Abstrak
Kehidupan abad 21 adalah kehidupan yang tanpa henti, globalisasi, serta
eksplorasi teknologi yang sangat mudah. Era ekonomi digital abad 21
membutuhkan tenaga kerja yang berpengetahuan dan berpengalaman luas,
terampil, dan inovatif. Karena itu, siswa harus mampu menyelesaikan
berbagai masalah dengan kekuatan daya yang unggul untuk siap terjun ke
masyarakat global atau disebut era zaman sekarang. Untuk mengatasi sebuah
tantangan ini, siswa perlu dibekali keterampilan saat abad 21 yang memiliki
empat komponen utama yaitu keterampilan literasi digital, berpikir berdaya
cipta, berkemampuan komunikasi yang efektif, dan produktivitas yang tinggi
serta terampil. Dalam keempat komponen tersebut, kemampuan berpikir kritis
termasuk dalam komponen berpikir berdaya cipta. Kemampuan dan kekuatan
berpikir kritis sangat penting bagi para siswa untuk memecahkan berbagai
masalah yang muncul dengan penalaran yang logis dan solusi yang tepat.
Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, diperlukan peran tenaga
2
1. INTRODUCTION
Pendidikan adalah terjadinya suatu upaya peninggalan nilai-nilai yang bisa disebut
dengan tranformasi yang meliputi segala aspek. Salah satu penyebab meningkatnya kualitas
belajar siswa ialah pendidikan dan pengajaran, sebagai suatu usaha untuk meningkatkan
kualitas pendidikan dan pengajaran diperlukan sebuah pondasi yang kokoh untuk
memperoleh pembelaaran tersebut (Simanjutak 2019). Kejadian dalam pendidikan yang
sering kita jumpai dalam bentuk media elektronik maupun media cetak itu merupakan salah
satu bentuk diabaikannya sebuah pondasi dalam pendidikan karena itu sumberdaya manusia
di Negara kita belum bisa di sebut berkualitas (Sahmiatik & Basri, 2022).
Ada beberapa pondasi yang digagas oleh UNESCO yang biasanya kita sebut empat
pilar pendidikan, dan dalam pendidikan islam juga ada istilah tiga pilar yakni pendidikan
tauhid, pendidikan ahlak, dan pendidikan ibadah. Perlu kita ketahui, pelajari dan kita terapkan
mengenai pondasi pembelajaran yang tercantum dalam empat pilar. UNESCO menggagas
empat pilar pendidikan terdiri dari : 1) Learning to know (belajar mengetahui) 2) Learning to
do (belajar untuk melakukan) 3) Learning to be (belajar untuk mengaktualisasikan diri
sendiri) 4) Learning to live together (belajar untuk hidup bersama) (Sumiati 2017).
Artikel ini membahas salah satu dari empat pilar diatas yakni Learning to do (belajar
melakukan) ini salah satu pilar yang memberdayakan siswa agar mampu memperkaya
pengalaman belajar. Pilar ini dapat diartikan untuk tempat pertama peserta didik
mengaplikasikan apa yang pernah dipelajari atau biasanya dikenal sebagai praktek. Jadi siswa
3
tidak hanya tahu tapi juga menerjuni proses belajar. Maksud sebagai suatu cara penyampaian
bahan ajar oleh guru yang dilakukan dengan melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan
belajar dan sekaligus mengaktifkan seluruh aspek yang ada dalam diri siswa.
Diharapkan dengan adanya empat pilar ini dapat menjawab problematika pendidikan
yang ada di negara kita, dan dapat membentuk siswa yang dapat berkarya, mandiri,
bersosialisasi baik dengan masyarakat. Apabila ke-empat pilar pendidikan tersebut dapat
diterapkan dengan baik tidak hanya pendidikan di Indonesia yang berkembang namun itu
dapat membekali peserta didik untuk hidup di masyarakat dengan berbagai etnis, ras, suku,
dan agama.
2. LITERATURE REVIEW
2.1. Integrasi dan Urgensi Bahan Pembelajaran Learning To Do untuk Membentuk
Siswa Berfikir Kritis
Kemampuan berpikir kritis
Pembelajaran literasi visual yang mengandalkan sumber visual dan cara berpikir
visual sehingga hasil belajar lebih kuat dan bermakna meaningful learning menurut teori
belajar David P. Ausubel jika informasi yang dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur
kognisi siswa sehingga siswa dapat mengaitkan informasi baru dengan struktur kognisi yang
dimilikinya. Struktur kognisi adalah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi. Literasi
visual adalah kemampuan untuk membuat pesan-pesan visual dan untuk "membaca"
pesanpesan yang ada dalam komunikasi visual; untuk memahami, memahami, menafsirkan,
dan, pada akhirnya, untuk mengevaluasi lingkungan visual seseorang (Shukor, 2001).
E – learning merupakah salah satu model pembelajaran berbasis visual, yang saat ini banyak
diterapkan guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas.
Berpikir kritis merupakan salah satu karakter yang akhir-akhir ini memang menjadi
isu pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa.
Kemampuan berpikir kritis juga diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang berbunyi “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi
serta bertanggung jawab.” (Indradi 2016).
Berpikir kritis bagi peserta didik penting dimiliki pada setiap tingkat satuan
pendidikan (Hidayah, 2015; Suarniati et al., 2019, 2018). Dalam Pendidikan era merdeka
5
belajar mendorong peserta didik untuk mengelola materi belajar secara mandiri, oleh karena
itu peran konselor sangat dibutuhkan untuk membentuk kemadnirian belajar (Ramdani, et, al,
2020), dan juga hal ini menyebabkan keterbatasan tatap muka dengan guru mata pelajaran.
Pendidikan berpikir kritis menurut Presiden Barak Obama dalam State of the Union Address
pada tahun 2014 menetapkan pemikiran kritis sebagai salah satu dari enam tujuan dasar
pendidikan. Aktivitas pendidikan berpikir kritis tersebut tentu perlu didukung dengan
kemampuan kognisi yang baik oleh setiap peserta didik.
Dorong siswa untuk menggunakan logika dan penalaran dalam proses berpikir
mereka. Ajarkan mereka tentang dasar-dasar argumen yang baik, kesalahan logika umum,
dan bagaimana membuat kesimpulan yang didukung oleh bukti yang kuat.
6. Evaluasi kritis sumber informasi
Mengajarkan siswa untuk menjadi cerdas dalam mengonsumsi informasi adalah
keterampilan yang sangat penting. Ajarkan mereka bagaimana mengevaluasi keandalan
dan kredibilitas sumber informasi, serta bagaimana membedakan antara fakta dan opini.
7. Berikan umpan balik konstruktif
Beri siswa umpan balik yang konstruktif tentang pemikiran dan karya mereka.
Dorong mereka untuk memikirkan secara kritis tentang umpan balik yang diberikan dan
menggunakan itu sebagai peluang untuk tumbuh dan meningkatkan keterampilan berfikir
kritis mereka.
8. Modelkan pemikiran kritis
Sebagai pendidik, perlihatkan kepada siswa contoh pemikiran kritis dalam tindakan.
Berbagi bagaimana Anda secara aktif berpikir, mempertanyakan, dan mengevaluasi
informasi. Ini memberikan contoh yang jelas tentang bagaimana berfikir kritis dalam
praktek sehari-hari. (Fardani & Surya 2017)
Membangun karakter siswa yang berfikir kritis membutuhkan waktu dan dedikasi.
Penting untuk memberikan siswa kesempatan untuk ber karya.
2.3. Membangun Karakter Siswa Berfikir Kritis dalam Mempraktikkan Pembelajaran
Yang Telah Diikuti
Pendidikan karakter merupakan upaya yang digunakan untuk menanamkan dan
mengembangkan nilai-nilai kebaikan dalam rangka memanusiakan sesama manusia,
meningkatkan akhlak dan melatih kecerdasan pada diri peserta didik, untuk menciptakan
generasi karakter yang berguna, dan dapat memberikan manfaat kepada lingkungan. Dalam
sebuah proses pendidikan karakter perlu adanya perubahan pada segi cara berpikir dan cara
berperilaku di lingkungan sekitar (Hudoyo 2017).
Berpikir kritis adalah proses berpikir intelektual di mana pemikir sengaja menilai
kualitas pemikirannya, pemikir menggunakan pemikiran yang reflektif, mandiri, jelas dan
rasional. Untuk mendorong generasi muda berpikir kritis, diperlukan adanya peningkatan
pendidikan karakter. Untuk memantapkan pelaksanaan pendidikan karakter, telah
diidentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan
nasional, yaitu: (1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja keras; (6) Kreatif;
7
(7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa ingin tahu, (10) Semangat kebangsaan, (11) Cinta
tanah air; (12) Menghargai prestasi, (13) Komunikatif; (14) Cinta damai; (15) suka membaca;
16) Peduli lingkungan; (17) kepedulian sosial; dan (18) Tanggung jawab (Asadullah 2021).
Efektif dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada setiap
pemuda, dan pembelajaran ini memiliki aturan penting dalam pembentukan suatu keputusan
klinis, pemecahan masalah, produksi dalam pengetahuan, motivasi, evaluasi diri serta bisa
mempermudah dalam pemberdayaan pemberian bimbingan belajar pada jangka panjang
(Marfu’I 2016). Selain itu, perlu adanya pemberitahuan yang mendalam mengenai manfaat
terbangunnya karakter siswa agar menjadi panutan yang baik dalam pemikiran kritis disebuah
tempat pemraktekan pembelajaran siswa.
3. METHOD
Berfikir kritis merupakan salah satu keterampilan yang perlu ditumbuhkan pada
peserta didik karena dengan berfikir kritis peserta didik dapat menyelesaikan masalahnya
dengan baik, berani, kreatif, dan inovatif. Membangun karakter berfikir kritis melalui bahan
pembelajaran Learning to Do (Belajar Melakukan Sesuatu) dipilih sebagai sasaran riset
karena tiga alasan. Pertama pembelajaran Learning to Do mengarahkan peserta didik dalam
hal pemberian kemampuan untuk menjangkau kebutuhan masa depan yang selalu berubah-
ubah. Berfikir secara kritis dan memperhatikan dengan cermat kemajuan beserta perubahan-
perubahan yang terjadi maka akan membantu peserta didik dalam menghadapi masa depan
yang tidak pasti. Lapangan kerja dimasa depan tentu akan membutuhkan kemampuan untuk
mengubah kemajuan sehingga pengetahuan tersebut dapat menciptakan usaha serta pekerjaan
baru yang lain.
Kedua pendidikan membekali individu bukan hanya untuk mengetahui, namun juga
untuk terampil dalam mengerjakan sesuatu yang memberikan makna bagi kehidupannya.
Sasaran dari pilar Learning to Do oleh UNESCO ini adalah kemampuan kerja bagi generasi
muda dengan tujuan mendukung dan membangun era ekonomi industri. Ketiga lembaga
pendidikan seperti sekolah hendaknya memberikan fasilitas bagi siswanya untuk
mengekspresikan pemikiran kritisnya dalam keterampilan, bakat, serta minat yang
dimilikinya agar pilar Learning to Do ini dapat terealisasikan.
Penelitian ini melibatkan siswa, guru, dan orangtua sebagaimana yang dipaparkan
dalam media online (gambaran tersebut diperoleh dari jurnal-jurnal dan artikel online) dari
beberapa hasil penelitian diungkapkan bahwa terdapat peningkatan efektivitas pembelajaran
8
berbasis empat pilar pendidikan terhadap kemampuan berpikir kritis. Penelitian oleh Kiswati
(2012) juga menyatakan bahwa pengembangan menggunakan bahan ajar yang berbasis empat
pilar UNESCO mendapatkan respon dan ketertarikan siswa dalam belajar. Dalam
pembelajaran Learning to Do guru berperan dalam memfasilitasi pengalaman belajar siswa
yang berorientasi pada tindakan. Guru dapat memberikan bahan ajar, menyusun proyek, serta
kegiatan praktik dalam menerapkan apa yang telah dipelajari oleh peseta didik, guru sebagai
pengajar juga harus memberikan contoh nyata tentang baimana seharusnya keterampilan
tersebut dilakukan seperti memberikan demonstrasi, langkah-langkah yang harus diikuti, dan
contoh kasus dalam mengambarkan keterampilan yang sedang dipelajari. Orang tua dapat
mendukung pengalaman belajar secara praktis dimana anak diberikan motivasi untuk
mengambil tanggung jawab dalam melakukan tugas yang relevan dengan kehidupan sehari-
hari.
Dalam penulisan artikel ini, untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan,
penulis menggunakan metode studi pustaka. Adapun Langkah Langkah metode studi pustaka
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah (a) menyiapkan alat beserta perlengkapan yang
dibutuhkan, (b) mempersiapkan sumber-sumber rujukan, (c) mengatur waktu, (d) membaca
dan mencatat hasil dari penelitian. Dalam penelitian ini sumber-sumber data di dapatkan dari
berbagai literatur seperti buku-buku, majalah, koran, serta artikel dan jurnal-jurnal online
yang relevan dengan topik yang sedang dibahas. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan mencari data mengenai beberapa hal atau variabel yang
berupa catatan, dari buku, jurnal, artikel, dan lain sebagainya. Teknik analisis data
menggunakan metode analisis isi yang digunakan dengan tujuan untuk menjaga kebenaran
proses pengkajian dan mencegah kesalah pengartian informasi karena terbatasnya
pengetahuan dari peneliti.
4. RESULT
4.1 Peran Learning To Do dalam Mengasah Kemampuan Hard Skil dan Soft Skill
Pada pilar kedua UNESCO yaitu learning to do yang menekankan pentingnya
pemecahan masalah yang muncul. Untuk memperkuat pilar ini dibutuhkan soft skill dan hard
skill. Hal ini dikarenakan pendidikan sebenarnya merupakan bagian penting dari
pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan demikian, learning to do
memiliki peran penting dalam mengasah kemampuan hard skill dan soft skill seseorang
(Muhmin, 2018). Konsep learning to do didasarkan pada pendekatan pembelajaran berbasis
tindakan, di mana siswa belajar melalui praktik dan pengalaman nyata.
9
1. Kerjasama tim
Dalam learning to do, siswa sering bekerja dalam kelompok atau tim untuk
menyelesaikan proyek atau tugas tertentu. Ini membantu mengembangkan
keterampilan kerjasama, komunikasi, dan kepemimpinan yang diperlukan dalam
bekerja dengan orang lain. Kerja sama tim adalah aspek penting dalam proses
learning to do atau pembelajaran untuk melakukan tugas atau kegiatan tertentu.
2. Problem-solving
Melalui pembelajaran berbasis tindakan, siswa dihadapkan pada situasi dunia
nyata yang membutuhkan pemecahan masalah. Mereka belajar untuk
10
menghasilkan pembelajaran mereka lebih dari umpan balik saja atau umpan balik
dalam kombinasi.
Tabel 1. Persentase siswa dengan penalaran yang benar pada selama sesi
preetest dan pelatihan
Sesi Explain experimenter’s Explain own Feedback only
answer answer
pretest 50 49 43
1 60 49 40
2 73 55 49
3 75 55 60
4 70 55 55
Grafik 1. Persentase siswa dengan penalaran yang benar pada selama sesi
preetest dan pelatihan
Dari tabel dan grafik di atas dapat kita lihat bahwa keuntungan diferensial
terbesar terjadi pada masalah yang paling sulit sampai masalah di mana
mengandalkan petunjuk panjang mengarah pada jawaban yang salah. siswa yang
menjelaskan penilaian peneliti dalam transformasi numerik yang telah dilakukan
dalam belajar, jauh lebih banyak daripada siswa yang menghasilkan jenis penjelasan
lain atau mereka yang tidak dapat menghasilkan penjelasan apa pun untuk untuk
penilaian eksperimen.
2. Makna merdeka belajar bagi guru dan siswa
12
Dalam konsep merdeka belajar, siswa dilibatkan secara langsung dalam proses
pembelajaran untuk menentukan tujuan, memberikan berbagai macam pilihan cara, kemudian
proses dan hasil belajar tadi direfleksi (Delita, Elfayetti and Sidauruk, 2016). Kebebasan
berpikir ini merupakan kebebasan berpikir untuk memfasilitasi pembentukkan karakter jiwa
yang mandiri antara guru dan siswa sehingga dapat menggali pengetahuan, sikap dan
keterampilan untuk mengembangkan potensinya. Merdeka belajar yang dilakukan dalam
proses pembelajaran memiliki makna dan implikasi baik bagi guru maupun siswa.
Merdeka belajar menurut Moesly yang dikutip Saleh menyatakan bahwa merdeka
adalah kondisi pikiran. Pikiran dapat memahami makna dan mengarah pada kemerdekaan dan
kegiatan pembebasan. Jika guru memahami konsep merdeka belajar yang tepat maka akan
tepat pula seorang guru dalam pelaksanaannya. Prayogo dalam Widiyono menyebut bahwa
esensi dari merdeka belajar ini adalah menggali potensi terbesar guru dan siswa untuk
berinovasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran secara mendiri. Kebijakan merdeka
belajar yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim,
menitikberatkan pada kegiatan pembelajaran di lembaga pendidikan formal yang ingin
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan tanpa membebani kelas atau grade tertentu.
Pada dasarnya, keinginan ini bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan. Siti
Menurut Mustagfiroh, terdapat kesesuaian antara konsep kebijakan merdeka belajar dengan
konsep pendidikan aliran filsafat progresivisme John Dewey Keduanya menekankan pada
fleksibilitas lembaga pendidikan untuk menggali keterampilan dan kemungkinan peserta
didik yang secara alamiah memiliki keterampilan dan potensi yang berbeda. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa makna merdeka belajar bagi siswa sebagai berikut:
Tentunya hal-hal tersebut sangat bergantung pada peran guru dan lingkungan sekolah
dalam prosesnya. Karena kalau pada diri guru saja tidak terjadi, lalu apalagi pada diri siswa.
Dengan kombinasi learning to do yang berfokus pada pengembangan hard skill dan soft skill,
siswa dapat memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk sukses di dunia kerja dan
kehidupan sehari-hari ( Marza, Wulandari and Putri, 2018). Keterampilan hard skill
membantu mereka dalam menjalankan tugas-tugas spesifik dalam pekerjaan mereka.
Sementara soft skill membantu mereka beradaptasi, bekerja sama dengan orang lain, dan
berkembang dalam karir mereka.
1 SD 1,5 Juta
2 SMP 669.038
3 SMA 334.076
4 SMK 322.538
5 TK 261.735
7 PAUD/Sejenis 46.930
8 PKBM 34.067
Penting untuk diingat bahwa faktor-faktor pendorong dan penghambat ini dapat
bervariasi secara individual. Sebagai pembelajar, penting untuk mengenali faktor-faktor ini
dan berusaha mengatasi hambatan yang mungkin terjadi (Priscilla and Yudhyarta 2021).
Setelah dapat hambatan yang mungkin terjadi kita akan bisa mencetak kualitas pendidikan
yang baik di mata dunia.
1. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi yang konkrit yang
tidak terbatas pada penguasaan keterampilan yang mekanistis melainkan juga terampil
dalam berkomusikasi, bekerja sama, mengelola dan mengatasi suatu konflik.
18
5. DISCUSSION
Berbagai permasalahan yang dialami oleh peserta didik jika hanya mengetahui teori
tanpa adanya praktek adalah keterbatasan dalam keterampilan praktis, beberapa bidang studi
tentu membutuhkan keterampilan praktis yang tidak dapat diperoleh hanya dari teori saja
misalnya pembelajaran sains dimana peserta didik memerlukan sebuah eksperimen maupun
proyek nyata untuk mengembangkan keterampilan praktek yang dibutuhkan. Tanpa adanya
praktek peserta didik akan kesulitan dalam mengembangkan keterampilan problem solving
atau pemecahan masalah, jika hanya mengetahui teori saja peserta didik akan mengalami
kesulitan dalam menerapkan berbagai konsep yang telah didapatkan untuk memecahkan
masalah yang nyata selain itu kehidupan yang nyata sering kali tidak sesuai dengan
pengetahuan yang diajarkan melalui teori saja oleh karena itu diperlukan praktik agar peserta
didik dapat beradaptasi dengan situasi yang berbeda-beda (Fauzi & Wiyono 2013).
Hasil riset menunjukkan bahwa membangun karakter berfikir kritis melalui bahan
pembelajaran Learning to Do itu penting untuk dilakukan karena dengan pembelajaran
Learning to Do siswa dapat melewati tantangan di masa depan yaitu teknologi dan zaman
19
yang selalu bersifat dinamis atau berubah-ubah, siswa juga memiliki kebebasan untuk
melakukan inovasi, bereksplorasi, serta mandiri dan kreatif dalam belajar. Motivasi sangat
diperlukan agar peserta didik memiliki motivasi intrinsik yang tinggi dalam belajar, guru atau
mentor yang kompeten juga memberikan peran yang tak kalah penting dalam dalam
pembelajaran karena guru dapat memberikan bimbingan, arahan, umpan balik, serta motivasi
tambahan bagi peserta didik dalam belajar. Lingkungan belajar yang mendukung diperlukan
untuk menjembatani pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki oleh peserta didik melalui
pengaplikasian pemahaman dengan bertindak secara langsung. Penelitian yang dilakukan di
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Tembilahan memperoleh hasil presentase 66,37% dan
berada pada interval 61-80% yang menunjukkan hasil implementasi pilar-pilar pendidikan
UNESCO sudah “Baik”. Adapun faktor faktor yang mempengaruhi implemestasi pilar-pilar
pendidikan UNESCO meliputi pemahaman guru mengenai pendekatan pilar pendidikan
UNESCO, pengalaman dan latar belakang guru yang beragam, selain itu juga fasilitas
sekolah yang memadai untuk mempraktekkan secara langsung pilar-pilar pendidikan
UNESCO. Keragaman yang dimiliki peserta didik dan alokasi waktu yang kurang menjadi
faktor penghambat implementasi empat pilar pendidikan UNESCO di Sekolah Menengah
Kejuruan Negeri 1 Tembilahan
Kondisi tersebut memberikan kesempatan bagi sekolah sebagai salah satu lembaga
pendidikan untuk menggunakan empat pilar pendidikan UNESCO dalam praktek
pembelajaran di sekolah dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang
menyeluruh dan komprehensif serta mendorong peserta didik untuk tumbuh, berkembang
serta siap menghadapi berbagai tantangan di masa depan dengan kepekaan sosial yang tinggi,
penuh tanggung jawab, bermoral dan tingkat intelektual atau kecerdasan yang tinggi (
Prasetyono and Trisnawati 2018). Terdapat tiga aspek yang perlu dipertimbangkan sekolah
dalam mengimplementasikan empat pilar pendidikan UNESCO yaitu pertama pelatihan guru
yang komprehensif dimana guru harus memiliki pengetahuan beserta keterampilan yang
mumpuni untuk mengimplementasikan empat pilar pendidikan UNESCO yang mencangkup
pemahaman dasar dari prinsip-prinsip empat pilar pendidikan UNESCO, memilih metode
pembelajaran yang sesuai, serta strategi yang tepat untuk memotivasi peserta didik dalam
belajar. Kedua lingkungan belajar yang mendukung, sekolah harus memastikan tersedianya
sumber belajar yang relevan meliputi bahan ajar, buku pelajaran, teknologi pembelajaran, dan
kegiatan ekstrakulikuler yang dapat menjadi wadah pengembangan bakat serta minat yang
dimiliki oleh peserta didik. Ketiga evaluasi dan pemantauan untuk mengukur sejauh mana
20
perkembangan peserta didik dalam berbagai aspek pembelajaran yang sesuai dengan empat
pilar pendidikan UNESCO (Laksana 2016).
6. CONCLUSSION
Bahan Pembelajaran Learning To Do merupakan pilar kedua UNESCO yang
menekankan pentingnya masalah yang muncul. Learning to do ini memiliki peran penting
dalam mengasah kemampuan hard skill dan soft skill seseorang. Konsep learning to do ini
didasarkan pada pendekatan pembelajaran berbasis tindakan, dimana siswa belajar melalui
praktik dan pengalaman nyata. Ada dua kemampuan yang harus diasah pada bahan
pembelajaran learning to do ini yaitu: Kemampuan Hard Skill seperti Penerapan
pengetahuan, keterampilan teknis, praktik dan Latihan dan juga Kemampuan Soft Skill
seperti Kerjasama tim, Problem-Solving, Kreativitas, dan Pengembangan diri.
Faktor pendorong dan penghambat pembelajaran learning to do ini dapat bervariasi
bergantung pada individu, konteks, serta tujuan pembelajaran. Hal ini merupakan faktor
pendorong dalam pembelajaran learning to do yaitu: Motivasi, Lingkungan Pembelajaran
yang mendukung, Guru atau mentor yang kompeten, Relevansi dan Aplikabilitas adanya
faktor pendorong tentu ada juga faktor penghambat pembelajaran learning to do ini yaitu
Kurangnya sumber daya, ketidakpastian dan ketakutan, kurangnya dukungan dan umpan
balik, ketidaknyamanan atau kesulitan.
Adanya pembelajaran learning to do ini juga akan berdampak pada Pendidikan
Indonesia. Ada 2 dampak yang ditimbulkan yaitu dampak positif dan dampak negatif.adanya
dampak positif ini membuat fleksibel dalam pembelajaran karena siswa dapat belajar kapan
saja dan dimana saja, menghemat waktu proses belajar mengajar, mengurangi biaya
perjalanan, menghemat biaya pendidikan, dan dapat melatih pembelajaran lebih mandiri
dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Pada pembelajaran learning to do ini juga akan
berdampak negative yaitu seperti bagi orang yang masih awam masih belum bisa
menggunakan dengan baik, membutuhkan programming yang sulit sehingga pembuatannya
cukup lama, membutuhkan infrastruktur yang baik sehingga membutuhkan biaya besar,
sumber daya manusia sangat terbatas sehingga tidak semua orang bisa menggunakannya.
21
7. REFERENCES
Alfan Kurniawan, N., Saputra, R., Aiman, U., & Kurnia Sari, D. (2020). Urgensi Pendidikan
Berpikir Kritis Era Merdeka Belajar bagi Peserta Didik. Jurnal Ilmu Pendidikan, 16(1),
104–109.
Al, S., Sekolah, A., Agama, T., Negeri, I., Nurhalin, B., Tinggi, S., Islam, A., & Bengkalis,
N. (2021). Peran Pendidikan Karakter dalam Membentuk Kemampuan Berfikir Kritis
Generasi Muda Indonesia (Vol. 1, Issue 1).
http://ejournal.kampusmelayu.ac.id/index.php/kaisa
Ekonomi, J. P., Metro, U. M., Putri, Y. E., Nuraina, E., & Styaningrum, F. (n.d.).
PENINGKATAN KUALITAS HARD SKILL DAN SOFT SKILL MELALUI
PENGEMBANGAN PROGRAM TEACHING FACTORY (TEFA) DI SMK MODEL
PGRI 1 MEJAYAN.
Ganggowati SPd, E., & Negeri, S. (n.d.). PENINGKATAN HARD SKILL DAN HASIL
BELAJAR SISWA KELAS XI ADMINISTRASI PERKANTORAN PADA MATA
PELAJARAN SARANA PRASARANA MELALUI KEGIATAN UNIT PRODUKSI
Studikasus di SMK NEGERI 1 BOYOLALI SEMESTER I TAHUN 2016/2017.
Hasan, M., & Yarmi, G. (2018). Prosiding Seminar dan Diskusi Nasional Pendidikan Dasar.
INTEGRASI_EMPAT_PILAR_PENDIDIKAN_MENURUT_UNESCO. (n.d.).
Karakter, P., Dan, K., Melalui, K., Bahasa, P., Keteladanan, D., & Bahasa, G. (n.d.). Bahasa
dan Sastra Indonesia dalam Konteks Global PS PBSI FKIP Universitas Jember |
Seminar Nasional 645.
Marza, A., Dhita, A. W., & Putri, W. (n.d.). PERAN ORGANISASI DALAM
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI HARD SKILL DAN SOFT SKILL
ANGGOTAPERHUMAS MUDA YOGYAKARTA STIKOM THE LONDON SCHOOL OF
PUBLIC RELATIONS JAKARTA Postgraduate Programme.
http://www.bakosurtanal.go.id/
22
Nindi, L., Marfu’i Departemen, R., Pendidikan, P., Bimbingan, D., & Pascasarjana, S.
(2016). Upaya Pendukung Pembelajaran Literasi Dengan Mengasah Kemampuan
Berpikir Kritis Melalui Teknik Bibliolearning Pada Siswa (Lucky Nindi Riandika
Marfu’i) UPAYA PENDUKUNG PEMBELAJARAN LITERASI DENGAN
MENGASAH KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MELALUI TEKNIK
BIBLIOLEARNING PADA SISWA. In Jurnal Ilmiah Mitra Swara Ganesha (Vol. 3,
Issue 2).
Penelitian, J., Ilmu, P., & Suluh, M. (2018). LITPAM, Nusa Tenggara Barat, Indonesia
Perspektif Pendidikan Nasional. Jurnal Penelitian Dan Pengkajian Ilmu Pendidikan: E-
Saintika, 2(1), 1.
Ramdani, R., Rofiqah, T., Khairat, I., Saragi, M. P. D., & Saputra, R. (2020). The Role Of
School Counselors To Helping Student in Puberty Through The Collaborative Paradigm.
ENLIGHTEN (Jurnal Bimbingan Dan Konseling Islam), 3(1), 10–18.
https://doi.org/10.32505/enlighten.v3i1.1528
Sains berbasis Kearifan Lokal, P., Fauzi, A., & Wiyono, E. (n.d.). Seminar Nasional Fisika
dan Pendidikan Fisika POTRET PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS EMPAT PILAR
PENDIDIKAN DI SMA.
Suarniati, N. W., Wayan Ardhana, I., Hidayah, N., & Handarini, D. M. (2019). The
Difference between the effects of problem-based learning strategy and conventional
strategy on vocational school students’ critical thinking skills in civic education.
International Journal of Learning, Teaching and Educational Research, 18(8), 155–167.
https://doi.org/10.26803/ijlter.18.8.10
Yusron, A., & Mufti, A. (2016). SOFT SKILL BAGI GURU DALAM PENDIDIKAN ISLAM.
13(1).
121253-ID-memberdayakan-kemampuan-berpikir-kritis(1). (n.d.).
23