Anda di halaman 1dari 13

ýsÚs

ÓísÓ
OM SWASTYASTU

I
.

PRAY
Om Purwe Jato Brahmano Brahmacari
Dharmam Wasanas Tapasodatistat
Tasmajjatam Brahmanam Brahma
Iyestham Dewasca Sarwe Amrttna Sakama

Artinya:
Ya Tuhan, murid-Mu hadir di hadapan-Mu, Oh
Brahman yang berselimutkan kesaktian dan
berdiri sebagai pertama. Tuhan,
anugerahkanlah pengetahuan dan pikiran yang
terang. Brahman Yang Agung, setiap mahkluk
hanya dapat bersinar berkat cahaya-Mu yang
senantiasa memancar.

II
ANCESTOR

III
MERAJAN

IV
FAMILY RECORD
I GUSTI KETUT JENGGI

V
CERITA SINGKAT TENTANG ARYA WANG BANG
PINATIH

Kisah leluhur dari keturunan Arya Wang Bang Pinatih


berhubungan erat dengan cerita terpisahnya pulau Bali dengan pulau
Jawa. Babad Arya Pinatih adalah sastra yang menceritakan tentang
keturunan Manik Angkeran. Putra beliau selanjutnya menikah dengan
putri Sirarya Buleteng, dan hal inilah yang selanjutnya menurunkan
keturunan Arya Pinatih. Dikisahkan, Mpu Siddhimantra dari Janggala
tidak memiliki keturunan. Beliau amat menginginkan seorang anak dan
kemudian Beliau membuat upacara Homa bersaranakan seonggok arang
disertai permata sebesar ibu jari (Sanggusta), dengan tujuan agar Beliau
memiliki putra yang lahir dari kehebatan yoganya.

Melalui upacara tersebut maka keluarlah seorang anak laki-laki


dan diberi nama Manik Angkeran. Manik Angkeran memiliki perilaku
yang sangat buruk dan juga bandel. Kemudian Dia suka berjudi, segala
bentuk perjudian dikuasainya. Sewaktu-waktu, ayahnya berpikir dalam
hati, oleh karena memang kehendak dewata Beliau tidak berputra, lalu
lahirlah seorang putra. Beginilah akibatnya, semua harta bendanya habis
digadaikan oleh Sang Manik Angkeran sampai tempat air suci
(Siwambha) dijualnya. Hal tersebut menyebabkan ayahnya menjadi
kebingungan.

Suatu hari, Manik angkeran kabur dari rumah. Ayahnya mencari


Ke mana-mana hingga tiba di Besakih, tepatnya pada sekitar Gunung
Agung. Di sana, Beliau bertemu dengan Naga Basuki. sang Naga
memberitahukan bahwa putra Sang Mpu, Manik Angkeran telah di
rumah. Mulai saat itulah mereka akhirnya bersahabat dan Sang Mpu
mendapatkam banyak emas dari sang Naga dikarenakan sang Naga
bersisikan emas, dan kemudian sang Naga meminta agar Sang Mpu
merahasiakan hak tersebut,

Akan tetapi rahasia tersebut akhirnya diketahui oleh Sang Manik


Angkeran. Ia lalu pergi menemui Sang Naga, dan ia pun diberikan emas
yang banyak. Akan tetapi Sang Manik Angkeran sangat loba, dan ia
menginginkan permata intan yang berada pada ekor Naga Basukih itu,
dan ditebaslah tempat intan permata itu. Sang Naga menjadi sangat
marah, lalu bayangan Sang Manik Angkeran dipatuknya sehingga Sang
Manik Angkeran hancur menjadi abu. Atas bantuan ayahnya, Sang
Manik Angkeran akhirnya dapat dihidupkan kembali.

Sang Naga Basukih menyatukan pikiran “garudheya” selanjutnya abu


Sang Manik Angkeran diperciki tirta sanjiwani “tasmat”, sehingga Sang
Manik Angkeran dapat hidup kembali, dan ia diserahkan oleh ayahnya
kepada Sang Naga Basukih untuk menjadi tukang sapu di kahyangan
Basukih. Untuk menghindari agar Sang Manik Angkeran tidak kembali
lagi ke Janggala, maka oleh ayahnya, Gunung Rupek akan dihancurkan.

Di Gunung Rupek, Sang Mpu beryoga, memusnahkan pelataran itu,


menggores pelataran itu dengan tongkat Beliau, sehingga hancurlah
Gunung Rupek itu, selanjutnya menjadi lautan sempit (segara rupek),
sehingga putuslah Pulau Bali dengan Pulau Jawa, dipisahkan oleh Selat
Bali.

Diceritakan di Bali, Sang Manik Angkeran tetap menjadi “juru sapuh” di


kahyangan Basukih, hingga pada akhirnya diceritakan bahwa Sang
Manik Angkeran menikah dengan cucu Ki Dukuh Blatung dan memiliki
seorang putra yang bernama Sang Bang Banyakwide. Selanjutnya
diceritakan Sang Manik Angkeran mengambil istri dari Kendran dan
memiliki putra bernama Ida Tulus Dewa, sedangkan yang ibunya dari
Pasek Wayabya bernama Ida Bang Kajakawuh, sehingga putra Sang
Manik Angkeran seluruhnya adalah tiga orang.

Diceritakan setelah dewasa, Sang Bang Banyakwide kembali ke Janggala


untuk mencari kakeknya, sedangkan kedua adiknya masih tetap tinggal di
Bali. Di Janggala, Sang Bang Banyakwide bertemu dengan Mpu Sedah
dan dijadikan anak angkat, dan hingga pada akhirnya bertemu dengan Ki
Arya Buleteng dan menikah dengan putrinya yang bernama Ni Gusti Ayu
Pinatih. Pernikahan mereka inilah yang pada akhirnya menurunkan
keturunan Arya Pinatih.

Setelah Sang Bang Banyakwide menikah dengan putri Ki Arya Buleteng


(madeg santana), Mpu Sedah berpesan kepada Sang Bang Banyakwide :
“Kakek memberikan anugrah ucapan berkhasiat padamu, agar kamu
masih disebut sebagai keturunan brahmana, sekarang kamu menjadi Arya
Pinatih. Ini ada pemberian kakek kepadamu sebilah keris bernama Ki
Brahmana, serta seperangkat perlengkapan memuja (siwapakaranan),
pustaka weda.

Itulah kamu junjung, sebagai pusaka leluhur, sebagai jati diri kamu
adalah Arya Pinatih, yang berasal dari keturunan brahmana dahulu. Serta
ada petuah-petuahku kehadapanmu, jika yang membawa ini nantinya ada
yang pintar, boleh ia dijadikan pendeta, serta menyucikan diri beserta
keluarganya, sampai pada ajalnya nanti.

Jika yang meninggal disucikan menjadi pendeta: jika ia melaksanakan


upacara kematian, boleh memakai upakara seperti apa yang dipakai oleh
seorang brahmana sulinggih, boleh memakai padmasana, busana serba
putih, serta upakaranya seperti seorang brahmana juga, juga sesuai
dengan upakara seorang pendeta.”
Ida Sang Banyakwide setelah menikah dengan Ni Gusti Ayu Pinatih
diikaruniai seorang putra bernama Ida Bang Bagus Pinatih. Setelah Ida
Bang Bagus Pinatih dewasa, Beliau mengambil istri juga dari keturunan
Arya Buleteng, dan memiliki putra bernama Ida Bagus Pinatih.

Sang Bang Banyakwide yang telah berusia senja kemudian berpesan


kepada anak cucunya agar mulai saat ini berhenti bergelar Ida Bagus,
agar supaya bergelar Arya Bang Pinatih sampai kemudian hari. Setelah
demikian, anak cucu Beliau menerima nasihat tesebut, dan selanjutnya
menjadi Arya Wang Bang Pinatih, dan sudah diumumkan di seluruh
daerah.

Larangan-larangan (cuntaka) Arya Pinatih adalah jika meninggal dunia


sebelum tali pusar putus, mengambil cuntaka selama 7 hari jika yang
meninggal dunia tali pusarnya sudah putus, cuntakanya selama 11 hari,
tetapi belum tanggal giginya.

Selanjutnya jika ia meninggal dunia sudah dewasa, remaja, atau sudah


tua, cuntakanya 42 hari. Jikalau kemudian telah berkeluarga, apabila ada
orang luar daerah datang, hendak ikut menjunjung pusaka Ki Brahmana
beserta perangkat Siwopakarana dan mengaku Arya Pinatih, walaupun ia
orang hina, orang biasa atau pun orang yang utama, jangan engkau
tergesa-gesa, perhatikanlah dahulu, jika ia tidak mau menyatakan sumpah
pada leluhur, walaupun ia orang hina dan bodoh, ia memang benar adalah
keluarga, patut ia semua ikut menjunjung Ki Brahmana (batara kawitan).

Walaupun tempatnya jauh, patut ia diikutkan. Selanjutnya seluruh


keluarga Arya Bang Pinatih tidak diperbolehkan minum sumpah
dewagama sesama keluarga satu rumpun. Jika melanggar, maka
semuanya akan mendapat bahaya, tidak dapat disucikan kembali oleh
Sang Dewa Raja Kawitannya walaupun oleh pendeta Siwa maupun
Budha.

Anda mungkin juga menyukai