Anda di halaman 1dari 8

Aesthetic

Workbook
Kelompok 6
Formalisme
Formalisme adalah sebuah teori yang percaya bahwa
sebuah karya seni dinilai dari seni tersebut sendiri atau
secara mandiri. Konteks, arti, atau emosi dibalik karya seni
tidak penting, melainkan hanya bentuk karya seni
tersebut yang dianggap bernilai.

Menurut pandangan Formalisme, nilai sebuah seni


terletak pada cara elemen-elemen visual dan formalnya
diatur dan diekspresikan.

Bagaimana elemen-elemen visual disusun?


Bagaimana komposisi menciptakan ketegangan atau
keseimbang visual?
Bagaimana penggunaan warna memengaruhi
suasana emosi?

Formalisme tidak selelu menilai sebuah karya seni


berdasarkan makna atau pesan dibaliknya.
Pertimbangan formalis untuk menilai sebuah karya
melibatkan keseimbangan elemen visual, penggunaan
warna yang efektif, struktur visual yang kokoh,
penerapan teknik dan media, inovasi, pengaruh
emosional atau psikologis, kejelasan visual, dan
kohesivitas keseluruhan. Kesatuan dan keseimbangan
dalam komposisi, harmoni warna, struktur yang menarik,
teknik seni yang mahir, dan pengaruh emosional adalah
aspek-aspek yang diperhitungkan formalis dalam
menentukan apakah suatu karya seni dianggap bagus
atau jelek

01
Berikut adalah jawaban dari pertanyaan sebelumnya
untuk membantu memahami cara elemen-elemen
visual diatur:
Bagaimana elemen-elemen visual disusun?
Pertanyaan ini menyoroti pengaturan elemen-elemen
seperti garis, bentuk, warna, dan tekstur dalam karya.
Apakah mereka diatur secara simetris, asimetris, atau
dalam pola tertentu?

Bagaimana komposisi menciptakan


ketegangan atau keseimbangan visual?
Komposisi yang baik menciptakan ketegangan atau
keseimbangan visual. Misalnya, apakah ada ketegangan
yang dihasilkan dari kontras yang kuat atau
keseimbangan yang dihasilkan dari distribusi elemen
yang merata?

Bagaimana penggunaan warna


memengaruhi emosi?
Pertanyaan ini fokus pada bagaimana warna-warna yang
digunakan dapat memengaruhi perasaan dan suasana
emosi dalam karya seni. Warna-warna cerah mungkin
menciptakan suasana yang riang, sementara warna-
warna gelak bisa memberikan kesan misterius atau
serius.

“Secara singkat, pandangan formalis terhadap seni mengacu


pada pendekatan kritik seni yang menilai dan mendefinisikan
seni berdasarkan elemen-elemen formal dan teknis yang
terdapat dalam sebuah karya. Fokus utamanya adalah pada
struktur visual, estetika, dan kualitas estetis mandiri dari
suatu karya seni, tanpa mempertimbangkan konteks atau
interpretasi subjektif. Pandangan ini menekankan analisis
objektif terhadap elemen-elemen visual seperti garis, bentuk,
warna, dan tekstur untuk menilai nilai seni sebuah karya.”

02
Kontra
Formalisme versus imitasi
Dalam teori kuno, Plato juga mempengaruhi formalisme, ia melihat seni sebagai tiruan
dari “Bentuk” non-fisik atau realitas ideal. Menurut Allegory of the Cave karya Plato, seni
dianggap sebagai tiruan dari suatu tiruan, yang mencerminkan dunia ilusi dan bukan
realitas tertinggi. Sehingga dalam formalisme, fokusnya adalah pada bagaimana seni
diciptakan dan tampilan visualnya. Saat mengevaluasi sebuah lukisan, kaum formalis
berkonsentrasi pada elemen-elemen seperti garis, warna, bentuk, dan komposisi, serta
meremehkan pentingnya pokok bahasannya. Teori ini menyatakan bahwa nilai seni
terletak pada kualitas intrinsiknya, bukan kemampuannya mewakili dunia luar.

Imitasialisme lebih ke representasi realistis dari subjek, sedangkan Formalisme


memprioritaskan kualitas intrinsik karya seni, berfokus pada elemen formal daripada
penggambaran dunia luar yang sebenarnya.

Formalisme versus
Ekspresionisme
Ekspresionisme adalah gerakan seni revolusioner. Hal ini memengaruhi gerakan-
gerakan berikutnya seperti Ekspresionisme Abstrak pada tahun 1940-an dan 50-an di AS,
di mana seniman seperti Rothko dan Pollock mengekspresikan emosi yang kuat
melalui warna-warna cerah dan sapuan kuas yang berani. Pada tahun 1970-an dan 80-
an, seniman Eropa menghidupkan kembali ide-ide Ekspresionis dalam Neo-
Ekspresionisme, menggunakan cat tebal dan sapuan kuas gestur. Pengaruh yang
berkelanjutan ini menunjukkan pentingnya ekspresionisme dalam praktik seni
kontemporer.

Perbandingan Formalisme dan Ekspresionisme ialah mereka memiliki teori berbeda


terhadap seni. Formalisme dicirikan oleh penekanannya pada elemen visual dan
penyimpangan dari narasi, sedangkan Ekspresionisme berfokus pada aspek emosional
dan subjektif seni, yang sering kali diekspresikan melalui gaya visual yang berani.

Autum Rythm No.30 By Jackson Pollocks

White Center created in 1950 by mark rothko

03
Kasus Karya Pandangan
Formalis

Kasus Formalisme pada


Musik :
Eduard Hanslick
Hanslick adalah musikolog dan kritikus musik asal Wina, Austria. Ia
yang memplopori teorii formalis.

Contoh Puisi

There must be white farms


beyond the edge
of the blue fields by the moon
at night you hear along distant
roads
horse hooves
you hear everything then silent
delusion
water is suddenly oozing from
distant moon fountains
— you suddenly hear water
oozing in the night —
the horses drink hurriedly
and whinny
then they are heard trotting
towards the stable again
Paul Van Ostaijen

04
Kasus Karya Pandangan
Formalis
Kasus Formalisme pada
Sastra/Puisi :
Van Ostaijen
Ia adalah salah satu sastrawan eropa yang masyhur, karena
memiliki ciri khas puisi yang mengutamakan form atau diksi,
gaya, rima bertutur. Puisi tersebut dinamakan “Pusi Liris
Murni”

Kaum Lirisis tentu bukan seni/ sastra, melainkan ujaran


sehari-hari yang semua orang melakukannya. Jadi pada
perspektif isi/konten “berarti tidak penting” yang artinya bisa
apa saja. Selama isi Diksi & Rima suatu puisi itu unik dan kuat.
Contoh Puisi

There must be white farms


beyond the edge
of the blue fields by the moon
at night you hear along distant
roads
horse hooves
you hear everything then silent
delusion
water is suddenly oozing from
distant moon fountains
— you suddenly hear water
oozing in the night —
the horses drink hurriedly
and whinny
then they are heard trotting
towards the stable again
Paul Van Ostaijen

05
Yang Membuat Sebuah
Karya Baik dan Buruk

Sisi Formal
Saya setuju bahwa penilaian seni dengan menggunakan teori formal masih relevan
karena prinsip-prinsip seperti komposisi dan warna memiliki karakteristik yang jelas dan
stabil. Meskipun seni bersifat subjektif, prinsip-prinsip desain ini telah melalui penelitian
dan pengembangan selama berabad-abad. Namun, tetap penting bagi seorang
seniman untuk menyampaikan jati dirinya dengan baik melalui karyanya agar tidak
hanya terfokus pada keindahan yang mungkin membuat karya menjadi monoton.
Formalisme sebaiknya dijadikan sebagai panduan dalam menilai karya seni, bukan
sebagai satu-satunya penentu yang mengikat.

Sisi Imitasi
Menurut pendapat saya, menilai karya seni dari sisi imitatif itu masih relevan sampai saat
ini. Karena setiap seni akan selalu ada hubungan dengan kehidupan nyata. Semakin
realistis suatu seni terhadap kehidupan nyata, itu juga bisa menunjukkan seberapa hebat
kemampuan seniman tersebut bisa mereplika kehidupan nyata dalam karya seninya.
Tetapi, saya juga percaya bahwa seni itu bebas. Seni bisa menjadi media untuk seseorang
menuangkan ide-ide imajinatif nya yang mungkin tidak masuk akal dalam logika orang-
orang normal. Kesimpulan saya, teori imitasi sebagai kriteri penilaian seni itu baik, selama
tidak dijadikan satu-satunya tolak ukur.

Sisi Ekspresif
Menurut saya, penilaian dari pandangan teori ekspresif yang menilai sebuah karya seni
dari arti emosi dibalik karya/bagaimana karya tersebut membangkitkan emosi spesifik
pada orang lain merupakan penilaian yang masih relevan. Walaupun teknik pembuatan
sebuah seni mungkin masih kurang, sebuah karya seni terlihat indah karena karya itu
membangkitkan emosi seseorang dan membuat orang berpikir lebih lanjut tentang
subjek karya tersebut. Tetapi, keterampilan secara teknis juga merupakan hal yang
penting dan termasuk dalam penilaian sebuah karya seni.

06

Anda mungkin juga menyukai