 2019).
Kepengarangan bersama (multiple authorship) menunjukkan lebih dari satu orang
penulis yang bersama-sama menulis artikel tersebut. Pada kepengarangan bersama,
perlu ditentukan siapa yang bertindak sebagai penulis utama dan korespondensi, serta
siapa yang bertindak sebagai rekan penulis (coauthors). Sebuah artikel ilmiah di bidang

84
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

fisika yang ditulis oleh Aad dkk. (2015) memecahkan rekor sebagai artikel dengan jumlah
penulis terbanyak di dunia, yaitu 5.154 penulis. Artikel ini diterbitkan pada jurnal
Physical Review Letters Volume 114. Menurut Castelvecchi (2015), hanya sembilan
halaman pertama dari 33 halaman yang menceritakan isi penelitian itu, sedangkan
halaman sisanya digunakan untuk mencantumkan nama penulis dan afiliasi mereka.

Jenis Kepengarangan Berdasarkan Peranan Penulis


Setiap penulis yang terlibat dalam publikasi sebuah artikel ilmiah harus bertanggung
jawab atas publikasi tersebut. Berdasarkan peranannya, penulis dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu penulis utama, penulis korespondensi, dan rekan penulis. Penulis
utama (main author) adalah orang yang bertanggungjawab atas keseluruhan penelitian
atau melakukan pekerjaan paling banyak. Tergantung negosiasi, penulis utama bisa jadi
tidak ditulis sebagai penulis pertama.
Penulis korespondensi (corresponding author) adalah orang yang berinteraksi dengan
jurnal sehubungan dengan proses penerbitan artikel ilmiah. Penulis korespondensi
menerima komentar dari pengkaji, menyampaikan tanggapan, dan kegiatan administratif
lainnya. kontak detail penulis korespondensi dicetak pada artikel sehingga
memungkinkan pembaca untuk menghubungi tim peneliti (Albert & Wager, 2003). COPE
Council (2019) menegaskan peranan penting penulis korespondensi bagi unit produksi
jurnal dan pembaca yang ingin menghubungi penulis sebuah artikel ilmiah.
Sedangkan rekan penulis (coauthors) adalah orang-orang yang telah memberikan
kontribusi signifikan dalam penelitian serta berbagi tanggungjawab dengan penulis
utama. Semua rekan penulis setidaknya terlibat langsung dalam tiga hal berikut ini:
 Perencanaan dan kontribusi pada beberapa komponen penelitian (konsepsi,
desain, pelaksanaan, analisis, atau interpretasi),
 Terlibat dalam penulisan draft artikel atau revisi artikel, dan
 Memberikan persetujuan akhir dari versi yang akan dipublikasikan.

Jenis Kepengarangan Berdasarkan Etika Publikasi


Selain jenis kepengarangan diatas, Jennings dan El-adaway (2012) dan Hong (2017)
memaparkan beberapa jenis kepengarangan yang berpotensi melanggar etika publikasi
penelitian sebagai berikut.
(1) Kepengarangan Pemberian atau Kehormatan (Gift atau Honorary Authorship)
Disini, para penulis yang telah berkontribusi secara signifikan memutuskan untuk
memberikan status rekan penulis (coauthor) kepada seseorang yang memiliki sedikit
peran atau tidak sama sekali dengan proyek penelitian (Jones, 1996). Penulis
kehormatan ini biasanya adalah supervisor, ketua jurusan, atau peneliti senior yang
dapat diakui atas kontribusi non-ilmiah dan dukungan moral mereka (Hong, 2017).
Meskipun tidak ditemukan masalah karena status kepengarangan diberikan dan

85
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

diputuskan bersama, dalam banyak kasus kepengarangan jenis ini ditemukan pula
penyimpangan penelitian lainnya (Jennings & El-adaway, 2012).
(2) Kepengarangan Peningkatan Karir (Career-Boosting Authorship)
Jenis kepengarangan ini diberikan oleh penulis utama kepada mahasiswa doktoral atau
peneliti junior sebagai sarana untuk meningkatkan peluang karir mereka. Menurut Jones
(1996), jenis kepengarangan ini merupakan praktik yang meragukan dan dapat menjadi
bumerang bagi para pihak yang terlibat.
(3) Kepengarangan Pelestarian Karir (Career-Preservation Authorship)
Berbeda dengan kepengarangan peningkatan karir yang ditujukan untuk membantu
peneliti junior, kepengarangan pelestarian karir diberikan kepada ketua jurusan, dekan,
rektor, atau peneliti senior karena adanya tuntutan dan hubungan timbal balik antara
penulis utama dengan administrator kampus maupun peneliti senior. Bagi administrator
kampus atau peneliti senior, hal ini menguntungkan bagi pelestarian dan promosi karir
mereka. Sedangkan bagi penulis utama, hal ini menjaga hubungan baik dengan orang-
orang yang mengendalikan karirnya (terkait hibah, jadwal, promosi, dan lain
sebagainya). Bentuk kepengarangan ini merupakan salah satu bentuk yang tidak etis
karena terkait dengan unsur penipuan (Jennings & El-adaway, 2012).
(4) Kepengarangan Hantu (Ghost Authorship)
Jenis kepengarangan ini dapat dibedakan menjadi dua bentuk. Pertama adalah bentuk
nondisclosure coauthorship, yang berarti bahwa identitas seorang peneliti yang telah
berkontribusi pada karya ilmiah tersebut tidak dicantumkan dalam publikasi karena
konflik antar penulis. Bentuk kedua dari kepengarangan ini adalah keterlibatan dari
orang-orang di industri (misalnya perusahaan farmasi) terhadap suatu penelitian yang
kemudian menipu pembaca dengan cara alih-alih mencantumkan nama mereka, tetapi
menggunakan nama peneliti lain yang tidak terlibat dalam proyek penelitian tersebut
(Hong, 2017). Hal ini dilakukan guna menghindari adanya konflik kepentingan. Kedua
bentuk kepengarangan ini sama-sama tidak etis karena adanya informasi konflik
kepentingan yang tidak diungkapkan secara jelas.
(5) Kepengarangan Kolaboratif yang Membingungkan (Confusing Collaborative
Authorship)
Meskipun banyak proyek penelitian yang mendorong kolaborasi antar berbagai disiplin
ilmu dan institusi dengan tujuan untuk memperkuat inovasi dan kreatifitas ilmiah, pada
beberapa kasus kerjasama ini dilakukan dengan tidak benar dan lebih didasarkan pada
kepentingan bersama antara para penulis yang terlibat (Jennings & El-adaway, 2012).
(6) Kepengarangan Editor (Editor Authorship)
Pada jenis ini, terdapat rekan penulis yang tidak benar-benar berkontribusi secara
signifikan dalam penelitian. Disini, kontribusi mereka adalah membaca artikel dan
memberikan komentar editorial atau grafis apabila ada. Posisi mereka sebagai rekan
penulis adalah menyesatkan karena mereka tidak berpartisipasi secara langsung dengan
penelitian dan tidak pula benar-benar meninjau akurasi, kepentingan, ataupun

86
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

konsistensi desain dan metodologi penelitian yang dilakukan (Jenning & El-adaway,
2012).
(7) Kepengarangan yang Tidak Dikenal (Unrecognized Authorship)
Ini adalah jenis kepengarangan yang tidak menguntungkan bagi seseorang yang
sebenarnya telah berkontribusi secara signifikan, namun tidak dicantumkan sebagai
salah satu rekan penulis oleh penulis utama. Penghargaan terhadap mereka hanya
sebatas pada pengakuan (acknowledgement) di akhir artikel atas bantuan mereka.
Praktik ini biasanya terjadi pada artikel yang ditulis oleh peneliti junior dengan bantuan
peneliti senior di luar bidang penelitiannya (Jennings & El-adaway, 2012).
(8) Kepengarangan Kartel (Cartel Authorship)
Bentuk kepengarangan ini terjadi bilamana para penulis yang terlibat dalam sebuah
proyek penelitian, menulis bersama secara sistematis dan mempublikasikan karya-karya
tersebut dengan pengaturan urutan penulisnya. Jenis kepengarangan ini tentu dapat
meningkatkan jumlah publikasi bagi semua penulis yang terlibat. Isu etis yang muncul
adalah terkait tingkat pengetahuan yang diasumsikan sama pada semua penulis, yang
pada kenyataannya berbeda-beda (Jennings & El-adaway, 2012). Hong (2017)
menyebutnya sebagai swapping authorship yaitu tindakan saling menukar status
kepengarangan berdasarkan kesepakatan bersama.
(9) Kepengarangan Asisten yang Tidak Dikenal (Long-Suffering and Unrecognized
Graduate Assistant Authorship)
Jennings dan El-adaway (2012) menjelaskan hubungan supervisor dengan mahasiswa
pascasarjana dalam bentuk kepengarangan asisten yang tidak dikenal. Disini, mahasiswa
pascasarjana diinstruksikan oleh supervisornya untuk melakukan penelitian dan
menulis draft artikel dengan alasan sebagai pengalaman menulis artikel ilmiah.
Supervisor hanya sebatas merevisi, mengedit, dan mengirimkan artikel ke jurnal. Namun
nama supervisor dicantumkan sebagai penulis utama, sedangkan nama mahasiswa yang
benar-benar melaksanakan penelitian tersebut justru dicantumkan sebagai rekan
penulis terakhir, atau bahkan tidak dicantumkan sama sekali. Hal ini menyesatkan
karena perbedaan porsi tanggungjawab dan kontribusi masing-masing penulis.
(10) Kepengarangan Pencurian (Theft Authorship)
Kepengarangan pencurian adalah tindakan penyelewengan karya orang lain yang diakui
sebagai karyanya sendiri (Hong, 2017). Hal ini jelas merupakan pelanggaran etika
publikasi penelitian terutama terkait plagiarisme.

Negosiasi Kepengarangan
Negosiasi kepengarangan merupakan sebuah proses yang dinamis (Gaffey, 2015).
Setidaknya terdapat dua hal yang perlu dinegosiasikan terkait kepengarangan, yaitu
siapa saja yang dapat dicantumkan sebagai penulis dan bagaimana urutannya. Perihal
siapa yang berhak dicantumkan sebagai penulis sebuah artikel ilmiah telah dipaparkan
sebelumnya pada penjelasan mengenai kriteria dan tanggung jawab kepengarangan. Isu

87
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

selanjutnya adalah bagaimana mencantumkan urutan bila artikel ditulis lebih dari satu
penulis. Chanson (2009) menekankan pentingnya kontribusi individual masing-masing
peneliti untuk diperjelas. Urutan kepengarangan berperan dalam memberikan
pemahaman terkait kontribusi relatif para penulis yang terlibat dalam sebuah artikel
ilmiah (COPE Council, 2019). Negosiasi terkait urutan kepengarangan sebaiknya telah
dilakukan sejak awal proyek penelitian, bersamaan dengan negosiasi terkait siapa saja
yang dapat dicantumkan sebagai penulis.
Negosiasi kepengarangan ini merupakan sebuah aspek penting dalam penelitian
kolaboratif (Gaffey, 2015). Urutan kepengarangan idealnya diawali oleh penulis dengan
kontribusi paling besar dan diikuti oleh penulis dengan kontribusi yang lebih kecil. Pada
beberapa kasus, urutan kepengarangan dapat pula ditulis berdasarkan alfabet nama
penulis apabila para penulis sepakat bahwa mereka telah berkontribusi sama rata dalam
proses penelitian hingga publikasinya. Selain itu, para penulis juga perlu menyiapkan
catatan yang menjelaskan urutan serta kontribusi yang diberikan oleh tiap penulis yang
terlibat (Albert & Wager, 2003).

Terjadinya Kepengarangan Bersama


Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian akademis tidak lagi menjadi
pekerjaan yang dilakukan secara soliter. Hingga tahun 1950an, mayoritas publikasi
ilmiah didominasi oleh artikel dengan satu orang penulis (Jennings & El-adaway, 2012;
Rennie dkk., 1997). Namun sejak 1955, norma kepengarangan telah bergeser dari
publikasi dengan satu-dua penulis menjadi tiga-empat penulis (Jennings & El-adaway,
2012). Kekinian, para peneliti didorong untuk dapat melakukan proyek penelitian
kolaboratif yang bersifat inter maupun multidisiplin. Upaya kolaborasi ini dapat berupa
kerjasama penelitian antara para peneliti dari program studi berbeda dalam satu
universitas, atau antara para peneliti dari berbagai universitas yang berbeda. Bahkan saat
ini pemerintah juga turut mendorong kerjasama penelitian pada lingkup internasional.
Selain itu, kepengarangan bersama juga bermanfaat untuk memeriksa dan
menyeimbangkan proses serta identifikasi bias yang mungkin muncul karena adanya
bias politik maupun sosial-ekonomi dari seorang peneliti (Jennings & El-adaway, 2012).
Sebagai ilustrasi, sebuah penelitian obat untuk suatu penyakit tertentu yang ditulis oleh
seorang peneliti dengan dukungan sponsor dari sebuah perusahaan farmasi tentu dapat
teridentifikasi potensi biasnya. Oleh karena itu, dengan adanya kepengarangan bersama
dengan beberapa rekan penulis yang berasal dari berbagai institusi berbeda dapat
membantu proses penyeimbang dalam memastikan pemenuhan etika penelitian.
Di sisi lain, kepengarangan bersama juga muncul karena adanya berbagai macam
tuntutan pada seorang dosen. Dosen yang juga memiliki kewajiban penelitian dituntut
untuk dapat menghasilkan publikasi ilmiah sebagai syarat promosi jabatan, kenaikan
pangkat, dan pendanaan proyek penelitian. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia,
namun juga di negara lain seperti Amerika Serikat (Jennings & El-adaway, 2012).

88
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Pendanaan dari Pihak Sponsor


Dengan adanya dorongan kolaborasi penelitian, banyak pula proyek penelitian yang
memperoleh pendanaan dari pihak sponsor yang berasal dari dunia industri. Kerjasama
antara dunia akademis dengan industri dapat melahirkan banyak inovasi dan invensi
yang bermanfaat tidak saja bagi perkembangan ilmu pengetahuan, tapi juga bagi
kemajuan praktik di industri. Meskipun demikian, kerjasama terutama berupa
pendanaan ini perlu diawasi secara seksama terkait penyimpangan etika penelitian.
Beberapa isu yang perlu diperjelas antara lain terkait status kepengarangan (apakah tim
peneliti dari pihak sponsor perlu dan/atau dapat dicantumkan sebagai penulis),
akuntabilitas dan tanggung jawab penelitian, dan konflik kepentingan.

Perubahan Status Kepengarangan


Pada kenyataannya, status kepengarangan dapat diubah oleh tim penulis melalui penulis
korespondensi. Misalnya tim penulis sepakat untuk memasukkan atau mengeluarkan
satu nama dari tim penulis, atau mengubah urutan kepengarangannya. Hal ini dilakukan
dengan cara memberitahukan perubahan tersebut kepada editor jurnal sebelum artikel
diterbitkan. Perubahan ini bersifat spesifik tergantung pada situasi dan haruslah
disepakati oleh semua penulis yang terlibat (Gaffey, 2015). Komunikasi yang jujur dan
terbuka merupakan kunci penting untuk memastikan bahwa semua penulis yang terlibat
memang telah memberikan kontribusi yang diharapkan.
Namun terdapat pula batasan terkait perubahan status kepengarangan ini. ASCE
misalnya, tidak mengizinkan perubahan status kepengarangan, termasuk dalam hal
urutan kepengarangan, setelah artikel tersebut telah dinyatakan ‘diterima’ untuk
diterbitkan. Selama proses reviu, semua perubahan harus diverifikasi oleh semua penulis
artikel tersebut. Seorang penulis juga tidak dapat dikeluarkan tanpa adanya konfirmasi
atau izin dari penulis bersangkutan (ASCE, 2021).

APA LANGKAH UNTUK MENGHINDARI KONFLIK KEPENGARANGAN?


Identifikasi Potensi Masalah Terkait Kepengarangan
Langkah pertama untuk menghindari konflik kepengarangan adalah dengan memahami
apa saja yang berpotensi menjadi sumber konflik kepengarangan. Beberapa isu yang
telah dibahas sebelumnya dapat memberikan gambaran terkait potensi masalah terkait
kepengarangan, diantaranya:
(1) Jumlah penulis yang terlibat
Menentukan berapa jumlah kontributor yang berhak dicantumkan sebagai
penulis dalam sebuah artikel ilmiah. Misalnya sebuah artikel studi kasus
sederhana namun ditulis oleh lebih dari sepuluh penulis, atau sebuah artikel
eksperimen namun ditulis hanya oleh satu penulis dapat menjadi indikasi masalah
kepengarangan.
(2) Kontribusi anggota tim peneliti

89
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Menjelaskan kontribusi masing-masing penulis. Penjelasan kontribusi ini juga


bermanfaat dalam menentukan urutan kepengarangan. Apabila editor tidak
menerima penjelasan kontribusi penulis setelah memintanya, hal ini dapat
menjadi indikasi masalah kepengarangan.
(3) Nama-nama penulis yang terlibat tidak sesuai dengan bidang ilmu artikel ilmiah
Para peneliti umumnya memiliki bidang fokus penelitiannya. Apabila artikel
ilmiah ditulis oleh tim penulis yang tidak terkait sama sekali dengan bidang
penelitian mereka, maka hal ini dapat menjadi indikasi masalah kepengarangan
terutama terkait kepengarangan hantu.
(4) Peranan kontributor pada bagian pengakuan
Pada bagian pengakuan atau acknowledgement, umumnya penulis akan
menyampaikan terima kasih kepada beberapa orang atau entitas yang telah
membantu proses penelitian. Sebaiknya penulis menjelaskan peranan para
kontributor ini untuk membantu pemahaman peranan spesifik mereka sebagai
kontributor dan bukan sebagai penulis.
(5) Perubahan status kepengarangan
Mengubah status kepengarangan diperkenankan pada tahap reviu artikel ilmiah.
Namun perubahan ini harus disertai dengan notifikasi dan penjelasan alasan
perubahan tersebut. Apabila tim penulis tidak dapat memberikan penjelasan,
maka hal ini dapat menjadi indikasi masalah kepengarangan.

Budaya Etika Kepengarangan


Salah satu akar penyebab munculnya masalah penyimpangan etika terkait
kepengarangan adalah praktik dan budaya setempat yang kurang menyadari pentingnya
etika publikasi penelitian (Albert & Wager, 2003). Hal ini dapat terjadi karena kurangnya
sumber rujukan dan pelatihan terkait etika penelitian, tidak dibentuknya komite etik
penelitian, dan tersedianya sikap permisif terhadap penyimpangan etika penelitian. Oleh
karena itu, untuk dapat menumbuhkan budaya etika penelitian (termasuk
kepengarangan) yang baik, pemerintah dan dunia akademis diharapkan dapat
meningkatkan pemahaman etika penelitian, mendorong referensi terkait etika
penelitian, mewajibkan pembentukan komite etika penelitian di tiap universitas, dan
mencegah serta tidak menolerir segala bentuk penyimpangan etika penelitian.

Diskusi dan Negosiasi


Negosiasi kepengarangan merupakan sebuah diskusi yang berlanjut sehingga berbagai
upaya perlu dilakukan untuk meminimalkan konflik kepengarangan (Gaffey, 2015).
Untuk itu, Albert dan Wager (2003) menyarankan tim peneliti agar berdiskusi terkait
status kepengarangan sejak awal proyek penelitian dimulai. Diskusi terkait status
kepengarangan ini dapat terus bergulir selama proyek berlangsung dan dapat berubah
dari status awal sesuai dengan besarnya kontribusi dari masing-masing peneliti yang
terlibat. Mendiskusikan status kepengarangan secara berkala dapat membantu
meminimalkan potensi konflik kepengarangan (Gaffey, 2015). Untuk membantu proses

90
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

negosiasi kepengarangan, American Psychological Association (APA) telah menyediakan


dua buah checklist (daftar periksa) untuk menentukan status dan urutan kepengarangan.
Lampiran 1 adalah Kartu Skor Penentuan Kepengarangan (Authorship Determination
Scorecard) yang dapat digunakan untuk menentukan urutan kepengarangan pada artikel
dengan lebih dari satu orang penulis (APA, 2015a). Apabila terdapat dua atau lebih
penulis yang memiliki nilai yang sama, Lampiran 2 Kartu Skor Penentuan Kepengarangan
Seri (Authorship Tie-breaker Scorecard) dapat digunakan (APA, 2015b).

Dokumentasi
Dokumentasi memegang peranan penting dalam membuktikan besarnya kontribusi
masing-masing peneliti dalam sebuah proyek penelitian. Arsip notulen rapat, kontrak
atau perjanjian penelitian, catatan mengenai diskusi-diskusi penelitian dapat membantu
mengingatkan para penulis tentang kronologi penelitian dari awal hingga akhir sehingga
dapat memberikan gambaran kontribusi masing-masing pihak yang terlibat (COPE
Council, 2019). Selain itu, segala kesepakatan dan perubahan juga perlu
didokumentasikan secara tertulis.

Kontrak Kepengarangan
Kontrak kepengarangan dapat menjadi salah satu langkah antisipasi sebagai alat penting
untuk menghindari konflik kepengarangan yang tidak perlu. Kontrak kepengarangan
muncul akibat seringnya konflik kepengarangan antara para penulis dari sebuah artikel
yang muncul menjelang artikel telah diterima dan berada dalam tahap produksi untuk
diterbitkan (Hyman, 2001; Jennings & El-adaway, 2012). APA (2015c) memberikan
sebuah contoh kontrak kepengarangan sederhana yang dapat diisi dan ditandatangani
setelah para penulis mengidentifikasi urutan kepengarangan pada Lampiran 1 atau 2.
Kontrak kepengarangan ini dapat dilihat pada Lampiran 3.

Pengakuan
Kontributor substantif dalam suatu penelitian harus dibedakan dengan penulis (Hong,
2017). Kontributor yang tidak berhak dicantumkan sebagai penulis dalam artikel ilmiah
tetap perlu diberikan pengakuan atas bantuan dan kontribusi yang telah mereka berikan
(misalnya mendukung penelitian dengan cara memberikan saran/masukan, membantu
merekomendasikan partisipan penelitian atau pengumpulan data, dll). Pengakuan ini
biasanya terletak pada bagian akhir dari manuskrip. Beberapa jurnal meminta penulis
untuk memaparkan peranan masing-masing kontributor (ASCE, 2021).

Pemenuhan Pedoman Kepengarangan


Saat ini banyak jurnal telah menyediakan pedoman kepengarangan secara spesifik dan
jelas. Para penulis harus memastikan bahwa mereka telah memenuhi semua ketentuan

91
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

yang ada di dalam pedoman kepengarangan jurnal yang mereka tuju. Sebagai contoh,
jurnal-jurnal terbitan ASCE wajib memenuhi pedoman standar etika penelitian yang
mencakup penjelasan terkait kewajiban pengarang dan etika kepengarangan (lihat
https://ascelibrary.org/doi/10.1061/9780784479018.ch02).

Penyelesaian Sengketa Kepengarangan Secara Institusi


Pada sengketa kepengarangan yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan, para
pihak dapat merujuk pada pedoman institusi atau universitas dimana mereka berafiliasi.
Pedoman ini biasanya telah memiliki prosedur penyelesaian sengketa kepengarangan
misalnya dengan meminta putusan dari Dewan Etika ataupun pimpinan universitas
seperti Dekan dan Rektor. Tujuannya adalah berkonsultasi dan meminta perspektif
objektif guna menyelesaikan sengketa yang terjadi. Apabila sengketa masih belum dapat
diselesaikan, para pihak dapat merujuk pada pedoman guna mencari langkah legal yang
dapat ditempuh.

SIMPULAN
Kekinian, tak dapat dipungkiri bahwasanya sivitas akademika menghadapi semakin
banyak tantangan terkait penyimpangan etika. Apalagi di tengah meningkatnya tuntutan
publikasi penelitian, isu terkait status kepengarangan menjadi hal yang penting untuk
dipahami bersama. Pada artikel dengan penulis tunggal, isu ini tidak terlalu menjadi
masalah. Namun seiring dengan banyaknya dorongan untuk mempublikasikan penelitian
yang kompleks dan multidisiplin, keterlibatan banyak penulis menjadi tidak dapat
dihindari. Untuk itu, bab ini ditulis sebagai upaya mencerahkan para pembaca mengenai
status kepengarangan, jenis-jenis kepengarangan, tanggungjawab penulis, dan berbagai
langkah yang dapat ditempuh untuk menghindari konflik kepengarangan. Dengan
demikian diharapkan para penulis yang terlibat dalam suatu publikasi penelitian dapat
menegakkan tatanan etika penelitian.

REFERENSI
Aad, G. dkk. (ATLAS Collaboration, CMS Collaboration). (2015). Combined Measurement
of the Higgs Boson Mass in pp Collisions at √s = 7 and 8 TeV with the ATLAS and
CMS Experiments. Physical Review Letters, 114, 191803.
Albert, T., & Wager, E. (2003). How to handle authorship disputes: a guide for new
researchers. The COPE Report 2003, 32-34.
APA. (2015a). Authorship Determination Scorecard. Juni 2015.
https://www.apa.org/science/leadership/students/authorship-determination-
scorecard.pdf

92
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

APA. (2015b). Authorship Tie-breaker Scorecard. Juni 2015.


https://www.apa.org/science/leadership/students/authorship-tie-breaker-
scorecard.pdf
APA. (2015c). Publication/Presentation Contract. Juni 2015.
https://www.apa.org/science/leadership/students/publication-contract.pdf
ASCE. (2021). ASCE Ethical Standards, Third Rev. American Society of Civil Engineers,
Reston, VA.
Castelvecchi, D. (2015). Physics paper sets record with more than 5,000 authors. Nature
(2015), https://doi.org/10.1038/nature.2015.17567.
Chanson, H. (2009). Digital publishing, indexing and ethics: Implications in civil and
hydraulic engineering and research. Journal of Professional Issues in Engineering
Education and Practice, 135(4), 117-121.
COPE Council. (2019). COPE Discussion Document: Authorship. September 2019,
https://doi.org/10.24318/cope.2019.3.3.
Elliott, D., & Stern, J. (1997). Research ethics: A reader. University Press of New England,
Lebanon.
Gaffey, A. (2015). Determining and negotiating authorship. Psychological Science Agenda,
29(6).
Hong, S. T. (2017). Avoiding Inappropriate Authorship. Journal of Korean Medical Science,
32, 1046-1047.
Hyman, M. (2001). The coordinating author and the coauthor contract. Marketing
Educator, 20(2).
ICMJE. (n.d.). Recommendations for the conduct, reporting, editing, and publication of
scholarly work in medical journals. Diakses dari http://www.icmje.org.
Jennings, M. M., & El-adaway, I. H. (2012). Ethical Issues in Multiple-Authored and
Mentor-Supervised Publications. Journal of Professional Issues in Engineering
Education & Practice, 138(1), 37-47.
Jones, A. W. (1996). Some thoughts and reflections on authorship. Alcohol & Alcoholism,
31(1), 11-15.

KBBI. (n.d.). https://kbbi.kemdikbud.go.id/.


Olivier, P. (2003). The student’s guide to research ethics. Open University Press,
Philadelphia.
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2009 tentang Dosen.
Rennie, D., Yank, V., & Emanuel, L. (1997). When authorship fails: A proposal to make
contributors accountable. JAMA, 278(7), 579-585.

93
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Shamoo, A. E., & Resnik, D. B. (2009). Responsible conduct of research. Oxford University
Press, New York.
Whitbeck, C. (1998). Ethics in engineering practice and research. Cambridge University
Press, New York.

94
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

LAMPIRAN 1
Kartu Skor Penentuan Kepengarangan
Judul Penelitian: ________________________________________________________________________________

Instruksi. Checklist ini dirancang untuk membantu kontributor dalam memutuskan


apakah mereka layak menjadi penulis pada proyek penelitian dan untuk membantu
kontributor yang berhak sebagai penulis dalam menentukan urutan kepengarangan.
Checklist ini harus mencakup semua kontributor proyek penelitian. Kontributor harus
menyelesaikan checklist ini secara kolaboratif saat proyek berlangsung dan harus
diselesaikan sedemikian rupa sehingga semua skor penulis sama dengan total poin yang
diberikan untuk setiap item. Misalnya, untuk ‘Konseptualisasi ide penelitian', skor semua
kontributor harus berjumlah total 90 poin. Harap dicatat bahwa jumlah setiap poin dalam
checklist ini akan menjamin status kepengarangan. Ketika dua atau lebih kontributor
memiliki jumlah skor yang sama, silakan gunakan 'Authorship Tie-breaker Scorecard'.
Kartu skor ini harus digunakan dan direvisi secara berkala berdasarkan perubahan
tanggung jawab kontributor yang bersangkutan.

Kategori Aktifitas Total Skor Kontributor


Poin Inisial

Konseptualisasi ide penelitian 90


Menyempurnakan/mengkristalkan ide penelitian 60
Pencarian literatur: merangkum kajian pustaka (contohnya 20
artikel, bab buku, dll.)
Menciptakan desain penelitian (contohnya penyeimbangan, 80
pengacakan kondisi, desain survei, dll.)
Memilih instrument/pengukuran: membuat instrument 30
penelitian
Memilih analisis/uji statistik 40
Melaksanakan analisis statistik dan perhitungan (termasuk 40
pekerjaan dengan komputer)
Interpretasi analisis 80
Manuskrip
Menulis bagian pendahuluan 90
Menulis bagian metode 80
Menulis bagian hasil analisis 80
Menulis bagian diskusi 100
Menulis bagian simpulan 60
Menulis limitasi penelitian 60
Menulis arah penelitian lanjutan 60
Mengelola proses submisi
Menanggapi saran peninjau 10
Membuat revisi berdasarkan saran peninjau 60
Total Skor

95
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

LAMPIRAN 2
Kartu Skor Penentuan Kepengarangan Seri
Judul Penelitian: ________________________________________________________________________________

Instruksi. Checklist ini didesain untuk membantu para peneliti dalam menentukan
urutan kepengarangan dan berlaku hanya pada situasi dimana dua atau lebih penulis
telah memperoleh skor yang sama pada ‘Kartu Skor Penentuan Kepengarangan’. Checklist
ini harus diisi secara kolaboratif oleh para penulis terkait (yaitu mereka yang memiliki
skor yang sama) sedemikian rupa sehingga semua skor penulis sama dengan total poin
yang diberikan untuk setiap item.

Kategori Aktifitas Total Skor Kontributor


Poin Inisial

Pencarian literatur
Melakukan pencarian literatur desktop/daring 50
Menyimpan database sumber pustaka 30
Memeriksa kualitas dan relevansi sumber pustaka 40
Dewan Peninjau Kelembagaan (Institutional Review Board)
Menulis aplikasi DPK 20
Menyerahkan aplikasi DPK 10
Menanggapi permintaan revisi dari DPK 40
Persiapan dan pengumpulan data
Membuat survei daring 60
Menyiapkan administrasi tertulis (mencetak kuisioner, 30
memesan ruangan untuk pengumpulan data, mencari
partisipan, dll.)
Mengumpulkan partisipan untuk penelitian 40
Memastikan pemenuhan ukuran sampel 10
Pemasukan data (apabila berupa administrasi tertulis) 20
Pembersihan dan koding data 30
Manuskrip
Menulis abstrak 100
Membuat tabel dan gambar 30
Mendukung proses edit manuskrip
Memeriksa format APA pada draft 30
Memeriksa referensi 10
Memeriksa pedoman spesifik publikasi jurnal 20
Mengelola proses submisi
Berkomunikasi dengan editor 30
Menyerahkan draft secara daring 10
Menanggapi permintaan revisi dan submisi ulang 70
Kewajiban administratif lainnya
Memelihara dokumentasi proyek penelitian 30
Membuat jadwal rapat berkala 20
Memberikan tugas kepada kontributor spesifik 40
Menindaklanjuti pekerjaan yang ditugaskan kepada 50
kontributor lain
Total Skor

96
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

LAMPIRAN 3
Kontrak Kepengarangan
Instruksi. Setelah menyelesaikan Kartu Skor Penentuan Kepengarangan (dan Kartu Skor
Penentuan Kepengarangan Seri bila dibutuhkan), mereka yang berhak sebagai penulis dalam
suatu proyek penelitian harus melengkapi dan menandatangani kontrak ini. kecuali disepakati
lain, adalah tanggung jawab penulis pertama untuk memastikan perjanjian ini dipenuhi sesuai
dengan jangka waktu yang ditentukan. Apabila batas waktu telah berakhir tanpa pemenuhan
perjanjian ini, maka sebuah kontrak baru harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh
semua penulis. Jika kontrak baru tidak diratifikasi (misalnya karena penulis pertama absen, tidak
semua penulis sepakat dengan kontrak baru), hak publikasi/presentasi jatuh kepada penulis
kedua (kecuali ditentukan lain) tetapi urutan kepengarangan harus tetap dan/atau berdasarkan
hasil Kartu Skor. Silakan menambahkan hal-hal khusus ke dalam kontrak (misalnya nama
koferensi, jurnal).

Luaran (centang yang sesuai)


 Proyek ini akan diserahkan untuk presentasi pada Konferensi pada (tanggal)_____ atau dalam
kurun waktu (angka)______ bulan setelah pengumpulan data berakhir, mana yang duluan.
 Proyek ini akan diserahkan untuk publikasi pada (tanggal)_____ atau dalam kurun waktu
(angka)______ bulan setelah pengumpulan data berakhir, mana yang duluan.

Ketentuan/kesepakatan lain

Urutan Penulis sebagaimana ditentukan dengan Kartu Skor.


Untuk dievaluasi ulang setiap (angka)______ bulan, ketika pengumpulan data telah selesai, dan
kapanpun produk penelitian akan segera diserahkan untuk presentasi/publikasi.

Penulis Pertama (Nama)____________________ (Ttd) ____________________ (Tanggal) ____________________

Penulis Kedua (Nama)____________________ (Ttd) ____________________ (Tanggal) ____________________

Penulis Ketiga (Nama)____________________ (Ttd) ____________________ (Tanggal) ____________________

Penulis Keempat (Nama)____________________ (Ttd) ____________________ (Tanggal) ____________________

Penulis Kelima (Nama)____________________ (Ttd) ____________________ (Tanggal) ____________________

97
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

BIODATA EDITOR DAN KONTRIBUTOR

Ir. Seng Hansen, S.T., M.Sc., Ph.D., IPM.


Seng Hansen memperoleh gelar Sarjana Teknik Sipil dan Lingkungan dari Universitas
Gadjah Mada pada 2008, Master of Science in Construction Contract Management dari
Universiti Teknologi Malaysia pada 2012, dan PhD in Built Environment dari RMIT
University pada 2021. Sebelum terjun menjadi akademisi, penulis pernah bekerja pada
salah satu BUMN Karya di Indonesia dari 2008-2014. Saat ini penulis aktif mengajar di
Prodi Manajemen & Rekayasa Konstruksi Universitas Agung Podomoro, meneliti dan
memberikan lokakarya.

Dr. Ir. Susy F. Rostiyanti, S.T., M.Sc., IPM.


Susy F Rostiyanti memiliki latar belakang pendidikan di bidang Teknik Sipil yang secara
konsisten ditempuh sejak S1 sampai S3. Kekhususan yang diambilnya adalah pada bidang
Manajemen dan Rekayasa Konstruksi. Dikenal sebagai penulis buku alat berat, Susy
pernah diminta untuk menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi terkait aspek alat berat
dalam judicial review atas beberapa Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Sebagai
dosen, Susy telah aktif mengajar selama lebih dari 20 tahun di bidang yang sama dan
secara konsisten mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya baik pada jurnal nasional
terakreditasi maupun jurnal internasional bereputasi. Dharma lainnya pada Tridharma
Perguruan Tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat juga ditekuni seperti
keterlibatannya secara reguler dalam pelatihan yang diadakan oleh Learning Center
Persatuan Insinyur Indonesia pada Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan.

Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, M.M.


Sony Heru Priyanto adalah Direktur President Research Center dari President University
(2018-2020), Ketua LPPM Universitas Agung Podomoro (2020-sekarang) dan Wakil
Rektor 1 bidang Akademik dan Kemahasiswaan (2021-Sekarang). Dia adalah lulusan
Magister Manajemen dari Universitas Gadjah Mada, Indonesia pada tahun 1996, Doktor
Manajemen dari Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia pada tahun 2003. Minat
penelitiannya meliputi manajemen agribisnis, kepemimpinan, pengembangan dan
perilaku agribisnis dan kewirausahaan. Dia telah menerbitkan artikel di beberapa jurnal
dan juga menulis buku-buku seperti Pertanian, Pembangunan Lokal & Ekonomi, dan
Strategi Pengurangan Kemiskinan, Titik Balik, Batik dan Batikan dan Pengentar Ilmu
Pertanian, Pemasaran Komunitas UKM Batik dan Grand Design Pengembangan BUMDES.
Hingga saat ini, ia menjadi konsultan Program Pengurangan Kemiskinan di Provinsi Jawa
Tengah dan menjadi tim akademisi dari Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini
dan Pendidikan Masyarakat. Dia mendalami penelitian metode campuran dan
membiasakan diri menerapkan meta data dalam beberapa penelitian, baik analisis data
kualitatif maupun kuantitatif. Beberapa proyek terbaru yang ia laksanakan seperti Sistem
98
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Logistik Kabupaten, Kartu Tani (Kartu Petani), Manajemen Rantai Pasokan Pangan dan
Badan Usaha Milik Desa.

Sri Sulastri, S.Sos., M.I.Kom.


Sri Sulastri, S.Sos., M.I.Kom., merupakan pustakawan sekaligus pengelola penerbitan di
Universitas Agung Podomoro. Lulusan Sarjana Sosial (S.Sos.) bidang Ilmu Informasi dan
Perpustakaan dan Magister Komunikasi dengan konsentrasi Ilmu Informasi dan
Perpustakaan dari Universitas Padjajaran. Memiliki peminatan dan keahlian dalam
program literasi informasi yang bertujuan untuk meningkatkan soft skill dalam
mengetahui informasi yang dibutuhkan, cara mencari dan menemukan informasi,
mengevaluasi, dan menggunakan informasi tersebut secara etis. Program ini telah
berjalan di Universitas Agung Podomoro dalam beragam kegiatan. Memiliki beberapa
terbitan di beberapa jurnal terkait plagiarisme, integritas akademik, literasi informasi,
dan bidang perpustakaan lainnya.

Seng Hansun, S.Si., M.Cs., Ph.D. (Cand.)


Seng Hansun memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si.) Matematika dan Master of Computer
Science (M.Cs.) Ilmu Komputer dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.
Sejak 2011, ia telah bergabung menjadi seorang dosen di Program Studi Informatika
Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang, Indonesia. Ia selanjutnya
dipromosikan menjadi Koordinator Riset Fakultas Teknologi Informasi dan Komunikasi,
Sekretaris Program Studi Informatika, dan Ketua Program Studi Informatika UMN. Ia
telah menerbitkan dua buah buku, yakni Matematika Diskret dan Pemrograman Dasar
Android yang didistribusikan secara luas di Indonesia. Ia juga telah menerbitkan lebih
dari 140 naskah publikasi dan menjadi anggota Technical Program Committee (TPC) di
beberapa konferensi internasional, serta menjadi anggota Dewan Reviewer di beberapa
jurnal nasional dan internasional. Bidang penelitiannya belakangan ini meliputi ilmu
komputasi, kecerdasan buatan, dan teknologi internet serta mobile di berbagai bidang
kehidupan, terutama dalam bidang Informatika Medis.

Andre Feliks Setiawan, S.T., M.Sc.


Andre Feliks Setiawan adalah seorang dosen program studi Manajemen dan Rekayasa
Konstruksi Universitas Agung Podomoro. Beliau menyelesaikan pendidikan S1 di
Universitas Kristen Maranatha Bandung pada tahun 2012 dan pendidikan S2 di National
Cheng Kung University Taiwan (國立成功大學) pada tahun 2014. Beliau memiliki
pengalaman di industri konstruksi sebagai site engineer dan site manager dari tahun
2014 sampai 2017. Saat ini beliau juga merupakan anggota aktif dari Japan Society of Civil
Engineers (JSCE). Beliau merupakan dosen yang berfokus pada bidang keahlian struktur
atau rekayasa konstruksi. Salah satu research interest beliau adalah material konstruksi.
Saat ini beliau juga merupakan koordinator Laboratorium Material Beton di Universitas
Agung Podomoro.

99
Etika Penelitian: Teori dan Praktik

Nurmadina, S.Hut., M.Si.


Nurmadina, lahir pada 16 Maret 1992 di Klaten, Jawa Tengah. Penulis menempuh
pendidikan dasar hingga menengah di Kota Klaten. Pada tahun 2010 sampai dengan
2015, penulis menempuh Pendidikan di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada
(UGM). Saat di semester akhir dan setelah wisuda sarjana, penulis aktif menjadi asisten
dosen di Laboratorium Komposit UGM. Pada tahun 2015, penulis mendapatkan
kesempatan beasiswa kuliah S2 di Jurusan Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Institut
Pertanian Bogor (IPB). Selepas lulus dari IPB pada tahun 2017, penulis kembali ke UGM
untuk menjadi asisten peneliti. Tahun 2019, penulis mendapatkan pekerjaan menjadi
Dosen Tetap di Program Studi Teknik Produksi Furnitur, Politeknik Industri Furnitur dan
Pengolahan Kayu, di bawah Kementerian Perindustrian.

Nukhbah Sany, S.E., M.M.


Nukhbah Sany, S.E., M.M. lulus S2 program studi Magister Manajemen Universitas
Diponegoro pada tahun 2019. Saat ini, penulis merupakan dosen tetap di Politeknik
Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu dan aktif mengajar di program studi Desain
Furnitur serta membawahi Unit Career Development Center (CDC). Di waktu luang,
penulis menghabiskan waktunya dengan aktivitas membaca buku nonfiksi (biografi,
memoar, sejarah perang, psikologi) dan melukis.

100
Etika penelitian merupakan sebuah isu yang tengah ramai diperbincangkan
oleh berbagai komunitas peneliti di dunia. Etika penelitian itu sendiri
merujuk pada nilai, norma maupun standar perilaku yang mengatur
aktivitas penelitian. Setidaknya terdapat tiga dimensi etika penelitian yaitu
etika penelitian terkait subyek penelitian, proses penelitian, dan publikasi
penelitian. Etika terkait subyek penelitian dapat mencakup isu kerahasiaan
data diri responden, kesukarelaan dan persetujuan responden untuk
berpartisipasi dalam penelitian, dan sikap saling menghargai antara peneliti
dan responden penelitian. Etika terkait proses penelitian mencakup antara
lain isu integritas dan transparansi penelitian, kebebasan ilmiah, fabrikasi
maupun falsifikasi data. Sedangkan etika terkait publikasi penelitian dapat
berupa plagiarisme, pengajuan ganda (multiple submission), publikasi ganda
(multiple publication), dan isu sponsorship dan konflik kepentingan.
Meskipun etika penelitian ini penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
pemenuhan etika penelitian masih menjadi tantangan besar terutama bagi
komunitas peneliti di Indonesia. Pada kenyataannya, etika penelitian jarang
dibahas dalam berbagai diskusi ilmiah di Indonesia. Adapun isu terkait etika
penelitian yang biasanya dibahas hanya seputar plagiarisme. Padahal
pemenuhan etika penelitian tidak saja bermanfaat bagi subyek penelitian,
tapi juga peneliti itu sendiri.
Buku ini berhasil menyajikan tujuh pokok bahasan yang didedikasikan untuk
pemahaman dan perkembangan etika penelitian di Indonesia. Disusun
secara komprehensif, buku ini dapat digunakan sebagai panduan bagi para
peneliti mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika
melaksanakan sebuah penelitian. Dengan demikian, buku ini diharapkan
dapat meningkatkan wawasan dan pemahaman para peneliti Indonesia
terkait pentingnya pemenuhan etika penelitian.

Podomoro University

PRESS

www.podomorouniversity.ac.id

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai