Anda di halaman 1dari 9

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem Pendidikan Nasional yang ada pada saat ini kehilangan jati dirinya.
Hal ini berdasarkan pada fakta bahwa, Ki Hajar Dewantara yang notabene
merupakan Bapak Pendidikan Nasional memiliki pendapat bahwa pendidikan
sifatnya adalah mengoptimalkan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing
Individu, namun sistem yang diterapkan di Indonesia tidak mengakomodir
pendapat tersebut karena pada faktanya Indonesia masih menerapkan sistem Tes
yang menyeluruh, contohnya adalah sistem ujian nasional. Sistem ini memiliki
ruang lingkup untuk mengukur sesorang dari satu sudut yang sama, hal ini
tentunya berbanding terbalik dengan pendapat Ki Hajar Dewantara yang lebih
menekankan pada optimalisasi setiap potensi masing-masing Individu atau biasa
disebut sebagai pendidikan Humanis.
Pendidikan Nasional yang seharusnya bersifat Humanis atau
memanusiakan manusia dari segi pengembangan kompetensi secara utuh menjadi
pendidikan yang bersifat Individualis dan materialis, hal ini terlihat dari adanya
tuntutan hasil belajar yang hanya berorientasi pada aspek pengetahuan dan seakan
mengabaikan dua aspek yang lain yakni afektif dan psikomotorik. Faktanya
pendidikan yang berkembang pada saat ini hanya pendidikan yang menumbuhkan
egosentrik yang berdasar pada pencapaian intelektualitas semata serta
mendiskrimasikan pencapaian karakter, sikap, dan budaya. Contohnya adalah
mulai kurangnya rasa sopan santun siswa terhadap guru, cara bertutur kata yang
tidak tepat, dan etika berperilaku yang tidak tepat sesuai dengan usianya.
Pendidikan pada hakikatnya bukan hanya berada pada ruang lingkup
intelektualitas semata, melainkan pendidikan merupakan tempat menempa
seseorang menjadi orang berguna bagi masyarakatnya. Pendidikan bukan hanya
tentang bagaimana seseorang dapat menyelesaikan soal atau ujian, tetapi lebih
kepada bagaimana seseorang itu dapat memberikan peran aktif guna memberikan
solusi terhadap suatu permasalahan dengan menggunakan dasar pengetahuan yang
dimiliki. Oleh karenanya pendidikan haruslah memberikan suatu pengalaman

1
library.uns.ac.id 2
digilib.uns.ac.id

belajar yang bermakna. Sebagaimana dijelakan oleh Anderson dan Krathwohl


(2015:97) bahwa belajar yang bermakna menghadirkan pengetahuan dan proses-
proses kognitif yang siswa butuhkan dalam menyelesaikan masalah. Maknanya
ketika pembelajaran itu bermakna maka anak akan dapat memperoleh pendidikan
yang lengkap.Terdapat beberapa Prinsip penting untuk melakukan pembelajaran
bermakna (Vallori, 2014) adalah sebagai berikut:
1. Open work enables all learners to learn.
2. Motivation helps to improve classroom environment and it makes
learners be interested in their tasks.
3. Means must be related to the environment of learners.
4. Creativity strengthens imagination and intelligence.
5. Concept mapping helps learners to link and connect concepts.
6. Educational curricula must be adapted considering learners with special
needs

Fokus dari pembelajaran yang bermakna terletak pada pemahaman belajar


yakni proses mengkonstruksi pengetahuan, yang di dalamnya siswa berusaha
memahami pengalaman yang didapatkan (Anderson & Krathwohl, 2015:98).
Maknanya adalah proses rekonstruksi pengetahuan yang di alami siswa akan lebih
dapat dimakani siswa bukan hanya sekadar mengetahui atau mengingat materi,
tetapi lebih ke pemaknaan terhadap materi secara mendalam atau biasa disebut
sebagai Higher Order Thingking Skill (HOTs).
Pemahaman tentang teori rekonstruksi dalam pembelajaran merupakan
paham dalam dunia pendidikan yang sedang berkembang dan diakui
kebermanfaatanya dalam dunia pendidikan. Hakikatnya dengan mempersilahkan
anak untuk merekonstruksi pemahaman pembelajaran sesuai dengan kemampuan
anak maka pembelajaran yang ada sudah sesuai dengan pembelajaran yang
memanusiakan manusia atau biasa disebut sebagai pembelajaran humanis. Lebih
lanjut dijelaskan oleh Badie (2016: 292)
”We can interpret learning as a process that causes changes in a
human’s mind. The learner is someone who attempts to learn
something and to acquire knowledge on that thing, and the mentor is
someone who opens the world to the learner and opens the learner to the
world. All the characteristics mentioned are conducive to interpreting
learning as the ‘activity of construction”.
library.uns.ac.id 3
digilib.uns.ac.id

Bahwa makna dari pembelajaran aktivitas kontruksi pembelajaran yang


dilakukan oleh siswa, dan mentor adalah orang yang memfasilitasi untuk seorang
siswa membuka pengatahuan dan wawasan siswa. Pendapat ini jelas merujuk
pada pendapat bahwa mentor (guru, orang tua, dan masyarakat) adalah ujung
tombak pendidikan, sukses atau tidaknya pelaksanaan pembelajaran tegantung
dari lingkungan yang memfasilitasi pelaksanaan pembelajaran.
Fasilitas yang dimaksudkan bukan hanya sebatas fasilitas berupa alat atau
media tetapi juga cara mengajar. Mengajar bukan hanya diartikan sebagai
menyampaikan materi ajar, tetapi juga esensi yang lebih mendalam tentang
mengajar. Sebagaimana disampaikan oleh Ausubel and Novak, (1983)
“teaching it is important to know how learners learn. If we teach in a
connected and related way, most of them will learn properly. Otherwise
learning difficulties may arise”(Vallori,2014 ).

Dari pemikiran beberapa tokoh yakni Anderson, Krathwohl, Vallori, dan


Badie terdapat persamaan nilai yang perlu dianut dalam pembelajaran yaitu dalam
pelaksanaan pembelajaran harus ada motivasi yang kuat yang diberikan kepada
siswa untuk belajar, adanya kesempatan untuk mengembangkan kreativitas,
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih menyelesaikan masalah,
pembelajaran juga harus menjalin hubungan dengan alam atau lingkungan
belajar, memfasilitasi semua siswa untuk belajar (Education for All), urgensi
pemaknaan dalam pelaksanaan pembelajaran, dan fungsi mentor atau dalam hal
ini semua lingkungan sumber pembelajaran (keluarga, sekolah, dan masyarakat)
untuk melaksanakan pembelajaran kepada siswa.
Teryata nilai-nilai tersebut juga sejalan dengan pemikiran tokoh-tokoh
pendidikan Nasional. Adanya korelasi diantara pemikiran pendidikan oleh tokoh
asing dan tokoh nasional terjadi dikarenakan karena beberapa faktor seperti (1)
Terdapat pengaruh pemikiran luar terhadap pemikiran nasional karena tulisan atau
tulisan dalam terbitan buku, seperti tulisan atau pemikiran Frobel yang hampir
serupa dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang dasar ilmu jiwa dalam
pendidikan. Notabene Frobel hidup pada (1782-1852) berbeda masa dengan Ki
Hajar Dewantara yang hidup pada masa (1889-1959), (2) Pernah berinteraksi
library.uns.ac.id 4
digilib.uns.ac.id

secara langsung dan bertukar pikiran satu dengan yang lain karena berada pada
masa yang sama seperti pemikiran Kiai Haji Ahmad Dahlan 1868-1923 dan Ki
Hajar Dewantara (1889-1959), dan (3) karena objek yang dikaji sama yakni
manusia walaupun belum pernah berinteraksi maka menghasilkan produk
pemikiran yang sama apabila menggunakan sudut pandang yang serupa seperti
R.A Kartini (1879-1904), Dewi Sartika (1884-1947), Rohhanna Kuddus (1884-
1972) yang berfikir tentang emansipasi perempuan, pemikiran ini sebenarnya juga
dipikirakan oleh Ki Hajar Dewantara (1889-1959) yakni tentang mengedepankan
hakikat manusia dalam melaksanakan pendidikan.
Indonesia memiliki beberapa tokoh pendidikan nasional yang memiliki
kepedulian dan pemikiran yang luar biasa tentang Pendidikan Nasional yakni
Raden Ajeng Kartini, R.A Dewi Sartika, Rohanna Kuddus, Ki Hajar Dewantara,
Kyai Haji Hasyim Ashari, Muhammad Syafei, William Iskander dan Kiai Haji
Ahmad Dahlan serta yang lainnya. Tokoh - tokoh ini memberikan sumbangsih
yang besar terhadap pemikiran-pemikiran mendasar tentang pendidikan Nasional,
sehingga khasanah pendidikan kita menjadi beragam dan mampu menjadi
pedoman dasar dalam pelaksanaan pendidikan Nasional.
Tokoh-tokoh tersebut memiliki latar belakang yang berbeda-beda yang
berpengaruh terhadap pola pikir dari pendidikan yang dilaksanakan atau
dipikirkan. Pemikiran Pendidikan yang ada dan berkembang tergantung dari
tujuan, orientasi, dan latar belakang dari masing-masing tokoh pendidikan.
Contohnya Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Ashari lebih menekankan
pada pendidikan yang berbasis pada religius atau berbasis pada agama, Dewi
Sartika, R.A Kartini ,dan Rohanna Kuddus lebih menekankan pada pendidikan
kaum wanita yakni seperti keterampilan memasak, menjahit, dan kegiatan yang
lain yang terkait dengan kewanitaan, Muhammad Syafei menekankan pada
kebebasan atau kemerdekaan untuk mengikuti pelaksanaan pendidikan, dan
Willian Iskander memiliki pemikiran tentang sekolah yang berbasis kerakyatan
dan Ki Hajar Dewantara lebih kepada Pendidikan sebagai sarana untuk merdeka
dan menentang penjajah pada waktu itu melalui pendidikan. Artiannya dari
beberapa tokoh pendidikan yang ada Ki Hajar Dewantara memiliki pandangan
library.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id

pendidikan yang lebih luas dan menyeluruh bagi bangsa Indonesia, serta telah
mengaakomodir pemikiran- pemikiran tokoh pendidikan yang lain.
Ki Hajar Dewantara adalah seorang tokoh nasional yang memiliki latar
belakang sebagai seorang budayawan, pendidik, dan tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Jogjakarta. Ki
Hajar Dewantara merupakan keturunan ningrat dengan nama asli Suwardi
Suryaningrat. Suwardi Suryaningrat menerima pendidikan di Sekolah Dokter di
Jakarta atau yang biasa dikenal sebagai STOVIA (School tot Opleiding van
Indische Artsen), Suwardi Suryaningrat pernah bergabung dengan Organisasi
Politik Indishe Partij yang memiliki cita-cita Indonesia Merdeka bersama dengan
kedua rekannya yakni Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo yang ketiganya
dikenal sebagai Tiga Serangkai. Suwardi Suryaningrat juga bergabung dengan
Komite Bumi Putera yang memiliki tujuan untuk membentuk parlemen guna
melepaskan diri dari Belanda.
Kontroversi yang pernah dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara adalah
membuat buku yang menyindir Belanda ketika merayakan Hari kemerdekaan
yang berjudul “Alk Is Netherland de Was” atau dalam bahasa Indonesia yang
berarti Andai Aku Seorang Belanda Pada Tahun 1922 Ki Hajar Dewantara
bersama dengan beberapa rekan mendirikan Yayasan Pendidikan yang dikenal
dengan nama Taman Siswa, tepatnya pada tanggal 30 Juli 1922. Tujuan Pendirian
Taman Siswa adalah bentuk penentangan terhadap kolonilisme Belanda. Ki Hajar
Dewantara meyakini bahwa melalui pendidikan atau bangku sekolah dapat
melakukan penentangan secara lebih efektif karena senantiasa melahirkan kader
kader muda bangsa yang berpendidikan, di sisi lain Ki Hajar Dewantara juga
meyakini bahwa Belanda melakukan Kolonialis juga melalui bangku sekolah atau
pendidikan. Rumusan tentang pendidikan nasional oleh Ki Hajar Dewantara yang
juga menjadi pemahaman Taman Siswa yakni Pendidikan Nasional berasal dari
budaya bangsanya dan beralaskan garis hidup bangsanya, serta mampu
mengangkat derajat Negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja sama dengan
Negara lain di Dunia untuk kemuliaan segenap manusia diseluruh dunia (
Tauchid, 2013: 15)
library.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara identik dengan menggunakan


bahasa Jawa yakni seperti Tri sentra/pusat pendidikan, Trilogi Kepemimpinan, Tri
Nga, Tri A, Konsep Panca Dharma, dan lain-lain. Prinsip- prinsip yang
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara selain mengakomodir prinsip-prinsip
Tokoh-Tokoh Nasional seperti prinsip Kiai Haji Ahmad Dahlan tentang tiga
lingkungan pendidikan yang juga terdapat di dalam pemikiran Ki Hajar
Dewantara yakni Tri Sentra Pendidikan, lalu pemikiran pendidikan Ki Hajar
Dewantara juga selaras dengan pemikiran tokoh-tokoh pendidikan dunia seperti
Froebel dan J.J Rosseau tentang konsep Among System, bahwa guru memiliki
peran sentral dalam menciptakan situasi yang kondusif di dalam kelas
sebagaimana didalam sebuah keluarga. Oleh karena pemikiran pendidikan Ki
Hajar Dewanatara yang luas namun tetap esessial serta relevan dengan pemikiran
pendidikan tokoh lokal dan dunia maka sebaiknya diberikan kajian yang lebih
mendalam tentang Implementasi pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam
pelaksanaan pembelajaran.
Kenyataannya tidak semua nilai telah terlaksana di dalam praktik
pelaksanaan pembelajaran. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada
beberapa praktisi pendidikan dasar yang terdiri dari beberapa guru Sekolah Dasar
di kota Surakarta pada tanggal 15, 16, dan 18 September 2017 menunjukkan
bahwa pembelajaran humanis di sekolah dasar pada hakikatnya merupakan
pembelajaran yang penting, namun dikarenakan perkembangan teknologi,
perubahan pola pergaulan, dan tuntutan hasil belajar dari sistem pendidikan yang
diterapkan berakibat pembelajaran yang ada hanya berorientasi pada penyampaian
materi saja. Karakter yang seharusnya menjadi prioritas dalam pelaksanaan
pembelajaran di sekolah dasar menjadi seakan tersingkirkan atau dianggap sudah
termasuk didalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Sosial.
Keefektifan dan kebermaknaan pembelajaran menjadi tidak tampak, karena
orientasi yang ada hanya pada kemampuan kognitif. Ironisnya pemahaman guru
tentang Teori belajar yang notabene merupakan dasar dalam melaksanakan proses
belajar masih terbatas, dengan alasan bahwa pengetahuan yang ada sudah
berkembang dan mereka belum pernah mempelajarinya, terkhusus dalam
library.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

penguasaan teori-teori pemikiran Ki Hajar Dewantara. Pemahaman yang dimiliki


hanya sebatas Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut
Wuri Handayani. Peran orang tua dan masyarakat di sekolah masih minim karena
kurangnya pemahaman tentang urgensi peran orang tua dan masyarakat di dalam
pembelajaran serta kesibukan orang tua dan masyarakat yang menjadi salah satu
penyebabnya.
Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara telah dilakukan penelitian oleh
Dyah Kumalasari (2010) yang menghasilkan sebuah hasil penelitian yakni bahwa
pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang diwujudkan melalui
lembaga pendidikan Taman Siswa memberikan harapan baru untuk kemajuan
bangsa Indonesia, serta sangat relevan untuk menyikapi perkembangan terkini
pendidikan Indonesia, dan sejalan dengan prinsip pendidikan yang humanis dan
religius.
Kurikulum 2013 sangat terbantu dengan adanya penerapan secara optimal
prinsip atau pemikiran Ki Hajar Dewantara, karena fokus dari pendidikan Ki
Hajar Dewantara adalah proses pembentukan manusia seutuhnya. Era ini ini
dianggap sebagai sebuah era baru dalam pengetahuan yang menekankan pada
sikap dan keterampilan hidup akan terinternalisasi di dalam pelaksanaan
pembelajaran sesuai dengan arahan Kurikulum 2013. Pendidikan yang
menekankan pada pembentukan sikap juga menjadi fokus dari pelaksanaan
pendidikan secara global, contoh di dalam pelaksanaan pembelajaran di negara
Jepang. Oleh karenya pemikiran Ki Hajar Dewantara ini penting untuk dikaji dan
diimplementasikan.
Ki Hajar Dewantara memiliki pemikiran-pemikiran hebat tentang
bagaimana pendidikan Indonesia seharusnya dilaksanakan, dalam pembelajaran
yang berbasis karakter atau penguatan sikap karena pemikiran tersebut
berlandaskan pada budaya bangsa dan bertujuan untuk mensejahterakan
masyarakatnya. Oleh karena banyaknya manfaat yang dapat diperoleh maka perlu
dilakukan kajian tentang bagaimana “Implementasi pemikiran Ki Hajar
Dewantara dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar” dengan studi kasus di kota
Surakarta.
library.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

B. Fokus Penelitian
Sehubungan dengan urgensi pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara bagi
pendidikan Nasional maka penelitian ini difokuskan pada masalah implementasi
atau pelaksanaan pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam pembelajaran
di Sekolah Dasar.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian di atas maka persoalan
mendasar yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah
Implementasi pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pembelajaran di Sekolah
Dasar ?”
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang, fokus penelitian, dan pertanyaaan penelitian
diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah: “Untuk mendeskripsikan
implementasi pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam pembelajaran di
Sekolah Dasar “.
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang, fokus penelitian, pertanyaaan penelitian dan
tujuan penlitian diatas maka manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini dapat menambah wawasan pengetahuan tentang Implementasi
pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pembelajaran di Sekolah Dasar.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Institusi Sekolah
Sebagai bahan masukan bagi sekolah untuk mereformasi praktik-praktik
pembelajaran guru agar menjadi lebih efektif dan efisien tetapi tetap
berbasis pada pembelajaran yang humanis sehingga kualitas pembelajaran
akan optimal.
b. Bagi Guru
library.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

Guru mendapat pemahaman baru yang mendalam tentang pemikiran Ki


Hajar Dewantara dalam praktek Pendidikan Nasional sehingga kompetensi
guru akan meningkat baik secara profesional, sosial, personal dan
paedagogik, karena mengedepankan pendidikan yang humanis.
c. Bagi siswa
Meningkatkan potensi siswa untuk menemukan pengetahuan dan
mengembangkan wawasan yang dimiliki, serta meningkatkan kemampuan
menganalisis suatu masalah melalui pembelajaran yang humanis dan
tentunya membantu siswa untuk mengembangkan kompetensi yang dimiliki
baik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik.
d. Bagi Peneliti lain
Sebagai tambahan referensi dalam kajian di dalam penelitian pendidikan
terlebih apabila memiliki minat penelitian yang serupa sehingga dapat
mengembangkan kajian mengenai pemikiran Ki Hajar Dewantara secara
lebih mendetail.

Anda mungkin juga menyukai