net/publication/367530183
CITATIONS READS
0 9,764
4 authors:
All content following this page was uploaded by Seng Hansen on 30 January 2023.
Podomoro University
PRESS
ETIKA PENELITIAN: TEORI DAN PRAKTIK
Editor:
Seng Hansen, dkk.
Editor:
Ir. Seng Hansen, S.T., M.Sc., Ph.D., IPM.
Dr. Ir. Susy Fatena Rostiyanti, S.T., M.Sc., IPM.
Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, M.M.
Penulis:
Susy F. Rostiyanti
Seng Hansun
Andre Feliks Setiawan
Sri Sulastri
Nurmadina
Nukhbah Sany
Seng Hansen
ISBN: 9786239837273
Diterbitkan oleh:
DAFTAR ISI
i
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Bacelius Ruru
ii
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermutu berasal dari kegiatan penelitian yang
bermutu dan berintegritas, mulai dari permulaan, perancangan, publikasi sampai hasil
penelitian itu dapat diterapkan dan bermakna bagi masyarakat. Untuk menghasilkan
penelitian yang bermutu, dibutuhkan tata cara, tata langkah dan tata tulis. Hal-hal
tersebut berkaitan dengan etika penelitian. Etika Penelitian terkait dengan beberapa
aspek seperti desain dan pelaksanaan penelitian, regulasi penelitian, prosedur dan
proses tinjauan etik dan masalah yang berkaitan dengan integritas ilmiah.
Dalam mendesain dan melaksanakan penelitian juga ada pedoman standar yang berlaku
secara internasional agar penelitian itu dianggap bermutu dan berintegritas. Sekarang ini
juga muncul beberapa regulasi dalam penelitian yang merupakan perkembangan dari
regulasi sebelumnya. Nilai, prinsip, dan standar yang memandu perilaku masing-masing
peneliti di beberapa bidang, termasuk dalam mendesain dan melaksanakan studi serta
melaporkan temuan. Misalnya, etika penelitian menetapkan bahwa penelitian yang
melibatkan pengumpulan data dari peserta manusia harus dievaluasi oleh dewan
peninjau kelembagaan (institutional review board, IRB).
Regulasi penelitian saat ini terus berkembang dan saat ini difokuskan ada aspek research
misconduct, yang berkaitan dengan kesalahan penelitian, pemalsuan, atau plagiarisme
dalam mengusulkan, melakukan, atau meninjau penelitian, atau dalam melaporkan hasil
penelitian; research involving human participants, aturan umum yang menjamin
perlindungan subyek manusia yang terlibat dalam penelitian; animal welfare, yaitu
regulasi yang menangani semua masalah hukum yang berkaitan dengan persyaratan
kesejahteraan hewan yang harus dipatuhi oleh peneliti.
Beberapa hal terkait dengan prosedur dan proses tinjauan etik seperti peserta penelitian
tidak boleh dirugikan dengan cara apa pun, penghormatan terhadap martabat peserta
penelitian harus diprioritaskan, persetujuan penuh harus diperoleh dari peserta sebelum
penelitian dan perlindungan privasi peserta penelitian harus dipastikan. Terakhir terkait
dengan integritas penelitian. Integritas penelitian adalah ketaatan pada prinsip
kejujuran, objektivitas, transparansi, profesionalisme, dan perilaku etis ketika
melakukan, mengelola, menggunakan hasil, dan mengkomunikasikan tentang kegiatan
ilmiah yang berkualitas tinggi dan bebas dari pengaruh yang tidak pantas.
Universitas Agung Podomoro dengan bangga telah menerbitkan buku yang berjudul
“ETIKA PENELITIAN: TEORI DAN PRAKTIK”. Buku ini merupakan bunga rampai dan
kolaborasi antar perguruan tinggi di Indonesia. Ini budaya yang bagus bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk dalam pendalaman dan
penyebarluasan kegiatan penelitian yang beretika.
iii
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Kita berharap buku ini bermakna bagi peneliti yang telah, sedang dan akan melakukan
penelitian. Kiranya buku ini bisa merajut dan memotivasi untuk kembali menghasilkan
karya-karya yang bermutu. Kiranya.
iv
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
EDITORIAL:
PEMENUHAN ETIKA PENELITIAN
Ir. Seng Hansen, S.T., M.Sc., Ph.D., IPM.
Etika penelitian merupakan sebuah isu yang tengah ramai diperbincangkan oleh
berbagai komunitas peneliti di dunia. Baru-baru ini, sebuah kasus plagiarisme yang
diviralkan melalui Twitter memaksa si plagiat – seorang apoteker dan peneliti di bidang
farmasi dari Bangladesh, harus menarik artikelnya dan mundur dari program
doktoralnya di Hong Kong University (selengkapnya dapat diakses dari
https://retractionwatch.com/2022/08/24/how-a-tweet-sparked-an-investigation-
that-led-to-a-phd-student-leaving-his-program/). Selain kasus di atas, berbagai temuan
plagiarisme dan penarikan artikel ilmiah (retraction) turut terjadi di banyak jurnal
internasional bereputasi. Sudah menjadi tugas bagi pihak penerbit untuk memastikan
kualitas artikel yang diterbitkannya dan mencabut artikel yang telah terbukti melanggar
etika penelitian.
Berbicara mengenai etika penelitian, kita tidak saja berbicara mengenai plagiarisme.
Etika penelitian itu sendiri merujuk pada nilai, norma maupun standar perilaku yang
mengatur aktivitas penelitian. Setidaknya terdapat tiga dimensi etika penelitian yaitu
etika penelitian terkait subyek penelitian, proses penelitian, dan publikasi penelitian.
Etika terkait subyek penelitian dapat mencakup isu kerahasiaan data diri responden,
kesukarelaan dan persetujuan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian, dan
sikap saling menghargai antara peneliti dan responden penelitian. Etika terkait proses
penelitian mencakup antara lain isu integritas dan transparansi penelitian, kebebasan
ilmiah, fabrikasi maupun falsifikasi data. Sedangkan etika terkait publikasi penelitian
dapat berupa plagiarisme, pengajuan ganda (multiple submission), publikasi ganda
(multiple publication), dan isu sponsorship dan konflik kepentingan.
Meskipun etika penelitian ini penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan, pemenuhan etika
penelitian masih menjadi tantangan besar terutama bagi komunitas peneliti di Indonesia.
Pada kenyataannya, etika penelitian jarang dibahas dalam berbagai diskusi ilmiah di
Indonesia. Adapun isu terkait etika penelitian yang biasanya dibahas hanya seputar
plagiarisme. Padahal pemenuhan etika penelitian tidak saja bermanfaat bagi subyek
penelitian, tapi juga peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, kami menilai penting bahasan
etika penelitian yang lebih komprehensif bagi komunitas peneliti Indonesia.
Buku ini berhasil menyajikan tujuh pokok bahasan yang didedikasikan untuk
pemahaman dan perkembangan etika penelitian di Indonesia. Bab pertama ditulis oleh
Dr. Susy Fatena Rostiyanti yang juga merupakan salah satu editor buku ini. Dr. Susy
mengangkat topik etika menjaga kerahasiaan data, terutama informasi identitas
responden penelitian.
v
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Bab kedua berfokus pada pengantar etika penelitian di bidang informatika. Ditulis oleh
Bapak Seng Hansun, S.Si., M.Cs., Ph.D. (Candidate), bab ini memaparkan beberapa isu
etika penelitian di bidang ilmu keteknikan secara umum dan Informatika secara khusus.
Berbagai kasus pelanggaran etika di bidang Informatika dibahas sebagai kajian untuk
didiskusikan.
Bab ketiga ditulis oleh Bapak Andre Feliks Setiawan, S.T., M.Sc. Beliau menjelaskan
berbagai jenis penyimpangan ilmiah dalam bentuk falsifikasi dan fabrikasi terutama
untuk penelitian terkait material konstruksi. Beberapa faktor penyebab terjadinya
praktik ini juga diuraikan secara ringkas dan tepat. Selain itu, bab ini juga menekankan
pentingnya peran pemerintah dalam upaya menekan praktik falsifikasi dan fabrikasi
penelitian di Indonesia.
Selanjutnya, pelanggaran etika penelitian dalam bentuk plagiarisme dan auto plagiat
dibahas secara mendalam oleh Ibu Sri Sulastri, S.Sos., M.I.Kom. Plagiarisme merupakan
sebuah tindakan yang mengikis integritas akademik. Di sisi lain, auto plagiat masih jarang
didiskusikan sehingga bahasan yang disampaikan dalam bab ini menjadi sangat penting
untuk dipahami oleh para peneliti.
Bab lima menyajikan proses reviu etika penelitian sebagaimana diterapkan oleh
Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu (Poltek) Kendal. Ibu Nurmadina,
S.Hut., M.Si. tidak saja menyampaikan peraturan dan prosedur reviu etika beserta
kendala-kendalanya, tapi juga pentingnya peranan komite etika dalam menilai dan
menetapkan hasil telaah etik.
Pada bab selanjutnya, Ibu Nukhbah Sany, S.E., M.M. memaparkan panduan penyampaian
hasil penelitian kepada partisipan untuk penelitian bidang ilmu sosial. Disini beliau
menguraikan beberapa pertimbangan etis ketika peneliti menyampaikan hasil
penelitiannya kepada para partisipan. Berbagai isu terkait informasi apa yang dapat
disampaikan, kapan informasi tersebut dapat disampaikan, kepada siapa dan bagaimana
cara informasi disampaikan juga dibahas secara mendalam.
Bab terakhir ditulis oleh saya sendiri dengan mengangkat isu terkait kepengarangan
dalam etika publikasi penelitian. Status kepengarangan merupakan salah satu isu penting
yang harus disematkan kepada mereka yang memang pantas dinyatakan sebagai penulis
sebuah artikel ilmiah. Bab ini tidak saja menguraikan kriteria seseorang dapat disebut
pengarang/penulis artikel ilmiah, tapi juga tanggung jawab, jenis-jenis, negosiasi, dan
berbagai strategi untuk menyelesaikan konflik kepengarangan.
Mengingat permasalahan dan penyimpangan penelitian dapat terjadi akibat kurangnya
pemahaman para peneliti terkait etika penelitian, ketujuh bab dalam buku ini dapat
digunakan sebagai panduan bagi para peneliti mengenai apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan ketika melaksanakan sebuah penelitian. Kami berharap buku ini dapat
berkontribusi meningkatkan wawasan dan pemahaman para peneliti Indonesia terkait
pentingnya pemenuhan etika penelitian.
vi
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
BAB 1
PENELITIAN DAN RESPONDEN: ETIKA MENJAGA
KERAHASIAAN DATA
Susy F. Rostiyanti
Universitas Agung Podomoro
RINGKASAN
Penelitian merupakan serangkaian proses untuk menjawab permasalahan yang diangkat
sebagai pertanyaan penelitian. Desain penelitian menjadi tolok ukur penting bagi
kesiapan peneliti dalam menjalankan proses penelitian untuk menjawab pertanyaan
penelitian secara logis dan jelas. Salah satu prosesnya adalah pengumpulan data yang
melibatkan manusia sebagai subyek penelitian. Keterlibatan manusia sebagai responden
penelitian memiliki konsekuensi akan pentingnya menjaga etika. Enam prinsip etika
terhadap responden maupun data yang diberikan oleh responden yaitu menghormati,
sikap baik, keadilan, kejujuran, akurasi dan kelengkapan perlu menjadi pertimbangan
peneliti selama interaksinya dengan responden. Etika yang merupakan norma
menetapkan cara berperilaku dalam meneliti. Etika perlu dipahami sejak sebelum
pengumpulan data dilakukan melalui pemberian informasi penelitian kepada responden
sampai terbitnya persetujuan dan partisipasi responden dalam pengumpulan data.
Informasi yang diberikan kepada responden memegang peranan penting dalam
keberhasilan proses pengumpulan data. Kepastian terjaganya etika bagi responden
memberikan jaminan kerahasiaan informasi identitas. Kejelasan informasi dan jaminan
kerahasiaan menjadi dasar persetujuan (consent) yang diberikan responden. Dalam
memastikan terjaganya etika terkait responden tiga hal penting harus diperhatikan yaitu
privasi, anonimitas, dan kerahasiaan yang menjadi satu kesatuan utuh. Ketiga bentuk
etika ini diterapkan pada setiap jenis pengambilan data termasuk penelitian berbasis
elektronik. Setiap jenis pengambilan data memiliki isu yang berbeda satu dengan lainnya
sehingga peneliti perlu mengantisipasi isu yang mungkin muncul dalam bentuk
pengambilan data yang ditentukan dalam desain penelitian.
1
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
adalah teks atau narasi lisan. Penelitian kualitatif memiliki desain penelitian dengan
struktur lebih longgar karena terkadang tidak dapat ditentukan atau tidak diketahui data
apa yang akan diperoleh sampai setelah data dikumpulkan.
Dalam pengumpulan data penelitian, Fellows dan Liu (2015) membagi metode
pengumpulan data ke dalam bentuk komunikasinya yaitu satu dan dua arah. Metode satu
arah meliputi kuesioner, wawancara terstruktur, pemeriksaan arsip/dokumen sekunder
dan observasi oleh peneliti. Sedangkan wawancara semi-terstruktur dan observasi
responden masuk ke dalam kategori metode dua arah. Secara garis besar, metode
pengumpulan data dapat dibagi menjadi enam pendekatan yaitu (Christensen, Johnson &
Turner 2014):
1. Tes. Metode ini dilakukan untuk pengukuran karakteristik responden. Tes pada
umumnya telah terstandar sehingga pengembangan model baru tidak perlu
dilakukan jika bentuk serupa telah ada. Pada tes yang telah terstandar, informasi
terkait reliabilitas, validitas, dan norma untuk perbandingan disediakan. Bentuk tes
yang telah terstandar memiliki keuntungan, salah satunya adalah komparasi ukuran
umum di seluruh populasi penelitian sangat mungkin dilakukan. Namun tes
terstandar umumnya mahal jika hak penggunaan model ini dibeli untuk setiap
responden penelitian. Kelemahan lain adalah kesulitan penggunaan tes terstandar
jika populasi penelitian bersifat spesifik.
2. Kuesioner. Allen (2017) mendefinisikan kuesioner sebagai kumpulan pertanyaan
tertulis yang disusun menjadi satu dokumen yang membutuhkan tanggapan untuk
setiap item pertanyaan di dalamnya. Pertanyaan yang diajukan kepada responden
atau peserta penelitian berkaitan dengan topik penelitiannya. Mayoritas kuesioner
dapat dikelola sendiri yang artinya responden dapat mengisi kuesioner tanpa
bantuan atau kehadiran peneliti saat pengisiannya. Jika pada awalnya kuesioner diisi
dengan menggunakan alat tulis maka saat ini pengisiannya dapat dilakukan secara
elektronik dengan menggunakan sarana yang tersedia di internet. Kuesioner dapat
berupa pertanyaan tertutup (responden memilih dari beberapa jawaban yang
diberikan oleh peneliti) dan pertanyaan terbuka (responden memberikan jawaban
dengan menggunakan kata-kata sendiri). Kelebihan metode kuesioner terletak pada
kemudahan dan murahnya proses pengumpulan data terutama proses pengisian
secara elektronik melalui email dan internet. Kuesioner elektronik bahkan dapat
mencakup area yang lebih luas dibandingkan kuesioner manual. Kuesioner yang
dikembangkan dengan baik juga memberikan rasa aman pada responden dengan
adanya anonimitas yang terjaga. Pada kuesioner berbentuk pertanyaan tertutup,
proses analisis umumnya mudah dilakukan. Namun kuesioner memiliki kelemahan
seperti pertanyaan harus cukup pendek sehingga memudahkan responden dalam
memberi tanggapan; kuesioner elektronik berpotensi pada rendahnya tanggapan
responden; dan perlunya validasi data hasil pengumpulan.
3. Wawancara. Interaksi dengan responden untuk mengumpulkan informasi dan/atau
membangun suatu pendapat dikenal sebagai wawancara. Wawancara dapat
dilakukan secara tatap muka maupun melalui telepon bahkan secara telekonferensi
melalui internet. Wawancara direkam baik dengan alat perekam maupun catatan
tertulis selama atau setelah wawancara. Data wawancara ditranskripsikan kata demi
2
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
kata untuk kemudian dianalisis. Protokol wawancara yang baik dibangun untuk
memastikan reliabilitas dan validitas hasilnya. Keuntungan metode ini adalah pada
kemungkinan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dari responden.
Namun pelaksanaannya yang dilakukan secara tatap muka, telepon atau
telekonferensi menyebabkan rendahkan anonimitas yang dirasakan responden.
4. Diskusi Kelompok Terpumpun. Dikenal sebagai Focus Group Discussion (FGD),
metode penelitian kualitatif ini dilaksanakan dengan mengelompokkan partisipan
dalam jumlah kecil dan homogen (6-12 orang). Kegiatan dipandu oleh moderator dan
direkam secara audio dan/atau video untuk mengumpulkan data dan informasi
secara sistematis dan terfokus pada topik atau masalah penelitian. Aspek yang
membedakan FGD dengan wawancara adalah pada interaksi dan diskusi di antara
para responden terkait isu-isu yang menjadi dasar penelitian. Keuntungan metode
FGD adalah peneliti dimungkinkan untuk memperoleh informasi lebih mendalam
dan mengamati reaksi antar responden selama prosesnya. Namun bentuk ini juga
memiliki kelemahan, antara lain jika: a) moderator kurang mampu memfasilitasi
responden dan membangun hubungan antar responden; b) adanya dominasi oleh
satu atau sebagian responden; dan c) adanya informasi yang tidak penting muncul
selama FGD.
5. Observasi. Data untuk penelitian kuantitatif maupun kualitatif dapat dikumpulkan
melalui observasi oleh peneliti terhadap kegiatan yang dilakukan orang. Dalam
penelitian kuantitatif, peneliti membuat standar prosedur pengumpulan data seperti
siapa yang diamati, apa yang diamati, kapan dan di mana dan bagaimana observasi
dilakukan. Prosedur sampling dapat digunakan dalam bentuk interval waktu
sehingga observasi tidak perlu dilakukan terus menerus. Dalam penelitian kualitatif,
prosedur observasi biasanya bersifat eksploratif dan terbuka dan hasilnya
dikumpulkan dalam catatan yang padat informasi. Melalui observasi peneliti
memperoleh informasi yang sulit diperoleh melalui wawancara langsung karena
keengganan responden. Namun, peneliti memiliki keterbatasan tempat penelitian
sehingga kesulitan pada pengamatan populasi yang besar atau tersebar.
6. Data sekunder. Metode lain dalam pengumpulan data adalah penggunaan data yang
telah ada sebelumnya. Data sekunder yang paling sering digunakan adalah dokumen,
data fisik, dan data penelitian yang diarsipkan. Penggunaan data sekunder memiliki
beberapa keunggulan seperti data dikumpulkan untuk periode waktu yang terjadi di
masa lalu dan kemudian dipelajari tren data tersebut serta ketersediaan data dalam
berbagai topik. Namun, kekurangan dari data sekunder antara lain adalah
kemungkinan tidak lengkapnya data; data yang tersedia hanya mewakili perspektif
tertentu yang kurang sesuai dengan pertanyaan peneliti; atau data telah
kedaluwarsa.
Hampir seluruh metode penelitian ini melibatkan pihak luar yang menjadi sumber data
yaitu responden atau partisipan. Allen (2017) mendefinisikan responden sebagai orang-
orang yang memberikan data untuk dianalisis pada suatu penelitian. Penggunaan
terminologi responden memberikan arti seseorang terlibat dalam pemberian data
namun tidak dalam proses penelitiannya. Sementara terminologi partisipan memberikan
pemahaman yang lebih luas. Partisipan bukan saja memberikan data namun memiliki
3
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
peran lebih seperti pihak yang diminta masukkannya pada aspek-aspek tertentu dalam
penelitian yang sedang dijalankan (Oliver 2010).
Sebelum proses pengumpulan data, instrumen survei dikembangkan dengan input
berupa tipe dan karakteristik responden yang diharapkan serta bagaimana rekrutmen
responden dilakukan. Saat ini sangat lazim rekrutmen dilakukan dengan memanfaatkan
internet maupun media sosial. Keikutsertaan responden umumnya karena topik
penelitian yang diangkat atau adanya harapan untuk memperoleh imbalan saat
berpartisipasi. Semakin spesifik topik penelitian yang diangkat maka semakin sulit
merekrut responden dalam jumlah yang cukup. Terlebih, dalam proses pengumpulan
data, responden berhak untuk menentukan apakah mereka ingin tetap berpartisipasi
dalam penelitian dan durasi kesertaannya. Hal utama yang perlu dipertimbangkan dalam
memperlakukan responden sebagai bagian dari penelitian antara lain adalah
ketersediaan responden dan etika terhadap responden.
4
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
pengguna Facebook menjadi dasar kasus karena data dalam penelitian ini diperoleh
tanpa persetujuan (consent) dari responden.
Etika perlu dipertimbangkan sejak tahap awal sebuah penelitian. Masalah atau
pertanyaan penelitian yang diangkat dan tujuan dari sebuah penelitian yang ingin dicapai
mengarahkan peneliti dalam mengembangkan desain penelitian. Pada proses
pengembangan desain penelitian, peneliti menentukan sifat sampel penelitian,
bagaimana sampel penelitian akan diperoleh sampai dengan metodologi untuk
menjawab pertanyaan penelitian. Di dalam proses ini juga aspek etika perlu
dipertimbangkan (Christensen, Johnson & Turner, 2014; Oliver, 2010). Etika penelitian
bukan saja terkait dengan aspek profesional dari proses yang dijalankan oleh peneliti
namun juga aspek perilaku terhadap peserta penelitian dalam hal ini responden. Jika
etika dikaitkan dengan profesionalisme maka masalah yang mungkin terjadi adalah
pemalsuan dan plagiarisme atau dikenal sebagai scientific misconduct (Johnson &
Christensen 2020; Neuman, 2014). Sementara itu, dalam konteks perilaku terhadap
responden, aspek etika juga memiliki kepentingan yang sama besar karena berhubungan
dengan manusia lain yang diharapkan keterlibatannya dalam penelitian. Kepekaan
peneliti terhadap aspek etika mengurangi potensi kemunculan masalah etika dalam
seluruh proses penelitian yang dilakukan.
Beberapa prinsip etika ada dalam penelitian perlu dipertimbangkan oleh peneliti.
Prinsip-prinsip ini antara lain adalah (Allen 2017; Christensen, Johnson & Turner, 2014):
1. Menghormati. Penting bagi peneliti untuk mengakui dan menghormati responden.
Dengan menghormati hak responden, peneliti memberikan ruang bagi responden
untuk mendapatkan informasi lengkap dan akurat sebagai dasar pembuatan
keputusan keikutsertaannya dalam penelitian. Persuasi peneliti kepada responden
dijaga agar tetap menghormati hak responden.
2. Sikap baik. Dalam konteks ini, peneliti menjaga kesejahteraan responden dengan
memaksimalkan manfaat yang diperoleh responden dan meminimalkan kerugian
yang mungkin dialami pada partisipasinya dalam penelitian.
3. Keadilan. Prinsip keadilan berlaku pada pemilihan responden penelitian yang
dilakukan dengan adil. Seluruh responden secara adil merasakan manfaat dan
menerima beban yang sama.
4. Kejujuran. Keputusan etis yang perlu dijaga oleh peneliti adalah kejujuran. Penipuan
dan pemalsuan data merupakan bentuk permasalahan pada etika terkait prinsip
kejujuran. Pelanggaran etika kejujuran lainnya adalah membiaskan hasil penelitian.
5. Akurasi. Prinsip akurasi berlaku pada informasi yang diberikan kepada responden
dalam proses pengumpulan data. Selain itu prinsip akurasi perlu dijaga pada tahap
analisis data dan pelaporan hasil.
6. Kelengkapan. Prinsip lain dari etika adalah kelengkapan informasi. Responden
memiliki hak untuk memperoleh deskripsi penelitian secara komprehensif. Prinsip
kelengkapan berkaitan erat dengan informed consent atau penjelasan dan persetujuan
responden.
5
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Penyediaan Informasi
Penyediaan informasi menjadi aspek penting dalam pengumpulan data untuk
memastikan calon responden memahami efek dalam kesertaannya pada suatu penelitian
(Wiles, 2013). Pernyataan penting dalam penyediaan informasi adalah “seberapa banyak
informasi yang harus diberikan”; “kapan informasi harus diberikan” maupun “seberapa
sering informasi diberikan?” Informasi yang diberikan haruslah cukup komprehensif
agar responden memahami keterlibatannya dalam penelitian namun tidak terlalu
berlebihan sehingga meredam maupun mengurangi keinginan responden untuk
berpartisipasi.
Dalam penyediaan informasi, muncul beberapa tantangan yang dihadapi peneliti
kaitannya dengan isu etika (Wiles, 2013). Pertama, Schermer, Custers dan Van der Hof
(2014) menekankan pada kecukupan informasi yang diberikan kepada responden. Untuk
memperoleh persetujuan (consent) responden, penting bagi peneliti untuk memastikan
kerahasiaan dan anonimitas responden. Sangat memungkinkan responden dapat
diidentifikasikan saat publikasi hasil penelitian sehingga peneliti perlu memastikan
bahwa tidak timbul risiko bagi responden yang terlibat. Penyediaan informasi sedikitnya
6
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
mampu membantu responden dalam antisipasi risiko yang mungkin timbul dari
keterlibatannya dalam pengumpulan data.
Tantangan lain yang dihadapi peneliti adalah kesulitan dalam pemberian informasi
sehingga memungkinkan muncul kesulitan lain yaitu perolehan persetujuan. Penelitian
yang dilakukan di tempat umum sering kali mengalami hal tersebut. Antisipasi yang
dapat dilakukan oleh peneliti adalah memberikan informasi kepada pihak yang
berwenang serta informasi dalam bentuk pemasangan poster dan sejenisnya kepada
individu yang berada di sekitar lokasi. Poster ini sedikitnya berisikan informasi
penelitian yang sedang berjalan dan waktu pengumpulan data dilakukan. Penyediaan
informasi seperti ini membantu calon responden untuk mengambil keputusan atas
partisipasinya dalam penelitian. Ferreira dan Serpa (2018) menambahkan pentingnya
reviu oleh komite etik sebelum penelitian di tempat umum dilakukan untuk agar
intervensi yang dilakukan peneliti kepada responden tidak menimbulkan isu etis.
Hak responden untuk menarik kesertaannya dari penelitian menjadi tantangan lain bagi
peneliti untuk mampu mengantisipasinya. Hak menarik diri responden dari
partisipasinya pada suatu penelitian merupakan bentuk otonomi responden (Anabo,
Elexpuru-Albizuri & Villardón-Gallego, 2019). Penyediaan informasi adalah bagian dari
surat persetujuan (informed consent) yang juga berisi hak responden untuk sewaktu-
waktu menarik diri dari partisipasinya. Penarikan kesertaan dalam penelitian bisa terjadi
saat data telah dianalisis sehingga peneliti perlu mengupayakan adanya batas
pengunduran diri responden dari penelitian. Responden memiliki hak untuk menarik
partisipasinya dari penelitian dan peneliti perlu mempertimbangkan konsekuensi dari
hal ini karena dapat memengaruhi jumlah responden yang dibutuhkan untuk kecukupan
data.
Penyediaan informasi inti untuk semua calon responden selain berisi ringkasan tentang
penelitian dan kontribusi yang diharapkan dari responden di dalamnya, juga berisi
persetujuan responden untuk berpartisipasi serta hak untuk menarik diri dari proses
penelitian kapan saja atas permintaannya. Pada beberapa bentuk penelitian,
perlindungan tambahan diberikan berupa janji bahwa setiap data yang diberikan
responden dapat dikembalikan berdasarkan permintaan.
7
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
dari potensi bahaya (Antoniou dkk., 2011). Potensi bahaya sangat mungkin dialami
responden terutama pada penelitian medis dan psikologi.
Bos (2020) mensyaratkan bahwa persetujuan harus: (1) diberikan secara sukarela; (2)
diperoleh dari responden yang kompeten secara hukum; (3) diinformasikan secara jelas,
dan (4) dipahami responden atas apa yang diharapkan darinya. Maka dari itu, informed
consent harus mencakup ringkasan singkat penelitian (Johnson & Christensen, 2020).
Ringkasan ini terbatas pada tujuan penelitian tanpa informasi yang mendetail pada
hipotesis atau teknis penelitian. Pada intinya, informed consent memberikan deskripsi
yang dapat memengaruhi kesediaan calon responden untuk berpartisipasi. Antoniou dkk.
(2011) menambahkan bahwa waktu baca informed consent yang paling efektif adalah
berkisar satu menit. Informed consent yang terlalu luas dengan waktu baca yang lebih
panjang dapat menimbulkan keengganan calon responden untuk berpartisipasi. Bothun,
Feeder dan Poland (2021) memperkuat argumen ini dengan pendapat bahwa diperlukan
strategi bentuk lain dari persetujuan seperti format multimedia atau diskusi pribadi
untuk meningkatkan pemahaman tentang formulir persetujuan.
Informed consent atau persetujuan yang diperoleh dari responden berisi antara lain: (a)
kesepakatan umum untuk berpartisipasi; (b) konfirmasi cara perekaman data; (c)
pengelolaan anonimitas dan kerahasiaan responden; serta (d) cara penelitian akan
didiseminasikan (Wiles, 2013). Persetujuan juga dapat berisikan (a) alasan responden
dilibatkan dalam penelitian; (b) harapan peneliti terhadap partisipasi responden; dan (c)
pihak yang dapat mengakses data (Antoniou dkk. 2011). Contohnya dapat dilihat pada
Lampiran. Umumnya persetujuan diberikan dalam sebuah formulir yang kemudian
ditandatangani. Kelebihan dari bentuk ini adalah adanya kepastian bahwa calon
responden memahami keterlibatannya dalam sebuah penelitian dan peneliti terlindungi
dari kemungkinan keluhan responden di masa yang akan datang. Namun
penandatanganan formulir dapat menimbulkan masalah terkait anonimitas karena ada
kemungkinan responden terlacak sehingga menjadi dilema bagi responden (Wiles,
2013). Sering kali calon responden memberikan data palsu untuk menghindari pelacakan
yang justru merugikan peneliti karena penelitian menjadi tidak valid.
Calon responden berubah menjadi responden setelah memperoleh informasi penelitian
dan setuju berpartisipasi di dalamnya. Pada saat ini maka dapat dikatakan peneliti
memperoleh informed consent dari responden. Dengan demikian, proses penelitian
selanjutnya dapat dilakukan yaitu pengumpulan data.
8
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
9
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
perekaman data. Responden dapat menekan tombol jeda saat dirasa perlunya
pertimbangan atas tanggapan yang diberikan responden.
10
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
11
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
12
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Pada beberapa kasus, terjadi pelanggaran kerahasiaan yang berarti bahwa peneliti tidak
memenuhi janji yang diberikan kepada responden. Pelanggaran atas kerahasiaan
diklasifikasikan ke dalam empat jenis pelanggaran yaitu (Bos, 2020):
(1) Pelanggaran yang dapat disalahkan: terjadi jika informasi identitas responden
dipublikasikan tanpa adanya persetujuan. Peneliti bertanggung jawab jika
terbukanya kerahasiaan responden dapat dicegah. Dalam hal ini, pelanggaran terjadi
karena anonimitas yang dilakukan terhadap responden tetap memberikan petunjuk
pada karakter unik tertentu dari responden dimaksud.
(2) Pelanggaran yang dapat dibenarkan: peneliti memiliki kewajiban untuk membuka
data informasi identitas responden pada keadaan yang memaksa. Pelanggaran
seperti ini mungkin terjadi pada penelitian di bidang sosial seperti bidang kejiwaan.
Responden yang memiliki tendensi berperilaku jahat perlu ditangani sesegera
mungkin sebelum muncul risiko kejiwaan yang berimplikasi pada pihak ketiga.
(3) Pelanggaran yang dipaksa: pada penelitian yang dapat membahayakan banyak orang,
muncul paksaan kepada peneliti untuk mengungkapkan informasi identitas
responden. Dalam konteks ini, terjadi pelanggaran karena keadaan yang memaksa
demi kepentingan yang lebih luas.
(4) Pengabaian kerahasiaan: bentuk ini pada dasarnya merupakan keinginan responden
untuk dapat diidentifikasi. Biasanya hal ini muncul karena responden menginginkan
keterlibatan yang lebih jauh dalam penelitian.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa pelanggaran atas kerahasiaan dimungkinkan
terjadi walaupun telah ada kesepakatan peneliti kepada responden untuk menjaganya.
REFERENSI
Allen, M. (Ed.). (2017). The SAGE encyclopedia of communication research methods. SAGE
Publications.
Anabo, I. F., Elexpuru-Albizuri, I., & Villardón-Gallego, L. (2019). Revisiting the Belmont
Report’s ethical principles in internet-mediated research: Perspectives from
disciplinary associations in the social sciences. Ethics and Information Technology,
21(2), 137-149.
Antoniou, E. E., Draper, H., Reed, K., Burls, A., Southwood, T. R., & Zeegers, M. P. (2011).
An empirical study on the preferred size of the participant information sheet in
research. Journal of Medical Ethics, 37(9), 557-562.
Bos, J. (2020). Research ethics for students in the social sciences. Springer Nature.
Bothun, L. S., Feeder, S. E., & Poland, G. A. (2021). Readability of Participant Informed
Consent Forms and Informational Documents: From Phase 3 COVID-19 Vaccine
Clinical Trials in the United States. Mayo Clinic Proceedings (Vol. 96, No. 8, 2095-
2101). Elsevier.
13
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Bowling, N. A., Gibson, A. M., Houpt, J. W., & Brower, C. K. (2021). Will the questions ever
end? Person-level increases in careless responding during questionnaire
completion. Organizational Research Methods, 24(4), 718-738.
Christensen, L. B., Johnson, R. B., & Turner, L. A. (2014). Research methods, design and
analysis, 12th Ed. Pearson.
Coffelt, T. A. (2017). Confidentiality and anonymity of participants. The SAGE encyclopedia
of communication research methods, 227-230.
Fellows, R., & Liu, A. M. M. (2015). Research Methods for Construction, Wiley Blackwell.
Ferreira, C. M., & Serpa, S. (2018). Informed consent in social sciences research: Ethical
challenges. International Journal Social Science Studies, 6, 13.
Giordano, J., O'Reilly, M., Taylor, H., & Dogra, N. (2007). Confidentiality and autonomy:
The challenge (s) of offering research participants a choice of disclosing their
identity. Qualitative health research, 17(2), 264-275.
Johnson, R. B., & Christensen, L. (2020). Educational research: Quantitative, qualitative,
and mixed approaches. Sage publications.
Kelley, K., Clark, B., Brown, V., & Sitzia, J. (2003). Good practice in the conduct and
reporting of survey research. International Journal for Quality in health care, 15(3),
261-266.
Marshall, B., Cardon, P., Poddar, A., & Fontenot, R. (2013). Does sample size matter in
qualitative research?: A review of qualitative interviews in IS research. Journal of
computer information systems, 54(1), 11-22.
Neuman, L.W. (2014). Basics of Social Research: Qualitative & Quantitative Approaches. 3rd
Ed. Pearson Education Limited.
Oliver, P. (2010). The student's guide to research ethics. McGraw-Hill Education (UK).
Plummer, P. (2017). Focus group methodology. Part 2: Considerations for analysis.
International Journal of Therapy and Rehabilitation, 24(8), 345-351.
Queirós, A., Faria, D., & Almeida, F. (2017). Strengths and limitations of qualitative and
quantitative research methods. European journal of education studies.
Ripley, K. R., Hance, M. A., Kerr, S. A., Brewer, L. E., & Conlon, K. E. (2018). Uninformed
consent? The effect of participant characteristics and delivery format on informed
consent. Ethics & Behavior, 28(7), 517-543.
Roberts, L. D., & Allen, P. J. (2015). Exploring ethical issues associated with using online
surveys in educational research. Educational Research and Evaluation, 21(2), 95-
108.
Schermer, B. W., Custers, B., & Van der Hof, S. (2014). The crisis of consent: How stronger
legal protection may lead to weaker consent in data protection. Ethics and
Information Technology, 16(2), 171-182.
14
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Sugiura, L., Wiles, R., & Pope, C. (2017). Ethical challenges in online research:
Public/private perceptions. Research Ethics, 13(3-4), 184-199.
Wiles, R. (2013). What are Qualitative Research Ethics? Bloomsburry Academic.
15
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Judul Penelitian:
Ketua Peneliti:
Anggota Peneliti: (jika ada)
Alamat korespondensi:
Nomor yang dapat dihubungi:
Tidak ada risiko bagi Bapak/Ibu/Saudara/i dalam partisipasinya pada penelitian ini.
16
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
BAB 2
ETIKA PENELITIAN INFORMATIKA: 101
Seng Hansun
Universitas Multimedia Nusantara
RINGKASAN
Dalam pelaksanaan suatu penelitian, para peneliti memerlukan pedoman yang dapat
menjaga dan memastikan mereka untuk tetap berada di jalur yang benar. Pedoman
tersebut tertuang dalam Etika Penelitian yang hendaknya diketahui, dipahami, dan
dipraktikkan oleh para peneliti. Dalam bab ini, kita akan membahas beberapa prinsip
dasar etika penelitian yang umum dijumpai dan diterima di berbagai bidang atau disiplin
ilmu. Selanjutnya, beberapa isu etika penelitian di bidang Ilmu Teknik secara umum dan
Informatika secara khusus dibahas ringkas di sini. Beberapa contoh kasus pelanggaran
etika yang melibatkan para peneliti di bidang Informatika juga dibahas sebagai bahan
pelajaran yang dapat didiskusikan. Terakhir, beberapa tips terkait hal-hal yang patut dan
tidak patut untuk dilakukan dalam pelaksanaan suatu penelitian menutup keseluruhan
pembahasan kita terkait pengantar etika penelitian Informatika.
PENDAHULUAN
Etika penelitian tidak ayal lagi menjadi salah satu ketentuan yang wajib dipahami dan
dipatuhi oleh para akademisi dan peneliti dalam melakukan sebuah penelitian ilmiah.
Keberhasilan sebuah penelitian tidak hanya dilihat dari dampak atau manfaat yang
diberikan oleh penelitian tersebut, namun juga mempertimbangkan berbagai aspek
lainnya terkait etika dalam penelitian yang dilakukan. Tidak jarang sebuah penelitian
dengan inovasi baru yang diajukan, mendapatkan pendanaan dari para sponsor raksasa,
dan diharapkan dapat memberi kontribusi lebih dalam pengembangan ilmu pengetahuan
maupun bagi kehidupan umat manusia, pada akhirnya ditarik kembali atau tidak diyakini
kebenaran hasilnya karena tidak memenuhi kaidah etika penelitian yang diakui.
Salah satu contoh kasus yang baru terkuak ke publik di tahun 2022 adalah kasus para
peneliti dan ahli mata dari Harvard University yang melakukan tindakan yang tidak dapat
dibenarkan (misconduct) dalam mempublikasikan hasil penelitian mereka.
Permasalahan inti dalam kasus ini adalah bahwa kelompok peneliti tersebut tidak
mengajukan dan memperoleh persetujuan etik (ethics approval) bagi penelitian yang
dilaksanakan. Padahal aturan terkait penelitian yang melibatkan manusia sebagai bagian
dari penelitiannya pasti memerlukan persetujuan etik dari Dewan Reviu terkait, dalam
hal ini setidaknya dari Institutional Review Board (IRB) Harvard University. Sebagai akibat
dari hal ini, terdapat delapan publikasi ilmiah yang diterbitkan di beberapa jurnal
bereputasi oleh kelompok peneliti dari Harvard University tersebut akhirnya ditarik
kembali (retracted) oleh redaksi jurnal yang menerbitkan naskah-naskah publikasi
17
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
tersebut. Hal ini tentunya memberikan dampak buruk bagi citra dan kualitas penelitian
terkait, yang tidak hanya terikat bagi para peneliti terkait, namun juga bagi institusi
tempat mereka bergabung. Bagi pembaca yang tertarik untuk mendalami kasus ini dapat
membaca informasi selengkapnya di Retraction Watch (Marcus, 2022a).
Mungkin bagi para pembaca ada yang menyadari dan memahami makna penggunaan
kode 101 di akhir judul bab ini – ‘Etika Penelitian Informatika: 101’. Merujuk pada definisi
yang diberikan dalam cyberdefinitions.com (What Does 101 Mean?, no date), kode 101
memiliki beberapa makna berbeda, namun yang paling umum digunakan dan dimaknai
dalam penggunaan di judul bab ini adalah sebagai ‘Pengantar Dasar’ sebuah materi atau
bahan ajar. Kode 101 bermula dari sistem penomoran kode mata kuliah pada beberapa
universitas di Amerika Serikat sekitar tahun 1920-an. Saat itu kode 101 kebanyakan
digunakan bagi mata kuliah-mata kuliah dasar atau pengantar bagi mahasiswa tingkat
pertama. Selanjutnya, penggunaan kode istilah tersebut meluas tidak hanya di kalangan
akademik, melainkan juga di kalangan umum untuk merujuk hal-hal dasar atau
pengantar suatu materi bagi orang awam (Engber, 2006).
Demikian pula, kita akan membahas beberapa prinsip dasar etika penelitian secara
ringkas di sini, mengingat pembahasan lebih mendalam dapat ditemukan di beberapa
bab atau bagian lain dari buku ini. Kita akan melihat lebih lanjut isu etika penelitian di
bidang Ilmu Teknik secara umum dan Informatika secara khusus, serta beberapa contoh
kasus pelanggaran etika yang melibatkan para peneliti di bidang Informatika. Beberapa
tips terkait hal-hal yang patut dan tidak patut untuk dilakukan dalam pelaksanaan suatu
penelitian mengikuti etika penelitian yang umum berlaku juga akan diberikan dalam
pembahasan bab ini, serta diakhiri dengan simpulan terkait etika penelitian Informatika.
18
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
penelitian, beberapa prinsip dasar etika penelitian yang dapat diterima secara umum
dapat diturunkan. Prinsip-prinsip dasar ini kebanyakan mengacu pada kesepakatan atau
dokumen dasar terkait etika penelitian, seperti Nuremberg Code (1947), the Universal
Declaration of Human Rights (1948), the Declaration of Helsinki (1968), the Belmont
Report (1978), dan lain sebagainya (Weinbaum dkk., 2019; Barrow dkk., 2022). Tabel 1
memperlihatkan sepuluh prinsip dasar etika penelitian yang lazim diterima dalam
penelitian ilmiah (Weinbaum dkk., 2019).
Tabel 1. Sepuluh prinsip dasar etika penelitian (Weinbaum dkk., 2019)
19
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
20
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
21
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
big data analytics. Selain itu, data peserta penelitian konvensional bisa jadi terikat dengan
penjelasan dan persetujuan (informed consent) dan kendali atas penggunaan sekunder
dari data tersebut, namun dengan big data, beragam data dari penelitian-penelitian
tersebut dapat dilibatkan sehingga penggunaan sekunder atas data penelitian tersebut
menjadi sulit diantisipasi (Weinbaum dkk., 2019).
Isu etika berikutnya yang kerap muncul adalah permasalahan konflik kepentingan para
peneliti yang terlibat dalam sebuah penelitian. Bila terdapat suatu hasil produk dari
inovasi sebuah penelitian, misal berupa alat, aplikasi, program, atau bahkan algoritma
baru, maka hak atas kekayaan intelektual (intellectual property) atas produk tersebut
perlu dipertimbangkan dengan jelas dari awal. Apakah hak atas kekayaan intelektual
tersebut menjadi milik peneliti utama, institusi tempatnya bernaung, atau sponsor yang
membiayai pelaksanaan penelitian? Demikian pula pembahasan terkait dengan posisi
para penulis (authorship) dalam sebuah naskah publikasi dari hasil penelitian yang telah
dilaksanakan perlu didiskusikan dengan matang dari awal untuk mencegah munculnya
perselisihan di masa mendatang.
Jadi, pada dasarnya terdapat banyak isu etika yang dapat muncul sebagai akibat
kemajuan dan penerapan teknologi serta ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang
kehidupan. Khususnya untuk bidang Ilmu Teknik (engineering), merujuk pada laporan
yang disampaikan dalam Satori Project – sebuah proyek penilaian etika penelitian dan
inovasi di bidang Ilmu Teknik – beberapa isu etika yang kerap muncul disajikan dalam
Tabel 3 (Brey & Jansen, 2015).
Tabel 3. Daftar isu etika yang patut menjadi perhatian (Brey & Jansen, 2015)
22
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
23
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Bahasa Indonesia dan yang kedua pada jurnal internasional dalam Bahasa Inggris
(Pratama, 2020; Fadhil, 2021). Sebagai akibatnya, beliau dijatuhkan sanksi oleh Dewan
Rektorat USU melalui Surat Keputusan Nomor: 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021 (Pujiati,
2021). Namun, setelah dilakukan pendalaman oleh tim reviu independen yang dibentuk
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Dr Muryanto Amin
dinyatakan tidak bersalah dan tetap dilantik menjadi rektor USU (Nurita, 2021). Akan
tetapi, hal ini memberikan pelajaran bahwa pembaruan terhadap aturan plagiasi di
Indonesia, termasuk self-plagiarism, harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Kasus self-plagiarism juga menerpa pemimpin sebuah universitas di Jepang. Toshiaki
Miyazaki, pemimpin University of Aizu, dinyatakan bersalah telah melakukan self-
plagiarism pada empat karya tulisnya sendiri. Sebagai akibatnya, beliau diberikan sanksi
untuk melakukan pengembalian gaji sebesar 20% dari satu kali gaji yang diterimanya
sebagai pemimpin di universitas tersebut. Pendidikan etika penelitian juga akan kembali
diterapkan di universitas tersebut (Marcus, 2022b).
Kasus 2: Peningkatan Metrik Google Scholar Secara Tidak Wajar
Kasus pelanggaran etika lainnya yang kerap terjadi adalah upaya peningkatan suatu
metrik pengukuran produktivitas dan kualitas publikasi penelitian dari seorang peneliti,
misal metrik Google Scholar atau Scopus, yang dilakukan secara tidak wajar. Salah satu
contoh yang fenomenal adalah tindakan yang dilakukan oleh Juan Manuel Corchado,
seorang ilmuwan Komputer di University of Salamanca di Spanyol. Beliau termasuk
dalam 150 peneliti Spanyol dengan h-index tertinggi menurut Webometrics (Ranking of
researchers in Spain and Spaniards abroad (I): From 1 to 5000, 2022) serta memiliki lebih
dari 33,000 sitasi yang tercatat di Google Scholar (Juan M. Corchado (ORCID:0000-0002-
2829-1829), 2022).
Namun demikian, dari hasil penelusuran yang cukup gampang dilakukan, dapat diketahui
bahwa Corchado melakukan rujukan terhadap karya tulisnya sendiri secara tidak wajar.
Misal, dalam salah satu abstrak konferensi mengenai Internet of Things (IoT) dan
teknologi Blockchain untuk smart cities, beliau diketahui merujuk sekitar 44 referensi ke
karya tulisnya sendiri. Demikian pula, referensi yang sama dapat ditemukan pada abstrak
konferensi lainnya mengenai pemanfaatan kecerdasan buatan dalam teknologi
Pendidikan di Wuhan, China (Chawla, 2022). Jelas kedua konferensi tersebut memiliki
topik pembahasan dan penelitian yang berbeda, dan meskipun Corchado mengikuti
kedua konferensi tersebut, rujukan yang dilakukan oleh dirinya terhadap karya tulisnya
sendiri sangatlah tidak wajar untuk dilakukan.
Tindakan sitasi terhadap karya sendiri (self-citation) oleh peneliti sebenarnya tidak
menjadi suatu permasalahan selama dilakukan secara tepat dan wajar. Hal ini bahkan
patut dilakukan untuk menghindari terjadinya plagiasi diri sendiri (self-plagiarism)
sebagaimana yang dijabarkan di contoh kasus sebelumnya. Namun sekali lagi, dengan
berpegang pada norma dan etika penelitian, termasuk publikasi hasil penelitian, maka
self-citation perlu dilakukan secara wajar. Beberapa jurnal publikasi bereputasi bahkan
telah memberikan pedoman tertulis mengenai jumlah maksimal sitasi karya sendiri yang
dapat diterima oleh redaksi untuk sebuah artikel yang dikirimkan oleh penulis ke jurnal
tersebut. Selain melindungi dan menjaga kualitas publikasi terbitannya, kebijakan ini
24
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
juga berguna untuk menjaga reputasi peneliti atau penulis yang mengirimkan artikel
ilmiahnya ke jurnal tersebut.
Kasus 3: Penarikan 323 Artikel Prosiding dari ACM
Kasus terakhir yang kita bahas di sini merupakan salah satu contoh kasus pelanggaran
etika penelitian yang tidak dilakukan secara langsung oleh peneliti, melainkan oleh
instansi atau organisasi yang terlibat dalam publikasi hasil penelitian para peneliti.
Association for Computing Machinery (ACM) sebagai wadah internasional para peneliti
bidang komputasi mengeluarkan pernyataan resmi untuk menarik 323 artikel prosiding
dari salah satu konferensi ilmiah internasional yang diselenggarakan di Jakarta,
Indonesia pada Agustus 2021. Prosiding konferensi yang dimaksud adalah International
Conference on Information Management and Technology (ICIMTech) 2021 yang
diselenggarakan oleh Universitas Bina Nusantara (BINUS) bekerjasama dengan IEEE
Indonesia Section.
Namun, permasalahannya terletak pada ketidakjelasan proses reviu dan penyelenggara
yang memasukkan seluruh artikel konferensi tersebut di ACM. School of Information
System BINUS University selaku penyelenggara resmi konferensi ilmiah tersebut
menyatakan tidak pernah mengirimkan artikel para kontributor dalam acara konferensi
ICIMTech 2021 ke ACM Digital Library (Oransky, 2022). Pihak panitia resmi tidak
bekerjasama dengan ACM, melainkan dengan organisasi internasional serupa lainnya,
yakni Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE), dalam menyelenggarakan
konferensi tersebut. Demikian pula, seluruh artikel para kontributor dikirimkan dan
diterbitkan oleh IEEE dalam IEEE Xplore. Jumlah artikel yang diterima juga tidak
berjumlah 323 melainkan hanya 158 artikel yang telah melalui tahapan proses reviu dan
diseminasikan secara virtual dalam konferensi tersebut. Prosiding resmi ICIMTech 2021
dapat dilihat dalam tautan IEEE Xplore berikut:
https://ieeexplore.ieee.org/xpl/conhome/9534863/proceeding.
Jika memperhatikan isi prosiding ICIMTech 2021 yang terdapat di ACM pada tautan
https://dl.acm.org/doi/proceedings/10.1145/3465631, memang sudah sepatutnya
seluruh artikel di prosiding ICIMTech 2021 yang diterbitkan di ACM Digital Library
tersebut ditarik dan hanya prosiding ICIMTech 2021 di IEEE Xplore yang dapat diyakini
dan diakui kebenarannya. Dalam hal ini, artinya ACM telah kecolongan dan melakukan
kesalahan dalam menyimpan dan menerbitkan isi prosiding ICIMTech 2021. Kejadian ini
patut menjadi pelajaran bagi para pelaku yang terlibat dalam proses publikasi karya
ilmiah, dalam hal ini prosiding suatu konferensi yang telah dilaksanakan, untuk dapat
melakukan pengecekan kebenaran terkait pelaksanaan acara konferensi, proses reviu,
serta legalitas acara yang dilakukan sebelum menerbitkan prosiding dalam repositorinya
masing-masing.
DO’S – DON’TS
Dari beberapa contoh kasus dunia nyata yang telah dibahas di subbab sebelumnya, kita
mengetahui pentingnya pendidikan dan pengetahuan mengenai etika penelitian bagi
seluruh peneliti, baik peneliti tingkat muda, madya, maupun utama yang telah memiliki
25
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
banyak pengalaman di dunia penelitian. Etika ini menjadi pegangan bagi para peneliti
untuk tetap berada dalam jalur yang benar, meminimalkan kerugian atau resiko, dan
sekaligus memaksimalkan manfaat dari penelitian yang dilakukan.
Satu contoh kasus pelanggaran etika yang fatal terjadi adalah skandal Macchiarini. Paolo
Macchiarini merupakan seorang peneliti selebritis yang sangat populer di masanya
setelah mencetuskan ide trakea buatan (artificial trachea) dari sel punca (stem cells)
pasiennya. Sebagai seorang ahli bedah terkenal, beliau dinyatakan bersalah telah
melakukan pemalsuan informasi dan rekam jejak medis yang berujung pada kematian
beberapa pasien yang ditanganinya (Louet, 2016).
Sebelumnya, tulisan Paolo Macchiarini dan koleganya mengenai trakea buatan ini bahkan
telah diterbitkan di jurnal internasional bereputasi tinggi, the Lancet, pada tahun 2011.
Karya tulisnya bahkan mendapatkan banyak sitasi dari para peneliti lainnya, termasuk
setelah pertimbangan keraguan (expression of concern) akan isi karya tulis tersebut
dinyatakan dalam jurnal tersebut. Setelah skandal ini menguak pada 2016, baru
penyelidikan mendalam atas rekam jejak penelitian dan tulisan Macchiarini dilakukan.
Pada akhirnya, tim redaksi dan editor Lancet menarik kembali karya tulis Macchiarini di
tahun 2018 atas pertimbangan kesalahan yang telah terbukti dilakukan oleh Macchiarini
dalam publikasi karya ilmiahnya tersebut (Oransky, 2018; The Lancet, 2018).
Berkaca dari kasus tersebut, sekali lagi etika penelitian sepatutnya menjadi pedoman
para peneliti dalam melaksanakan penelitian, mulai dari awal sebelum penelitian
dilaksanakan, pada saat penelitian dilakukan, hingga di akhir saat publikasi hasil
penelitian dirampungkan. Tabel 4 menyajikan beberapa panduan mendasar terkait etika
penelitian yang patut (do’s) dan tidak patut (don’ts) untuk dilakukan (Enago Academy,
2021).
Tabel 4. Do’s dan Don’ts (Enago Academy, 2021)
Do’s Don’ts
Menyimpan seluruh rekam jejak aktivitas Melakukan fabrikasi, manipulasi, atau
penelitian yang dilakukan dengan baik mis-representasi data.
dan melaporkan data sebaik dan
seobyektif mungkin.
Menyatakan kepentingan finansial Menipu sponsor penelitian, kolega,
maupun personal yang mungkin dapat maupun komite etik dengan membuat
secara langsung ataupun tidak langsung bias terhadap interpretasi data, proses
mempengaruhi proyek penelitian yang peer review, atau keputusan personal.
dilakukan.
Memperlakukan binatang percobaan Menggunakan data penelitian eksternal
dengan baik dan menghargai nyawa apapun (baik yang sudah diterbitkan
mereka pada waktu digunakan dalam ataupun tidak) tanpa meminta izin atau
penelitian serta mengikuti panduan etika memberikan penghargaan yang sesuai.
yang berlaku.
Menghormati kekayaan intelektual, Mendukung praktek publikasi yang tidak
privasi, dan kerahasiaan serta bertanggung jawab. Tujuan utama Anda
memberikan penghargaan yang sesuai sebagai peneliti adalah untuk memajukan
ilmu pengetahuan dan membagikan
26
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
bagi kontribusi yang diberikan oleh para pengetahuan Anda kepada komunitas
peneliti lainnya. peneliti.
SIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dijabarkan dalam bab ini, kita dapat melihat betapa
pentingnya etika penelitian sebagai pedoman para peneliti dalam melaksanakan
penelitian yang berkualitas dan dapat dipercaya. Dengan menggunakan prinsip dasar
etika penelitian serta fokus pada isu etika di bidang Ilmu Teknik, khususnya Informatika,
etika penelitian dapat memastikan kita, para peneliti, untuk tetap berada di jalur yang
benar.
Namun demikian, tidak jarang pedoman terkait etika penelitian ini juga terasa
mengintimidasi para peneliti dalam melaksanakan penelitiannya. Kerap kita jumpai para
peneliti maupun akademisi yang enggan untuk mempublikasikan hasil penelitiannya
secara luas dengan berbagai alasan, salah satunya adalah kekhawatiran bila ditemukan
kesalahan dalam karya tulisnya yang berakibat pada ditariknya (retracted) karya tulis
tersebut. Di sini, kita cukup kembali mengingat tujuan dari etika penelitian tersebut,
yakni untuk memastikan kita telah melaksanakan penelitian dengan baik dan benar dari
awal hingga akhir penelitian dilakukan. Jikapun ditemukan kesalahan, semestinya hal
tersebut dapat ditemukan di saat proses peer review terhadap karya tulis penelitian yang
telah kita lakukan.
Selain itu, tidak hanya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, konsep etika penelitian
juga terus mengalami perubahan dan perkembangan. Misalnya praktek self-citation yang
bertujuan untuk meningkatkan reputasi para peneliti dengan menambahkan jumlah
sitasi terhadap karya tulis sendiri, belum mendapatkan banyak perhatian oleh para
redaksi jurnal di masa kini. Namun, hal ini bisa jadi jauh berbeda di beberapa tahun
mendatang, saat perhatian penuh akan praktik seperti ini telah mulai mengemuka di
dunia akademis dan penelitian.
Akhir kata, teruslah berusaha dan berupaya untuk menjaga rekam jejak penelitian yang
baik dengan berpegang pada prinsip dasar etika penelitian. Jangan ragu untuk melangkah
karena kontribusi kita, sebanyak atau sedikit apapun pada dunia pengetahuan, dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dan kesejahteraan umat manusia.
REFERENSI
Barrow, J. M., Brannan, G. D. & Khandhar, P. B. (2022). Research Ethics. StatPearls
[Internet]. Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459281/ (2
Mei 2022).
Brey, P. & Jansen, P. (2015). Ethics Assessment in Different Fields Engineering Sciences.
Diakses dari https://satoriproject.eu/media/2.b-Engineering.pdf (2 Mei 2022).
Chawla, D. S. (2022). How critics say a computer scientist in Spain artificially boosted his
Google Scholar metrics, Retraction Watch. Diakses dari
27
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
https://retractionwatch.com/2022/03/25/how-critics-say-a-computer-
scientist-in-spain-artificially-boosted-his-google-scholar-metrics/#more-124555
(30 April 2022).
Enago Academy. (2021). Importance of Research Ethics, Enago. Diakses dari
https://www.enago.com/academy/importance-of-research-ethics/ (1 Mei 2022).
Engber, D. (2006). 101: How did intro classes get their trademark number?, Slate. Diakses
dari https://slate.com/news-and-politics/2006/09/why-are-introductory-
classes-called-101.html (28 April 2022).
Fadhil, H. (2021). Dilakukan Rektor USU Terpilih, Apa Itu Self-plagiarism?. Diakses dari
https://news.detik.com/berita/d-5336255/dilakukan-rektor-usu-terpilih-apa-
itu-self-plagiarism (2 Mei 2022).
Juan M. Corchado (ORCID:0000-0002-2829-1829). (2022). Google Scholar. Diakses dari
https://scholar.google.com/citations?user=j7syrnkAAAAJ&hl=en (30 April
2022).
Louet, S. (2016). Macchiarini scandal: Overstepping the research ethics mark, Euro
Scientist. Diakses dari https://www.euroscientist.com/macchiarini-scandal-
overstepping-research-ethics-mark/ (1 Mei 2022).
Marcus, A. (2022a). Harvard eye researchers have eight papers retracted for lack of ethical
approval, Retraction Watch. Diakses dari
https://retractionwatch.com/2022/03/21/harvard-eye-researchers-have-eight-
papers-retracted-for-lack-of-ethical-approval/#more-124516 (30 April 2022).
Marcus, A. (2022b). University president in Japan self-plagiarized and will forfeit some pay,
Retraction Watch. Diakses dari
https://retractionwatch.com/2022/02/03/university-president-in-japan-self-
plagiarized-and-will-forfeit-some-pay/ (30 April 2022).
Nurita, D. (2021). Buntut Polemik Rektor USU, Kemendikbud Bakal Atur Soal Self-
Plagiarism. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/1427617/buntut-
polemik-rektor-usu-kemendikbud-bakal-atur-soal-self-plagiarism/full&view=ok
(2 Mei 2022).
Oransky, I. (2018). The final verdict: Lancet retracts two papers by Macchiarini, Retraction
Watch. Diakses dari https://retractionwatch.com/2018/07/06/the-final-verdict-
lancet-retracts-two-papers-by-macchiarini/ (1 Mei 2022).
Oransky, I. (2022). More than 300 at once: Publisher retracts entire conference
proceedings, Retraction Watch. Diakses dari
https://retractionwatch.com/2022/04/20/more-than-300-at-once-publisher-
retracts-entire-conference-proceedings/#more-124726 (30 April 2022).
Pratama, R. B. (2020). Membedah Self-Plagiarism, Isu yang Menerpa Rektor Terpilih USU.
Diakses dari https://kumparan.com/kumparannews/membedah-self-
plagiarism-isu-yang-menerpa-rektor-terpilih-usu-1uo5agM4jUr (2 Mei 2022).
Pujiati. (2021). Memahami Self Plagiarism Setelah Isu yang Menimpa Rektor Terpilih USU.
Diakses dari https://www.duniadosen.com/self-plagiarism/ (30 April 2022).
Ranking of researchers in Spain and Spaniards abroad (I): From 1 to 5000 (2022)
28
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
29
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
BAB 3
FALSIFIKASI DAN FABRIKASI DATA DALAM PENELITIAN
MATERIAL KONSTRUKSI
Andre Feliks Setiawan
Universitas Agung Podomoro
RINGKASAN
Penelitian mengenai material konstruksi sangat rentan terhadap tindakan falsifikasi dan
fabrikasi. Hal ini dikarenakan penelitian material konstruksi umumnya dilakukan di
laboratorium dengan melakukan eksperimen atau pengujian material tanpa adanya
pengawasan khusus. Hal ini membuat keleluasaan kepada peneliti dalam melakukan
eksperimen atau pengujian material. Keleluasaan ini dapat menjadi celah bagi beberapa
peneliti yang berniat melakukan pelanggaran dan penyimpangan ilmiah, sehingga
penelitian material konstruksi sangat rentan terhadap falsifikasi dan fabrikasi. Falsifikasi
merupakan suatu rekayasa data dan/atau informasi penelitian secara tidak sah
(mengubah untuk menipu), sedangkan fabrikasi adalah pembuatan data dan/atau
informasi palsu dalam suatu penelitian (membuat untuk menipu). Tindakan falsifikasi
dan fabrikasi dapat dikategorikan sebagai sebuah penipuan. Penyimpangan falsifikasi
dan fabrikasi terjadi dikarenakan adanya perilaku peneliti yang secara sengaja untuk
tidak memenuhi standar etika dan integritas penelitian. Hal tersebut merupakan suatu
perilaku yang tidak etis dan melanggar norma serta etika ilmiah.
Terdapat banyak faktor penyebab terjadinya falsifikasi dan fabrikasi penelitian, di
antaranya adalah keuntungan finansial, usia peneliti, kenaikan jabatan akademik, budaya
penelitian, pengakuan ilmiah, jumlah penulis, dan tekanan publikasi. Tindakan
pencegahan diperlukan untuk menjaga integritas penelitian. Beberapa bentuk
pencegahan yang efektif adalah dengan melakukan pendampingan, pengawasan, serta
meningkatkan kesadaran dan kejujuran peneliti dalam mengungkapkan sumber dana
penelitian, data penelitian, dan menghindari penggunaan metode yang tidak lengkap. Hal
tersebut dapat dilaksanakan untuk mendeteksi kecurangan data penelitian, teknis
eksperimen, dan dapat menjaga kualitas data penelitian. Pemerintah melalui
Kemendikbudristek pun telah turut berupaya untuk menekan kasus falsifikasi dan
fabrikasi yang terjadi di Indonesia. Kemendikbudristek terus berupaya untuk
meningkatkan integritas akademik dengan melakukan pembinaan, evaluasi dan
pengukuran, bahkan membuat klasifikasi dan pelanggaran serta sanksi yang diberikan
untuk pelanggar integritas akademik.
MATERIAL KONSTRUKSI
Material konstruksi merupakan unsur penting dalam menghasilkan suatu bangunan yang
baik dan berkualitas. Pemilihan, spesifikasi, dan kontrol kualitas material konstruksi
30
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
31
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Hasil dari pengujian material dasar konstruksi pada umumnya dapat dibagi menjadi 2
(dua) kategori hasil, yaitu hasil penelitian dengan performa material yang baik dan hasil
dengan performa material yang kurang baik (buruk). Jika hasil pengujian dari material
dasar baik, maka material dasar tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan performa
material konstruksi dengan menjadikan material dasar tersebut sebagai material
substitusi ataupun material tambahan. Ketika material dasar tersebut digunakan sebagai
material substitusi maupun material tambahan, dapat terjadi 2 (dua) hasil yang akan
didapatkan. Material dasar tersebut dapat memberikan hasil yang baik dan
meningkatkan performa untuk material utama, namun memungkinkan juga material
dasar tersebut tidak bekerja secara maksimal dengan kombinasi material lainnya
sehingga material dasar tersebut tidak memberikan hasil yang baik (buruk) bagi material
utama. Hasil seperti ini yang sering kali tidak sesuai dengan ekspektasi atau harapan dari
peneliti, sehingga psikologis peneliti tetap memiliki pengaruh yang cukup kuat agar
penelitiannya dapat tetap mencapai target yang diharapkan.
Unsur Utama
Pelaksanaan Unsur
Jabatan Pelaksanaan Pelaksanaan
Pengabdian Penunjang
Pendidikan Penelitian
Masyarakat
Asisten Ahli ≥ 55% ≥ 25% ≤ 10% ≤ 10%
Lektor ≥ 45% ≥ 35% ≤ 10% ≤ 10%
Lektor Kepala ≥ 40% ≥ 40% ≤ 10% ≤ 10%
Profesor ≥ 35% ≥ 45% ≤ 10% ≤ 10%
32
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
33
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
berdasarkan prestasi publikasi, hal ini membuat karya ilmiah sangat rentan
dimanipulasi.
Praktik manipulasi data dilakukan untuk memberikan data dan hasil/temuan sesuai
dengan keinginan dan mendukung harapan peneliti, hal ini merupakan tindakan yang
dilakukan untuk kepentingan pribadi (Steneck, 2006). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Tijdink dkk. (2014), terdapat 17% peneliti yang telah melakukan praktik
falsifikasi dan fabrikasi dengan menambahkan data maupun menghilangkan data untuk
tujuan memperbanyak publikasi ilmiah, memperoleh dana hibah, serta mempercepat
kenaikan pangkat dalam karier.
Falsifikasi
Menurut Adeleye & Adebamowo (2012), falsifikasi adalah suatu tindakan mengubah
proses, bahan, ataupun peralatan penelitian, serta merekam/mencatat/melaporkan hasil
penelitian palsu. Dengan demikian catatan/rekaman data hasil penelitian tersebut tidak
menggambarkan hasil yang sesungguhnya. Secara lebih ringkas falsifikasi dapat di
definisikan sebagai perekayasaan data serta informasi penelitian secara tidak sah dalam
penelitian (mengubah untuk menipu). Tindakan falsifikasi sangat sulit dideteksi, karena
praktik ini dilakukan sangat halus dan hampir tidak terlihat yang dihasilkan dari
manipulasi yang cerdik, oleh karena itu tindakan ini sangat sulit dibuktikan. Hanya
peneliti yang bersangkutan yang mengetahui secara pasti apakah mereka atau anggota
tim peneliti yang melakukan falsifikasi. Falsifikasi mungkin dilakukan oleh peneliti itu
sendiri, pengelola data (data manager), laboran, atau asisten laboran yang mencoba
menyenangkan atasan dengan memberikan data diinginkan dan diharapkan oleh atasan
ataupun peneliti itu sendiri (Zietman, 2013).
Praktik Falsifikasi
Tindakan falsifikasi banyak dijumpai pada penelitian eksperimen yang dilakukan di
laboratorium. Praktik falsifikasi pada umumnya dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat
secara langsung pada eksperimen di laboratorium. Tindakan falsifikasi dapat dilakukan
oleh seorang dosen yang sedang meneliti mengenai material baru sebagai alternatif atau
pengganti material yang biasa digunakan. Peneliti cenderung ingin mendapatkan hasil
yang baik dan menganggap hasil yang baik adalah hasil yang membuat performa suatu
material meningkat. Namun pada kenyataannya hasil penelitian yang baik tidak selalu
menghasilkan performa material menjadi lebih baik juga. Hasil penelitian yang baik
dapat menghasilkan performa material yang tidak baik juga. Sebagai contoh, jika suatu
penelitian eksperimen dilakukan dengan menggunakan material dasar baru untuk
digunakan sebagai salah satu komponen bahan tambahan maupun bahan substitusi, dan
hasil dari eksperimen tersebut menghasilkan performa material utama yang menurun,
maka eksperimen penggunaan material dasar baru tersebut tidak efektif dan tidak cocok
digunakan pada material utama. Hasil penelitian ini bukanlah suatu hasil penelitian yang
tidak baik atau buruk, hasil ini menandakan bahwa material dasar tersebut tidaklah
cocok dan tidak efektif digunakan pada material utama. Hasil penelitian tersebut dapat
dikatakan sebagai hasil penelitian yang baik, karena dengan hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa material tersebut tidak efektif digunakan pada material utama
sehingga para peneliti selanjutnya maupun industri konstruksi tidak menggunakan
34
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
material tersebut. Hal ini akan sangat berbahaya jika terjadi tindakan falsifikasi dengan
memanipulasi hasil eksperimen tersebut sehingga menghasilkan performa material
utama menjadi lebih baik. Tindakan ini sangat merugikan terhadap penelitian-penelitian
berikutnya bahkan berdampak negatif pada industri konstruksi.
Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya pengaruh dari psikologis peneliti yang
bersangkutan. Peneliti tersebut merasa dan menilai bahwa penelitian yang telah
dilakukannya menghasilkan luaran yang buruk, sehingga muncul rasa takut dalam
melaporkan hasil penelitian dengan data yang sebenarnya. Secara psikologis peneliti
tersebut merasa hasil penelitiannya tidak bagus jika melaporkan hasil yang
sesungguhnya dan lebih memilih untuk melakukan tindakan falsifikasi.
Contoh dari praktik falsifikasi data dalam penelitian konstruksi dapat dilihat pada Tabel
2. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa peneliti mengganti 3 data agar hasil penelitian lebih
sesuai dengan ekspektasi atau harapan (hipotesis awal).
Tabel 2. Contoh falsifikasi data
Fabrikasi
Fabrikasi adalah proses pembuatan dan/atau penambahan data, pengamatan
(observasi), atau karakterisasi yang sebenarnya tidak pernah terjadi dalam
pengumpulan data atau melakukan eksperimen (Schienke, 2021). Secara lebih ringkas
fabrikasi dapat di definisikan sebagai pembuatan data dan/atau informasi palsu dalam
penelitian (membuat untuk menipu). Praktik fabrikasi dapat dijumpai ketika peneliti
sudah mendapatkan hasil eksperimen, dan peneliti tersebut ingin membuat pernyataan
atau klaim mengenai hasil penelitian yang belum lengkap/tuntas dengan menggunakan
asumsi atau data palsu. Menurut Aristya & Taryono (2021), fabrikasi dilakukan dengan
membuat data dan/atau informasi yang sebenarnya tidak pernah ada tetapi
melaporkannya dalam karya ilmiah. Data penelitian yang di laporkan tersebut
sebenarnya tidak pernah dilakukan dan hanya secara artifisial saja.
35
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Praktik Fabrikasi
Pada penelitian yang dilakukan oleh Adeleye & Adebamowo (2012) menyatakan bahwa
salah satu faktor dalam penyimpangan penelitian adalah terjadinya pemalsuan data
dalam penelitian. Hal ini dikarenakan oleh keadaan yang mendesak (urgensi) untuk
penerbitan artikel penelitian, sehingga peneliti mengorbankan etika penelitian untuk
kepentingan peneliti. Urgensi pelaku untuk penerbitan artikel penelitian ini pun terjadi
karena adanya tekanan ataupun tuntutan yang disyaratkan untuk kenaikan jabatan serta
kewajiban khusus yang harus dipenuhi oleh pelaku.
Selain itu peneliti dapat melakukan fabrikasi ketika peneliti tidak dapat mengidentifikasi
dengan benar keseluruhan data dan semua kriteria yang tercantum sehingga terjadi
praktik fabrikasi untuk membuat data penelitian secara lengkap. Hal tersebut terjadi
karena adanya tahapan pengujian atau eksperimen yang mungkin terlewat oleh peneliti,
sehingga peneliti menambahkan data yang terlewat yang sebenarnya tidak dilakukan
dalam eksperimen/penelitian. Hal ini pun tentunya sangat merugikan banyak pihak
karena hasil penelitian tersebut sebenarnya tidak valid dan hanya berupa asumsi atau
data palsu.
Tabel 3 menunjukkan contoh praktik falsifikasi data dalam penelitian material
konstruksi. Dari data yang disajikan pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa terjadi Tindakan
falsifikasi dengan membuat data berupa kuat tarik lentur tanpa melakukan pengujian
kuat tarik lentur.
Tabel 3. Contoh fabrikasi data
36
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
37
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Jumlah penulis dalam sebuah artikel ilmiah pun merupakan salah satu faktor
terjadinya penyimpangan atau pelanggaran penelitian. Menurut Sun (2013),
kenaikan rata-rata jumlah penulis pada sebuah artikel dapat meningkatkan
probabilitas pelanggaran dan penyimpangan penelitian. Hal ini dikarenakan
jumlah peneliti yang terlibat dalam sebuah penelitian lebih banyak dan
menyebabkan probabilitas terjadinya praktik falsifikasi dan fabrikasi lebih tinggi
dan lebih sulit di deteksi dibandingkan dengan jumlah penulis yang lebih sedikit
dalam satu penelitian/publikasi ilmiah.
g) Tekanan Publikasi
Secara psikologis, tekanan atau tuntutan untuk melakukan publikasi ilmiah
menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya penyimpangan atau pelanggaran
penelitian. Terdapat 47 peneliti yang mengisi survei pada penelitian yang
dilaksanakan oleh Tijdink dkk. (2014) mengaku telah melakukan penyimpangan
atau pelanggaran penelitian termasuk di antaranya praktik falsifikasi dan
fabrikasi data untuk tujuan publikasi ilmiah. Hal ini tentunya didorong dengan
adanya tuntutan publikasi yang menjadi kewajiban peneliti sehingga peneliti
harus memenuhi kewajiban tersebut.
38
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
PERAN PEMERINTAH
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah
turut berupaya untuk menekan kasus falsifikasi dan fabrikasi yang terjadi di Indonesia.
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan integritas akademik dengan melakukan
pembinaan, evaluasi dan pengukuran, bahkan membuat klasifikasi dan pelanggaran serta
sanksi yang diberikan untuk pelanggar integritas akademik. Salah satu unsur yang
terkandung di dalamnya adalah mengenai penyimpangan falsifikasi dan fabrikasi yang
merupakan kecurangan akademik.
Falsifikasi dan fabrikasi dapat terjadi berupa 3 jenis objek, yaitu data, gambar, dan
referensi yang digunakan pada karya ilmiah. Oleh karena itu tingkat penyimpangan
falsifikasi dan fabrikasi dapat ditentukan berdasarkan kombinasi dari beberapa jenis
penyimpangan atau pelanggaran. Tingkat penyimpangan terhadap integritas akademik
dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat ringan, sedang, dan berat (Anjungan
Integritas Akademik Indonesia, 2019). Tingkat penyimpangan tersebut disusun secara
berjenjang seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Tingkat penyimpangan falsifikasi dan fabrikasi
39
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
REFERENSI
Adams, D., & Pimple, K. D. (2005). Research misconduct and crime lessons from criminal
science on preventing misconduct and promoting integrity. Accountability in
Research, 12(3). https://doi.org/10.1080/08989620500217495
Adeleye, O. A., & Adebamowo, C. A. (2012). Factors associated with research wrongdoing
in Nigeria. Journal of Empirical Research on Human Research Ethics, 7(5).
https://doi.org/10.1525/jer.2012.7.5.15
Anjungan Integritas Akademik Indonesia (ANJANI). (2019). Fabrikasi dan Falsifikasi.
https://anjani.kemdikbud.go.id/contents/fabrikasi-dan-falsifikasi-22212954
Aristya, V. E., & Taryono. (2021). Prinsip Penting Publikasi Ilmiah dan Pencegahan
Falsifikasi Fabrikasi. REFLEKSI EDUKATIKA: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 11(2), 178–
189.
Barrett, J. (2006). Clinical Research Fraud. Research Ethics, 2(4).
https://doi.org/10.1177/174701610600200405
Fanelli, D. (2009). How many scientists fabricate and falsify research? A systematic
review and meta-analysis of survey data. PLoS ONE, 4(5).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0005738
Fanelli, D., Costas, R., & Larivière, V. (2015). Misconduct Policies, Academic Culture and
Career Stage, Not Gender or Pressures to Publish, Affect Scientific Integrity. PLOS
ONE, 10(6), e0127556. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0127556
George, S. L. (2018). Research misconduct and data fraud in clinical trials: Prevalence and
causal factors. In Getting to Good: Research Integrity in the Biomedical Sciences.
https://doi.org/10.1007/s10147-015-0887-3
Godecharle, S., Nemery, B., & Dierickx, K. (2013). Guidance on research integrity: No
union in Europe. The Lancet, 381(9872). https://doi.org/10.1016/S0140-
6736(13)60759-X
Jones, D. R. H., & Ashby, M. F. (2019). Engineering materials 1: An introduction to
properties, applications and design. In Engineering Materials 1: An Introduction to
Properties, Applications and Design. https://doi.org/10.1016/C2015-0-04446-X
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 12/EKPT/2021 tentang Pedoman Operasional Beban Kerja
Dosen.
Mamlouk, M. S., & Zaniewski, J. P. (2018). Materials for Civil and Construction Engineers in
SI Units, 4th Edition. Pearson Prentice Hall.
DIKTI. (2019). Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan
Akademik/Pangkat Dosen. Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan DIKTI
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Jakarta.
Schienke, E. W. (2021). Ethical Dimensions of Systems Research. https://www.e-
education.psu.edu/bioet533/node/3
Steneck, N. H. (2006). Fostering integrity in research: Definitions, current knowledge, and
40
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
41
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
BAB 4
AUTO PLAGIAT (SELF PLAGIARISM) DALAM ETIKA
PENELITIAN: JENIS, SANKSI, DAN PENCEGAHANNYA
Sri Sulastri
Universitas Agung Podomoro
RINGKASAN
Pemenuhan kebutuhan hasil luaran dari kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi
menjadikan dosen dan mahasiwa wajib untuk melakukan penelitian dan menerbitkan
hasil penelitian tersebut. Dalam menerbitkannya, mahasiswa dan dosen harus
menjunjung tinggi integritas akademik seperti kejujuran, keadilan, kepercayaan,
menghormati, dan bertanggungjawab. Terdapat banyak jenis kegiatan yang dapat
mengikis integritas akademik seperti halnya plagiarisme. Kegiatan plagiarisme
merupakan perilaku ketidakjujuran, rendahnya rasa hormat, dan tidak
bertanggungjawab terhadap penggunaan karya orang lain. Plagiarisme tidak hanya
terjadi terhadap karya orang lain, namun dapat terjadi pada karya sendiri yang disebut
self plagiarism atau auto plagiat. Salah satu penyebab terjadinya self plagiarism adalah
ketidakpahaman tentang peraturan penerbitan dimana karya yang telah diterbitkan
dapat beralih kepemilikannya. Dengan demikian penulis tidak lagi dapat semena-mena
memperlakukan tulisannya sendiri, artinya harus tetap mengedepankan kaidah-kaidah
penulisan agar terhindar dari berbagai jenis plagiarisme.
PENDAHULUAN
Pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi telah
mengeluarkan aturan tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang terangkum
dalam Permenristek Dikti Nomor 44 Tahun 2015, di mana di dalamnya mengatur tentang
standar penelitian yang wajib dilaksanakan oleh dosen sebagai salah satu tugas dari
Tridharma Perguruan Tinggi selain pembelajaran dan pengabdian kepada masyarakat.
Ruang lingkup dalam standar tersebut mencakup hasil, isi, proses, penilaian, peneliti,
pengelolaan penelitian, sarana dan prasarana, dan pendanaan dan pembiayaan
penelitian. Setiap cakupan membahas secara mendetil standar-standar yang harus
dipenuhi. Standar ini juga mengatur tentang hasil penelitian mahasiswa dalam rangka
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan daya saing bangsa yang dimuat dalam Pasal 44 ayat (4). Standar ini
menjelaskan bahwa pelaksana penelitian adalah dosen dan mahasiswa. Dosen dan
mahasiswa dalam melaksanakan penelitian seperti yang telah diatur dalam standar di
atas, harus memperhatikan dan menjunjung tinggi integritas akademik yaitu kejujuran,
keadilan, kepercayaan, menghormati, dan tanggungjawab. Integritas akademik
42
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
merupakan cerminan moral sebuah perguruan tinggi. Hal ini diperkuat oleh pendapat
Rohamnu (2017) yang menjelaskan bahwa selain untuk menjunjung tinggi moral juga
menunjukkan integritas akademik dan menjadi tanggung jawab sivitas akademika dalam
mencari ilmu dan kebenaran dengan mengatasnamakan kejujuran, keadilan, rasa saling
menghargai, kepercayaan dan tanggungjawab. Sikap yang bertentangan dengan
integritas akademik disebut academic misconduct seperti penggunaan karya orang lain
tidak sesuai kaidah (plagiarism), perilaku unfair dalam ujian atau tes (cheating),
penyalahgunaan informasi dan sitasi (fabrication), pemanipulasian data dan proses
penelitian (falsification), dan membantu tindak kecurangan (facilitation of academic
dishonesty).
Penggunaan karya orang lain secara tidak etis merupakan salah satu bentuk
ketidakjujuran dalam proses penulisan hasil penelitian. Hal ini menjadi sangat umum dan
lumrah. Plagiat atau plagiarisme merupakan hal yang sangat mungkin dilakukan oleh
setiap sivitas akademika. Sosialisasi yang masih kurang membuat pemahaman tentang
plagiarisme masih awan bagi sebagian orang. Selain itu, hal ini juga didukung oleh
kemudahan dalam mendapatkan informasi baik menemukannya maupun
menggunakannya. Klik, copy, dan paste karya orang lain sangat dimungkinkan tanpa
memikirkan akibatnya ada orang lain sebagai pemilik tulisan yang dirugikan atau sering
disebut perilaku plagiarisme. Begitu pun perlakuan terhadap karya ilmiah milik sendiri
dapat dilakukan dengan semena-mena dalam penggunaanya. Padahal kegiatan tersebut
masuk ke dalam jenis tindakan plagiarisme dalam kategori self plagiarism atau auto
plagiat. Jenis plagiat ini masih harus terus disosialisasikan secara intensif dan persuasif
kepada sivitas akademika karena hal ini juga berkaitan dengan kaidah atau aturan dalam
penerbitan di mana ketika karya ilmiah sudah diterbitkan maka akan berpindah hak
ciptanya kepada penerbit sehingga penulis tidak dapat semena-mena dalam
menggunakan tulisannya tetap harus mengikuti kaidah penulisan secara etis. Perilaku-
perilaku yang menyimpang dari integritas akademik dapat dicegah dengan melakukan
beberapa upaya. Perguruan tinggi sebagai institusi memiliki peran penting dalam
pencegahan tersebut. Selain itu juga terdapat beberapa program strategis yang dapat
meminimalisir tindakan tersebut.
PLAGIARISME
Plagiarisme merupakan salah satu poin penting yang termasuk dalam cakupan etika
penelitian. Tidak hanya terbatas pada jenis bidang keilmuan tertentu, namun
diberlakukan untuk seluruh bidang keilmuan. Plagiarisme memiliki definisi yang
beragam, benang merahnya adalah perilaku yang tidak terpuji karena telah
memperlakukan karya orang lain tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang berlaku.
Definisi plagiarisme memiliki beberapa arti di mana semuanya menunjukkan pada
perilaku yang negatif. Plagiarisme diartikan sebagai tindakan mencuri dan menyebarkan
ide atau kata-kata orang lain sebagai milik sendiri, menggunakan hasil karya orang lain
tanpa mencantumkan sumbernya, melakukan pencurian sastra, menyajikan sebagai ide
43
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
atau produk baru dan asli yang berasal dari sumber yang sudah ada, serta proses
penyalinan karya orang lain yang melanggar hak cipta (Merriam-websiter dictionary;
Cambridge dictionary; Kamus Besar Bahasa Indonesia; 2022).
Definisi dari beberapa kamus tersebut, secara harfiah plagiarisme atau plagiat berupa
perilaku atau perbuatan atau proses atau praktik penyajian, pencurian, penyebaran,
penggunaan, penjiplakan karya orang lain ke dalam karya kita, sebagian atau seluruhnya
tanpa mencantumkan sumbernya dan termasuk pada pelanggaran hak-hak pemilik karya
tersebut. Hak penulis atau pemilik karya adalah pengakuan atas karyanya, lebih spesifik
bagi seorang akademisi menjadi pengakuan yang memiliki nilai ketika karya ilmiahnya
digunakan oleh orang lain atau disitasi. Di Indonesia karya yang disitasi dapat memiliki
nilai cum untuk kenaikan jenjang jabatan akademik dan akreditasi program studi
maupun institusinya.
Secara etimologi, istilah plagiat atau plagiarisme yang sering ditulis dalam beberapa
referensi diambil dari beberapa bahasa seperti Bahasa Latin yaitu Plagiarus artinya
penculik; atau Plagium artinya sebuah penculikan. Bahasa Yunani yaitu Plagium artinya
menculik, dan Bahasa Perancis yaitu Plagiat - istilah ini lebih sering digunakan dalam
Bahasa Indonesia artinya pengambilan karya orang lain seolah-olah menjadi karya
sendiri (Harliansyah, 2017; KBBI). Keseluruhan istilah yang diambil dari berbagai bahasa
menujukkan bahwa istilah plagiat atau plagiarisme mengarah pada perbuatan negatif
dan membahayakan. Secara sinonim pun istilah plagiat atau penculikan merujuk pada
perilaku yang tidak baik seperti pencuri, maling, pengutil, dan lain-lain (Thesaurus
Indonesia, 2021).
Selain itu juga terdapat definisi plagiarisme berdasarkan pandangan para pakar yang
telah dikembangkan berdasarkan konteks dan pengalaman di lapangan namun tetap
tidak terlepas dari etimologi plagiarisme itu sendiri. Pandangan para pakar menyiratkan
pada perilaku peneliti atau penulis yang tidak pantas dan tidak dibenarkan karena telah
melakukan tindakan pecurian dan penipuan atas karya orang lain yang jelas dilarang dan
melanggar hukum. Menurut Adhikari (2020), dalam konteks medis perilaku ini sudah
umum dilakukan di kalangan mahasiswa kedokteran hingga dokter senior di mana
melakukan peminjaman ide, penjelasan teori atau tulisan seseorang tanpa memberikan
referensi yang tepat. Terutama bagi penulis muda dan baru harus mengetahui kapan dan
bagaimana membuat kutipan referensi sehingga terhindar dari plagiat. Hal ini juga senada
dengan pendapat Wibowo (2012) di mana perilaku plagiarisme merupakan perilaku
yang terlarang karena di dalamnya terdapat ketidakjujuran dalam memperlakukan karya
orang lain baik itu pencurian karya atau pengakuan karya orang lain sebagai karya
sendiri. Pencurian karya orang lain tidak hanya sebatas pencurian ide, teori, karya sastra,
tetapi sering terjadi pada terbitan karya mahasiswa, artikel jurnal, dan buku (Roig, 2015).
44
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
(academic dishonesty) dalam penggunaan karya orang lain berupa tidak memberikan
kredit dan atribusi pemilik karya tersebut. Dari definisi berdasarkan pandangan pakar
dapat disimpulkan bahwa plagiarisme merupakan perbuatan atau tindakan pengambilan
karya orang lain secara tidak etis seolah-olah milik sendiri dan merupakan tindakan yang
melanggar. Karya orang lain tidak hanya terbatas pada tulisan, pemikiran, ide, tetapi
seluruh karya seperti karya sastra, film, dan karya lainnya baik yang dipublikasikan mau
pun tidak dipublikasikan.
Plagiarisme merupakan isu lama yang sudah dibahas mulai dari tahun 60an di kalangan
akademisi. Dari berbagai definisi di atas sudah dapat diidentifikasi jenis-jenis plagiat.
Penggunaan karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya, pengambilan kata,
paraphrase, dan lain-lain. Berikut adalah jenis-jenis plagiarisme yang dilihat dari
berbagai sudut pandang. Shadiqi (2019) mengklasifikasikan jenis plagiat dari berbagai
aspek yaitu:
a. Motivasi
Plagiarisme terjadi karena motivasi penulis, walaupun menurut Coover (dalam
Shadiqi, 2019) bahwa, apapun motivasinya, plagiarisme tetaplah plagiarisme. Artinya
memiliki konsekuensi atas perbuatan plagiarisme tersebut. Jenis ini terdiri dari tiga
bagian yaitu:
1. Intentional plagiarism atau deliberate plagiarism. Jenis ini dilakukan oleh penulis
secara sengaja. (Bernett & Campbell; Marshall & Rowland, dalam Shadiqi, 2019).
2. Unintentional plagiarism yaitu ketidak-sengajaan dalam melakukan plagiarisme,
hal ini bersumber dari ketidaktahuan seperti belum mengetahui batasan yang
jelas tentang plagiarisme. (Bernett & Campbell; dalam Shadiqi, 2019).
3. Inadvertent plagiarism terdapat pengabaian karena kelalaian dan tidak
melakukan kutipan (Bernett & Campbell; dalam Shadiqi, 2019).
b. Cara melakukan
Pada umumnya plagiarisme dapat dilihat dari cara melakukannya, bagaimana penulis
menggunakan tulisan atau karya orang lain, seberapa mirip, dan seberapa banyak
tulisan yang diambil. Menurut Shadiqi (2019) jenis ini mengarah pada tindakan
bagaimana cara menuliskan, menyalin, mengubah, dan mengambil sebagian karya
dengan menggunakan kaidah parafrase yang baik. Kategori plagiarisme dari cara
melakukannya adalah:
1. Patchwriting. Menurut Roig (dalam Shadiqi, 2019), patchwriting merupakan
tindakan menggunakan karya orang lain tetapi tidak menuliskan sumber
45
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
46
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Dari jenis-jenis di atas terdapat benang merah yang jelas bahwa jenis plagiarisme
merupakan jenis tindakan tidak terpuji terhadap karya orang lain bahkan karya diri
sendiri. Beragam jenis plagiarisme tersebut di atas harus diketahui oleh para akademisi
baik dosen maupun mahasiswa. Perguruan tinggi sebagai institusi yang menaungi
masyarakat akademik harus secara intensif menyosialisasikan jenis-jenis plagiarisme
agar diketahui, dipahami, dan dihindari. Melalui pengetahuan dan pemahaman tentang
jenis-jenis plagiarisme dapat menunjukkan kualitas penulisan dan citra positif bagi
penulis dan institusinya.
Kasus 1, terjadi pada tahun 2010 berupa pelanggaran penggunaan karya orang
lain yang diterbitkan oleh media nasional berbahasa Inggris. Penjiplakan artikel
opini ini dilakukan oleh seorang dosen dari Universitas Parahyangan. Sanksi yang
diberikan berupa pemberhentian secara tidak hormat, namun demikian dosen
tersebut mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum diberhentikan secara tidak
hormat (Rudini, & Zubaedah, 2010).
47
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Kasus 3, terjadi pada tahun 2012. Kasus ini berupa pelanggaran terhadap naskah
hasil mencontek atau menggunakan naskah yang sudah ada milik orang lain.
Dilakukan oleh tiga orang dosen untuk meningkatkan jabatannya menjadi guru
besar. Diketahui ketika menjalani uji karya tulis di Universitas Perguruan
Indonesia. Sanksi yang diberikan berupa penurunan pangkat dan jabatan serta
gagal menjadi guru besar (Prawira, 2012).
Kasus 4, terjadi pada tahun 2014. Jenis pelanggaran yang dilakukan adalah
menggunakan artikel opini orang lain tanpa menyebutkan sumber aslinya yang
diterbitkan pada Koran nasional. Dilakukan oleh salah satu dosen dari Universitas
Gajah Mada. Sanski berupa pengunduran diri yang dilakukan oleh dosen tersebut
(Kresna, 2014).
Kasus 5, terjadi pada tahun 2017. Berupa kasus plagiarisme pada disertasi untuk
meraih gelar doktor di Universitas Negeri Jakarta. Kasus ini berujung pada
pemberhentian Rektor kampus tersebut (Utama, 2017).
Kasus 6, terjadi tahun 2021. Calon rektor terpilih di kampus Universitas Sumatera
Utara melakukan auto plagiat atas artikel yang ditulisnya. Sanksi yang diberikan
berupa penundaan kenaikan pangkat, pengembalian insentif penulisan artikel,
dan penundaan pelantikan rektor (Muhardiansyah, 2021).
Dari beberapa kasus di atas, sudah selayaknya setiap perguruan tinggi memiliki komisi
etika untuk menangani pelanggaran-pelanggaran tersebut. Menentukan sanksi sebagai
efek jera dan akibat pelanggaran yang dilakukan, serta membuat panduan-panduan agar
terhindar dari plagiarisme. Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 telah memuat aturan
penanganan pelanggaran plagiarisme yang terjadi di perguruan tinggi, dan dapat
dijadikan acuan bagi perguruan tinggi dalam menangani pelanggaran tersebut.
48
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
merupakan pencurian karya orang lain, sedangkan auto plagiat adalah pencurian karya
sendiri.
Terdapat beberapa definisi auto plagiat dari berbagai kalangan seperti pakar dan
institusi yang memiliki perhatian terhadap auto plagiarisme. Berikut definisi dari
beberapa institusi yang memiliki perhatian khusus terkait auto plagiat:
Sebuah divisi dari Research Square yang berbasis di USA, mendefinisikan self
plagiarism sebagai penggunaan kembali kata-kata milik sendiri dari karya
sebelumnya dan merujuk pada penerbitan makalah di dua tempat. Divisi riset ini
menyimpulkan bahwa auto plagiat pengambilan kata-kata dan data penelitian dari
penerbitan sebelumnya seolah-olah baru (Mudrak, n.d.). Ithenticate, sebuah lembaga
dan nama tools pengecekan similarity dalam etika auto plagiat menyebutkan bahwa
“Self plagiarism is an area of increasing importance within scholarly research. Self
plagiarism may be one of the most dangerous forms of misconduct due to lack of
understanding of the ethic involved. The pressure to publish combined with an ever-
growing body of scholarly research makes it difficult for publishers and intitutions to
investigate and prevent cases of such duplication.” (Ithenticate, n.d.). Ithenticate
mendefinisikan auto plagiat suatu bentuk kesalahan yang fatal karena
ketidakpahaman penulis dalam etika penerbitan. Di satu sisi sulit bagi penerbit dan
lembaga sejenisnya untuk mencegah kasus duplikasi.
Auto plagiat sangat mungkin terjadi dan dilakukan oleh para akademisi atau siapa pun,
walaupun masih dalam perdebatan namun seiring waktu auto plagiat dapat dijabarkan
dalam definisi dan batasan yang jelas. Hal ini didukung oleh pandangan pakar terkait auto
plagiat seperti Hexam yang menyebutkan bahwa esensi dari auto plagiat adalah penulis
mencoba menipu dengan cara tidak memberitahu pembaca bahwa tulisannya
49
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
menggunakan tulisan sebelumnya (Roig, 2015). Hal ini sejalan dengan Rohmanu (2017)
yang mendefinisikan auto plagiat sebagai pengulangan penerbitan atau pemaparan
(presentasi) karya sendiri.
Sedangkan menurut Roig (2015), auto plagiat terjadi ketika kita memutuskan untuk
menggunakan kembali sebagian atau secara keseluruhan milik kita (ide, teks, data, dll.)
yang telah dipublikasikan sebelumnya tanpa menyebutkan bahwa telah dipublikasikan.
Bagi Suvak-Smolcic & Bilic Zulle (2013) auto plagiat masih menjadi hal yang harus
didiskusikan mengingat auto plagiat sulit ditafsirkan sebagai pencurian intelektual
karena seseorang tidak mungkin mencuri dari dirinya sendiri. Jika plagiarisme berarti
mencuri ide atau kata-kata orang lain dan diakui sebagai milik sendiri, apakah auto
plagiat berarti mencuri kata-kata sendiri? Masih menurut Suvak-smolcic & Bilic Zulle
(2013) bahwa auto plagiat itu bentuk dari plagiarisme dan itu harus diperlakukan
sebagai satu kesatuan. Dalam artikelnya Suvak-Smolcic & Bilic Zulle (2013) menyarankan
bahwa auto plagiat dapat diatur dalam Komisi Etika Publikasi.
Pendapat Suvak-Smolcic & Bilic Zulle tersebut di atas juga didukung oleh pendapat
Disemadi & Kang (2021), bahwa terkait isu auto plagiat belum ada kesepakatan dan
standar yang pasti, apakah yang dimaksud adalah pelanggaran hak cipta? Disemadi dan
Kang menjabarkan definisi auto plagiat dilihat dari sisi hukum normatif yaitu auto plagiat
dapat dianggap sebagai pelanggaran terutama apabila hak cipta dari karya sebelumnya
telah dialihkan kepada pihak lain. Hal ini telah diatur dalam pasal 80-86 UU Hak Cipta.
Masih menurut Disemadi dan Kang (2021) bahwa sering kali hak cipta atas suatu artikel
jurnal dipegang oleh pihak penerbit dan bukan dipegang oleh penulis, maka penulis
tersebut wajib mencantumkan sumber atas ciptaannya sendiri.
Definisi-definisi dan pendapat di atas terdapat dalam cakupan dari auto plagiat yaitu:
Definisi di atas menggambarkan bahwa duplikasi penerbitan sangat tidak etis karena
akan ada banyak pihak yang dirugikan seperti penerbit. Terkadang suatu terbitan
memiliki aturan dalam penerimaan naskah, baik dari proses mau pun persyaratan
teknis lainnya. Hal itu cukup membutuhkan waktu yang lama. Tentunya ini sangat
bertentangan dengan keinginan penulis yang berharap secepatnya untuk diterbitkan
karena akan digunakan untuk kegiatan tertentu. Ketidaksabaran ini membuat penulis
berinisiatif untuk mengirimkan karyanya ke penerbitan lain dengan harapan akan
lebih cepat dipublikasikan dibanding penerbit sebelumnya. Jika kenyataanya
diterbitkan secara bersamaan maka akan ada tulisan yang sama diterbitkan dalam
50
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
dua terbitan yang berbeda. Hal ini harus dihindari agar tidak terjadi duplikasi
penerbitan.
Daur ulang teks atau text recycling. Dalam artikelnya Shadiqi (2019) merangkum
definisi text recycling yang diambil dari beberapa pendapat seperti Burdine, de
Castro Maymone, & Vashi (2018), Cooper (2016), dan Mohapatra & Samal (2014)
yang menyebutkan bahwa daur ulang teks terjadi ketika peneliti bekerja secara
sistematik pada suatu topik menggunakan tulisan sebelumnya atau tulisan yang
belum terbit untuk tujuan yang baru. Namun daur ulang teks tidak dianggap
plagiarisme jika suatu naskah sebelumnya ditulis untuk dokumen ‘internal’ yang
tidak terpublikasi atau tanpa copyright dan lisensi penerbit (Cooper; Roig, as cite
Shadiqi, 2019). Artinya peneliti dapat menggunakan tulisan yang belum diterbitkan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Fitri (2010) yang menyebutkan bahwa auto plagiat
dan etika keilmuan di mana secara etika keilmuan tidak menyalahi apabila hak cipta
dari karya sebelumnya masih sama penulis yang bersangkutan belum dialihkan ke
pihak lain.
2. Duplikasi
Menurut Disemadi & Kang (2021), duplikasi terjadi saat seorang penulis
mempublikasikan suatu tulisan yang sama di beberapa tempat yang berbeda tanpa
memberitahukan kepada pihak penerbit. Pendapat yang sama diungkapkan oleh
Roig (2010) sebagai berikut “authors of a previously published paper submit roughly
the same manuscript to a different journal”. Jenis ini sangat sering terjadi karena
faktor psikologis internal penulis, seperti mencoba-coba artinya jika tidak
diterbitkan di jurnal pertama maka berharap diterbitkan di jurnal kedua. Jadwal
penilaian atau pengumpulan hasil publikasi untuk jenjang jabatan akademik yang
mendesak, sehingga penulis melakukan pengiriman artikel ke beberapa jurnal
dengan harapan ada jurnal yang dapat lebih cepat menerbitkan artikelnya. Menurut
Shadiqi (2019) penulis tidak diperbolehkan menebar jaring dengan menyebarkan
naskah ilmiahnya kebeberapa jurlan hanya untuk tujuan mendapatkan publikasi
51
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
tercepat karena tuntutan kewajiban pribadi, seperti proses kelulusan studi. Hal yang
harus disadari oleh penulis adalah adanya aturan dalam penerbitan. Setiap jurnal
memiliki tim mitra bestari yang telah dijadwalkan untuk melakukan reviu terhadap
keseluruhan artikel. Tim tersebut memiliki tanggung jawab terhadap seluruh isi
artikel dalam suatu jurnal yang dilihat dari kebaruan, kebenaran, dan keaslian.
Proses tersebut memakan waktu cukup lama sehingga membuat penulis tidak sabar
menunggu untuk terbit di jurnal tersebut. Hal yang menjadi permasalahan adalah
jika kedua artikel tersebut diterbitkan secara bersama-sama sehingga penulis tidak
memiliki waktu untuk melakukan pembatalan penerbitan artikel dari salah satu
jurnal tersebut. Untuk itu bagi penulis dalam hal ini dosen dan peneliti harus
mengetahui tanggungjawab terhadap pemenuhan penulisan untuk keawajiban
tertentu dengan cara memahami dan membuat perencanaan penulisan sehingga
tidak melakukan secara tergesa-gesa.
3. Salami Slicing atau data fragmentions
Perilaku pemecahan hasil penelitian ke dalam beberapa terbitan. Menurut Adhikari
(2010), terdapat kesamaan dari publikasi yang diterbitkan dengan sedikit
perubahan dalam penyajian tanpa diketahui oleh pembaca bahwa hal tersebut
pernah diterbitkan. Menurut Shadiqi (2019), tidak semua publikasi termasuk jenis
ini. Contoh yang diperbolehkan adalah ketika ada satu disertasi dipecah menjadi 1
(satu) naskah literature review dan 2 (dua) naskah yang lain dengan dua kelompok
sampel yang berbeda. Atau peneliti memiliki 1000 sampel, 500 data ditulis untuk 1
naskah alat ukur variabel X, sedangkan 500 data ditulis untuk 1 naskah korelasi
variable X dan Y, dengan catatan kedua naskah tersebut benar-benar ditulis berbeda
untuk menjelaskan dua persoalan yang berbeda pula yaitu sebagai validasi alat ukur
dan hubungan antar variabel. Pada jenis ini, peneliti memang harus benar-benar
membedakan tulisan yang satu dengan yang lainnya.
Penulisan erat kaitannya dengan budaya akademik karena tulisan merupakan bentuk
luaran hasil dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Di dalamnya terdapat aturan-aturan yang
disepakati, dipahami dan dijalankan sehingga menjadi suatu kebiasaan. Ha ini senada
dengan pendapat Multazam (2019), bahwa budaya akademik harus benar-benar
dihayati, dimaknasi, dan diamailkan yang betujuan untuk meningktakan intelektual dan
juga kejujuran. Kejujuran merupakan salah salah satu bentuk integritas akademik yang
harus dijunjung tinggi oleh seluruh masyarakat kampus. Integritas adalah mutu yang
harus dimiliki oleh setiap individu sivitas akademika yang ditunjukkan dalam tindakan
dan perbuatan sehari-hari dalam kehidupana kampus (Wiranata, Zamralita, & Basaria,
2020). Dimensi integritas akademik yaitu kejujuran (honesty), keadilan (fairness),
menghormati (respect), kepercayaan (trust), dan tanggungjawab (responsibility).
52
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Jika terdapat masyarakat kampus yang sudah tidak lagi menjunjung tinggi dimensi-
dimensi integritas akademik disebut masyarakat kampus yang disintegras akademik.
Ketidakjujuran, ketidakadilan, hilangnya rasa hormat, hilangnya rasa percaya, dan tidak
bertanggungjawab terhadap seluruh aktivitas atau kegiatan di area kampus. Plagiat
secara umum termasuk ke dalam disintegritas akademik kaitannya dengan penulisan.
Karena di dalamnya mengandung ketidakjujuran atas penggunaan karya orang lain
maupun diri sendiri. Ketidakadilan terhadap orang lain baik yang tulisannya digunakan
maupun orang sekitarnya yang menjunjung integritas akademik. Tidak memiliki rasa
hormat terhadap orang lain yang karyanya digunakan tanpa ijin juga terhadap proses
penciptaan karya tersebut. Tidak dapat dipercaya karena menyalahgunakan karya orang
lain dan juga tidak bertanggungjawab terhadap karya orang lain yang memiliki kekuatan
hukum seperti hak cipta, paten, dan lainnya. Begitu juga disintegritas ini dapat dilakukan
terhadap karya sendiri (auto plagiat), dimana tidak jujur menyebutkan bahwa tulisan
tersebut pernah diterbitkan sebelumnya.
Karya tulis seseorang seharusnya merupakan otentik hasil pemikiran penulis tersebut,
namun demikian banyaknya informasi memungkinkan penulis mengadopsi karya orang
lain. Terlebih kemudahan akses terhadap informasi memiliki dua sisi mata uang. Satu sisi
memudahkan dan menjaga kualitas penulisan, satu sisi mempermudah untuk melakukan
copy paste terhadap karya lainnya termasuk karya sendiri. Selain itu adanya kewajiban
melakukan sitasi terhadap karya sebelumnya menjadikan tulisan berisi kutipan-kutipan
yang terkadang tidak lagi berisi pemikiran orisinil penulis. Memang betul sebuah tulisan
harus mengacu pada teori atau penulisan sebelumnya tetapi juga harus memikirkan
otentikasi tulisan itu sendiri.
Mengejar Eksistensial
Auto plagiat banyak terjadi karena kebutuhan seorang peneliti atau dosen yang
diwajibkan untuk mengejar jenjang jabatan akademik tertentu. Hal ini tentunya selain
memenuhi kewajiban juga harus mengedepankan eksistensi seorang dosen atau peneliti.
Eksistensi dosen dan peneliti dilihat dari karya-karyanya hasil Tri Dharma dalam kurun
waktu tertentu. Tak jarang karena hal ini mengakibatkan segala cara digunakan termasuk
penyalahgunaan karya diri sendiri. Kurun waktu tertentu pun dapat menjadikan seorang
penulis untuk melakukan tindakan penyalahgunaan karya sendiri karena waktu
penilaian dari penerbitan yang sangat dibutuhkan dan waktunya yang sangat mendesak.
53
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Hal ini yang jarang sekali diketahui oleh dosen, peneliti, atau penulis lainnya. Terdapat
kode etik dalam sebuah penerbitan, menurut Disemadi dan Kang (2021) sering kali hak
cipta atas suatu artikel jurnal ilmiah dipegang oleh pihak penerbit dan bukan dipegang
oleh penulis, oleh karena itu meskipun karya ilmiah tersebut adalah milik seorang
penulis, maka penulis tersebut harus tetap mencantumkan sumber atas ciptaanya
sendiri. Peneliti dan dosen wajib mengetahui ketentuan-ketentuan penerbitan dari
sebuah jurnal yang akan mempubilkasikan karyanya. Termasuk dari sisi substansi
artikel itu sendiri misalnya tentang kebaruan, kebenaran, dan keasliannya. Lalu
bagaimana dengan karya yang belum dipublikasikan? Menurut Fitri (2011) dalam
unggahannya di website LLDIKTI12 menyebutkan definisi auto plagiat dan etika
keilmuan, di mana secara etika keilmuan tidak menyalahi apabila hak cipta dari karya
sebelumnya masih sama penulis yang bersangkutan. Lain hal jika hak cipta tersebut
sudah dialihkan ke pihak lain. Untuk memberikan pemahaman kode etik penerbitan,
lembaga atau institusi harus menjembatani dosen atau peneliti melalui beragam
kegiatan. Seperti bekerja sama dengan penerbit untuk mengadakan sosialisasi dan
pelatihan terkait penerbitan hasil luaran.
SANKSI
Auto plagiat bagian dari plagiat merupakan perilaku yang bertentangan dengan
integritas akademik. Pada umumnya setiap tindakan yang bertentangan tentunya akan
mendapatkan sanksi sesuai dengan perilaku tersebut. Ada beberapa peraturan yang
dapat dijadikan acuan untuk sanksi tindakan auto plagiat diantaranya:
54
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
55
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
hak cipta jika tidak mencatumkan kepemilikan karya yang jelas, hal ini telah
melanggar hak eksklusif yang diberikan kepada pencipta atau pemegang hak cipta.
Hal lain yang masih belum tersosialisasikan dengan baik kepada khalayak umum
termasuk dosen dan peneliti terkait jenis pelanggaran dalam UU Hak Cipta adalah
terkait pengalihan ciptaan kepada pihak lain. UU Hak Cipta mengatur hal tersebut
dalam Pasal 80 hinggal Pasal 86, auto plagiat termasuk kepada pelanggaran kode etik
apabila hak cipta kayar sebelumnya telah dialihkan kepada pihak lain. Dalam hal ini
hak cipta suatu artikel yang diterbitkan dalam suatu jurnal merupakan milik penerbit
jurnal tersebut bukan milik penulis. Maka dari itu, penulis harus tetap mencatumkan
sumber atas ciptaannya sendiri karena karya tulis tersebut telah menjadi hak cipta
pihak penerbit.
Menurut Rizal (2010) bila ditinjau dari perspektif doktrin hukum, perilaku plagiarism
dapat dilihat sebagai pelanggaran hak cipta, persaingan secara tidak sehat, dan
pelanggaran moral. Pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi mengacu pada pasa
380 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan pidana bagi para pelaku
auto plagiat atau plagiarisme merupakan delik aduan, akan dituntut apabila ada
pengaduan dari pemegang hak cipta atas karya yang diplagiasi karena telah melanggar
hak ekonomi milik pencipta/pemegang hak cipta (Disemadi dan Kang, 2021).
PENCEGAHAN
Setiap pelanggaran dapat dicegah sejak dini. Upaya pencegahan auto plagiat diperlukan
dukungan dari berbagai pihak baik itu diri sivitas akademika masing-masing, institusi,
dan pemerintah. Disemadi dan Kang (2021) menyarankan beberapa upaya agar
terhindar dari plagiarisme seperti menjunjung kejujuran, sosialisasi mengenai HKI, tata
cara penulisan karya ilmiah sesuai kaidah, penegakan hukum baik pidana maupun
administratif, penggunaan sarana cek plagiarisme, dan batasan-batasan plagiarisme dari
top to bottom dalam hal ini dari Pihak Kementrian bekerjasama dengan institusi untuk
mengedukasi mahasiswa dan dosen.
Kontrol Institusi
Institusi dalam hal ini perguruan tinggi memegang peranan penting dalam upaya
pencegahan pelanggaran self plagiarism. Melalui aturan-aturan yang tegas dan sosialisasi
yang berkelanjutan menjadi upaya maksimal dari institusi agar integritas akademik tetap
terjaga.
a. Aturan institusi
Aturan institusi dapat berupa kebijakan-kebijakan berkaitan dengan integritas
akademik, etika penulisan, etika penelitian, dan aturan lain seperti panduan,
pedoman berkaitan dengan karya ilmiah sebagai hasil luaran dari kegiatan dosen dan
mahasiswa. Aturan ini perlu direncanakan, disusun, ditetapkan, disosialisasikan, dan
dijalankan secara berkelanjutan. Kegiatan sosialisasai untuk dosen dapat dilakukan
56
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
pada saat pertemuan dosen sebelum semester berjalan atau acara khusus untuk
sosialisasi aturan tersebut. Sedangkan untuk mahasiswa dapat dilakukan pada saat
orientasi mahasiswa baru atau program tertentu. Pada saat penyusunan dokumen
juga melibatkan peran aktif mahasiswa dan dosen dalam memberikan masukkan
sehingga menjadi dokumen yang diketahui dan dapat dipahami bersama. Feedback
dari mahasiswa dan dosen sangat diperlukan mengingat merekalah pelaksana aturan
tersebut. Aturan ini harus digawangi oleh sekumpulan orang yang tergabung dalam
komisi etika. Supaya dapat dijalankan dan diawasi dengan baik dan meminimalisir
perilaku plagiarisme dan ragamnya di perguruan tinggi.
b. Penyediaan tools plagiarism checker
Era keterbukaan informasi memudahkan setiap orang dalam mengakses informasi.
Semakin mudah juga untuk menggunakannya tanpa ada pengawasan yang ketat.
Seperti kegiatan copy-paste menjadi suatu hal yang paling memungkinkan dan banyak
dilakukan dalam penyusunan suatu karya ilmiah. Sekali pun terdapat dosen
pembimbing dan atau tim review, namun diperlukan alat untuk membantu
memudahkan untuk mengetahui kesamaan tulisan dengan tulisan yang lain.
Kecanggihan teknologi telah menciptakan tools plagiarism checker yang dapat
melakukan persentase kesamaan tulisan yang satu dengan yang lainnya. Beragam
tools dilihat dari jangkauan database dari yang terkecil, menengah, bahkan sangat
luas sekali. Hal ini berpengaruh pada hasil presentase cek kesamaan tulisan. Contoh
tools plagiarism yang berbayar seperti plagscan, turn it in, ithenticate, dan jenis
lainnya. Bagi lembaga pendidikan tinggi tools ini sangat diperlukan untuk menjaga
kualitas karya ilmiah hasil luaran dosen dan mahasiswa. Untuk itu penting
dianggarakan setiap tahunnya untuk berlangganan tools plagiarisme tersebut.
c. Sosialisasi integritas akademik
Institusi perguruan tinggi sudah seharusnya mengembalikan marwah masyarakat
kampus untuk menjunjung tinggi integritas akademik. Hal ini berkaitan dengan
harapan masyarakat umum yang melihat akademisi sebagai orang dan komuniats
yang menjunjuang tinggi kejujuran, keadilan, kepercayaan, menghargai,
tanggungjawab, dan rendah hati. Namun demikian banyaknya pelaku plagiat
(ketidakjujuran) justru dari kalangan akademisi. Untuk itu, diperlukan sosialisasi
yang berkelanjutan dan persuasif dengan beragam kegiatan berkenaan dengan
integritas akademik. Sosilasiasi tersebut merupakan langkah strategis dalam
pencegahan plagirisme (Harliansya, 2017). Hal ini sudah dilakukan di beberapa
universitas di Amerika dan negara lainnya seperti Cornel University (Code of
academic interity), Harvard University (Harvard guide to using sources), Harvard
Medical School (White paper: plagiarism and research misconduct), Masschusetts
Institute of Technology (MIT) (Academic integrity at the Massachusetts Institute of
Technology (MIT): a handbook for students), dan lain-lain.
57
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Literasi Informasi
Dari berbagai definisi literasi informasi terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan di
mana seseorang melakukan identifikasi kebutuhan informasi, penelusuran informasi,
mengevaluasi informasi yang ditemukannya, penggunaan informasi secara etis, dan
mendesiminasikan informasi menjadi pengetahuan baru. Kegiatan tersebut dapat
meminimalisir terjadinya penyalahgunaan informasi atau menghindari praktik
plagiarism. Sehingga kegiatan literasi informasi ini dapat dijadikan salah satu langkah
strategis dalam meminimalisir plagiarisme. Di dalamnya terdapat keterampilan riset
online, penulisan ilmiah, berpikir kritis, dan keterampilan lainnya yang mendukung
dalam penggunaan informasi (Harliansyah, 2017). Melalui kegiatan literasi informasi
terdapat beberapa kegiatan pendukung lainnya yang dipersiapkan untuk meminimalisir
praktik plagiarisme termasuk auto plagiat. Artinya bahwa dosen atau peneliti yang melek
informasi maka akan terhindar dari auto plagiat atau plagiarisme.
REFERENSI
Adhikari, N. (2010). Avoiding plagiarism and self-plagiarism. J. Nepal Paediatr.Soc. 30(2),
77-78.
58
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Dhammi, I. K. & Ul Haq, R. (2016). What is plagiarism and how to avoid it? Indian J. Orthop,
50(6), 581-583. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5122250/
Disemadi, H.S. & Kang, C. (2021). Self-Plagiarism dalam dunia akademik ditinjau dari
perspektif pengaturan. Jurnal Hukum, 13(1), 1-9.
Gopalakrishnan, J. (2011). What is self-plagiarism and how to avoid it. Retrieved from
https://www.ithenticate.com/plagiarism-detection-blog/bid/65061/What-Is-
Self-Plagiarism-and-How-to-Avoid-It#.WJsOiFMrJqM
Harliansyah, F. (2017). Plagiarism dalam karya atau publikasi ilmiah dan langkah
strategis pencegahannya. Libria, 9 (1), 104-114.
Kresna (2014). Kasus plagiarisme, Anggito Abimanyu mundur dari UGM. Merdeka.
Retrieved from https://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-plagiarisme-
anggito-abimanyu-mundur-dari-ugm.html
Mudrak, B. (n.d). Self-plagiarism: How to define it and why you should avoid it. Retrieved
from https://www.aje.com/arc/self-plagiarism-how-to-define-it-and-why-to-
avoid-it/
Muhardiansyah, Y. (2021, Januari 18). Pelantikan Rektor USU terpilih tunggu keputusan
Kemendikbud soal plagiarism. Merdeka. Retrieved from
https://www.merdeka.com/peristiwa/pelantikan-rektor-usu-terpilih-tunggu-
keputusan-kemendikbud-soal-plagiarisme.html
59
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Peraturan Kementrian Pendidikan Nasional No.17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.
Peraturan Kementerian Riset dan Teknologi DIKTI Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Prawira. (2012, Maret 1). Tiga doktor UPI diduga menjiplak. Tribunnews.
https://www.tribunnews.com/regional/2012/03/01/tiga-doktor-upi-diduga-
menjiplak
Rizal, J. (2010). Plagiarisme akademik: perspektif metode keilmuan dan doktrin hukum.
Jurnal Hukum & Pembangunan, 40(3), 339-363.
Rudini & Zubaedah, N. (2010, Februari 10). Plagiat, UNPAR copot guru besar. Okezone.
Retrieved from
https://edukasi.okezone.com/read/2010/02/10/65/302135/plagiat-unpar-
copot-guru-besar
Shadiqi, M.A. (2019). Memahami dan mencegah perilaku plagiarism dalam menulis karya
ilmiah: Understanding and avoiding plagiarism behavior in scientific writing.
Buletin Psikologi, 27(1) 30-42. Retrieved from
https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/view/43058
60
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Utama, A. (2017, September 28). Rektor UNJ dicopot sementara, gelar S3 doktor plagiat
sepatutnya juga dibatalkan. BBC. Retrieved from
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41416802
Wiranata, K., Zamralita, Z., & Basaria, D. (2020). Gambaran integritas akademik pada
mahasiswa baru Universitas X. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, 4
(1), 254-263. Retrieved from
https://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/7059
61
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
BAB 5
PROSES REVIU ETIKA PENELITIAN: STUDI KASUS DI POLTEK
KENDAL
Nurmadina
Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu
RINGKASAN
Proses reviu etika penelitian dilakukan untuk memeriksa bahwa seluruh proses
penelitian yang akan dilakukan telah memenuhi syarat etik. Komite etik wajib
memberikan tanda bukti kelayakan etik/ethical clearance apabila peneliti mampu
memenuhi syarat yang telah ditentukan. Peninjau (reviewer) juga wajib memberikan
alasan atau masukan apabila pengajuan tidak memenuhi syarat etik. Dalam
melaksanakan tugas, peninjau etik menggunakan prosedur yang telah ditetapkan oleh
komite etik. Peninjau harus memiliki etika penelitian dan bersikap konsisten terhadap
kesepakatan komite etik.
Prosedur reviu perlu diketahui oleh peneliti sehingga memudahkan dalam proses reviu.
Beberapa tugas pada reviu etik di antaranya pengelompokan penelitian berdasarkan
risiko, penelaahan dokumen dan penentuan kesimpulan. Untuk memudahkan dalam
meriviu, komite etik dapat menyediakan kuesioner yang dapat diisi oleh peneliti secara
online. Dalam tulisan ini akan dijelaskan beberapa formulir dan persyaratan yang harus
dipenuhi pada pengajuan ethical clearance di Politeknik Industri Furnitur dan
Pengolahan Kayu. Reviu usulan penelitian dilakukan mencakup latar belakang, tujuan,
metode, kebermanfaatan penelitian terhadap pihak yang berkepentingan. Beberapa
dokumen pengajuan telaah etik yaitu data peneliti, anggota, sponsor, sampel penelitian,
lembar identifikasi risiko, hak atas data, dan komitmen etik. Tidak menutup
kemungkinan, jika suatu institusi menerapkan persyaratan etika penelitian yang telah
menjadi kesepakatan bersama. Kesepakatan yang diambil Politeknik Industri Furnitur
dan Pengolahan Kayu yaitu komitmen peneliti dalam mengembalikan kelestarian
lingkungan dari dampak yang ditimbulkan pada kegiatan penelitian
62
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
etika penelitian secara jelas belum tercantum pada undang-undang tersebut. Beberapa
instansi yang telah menerbitkan peraturan terkait etika penelitian diantaranya
Kementerian Kesehatan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan lembaga
pendidikan atau universitas secara mandiri.
Di tahun 2022, Direktur Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu telah
menerbitkan Peraturan tentang klirens etika penelitian yaitu Perdir No
11/BPSDMI/POLTEK-Kendal/PD/VIII/2022. Setiap dosen di Politeknik Industri
Furnitur dan Pengolahan Kayu (Polifurneka) diwajibkan memiliki dokumen kaji etik
untuk dapat melakukan penelitian. Komisi klirens etika penelitian dibuat yaitu
beranggotakan lima orang yang berwenang menyetujui permohonan klirens etik,
memberikan saran perbaikan, dan mencabut persetujuan permohonan.
63
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Alur reviu etika penelitian di Polifurneka dibuat secara sederhana sehingga dapat
diproses secara tepat dan cepat. Gambar 1 menunjukkan alur reviu yaitu pada tahap
pertama peneliti mengajukan berkas sesuai dengan bidang ilmu penelitiannya. Sebagai
contoh, penelitian bidang finishing kayu menggunakan sampel bahan kimia maka peneliti
mengambil formulir riset bidang kimia. Menurut Mooney-Somers dan Olsen (2017),
kompetensi penelitian merupakan faktor penting terlaksananya penelitian sesuai etik. Di
negara maju, Australia telah dibentuk komite reviu etik manusia (HRECs) yang bertugas
melakukan tinjauan etis penelitian, sehingga penelitian dilakukan dan diawasi oleh orang
yang kompeten di bidangnya. Di Indonesia, perlu adanya kebijakan pemerintah tentang
pelaksanaan reviu etika penelitian pada setiap bidang. Saat ini, hanya bidang kesehatan
yang telah memiliki pedoman dan standar etika penelitian, yaitu berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2016 tentang Komisi Etik
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional yang dibentuk oleh Menteri
Kesehatan. Studi literatur terkait etika penelitian bidang seni di Indonesia belum banyak
dilakukan. Menurut Kuri (2020), etika penelitian bidang seni memberikan kepastian
terhadap subjek dan hak cipta produk.
Percobaan atau uji publik reviu etika penelitian di Polifurneka telah dilaksanakan di
tahun 2011 yaitu dengan 3 sampel. Kendala pertama yang dihadapi pada proses reviu
etika penelitian di Polifurneka adalah kurangnya jumlah dosen yang memiliki
kompetensi metodologis penelitian. Oleh sebab itu, UPPM melakukan peningkatan
kompetensi tim peninjau dengan pelatihan metode penelitian secara berkala. Polifurneka
juga merencanakan kegiatan studi banding pelaksanaan reviu etika penelitian ke institusi
pendidikan. Menurut Ralefala dkk. (2018) sebagai upaya memajukan etika penelitian di
Negara Botswana maka perlu dilakukan pelatihan etika penelitian untuk peneliti,
memberi dukungan pada Institutional Review Boards, membuat kebijakan etika
penelitian institusional, dan mengadakan perjanjian dengan pihak terkait.
Secara umum penelitian di Polifurneka dilakukan dengan metode kualitatif, kuantitatif,
dan campuran. Menurut Mooney-Somers & Olsen (2017), peninjau akan sulit
mempertimbangkan dan mengatasi masalah etika, tanpa pemahaman menyeluruh
tentang teknis metode penelitian. Peninjau etika penelitian membutuhkan kemandirian
dalam proses pengambilan keputusan. Prinsip yang perlu ditanamkan pada kegiatan
reviu etika penelitian adalah menghormati orang, peduli terhadap kesejahteraan dan
keadilan (CIHR, 2018). Keterbatasan sumber daya mengakibatkan peninjau etik
dilakukan oleh orang yang tidak sesuai dengan bidang penelitian. Menurut UK Research
and Innovation (2021), standar ilmiah atau manfaat penelitian bukanlah tanggung jawab
komite etika penelitian, maka sebaiknya dievaluasi oleh teman sejawat yang sesuai. Jika
komite etik membutuhkan pemahaman yang lebih tentang manfaat ilmiah proposal
makan mereka harus meminta saran dari peneliti independen dengan keahlian seperti
metode penelitian yang dijelaskan pada proposal.
Kendala kedua yang dihadapi pada reviu etika penelitian adalah kurangnya integritas
peninjau etik. Menurut studi eksplorasi yang dilakukan Brown dkk. (2020), kurangnya
sikap indipenden komite etik mengakibatkan munculnya istilah kawan dan lawan dalam
lingkungan kerja. Orisinalitas ide penelitian dapat hilang apabila komite etik berada pada
pihak lawan peneliti. Integritas dari reviu etika penelitian juga dapat dipengaruhi oleh
64
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
jabatan peneliti. Konflik kepentingan menjadi alasan yang sulit dihindarkan pada reviu
etika penelitian apabila peninjau etik berasal dari internal.
Kendala ketiga yang dialami pada proses reviu etika penelitian adalah ketidakpuasan
peneliti akibat terlalu lama durasi pengajuan hingga keputusan reviu etik. Hal tersebut
disebabkan oleh terbatasnya jumlah peninjau pada komite etik. Page & Nyeboer (2017)
memberi rekomendasi struktur Research Ethic Board yang terdiri dari empat komponen,
sehingga pelaksanaan reviu etika penelitian dapat efektif (Tabel 1).
Tabel 1. Struktur Research Ethic Board
Pemangku Kepentingan Aktifitas
Para peneliti Membuat proposal penelitian ilmiah
Memahami dan menerapkan standar etika penelitian
Melengkapi syarat reviu etika penelitian
Bersikap tanggap terhadap permintaan revisi dan
klarifikasi
Administrator penelitian Memahami dan menerapkan persyaratan kelembagaan
Memahami dan mampu mengkomunikasikan standar etika
penelitian
Mengetahui permasalahan yang terjadi dan memberi
informasi kepada pihak institusi yang berwenang
Anggota komite etik Memahami dan menerapkan standar etika penelitian
penelitian secara konsisten
Menghormati jadwal reviu
Mengikuti kegiatan pendidikan/pelatihan terkait
Institusi Menyediakan dukungan administrasi, responsif terhadap
variasi dalam beban kerja
Mendorong dan mendukung kesempatan belajar bagi
peneliti, administrator dan anggota komite etik penelitian
Mempromosikan budaya menghormati reviu etika
penelitian
65
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
66
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
67
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
KOMITMEN ETIK
Dampak lingkungan yang ditimbulkan dari penelitian di bidang furnitur yaitu
tercemarnya lingkungan akibat proses produksi. Oleh sebab itu, komitmen etik disusun
sebagai langkah mengembalikan kelestarian lingkungan dari dampak yang ditimbulkan
pada kegiatan penelitian. Penelitian terkait furnitur sebagian besar menggunakan kayu
sebagai bahan. Komitmen etik di Polifurneka disusun berdasarkan konsensus bersama
terhadap partisipan/objek yang diteliti. Pernyataan yang tertulis di lembar komitmen
adalah rencana kegiatan dalam rangka melestarikan lingkungan.
REFERENSI
Brown, C., Spiro J, & Quinton S. (2020). The role of research ethics committees: Friend or
foe in educational research? An exploratory study. British Educational Research
Journal, 46 (4), 747-769. DOI 10.1002/berj.3654
Canadian Institutes of Health Research (CIHR), Natural Sciences and Engineering
Research Council of Canada, and Social Sciences and Humanities Research Council.
(2018). Tri-Council Policy Statement: Ethical Conduct for Research Involving
Humans, Desember 2018.
68
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
69
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
BAB 6
PANDUAN PENYAMPAIAN HASIL PENELITIAN KEPADA
PARTISIPAN PADA PENELITIAN BIDANG SOSIAL
Nukhbah Sany
Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu
RINGKASAN
Dalam hal penyampaian hasil penelitian kepada partisipan pada penelitian bidang sosial,
informasi yang layak diberikan kepada partisipan adalah manuskrip akhir yang telah
ditinjau oleh rekan sejawat dan telah diterima untuk dipublikasikan, terdiri atas hasil
penelitian individu dan hasil penelitian agregat. Hasil penelitian tidak memiliki aturan
baku dalam hal waktu terbaik penyampaiannya, namun secara umum dilakukan di akhir
penelitian ketika hasil sudah dilakukan diseminasi dan ditinjau rekan sejawat.
Penyampaian hasil dapat dilakukan minimal oleh satu personil, dengan catatan personil
tersebut terlatih dan berwawasan, aktif dalam penyusunan penelitian, dan menjadi pihak
yang selama ini berkoordinasi kepada partisipan. Cara penyampaian hasil penelitian
dapat dilakukan dengan menggunakan media terbaik yang dapat menghasilkan umpan
balik semaksimal mungkin dan dilengkapi material pendukung agar menambah manfaat
hasil dan mencegah potensi kerugian dari hasil yang disampaikan.
70
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
yang baik sudah diatur WHO dalam Code of Conduct for Responsible Research (2017),
dengan memegang 8 prinsip utama antara lain kejujuran, ketegasan, transparansi,
keadilan, rasa hormat, pengakuan, akuntabilitas, dan promosi. Kegiatan pelaporannya
pun mengikuti prisip-prinsip tersebut, dengan penekanan pada penyampaian informasi
yang benar dan akurat.
Secara umum, penyampaian hasil penelitian harus menghormati tiga prinsip etis utama,
yaitu non-maleficence, respect for autonomy, dan beneficence (Hintz & Dean, 2019).
Penjelasan singkat dari ketiganya adalah sebagai berikut:
1. Non-maleficence merupakan prinsip etika yang melarang peneliti untuk
melakukan tindakan yang membahayakan atau merugikan partisipan. Prinsip ini
menurut Goldblatt dkk. (2011) merupakan kewajiban etika paling utama yang
harus dipegang seorang peneliti. Dalam konteks penyampaian hasil penelitian,
prinsip non-maleficence menjadi latar belakang peneliti memilih metode dan
menyaring informasi sehingga menghasilkan potensi kerugian paling minimal
pada partisipan.
2. Respect for autonomy merupakan prinsip etika yang mengharuskan peneliti untuk
menghormati hak partisipan dalam hal memilih menerima atau tidak menerima
hasil penelitian. Partisipan harus mendapatkan kesempatan untuk memilih. Bisa
jadi partisipan tidak bersedia untuk menerima hasil penelitian, meskipun ia setuju
untuk ikut serta pada prosesnya. Melalui prinsip etika ini pula, partisipan memiliki
hak untuk menghentikan keikutsertaannya meskipun proses penelitian belum
mencapai akhir dan peneliti harus menghormati keputusannya.
3. Beneficence merupakan prinsip etika yang harus dipertimbangkan peneliti ketika
merencanakan penyampaian hasil, yaitu memaksimalkan manfaat yang akan
diterima partisipan. Tantangan yang muncul dalam prinsip ini berkaitan dengan
tanggung jawab dan kepraktisan dari sudut pandang peneliti, serta pertimbangan
preferensi dan kapasitas partisipan yang berdampak pada teknik penulisan dan
pemilihan bahasa pada hasil penelitian yang disampaikan. Waktu paling optimal
dalam menyampaikan hasil serta media yang dipilih untuk memaksimalkan
manfaat yang diterima partisipan juga kerap menjadi hal yang sulit untuk
ditentukan.
Ketika menginformasikan hasil penelitian kepada partisipan sebagai subjek penelitian,
terdapat beberapa manfaat yang diharapkan akan muncul, yaitu:
1. Menunjukkan peran besar partisipan pada proses penelitian
2. Meminimalkan perasaan tereksploitasi oleh peneliti
3. Memberikan informasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan
meminimalkan risiko kerugian di masa depan partisipan
4. Mendiseminasikan informasi yang didapatkan dari penelitian di luar bidang
penelitian
71
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
72
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
sejawat dan telah diterima untuk dipublikasikan. Terdapat dua tingkatan hasil penelitian
yang dapat dibagikan:
a. Hasil penelitian individu, menyajikan data terspesifik mengenai seorang
partisipan (transkrip, data skala, hasil uji kognitif, dan lain-lain).
b. Hasil penelitian agregat/umum, menyajikan data hasil penelitian secara luas (data
populasi subjek penelitian, data yang ditinjau rekan sejawat, dan lain-lain).
Idealnya, peneliti menawarkan hasil penelitian individu dan hasil penelitian agregat
sekaligus kepada partisipan, dengan tujuan untuk memberikan pemahaman menyeluruh
dari berbagai sudut pandang. Namun dalam praktiknya, terdapat kondisi-kondisi yang
menyebabkan peneliti tidak dapat membagikan hasil individu. Baik disebabkan oleh
keterbatasan sumber daya atau jenis model desain penelitian yang tidak menghasilkan
hasil individu (misalnya randomized design atau studi double blind), peneliti harus
menilai sejak awal agar dapat diinformasikan pada dokumen consent. Jika dinilai
penyampaian hasil individu tidak memungkinkan atau tidak dianjurkan, hasil penelitian
agregat tetap harus ditawarkan dengan asumsi partisipan menyetujui untuk ikut serta
pada penelitian. Oleh karena itu, rekomendasi untuk menawarkan kedua hasil penelitian
dapat dikecualikan pada beberapa jenis penelitian.
Dari sudut pandang etis, hasil penelitian individu lebih berisiko untuk menimbulkan stres
dan kerugian bagi partisipan. Pada bidang kesehatan di luar negeri, panduan dan
penilaian pengembalian hasil penelitian diatur oleh Institutional Review Boards (IRB).
Sedangkan dalam penelitian bidang sosial, peneliti merupakan pihak yang bertanggung
jawab untuk menganalisis apakah hasil penelitian individu memiliki potensi untuk
menimbulkan stres atau kerugian bagi partisipan atau pihak lain. Analisis dapat
dilakukan dengan menyusun daftar manfaat dan kerugian yang mungkin muncul jika
hasil disampaikan dan dimanfaatkan oleh partisipan. Jika dalam analisis potensi kerugian
termasuk minimal atau masih dalam tahap wajar (dibandingkan dengan manfaat yang
akan didapatkan), maka peneliti harus menawarkan hasil penelitian individu pada
dokumen consent.
Selain menyampaikan hasil penelitian dalam bentuk informasi yang utuh (tabel,
transkrip, dan lain-lain), peneliti juga harus mempersiapkan rangkuman dari hasil
penelitian untuk dibagikan kepada partisipan. Rangkuman ini dapat berbentuk tertulis
dan lisan (tersedia naskah penyampaian hasil atau sudah dalam berbentuk rekaman)
dalam berbagai versi, menyesuaikan level pemahaman dari partisipan. Secara umum,
bahasa yang digunakan penulis dalam menyampaikan rangkuman atau interpretasi dari
informasi utuh harus lugas dan mudah dimengerti (dikenal dengan istilah plain
language). Namun penting juga untuk melakukan analisis terhadap spektrum tingkat
literasi partisipan sebelum membuat rangkuman hasil penelitian, agar jenis penulisan
hasil dapat disesuaikan dari tingkatan tersebut. Bahasa sederhana (plain language)
bukan berarti memperbodoh (dumbing down) konten yang disajikan, melainkan berfokus
pada pembaca, menghilangkan kata-kata pengisi, memulai pembahasan dengan poin
utama, serta singkat dan jelas.
Hasil penelitian yang disampaikan harus memungkinkan pembaca untuk memahami:
73
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
74
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
75
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
76
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Siapa: Menentukan pihak yang 1. Peneliti atau delegasi terlatih menjadi pihak yang
akan menyampaikan hasil menyampaikan hasil penelitian
penelitian 2. Jika memungkinkan, delegasi harus hadir pada
proses awal (mendapatkan consent partisipan),
membangun komunikasi dengan partisipan selama
proses penelitian, dan cukup memahami konteks
dari hasil penelitian serta mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul
Siapa: Menentukan pihak yang 1. Jika diinginkan, hasil penelitian individu harus
akan menerima hasil penelitian disampaikan ke partisipan bersama dengan hasil
penelitian agregat
2. Hanya hasil penelitian agregat yang dapat
disampaikan ke komunikas
77
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Pembahasan mengenai praktik terbaik dari analisis di atas memungkinkan Hintz dan
Dean (2019) untuk tersusunnya prosedur perencanaan penyampaian hasil penelitian
yang dapat dilakukan oleh peneliti bidang sosial. Pertimbangan yang perlu dilakukan
dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini:
78
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Melalui gambar di atas beserta pembahasan yang telah diberikan pada bab ini,
diharapkan peneliti dalam bidang sosial dapat memetakan dan merencanakan dengan
lebih jelas apa saja yang harus diambil dan ditentukan dalam hal menyampaikan hasil
penelitian sesuai kaidah etis. Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, peneliti juga
harus selalu menjunjung akuntabilitas, transparansi, dan keterbukaan dari proses awal
hingga akhir.
REFERENSI
De Mel S., McKenzie, D., & Woodruff, C. (2012). The Demand for, and the Consequences
of, Formalizations Among Informal Firms in Sri Lanka. American Economic Journal
Applied Economics, 5(2). 1-34. DOI:10.1257/app.5.2.122
Friedlander S., Rabb, M., Tangoren, C., Aker, J., Alan, S., & Udry, C. (2021, May 13). Sharing
Research Results with Participants: An Ethical Discussion. Center for Global
Development. Diakses dari https://www.cgdev.org/blog/sharing-research-
results-participants-ethical-discussion
Fernandez, C. V., Kodish, E., & Weijer, C. (2003). Informing the Study Participants of
Research Results: An Ethical Imperative. IRB Ethics and Human Research, 25(3),
12-19. DOI:10.2307/3564300
Ferris, L. E., & Sass-Korstsak, A. (2011). Sharing Research Findings with Research
Participants and Communities. The International Journal of Occupational and
Environmental Medicine, 2, 172-181.
Goldblatt, H., Karnieli-Miller, O., & Neumann, M. (2011). Sharing Qualitative Research
Findings with Participant: Study Experiences of Methodological and Ethical
Dilemmas. Patient Education and Counseling, 82, 389-395, DOI:
10.1016/j.pec.2010.12.016
Hintz, E. A., & Dean, M. (2019). Best Practices for Returning Research Findings to
Participants: Methodological and Ethical Considerations for Communication
Researches. Communicated Methods and Measures. DOI:
10.1080/19312458.2019.1650165
Iphofen, R. (2009). Ethical Decision-making in Social Research: A Practical Guide. Palgrave
Macmillan, New York.
Partridge, A. H., Wong, J. S., Knudsen, K., Gelman, R., Sampson, E., Gadd, M., Bishop, K. L.,
Harris, J. R., & Winer, E. P. (2005). Offering Participants Results of a Clinical Trial:
Sharing Results of a Negative Study. The Lancet, 365, 963-964. DOI: 10.1016/
S0140-6736(05)71085-0
Purvis, R. S., Abraham, T. H., Long, C. R., Steward, M. K., Warmack, T. S., & McElfish, P. A.
(2017). Qualitative Study of Participants’ Perceptions and Preferences Regarding
Research Dissemination. AJOB Empirical Bioethics, 8(2), 69-74. DOI:
https://doi.org/10.1080/23294515.2017.1310146
79
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
World Health Organization. (2017). Code of Conduct for Responsible Research. Diakses
dari https://www.who.int/docs/default-source/wpro---documents/regional-
committee/nomination-regional-director/code-of-
conduct/ccrr.pdf?sfvrsn=b2cb450_2&ua=1
80
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
BAB 7
KEPENGARANGAN DALAM ETIKA PUBLIKASI PENELITIAN
Seng Hansen
Universitas Agung Podomoro
RINGKASAN
Kepengarangan merupakan salah satu isu penting dalam etika penelitian. Status
kepengarangan harus diberikan secara tepat kepada mereka yang pantas
menyematkannya. Dalam bab ini, penulis berusaha menerangkan definisi
kepengarangan, kriteria pengarang, dan alasan mengapa status kepengarangan menjadi
penting dalam publikasi ilmiah. Selain itu, berbagai isu terkait kepengarangan juga
disajikan mencakup antara lain tanggung jawab kepengarangan, kontribusi penulis,
jenis-jenis kepengarangan, negosiasi kepengarangan, dan perubahan status
kepengarangan. Untuk dapat menghindari dan menyelesaikan konflik kepengarangan,
penulis juga memaparkan beberapa strategi antara lain identifikasi masalah
kepengarangan, menumbuhkan budaya etika kepengarangan, diskusi dan negosiasi,
dokumentasi, kontrak kepengarangan, memberikan pengakuan, dan pemenuhan
pedoman kepengarangan.
81
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Definisi lain diuraikan oleh American Chemical Society (ACS) yang menyebutkan
pengarang adalah “… semua orang yang telah membuat kontribusi ilmiah yang signifikan
atas penelitian yang dilaporkan dan yang berbagi tanggung jawab dan akuntabilitas atas
hasil penelitian. Kontribusi lainnya harus ditunjukkan dalam catatan kaki atau pada
bagian pengakuan (acknowledgement). Hubungan administratif sebuah penelitian tidak
dengan sendirinya membuat seseorang memenuhi syarat untuk menjadi rekan penulis,
tetapi kadang-kadang mungkin tepat untuk memberikan pengakuan atas bantuan
administratif tersebut” (Whitbeck, 1998).
Terlepas dari perbedaan definisi tersebut, banyak ahli sepakat bahwa seseorang dapat
disebut sebagai penulis/pengarang sebuah karya ilmiah hanya jika: (1) mereka telah
berkontribusi secara signifikan terhadap naskah tersebut, (2) bersedia untuk
mempertahankan dan menjelaskan naskah dan hasil penelitiannya, dan (3) telah
membaca dan meninjau naskah tersebut (Elliot & Stern, 1997; Jennings & El-adaway,
2012; Olivier, 2003; Shamoo & Resnik, 2009; Whitbeck, 1998). Kriteria pengarang yang
lebih detail disyaratkan oleh International Committee of Medical Journal Editors (ICMJE),
yaitu: (1) berkontribusi secara substansial untuk konsepsi atau desain penelitian; atau
pengumpulan, analisis, maupun interpretasi data penelitian; (2) menyusun penelitian
atau merevisinya secara kritis pada konten intelektual yang penting; (3) memberikan
persetujuan akhir versi yang akan dipublikasikan; dan (4) menyepakati untuk
bertanggung jawab atas semua aspek penelitian dalam memastikan bahwa pertanyaan
yang terkait dengan keakuratan atau integritas dari bagian manapun pada penelitian
tersebut telah diinvestigasi dan diselesaikan dengan tepat” (Hong, 2017).
82
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
83
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
tersedia secara luas dalam format cetak ataupun elektronik. Pertimbangan khusus
diberikan untuk tesis dan disertasi dan laporan pemerintah yang mungkin telah
diterbitkan secara daring sebelum pengajuan artikel.
Penulis harus menahan diri dari mengkritik artikel lain dengan menyerang
penulis lain secara pribadi.
Untuk melindungi integritas kepengarangan, hanya orang-orang yang telah
memberikan kontribusi signifikan terhadap penelitian atau proyek dan persiapan
artikel yang dapat dicantumkan sebagai rekan penulis. Penulis korespondensi
akan membuktikan fakta bahwa orang yang disebut sebagai rekan penulis
(coauthors) telah melihat versi final artikel dan menyetujui pengajuan untuk
publikasi.
Tidaklah pantas untuk mengirimkan artikel dengan tujuan komersial yang jelas.
Tidaklah pantas bagi seorang penulis untuk menulis atau menulis bersama sebuah
diskusi pada artikel yang diterbitkannya sendiri, kecuali dalam kasus penutupan
diskusi.
84
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
fisika yang ditulis oleh Aad dkk. (2015) memecahkan rekor sebagai artikel dengan jumlah
penulis terbanyak di dunia, yaitu 5.154 penulis. Artikel ini diterbitkan pada jurnal
Physical Review Letters Volume 114. Menurut Castelvecchi (2015), hanya sembilan
halaman pertama dari 33 halaman yang menceritakan isi penelitian itu, sedangkan
halaman sisanya digunakan untuk mencantumkan nama penulis dan afiliasi mereka.
85
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
diputuskan bersama, dalam banyak kasus kepengarangan jenis ini ditemukan pula
penyimpangan penelitian lainnya (Jennings & El-adaway, 2012).
(2) Kepengarangan Peningkatan Karir (Career-Boosting Authorship)
Jenis kepengarangan ini diberikan oleh penulis utama kepada mahasiswa doktoral atau
peneliti junior sebagai sarana untuk meningkatkan peluang karir mereka. Menurut Jones
(1996), jenis kepengarangan ini merupakan praktik yang meragukan dan dapat menjadi
bumerang bagi para pihak yang terlibat.
(3) Kepengarangan Pelestarian Karir (Career-Preservation Authorship)
Berbeda dengan kepengarangan peningkatan karir yang ditujukan untuk membantu
peneliti junior, kepengarangan pelestarian karir diberikan kepada ketua jurusan, dekan,
rektor, atau peneliti senior karena adanya tuntutan dan hubungan timbal balik antara
penulis utama dengan administrator kampus maupun peneliti senior. Bagi administrator
kampus atau peneliti senior, hal ini menguntungkan bagi pelestarian dan promosi karir
mereka. Sedangkan bagi penulis utama, hal ini menjaga hubungan baik dengan orang-
orang yang mengendalikan karirnya (terkait hibah, jadwal, promosi, dan lain
sebagainya). Bentuk kepengarangan ini merupakan salah satu bentuk yang tidak etis
karena terkait dengan unsur penipuan (Jennings & El-adaway, 2012).
(4) Kepengarangan Hantu (Ghost Authorship)
Jenis kepengarangan ini dapat dibedakan menjadi dua bentuk. Pertama adalah bentuk
nondisclosure coauthorship, yang berarti bahwa identitas seorang peneliti yang telah
berkontribusi pada karya ilmiah tersebut tidak dicantumkan dalam publikasi karena
konflik antar penulis. Bentuk kedua dari kepengarangan ini adalah keterlibatan dari
orang-orang di industri (misalnya perusahaan farmasi) terhadap suatu penelitian yang
kemudian menipu pembaca dengan cara alih-alih mencantumkan nama mereka, tetapi
menggunakan nama peneliti lain yang tidak terlibat dalam proyek penelitian tersebut
(Hong, 2017). Hal ini dilakukan guna menghindari adanya konflik kepentingan. Kedua
bentuk kepengarangan ini sama-sama tidak etis karena adanya informasi konflik
kepentingan yang tidak diungkapkan secara jelas.
(5) Kepengarangan Kolaboratif yang Membingungkan (Confusing Collaborative
Authorship)
Meskipun banyak proyek penelitian yang mendorong kolaborasi antar berbagai disiplin
ilmu dan institusi dengan tujuan untuk memperkuat inovasi dan kreatifitas ilmiah, pada
beberapa kasus kerjasama ini dilakukan dengan tidak benar dan lebih didasarkan pada
kepentingan bersama antara para penulis yang terlibat (Jennings & El-adaway, 2012).
(6) Kepengarangan Editor (Editor Authorship)
Pada jenis ini, terdapat rekan penulis yang tidak benar-benar berkontribusi secara
signifikan dalam penelitian. Disini, kontribusi mereka adalah membaca artikel dan
memberikan komentar editorial atau grafis apabila ada. Posisi mereka sebagai rekan
penulis adalah menyesatkan karena mereka tidak berpartisipasi secara langsung dengan
penelitian dan tidak pula benar-benar meninjau akurasi, kepentingan, ataupun
86
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
konsistensi desain dan metodologi penelitian yang dilakukan (Jenning & El-adaway,
2012).
(7) Kepengarangan yang Tidak Dikenal (Unrecognized Authorship)
Ini adalah jenis kepengarangan yang tidak menguntungkan bagi seseorang yang
sebenarnya telah berkontribusi secara signifikan, namun tidak dicantumkan sebagai
salah satu rekan penulis oleh penulis utama. Penghargaan terhadap mereka hanya
sebatas pada pengakuan (acknowledgement) di akhir artikel atas bantuan mereka.
Praktik ini biasanya terjadi pada artikel yang ditulis oleh peneliti junior dengan bantuan
peneliti senior di luar bidang penelitiannya (Jennings & El-adaway, 2012).
(8) Kepengarangan Kartel (Cartel Authorship)
Bentuk kepengarangan ini terjadi bilamana para penulis yang terlibat dalam sebuah
proyek penelitian, menulis bersama secara sistematis dan mempublikasikan karya-karya
tersebut dengan pengaturan urutan penulisnya. Jenis kepengarangan ini tentu dapat
meningkatkan jumlah publikasi bagi semua penulis yang terlibat. Isu etis yang muncul
adalah terkait tingkat pengetahuan yang diasumsikan sama pada semua penulis, yang
pada kenyataannya berbeda-beda (Jennings & El-adaway, 2012). Hong (2017)
menyebutnya sebagai swapping authorship yaitu tindakan saling menukar status
kepengarangan berdasarkan kesepakatan bersama.
(9) Kepengarangan Asisten yang Tidak Dikenal (Long-Suffering and Unrecognized
Graduate Assistant Authorship)
Jennings dan El-adaway (2012) menjelaskan hubungan supervisor dengan mahasiswa
pascasarjana dalam bentuk kepengarangan asisten yang tidak dikenal. Disini, mahasiswa
pascasarjana diinstruksikan oleh supervisornya untuk melakukan penelitian dan
menulis draft artikel dengan alasan sebagai pengalaman menulis artikel ilmiah.
Supervisor hanya sebatas merevisi, mengedit, dan mengirimkan artikel ke jurnal. Namun
nama supervisor dicantumkan sebagai penulis utama, sedangkan nama mahasiswa yang
benar-benar melaksanakan penelitian tersebut justru dicantumkan sebagai rekan
penulis terakhir, atau bahkan tidak dicantumkan sama sekali. Hal ini menyesatkan
karena perbedaan porsi tanggungjawab dan kontribusi masing-masing penulis.
(10) Kepengarangan Pencurian (Theft Authorship)
Kepengarangan pencurian adalah tindakan penyelewengan karya orang lain yang diakui
sebagai karyanya sendiri (Hong, 2017). Hal ini jelas merupakan pelanggaran etika
publikasi penelitian terutama terkait plagiarisme.
Negosiasi Kepengarangan
Negosiasi kepengarangan merupakan sebuah proses yang dinamis (Gaffey, 2015).
Setidaknya terdapat dua hal yang perlu dinegosiasikan terkait kepengarangan, yaitu
siapa saja yang dapat dicantumkan sebagai penulis dan bagaimana urutannya. Perihal
siapa yang berhak dicantumkan sebagai penulis sebuah artikel ilmiah telah dipaparkan
sebelumnya pada penjelasan mengenai kriteria dan tanggung jawab kepengarangan. Isu
87
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
selanjutnya adalah bagaimana mencantumkan urutan bila artikel ditulis lebih dari satu
penulis. Chanson (2009) menekankan pentingnya kontribusi individual masing-masing
peneliti untuk diperjelas. Urutan kepengarangan berperan dalam memberikan
pemahaman terkait kontribusi relatif para penulis yang terlibat dalam sebuah artikel
ilmiah (COPE Council, 2019). Negosiasi terkait urutan kepengarangan sebaiknya telah
dilakukan sejak awal proyek penelitian, bersamaan dengan negosiasi terkait siapa saja
yang dapat dicantumkan sebagai penulis.
Negosiasi kepengarangan ini merupakan sebuah aspek penting dalam penelitian
kolaboratif (Gaffey, 2015). Urutan kepengarangan idealnya diawali oleh penulis dengan
kontribusi paling besar dan diikuti oleh penulis dengan kontribusi yang lebih kecil. Pada
beberapa kasus, urutan kepengarangan dapat pula ditulis berdasarkan alfabet nama
penulis apabila para penulis sepakat bahwa mereka telah berkontribusi sama rata dalam
proses penelitian hingga publikasinya. Selain itu, para penulis juga perlu menyiapkan
catatan yang menjelaskan urutan serta kontribusi yang diberikan oleh tiap penulis yang
terlibat (Albert & Wager, 2003).
88
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
89
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
90
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Dokumentasi
Dokumentasi memegang peranan penting dalam membuktikan besarnya kontribusi
masing-masing peneliti dalam sebuah proyek penelitian. Arsip notulen rapat, kontrak
atau perjanjian penelitian, catatan mengenai diskusi-diskusi penelitian dapat membantu
mengingatkan para penulis tentang kronologi penelitian dari awal hingga akhir sehingga
dapat memberikan gambaran kontribusi masing-masing pihak yang terlibat (COPE
Council, 2019). Selain itu, segala kesepakatan dan perubahan juga perlu
didokumentasikan secara tertulis.
Kontrak Kepengarangan
Kontrak kepengarangan dapat menjadi salah satu langkah antisipasi sebagai alat penting
untuk menghindari konflik kepengarangan yang tidak perlu. Kontrak kepengarangan
muncul akibat seringnya konflik kepengarangan antara para penulis dari sebuah artikel
yang muncul menjelang artikel telah diterima dan berada dalam tahap produksi untuk
diterbitkan (Hyman, 2001; Jennings & El-adaway, 2012). APA (2015c) memberikan
sebuah contoh kontrak kepengarangan sederhana yang dapat diisi dan ditandatangani
setelah para penulis mengidentifikasi urutan kepengarangan pada Lampiran 1 atau 2.
Kontrak kepengarangan ini dapat dilihat pada Lampiran 3.
Pengakuan
Kontributor substantif dalam suatu penelitian harus dibedakan dengan penulis (Hong,
2017). Kontributor yang tidak berhak dicantumkan sebagai penulis dalam artikel ilmiah
tetap perlu diberikan pengakuan atas bantuan dan kontribusi yang telah mereka berikan
(misalnya mendukung penelitian dengan cara memberikan saran/masukan, membantu
merekomendasikan partisipan penelitian atau pengumpulan data, dll). Pengakuan ini
biasanya terletak pada bagian akhir dari manuskrip. Beberapa jurnal meminta penulis
untuk memaparkan peranan masing-masing kontributor (ASCE, 2021).
91
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
yang ada di dalam pedoman kepengarangan jurnal yang mereka tuju. Sebagai contoh,
jurnal-jurnal terbitan ASCE wajib memenuhi pedoman standar etika penelitian yang
mencakup penjelasan terkait kewajiban pengarang dan etika kepengarangan (lihat
https://ascelibrary.org/doi/10.1061/9780784479018.ch02).
SIMPULAN
Kekinian, tak dapat dipungkiri bahwasanya sivitas akademika menghadapi semakin
banyak tantangan terkait penyimpangan etika. Apalagi di tengah meningkatnya tuntutan
publikasi penelitian, isu terkait status kepengarangan menjadi hal yang penting untuk
dipahami bersama. Pada artikel dengan penulis tunggal, isu ini tidak terlalu menjadi
masalah. Namun seiring dengan banyaknya dorongan untuk mempublikasikan penelitian
yang kompleks dan multidisiplin, keterlibatan banyak penulis menjadi tidak dapat
dihindari. Untuk itu, bab ini ditulis sebagai upaya mencerahkan para pembaca mengenai
status kepengarangan, jenis-jenis kepengarangan, tanggungjawab penulis, dan berbagai
langkah yang dapat ditempuh untuk menghindari konflik kepengarangan. Dengan
demikian diharapkan para penulis yang terlibat dalam suatu publikasi penelitian dapat
menegakkan tatanan etika penelitian.
REFERENSI
Aad, G. dkk. (ATLAS Collaboration, CMS Collaboration). (2015). Combined Measurement
of the Higgs Boson Mass in pp Collisions at √s = 7 and 8 TeV with the ATLAS and
CMS Experiments. Physical Review Letters, 114, 191803.
Albert, T., & Wager, E. (2003). How to handle authorship disputes: a guide for new
researchers. The COPE Report 2003, 32-34.
APA. (2015a). Authorship Determination Scorecard. Juni 2015.
https://www.apa.org/science/leadership/students/authorship-determination-
scorecard.pdf
92
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
93
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Shamoo, A. E., & Resnik, D. B. (2009). Responsible conduct of research. Oxford University
Press, New York.
Whitbeck, C. (1998). Ethics in engineering practice and research. Cambridge University
Press, New York.
94
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
LAMPIRAN 1
Kartu Skor Penentuan Kepengarangan
Judul Penelitian: ________________________________________________________________________________
95
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
LAMPIRAN 2
Kartu Skor Penentuan Kepengarangan Seri
Judul Penelitian: ________________________________________________________________________________
Instruksi. Checklist ini didesain untuk membantu para peneliti dalam menentukan
urutan kepengarangan dan berlaku hanya pada situasi dimana dua atau lebih penulis
telah memperoleh skor yang sama pada ‘Kartu Skor Penentuan Kepengarangan’. Checklist
ini harus diisi secara kolaboratif oleh para penulis terkait (yaitu mereka yang memiliki
skor yang sama) sedemikian rupa sehingga semua skor penulis sama dengan total poin
yang diberikan untuk setiap item.
Pencarian literatur
Melakukan pencarian literatur desktop/daring 50
Menyimpan database sumber pustaka 30
Memeriksa kualitas dan relevansi sumber pustaka 40
Dewan Peninjau Kelembagaan (Institutional Review Board)
Menulis aplikasi DPK 20
Menyerahkan aplikasi DPK 10
Menanggapi permintaan revisi dari DPK 40
Persiapan dan pengumpulan data
Membuat survei daring 60
Menyiapkan administrasi tertulis (mencetak kuisioner, 30
memesan ruangan untuk pengumpulan data, mencari
partisipan, dll.)
Mengumpulkan partisipan untuk penelitian 40
Memastikan pemenuhan ukuran sampel 10
Pemasukan data (apabila berupa administrasi tertulis) 20
Pembersihan dan koding data 30
Manuskrip
Menulis abstrak 100
Membuat tabel dan gambar 30
Mendukung proses edit manuskrip
Memeriksa format APA pada draft 30
Memeriksa referensi 10
Memeriksa pedoman spesifik publikasi jurnal 20
Mengelola proses submisi
Berkomunikasi dengan editor 30
Menyerahkan draft secara daring 10
Menanggapi permintaan revisi dan submisi ulang 70
Kewajiban administratif lainnya
Memelihara dokumentasi proyek penelitian 30
Membuat jadwal rapat berkala 20
Memberikan tugas kepada kontributor spesifik 40
Menindaklanjuti pekerjaan yang ditugaskan kepada 50
kontributor lain
Total Skor
96
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
LAMPIRAN 3
Kontrak Kepengarangan
Instruksi. Setelah menyelesaikan Kartu Skor Penentuan Kepengarangan (dan Kartu Skor
Penentuan Kepengarangan Seri bila dibutuhkan), mereka yang berhak sebagai penulis dalam
suatu proyek penelitian harus melengkapi dan menandatangani kontrak ini. kecuali disepakati
lain, adalah tanggung jawab penulis pertama untuk memastikan perjanjian ini dipenuhi sesuai
dengan jangka waktu yang ditentukan. Apabila batas waktu telah berakhir tanpa pemenuhan
perjanjian ini, maka sebuah kontrak baru harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh
semua penulis. Jika kontrak baru tidak diratifikasi (misalnya karena penulis pertama absen, tidak
semua penulis sepakat dengan kontrak baru), hak publikasi/presentasi jatuh kepada penulis
kedua (kecuali ditentukan lain) tetapi urutan kepengarangan harus tetap dan/atau berdasarkan
hasil Kartu Skor. Silakan menambahkan hal-hal khusus ke dalam kontrak (misalnya nama
koferensi, jurnal).
Ketentuan/kesepakatan lain
97
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
Logistik Kabupaten, Kartu Tani (Kartu Petani), Manajemen Rantai Pasokan Pangan dan
Badan Usaha Milik Desa.
99
Etika Penelitian: Teori dan Praktik
100
Etika penelitian merupakan sebuah isu yang tengah ramai diperbincangkan
oleh berbagai komunitas peneliti di dunia. Etika penelitian itu sendiri
merujuk pada nilai, norma maupun standar perilaku yang mengatur
aktivitas penelitian. Setidaknya terdapat tiga dimensi etika penelitian yaitu
etika penelitian terkait subyek penelitian, proses penelitian, dan publikasi
penelitian. Etika terkait subyek penelitian dapat mencakup isu kerahasiaan
data diri responden, kesukarelaan dan persetujuan responden untuk
berpartisipasi dalam penelitian, dan sikap saling menghargai antara peneliti
dan responden penelitian. Etika terkait proses penelitian mencakup antara
lain isu integritas dan transparansi penelitian, kebebasan ilmiah, fabrikasi
maupun falsifikasi data. Sedangkan etika terkait publikasi penelitian dapat
berupa plagiarisme, pengajuan ganda (multiple submission), publikasi ganda
(multiple publication), dan isu sponsorship dan konflik kepentingan.
Meskipun etika penelitian ini penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
pemenuhan etika penelitian masih menjadi tantangan besar terutama bagi
komunitas peneliti di Indonesia. Pada kenyataannya, etika penelitian jarang
dibahas dalam berbagai diskusi ilmiah di Indonesia. Adapun isu terkait etika
penelitian yang biasanya dibahas hanya seputar plagiarisme. Padahal
pemenuhan etika penelitian tidak saja bermanfaat bagi subyek penelitian,
tapi juga peneliti itu sendiri.
Buku ini berhasil menyajikan tujuh pokok bahasan yang didedikasikan untuk
pemahaman dan perkembangan etika penelitian di Indonesia. Disusun
secara komprehensif, buku ini dapat digunakan sebagai panduan bagi para
peneliti mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika
melaksanakan sebuah penelitian. Dengan demikian, buku ini diharapkan
dapat meningkatkan wawasan dan pemahaman para peneliti Indonesia
terkait pentingnya pemenuhan etika penelitian.
Podomoro University
PRESS
www.podomorouniversity.ac.id