Anda di halaman 1dari 38

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN

1.1 JUDUL PERANCANGAN


1.2 PREMIS PERANCANGAN
1.3 LATAR BELAKANG
1.4 PERMASALAHAN, TUJUAN, SASARAN, DAN BATASAN
1.5 METODE
1.6 ORIGINALITAS DAN KEBARUAN

PENELUSURAN PERSOALAN DAN PEMECAHANNYA

2.1 KAJIAN LOKASI


2.2 KAJIAN TIPOLOGI BANGUNAN
2.3 KAJIAN TEMA PERANCANGAN
2.4 KAJIAN PRESEDEN
1.1 JUDUL PERANCANGAN

“RELOKASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA PEKALONGAN MELALUI PENDEKATAN BANGUNAN


SEHAT GUNA MENDUKUNG PROSES REHABILITASI”
1.2 PREMIS PERANCANGAN

Sebagai negara yang menganut sistem hukum, Indonesia


memiliki lembaga pemasyarakatan sebagai salah satu elemen
penting dalam penegakan hukum dan pidana. Lembaga
pemasyarakatan atau yang biasa dikenal dengan istilah lapas
merupakan suatu tempat bagi para narapidana dan anak
didik pemasyarakatan agar menjadi lebih baik dan dapat
diterima di masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan sistem
pemidanaan di Indonesia yang lebih berfokus ke arah
rehabilitasi.

Bangunan yang akan menjadi fokus perancangan adalah


lembaga pemasyarakatan kelas IIA Pekalongan. Banjir yang
melanda sebagian besar wilayah Pekalongan setiap tahunya
memberikan dampak negatif terhadap bangunan-bangunan
di wilayah tersebut. Rencana relokasi diusulkan untuk
menghindari dampak banjir yang semakin memburuk setiap
tahunya.

Pendekatan bangunan sehat dipilih untuk mendukung proses


rehabilitasi di dalam bangunan. Perancangan yang berfokus
pada prinsip-prinsip bangunan sehat dalam bangunan
menjadi penting untuk diterapkan guna mencapai tujuan
rehabilitasi. Dengan demikian proses relokasi lapas
Pekalongan bukan hanya sekedar berupa pemindahan fisik
bangunan, tetapi juga menjadi investasi dalam sistem
pemasyarakatan yang lebih baik dan berkelanjutan.

Melalui fokus perancangan yang menitikberatkan pada aspek


kesehatan, perancangan ini diharapkan menjadi inovasi
lembaga pemasyarakatan yang tidak hanya berfokus sebagai
tempat penahanan, tetapi juga menciptakan lingkungan yang
mendukung proses rehabilitasi.
1.1 PREMIS
1.3 LATAR PERANCANGAN
BELAKANG
1.3.1 Banjir di Wilayah Pekalongan
Banjir merupakan salah satu jenis bencana yang sering melanda Banjir yang melanda pesisir utara Pekalongan seakan sudah
beberapa wilayah di Indonesia, terutama pada musim penghujan. menjadi permasalahan kompleks yang terus mengancam setiap
Salah satu wilayah yang terdampak banjir adalah Pekalongan. tahunnya. Hampir seluruh wilayah pesisir utara Pekalongan
Pekalongan merupakan suatu wilayah yang terletak di sisi utara terdampak banjir rob (Afif Salim & Bambang Siswanto, 2018). Ada
Pulau Jawa, tepatnya di Provinsi Jawa Tengah. Salah satu beberapa faktor yang menyebabkan banjir di Pekalongan di
penyebab terjadinya banjir yang melanda wilayah Pekalongan antaranya adalah pengurangan kapasitas penampungan air sungai
adalah meluapnya air laut ke daratan atau yang biasa dikenal akibat endapan sedimentasi, penurunan muka tanah atau land
dengan banjir rob. Posisi wilayah yang berada di pesisir serta subsidence, kenaikan muka air laut dan pengaruh pasang surut,
kondisi topografinya yang relatif datar menjadikan kawasan ini permasalahan akibat sampah, serta kerusakan pada kondisi
semakin rawan terhadap banjir rob. Menurut (Fernanda dkk., tanggul penahan banjir.
2022), hampir setengah dari luas wilayah administrasi Kota Ada beberapa dampak negatif yang diakibatkan oleh banjir rob,
Pekalongan atau sekitar 2357,029 ha memiliki tingkat ancaman salah satunya adalah kerusakan bangunan serta berbagai
tinggi terhadap banjir. infrastruktur lainnya akibat terendam banjir (Sauda dkk., 2019).
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pekalongan merupakan salah
satu bangunan yang terdampak banjir tersebut. Hal tersebut
mengakibatkan bangunan lembaga pemasyarakatan tidak
berfungsi dengan optimal sehingga harus di relokasi ke tempat
yang lebih aman.

Gambar

Relokasi lapas dipilih sebagai bentuk upaya mitigasi terhadap


bencana banjir yang terus menerus mengganggu kondusivitas
lapas Pekalongan. Selain itu, relokasi juga diharapkan dapat
menjadi upaya perbaikan dan modernisasi lapas sehingga proses
rehabilitasi dapat terus berjalan.
Gambar
1.3 LATAR BELAKANG
1.3.2 Rencana Relokasi Lapas Pekalongan
Ancaman banjir yang terus menerus melanda pesisir pekalongan
menjadikan kondisi bangunan Lapas Kelas IIA Pekalongan semakin
terancam. Lokasi Lapas yang berada di pesisir utara Pekalongan
menjadikannya sebagai salah satu bangunan yang terdampak
banjir. Relokasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pekalongan
menggambarkan sebuah kepentingan atau urgensi dalam
meningkatkan kualitas sistem pemasyarakatan. Ancaman terhadap
kenyamanan dan kondusivitas lapas akibat banjir menjadi alasan
kuat relokasi lapas tersebut.

Di kutip dari Radio Kota Batik Pekalongan, 2024, Kepala Lembaga


Pemasyarakatan Kelas IIA Pekalongan, Asih Widodo menjelaskan
ada beberapa hal yang mendasari relokasi lapas tersebut. Pertama,
tingginya curah hujan dan ancaman banjir di sebagian wilayah
Pekalongan yang dapat mengancam kenyamanan dan
Gambar
kondusivitas lapas. Kedua, kondisi bangunan yang lama sudah
tidak memadai sehingga perlu dibangun kembali. Kalapas juga
menyebutkan bahwa relokasi lapas merupakan program prioritas
nasional bidang keamanan negara. Rencana relokasi lapas tersebut
sebenarnya sudah mulai direncanakan sejak tahun 2018.

Rencana relokasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pekalongan


ini akhirnya mendapatkan persetujuan dari beberapa pihak terkait
seperti Pemkab Pekalongan dan Kemenkumham Jawa
Tengah.Berdasarkan informasi dari laman Kemenkumham RI, 2023,
Pemkab Pekalongan bersedia untuk menyediakan lahan untuk
relokasi lapas. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Nota
Kesepakatan yang telah ditandatangani oleh Plt. Kakanwil
Kemenkumham Jateng, Hantor Situmorang dan Bupati
Pekalongan, Fadia Arafiq, pada 15 Agustus 2023. Dalam Nota
Kesepakatan tersebut juga disebutkan bahwa lahan yang akan
digunakan untuk relokasi lapas tersebut terletak di Desa Larikan
Kecamatan Doro Kabupaten Pekalongan seluas 40.000 m2.

Sebagai bentuk dukungan terhadap rencana tersebut, Pemkab


Pekalongan akan membantu proses perijinan pembangunan Lapas
Pekalongan serta penyediaan sarana dan prasarana sebagai
bentuk dukungan. Sementara itu, Kemenkumham Jateng turut
berkontribusi dalam menindaklanjuti proses penyelesaian
peralihan hak kepemilikan dan/atau penguasaan tanah tersebut. Gambar
1.3 LATAR BELAKANG

Gambar

Desa Larikan dipilih sebagai lokasi baru pembangunan lapas kelas


IIA Pekalongan. Pemilihan lokasi pembangunan yang jauh dari laut
dipilih sebagai strategi dalam menghindari resiko banjir rob yang
sering kali terjadi di lokasi lapas eksisting. Penentuan lokasi ini
mempertimbangkan beberapa faktor, termasuk ketinggian daratan
dan jarak dari garis pantai. Desa Larikan terletak sekitar 20 km dari
pesisir pantai dan berada di ketinggian 47 MDPL. Dilihat dari
gambar potongan kontur di samping, Desa Larikan mempunyai
perbedaan elevasi yang cukup tinggi dengan wilayah pesisir
Pekalongan. Pemilihan Desa Larikan sebagai lokasi baru Lapas
Pekalongan merupakan salah satu upaya mitigasi resiko bencana
banjir. Hal ini diharapkan dapat memberikan perlindungan jangka
panjang bagi bangunan lembaga pemasyarakatan kelas IIA
Pekalongan sehingga aktivitas pembinaan di dalamnya dapat
berlangsung dengan baik
1.3 LATAR BELAKANG
1.3.3 Urgensi Penerapan Bangunan Sehat dalam
Lembaga Pemasyarakatan
Penerapan prinsip-prinsip bangunan sehat dalam bangunan
lembaga pemasyarakatan memiliki urgensi yang kuat. Aspek
kesehatan menjadi krusial karena sangat berkaitan terhadap
kondisi kehidupan dan proses rehabilitasi warga binaan di
dalamnya. Penerapan prinsip bangunan sehat ini dapat dilakukan
melalui beberapa hal seperti desain yang memenuhi standar
hunian lapas serta penerapan strategi pasif melalui pencahayaan
dan ventilasi alami yang efisien.

Maraknya isu tentang buruknya sistem pencahayaan dan


penghawaan pada beberapa Lapas di Indonesia menjadi perhatian
serius karena dampak negatif yang signifikan bagi kesejahteraan
narapidana dan kondisi umum di dalam institusi pemasyarakatan
tersebut. Kondisi yang kurang memadai dari segi pencahayaan
dan penghawaan dapat menyebabkan berbagai permasalahan,
seperti meningkatnya risiko terjadinya gangguan kesehatan fisik
dan mental, penurunan produktivitas, dan bahkan meningkatkan
ketegangan di antara penghuni Lapas. Keterbatasan pencahayaan
alami dan sirkulasi udara yang buruk dapat memperburuk kondisi
kesehatan narapidana, meningkatkan risiko penyakit seperti
gangguan pernapasan dan masalah kulit, serta memperparah
situasi psikologis seperti depresi atau kecemasan.

Permasalahan terkait sirkulasi pencahayaan dan penghawaan juga


terjadi di Lapas Kelas IIA Pekalongan. Berdasarkan hasil survei
bangunan dan keterangan dari petugas lapas, sirkulasi
pencahayaan yang terdapat pada Lapas Kelas IIA Pekalongan
memang kurang baik. Selain itu, sistem sirkulasi udara juga hanya
mengandalkan ventilasi sederhana. Permasalahan tersebut terjadi
di beberapa ruangan Lapas seperti blok hunian, dapur, bengkel
kerja, dan lain-lain.
1.3 LATAR BELAKANG

Kualitas pencahayaan dan penghawaan dalam bangunan


merupakan suatu aspek penting yang perlu diperhatikan. Kualitas
cahaya dalam sebuah bangunan sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan aktivitas penggunanya. Pencahayaan yang buruk
dalam bangunan dapat memberikan berbagai dampak negatif
bagi kesehatan, kenyamanan, dan produktivitas penghuninya.
Sama seperti pencahayaan, sistem penghawaan dalam bangunan
juga perlu diperhatikan. Sirkulasi udara yang kurang baik dapat
menyebabkan ruangan terasa panas, pengap, dan lembab. Hal
tersebut dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pengguna
bangunan. Strategi passive design dipilih karena dapat mengatasi
permasalahan tersebut. Penerapan Passive Design dalam sebuah
bangunan juga dapat memberikan berbagai manfaat baik itu bagi
penghuni, bangunan, maupun lingkungan sekitarnya. Pencahayaan
dan penghawaan merupakan aspek penting yang perlu
diperhatikan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang sehat di
dalam sebuah bangunan. Selain itu, desain bangunan yang
menjaga kualitas udara dan cahayanya dengan baik juga dapat
mencegah terjadinya kejadian-kejadian yang tidak diharapkan
seperti kerusuhan.

Pengintegrasian prinsip-prinsip tersebut menjadi penting untuk


diterapkan guna mencapai tujuan rehabilitasi. Melalui
perancangan yang memperhatikan aspek pencahayaan dan
penghawaan dapat menjadi upaya dalam pencegahan
permasalahan desain yang terjadi. Bukan hanya pada Lapas
Pekalongan, tetapi juga menjadi inovasi desain di beberapa lapas
di Indonesia. Dengan demikian proses relokasi lapas bukan hanya
sekedar pemindahan fisik bangunan, tetapi juga menjadi langkah
awal investasi dalam sistem pemasyarakatan yang lebih baik dan
berkelanjutan.
1.4 PERMASALAHAN, TUJUAN, SASARAN, DAN BATASAN

Permasalahan Umum Sasaran


• Bagaimana merancang bangunan Lapas Kelas IIA Pekalongan • Menghasilkan rancangan bangunan lembaga pemasyarakatan
yang mampu mewadahi aktivitas pembinaan dan rehabilitasi yang yang berfokus pada aspek kesehatan tanpa mengabaikan
serta menarapkan prinsip bangunan sehat ? aspek keamanan bangunan
• Menghasilkan rancangan bangunan lembaga pemasyarakatan
Permasalahan Khusus yang menekankan aspek kesehatan terkait udara dan cahaya
• Bagaimana merancang bangunan lembaga pemasyarakatan berdasarkan konsep WELL air dan light dengan tetap
yang menerapkan konsep bangunan sehat namun tetap memperhatikan standar sarana-prasarana bangunan
mempertahankan aspek keamanan bangunan
• Bagaimana merancang bangunan lembaga pemasyarakatan Batasan Perancangan
yang menerapkan konsep bangunan sehat berdasarkan konsep • Perancangan berfokus pada rancangan bangunan Lembaga
WELL air dan light namun tetap sesuai dengan standar sarana- Pemasyarakatan Kelas IIA Pekalongan di lokasi yang sudah
prasarana bangunan ditentukan oleh pihak Lapas yaitu di Desa Larikan, Kec. Doro,
Pekalongan.
Tujuan
• Penerapan pendekatan bangunan sehat diimplementasikan
• Menghasilkan rancangan bangunan lembaga pemasyarakatan melalui pemenuhan standar bangunan Lembaga
Kelas IIA Pekalongan dengan memperhatikan aspek bangunan Pemasyarakatan serta penerapan strategi passive design yang
sehat sebagai wadah aktivitas pembinaan dan rehabilitasi berfokus pada pencahayaan dan penghawaan alami
1.5 METODE
Metode Pemecahan Persoalan

Metode pemecahan masalah dilakukan melalui beberapa tahap,


yaitu:

1. Tahap Analisis Latar Belakang Permasalahan 6.Tahap Sintesis Konsep Desain


Tahap ini merupakan tahapan awal yang dilakukan melalui Setelah tahap analisis penyelesaian permasalahan dilakukan, akan
pengumpulkan data dan fakta terkait kondisi aktual sesuai konteks dihasilkan konsep-konsep desain awal. Konsep desain ini akan
permasalahan perancangan. Data-data tersebut terdiri dari data digunakan untuk menciptakan ide-ide awal perancangan
primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil
observasi lapangan langsung, sedangkan data sekunder 7.Tahap Analisis Skematik Desain
didapatkan melalui berbagai kajian teori pada jurnal, buku, dan Pada tahap ini sudah mulai dilakukan perancangan. Perancangan
website. meliputi gambar konsep dan modelling bangunan sesuai dengan
2.Tahap Rumusan Permasalahan Desain konsep desain yang telah ditentukan.

Tahapan selanjutnya adalah perumusan permasalahan desain. 8.Tahap Uji Desain


Tahap ini bertujuan untuk mengerucutkan isu-isu menjadi sebuah Tahapan ini dilakukan untuk menguji kesesuaian desain dengan
rumusan masalah yang akan digunakan sebagai acuan dasar kualitas yang harus tercapai berdasarkan indikator yang sudah
dalam mendesain ditentukan. Tahap ini juga menguji sejauh mana rancangan
3.Tahap Analisis Variabel Persoalan Desain menjawab persoalan desain dengan penekanan pada pendekatan,
konsep, dan tema perancangan.
Tahap ketiga ini bertujuan untuk mengkaji berbagai variabel
desain melalui berbagai literatur seperti jurnal, buku, dan lain 9.Tahap Desain Final
sebagainya Pada tahap ini, desain sudah selesai dengan produk gambar teknik
4.Tahap Sintesis Variabel Persoalan Desain seperti siteplan, denah, tampak, potongan, detail, dan lain-lain.
Produk perancangan juga dilengkapi dengan visualisasi 3d
Tahap ini bertujuan untuk menentukan variabel-variabel yang akan bangunan baik dari eksterior maupun interior
digunakan. Variabel yang akan digunakan adalah variabel terkait
Lembaga Pemasyarakatan, aspek-aspek bangunan sehat, serta
analisis terkait konteks lokasi/site perancangan.

5.Tahap Analisis Penyelesaian Persoalan Desain

Tahap ini bertujuan untuk memunculkan indikator atau tolak ukur


permasalahan desain berdasarkan variabel-variabel yang sudah
didapatkan pada tahap sebelumnya.
1.5 METODE
1.6 ORIGINALITAS DAN KEBARUAN

Judul Nama Pendekatan Lokasi Perbedaan

Redesain Lembaga Pembinaan Yeremi Y. R. Van Rate, Pendekatan Arsitektur Paradoks Kota Tomohon Jenis bangunan merupakan lembaga
Khusus Anak Kelas II di Kota pembinaan yang dikhususkan untuk
Tomohon dengan Metode Cynthia E. V. Wuisang,
membina anak-anak.Menggunakan
Pendekatan Perancangan pendekatan Arsitektur Paradoks.
Rachmat Prijadi
Arsitektur Paradoks

Lembaga Pemasyarakatan Nada Alifia Tidak ada pendekatan khusus Kecamatan Sungai Kakap, Bangunan berfokus terhadap pembinaan
Perempuan Kelas II A Pontianak yang disebutkan Kabupaten Kuburaya, Kalimantan perempuan sehingga beberapa fasilitas
Barat disediakan untuk mendukung peran
perempuan.

Tidak ada pendekatan khusus yang


digunakan dalam perancangan.

Implementasi Pendekatan Ratriana, Pendekatan Arsitektur Perilaku Kelurahan Bulupabbulu, Kecamatan Mengguanak pendekatan arsitektur
Arsitektur Perilaku pada Desain Tempe, Kabupaten Wajo perilaku yang berfokus pada perilaku
Lembaga Pemasyarakatan Kelas Alfiah, narapidana saat menjalani masa
IIA di Kabupaten Wajo rehabilitasi.
Viviana Basri
Aspek yang diutamakan adalah aspek
privacy, sirkulasi, personal space,
teritorialitas, dan keamanan.

Lembaga Pemasyarakatan Trifena T. A. Tumundo, Pendekatan Arsitektur Paradoks Kecamatan Tikala, Kota Manado Fungsi bangunan dikhususkan untuk
Wanita Kelas II A di Manado narapidana wanita.
“Arsitektur Paradoks” Dwight M. Rondonuwu,
Dilatarbelakangi oleh tidak adanya lapas
Amanda S. Sembel
khusus wanita di daerah tersebut.

Menggunakan pendekatan arsitektur


paradoks.

Perencanaan Lembaga Qony Sya’bany Zen, Pendekatan Arsitektur Humanis Tidak ada lokasi Menggunakan pendekatan arsitektur
Pemasyarakatan Wanita yang (site less)
Dhini Dewiyanti, humanis sehingga yang berfokus pada
Humanis
kebutuhan dan aktivitas penghuninya.
Nova Chandra Aditya

Mengutamakan kondisi psikologi


perempuan yang mudah merasa cemas.
2.1 KAJIAN LOKASI
2.1.1 Wilayah Pekalongan

Pekalongan merupakan suatu wilayah yang terletak di Provinsi Selain itu terdapat juga Lapas Kelas IIA Pekalongan merupakan
Jawa tengah. Wilayah Pekalongan terdiri dari Kabupaten salah satu sarana dan prasarana di bidang peradilan di
Pekalongan dan Kota Pekalongan. Pekalongan memiliki kondisi Pekalongan.Lapas Kelas IIA Pekalongan berfungsi untuk membina
wilayah yang beragam yang terdiri dari dataran rendah, narapidana dan anak didik pemasyarakatan agar menjadi manusia
perbukitan, hingga pegunungan. Secara keseluruhan, sarana dan yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat Lembaga
prasarana serta fasilitas di Pekalongan dapat dikatakan cukup Pemasyarakatan Kelas IIA Pekalongan yang saat ini terletak di
memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pekalongan Panjang Wetan, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan
dilengkapi dengan berbagai infrastruktur yang memadai untuk akan di relokasi ke Desa Larikan, Kecamatan Doro, Kabupaten
mendukung aktivitas masyarakatnya. Berbagai infrastruktur yang Pekalongan.
terdapat di Pekalongan diantaranya jalan raya pantura, jembatan,
jalur kerata api, pasar, terminal, dan bandara. Wilayah Pekalongan
memiliki berbagai fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit,
puskesmas, taman, dan tempat wisata.
2.1 KAJIAN LOKASI
2.1.2 Kajian Lokasi Perancangan
Desa Larikan adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Doro,
Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia. Desa ini
merupakan desa terkecil di Kecamatan Doro dengan luas wilayah
1,7 km². Secara geografis, Desa Larikan terletak di Koordinat
7°11′46.8″S 109°42′52.4″E.

Batas wilayah:

• Utara: Desa Karanganyar


• Timur: Desa Wonokerto
• Selatan: Desa Doro
• Barat: Desa Karangdadap

Ketentuan umum intensitas bangunan berdasarkan RTRW


Pekalongan:

• KLB maksimum 5;
• KDB maksimum 70%;
• KDH minimum 15%;
• GSB minimum berbanding lurus dengan Rumija;
• Tinggi bangunan maksimum dibatasi garis bukaan langit 45
derajat dari as jalan (jalan utama / jalan yang kelasnya paling
tinggi di sekeliling bangunan).

Desa Larikan ini berada di ketinggian 47 meter di atas permukaan


laut. Hal tersebut juga menjadi salah satu pertimbangan mengapa
desa ini sesuai sebagai lokasi baru Lapas Kelas IIA Pekalongan.
Lokasinya yang lebih tinggi serta jauh dari laut menjadikan desa ini
lebih aman terhadap ancaman banjir rob. Kondisi tanah di desa ini
juga dinilai bagus dan sesuai untuk relokasi lapas Pekalongan.

Site untuk relokasi lapas kelas IIA Pekalongan ini mempunyai luas
sekitar 37000 m2 atau 3,7 ha, namun saat ini pengadaan lahan
baru bisa 2,2 ha. Posisi site yang cukup strategis dan mudah untuk
diakses karena dekat dengan jalan raya Sawangan-Doro. Site
memiliki kontur di mana bagian belakang site lebih rendah
daripada bagian depan site.
2.1 KAJIAN LOKASI
Dokumentasi Site
2.1 KAJIAN LOKASI

Kajian Iklim Lokasi Perancangan


Desa Larikan mempunyai suhu udara berkisar antara 22-32 derajat
celcius. Berdasarkan data, suhu teringgi akan terjadi pada Bulan
Agustus dampai Oktober dengan rata rata suhu 31-32 derajat
celcius. Kondisi angin di Desa ini tergolong sedang. Pada musim
hujan, angin di Desa Larikan umumnya lebih kencang dan sering
bertiup dari arah selatan-tengara. Sedangkan pada musim
kemarau, angin di Desa Larikan umumnya lebih lemah dan sering
bertiup dari arah barat dan barat-barat laut.

Beberapa strategi desain diperlukan untuk merespon kondisi iklim


tersebut. Ada beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan
untuk mendesain bangunan Lapas seperti orientasi bangunan,
penggunaan overhang untuk mereduksi rasiasi matahari berlebih,
cross ventilation untuk sistem sirkulasi udara yang lebih baik, dan
menyediakan area hijau dalam bangunan.
2.1 KAJIAN LOKASI

Site yang akan digunakan untuk pembangunan relokasi lapas


berada di posisi yang cukup strategis. Terdapat beberapa fasilitas
publik yang dapat dimanfaatkan oleh petugas lembaga
pemasyarakatan untuk menunjang keperluan aktivitas pembinaan.
Fasilitas tersebut meliputi SPBU (1,7 KM), Pasar (3,2 KM), Masjid
(400 M), Kantor Pos (7,5 KM), Puskesmas (2,6 KM), Bank (6,9 KM)
2.2 KAJIAN TIPOLOGI BANGUNAN
2.2.1 Tipologi Bangunan Lembaga Pemasyarakatan
Bangunan lembaga pemasyarakatan merupakan sebuah fasilitas
yang digunakan untuk mewadahi proses rehabilitasi bagi para
narapidana. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor
M.01- PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Pemasyarakatan, Lapas diklasifikasikan dalam 4 (empat)
kelas yaitu:

• Lapas Kelas I
• Lapas Kelas IIA
• Lapas Kelas IIB
• Lapas Kelas III

Lapas Pekalongan termasuk dalam kategori kelas IIA, yaitu lapas


yang terletak di kotamadya atau kabupaten dengan daya tampung
250-500 orang. Berdasarkan Keputusan Kemenkumham RI Nomor
M.HH-01.PB.02.09 Tahun 2019. Luas tanah yang dibutuhkan untuk
Lembaga Pemasyarakatan dengan daya tampung hingga 500
orang adalah 20,476 m2 hingga 51.110 m2.

Sebagai upaya untuk mendukung program revitalisasi sistem


pemasyarakatan, Menkumham dan Dirjenpas menetapkan 4
tingkatan lapas yang tercantum dalam Permenkumham No.35
Tahun 2018 Tentang Revitalisasi Penyelenggaraan
Pemasyarakatan. Berdasarkan BAB VII Pasal 30 Permenkumham
No.35 Tahun 2018 Tentang Revitalisasi Penyelenggaraan
Pemasyarakatan dijelaskan bahwa penetapan dan penempatan
narapidana dibagi dalam 4 klasifikasi lapas yaitu:

• Lapas super maksimum sekuriti,


• Lapas maksimum sekuriti,
• Lapas medium sekuriti, dan
• Lapas minimum sekuriti.

Revitalisasi tersebut bertujuan untuk mengukur tingkat risiko


narapidana yang akan digunakan sebagai acuan penempatan
pembinaan. Diperlukan skrining menggunakan instrumen lima
dimensi untuk menentukan tingkat risiko, yaitu risiko keamanan,
risiko keselamatan, risiko stabilitas, risiko kesehatan, dan risiko
pada masyarakat.
2.2 KAJIAN TIPOLOGI BANGUNAN

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pekalongan merupakan lapas


yang termasuk dalam tingkatan medium sekuriti. Lapas medium
sekuriti berfokus pada program pembinaan yang bertujuan untuk
mendorong perubahan sikap dan perilaku narapidana yang
menyadari kesalahanya dan patuh terhadap hukum. Selain itu,
lapas medium sekuriti juga bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan dan kompetensi yang dimiliki oleh para narapidana.
Narapidana ditempatkan di lapas medium sekuriti akan
dikelompokkan pada blok hunian berdasarkan tingkat risiko, jenis
kelamin dan potensi minat bakat.

Lembaga pemasyarakatan menggunakan sistem keamanan statis


untuk dapat mengontrol narapidana secara fisik. Sistem ini
mengacu pada filosofi fungsi lapas/rutan untuk melindungi
penghuni, pegawai, pihak lain serta bangunan beserta isi dan
lingkungannya (Todd S dkk., 2003). Sistem ini terdiri dari:

• Deter (Penghalangan), Menekankan fungsi pencegahan/


penghalangan terhadap kemungkinan potensi gangguan
pelarian/perusakan dan penyalahgunaan fungsi bangunan.
• Detect (Pemantauan), Harus memudahkan pemantauan dan
tidak ada halangan.
• Delay (Penundaan), Menekankan fungsi memperlambat akses
keluar masuk penghuni dalam rangka mencegah pelarian
narapidana/tahanan secara massal dan penyerangan,
• Halt (Penghentian), Menekankan fungsi kontrol dan kendali
pada saat dimulai/terjadinya kemungkinan penyimpangan,
berupa area steril dan terisolasi dari ruang yang lain.
• Minimize (Memperkecil), Menekankan fungsi mengurangi/
meminimalisir upaya gangguan dan semacamnya

Sistem keamanan statis tersebut diterapkan melalui rancangan


sarana dan prasarana dalam lapas yang mengacu pada Standar
evaluasi sarana dan prasarana hunian berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor PAS - 499. PK.02.03.01
Tahun 2015:
2.2 KAJIAN TIPOLOGI BANGUNAN
Standar evaluasi sarana dan prasarana hunian berdasarkan d. Kunci gembok
Keputusan Direktur Jenderal PemasyarakatanKementrian Hukum
Kunci gembok merupakan sarana hunian yang termasuk dalam
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor PAS - 499.
filosofi Delay (Penundaan). Fokus/ Obyek evaluasi terhadap kunci
PK.02.03.01 Tahun 2015:
adalah :
a. Pagar/ Ornamesh
(1) Terbuat dari bahan logam yang kuat;
Pagar/ ornamesh merupakan sarana hunian yang termasuk dalam (2) Tidak mudah dirusak;
filosofi Deter (Penghalangan). Fokus/ Obyek evaluasi terhadap (3) Anak kunci tidak mudah di duplikasi;
pagar adalah : (4) Anak kunci tidak terlepas saat gembok terbuka;
(5) Anti karat.
(1) Terbuat dari bahan logam yang kuat;
(2) Tidak mudah di rusak; e. Jendela
(3) Transparan, untuk tujuan pengawasan petugas;
Jendela merupakan sarana hunian yang termasuk dalam filosofi
(4) Anti Karat;
Delay (Penundaan). Fokus/ Obyek evaluasi terhadap jendela
(5) Tidak bisa dipanjat.
adalah :
b. Tembok
(1) Terbuat dari bahan jeruji besi yang kuat dan tidak mudah di
Tembok merupakan sarana hunian yang termasuk dalam filosofi rusak;
Deter (Penghalangan). Fokus/ Obyek evaluasi terhadap tembok (2) Tertanam dalam tembok bangunan;
adalah : (3) Jarak antar jeruji jendela tidak dapat dilewati oleh tubuh
manusia;
(1) Terbuat dari bahan beton bertulang yang kuat;
(4) Ukuran jendela disesuaikan dengan luas kamar untuk
(2) Tidak mudah dirusak;
pencahayaan alami dan sirkulasi udara;
(3) Tidak bisa dipanjat;
(5) Terbuka tanpa penutup, untuk penghuni dapat melihat
(4) Tegak lurus tidak miring;
kehidupan lingkungan di luar kamar, juga berfungsi untuk
(5) Permukaan halus tidak bertekstur.
petugas mengawasi aktifitas penghuni di dalam kamar.
c. Pintu
f. Ventilasi
Pintu merupakan sarana hunian yang termasuk dalam filosofi
Ventilasi merupakan sarana hunian yang termasuk dalam filosofi
Delay (Penundaan). Fokus/ Obyek evaluasi terhadap pintu adalah :
Delay (Penundaan). Fokus/ Obyek evaluasi terhadap ventilasi
(1) Terbuat dari bahan logam yang kuat; adalah :
(2) Tidak mudah dirusak;
(1) Terbuat dari bahan jeruji besi yang kuat dan tidak mudah di
(3) Terdiri atas jeruji yang tidak dapat dilalui badan manusia;
rusak;
(4) Dilengkapi dengan plat pengamanan untuk melindungi kunci
(2) Tertanam dalam tembok bangunan;
gembok dari jangkauan penghuni;
(3) Jarak antar jeruji ventilasi harus rapat untuk menghindari
(5) Dapat dipantau oleh petugas setiap saat;
penghuni membuang atau menerima barang terlarang dari luar
(6) Khusus pintu besar terdapat pelindung permanen bagi
kamar;
petugas;
(4) Ukuran ventilasi disesuaikan dengan luas kamar untuk
(7) Seluruh pintu terkunci dari luar.
pencahayaan alami dan sirkulasi udara;
(5) Ketinggiannya tidak mudah digapai penghuni;
(6) Terdapat di atas depan dan belakang.
2.2 KAJIAN TIPOLOGI BANGUNAN
g. Lampu
(3) Tertanam dan tidak bisa dilepas dari dudukannya;
Lampu merupakan sarana hunian yang harus memenuhi filosofi
(4) Jumlahnya sesuai dengan kebutuhan penghuni;
Detect (Pemantauan). Fokus/ Obyek terhadap lampu adalah :
(5) saluran pembuangan harus lancar;
(1) Cukup menerangi saat malam hari; (6) berada dalam pengawasan petugas.
(2) Jumlahnya disesuaikan dengan luas kamar;
k. Area cuci
(3) Lampu dipasang tertanam (inbouw) diatas;
(4) tidak mudah digapai dan tidak mudah dirusak; Area cuci merupakan sarana hunian yang harus memenuhi filosofi
(5) kendali lampu di tangan petugas. Detect (Pemantauan). Fokus/ Obyek evaluasi terhadap area cuci
adalah :
h. Pos Pengamanan
(1) Harus tersedia pada tiap blok hunian;
Pos pengamanan merupakan sarana hunian yang termasuk dalam
(2) Luas sesuai dengan kebutuhan penghuni;
filosofi Detect (Pemantauan). Fokus/ Obyek terhadap pos
(3) Tersedia air bersih;
pengamanan adalah :
(4) Berada di lokasi terbuka dalam jangkauan pemantauan
(1) Memiliki posisi dan jangkauan pandang yang baik untuk dapat petugas;
memantau gerakan penghuni;
l. Area jemur
(2) Kendali di tangan petugas bukan penghuni;
(3) Dilengkapi alat tulis untuk mencatat kejadian dalam blok Area jemur merupakan sarana hunian yang harus memenuhi
hunian; filosofi Detect (Pemantauan). Fokus/ Obyek evaluasi area jemur
(4) Seluruh pos dilengkapi alat keselamatan dan komunikasi. adalah :

i. Kamar mandi (1) Ditempatkan di area terbuka;


(2) Harus tersedia pada tiap blok hunian;
Kamar mandi merupakan sarana hunian yang harus memenuhi
(3) Luas sesuai dengan kebutuhan penghuni;
filosofi Detect (Pemantauan). Fokus/ Obyek evaluasi terhadap
(4) Dilengkapi alat jemur terbuat dari bahan logam yang ditanam
kamar mandi adalah :
dan di las mati;
(1) Menggunakan pancuran (shower) yang tertanam ditembok (5) Berada di lokasi yang mudah bagi penghuni dan dalam
bukan dengan fleksibel dan tidak berbahaya atau jangkauan petugas.
penampungan air/ bak mandi;
m. Halaman/ Selasar/ Ruang Angin-angin
(2) Jumlahnya sesuai dengan kebutuhan penghuni;
(3) Berada dalam jangkauan pemantauan petugas. Halaman/ selasar/ ruang angin-angin merupakan sarana hunian
yang termasuk dalam filosofi Detect (Pemantauan). Fokus/ Obyek
j. Toilet
evaluasi area halaman/ selasar/ ruang angin-angin yang berfungsi
Toilet merupakan sarana hunian yang harus memenuhi filosofi sebagai tempat rekreasi penghuni adalah :
Detect (Pemantauan). Fokus/ Obyek evaluasi terhadap toilet
(1) Halaman/ selasar/ ruang angin-angin merupakan area terbuka
adalah :
dalam blok hunian;
(1) Menggunakan toilet jongkok, kecuali untuk penghuni (2) Dapat diakses seluruh penghuni dalam blok;
berkebutuhan khusus dapat disiapkan toilet duduk; (3) Harus dapat diawasi dari pos pengamanan.
(2) Terbuat dari bahan yang tidak mudah dirusak/ dipecah dan
tidak dapat digunakan untuk menyembunyikan benda
terlarang;
2.2 KAJIAN TIPOLOGI BANGUNAN
n. Kebutuhan air q. CCTV

Kebutuhan air dalam hunian terdiri atas air untuk konsumsi CCTV merupakan sarana hunian yang termasuk filosofi Minimize
(makan minum) dan air untuk kebersihan (mandi, cuci, kakus). (Memperkecil), sebagai alat bantu petugas dalam memantau
Fokus/ Obyek evaluasi kebutuhan air adalah : untuk memperkecil gerakan penghuni. Fokus/ Obyek evaluasi cctv
adalah :
(1) Tersedia setiap saat dibutuhkan selama 24 jam;
(2) Jumlahnya dapat memenuhi kebutuhan layak penghuni; (1) Terdapat dalam blok hunian;
(3) Termasuk dalam kategori air yang baik kualitasnya memenuhi (2) Harus mampu memonitor gerakan penghuni dengan jelas;
standar layak; (3) Tahan segala cuaca dan jelas pada waktu gelap dan terang;
(4) Kebutuhan air disesuaikan dengan iklim daerah tertentu; (4) Tidak mudah dirusak dan tidak mudah dijangkau.
(5) Kebutuhan air di kelola oleh petugas.
r. Kamar Hunian
o. Instalasi Sanitasi
(1) Luas kamar Besaran luas masing-masing kamar hunian
Instalasi sanitasi terdiri atas saluran pipa pembuangan kotoran dan dipengaruhi oleh jumlah kapasitas penghuni, dengan
penyediaan tempat sampah dalam blok. Fokus/ Obyek evaluasi kebutuhan ruang untuk tiap-tiap orang adalah untuk istirahat/
instalasi sanitasi adalah : tidur, bergerak/ aktifitas, beribadah dan toilet
(2) Jumlah penghuni Jumlah penghuni dalam setiap kamar tidak
(1) Seluruh saluran pembuangan keluar lancar dan tidak
boleh 2 orang (double booking)
terhambat (mampet);
(3) Lantai Lantai terbuat dari bahan yang tidak mudah di pecah
(2) Saluran tertanam/ tidak terbuka sehingga tidak mudah dirusak;
atau beton.
(3) Tidak dapat digunakan untuk menyembunyikan benda
(4) Langit-langit Terbuat dari bahan yang tidak mudah di rusak,
terlarang;
ketinggiannya tidak mudah dijangkau dan harus
(4) Selokan dalam blok harus lancar dan bersih dari sampah;
mempertimbangkan sirkulasi udara.
(5) Tersedia tempat sampah tertutup di blok dan kamar;
(5) Tempat tidur Terbuat dari bahan beton yang ditinggikan dari
(6) Petugas melakukan pengendalian kebersihan hunian;
lantai kamar.
(7) Terdapat jeruji tertanam atau permanen di setiap saluran
(6) Kasur Terbuat bahan yang aman, tidak mudah terbakar, tahan
keluar/ pembuangan dari bahan beton untuk saluran terbuka
air dan terbuat dari bahan padat, rapat dan lentur, untuk
dan lubang saluran pembuangan tidak dapat dilalui oleh
menghindari penyimpanan barang terlarang.
manusia.
(7) Penyimpanan barang pribadi Berbentuk lemari gantung,
p. Instalasi listrik berbahan tidak berbahaya, dilengkapi kunci, posisi di atas
tempat tidur.
Instalasi listrik merupakan seluruh perangkat dan jaringan
kelistrikan dalam hunian Lapas/ Rutan. Fokus/ Obyek evaluasi
kelistrikan adalah :

(1) Kendali kelistrikan harus dalam kendali petugas;


(2) Kotak panel listrik harus terkunci dan berada diluar blok;
(3) Kabel harus tertanam dalam tembok atau kalau berada di luar
tembok harus tertutup rapi dan tidak mudah dirusak penghuni;
(4) Tidak terdapat kabel dan saklar ataupun stop kontak listrik di
dalam kamar;
2.2 KAJIAN TIPOLOGI BANGUNAN
Luasan Minimum Komponen Gedung dan Fungsi Lembaga
Pemasyarakatan.

Keputusan Kemenkumham RI Nomor M.HH-01.PB.02.09 Tahun


2019
2.2 KAJIAN TIPOLOGI BANGUNAN
2.2 KAJIAN TIPOLOGI BANGUNAN
2.3 KAJIAN TEMA PERANCANGAN
2.3.1 Lembaga Pemasyarakatan sebagai Wadah
Rehabilitasi
Sebagai suatu negara yang menganut sistem hukum, Indonesia Hal tersebut sesuai dengan UU No. 12 Tahun 1995 tentang
memiliki lembaga pemasyarakatan sebagai salah satu elemen pemasyarakatan pasal 2, tujuan pemasyarakatan itu sendiri adalah
penting dalam penegakan hukum dan pidana. Sistem pemidanaan sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka
di Indonesia telah mengalami perubahan konseptual dari konsep membentuk warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia
retribusi ke arah konsep rehabilitasi (Widayati, 2012). Hal ini dapat seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak
dilihat dari adanya perkembangan sistem pidana di Indonesia mengulangi tindakan pidana sehingga dapat kembali diterima di
menurut Dirjen Pemasyarakatan yang meliputi: masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota
masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab. Hal ini menjadi
• Tahap pidana hilang kemerdekaan (1872-1945), tujuan dari
salah satu dasar pentingnya pemenuhan hak-hak warga binaan
tahap ini membuat jera narapidana agar bertobat sehingga
lapas. Akan tetapi, masih banyak hak-hak tersebut belum diberikan
tidak melanggar hukum lagi.
seutuhnya (Biaggy & Wibowo, 2020).
• Tahap pembinaan (1945-1963), tahap ini bertujuan membina
narapidana supaya menjadi lebih baik
• Tahap pembinaan masyarakat (1963-sekarang), tahap ini
bertujuan membina narapidana agar dapat menjadi anggota
masyarakat yang berguna.

Berbeda dengan konsep retribusi yang menekankan pada


persamaan ancaman pidana berdasarkan derajat perbuatan,
rehabilitasi memusatkan perhatian pada karakteristik individu yang
membutuhkan penyembuhan dan campur tangan pihak lain
(Widayati, 2012).

Rehabilitasi merupakan sebuah perbaikan, penempatan maupun


pengembalian hak bagi para narapidana yang bertujuan untuk
mendukung serta memberikan penanganan dan perbaikan mental
secara informal dan tertutup (Kurniawan & Zuhair, 2023). Salah
satu upaya yang dapat digunakan dalam proses suatu rehabilitasi
narapidana adalah pembinaan. Pembinaan merupakan salah satu
bagian dari proses rehabilitasi yang digunakan dalam sebuah
sistem pemasyarakatan (Panggabean & Jarodi, 2023). Arsitektur
mempunyai tugas dan peranan dalam menyediakan lingkungan
pembinaan yang dapat mendukung proses rehabilitasi.

Bangunan Lembaga pemasyarakatan atau yang biasa dikenal


dengan Lapas merupakan suatu bangunan yang berperan sebagai
wadah untuk menampung kegiatan pembinaan bagi narapidana,
baik pembinaan secara fisik maupun pembinaan secara rohani
agar dapat hidup normal kembali ke masyarakat.
2.3 KAJIAN TEMA PERANCANGAN
2.3.2 Pendekatan Bangunan Sehat dalam Lembaga
Pemasyarakatan
Pendekatan bangunan sehat dapat diartikan sebagai pendekatan
yang berfokus pada kesehatan dan kesejahteraan penghuninya.
Penerapan pendekatan desain bangunan sehat telah menjadi
sebuah kebutuhan dalam mendukung upaya pembangunan
berkelanjutan (Sekarlangit, 2023). Pendekatan bangunan sehat ini
mempunyai keterkaitan dengan green building dalam
menekankan kesehatan dan kesejahteraan pengguna bangunan.
Green building adalah bangunan yang memperlihatkan aspek-
aspek dalam melindungi, dan mengurangi penggunaan sumber
daya alam, menjaga mutu dari kualitas udara di ruangan, dan
memperhatikan kesehatan, mulai dalam tahap perencanaan,
pembangunan, pengoperasian (GBCI dalam Hasanuddin dkk.,
2023).
Ada sepuluh konsep bangunan sehat yang terdapat dalam WELL.
Metrik kinerja bangunan sehat dapat berbeda-beda tergantung
Setiap konsep mempunyai fokus dan tujuan berbeda yang terbagi
dari wilayah, fungsi, hingga stakeholder bangunan tersebut Liu
dalam prasyarat maupun pengoptimalan bangunan sehat. Konsep-
dkk., 2023 menyebutkan beberapa metrik yang dapat digunakan
konsep tersebut meliputi air, water, nourishment, light, movement,
sebagai acuan bangunan sehat. Metrik tersebut meliputi WELL
thermal, sound, materials, mind, dan community. Penerapan
(USA), FitWELL (USA), ASHB (China), HB (France), 9 Foundations,
konsep bangunan sehat dalam perancangan ini akan berfokus
GM-HW (Singapore), SBM-2015 (Germany). Metrik kinerja yang
pada dua konsep bangunan sehat dari WELL, yaitu air dan light.
akan digunakan sebagai acuan bangunan sehat dalam
Hal ini didasarkan atas permasalahan yang terjadi pada bangunan
perancangan ini adalah WELL.
eksisting di mana terdapat permasalahan terkait sirkulasi cahaya
WELL atau WELL Building Institute merupakan sebuah sarana bagi dan udara.
gedung dan organisasi untuk menghadirkan ruang yang dapat
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan manusia. WELL dipilih
sebagai metrik standar bangunan sehat karena lebih bersifat
umum dan dapat digunakan di berbagai jenis bangunan. WELL
mencakup serangkaian strategi yang didukung oleh penelitian
ilmiah terbaru melalui intervensi desain, protokol, kebijakan
operasional serta menumbuhkan budaya kesehatan dan
kesejahteraan. Konsep bangunan sehat WELL memiliki potensi
untuk diterapkan dalam perancangan lapas, dengan beberapa
penyesuaian dan pertimbangan khusus terhadap bangunan
lembaga pemasyarakatan tersebut.
2.3 KAJIAN TEMA PERANCANGAN
Air (Udara)

Konsep WELL Air bertujuan untuk mencapai tingkat kualitas udara Ada 14 Poin yang terdapat pada konsep WELL Air yang meliputi:
dalam ruangan yang optimal sepanjang umur bangunan melalui
• A01 Air Quality
beragam strategi seperti pengurangan penggunaan desain aktif,
• A02 Smoke-Free Environment
penggunaan strategi desain pasif, hingga desain yang
• A03 Ventilation Design
memperhatikan perilaku manusia. Penghawaan alami dapat
• A04 Construction Ventilation Management
digunakan sebagai strategi untuk menghasilkan tingkat kualitas
udara yang optimal. • A05 Enhanced Air Quality
• A06 Enhanced Ventilation Design
Penghawaan alami berperan untuk menghasilkan sirkulasi udara di • A07 Operable Windows
dalam ruangan, mengurangi kelembaban, dan memberikan udara • A08 Air Quality Monitoring and Awareness
segar pada suatu bangunan. Dalam suatu bangunan, penghawaan
• A09 Pollution Infiltration Management
berfungsi untuk menghasilkan kesejukan melalui bukaan seperti
• A10 Combustion Minimization
ventilasi, jendela, dan lain sebagainya (Sihombing, 2021). Hampir
• A11 Source Separation
setiap bangunan memerlukan ventilasi untuk mengatur suhu
• A12 Air Filtration
ruang dan kelembaban udara (Ratnasari & Asharhani, 2021).
• A13 Enhanced Supply Air
• A14 Microbe and Mold Control

Sirkulasi udara merupakan faktor penting dalam perencanaan dan


pengelolaan bangunan lembaga pemasyarakatan karena
berdampak langsung pada kesejahteraan, kesehatan, dan
keamanan penghuninya. Sirkulasi udara yang baik dapat
membantu menjaga kadar oksigen dalam bangunan serta
mengurangi penumpukan polusi udara, seperti debu, asap, dan
partikel lainnya yang dapat menyebabkan masalah pernapasan
dan kesehatan lainnya. Sirkulasi udara yang baik juga berperan
dalam menjaga suhu ruangan dan kelembaban ruangan yang akan
berpengaruh terhadap kenyamanan ruang tersebut.
2.3 KAJIAN TEMA PERANCANGAN
Light (Cahaya)

Konsep WELL Light berfokus pada paparan cahaya dan bertujuan Pencahayaan atau sirkulasi cahaya yang memadai adalah aspek
untuk menciptakan lingkungan pencahayaan yang meningkatkan penting dalam desain dan pengelolaan lembaga pemasyarakatan.
kesehatan visual, mental dan biologis. Pencahayaan mempunyai Cahaya yang memadai akan memberikan berbagai dampak positif
peran penting dan berdampak pada kesehatan visual, sirkadian, baik bagi kesehatan, kenyamanan, hingga membantu penghuni
dan mental pengguna bangunan. Strategi pencahayaan alami menjalankan aktivitas mereka sehari-hari.
dapat digunakan untuk menghasilkan pencahayaan yang optimal Terdapat 9 Poin dalam konsep WELL Light, yaitu:
dengan memanfaatkan sumber energi terbarukan.
• L01 Light Exposure
• L02 Visual Lighting Desain
• L03 Circadian Lighting Design
• L04 Electric Light Glare Control
• L05 Daylight Design Strategies
• L06 Daylight Simulation
• L07 Visual Balance
• L08 Electric Light Quality
• L09 Occupant Light Control

Pencahayaan alami dapat dikatakan sebagai jenis pencahayaan


yang berasal dari matahari. Sumber pencahayaan alami meliputi
sunlight (sinar matahari langsung), daylight (sinar matahari yang
sudah mengalami pembiasan di atmosfer), reflected light (sinar
matahari yang dipantulkan benda di sekitar bangunan).
Pencahayaan alami bertujuan untuk mendapatkan nilai atau
intensitas cahaya yang cukup dan berkualitas dalam sebuah
bangunan (Pangestu, 2019). Pengoptimalan pencahayaan alami
juga mempunyai dampak positif untuk penghematan penggunaan
energi listrik (Nurhaiza & Lisa, 2016).
2.3 KAJIAN TEMA PERANCANGAN

Penerapan konsep pencahayaan dan penghawaan alami pada


bangunan juga dapat mengurangi konsumsi energi secara
keseluruhan. Sebuah bangunan yang mampu memanfaatkan
potensi energi alam turut berpengaruh terhadap efisiensi energi
operasional yang digunakan (Vidiyanti dkk., 2018). Bangunan yang
menerapkan sistem passive design dapat mengurangi biaya
operasional bangunan untuk sistem-sistem penghawaan dan
pencahayaan buatan. Dengan demikian, penghawaan dan
pencahayaan alami bukan hanya aspek fungsional, tetapi juga
menjadi investasi jangka panjang untuk keberlanjutan dan
kesehatan lingkungan dalam desain dan konstruksi bangunan.
Selain efisiensi energi, manfaat psikologis dan kesehatan yang
didapat dari penghawaan dan pencahayaan alami membuatnya
menjadi elemen penting dalam desain bangunan yang ramah
penghuni.

Melalui fokus perancangan yang berfokus pada aspek kesehatan,


perancangan ini diharapkan tidak hanya menjadikan lapas sebagai
tempat penahanan, tetapi juga menciptakan lingkungan yang
mendukung proses rehabilitasi. Meskipun demikian, penerapan
konsep-konsep bangunan sehat dari WELL harus tetap disesuaikan
dengan standar bangunan lembaga pemasyarakatan yang berlaku
khususnya terkait keamanan bangunan. Hal ini bertujuan untuk
menciptakan bangunan yang sehat, tanpa mengurangi atau
mengorbankan aspek keamanan yang terdapat dalam lembaga
pemasyarakatan.
2.4 KAJIAN PRESEDEN
Halden Prison / Erik Møller Arkitekter + HLM
arkitektur
Halden Prison merupakan sebuah bangunan penjara yang terletak
di Norwegia. Bangunan ini mendapatkan julukan sebagai “The
most humane prison in the world”. Bangunan ini menekankan
konsep rehabilitasi dan Reintegrasi sosial. Bangunan ini berfokus
untuk menjadikan hukuman sebagai latihan untuk menjalani
kehidupan baru tanpa kejahatan. Bangunan yang mempunyai luas
30 ha ini dibangun di tengah-tengah kawasan hutan sehingga
mempunyai nuansa alam yang kuat. Bangunan ini juga
mempunyai fasilitas yang cukup lengkap bagi para narapidana,
seperti gym, perpustakaan, hingga ruang musik.

Program rehabilitasi yang diterapkan di Halden Prison ini


mendorong para narapidana untuk mengikuti pendidikan,
pelatihan kerja, dan program rehabilitasi lainnya untuk membantu
mereka kembali ke masyarakat setelah menjalani hukuman.
Pendekatan humanis Halden terbukti efektif: tingkat residivisme
narapidana di sini jauh lebih rendah dibandingkan dengan penjara
lain di Norwegia.

Halden Prison dibangun dengan mempertimbangkan pemilihan


material berdasarkan aspek fungsionalitas. Penggunaan material
kaca dalam jumlah yang cukup besar memungkinkan bangunan ini
mempunyai sistem pencahayaan alami yang cukup baik. Selain itu,
kaca tersebut juga menjadi akses visual ke arah lingkungan luar
bangunan (outdoor). Bangunan ini juga mempunyai peredam
kebisingan yang baik. Peredam kebisingan tersebut dihasilkan dari
penggunaan kayu dan gabus pada interior bangunan.

Keunggulan Desain:

• Menekankan pada rehabilitasi dan reintegrasi sosial


• Desain bangunan yang modern dan ramah lingkungan
• Fasilitas yang lengkap untuk narapidana
2.4 KAJIAN PRESEDEN
West Kimberley Regional Prison-TAG Architects and
Iredale Pedersen Hook Architects

West Kimberley Regional Prison merupakan sebuah bangunan Prinsip berkelanjutan benar-benar diterapkan dalam bangunan ini.
penjara yang terletak di Australia. Tidak seperti bangunan penjara Dalam proses perencanaan dan pembangunanya, bangunan ini
pada umumnya, bangunan ini tidak mempunyai elemen-elemen sangat memperhatikan kondisi alam di sekitarnya. Tata massa
seperti jeruji, tembok tinggi, hingga material solid sepeti bangunan dirancang untuk menimialisir penebangan pohon yang
bangunan penjara pada umumnya. Bangunan ini justru sudah ada pada site. Fasilitas umum diletakkan saling berdekatan
menggunakan konsep terbuka dan terhubung dengan lingkungan untuk mengurangi jarak tempuh antar bangunan.
luar. Rancangan ini didasarkan pada aspek fleksibilitas, budaya
Material yang digunakan pada bangunan ini merupakan material
setempat, dan interaksi antar manusia.
lokal yang berasal dari sekitar site. Setiap desain dan material juga
West Kimberley Regional Prison dibangun di lahan seluas 25 ha telah diuji melalui simulasi komputer untuk memastikan desain
dan terdiri dari 42 bangunan yang didesain dalam masterplan dapat bekerja dalam suhu yang ekstrem. Inovasi keberlanjutan lain
yang menyerupai suatu kampus. Di tengahnya terdapat sebuah yang terdapat pada bangunan ini adalah penggunaan panel surya
area dengan bentuk oval yang mencerminkan “Australian Rules sebagai sumber energi alternatif. Selain itu, terdapat juga fasilitas
Oval”. Area tersebut digunakan sebagai pusat kegiatan komunitas pengolahan limbah.
di dalamnya.
Keunggulan Desain:
Narapidana di bangunan ini ditempatkan secara berkelompok
• Menerapkan kebudayaan setempat
dengan jumlah anggota berkisar antara enam sampai delapan
• Mendukung interaksi sosial antar penghuni
orang. Hal ini merepresentasikan kehidupan suku aborigin yang
• Penerapan prinsip berkelanjutan
berkelompok. Sistem ini memungkinkan para narapidana untuk
mengontrol lingkungan tempat tinggal mereka (udara, suhu, • Desain yang menjaga kondisi alam
cahaya, dan privasi).
DAFTAR ISI

Afif Salim, M., & Bambang Siswanto, A. (2018). PENANGANAN BANJIR Ratnasari, A., & Asharhani, I. S. (2021). Aspek Kualitas Udara,
DAN ROB DI WILAYAH PEKALONGAN. Jurnal Teknik Sipil, 11. Kenyamanan Termal Dan Ventilasi Sebagai Acuan Adaptasi Hunian Pada
Masa Pandemi.
Alifia, N. (2018). LEMBAGA PEMASYARAKATAN PEREMPUAN KELAS II A
PONTIANAK. JMARS: Jurnal Mosaik Arsitektur, 6. Ratriana, Alfiah, & Basri, V. (2023). Implementasi Pendekatan Arsitektur
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/PEMASYARAKATAN Perilaku pada Desain Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA di Kabupaten
Wajo. JAUR (JOURNAL OF ARCHITECTURE AND URBANISM RESEARCH),
Biaggy, F., & Wibowo, P. (2020). UPAYA PEMENUHAN HAK PELAYANAN
7(1), 13–20. https://doi.org/10.31289/jaur.v7i1.8922
KESEHATAN KEPADA NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN.
Widya Yuridika: Jurnal Hukum. http://publishing- Sauda, R. H. S., Nugraha, A. L., & Hani’ah. (2019). KAJIAN PEMETAAN
widyagama.ac.id/ejournal-v2/index.php/yuridika/ KERENTANAN BANJIR ROB DI KABUPATEN PEKALONGAN . Jurnal
Geodesi Undip, 8.
Fernanda, A. R., Sabri, L. M., & Wahyuddin, Y. (2022). IMPLEMENTASI SIG
UNTUK PEMETAAN ANCAMAN BENCANA BANJIR KAWASAN Sekarlangit, N. (2023). Bangunan Sehat sebagai Penunjang Health
TERBANGUN KOTA PEKALONGAN. Dalam Jurnal Geodesi Undip Oktober Tourism di Bali. ATRIUM: Jurnal Arsitektur, 9(1), 19–29.
(Nomor 11). https://doi.org/10.21460/atrium.v9i1.213

Grant, E., & Hobbs, P. (2013). West Kimberley Regional Prison | Sihombing, S. B. (2021). ANALISIS EFEKTIVITAS PENGHAWAAN ALAMI
ArchitectureAU. https://architectureau.com/articles/west-kimberley- PADA RUMAH SUSUN (HUNIAN) (STUDI KASUS: RUMAH SUSUN KAYU
regional-prison/ PUTIH). Dalam Jurnal Sains dan Teknologi ISTP (Vol. 15, Nomor 01).

Hasanuddin, U., Dewi Maharani, S., Sudarwani, M. M., & Marpaung, C. O. Todd S, P., Michael A, G., & Stephen, A. K. (2003). Building Type Basics for
P. (2023). Building Performance Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Justice Facilities. John Wiley & Sons.
Salemba, Jakarta. https://doi.org/10.32315/ti.11.d049
Tumundo, T. T. A., Rondonuwu, D. M., & Sembel, A. S. (2020). LEMBAGA
Irina, V. (2011). Halden Prison / Erik Møller Arkitekter + HLM arkitektur - PEMASYARAKATAN WANITA KELAS II A di MANADO “Arsitektur
The Most Humane Prison in the World | ArchDaily. Paradoks.” Dalam Jurnal Arsitektur DASENG (Vol. 9, Nomor 1).
https://www.archdaily.com/154665/halden-prison-erik-moller-arkitekter-
Van Rate, Y. Y. R., Wuisang, C. E. V, & Prijadi, R. (2022). REDESAIN
the-most-humane-prison-in-the-world
LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS II DI KOTA TOMOHON
Kemenkumham RI. (2023, Agustus 15). Capai Titik Temu, Kemenkumham DENGAN METODE PENDEKATAN PERANCANGAN ARSITEKTUR
Jateng dan Pemkab Pekalongan Sepakati Penyediaan Lahan Relokasi PARADOKS. Media Mataram, 19.
Lapas Pekalongan. https://jateng.kemenkumham.go.id/pusat-
Vidiyanti, C., Tambunan, S. F. D. B., & Alfian, Y. (2018). Kualitas
informasi/artikel/8678-capai-titik-temu-kemenkumham-jateng-dan-
Pencahayaan Alami dan Penghawaan Alami pada Bangunan dengan
pemkab-pekalongan-sepakati-penyediaan-lahan-relokasi-lapas-
Fasade Roster. Vitruvian: Jurnal Arsitektur, Bangunan, dan Lingkungan.
pekalongan
Zen, Q. S., Dewiyanti, D., & Aditya, N. C. (2022). PERENCANAAN
Nugroho, A. M., & Iyati, W. (2021). Arsitektur Bioklimatik: Inovasi Sains
LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA YANG HUMANIS. DESA Jurnal
Arsitektur Negeri untuk Kenyamanan.
Desain dan Arsitektur, 3. https://ojs.unikom.ac.id/index.php/desa/index
Nurhaiza, M., & Lisa, N. P. (2016). Optimalisasi Pencahayaan Alami pada
Keputusan Kemenkumham RI Nomor M.HH-01.PB.02.09 Tahun 2019
Ruang. Dalam Jurnal Arsitekno (Vol. 7, Nomor 7).
Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan
Pangestu, M. D. (2019). Pencahayaan Alami Dalam Bangunan. Unpar
Press. Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Radio Kota Batik Pekalongan. (2024). Nomor PAS - 499. PK . 02 . 03 . 01 Tahun 2015
https://rkb.pekalongankota.go.id/berita22566-1-kalapas-sosialisasikan-
urgensi-dan-manfaat-relokasi-lapas-pekalongan-di-desa-larikan.html
No. Perbaikan Dosen Respon Halaman
1 “Relokasi” ditambahkan dalam • Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D. Penambahan kata “Relokasi’ dalam 1
judul perancangan Judul untuk menegaskan proses
relokasi lapas itu sendiri

2 Perlu survei langsung ke bangunan • Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D. Survei langung ke bangunan Lapas 9, 10, 18, 19
(Lapas Kelas IIA Pekalongan) • Dr. Ar. Jarwa Prasetya Sih Handoko, Kelas IIA Pekalongan dan site relokasi
S.T., M.Sc., IAI., GP untuk mengetahui permasalahan dan
• Prof. Dr. Ir. Ar. Sugini, M.T., IAI., GP. kondisi secara aktual

3 Permasalahan khusus perlu • Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D. Memperjelas permasalahan khusus 11
diperjelas • Dr. Ar. Jarwa Prasetya Sih Handoko, perancangan dan mengaitkanya
S.T., M.Sc., IAI., GP dengan konflik perancangan
• Prof. Dr. Ir. Ar. Sugini, M.T., IAI., GP.

4 Metode perancangan perlu • Prof. Dr. Ir. Ar. Sugini, M.T., IAI., GP. Menjelaskan metode perancangan secara 13, 14
diperjelas runtut

5 Perjelas klasifikasi lapas • Dr. Ar. Jarwa Prasetya Sih Handoko, Penjelasan mengenai klasifikasi dan 22
S.T., M.Sc., IAI., GP tingkatan keamanan dalam lapas

6 Lengkapi kajian tentang jenis • Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D. Penjelasan mengenai jenis kajian 31, 34
bangunan sehat • Dr. Ar. Jarwa Prasetya Sih Handoko, bangunan sehat yang akan digunakan
S.T., M.Sc., IAI., GP sebagai acuan perancangan
berdasarkan permasalahan yang terjadi
pada bangunan eksisting

Anda mungkin juga menyukai