Mitologi Bugis, Makassar yang merupakan inti budaya masyarakat Sulawesi Selatan
bahwa alam semesta tersusun atas tiga bagian, Bagian atas disebut Botting langi’, bagian
tengah disebut Ale Kawa (bumi) dan bagian bawah disebut Buru’ liung.
Pada suatu saat La Patotoe tengah beristirahat di botting langi’ dan para pengawal La
Patotoe melakukan pengembaraan di alam semesta yang dimulai dari Botting Langi’ sampai
ke buru’ liung. Ditengan Menurut pengembaraannya mereka menemukan bahwa dibagian
tengah masih kosong dan tidak berpenghuni.
Tidak lama kemudian La Patotoe terbangun dari peristirahatannya dan para
pengawalnya Kembali ke botting langi’ dan kemudian mereka melaporkan ke La Patotoe
bahwa terdapat satu Kawasan yang sangat luas namun tidak berpenghuni dan meminta
kepada La Patotoe agar mengisi Kawasan tersebut.
Lalu mereka bermusyawarah dipimpin oleh Patotoe dan menghasilkan kesepakatan bahwa
mereka harus menurunkan tunas di Bumi. Dari kesepakatan tersebut diturunkannya ke bumi
anak Patotoe sendiri yakni Batara guru.
Kemudian Batara Guru diturunkan melalui ayunan dari bambu emas (tellang pulaweng),
setelah sampai ke Kawa (bumi) ia menjelajahi Kawa selama 40 hari 40 malam dan merasa
kesepian sehingga berdoa kepada penghuni langit agar diturunkan orang-orang untuk
menemaninya.
Batara guru : “Ooo puangku! Ma sajeng rennu nyawaku, nasaba degage tau lainnge
ko linoe”
Mungkin pada saat itu Dewata saewae mendengar keluh kesah anaknya dan Ketika Batara
Guru duduk didepan istananya yang berada di tepi laut, ia melihat sesuatu terombang-ambing
mendekatinya yang ternyata adalah seorang Wanita. Kemudian, ada suara dari langit.
Kemudian Wanita cantik yang terombang-ambing tadi mendekati dan menyapa Batara Guru
yang tadi terombang-ambing ditengah laut yang mendekatinya tadi mendekati dan menyapa
Batara Guru.
We Nyilitimo : “saya adalah We Nyilitimo yang dikirim Patotoe untuk menemanimu
agar tidak kesepian lagi”
Batara Guru : “Kau begitu cantik We Nyilitimo, maukah kau hidup bersamaku
menjelajahi Kawa ini?, dan mengarungi samudera kehidupan?”
We Nyilitimo : “Iya Batara Guru, karena aku memang dikirim untuk
mendampingimu sehidup semati”
Kemudian mereka Bersama-sama menjalani kehidupan di Kawa, melewati suka dan duka
Bersama.
*CUT*
Setelah beberapa tahun menjalani hidup Bersama akhirnya Batara guru dan We
Nyilitimo dikarunia beberapa anak salah satu anaknya bernama Batara Lattu’ dan setelah
dewasa Batara Lattu’ dinikahkan dengan sepupunya yang Bernama We Datu Senge yang
berasal dari Buru Liung (Bumi bagian bawah) yaitu anak dari saudara We Nyilitimo. Dan
kemudian dikaruniai 2 orang anak kembar emas, yang laki-laki Bernama Sawerigading dan
yang perempuan Bernama We Tenriabeng Ketika mereka lahir Sawerigading dan We
Tenriabeng diasuh secara terpisah sehingga mereka tidak saling mengenal sampai dewasa.
*To Be Continued*
Setelah mereka dewasa diadakan pesta menginjak tanah diusianya yang ke-17 tahun
Sawerigading tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan sedangkan We
Tenriabeng tumbuh menjadi Putri yang cantik dan menawang, keduanya dipertemukan di
istana karena Sawerigading tidak mengenal We Tenriabeng maka ia meminta kepada
keluarganya agar dapat menikahi We Tenriabeng.
-***-
Dan ajaran ini pun berkembang di Wani sesuai dengan ajaran La Panaungi yang dia
dapat dari suara ghaib saat menjalankan ritual. Masyarakat yang menganut ajaran Tolotang
ini sangat taat akan kepercayaan mereka seperti pada upacara adat dan acara pernikahan.
Mappenre’ I nanre merupakan tradisi masyarakat Towani Tolotang dalam melakukan
pernikahan, acara lahiran, kematian, maupun untuk mempersiapkan hari akhir yang bertujuan
untuk mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan di hari akhir kelak.
*KeEsokan Harinya*
Setelah semua persiapan selesai keluarga Pria dan Wanita membawa sajian dan syarat
syarat Mampenre’ I nanre ke rumah uwa. Tetapi sebelum kedua mempelai mendatangi ke
rumah uwa mereka memberitahukan sebelumnya bahwa mereka beserta keluarga akan datang
untuk bertamu kerumahnya.
Menyusun sajian di depan uwa dan keluarga dari pria melakukan pembacaan ritual
untuk sajian yang akan diberikan kepada uwa.
Uwa:”(setelah ritual selesai, uwa mengambil daun sirih dan sedikit sajian lalu
memberikan kepada keluarga yang bersangkutan.) Tabe ki ambilmi ini sebagai tanda
selesainya ritual ta”
*TBC*
Sekitar abad ke-17 agama islam masuk ke sulsel kemudian pada thn 1610 Arung
Matowa Wajo ke-12 La Sangkuru Patau’ Mulajaji Menerima islam saat itu wajo telah
menjadi kesultanan islam dan pada tahun 1666 kerajaan menekankan bahwa seluruh
masyarkat wajo untuk memeluk islam, Kemudian terdapat diantara kelompok masyarakat
yang belum siap menerima islam yang berada di wilayah wajo. Kelompok masyarakat wani
tersebut tidak ingin masuk islam sehingga Arung Matoa Wajo meminta mereka untuk
meinggalkan wajo karena tidak bersedia memeluk islam.
Karena ini merupakan titah raja maka kemudian mereka meninggalkan wilayah wani
yang menyebabkan mereka terbagi menjadi 2 kelompok yan dipimpin oleh 2 orang tokoh.
Tokoh yang pertama Bernama I Pabbere (Wanita) ia memimpin kelompoknya menuju
sidenreng dan Tokoh kedua Bernama I Goliga, Ia memimpin kelompoknya menuju ke
wilayah Bacukiki Pare-pare. Kelompok pertama tiba di wilayah sidenreng di satu tempat
Bernama Perrinyameng (Kel.Amparita) dan kedatangan mereka dari arah selatan sidenreng di
ketahui oleh Addatuang Sidenreng kemudian ia mengutus suruhannya untuk menemui
mereka. Masyarakat Tolotang menjelaskan maksud dan tujuannya serta meminta izin pada
Addatuang Sidenreng agar diterima di wilayahnya. Karena mereka dating dari arah selatan
sidenreng maka Addatuang Sidenreng menyebut mereka “Towani Tolotang” (Orang Wani
dari Selatan). Addatuang Sidenreng mengizinkan masyarakat tolotang untuk menetap di
Amparita tetapi mereka harus menerima syarat yang diberikan oleh Raja yang dikenal dengan
Ade’ puronronna sidenreng.
*To Be Continued*
I Pabbere’: “Wahai pengikutku kalau saya telah tiada kalian harus menziarahi
makamku, untuk kesejahteraan dan kalian nantinya”
Pengikut: “Iye puang kalau begitu mauta”
Oleh sebab itu masyarakat Towani Tolotang dimanapun mereka berada dalam
setahun sekali melakukan ziarah kekuburan I Pabbere’, tradisi ini beralnjut secara turun
temurun dan Bernama acara Si Pulung.
Uwa Besar: “(berbicara kepada uwa2 dalam sebuah pertemuan), Tabe para uwa satu
minggu lagi bakal dilaksankan ritual Si Pulung jadi tabe ki sampaikan ki ke
pengikutta untuk datang di makam I Pabbere”
Uwa2: “Iye puang nanti kami sampaikan kepada keluarga kami untuk ke makam I
Pabbere’ dalam rangka melaksankan acara Sipulung”
Setelah rapat selesai para uwa pun Kembali ke wilayahnya masing2. Salah satu uwa
yang berada di wilayah Amparita mengumpulkan warganya atau pengikutnya untuk
membahas acara Sipulung.
*Seminggu kemudian*
Semua warga dari Towani Tolotang bahkan dari luar daerah berkumpul di kuburan I
Pabbere’ dengan membawa sara’-sara’ berupa Daun sirih dan buah pinan jumlanya tidak
ditentukan yang penting ganjil, sajian yang dibawa dalam bakul, air putih, minyak kelapa,
wewangian, pesse’pelleng (kemiri yang ditumbuk dengan kapas).
*Setelah semua siap dan sajian telah diletakkan, uwa besar memulai acara sipulung dengan
berdoa dan menyempaikam apa yang telah dilakukan setelah setahun ini kepada Dewata
Sowae dan meminta rahmat, kesejahteraa dan keselamatan kepada Dewata Sowae.
(Penghujung Ritual)
Uwa besar: “tabe para uwa-uwa ini Sebagian sirih dan sajian ki bagian I kewargata
untuk dimakan bersama”.
Setelah uwa besar memberikan Sebagian sirih dan sajian kepada warga menandakan
selesainya ritual sipulung dan dilanjutkan ritual penutup yaitu massempe’.
Ritual massempe’ ini dilakukan oleh anak laki-laki dengan melakukan permainan
saling menendang satu sama lain, permainan ini hanya sebagai hiburan semata atas dasar
perasaan penuh kegembiraan setelah melaksanakan upacara sipulung. Tradisi ini
mengandung nilai sportifitas dan keberanian pada diri anak laki-laki. Setelah acara itu mereka
melakukan pesta dengan menampilkan tarian dan nyanyian tradisonal.
END