Anda di halaman 1dari 23

1

MEMBANGUN KARAKTER BERFIKIR KRITIS MELALUI BAHAN


PEMBELAJARAN LEARNING TO DO OLEH UNESCO

Shiera Nada Nasuha


shieranada0@gmail.com
Zahrotun Nahla
zahrotunnahla@gmail.com
Viona Rizky Amalia Putri
rizkyviona7@gmail.com
Dimas Anhar Abdillah
dimasanhar7@gmail.com
Bilqis Bilbina
bilqisbilbina0307@gmail.com
Nadya Putri Cantika
nadiacantika313@gmail.com
Atsna Maghfirotul Muna
atsna.maghfiroh01@gmail.com
Amelia Mustika Sari
ameliamustikasari4@gmail.com
Ahmad Muhlis
ahmadmbuki87@gmail.com
Putri Divana Nur Rohmah
putridivananr@gmail.com

Abstrak
Kehidupan abad 21 adalah kehidupan yang tanpa henti, globalisasi, serta
eksplorasi teknologi yang sangat mudah. Era ekonomi digital abad 21
membutuhkan tenaga kerja yang berpengetahuan dan berpengalaman luas,
terampil, dan inovatif. Karena itu, siswa harus mampu menyelesaikan
berbagai masalah dengan kekuatan daya yang unggul untuk siap terjun ke
masyarakat global atau disebut era zaman sekarang. Untuk mengatasi sebuah
tantangan ini, siswa perlu dibekali keterampilan saat abad 21 yang memiliki
empat komponen utama yaitu keterampilan literasi digital, berpikir berdaya
cipta, berkemampuan komunikasi yang efektif, dan produktivitas yang tinggi
serta terampil. Dalam keempat komponen tersebut, kemampuan berpikir kritis
termasuk dalam komponen berpikir berdaya cipta. Kemampuan dan kekuatan
berpikir kritis sangat penting bagi para siswa untuk memecahkan berbagai
masalah yang muncul dengan penalaran yang logis dan solusi yang tepat.
Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, diperlukan peran tenaga
2

para pendidik untuk menciptakan perencanaan dalam pembelajaran yang


tepat di sekolah. perencanaan pembelajaran yang dimaksud adalah perangkat
pembelajaran yang yang memuat empat pilar pendidikan yang ditetapkan oleh
UNESCO yaitu learning to know, learning to do, learning to live together dan
learning to be. Berdasarkan empat pilar tersebut, model sebuah pembelajaran
project based learning diperkirakan sudah tepat untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kritis pada siswa. Hal ini dikarenakan pada model
tersebut, siswa sebagai pusat pembelajaran diberikan sebuah permasalahan
berbentuk proyek kemudian mereka dituntut untuk menyelesaikannya.

Kata Kunci: berpikir kritis; perangkat pembelajaran; project based


learning

1. INTRODUCTION
Pendidikan adalah terjadinya suatu upaya peninggalan nilai-nilai yang bisa disebut
dengan tranformasi yang meliputi segala aspek. Salah satu penyebab meningkatnya kualitas
belajar siswa ialah pendidikan dan pengajaran, sebagai suatu usaha untuk meningkatkan
kualitas pendidikan dan pengajaran diperlukan sebuah pondasi yang kokoh untuk
memperoleh pembelaaran tersebut (Simanjutak 2019). Kejadian dalam pendidikan yang
sering kita jumpai dalam bentuk media elektronik maupun media cetak itu merupakan salah
satu bentuk diabaikannya sebuah pondasi dalam pendidikan karena itu sumberdaya manusia
di Negara kita belum bisa di sebut berkualitas (Sahmiatik & Basri, 2022).

Ada beberapa pondasi yang digagas oleh UNESCO yang biasanya kita sebut empat
pilar pendidikan, dan dalam pendidikan islam juga ada istilah tiga pilar yakni pendidikan
tauhid, pendidikan ahlak, dan pendidikan ibadah. Perlu kita ketahui, pelajari dan kita terapkan
mengenai pondasi pembelajaran yang tercantum dalam empat pilar. UNESCO menggagas
empat pilar pendidikan terdiri dari : 1) Learning to know (belajar mengetahui) 2) Learning to
do (belajar untuk melakukan) 3) Learning to be (belajar untuk mengaktualisasikan diri
sendiri) 4) Learning to live together (belajar untuk hidup bersama) (Sumiati 2017).

Artikel ini membahas salah satu dari empat pilar diatas yakni Learning to do (belajar
melakukan) ini salah satu pilar yang memberdayakan siswa agar mampu memperkaya
pengalaman belajar. Pilar ini dapat diartikan untuk tempat pertama peserta didik
mengaplikasikan apa yang pernah dipelajari atau biasanya dikenal sebagai praktek. Jadi siswa
3

tidak hanya tahu tapi juga menerjuni proses belajar. Maksud sebagai suatu cara penyampaian
bahan ajar oleh guru yang dilakukan dengan melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan
belajar dan sekaligus mengaktifkan seluruh aspek yang ada dalam diri siswa.

Diharapkan dengan adanya empat pilar ini dapat menjawab problematika pendidikan
yang ada di negara kita, dan dapat membentuk siswa yang dapat berkarya, mandiri,
bersosialisasi baik dengan masyarakat. Apabila ke-empat pilar pendidikan tersebut dapat
diterapkan dengan baik tidak hanya pendidikan di Indonesia yang berkembang namun itu
dapat membekali peserta didik untuk hidup di masyarakat dengan berbagai etnis, ras, suku,
dan agama.

2. LITERATURE REVIEW
2.1. Integrasi dan Urgensi Bahan Pembelajaran Learning To Do untuk Membentuk
Siswa Berfikir Kritis
Kemampuan berpikir kritis

Menurut Ennis (1985) dalam Amalia (2014:1012) indikator keterampilan berpikir


kritis yang dikembangkan terfokus pada kelompok: memfokuskan pertanyaan, bertanya dan
menjawab pertanyaan, mengidentifikasi asumsi-asumsi, menganalisis argumen,
mengidentifikasi istilah dan mempertimbangkan suatu definisi, mempertimbangkan sumber
apakah dapat dipercaya atau tidak, membuat dan menentukan hasil pertimbangan,
mengobservasi dan mempertimbangkan laporan observasi, menentukan suatu tindakan,
menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, dan berinteraksi dengan orang lain
(Hasan, Yarmi and Sarkadi 2018)

a.Integrasi bahan pembelajaran learning to do untuk membentuk siswa berfikir kritis

Integrasi pembelajaran adalah sebuah model pembelajaran yang membantu siswa


mengembangkan pemahaman mendalam tentang bangunan pengetahuan sistematis dan secara
bersamaan melatih keterampilan berpikir kritis siswa. Pembelajaran yang memberikkan
kombinasi fakta, konsep dan generalisasi didalam satu matrik atau model lain sperti peta atau
hirarki mendetail. Pembelajaran integrasi juga membimbing upaya siswa mencari pola
hubungan sebab akibat yang menuntut guru memiliki kecakapan dalam mengajukan
pertanyaan yang membimbing siswa berpikir kritis dalam proses pembelajaran sehingga
siswa bisa dan mampu mengkontruk pengetahuan mereka sendiri dengan topik-topik yang
mereka pelajari. Integrasi pembelajaran ini merupakan bagian dari model pembelajaran
terpadu adaptasi dari teorinya Fogarty (1991).
4

Pembelajaran literasi visual yang mengandalkan sumber visual dan cara berpikir
visual sehingga hasil belajar lebih kuat dan bermakna meaningful learning menurut teori
belajar David P. Ausubel jika informasi yang dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur
kognisi siswa sehingga siswa dapat mengaitkan informasi baru dengan struktur kognisi yang
dimilikinya. Struktur kognisi adalah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi. Literasi
visual adalah kemampuan untuk membuat pesan-pesan visual dan untuk "membaca"
pesanpesan yang ada dalam komunikasi visual; untuk memahami, memahami, menafsirkan,
dan, pada akhirnya, untuk mengevaluasi lingkungan visual seseorang (Shukor, 2001).
E – learning merupakah salah satu model pembelajaran berbasis visual, yang saat ini banyak
diterapkan guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas.

b.Urgensi bahan pembelajaran learning to do untuk membentuk siswa berfikir kritis

Berpikir kritis merupakan salah satu karakter yang akhir-akhir ini memang menjadi
isu pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa.
Kemampuan berpikir kritis juga diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang berbunyi “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi
serta bertanggung jawab.” (Indradi 2016).

Semenjak pemerintah mengeluarkan kebijakan karantina saat pandemi banyak siswa


yang sekolahnya terhambat karena tidak boleh keluar rumah dan bertemu orang. Oleh
karenanya sistem pendidikan diganti dengan E learning atau biasa disebut daring. Pendidikan
berpikir kritis menjadi proyeksi kebutuhan di abad 21 dan menjadi kebutuhan yang diterima
secara luas. Terlebih dengan situasi pembelajaran mandiri di era merdeka belajar semakin
memperkokoh kebutuhan peserta didik akan pendidikan berpikir kritis. Selain memberikan
dukungan dalam proses pembelajaran, pendidikan berpikir kritis juga membantu peserta didik
untuk menggali dan melatihkan potensi-potensi lain dalam dirinya yang dapat di gunakan
untuk mencapai aktualisasi diri dalam aspek pribadi, sosial, belajar dan karir (Kurniawan,
Saputra and Alfaiz, 2020)

Berpikir kritis bagi peserta didik penting dimiliki pada setiap tingkat satuan
pendidikan (Hidayah, 2015; Suarniati et al., 2019, 2018). Dalam Pendidikan era merdeka
5

belajar mendorong peserta didik untuk mengelola materi belajar secara mandiri, oleh karena
itu peran konselor sangat dibutuhkan untuk membentuk kemadnirian belajar (Ramdani, et, al,
2020), dan juga hal ini menyebabkan keterbatasan tatap muka dengan guru mata pelajaran.
Pendidikan berpikir kritis menurut Presiden Barak Obama dalam State of the Union Address
pada tahun 2014 menetapkan pemikiran kritis sebagai salah satu dari enam tujuan dasar
pendidikan. Aktivitas pendidikan berpikir kritis tersebut tentu perlu didukung dengan
kemampuan kognisi yang baik oleh setiap peserta didik.

2.2. Membangun Karakter Siswa Berfikir Kritis dalam Berkarya


Membangun karakter siswa yang berfikir kritis dalam berkarya adalah suatu hal yang
penting untuk mempersiapkan mereka menghadapi dunia yang kompleks dan terus
berkembang (Mardhiyana & Sejati, 2018). Berikut adalah beberapa langkah yang dapat
diambil untuk membantu membangun karakter tersebut:
1. Dorong pertanyaan dan pemikiran yang kritis
Ajak siswa untuk terlibat dalam diskusi, tugas, atau proyek yang mendorong mereka
untuk bertanya, menganalisis, dan mengevaluasi informasi. Berikan kesempatan kepada
mereka untuk mengajukan pertanyaan dan mempertanyakan apa yang mereka pelajari.
2. Latih keterampilan pemecahan masalah
Berikan siswa tantangan yang membutuhkan pemecahan masalah. Bantu mereka
mengidentifikasi masalah, merumuskan strategi pemecahan masalah, dan mengevaluasi
hasilnya. Dorong mereka untuk berpikir kreatif dalam mencari solusi alternatif.
3. Berikan kesempatan untuk berkolaborasi
Kerja dalam tim dan kolaborasi memungkinkan siswa untuk mengembangkan
keterampilan berfikir kritis mereka. Melalui kolaborasi, mereka dapat memperoleh
perspektif yang berbeda, menguji ide-ide mereka dengan orang lain, dan belajar
bagaimana mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda.
4. Berikan masalah dunia nyata
Berikan siswa tugas atau proyek yang berkaitan dengan dunia nyata. Ini membantu
mereka melihat relevansi dan pentingnya keterampilan berfikir kritis dalam kehidupan
sehari-hari. Tantangan nyata dapat memotivasi siswa untuk berpikir lebih dalam dan
mencari solusi yang efektif.
5. Latih penalaran logis
6

Dorong siswa untuk menggunakan logika dan penalaran dalam proses berpikir
mereka. Ajarkan mereka tentang dasar-dasar argumen yang baik, kesalahan logika umum,
dan bagaimana membuat kesimpulan yang didukung oleh bukti yang kuat.
6. Evaluasi kritis sumber informasi
Mengajarkan siswa untuk menjadi cerdas dalam mengonsumsi informasi adalah
keterampilan yang sangat penting. Ajarkan mereka bagaimana mengevaluasi keandalan
dan kredibilitas sumber informasi, serta bagaimana membedakan antara fakta dan opini.
7. Berikan umpan balik konstruktif
Beri siswa umpan balik yang konstruktif tentang pemikiran dan karya mereka.
Dorong mereka untuk memikirkan secara kritis tentang umpan balik yang diberikan dan
menggunakan itu sebagai peluang untuk tumbuh dan meningkatkan keterampilan berfikir
kritis mereka.
8. Modelkan pemikiran kritis
Sebagai pendidik, perlihatkan kepada siswa contoh pemikiran kritis dalam tindakan.
Berbagi bagaimana Anda secara aktif berpikir, mempertanyakan, dan mengevaluasi
informasi. Ini memberikan contoh yang jelas tentang bagaimana berfikir kritis dalam
praktek sehari-hari. (Fardani & Surya 2017)
Membangun karakter siswa yang berfikir kritis membutuhkan waktu dan dedikasi.
Penting untuk memberikan siswa kesempatan untuk ber karya.
2.3. Membangun Karakter Siswa Berfikir Kritis dalam Mempraktikkan Pembelajaran
Yang Telah Diikuti
Pendidikan karakter merupakan upaya yang digunakan untuk menanamkan dan
mengembangkan nilai-nilai kebaikan dalam rangka memanusiakan sesama manusia,
meningkatkan akhlak dan melatih kecerdasan pada diri peserta didik, untuk menciptakan
generasi karakter yang berguna, dan dapat memberikan manfaat kepada lingkungan. Dalam
sebuah proses pendidikan karakter perlu adanya perubahan pada segi cara berpikir dan cara
berperilaku di lingkungan sekitar (Hudoyo 2017).

Berpikir kritis adalah proses berpikir intelektual di mana pemikir sengaja menilai
kualitas pemikirannya, pemikir menggunakan pemikiran yang reflektif, mandiri, jelas dan
rasional. Untuk mendorong generasi muda berpikir kritis, diperlukan adanya peningkatan
pendidikan karakter. Untuk memantapkan pelaksanaan pendidikan karakter, telah
diidentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan
nasional, yaitu: (1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja keras; (6) Kreatif;
7

(7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa ingin tahu, (10) Semangat kebangsaan, (11) Cinta
tanah air; (12) Menghargai prestasi, (13) Komunikatif; (14) Cinta damai; (15) suka membaca;
16) Peduli lingkungan; (17) kepedulian sosial; dan (18) Tanggung jawab (Asadullah 2021).

Efektif dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada setiap
pemuda, dan pembelajaran ini memiliki aturan penting dalam pembentukan suatu keputusan
klinis, pemecahan masalah, produksi dalam pengetahuan, motivasi, evaluasi diri serta bisa
mempermudah dalam pemberdayaan pemberian bimbingan belajar pada jangka panjang
(Marfu’I 2016). Selain itu, perlu adanya pemberitahuan yang mendalam mengenai manfaat
terbangunnya karakter siswa agar menjadi panutan yang baik dalam pemikiran kritis disebuah
tempat pemraktekan pembelajaran siswa.

3. METHOD
Berfikir kritis merupakan salah satu keterampilan yang perlu ditumbuhkan pada
peserta didik karena dengan berfikir kritis peserta didik dapat menyelesaikan masalahnya
dengan baik, berani, kreatif, dan inovatif. Membangun karakter berfikir kritis melalui bahan
pembelajaran Learning to Do (Belajar Melakukan Sesuatu) dipilih sebagai sasaran riset
karena tiga alasan. Pertama pembelajaran Learning to Do mengarahkan peserta didik dalam
hal pemberian kemampuan untuk menjangkau kebutuhan masa depan yang selalu berubah-
ubah. Berfikir secara kritis dan memperhatikan dengan cermat kemajuan beserta perubahan-
perubahan yang terjadi maka akan membantu peserta didik dalam menghadapi masa depan
yang tidak pasti. Lapangan kerja dimasa depan tentu akan membutuhkan kemampuan untuk
mengubah kemajuan sehingga pengetahuan tersebut dapat menciptakan usaha serta pekerjaan
baru yang lain.

Kedua pendidikan membekali individu bukan hanya untuk mengetahui, namun juga
untuk terampil dalam mengerjakan sesuatu yang memberikan makna bagi kehidupannya.
Sasaran dari pilar Learning to Do oleh UNESCO ini adalah kemampuan kerja bagi generasi
muda dengan tujuan mendukung dan membangun era ekonomi industri. Ketiga lembaga
pendidikan seperti sekolah hendaknya memberikan fasilitas bagi siswanya untuk
mengekspresikan pemikiran kritisnya dalam keterampilan, bakat, serta minat yang
dimilikinya agar pilar Learning to Do ini dapat terealisasikan.

Penelitian ini melibatkan siswa, guru, dan orangtua sebagaimana yang dipaparkan
dalam media online (gambaran tersebut diperoleh dari jurnal-jurnal dan artikel online) dari
beberapa hasil penelitian diungkapkan bahwa terdapat peningkatan efektivitas pembelajaran
8

berbasis empat pilar pendidikan terhadap kemampuan berpikir kritis. Penelitian oleh Kiswati
(2012) juga menyatakan bahwa pengembangan menggunakan bahan ajar yang berbasis empat
pilar UNESCO mendapatkan respon dan ketertarikan siswa dalam belajar. Dalam
pembelajaran Learning to Do guru berperan dalam memfasilitasi pengalaman belajar siswa
yang berorientasi pada tindakan. Guru dapat memberikan bahan ajar, menyusun proyek, serta
kegiatan praktik dalam menerapkan apa yang telah dipelajari oleh peseta didik, guru sebagai
pengajar juga harus memberikan contoh nyata tentang baimana seharusnya keterampilan
tersebut dilakukan seperti memberikan demonstrasi, langkah-langkah yang harus diikuti, dan
contoh kasus dalam mengambarkan keterampilan yang sedang dipelajari. Orang tua dapat
mendukung pengalaman belajar secara praktis dimana anak diberikan motivasi untuk
mengambil tanggung jawab dalam melakukan tugas yang relevan dengan kehidupan sehari-
hari.

Dalam penulisan artikel ini, untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan,
penulis menggunakan metode studi pustaka. Adapun Langkah Langkah metode studi pustaka
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah (a) menyiapkan alat beserta perlengkapan yang
dibutuhkan, (b) mempersiapkan sumber-sumber rujukan, (c) mengatur waktu, (d) membaca
dan mencatat hasil dari penelitian. Dalam penelitian ini sumber-sumber data di dapatkan dari
berbagai literatur seperti buku-buku, majalah, koran, serta artikel dan jurnal-jurnal online
yang relevan dengan topik yang sedang dibahas. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan mencari data mengenai beberapa hal atau variabel yang
berupa catatan, dari buku, jurnal, artikel, dan lain sebagainya. Teknik analisis data
menggunakan metode analisis isi yang digunakan dengan tujuan untuk menjaga kebenaran
proses pengkajian dan mencegah kesalah pengartian informasi karena terbatasnya
pengetahuan dari peneliti.

4. RESULT
4.1 Peran Learning To Do dalam Mengasah Kemampuan Hard Skil dan Soft Skill
Pada pilar kedua UNESCO yaitu learning to do yang menekankan pentingnya
pemecahan masalah yang muncul. Untuk memperkuat pilar ini dibutuhkan soft skill dan hard
skill. Hal ini dikarenakan pendidikan sebenarnya merupakan bagian penting dari
pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan demikian, learning to do
memiliki peran penting dalam mengasah kemampuan hard skill dan soft skill seseorang
(Muhmin, 2018). Konsep learning to do didasarkan pada pendekatan pembelajaran berbasis
tindakan, di mana siswa belajar melalui praktik dan pengalaman nyata.
9

Kemampuan Hard Skill yang diasah pada learning to do antara lain:


1. Penerapan pengetahuan
Melalui learning to do, siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan yang
mereka pelajari dalam situasi praktis. Hal ini melibatkan penggabungan teori dengan
tindakan praktis untuk mencapai hasil yang diinginkan. Misalnya, dalam pelajaran
sains, siswa dapat melakukan eksperimen fisik atau simulasi komputer untuk
menerapkan konsep-konsep yang mereka pelajari.
2. Keterampilan teknis
Learning to do memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan
keterampilan teknis yang spesifik untuk suatu bidang. Hal ini merujuk pada
pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penerapan pengetahuan dan
keterampilan dalam situs dunia nyata. Metode ini melibatkan tindakan pembelajaran
melalui pengalaman prakti dan berpusat pada tindakan. Contohnya, dalam pelajaran
komputer, siswa dapat belajar tentang pemrograman melalui latihan langsung dalam
menulis kode dan memecahkan masalah nyata.
3. Praktik dan latihan
Melalui pembelajaran berbasis tindakan, siswa dapat terus berlatih dan
mengulang keterampilan hard skill yang mereka pelajari. Dengan latihan yang
berkelanjutan, siswa dapat meningkatkan keahlian mereka dalam bidang yang
spesifik. Dengan demikian, praktik dan latihan memainkan peran penting dalam
learning to do. Dalam konteks ini praktik mengacu pada melakukan tugas atau
aktivitas secara langsung, sedangkan latihan mengacu pada pengulangan yang
terstruktur dan terfokus untuk memperbaiki keterampilan.

Kemampuan Soft Skill:

1. Kerjasama tim
Dalam learning to do, siswa sering bekerja dalam kelompok atau tim untuk
menyelesaikan proyek atau tugas tertentu. Ini membantu mengembangkan
keterampilan kerjasama, komunikasi, dan kepemimpinan yang diperlukan dalam
bekerja dengan orang lain. Kerja sama tim adalah aspek penting dalam proses
learning to do atau pembelajaran untuk melakukan tugas atau kegiatan tertentu.
2. Problem-solving
Melalui pembelajaran berbasis tindakan, siswa dihadapkan pada situasi dunia
nyata yang membutuhkan pemecahan masalah. Mereka belajar untuk
10

mengidentifikasi masalah, menganalisis opsi, dan mengambil keputusan yang tepat.


Proses ini membantu mengasah kemampuan pemecahan masalah mereka.
3. Kreativitas
Learning to do mendorong siswa untuk berpikir kreatif dan inovatif. Dalam
situasi praktis, siswa dapat mencoba pendekatan baru dan menghasilkan solusi yang
orisinal. Ini membantu dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan
kreatif.
4. Pengembangan diri
Melalui pembelajaran berbasis tindakan, siswa belajar tentang refleksi diri dan
pengembangan pribadi. Mereka dapat mengevaluasi kinerja mereka,
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan, serta mengatur langkah-langkah untuk
pengembangan lebih lanjut. Pengembangan diri dalam learning to do adalah proses
meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan dalam suatu bidang
tertentu. Hal ini melibatkan berbagai langkah yang dapat kita ambil untuk
meningkatkan keterampilan dan mencapai tujuan yang kita inginkan (Putri, Nuraina
and Styaningrum, 2019).
Tujuan pembelajaran learning to do dalam mengasah kemampuan hard skill dan soft skill
antara lain:
1. Mendorong siswa mengadopsi tujuan penjelasan dan pengamatan
Permintaan untuk menjelaskan pengamatan memiliki efek positif bahkan pada
pembelajarann anak-anak yang baru mulai sekolah. Seperti Siegler yang meneliti
apakah permintaan untuk menjelaskan mengapa orang lain mencapai kesimpulan
yang mereka lakukan akan meningkatkan pembelajaran konservasi (Mufti 2016).
Pada awal percobaan dibagi menjadi beberapa kelompok belajar anak dengan
memberikan pretest.
Satu kelompok anak anak akan menerima umpan balik sendirian dengan
memajukan jawaban mereka dan segera diberitahu apakah itu benar atau salah hanya
umpan balik pada kelompok kedua anak-anak mengajukan jawaban mereka dan
ditanya “mengapa menurut Anda begitu?” kemudian diberi umpan balik atas
jawaban mereka (kondisi penalaran sendiri). Sedangkan kelompok ketiga dari anak-
anak mengajukan jawaban mereka, menerima umpan balik dari eksperimen
“bagaimana menurut Anda saya tahu itu?”(menjelaskan benar penalaran kondisi).
Hasilnya menunjukkan bahwa seperti yang sudah dihipotesiskan, bahwa mendorong
anak-anak untuk menjelaskan alasan yang mendasari jawaban eksperimen
11

menghasilkan pembelajaran mereka lebih dari umpan balik saja atau umpan balik
dalam kombinasi.
Tabel 1. Persentase siswa dengan penalaran yang benar pada selama sesi
preetest dan pelatihan
Sesi Explain experimenter’s Explain own Feedback only
answer answer
pretest 50 49 43
1 60 49 40
2 73 55 49
3 75 55 60
4 70 55 55

Grafik 1. Persentase siswa dengan penalaran yang benar pada selama sesi
preetest dan pelatihan
Dari tabel dan grafik di atas dapat kita lihat bahwa keuntungan diferensial
terbesar terjadi pada masalah yang paling sulit sampai masalah di mana
mengandalkan petunjuk panjang mengarah pada jawaban yang salah. siswa yang
menjelaskan penilaian peneliti dalam transformasi numerik yang telah dilakukan
dalam belajar, jauh lebih banyak daripada siswa yang menghasilkan jenis penjelasan
lain atau mereka yang tidak dapat menghasilkan penjelasan apa pun untuk untuk
penilaian eksperimen.
2. Makna merdeka belajar bagi guru dan siswa
12

Dalam kerangka pembelajaran yang merdeka, pemerintah hanya mengatur


rumusan capaian pembelajaran dan profil pelajar pancasila sebagai tujuan utama dari
proses pembelajaran. Selebihnya, guru dan sekolah diberi kebebasan dalam
mengembangkan berbagai strategi untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Merdeka
belajar pada siswa berupaya untuk mendorong mereka untuk mandiri dan
memanajemen proses belajarnya sendiri (self-regulated learner). Guru perlu untuk
mengintegrasikan penilaian yang saling berhubungan dalam proses pembelajaran
untuk mendukung hal tersebut (Ganggowati 2017).

Dalam konsep merdeka belajar, siswa dilibatkan secara langsung dalam proses
pembelajaran untuk menentukan tujuan, memberikan berbagai macam pilihan cara, kemudian
proses dan hasil belajar tadi direfleksi (Delita, Elfayetti and Sidauruk, 2016). Kebebasan
berpikir ini merupakan kebebasan berpikir untuk memfasilitasi pembentukkan karakter jiwa
yang mandiri antara guru dan siswa sehingga dapat menggali pengetahuan, sikap dan
keterampilan untuk mengembangkan potensinya. Merdeka belajar yang dilakukan dalam
proses pembelajaran memiliki makna dan implikasi baik bagi guru maupun siswa.

Merdeka belajar menurut Moesly yang dikutip Saleh menyatakan bahwa merdeka
adalah kondisi pikiran. Pikiran dapat memahami makna dan mengarah pada kemerdekaan dan
kegiatan pembebasan. Jika guru memahami konsep merdeka belajar yang tepat maka akan
tepat pula seorang guru dalam pelaksanaannya. Prayogo dalam Widiyono menyebut bahwa
esensi dari merdeka belajar ini adalah menggali potensi terbesar guru dan siswa untuk
berinovasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara mendiri. Kebijakan merdeka
belajar yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim,
menitikberatkan pada kegiatan pembelajaran di lembaga pendidikan formal yang ingin
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan tanpa membebani kelas atau grade tertentu.

Pada dasarnya, keinginan ini bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan. Siti
Menurut Mustagfiroh, terdapat kesesuaian antara konsep kebijakan merdeka belajar dengan
konsep pendidikan aliran filsafat progresivisme John Dewey Keduanya menekankan pada
fleksibilitas lembaga pendidikan untuk menggali keterampilan dan kemungkinan peserta
didik yang secara alamiah memiliki keterampilan dan potensi yang berbeda. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa makna merdeka belajar bagi siswa sebagai berikut:

a. Ketika siswa dapat melewati berbagai tantangan dimasa depan.


13

b. Ketika siswa dapat mendorong dirinya untuk belajar dan mengembangkan


potensinya, mendorong kepercayaan diri, serta keterampilan dalam lingkungan
masyarakat.
c. Ketika siswa bebas untuk berinovasi dan bereksplorasi, mandiri dan kreatif dalam
belajar.
d. Terbentuknya karakter jiwa yang bebas dan bahagia dalam menyelami ilmu
pengetahuan, serta keterampilan dan sikap dari lingkungan.

Tentunya hal-hal tersebut sangat bergantung pada peran guru dan lingkungan sekolah
dalam prosesnya. Karena kalau pada diri guru saja tidak terjadi, lalu apalagi pada diri siswa.
Dengan kombinasi learning to do yang berfokus pada pengembangan hard skill dan soft skill,
siswa dapat memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk sukses di dunia kerja dan
kehidupan sehari-hari ( Marza, Wulandari and Putri, 2018). Keterampilan hard skill
membantu mereka dalam menjalankan tugas-tugas spesifik dalam pekerjaan mereka.
Sementara soft skill membantu mereka beradaptasi, bekerja sama dengan orang lain, dan
berkembang dalam karir mereka.

4.2 Faktor Pendorong dan Penghambat Pembelajaran Learning To Do


Faktor-faktor pendorong dan penghambat dalam learning to do atau pembelajaran praktis
dapat bervariasi tergantung pada individu, konteks, dan tujuan pembelajaran. Berikut adalah
beberapa faktor umum yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran praktis:

Faktor Pendorong dalam learning to do anatara lain:


1. Motivasi
Motivasi yang kuat adalah faktor penting dalam pembelajaran praktis. Ketika
seseorang memiliki motivasi intrinsik yang tinggi, seperti minat yang mendalam
terhadap topik atau tujuan yang jelas, mereka cenderung lebih termotivasi untuk
belajar dan berlatih. Motivasi menjadi dorongan internal atau eksternal yang
mendorong seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu. Saat belajar dan
mengembangkan keterampilan baru, motivasi yang kuat dapat menjadi faktor kunci
untuk mencapai tujuan dan mengatasi rintangan yang muncul.
2. Lingkungan Pembelajaran yang Mendukung
Lingkungan yang mendukung, baik di sekolah maupun di luar kelas, dapat
mendorong pembelajaran praktis. Ini mencakup akses ke sumber daya, fasilitas, dan
peralatan yang dibutuhkan untuk belajar dan berlatih. Lingkungan pembelajaran
14

yang mendukung ini membantu menciptakan atmosfer yang positif dan


memberdayakan siswa untuk mencapai potensi mereka secara optimal. Hal ini juga
dapat membangun motivasi intrinsik, minat belajar yang kuat, dan sikap positif
terhadap pendidikan.
3. Guru atau Mentor yang Kompeten
Kehadiran guru atau mentor yang berpengalaman dan berkualitas dalam
pembelajaran praktis dapat memberikan bimbingan, umpan balik, dan motivasi
tambahan kepada para pembelajar. Selain itu, guru dan mentor yang kompeten juga
harus memiliki sikap yang positif, empati, dan komitmen yang tinggi terhadap
kemajuan siswa. Dengan memiliki guru dan mentor yang kompeten, siswa akan
memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mencapai potensi mereka dalam
pembelajaran (Priscilla and Yudhyarta 2021). Berikut ini data jumlah guru di
Indonesia berdasarkan tempat mengajar.

Tabel 2. Jumlah Guru Di Indonesia Berdasarkan Tempat Mengajar (Semester


Ganjil TA 2022/2023)

No Tempat Mengajar Jumlah

1 SD 1,5 Juta
2 SMP 669.038

3 SMA 334.076

4 SMK 322.538

5 TK 261.735

6 Kelompok Bermain 166.876

7 PAUD/Sejenis 46.930

8 PKBM 34.067

9 Sekolah Luar Biasa 26.850

10 Taman Penitipan Anak 5.371

11 Sanggar Kegiatan Belajar 5.255


15

Gambar 2. Jumlah Guru Di Indonesia Berdasarkan Tempat Mengajar


(Semester Ganjil TA 2022/2023)
Berdasarkan gambar di atas kita dapat melihat bahwa jumlah guru di
Indonesia paling banyak yaitu guru SD kemudian diikuti guru SMP, SMA, SMK,
TK, Kelompok bermain, PAUD/sejenis, PKBM, sekolah luar biasa, taman penelitian
anak, dan jumlah guru paling sedikit yaitu guru sanggar kegiatan belajar. Dengan
banyaknya guru tersebut harus diimbangi dengan jumlah sekolah dan fasilitas
pendidikan. Selain itu, harus diimbangi juga dengan minat sekolah para generasi
muda agar dapat meningkatkan kualitas SDM Indonesia,
4. Relevansi dan Aplikabilitas
Ketika pembelajaran praktis memiliki relevansi langsung dengan kehidupan
sehari-hari atau tujuan karier seseorang, motivasi untuk belajar meningkat. Jika
individu dapat melihat bagaimana keterampilan yang dipelajari dapat diterapkan
dalam situasi dunia nyata, mereka akan lebih termotivasi untuk belajar dengan giat.
Aplikabilitas dalam pembelajaran berkaitan dengan kemampuan siswa untuk
16

mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang mereka pelajari dalam situasi


dunia nyata. Pembelajaran yang bermakna dan relevan harus mempersiapkan siswa
untuk mengatasi tantangan dan tugas nyata. Ini dapat dilakukan melalui strategi
pembelajaran berbasis masalah, proyek, atau simulasi yang menghadirkan situasi
yang serupa dengan situasi nyata .
Faktor Penghambat dalam learning to do anatara lain:
1. Kurangnya Sumber Daya
Kurangnya sumber daya seperti peralatan, bahan, atau fasilitas yang
diperlukan untuk pembelajaran praktis dapat menjadi hambatan. Terbatasnya akses
ke sumber daya tersebut dapat menghambat kemampuan seseorang untuk berlatih
dan mengembangkan keterampilan yang diperlukan. Selain itu, kurangnya sumber
daya dalam pembelajaran dapat menjadi tantangan serius yang mempengaruhi
kualitas pendidikan.
2. Ketidakpastian dan Ketakutan
Ketidakpastian atau ketakutan terkait dengan pembelajaran praktis dapat
menghambat motivasi dan kepercayaan diri. Rasa takut akan melakukan kesalahan,
kegagalan, atau menghadapi tantangan baru dapat menghalangi seseorang untuk
mencoba dan melanjutkan proses pembelajaran. Untuk mengatasi ketidakpahaman
dan ketakutan ini, penting bagi siswa untuk mencari bantuan dan dukungan. Guru,
konselor, dan orang tua dapat menjadi sumber dukungan yang penting dalam
membantu siswa mengatasi ketidakpahaman dan ketakutan mereka. Komunikasi
terbuka, pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan pendekatan yang mendukung
emosional dapat membantu siswa merasa lebih percaya diri dan mengatasi tantangan
yang dihadapi.
3. Kurangnya Dukungan atau Umpan Balik
Ketika seseorang tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari guru,
mentor, atau rekan sejawat, mereka mungkin merasa terhambat dalam pembelajaran
praktis. Umpan balik yang konstruktif dan dukungan yang memotivasi dapat
membantu mengatasi hambatan ini. Kurangnya dukungan atau umpan balik siswa
dalam belajar dapat menjadi hambatan serius dalam proses pendidikan. Umpan balik
yang efektif sangat penting karena dapat membantu siswa memahami kekuatan dan
kelemahan mereka, mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki, dan meningkatkan
motivasi serta kepercayaan diri mereka.
17

4. Ketidaknyamanan atau Kesulitan


Pembelajaran praktis sering melibatkan upaya fisik dan mental yang intensif.
Rasa tidak nyaman atau kesulitan fisik dan mental yang tinggi dapat menjadi
hambatan bagi beberapa individu. Penting bagi pendidik dan orang tua untuk
mengakui dan memahami kesulitan belajar yang dihadapi siswa. Dukungan yang
tepat, perencanaan pembelajaran yang disesuaikan, dan lingkungan belajar yang
mendukung dapat membantu siswa mengatasi masalah-masalah tersebut dan
mencapai potensi belajar mereka.

Penting untuk diingat bahwa faktor-faktor pendorong dan penghambat ini dapat
bervariasi secara individual. Sebagai pembelajar, penting untuk mengenali faktor-faktor ini
dan berusaha mengatasi hambatan yang mungkin terjadi (Priscilla and Yudhyarta 2021).
Setelah dapat hambatan yang mungkin terjadi kita akan bisa mencetak kualitas pendidikan
yang baik di mata dunia.

4.3. Dampak Penerapan Learning To Do dalam Pendidikan Indonesia

Learning to do lebih ditekankan pada bagaimana mengajarkan anak-anak untuk


mempraktikkan segala sesuatu yang telah dipelajarinya dan dapat mengadaptasikan
pengetahuan-pengetahuan yang telah diperolehnya tersebut dengan pekerjaan-
pekerjaan di masa depan (Melkianus 2018). Learning to do (belajar dengan cara
beraktifitas), artinya peserta didik dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
melalui kegiatan latihan dan praktek. Tujuannya peserta didik dapat mengaplikasikan
pengetahuannya dan memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Sasaran dari
pembelajaran Learning To Do ini yaitu kemampuan kerja generasi muda.Pendidikan
merupakan proses belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do). Proses belajar
menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan
penerimaan nilai. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi
lebih jauh untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu
yang bermakna bagi kehidupan.adapun dampak penerapan Learning To Do dalam Pendidikan
Indonesia yaitu:

1. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi yang konkrit yang
tidak terbatas pada penguasaan keterampilan yang mekanistis melainkan juga terampil
dalam berkomusikasi, bekerja sama, mengelola dan mengatasi suatu konflik.
18

2. Penerapan Learning To Do di dalam Pendidikan Indonesia ini dimungkinkan dapat


mampu mencetak generasi muda Indonesia yang intelligent dalam bekerja dan
mempunyai kemampuan yang berinovasi.
3. Penerapan Pembelajaran Learning To Do di dalam Pendidikan Indonesia ini dapat
berjalan jika Lembaga pendidikan memfasilitasi peserta didik untuk
mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya,serta bakat dan minatnya.yang
dimana ketrampilan ini bisa digunakan untuk menopang kehidupan seseorang,bahkan
keterampilan lebih dominan dari pada penguasaan pengetahuan dalam mendukung
keberhasilan kehidupan seseorang.
4. Pembelajaran Learning to do ini mengandung makna bahwa belajar bukanlah sekedar
mendengar dan melihat untuk mengakumulasi pengetahuan, akan tetapi belajar
dengan dan untuk melakukan sesuatu aktivitas dengan tujuan akhir untuk menguasai
kompetensi yang diperlukan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Kompetensi
akan dapat dimiliki oleh peserta didik apabila diberikan kesempatan untuk belajar
dengan melakukan apa yang harus dipelajarinya secara langsung.dengan tercapainya
standar kompetensi ini membuat Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia
(Febriyana et al, 2022).

5. DISCUSSION
Berbagai permasalahan yang dialami oleh peserta didik jika hanya mengetahui teori
tanpa adanya praktek adalah keterbatasan dalam keterampilan praktis, beberapa bidang studi
tentu membutuhkan keterampilan praktis yang tidak dapat diperoleh hanya dari teori saja
misalnya pembelajaran sains dimana peserta didik memerlukan sebuah eksperimen maupun
proyek nyata untuk mengembangkan keterampilan praktek yang dibutuhkan. Tanpa adanya
praktek peserta didik akan kesulitan dalam mengembangkan keterampilan problem solving
atau pemecahan masalah, jika hanya mengetahui teori saja peserta didik akan mengalami
kesulitan dalam menerapkan berbagai konsep yang telah didapatkan untuk memecahkan
masalah yang nyata selain itu kehidupan yang nyata sering kali tidak sesuai dengan
pengetahuan yang diajarkan melalui teori saja oleh karena itu diperlukan praktik agar peserta
didik dapat beradaptasi dengan situasi yang berbeda-beda (Fauzi & Wiyono 2013).
Hasil riset menunjukkan bahwa membangun karakter berfikir kritis melalui bahan
pembelajaran Learning to Do itu penting untuk dilakukan karena dengan pembelajaran
Learning to Do siswa dapat melewati tantangan di masa depan yaitu teknologi dan zaman
19

yang selalu bersifat dinamis atau berubah-ubah, siswa juga memiliki kebebasan untuk
melakukan inovasi, bereksplorasi, serta mandiri dan kreatif dalam belajar. Motivasi sangat
diperlukan agar peserta didik memiliki motivasi intrinsik yang tinggi dalam belajar, guru atau
mentor yang kompeten juga memberikan peran yang tak kalah penting dalam dalam
pembelajaran karena guru dapat memberikan bimbingan, arahan, umpan balik, serta motivasi
tambahan bagi peserta didik dalam belajar. Lingkungan belajar yang mendukung diperlukan
untuk menjembatani pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki oleh peserta didik melalui
pengaplikasian pemahaman dengan bertindak secara langsung. Penelitian yang dilakukan di
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Tembilahan memperoleh hasil presentase 66,37% dan
berada pada interval 61-80% yang menunjukkan hasil implementasi pilar-pilar pendidikan
UNESCO sudah “Baik”. Adapun faktor faktor yang mempengaruhi implemestasi pilar-pilar
pendidikan UNESCO meliputi pemahaman guru mengenai pendekatan pilar pendidikan
UNESCO, pengalaman dan latar belakang guru yang beragam, selain itu juga fasilitas
sekolah yang memadai untuk mempraktekkan secara langsung pilar-pilar pendidikan
UNESCO. Keragaman yang dimiliki peserta didik dan alokasi waktu yang kurang menjadi
faktor penghambat implementasi empat pilar pendidikan UNESCO di Sekolah Menengah
Kejuruan Negeri 1 Tembilahan

Kondisi tersebut memberikan kesempatan bagi sekolah sebagai salah satu lembaga
pendidikan untuk menggunakan empat pilar pendidikan UNESCO dalam praktek
pembelajaran di sekolah dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang
menyeluruh dan komprehensif serta mendorong peserta didik untuk tumbuh, berkembang
serta siap menghadapi berbagai tantangan di masa depan dengan kepekaan sosial yang tinggi,
penuh tanggung jawab, bermoral dan tingkat intelektual atau kecerdasan yang tinggi (
Prasetyono and Trisnawati 2018). Terdapat tiga aspek yang perlu dipertimbangkan sekolah
dalam mengimplementasikan empat pilar pendidikan UNESCO yaitu pertama pelatihan guru
yang komprehensif dimana guru harus memiliki pengetahuan beserta keterampilan yang
mumpuni untuk mengimplementasikan empat pilar pendidikan UNESCO yang mencangkup
pemahaman dasar dari prinsip-prinsip empat pilar pendidikan UNESCO, memilih metode
pembelajaran yang sesuai, serta strategi yang tepat untuk memotivasi peserta didik dalam
belajar. Kedua lingkungan belajar yang mendukung, sekolah harus memastikan tersedianya
sumber belajar yang relevan meliputi bahan ajar, buku pelajaran, teknologi pembelajaran, dan
kegiatan ekstrakulikuler yang dapat menjadi wadah pengembangan bakat serta minat yang
dimiliki oleh peserta didik. Ketiga evaluasi dan pemantauan untuk mengukur sejauh mana
20

perkembangan peserta didik dalam berbagai aspek pembelajaran yang sesuai dengan empat
pilar pendidikan UNESCO (Laksana 2016).

6. CONCLUSSION
Bahan Pembelajaran Learning To Do merupakan pilar kedua UNESCO yang
menekankan pentingnya masalah yang muncul. Learning to do ini memiliki peran penting
dalam mengasah kemampuan hard skill dan soft skill seseorang. Konsep learning to do ini
didasarkan pada pendekatan pembelajaran berbasis tindakan, dimana siswa belajar melalui
praktik dan pengalaman nyata. Ada dua kemampuan yang harus diasah pada bahan
pembelajaran learning to do ini yaitu: Kemampuan Hard Skill seperti Penerapan
pengetahuan, keterampilan teknis, praktik dan Latihan dan juga Kemampuan Soft Skill
seperti Kerjasama tim, Problem-Solving, Kreativitas, dan Pengembangan diri.
Faktor pendorong dan penghambat pembelajaran learning to do ini dapat bervariasi
bergantung pada individu, konteks, serta tujuan pembelajaran. Hal ini merupakan faktor
pendorong dalam pembelajaran learning to do yaitu: Motivasi, Lingkungan Pembelajaran
yang mendukung, Guru atau mentor yang kompeten, Relevansi dan Aplikabilitas adanya
faktor pendorong tentu ada juga faktor penghambat pembelajaran learning to do ini yaitu
Kurangnya sumber daya, ketidakpastian dan ketakutan, kurangnya dukungan dan umpan
balik, ketidaknyamanan atau kesulitan.
Adanya pembelajaran learning to do ini juga akan berdampak pada Pendidikan
Indonesia. Ada 2 dampak yang ditimbulkan yaitu dampak positif dan dampak negatif.adanya
dampak positif ini membuat fleksibel dalam pembelajaran karena siswa dapat belajar kapan
saja dan dimana saja, menghemat waktu proses belajar mengajar, mengurangi biaya
perjalanan, menghemat biaya pendidikan, dan dapat melatih pembelajaran lebih mandiri
dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Pada pembelajaran learning to do ini juga akan
berdampak negative yaitu seperti bagi orang yang masih awam masih belum bisa
menggunakan dengan baik, membutuhkan programming yang sulit sehingga pembuatannya
cukup lama, membutuhkan infrastruktur yang baik sehingga membutuhkan biaya besar,
sumber daya manusia sangat terbatas sehingga tidak semua orang bisa menggunakannya.
21

7. REFERENCES

Alfan Kurniawan, N., Saputra, R., Aiman, U., & Kurnia Sari, D. (2020). Urgensi Pendidikan
Berpikir Kritis Era Merdeka Belajar bagi Peserta Didik. Jurnal Ilmu Pendidikan, 16(1),
104–109.

Al, S., Sekolah, A., Agama, T., Negeri, I., Nurhalin, B., Tinggi, S., Islam, A., & Bengkalis,
N. (2021). Peran Pendidikan Karakter dalam Membentuk Kemampuan Berfikir Kritis
Generasi Muda Indonesia (Vol. 1, Issue 1).
http://ejournal.kampusmelayu.ac.id/index.php/kaisa

Dewi, M., & Simanjuntak, R. (2019). MEMBANGUN KETRAMPILAN 4 C SISWA


DALAM MENGHADAPI REVOLUSI INDUSTRI 4.0. In Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Vol. 3).
http://semnasfis.unimed.ac.id2549-435x

Ekonomi, J. P., Metro, U. M., Putri, Y. E., Nuraina, E., & Styaningrum, F. (n.d.).
PENINGKATAN KUALITAS HARD SKILL DAN SOFT SKILL MELALUI
PENGEMBANGAN PROGRAM TEACHING FACTORY (TEFA) DI SMK MODEL
PGRI 1 MEJAYAN.

Fardani, Z., & Surya, E. (n.d.). MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS


DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MEMBANGUN KARAKTER
BANGSA.

Ganggowati SPd, E., & Negeri, S. (n.d.). PENINGKATAN HARD SKILL DAN HASIL
BELAJAR SISWA KELAS XI ADMINISTRASI PERKANTORAN PADA MATA
PELAJARAN SARANA PRASARANA MELALUI KEGIATAN UNIT PRODUKSI
Studikasus di SMK NEGERI 1 BOYOLALI SEMESTER I TAHUN 2016/2017.

Hasan, M., & Yarmi, G. (2018). Prosiding Seminar dan Diskusi Nasional Pendidikan Dasar.

Hudoyo, S. (n.d.). PELATIHAN DASAR-DASAR PRODUKSI FILM FIKSI PENDEK


BERBASIS HERITAGE CITY BAGI SISWA SMA NU 1 GRESIK JAWA TIMUR.

INTEGRASI_EMPAT_PILAR_PENDIDIKAN_MENURUT_UNESCO. (n.d.).

Karakter, P., Dan, K., Melalui, K., Bahasa, P., Keteladanan, D., & Bahasa, G. (n.d.). Bahasa
dan Sastra Indonesia dalam Konteks Global PS PBSI FKIP Universitas Jember |
Seminar Nasional 645.

Laksana, S. D. (n.d.). INTEGRASI EMPAT PILAR PENDIDIKAN (UNESCO) DAN TIGA


PILAR PENDIDIKAN ISLAM.

Marza, A., Dhita, A. W., & Putri, W. (n.d.). PERAN ORGANISASI DALAM
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI HARD SKILL DAN SOFT SKILL
ANGGOTAPERHUMAS MUDA YOGYAKARTA STIKOM THE LONDON SCHOOL OF
PUBLIC RELATIONS JAKARTA Postgraduate Programme.
http://www.bakosurtanal.go.id/
22

Muhmin, A. H. (2018). Pentingnya Pengembangan Soft Skills Mahasiswa di Perguruan


Tinggi Forum Ilmiah (Vol. 15).

Nindi, L., Marfu’i Departemen, R., Pendidikan, P., Bimbingan, D., & Pascasarjana, S.
(2016). Upaya Pendukung Pembelajaran Literasi Dengan Mengasah Kemampuan
Berpikir Kritis Melalui Teknik Bibliolearning Pada Siswa (Lucky Nindi Riandika
Marfu’i) UPAYA PENDUKUNG PEMBELAJARAN LITERASI DENGAN
MENGASAH KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MELALUI TEKNIK
BIBLIOLEARNING PADA SISWA. In Jurnal Ilmiah Mitra Swara Ganesha (Vol. 3,
Issue 2).

Penelitian, J., Ilmu, P., & Suluh, M. (2018). LITPAM, Nusa Tenggara Barat, Indonesia
Perspektif Pendidikan Nasional. Jurnal Penelitian Dan Pengkajian Ilmu Pendidikan: E-
Saintika, 2(1), 1.

Priscilla, C., & Yudhyarta, D. Y. (2021). Implementasi Pilar-Pilar Pendidikan UNESCO.


Asatiza: Jurnal Pendidikan, 2(1), 64–76. https://doi.org/10.46963/asatiza.v2i1.258

Ramdani, R., Rofiqah, T., Khairat, I., Saragi, M. P. D., & Saputra, R. (2020). The Role Of
School Counselors To Helping Student in Puberty Through The Collaborative Paradigm.
ENLIGHTEN (Jurnal Bimbingan Dan Konseling Islam), 3(1), 10–18.
https://doi.org/10.32505/enlighten.v3i1.1528

Sains berbasis Kearifan Lokal, P., Fauzi, A., & Wiyono, E. (n.d.). Seminar Nasional Fisika
dan Pendidikan Fisika POTRET PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS EMPAT PILAR
PENDIDIKAN DI SMA.

Suarniati, N. W., Wayan Ardhana, I., Hidayah, N., & Handarini, D. M. (2019). The
Difference between the effects of problem-based learning strategy and conventional
strategy on vocational school students’ critical thinking skills in civic education.
International Journal of Learning, Teaching and Educational Research, 18(8), 155–167.
https://doi.org/10.26803/ijlter.18.8.10

Yusron, A., & Mufti, A. (2016). SOFT SKILL BAGI GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM.
13(1).

121253-ID-memberdayakan-kemampuan-berpikir-kritis(1). (n.d.).
23

Anda mungkin juga menyukai