Anda di halaman 1dari 12

Vol. 6 (3) Agustus 2022, pp.

359-370
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6907 (online)

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI CROSS BORDER


E-COMMERCE

THE CONSUMER PROTECTION IN CROSS BORDER E-COMMERCE


TRANSACTIONS
Jasmine
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang, No.1, Darussalam, Banda Aceh – 23111
e-mail: Jasminenasution2@gmail.com

Safrina
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang, No.1, Darussalam, Banda Aceh – 23111
e-mail: safrinamahmud@unsyiah.ac.id

Abstrak - Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaturan perlindungan konsumen, tantangan dalam
melindungi hak-hak konsumen, dan mekanisme penyelesaian sengketa ketika konsumen mengalami kerugian
melalui transaksi cross border e-commerce berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi e-
commerce dapat ditemui dalam UU ITE yang menjadi dasar pengaturan mengenai e-commerce, UU ITE
menjawab permasalahan mengenai perbedaan yuridiksi hukum negara antara pelaku usaha dan konsumen
dijelaskan dalam pasal 54 ayat (1) UU ITE yang menjangkau pelaku usaha diluar negri sehingga jangkauan UU
ini tidak hanya bersifat lokal saja tetapi juga internasional. Selanjutnya UU PK yang merupakan dasar hukum
bagi perlindungan konsumen di Indonesia yang memberikan aturan mengenai hak dan kewajiban konsumen
serta pelaku usaha, lalu aturan mengenai transaksi cross border e-commerce tidak diatur secara khusus di
Indonesia baik dalam peraturan perundang-undangan ataupun peraturan lainnya. Kemudian dalam hal
penyelesaian sengketa transaksi cross border e-commerce UU PK memberikan penyelesaian sengketa berupa
litigasi dan non litigasi, menurut UU ITE penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan
kepada pihak penyelenggara transaksi online yang dilakukan diluar pengadilan yaitu konsiliasi, mediasi, dan
arbitrase. Disarankan pemerintah segera membentuk pengaturan khusus mengenai transaksi cross border e-
commerce, dimana di harapkan pengaturan ini memberikan perlindungan terutama kepada hak-hak konsumen.
Disamping itu memberi penegasan bagi E-Commerce untuk mencamtukan klausula pilihan hukum di dalam
Terms and Conditions of use yang terlampir sebagai kontrak standar antara konsumen dan pelaku usaha. Agar
dikemudian hari ketika terjadi perselisihan dapat menggugat ganti rugi menggunakan hukum positif di
Indonesia.
Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Transaksi, Cross Border E-Commerce.

Abstract - The research was conducted to determine consumer protection arrangements, challenges in
protecting consumer rights, and dispute resolution mechanisms when consumers experience losses through
cross border e-commerce transactions based on Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection (CP Law) and Act
No. 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions (IET Law). The results of this research showed that
the legal protection for consumers in e-commerce transactions can be found in the IET Law which is the basis
for regulating the e-commerce, the IET Law answers the problem regarding the difference in state legal
jurisdiction between business actors and consumers described in article 54 paragraph (1) of the IET Law that
reaches overseas business actors so that the reach of this Law is not only local but also international.
Furthermore, the CP Law which is the legal basis for consumer protection in Indonesia which provides rules
regarding the rights and obligations of consumers and business actors, then the rules regarding cross border e-
commerce transactions are not regulated. specifically in Indonesia both in laws or another kind of regulations.
Then in terms of dispute resolution of cross border e-commerce transactions, the CP Law provides dispute
resolution in the form of litigation and non-litigation, according to the IET Law, dispute resolution can be
settled by filing a lawsuit to the organizers of online transactions and conducted outside the court, namely
through conciliation, mediation, and arbitration. It is recommended to the government should immediately
establish special arrangements regarding cross border e-commerce transactions, while it is hoped that this
arrangement will provide protection, especially for consumer rights. Besides, it provides confirmation for E-
Commerce to include a choice of law clause in the attached Terms and Conditions of use as a standard contract
359
JIM Bidang Hukum Perdata: Vol. 6, No.3 Agustus 2022 360
Jasmine, Safrina

between consumers and business actors. So that in the future when a dispute occurs, they can claim
compensation using positive law in Indonesia.
Keywords : Consumer Protection, Transaction, Cross Border E-Commerce.

PENDAHULUAN
Pengaturan mengenai negosiasi e-commerce masih belum menjawab berbagai
pertanyaan khususnya karena Indonesia belum mengatur secara spesifik megenai cyberspace
dan e-commerce dalam transaksi elektronik, khususnya pada bagian perdagangan secara
lintas batas negara (cross border). Demikian pula dapat dikatakan Indonesia belum memiliki
perlindungan hukum yang kuat dalam melaksanakan transaksi elektronik oleh para pihak
yang bertransaksi sebagai penjual dan pembeli (konsumen).1
Perdagangan Lintas Batas Negara (cross border e-commerce) terdiri dari beberapa
bentuk adapun diantaranya adalah, konsumen sebagai individu dapat langsung membeli
produk maupun layanan yang berasal dari luar negeri, sebagai contoh Lazada memiliki
platform yang menyediakan layanan untuk bertransaksi langsung dari Tao Bao, Cina yang
merupakan e-commerce asal Negara tersebut. Begitu pula dengan Shopee yang juga
bekerjasama dengan Jingdong. Tak kalah dengan BUMN di Indonesia yaitu Blanja.com yang
memfasilitasi pembeli asal Indonesia untuk berbelanja langsung menggunakan platform
online di Amerika Serikat.
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen mengatur hak-
hak pelanggan. Pada pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, diantaranya “(e) hak untuk
memperoleh advokasi, perlindungan, serta usaha penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen dengan patut; (h) hak untuk memperoleh kompensasi, ganti rugi maupun
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya; dan (i). hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.”.
Apabila antara pelaku usaha dengan pelanggan berada pada satu wilayah yurisdiksi
yang sama yakni yurisdiksi Indonesia maka aspek dari hukum perlindungan konsumen akan
berlaku. Andaikata pelaku usaha dengan pelanggan berada pada yurisdiksi yang tidak sama
maka akan muncul permasalahan. Kalau pelaku usaha yang ada diluar wilayah Indonesia,
sesungguhnya kembali lagi kepada perjanjian diantara para pihak yang sudah disahkan
sebelum itu. Umumnya pada kontrak akan dimasukkan klausul choice of law (pilihan
hukum), Tetapi sejumlah lokapasar (marketplace), seperti Amazon.Com, pada klausul

1
Agus Sardjono, “Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Dalam Cross Border Transaction : Antara Norma
Dan Fakta”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27 No. 4, 2008, hlm. 11.
JIM Bidang Hukum Perdata: Vol. 6, No.3 Agustus 2022 361
Jasmine, Safrina

condition of use yang diumumkan, Amazon.Com menjelaskan bahwasanya untuk semua jual
beli yang dilaksanakan berlaku The Law of State of Washington sebagai pilihan
hukumnya.2Hal ini tentu menimbulkan masalah baru dikarenakan konsumen dapat dikatakan
tidak memiliki pilihan hukum, akan hukum apa yang dapat dipakai ketika terjadi perselisihan
dengan pelaku usaha atau e-commerce.
Pada permasalahan tersebut, perlindungan hukun untuk pelanggan perlu dilaksanakan
melalui prosedur internasional dengan penyesuaian hukum serta kerjasama lembaga-lembaga
penegak hukum.3 Menjadi pertanyaan terkait pemenuhan hak-hak pelanggan yang dimuat
pada UUPK serta perlindungan hukumnya ketika para pihak melakukan transaksi yang
dilakukan secara cross border serta penyelesaian sengketa perjanjian cross border e-
commerce. Persoalan itu memunculkan ketidakpastian hukum disebabkan hilangnya
perlindungan hukum terhadap pelanggan pada penanggulangan sengketa perjanjian digital
internasional secara e-commerce.4
Adapun identifikasi masalah penelitian ini ialah:
1. Bagaimana pengaturan perlindungan konsumen dalam transaksi cross border
e-commerce?
2. Apa yang menjadi tantangan dalam perlindungan konsumen cross border e-commerce?
3. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa yang bisa dijalani oleh para pihak dalam
transaksi cross border e-commerce?
Selain itu penelitian ini bertujuan yakni:
1. Untuk mencari tahu pengaturan perlindungan hak-hak pelanggan yang dilanggar oleh
pelaku usaha pada transaksi yang dilakukan melalui lintas batas negara (cross border)
2. Untuk mengetahui tantangan dalam melindungi hak-hak pelanggan yang melaksanakan
perjanjian melalui lintas batas negara (cross border)
3. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian sengketa dari kerugian yang diderita oleh oleh
para pihak pada perjanjian cross border e-commerce.

2
Az. Nasution, “Revolusi Teknologi Dalam Transaksi Bisnis Melalui Internet” Jurnal Keadilan
Volume I No. 3 September 2001, hlm 29.
3
Budi Agus Riswandi, Hukum dan Internet di Indonesia, UII Press: Yogyakarta, 2003, hlm 63.
4
Zahwa Maulidina Afwija, Penyelesaian Sengketa Atas Kerugian Konsumen Sebagai Bentuk
Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Cross Border E- Commerce, Malang: Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, 2021, hlm 13-14.
JIM Bidang Hukum Perdata: Vol. 6, No.3 Agustus 2022 362
Jasmine, Safrina

METODE PENELITIAN
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang
ditujukan untuk mempelajari implementasi asas-asas maupun aturan-aturan pada hukum
postif5 lebih lanjut jenis penulisan yuridis normatif pada perkembangan abad ke-21 perlu
mengambil hasil artikel-artikel ilmu empiris, tetapi penemuan ilmu empiris itu statusnya
menjadi ilmu sekunder guna keperluan serta pengkajian dan penjelasan hukum dengan
tidak mengganti karakteristik ilmu hukum menjadi ilmu normatif.6
Data yang didapatkan melalui penelitian ini diuraikan dengan cara memakai
prosedur statute approach, yakni prosedur yang dilaksanakan dengan cara mengkaji
setiap ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan tema hukum yang diteliti.7
2. Tahap dan Bahan Penelitian
Tahapan penelitian dengan melakukan pencarian kepustakaan dengan upaya
mengumpulkan data sekunder dengan memakai bahan hukum primer, sekunder, serta
tersier. Dalam artikel ini penulis menggunakan bahan hukum yaitu KUHPerdata,
Undang-undang No.8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen, Undang-undang
No.11 Tahun 2011 mengenai Informasi Transaksi Elektronik, dan Konvensi-konvensi
Internasional, Bahan hukum sekunder meliputi: bacaan-bacaan yang memiliki relevansi
terkait masalah yang tengah dibahas, artikel, dan media elektronik, dan bahan Hukum
Tersier yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Adapun untuk melengkapi data sekunder, penulis melakukan tahap hasil-hasil
penelitian dan temuan-temuan ilmu empiris, yang temuan ilmu empiris itu statusnya
merupakan ilmu sekunder guna keperluan serta pengkajian dan penjelasan hukum
dengan tidak mengganti karakteristik ilmu hukum menjadi ilmu normatif.8
3. Alat serta Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dengan cara mempelajari
implementasi asas-asas maupun aturan-aturan pada hukum postif, mendalami peraturan
perundang-undangan, pendapat para ahli, artikel, buku-buku, karya ilmiah, dan bacaan
bersifat teoritis lainnya.

5
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media Publishing,
2013 hlm 295.
6
Ibid, hlm. 300
7
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme penelitian hukum normatif dan empiris, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015, hlm. 186.
8
Ibid. 295.
JIM Bidang Hukum Perdata: Vol. 6, No.3 Agustus 2022 363
Jasmine, Safrina

4. Analisis Data
Penelitian ini memakai metode analisa data secara kualitatif dengan maksud
memahami suatu konsep pemikiran atau pengalaman tertentu, dengan mengambil metode
analisis cara mengelompokkan, mengkategorikan, dan menginterpretasikan data yang
diperoleh yang bersifat deskriptif.9

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Cross Border E-Commerce
Perlindungan hukum terhadap pelanggan dalam bisnis e-commerce bisa ditemukan
pada Undang-Undang No.8 Tahun 1997 mengenai Perlindungan Konsumen (selanjutnya
dibaca UU PK) dan Undang-Undang No.19 Tahun 2016 mengenai Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 mengenai Informasi serta Transaksi Elektronik
(selanjutnya dibaca UU ITE). UU PK adalah dasar hukum terhadap perlindungan
konsumen di Indonesia, sementara itu UU ITE adalah dasar hukum terhadap pelanggan
yang melaksanakan perjanjian e-commerce. Seperti halnya dijelaskan di atas bahwasanya
perjanjian e-commerce menyebabkan banyak persoalan, jadi pada pengkajian ini akan
dijelaskan sejumlah persoalan yang utama mengenai perjanjian e-commerce serta
sistemasi persoalan itu berdasarkan UUPK serta UU ITE.
Menurut UU PK, setiap konsumen dan juga pelaku usaha bersama-sama tunduk pada
UU PK. Segala hak serta kewajiban dari pelanggan serta pelaku usaha termaktub secara
jelas pada UU PK. Saat terjadi suatu hubungan hukum diantara pelanggan dengan pelaku
usaha, baik itu jaringan hukum yang berkaitan dengan barang maupun jasa, maka secara
otomatis UU PK akan hadir sebagai pelengkap.
Hak-hak konsumen di atur di dalam UUPK dengan tujuan agar konsumen dapat
secara aman dalam bertransaksi sebagai konsumen karena haknya dilindungi oleh hukum
yang terdapat sanksi dan akibat hukum apabila dilanggar oleh para pelaku usaha termasuk
di dalam dunia e-commerce. Mengacu pada pada Bab III Bagian Pertama Pasal 4, Dalam
bentuk hak atas kesenangan, hak menentukan barang, hak atas keterangan yang benar, hak
untuk menyampaikan opini serta keberatannya, hak untuk memperoleh advokasi, serta hak
untuk diterima maupun memperoleh pelayanan yang baik serta jujur.

9
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hlm 50.
JIM Bidang Hukum Perdata: Vol. 6, No.3 Agustus 2022 364
Jasmine, Safrina

Jika dikaitkan dengan pelanggan cross border e-commerce yang tidak mendapatkan
kepastian hukum yang jelas, terutama terhadap pengaturan perjanjian cross border e-
commerce. Hal tersebut sudah pasti bertentangan dengan poin ke-5 pada pasal 4 UU PK
yang disebutkan “hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut”.
Selanjutnya UU ITE adalah dasar hukum primer terhadap e-commerce di Indonesia.
UU ITE tersebut diabsahkan pada tanggal 21 April 2008 serta sudah diberlakukan pada
saat diundangkan (Pasal 54 ayat 1 UU ITE). UU ITE berlaku untuk semua orang yang
berbuat perbuatan hukum, baik yang ada di wilayah Indonesia ataupun diluar Indonesia.
Oleh karena itu cakupan UU ini bukan cuma sifatnya dalam negeri saja namun juga luar
negeri. Bahwa di dalam Pasal 2 UU ITE disebutkan undang-undang tersebut mempunyai
cakupan yurisdiksi tidah hanya pada perbuatan hukum yang dilaksanakan oleh warga
negara Indonesia maupun yang berlaku di Indonesia, namun berlaku juga bagi perbuatan
hukum yang dilaksanakan di luar regional hukum Indonesia baik pada warga negara
Indonesia ataupun warga negara asing serta badan hukum Indonesia ataupun badan hukum
internasional yang mempunyai akibat hukum di Indonesia, dikarenakan Teknologi
Informasi bagi Informasi Digital serta Transaksi Elektronik bisa bermanfaat dalam lintas
wilayah maupun keseluruhan.10
Sebagaimana juga E-Commerce memiliki peroalan yang lebih luas berlangsung dalam
aspek keperdataan disebabkan transaksi digital pada aktivitas jual beli secara sistem digital
(electronic commerce) sudah membentuk bagian melalui perdagangan dalam negeri serta
luar negeri. Ruang dalam dunia maya tidak bisa dicapai cuma melalui parameter serta
pengaturan hukum yang umum karena apabila metode tersebut yang ingin dijalani maka
akan ditemukan kendala serta permasalahan yang tidak terdeteksi terhadap penegasan
hukum.11

10
Penjelasan Umum Mengenai UU ITE
11
Ibid
JIM Bidang Hukum Perdata: Vol. 6, No.3 Agustus 2022 365
Jasmine, Safrina

2. Tantangan Dalam Melindungi Hak-Hak Konsumen yang Melakukan Transaksi


Secara Lintas Batas Negara (Cross Border)
Permasalahan yang ada dalam transaksi secara cross border adalah klausula baku
yang tertulis pada perjanjian diantara pelaku usaha dan pelanggan dengan alasan adanya
yuridiksi luar negeri, seperti perbedaan penyelesaian sengketa e-commerce yang ada di
beberapa negara, seperti: di Inggris akan menggunakan penyelesaian sengketa secara
online bernama EODR (European Commision Dispute Resolution), sedangkan di
Indonesia sendiri Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) serta Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) adalah lembaga yang bewenang untuk menyelesaikan
sengketa pada perjanjian cross border di e-commerce.12
Sampai saat ini masih terdapat praktik penyelewengan apalagi pada transaksi e-
commerce yang mana setiap aktivitas transaksi dikerjakan dengan metode “klik” dengan
tidak ada metode tawar-menawar, meskipun UUPK dengan cermat menetapkan tentang
tata cara untuk membuat perjanjian baku. Perjanjian eksonerasi pada perjanjian e-
commerce ditemukan pada banyak hal, salah satunya adalah pencantuman klausula pilihan
hukum di dalam kontraknya.
Perjanjian tentang pilihan hukum biasanya berlangsung dalam transaksi e-commerce
yang sifatnya antar negara. Pilihan hukum mengenai hukum negara manakah yang bisa
dipakai apabila terjadinya sengketa, pada permasalahan ini sengketa diantara pelanggan
dengan pelaku usaha yang tinggal di luar negeri. UU PK mempunyai kelemahan, yaitu tak
bisa mencakup pelaku usaha yang berada di luar Indonesia.
UU ITE telah menetapkan tentang pilihan hukum yaitu disematkan pada Pasal 18 ayat
(2) yang mana dijelaskan bahwasanya para pihak memiliki kekuasaan untuk menentukan
hukum yang sah untuk transaksi digital luar negeri yang dilakukannya, akan tetapi UU
ITE tak menetapkan tentang perjanjian baku seperti yang ditetapkan pada UUPK, oleh
karena itu pelanggan terpaksa patuh terhadap peraturan yang diterbitkan oleh pelaku
usaha. Pemakaian perjanjian baku mengenai penentuan hukum bisa ditemukan pada EULA
(End User License Agreement) contohnya yang diterbitkan oleh amazon.com yang
disebutkan “bahwasanya setiap perjanjian yang terjadi dengan amazon.com diberlakukan

12
Zahwa Maulidina Afwija.“Penyelesaian Sengketa Atas Kerugian Konsumen Sebagai Bentuk
Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Cross Border E- Commerce”, Skripsi, Malang: Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang, 2021), hlm. 15.
JIM Bidang Hukum Perdata: Vol. 6, No.3 Agustus 2022 366
Jasmine, Safrina

the laws of state of Washington.”13 Maka dari itu pelanggan yang berada dari negara mana
saja yang melaksanakan pernjanjian dengan amazon.com patuh terhadap hukum negara
bagian Washington.
Namun andaikata pelaku usaha merugikan pelanggan, maka pelanggan perlu
mengusulkan gugatan ke negara bagian Washington serta hal tersebut pasti menghabiskan
uang yang sangat banyak, tentu hal tersebut akan membebani pelanggan. Sebagai dasar
hukum perjanjian e-commerce seharusnya UU ITE perlu mencakup perjanjian e-commerce
internasional perlu disematkan tentang perihal penentuan hukum tersebut, dikarenakan
ketetapan Pasal 18 ayat 2 UU ITE tersebut tak memberi perlindungan pada pelanggan.
Indonesia sebenarnya telah menerapkan Online Dispute Settlement (ODR), namun
belum dapat terimplementasi dengan baik karena masih terdapat kekosongan hukum
mengenai prosedur pelaksanaan ODR, meliputi persiapan teknologi software untuk
menangani sengketa secara online melintasi batas negara yang berperan penting dalam
penyelesaian sengketa konsumen. Sehingga pengaturan transaksi elektronik ini masih
belum memenuhi serta belum bisa menanggapi semua permasalahan yuridis atas transaksi
digital ini, khususnya masalah terkait yuridiksi negara.
Sengketa pelanggan pada perjanjian cross border melalui e-commerce pula merugikan
konsumen, apabila dalam transaksi e-commerce perjanjian jual belinya adalah secara
elektronik, sehingga konsumen harus memperhatikan beberapa hal sebelum bertransaksi di
media online, yaitu keamanan data dan privasi serta kepastian hukum terkait lembaga yang
berwenang untuk mengadili sengketa konsumen pada perjanjian cross border. Sehingga
pembeli yang dirugikan berhak atas ganti rugi dan pengembalian dana.

3. Bentuk Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen dan Pelaku Usaha (E-Commerce)


Dalam Transaksi Cross Border
UU No.8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen adalah sebuah dasar tentang
perlindungan hukum yang diperoleh baik konsumen dan pelaku usaha, namun kelemahan
dari UU ini adalah tidak adanya aturan spesifik mengenai transaksi cross border e-
commerce. Kelemahan ini menimbulkan perselisihan sengit antara konsumen dan pelaku
usaha, dan tidak sedikit memilih jalur hukum berupa litigasi dan non litigasi.

13
Amazon, “AWS Elemental End User License Agreement” dikutip dari www.amazon.com diakses pada
19 Mei 2022
JIM Bidang Hukum Perdata: Vol. 6, No.3 Agustus 2022 367
Jasmine, Safrina

Menurut UU ITE penanggulangan sengketa bisa dilaksanakan dengan mengusulkan


gugatan pada pihak pelaksana transaksi online. Sementara itu metode Penyelesaian
Sengketa Konsumen yang dilaksanakan diluar pengadilan ada tiga cara yakni : Konsiliasi,
Mediasi dan Arbitrase.
Pilihan penyelesaian pertama kali dilakukan oleh pelanggan apabila sebuah transaksi
tidak berjalan dengan baik ialah mengusulkan pelaporan dengan cara metode penyelesaian
pelaporan internal pelaku usaha yang dituju. Apabila metode tersebut tidak berhasil,
UUPK menyediakan 2 metode yakni metode litigasi dengan cara pengadilan serta metode
alternatif penyelesaian sengketa dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).14
Dispute Resolution merupakan salah satu jenis penyelesaian sengketa, terutama
penyelesaian sengketa bisnis secara lebih cepat, karena perkembangan bisnis di Indonesia
senantiasa berkembang sehingga sudah menjadi kebutuhkan untuk terdapat pengaturan
penyelesaian sengketa bisnis yang cepat, sebagaimana diatur di pada Undang-Undang
No.30 Tahun 1999 perihal Arbitrase serta Alternatif Penyelesaian Sengeta (UU Arbitrase
serta APS) untuk menanggulangi sengketa di luar pengadilan, dimana UU tersebut
menjadi dasar hukum bagi pelaku bisnis yang enggan menggunakan litigasi sebagai
penyelesaian perelisiannya, dimana menurut Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS
terdapat beberapa pilihan, yaitu : Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, serta Arbitrase
Arbitrase adalah metode penanggulanggan sebuah sengketa perdata di luar peradilan
biasa yang berlandaskan kepada perjanjian arbitrase yang dilakukan dengan cara pada para
pihak yang bertikai. Dimana hasil dari ditempuhnya upaya arbitrase oleh para pihak adalah
terciptanya suatu adjudikasi serta consensus, dimana semua pihak setuju untuk menangani
pertikaian melalui bantuan pihak netral untuk membuat suatu keputusan melalui
adjudikasi privat. Arbitrase banyak dipilih oleh para pihak karena prosesnya lebih cepat
sehingga dapat memenuhi rasa keadilan.
Dalam hal penyelesaian sengketa transaksi elektronik yang bersifat online terkait
cross border e-commerce belum berkembang secara baik, dikarenakan BPSK atau
lembaga alternatf lain belum memakai metode online untuk menanggulangi pertikaian.
Pelanggan diwajibkan harus melaksanakan konsiliasi, mediasi, maupun arbitrase secara

14
Katadata.co.id “Indonesia Butuh Penyelesaian Sengketa Konsumen Yang Lebih Baik’ dikutip dari
https://katadata.co.id/shabrinaparamacitra/indepth/623bcfc543fb6/indonesia-butuh-penyelesaian-sengketa-
konsumen-yang-lebih-baik diakses pada 24 Mei 2022
JIM Bidang Hukum Perdata: Vol. 6, No.3 Agustus 2022 368
Jasmine, Safrina

umum. Hal tersebut sebenarnya tidak pantas, dikarenakan negara yang lain sudah
menciptakan metode penyelesaian sengketa dengan cara ODR (Online Dispute Resolution)
agar bisa memajukan prosedur alternatif penyelesaian sengketa.15
Untuk menanggulangi sengketa pelanggan e-commerce mekanisme litigasi yang
umum sepertinya tidak sesuai untuk dipilih. Prosedur litigasi pada umumnya memerlukan
ongkos yang lebih besar menjangkau beban administrasi, pengacara, hingga beban
eksekusi yang dijumlah bisa melewati nilai sengketa pelanggan. Maka sebab itulah metode
tersebut susah dijadikan sebagai opsi oleh pelanggan e-commerce.
Mahkamah Agung (MA) mempromosikan sebuah inovasi terkait metode gugatan
biasa yang dibentuk guna memberi jalan yang cepat, seimbang serta murah. Tetapi,
metode tersebut akan memungkinkan munculnya permasalahan pada pelanggan e-
commerce yang berada pada tempat yang tidak sama dengan pelaku usaha. Dikarenakan,
mekanisme ini memaksa para pihak yang bertikai tinggal pada tempat yang sama supaya
gugatan bisa dikerjakan.16
Namun terlepas dari fleksibilitas MA yang mengizinkan gugatan sederhana diproses
meski ada perbedaan domisili, para pihak yang bertikai diwajibkan harus mendatangi
setiap prosedur dengan cara langsung. Pada persoalan tersebut timbul kekaburan pada
perjanjian cross border e-commerce dimana setiap pihak yang bersengketa berkedudukan
pada yuridiksi negara bahkan hukum yang tidak sama.

KESIMPULAN
Dalam UU PK terdapat dasar hukum untuk perlindungan konsumen di Indonesia dapat,
sedangkan UU ITE adalah dasar hukum untuk pelanggan dalam melaksanakan perjanjian e-
commerce. Kedua UU ini memberikan upaya perlindungan hukum pada perjanjian cross
border e-commerce, namun kedua UU tak mengatur perjanjian cross border e-commerce
dengan cara khusus. Pada persoalan ini, perlindungan hukum terhadap pelanggan perlu
dilaksanakan melalui kebijakan luar negeri dengan cara penyelarasan hukum serta kerjasama
lembaga-lembaga penegak hukum. Menjawab kelemahan pada UU tersebut, disebutkan pada
konvensi Roma 1980 diberlakukan dasar bahwasanya hukum yang ditentukan oleh semua
pihak pada kontrak tak bisa membelakangi norma-norma memaksa (mandatory laws) dari

15
Katadata.co.id “Indonesia Butuh Penyelesaian Sengketa Konsumen Yang Lebih Baik’ dikutip dari
https://katadata.co.id/shabrinaparamacitra/indepth/623bcfc543fb6/indonesia-butuh-penyelesaian-sengketa-
konsumen-yang-lebih-baik diakses pada 24 Mei 2022
16
Ibid
JIM Bidang Hukum Perdata: Vol. 6, No.3 Agustus 2022 369
Jasmine, Safrina

negara yang memiliki closest connection terhadap perjanjian. Oleh karena itu hadirnya
ketetapan tersebut, pelanggan itu pasti memperoleh haknya selaku pelanggan, meskipun
pelanggan menggugat pelaku usaha pada negara yang lain, seperti yang ditentukan oleh UU
PK.
Perbedaan yuridiksi hukum negara antara pelaku usaha dan konsumen merupakan
sebuah tantangan dalam melindungi hak-hak konsumen, dalam hal ini UU PK hanya
mengjangkau pelaku usaha yang bertempat tinggal di Indonesia saja, hal tersebut dijelaskan
pada pasal 1 butir 3 UU PK. UU ITE telah memberlakukan tentang penentuan hukum yaitu
disematkan pada Pasal 18 ayat (2) yang mana dijelaskan bahwasanya semua pihak memiliki
kekuasaan untuk menentukan hukum yang dijalankan untuk transaksi digital internasional
yang diciptakannya, tetapi UU ITE tak mengatur tentang perjanjian baku seperti yang
ditetapkan oleh UUPK, maka dari itu pelanggan terpaksa harus patuh terhadap peraturan
yang diterbitkan oleh pelaku usaha, tetapi kelemahannya tersebut telah ditutup oleh UU ITE
serta banyak ketetapan luar negeri semisal UNCITRAL Model Law walaupun ketetapan yang
diciptakan PBB tersebut masih kurang. Ketidakpastian hukum menimbulkan banyak
problematika hukum seperti perjanjian yang tidak mencantumkan clausule choice of law
yang menyebabkan ketika terjadi perselisihan para pihak tidak bisa menemukan jalan tengah
terhadap hukum apa yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa tersebut, dan sering kali
pelanggan ada di pada tempat yang tidak kuat terhadap pelaku usaha dalam hal penentuan
yurudiksi hukum negara mana yang dipilih.
Dalam perjanjian jual beli online andaikata terjadi persengketaan serta terdapat pihak
yang dirugikan maka penyelesaiannya adalah dengan menuntut ganti kerugian terhadap
ingkar janji, dikarenakan ingkar janji itu sudah menyebabkan pihak lain merugi. Langkah
yang bisa dipakai untuk perjanjian jual beli online terhadap penanggulangan sengketa ialah:
dengan cara Litigasi maupun dengan prosedur pengadilan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU
ITE serta dengan cara non Litigasi ataupun menangani sengketa di luar pengadilan
berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU ITE serta Pasal 1 butir 10 Undang-Undang No.30 tahun
1999 mengenai Arbitrase serta Alternatif penyelesaian sengketa.
JIM Bidang Hukum Perdata: Vol. 6, No.3 Agustus 2022 370
Jasmine, Safrina

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Budi Agus Riswandi, 2003, Hukum dan Internet di Indonesia, UII Press: Yogyakarta.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2015, Dualisme penelitian hukum normatif dan empiris,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zahwa Maulidina Afwija, 2021, Penyelesaian Sengketa Atas Kerugian Konsumen Sebagai
Bentuk Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Cross Border E- Commerce,
Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Jurnal Hukum
Agus Sardjono, 2008, “Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Dalam Cross Border Transaction :
Antara Norma Dan Fakta”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27 No. 4.
Az. Nasution, 2001, “Revolusi Teknologi Dalam Transaksi Bisnis Melalui Internet” Jurnal
Keadilan.
Zahwa Maulidina Afwija. 2021, “Penyelesaian Sengketa Atas Kerugian Konsumen Sebagai
Bentuk Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Cross Border E-Commerce”,
Skripsi, Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang..

Lainnya

Amazon, “AWS Elemental End User License Agreement” dikutip dari www.amazon.com
Katadata.co.id “Indonesia Butuh Penyelesaian Sengketa Konsumen Yang Lebih Baik’ dikutip
dari:https://katadata.co.id/shabrinaparamacitra/indepth/623bcfc543fb6/indonesia-
butuh-penyelesaian-sengketa-konsumen-yang-lebih-baik diakses pada 24 Mei 2022

Anda mungkin juga menyukai