POLIGAMI DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN
POLIGAMI DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN
PENDAHULUAN
Referensi: Harman, M., Sartika, D., & Khoiriyah, D. (2021). Poligami dan Perlindungan Perempuan dalam
Perspektif Hukum Perkawinan di Indonesia. Jurnal Hukum Keluarga, 11(1), 1-20.
https://journal.umbandung.ac.id/index.php/mawaddah)
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, berikut adalah rumusan masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini:
1. Bagaimana ketentuan hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan praktik poligami?
2. Bagaimana praktik poligami di Indonesia saat ini dibandingkan dengan ketentuan hukum
perkawinan yang berlaku?
3. Bagaimana implikasi (dampak) dari pemahaman poligami dari perspektif hukum
perkawinan terhadap kehidupan bermasyarakat di Indonesia?
4. Bagaimana upaya untuk memastikan praktik poligami di Indonesia selaras dengan nilai-
nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia?
2
b) Menggali Perspektif Hukum Normatif dan HAM :
• Menerapkan pendekatan hukum normatif untuk menganalisis UU Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam terkait poligami, mengidentifikasi makna dan implikasi
hukum dari ketentuan-ketentuan tersebut.
• Menelaah pemikiran para ahli hukum dan akademisi tentang poligami dan hak asasi
manusia, serta kontribusi mereka dalam pengembangan hukum perkawinan terkait
poligami.
2. Manfaat Praktis:
a) Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Poligami :
• Menyediakan informasi yang mudah dipahami tentang ketentuan hukum perkawinan
terkait poligami, termasuk persyaratan, proses perizinan, dan sanksi pelanggaran.
• Membantu masyarakat memahami hak dan kewajiban mereka dalam praktik
poligami, serta potensi dampak dan konsekuensinya.
b) Mendorong penerapan hukum perkawinan yang efisien dan efektif :
• Meningkatkan pemahaman hakim dan petugas pengadilan agama tentang aspek
hukum dan HAM terkait poligami, sehingga dapat memberikan putusan yang lebih
tepat dan berpihak pada keadilan.
• Mendukung upaya pemerintah dalam mengawasi dan memastikan praktik poligami
yang sesuai dengan hukum dan norma yang berlaku.Membantu organisasi dalam
mengidentifikasi peluang-peluang untuk memanfaatkan inovasi dalam penilaian
kinerja pegawai guna meningkatkan daya saing dan kinerja bisnis.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Adapun ketentuan-ketentuan yuridis formil yang menjadi dasar hukum
pemberian izin poligami, pertama diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, juncto Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975, junto Instruksi
Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2) junto Pasal 43 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975, menyatakan bahwa “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan”. Selain
itu dalam Pasal 4 ayat (1) dinyatakan “dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia
wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”
(Depag RI, 1997) dsb4.
Data statistik nasional tentang poligami di Indonesia masih tergolong minim dan
kurang akurat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, angka
perkawinan poligami di Indonesia mencapai 0,23% dari total perkawinan yang tercatat5.
Namun, angka ini diyakini tidak mencerminkan realitas praktik poligami di Indonesia
karena banyak kasus poligami yang tidak tercatat secara resmi.
5
2.3 Implikasi Praktik Poligami dari Perspektif Hukum Perkawinan terhadap
Kehidupan Bermasyarakat di Indonesia
Dampak dan konsekuensi dari praktik poligami yang tidak sesuai dengan ketentuan
hukum perkawinan dapat berakibat negatif bagi istri dan anak-anak, seperti :
• Kerugian bagi istri: Istri pertama dapat mengalami kerugian materiil dan spiritual,
seperti kehilangan kasih sayang suami, kehilangan status sosial, dan berkurangnya
nafkah.
• Gangguan stabilitas keluarga: Poligami yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum
perkawinan dapat mengganggu stabilitas keluarga dan memicu konflik antar istri dan
anak-anak. Selain itu, dapat juga menambah beban ekonomi keluarga (Santoso, 2021).
• Potensi eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia: Praktik poligami yang tidak
dikontrol dengan baik dapat membuka peluang eksploitasi perempuan dan pelanggaran
hak-hak asasi manusia.
2.4 Upaya yang Dilakukan untuk Memastikan Praktik Poligami selaras dengan Nilai-
Nilai Kemanusiaan & HAM
6
b. Upaya Hukum Perlindungan Hak Perempuan dalam Perespektif Hukum Islam
dan Hukum Positif
Pertama, Hak Politik Wanita ( Convention on the Political Right of Woman)
tahun 1952 dan konvensasi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan ( Convention on the Elimanation Of All Forms
Discrimanation Against Woman: CEDAW ) tahun 1979 diratifikasi dengan Undang
Undang Nomor 7 tahun 1984.7 Prinsip kewajiban negara menerut CEDAW anatara lain
menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan perlindungan HAM
Perempuan yang mencakup kebijakan dalam ranah hukum publik dan hukum privat.8
Hukum perlindungan anak perlu dijadikan acuan bagi hak-hak anak dalam rumah
tangga poligami. Suami wajib memastikan anak-anak dapat tumbuh secara sehat dan
layak tanpa diskriminasi. Ini penting untuk memenuhi kebutuhan dasar anak sesuai hak
asasinya.
Kedua, dalam upaya hukum perlindungan hak perempuan dalam presfektif
hukum islam didasarkan pada prinsip-prinsip yang tercantum dalam Al-Qur’an dan
hadist serta interpretasi yang dilakukan oleh ulama ulama islam. Meskipun prinsip-
prinsip tersebut bervariasi tergantung pada interpretasi dan penerapan hukum Islam di
berbagai negara atau mazhab, beberapa hal yang dianggap hak perempuan dalam
poligami adalah sebagai berikut:
1) Batasan jumlah istri:Islam mengatur batasan jumlah istri yang dapat dimiliki oleh
seorang pria dalam poligami.Umumnya,batas maksimun yang diperboleh adalah
empat istri, dengan syarat bahwa pria mampu memenuhi kewajiban finansial dan
merawat istri -istri secara adil.9
2) Keadilan dalam perlakuan:Prinsip penting dalam hukum islam adalah keadilan
dalam perlakuan terhadap istri-istri dengan adil dalam hal nafkah, waktu dan
perhatian hak-hak warisan dan hak-hak lainnya.
3) Persetujuan istri pertama: Beberapa ulama menganggap persetujuan istri pertama
sebagai syarat dalam praktik poligami.ini dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan istri pertama dan memastikan bahwa dia setuju dan menerima kondisi
poligami sebelum suami menikahi istri tambahan.
Referensi : 7 Rahayu,Hukum Hak Asasi Manusia (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro,2015).109. 8 Josefhin Merata, “Mekanisme Penegakan Hukum Dalam Upaya Perlindungan
9
Hak Kelompok Rentan (Anak dan Perempuan)’’, Jurnal HAM 7:2 (2016),153. Bunyamin, dan
Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (cetakan I: Februari 2017), hlm. 111.
7
c. Pendidikan masyarakat tentang poligami yang benar
Poligami merupakan salah satu praktik pernikahan yang diperbolehkan dalam
agama Islam, namun pelaksanaannya harus memenuhi syarat dan ketentuan yang ketat.
Untuk mencegah kesalahpahaman dan penyalahgunaan praktik poligami, perlu
dilakukan edukasi dan sosialisasi yang komprehensif kepada masyarakat, baik secara
offline maupun online. Sosialisasi ini bertujuan untuk menjelaskan hukum dan ajaran
agama mengenai poligami secara utuh, termasuk tujuan, syarat, dan kewajiban yang
harus dipenuhi.
Selain edukasi tentang hukum dan agama, penting juga untuk memberikan
pendampingan psikologis dan konseling bagi pasangan yang ingin melakukan
poligami. Pendampingan ini bertujuan untuk membantu mereka dalam mempersiapkan
diri secara mental dan emosional, serta membangun komunikasi yang terbuka dan
transparan antar istri. Pendampingan juga perlu diberikan kepada suami agar mereka
mampu berperan adil sebagai suami dan ayah bagi semua istri dan anak-anaknya.
Poligami yang ideal adalah poligami yang mampu menciptakan suasana rumah
tangga yang damai dan harmonis. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan
pemahaman bersama tentang jati diri, hak, dan kewajiban setiap anggota keluarga.
Setiap anggota keluarga perlu saling menerima dan menghargai satu sama lain, serta
membangun relasi kerukunan yang kokoh. Dengan demikian, poligami dapat menjadi
solusi bagi permasalahan tertentu, seperti kemandulan istri atau kebutuhan nafkah yang
tidak terpenuhi oleh suami.
Pendidikan masyarakat tentang poligami yang benar harus dilakukan secara
berkelanjutan dan melibatkan berbagai pihak. Dengan edukasi yang tepat, diharapkan
praktik poligami di Indonesia dapat berjalan dengan lebih bertanggung jawab dan
membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat.
Penting untuk diingat bahwa poligami bukanlah solusi untuk semua masalah.
Keputusan untuk berpoligami harus diambil dengan pertimbangan matang dan kesiapan
yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terlibat.
8
BAB III
KESIMPULAN
Poligami, praktik pernikahan di mana seorang pria menikah dengan lebih dari satu
perempuan, merupakan isu yang kompleks dan kontroversial di Indonesia. Praktik ini memiliki
akar sejarah dan budaya yang panjang, serta terikat erat dengan norma-norma agama dan sosial.
Di sisi lain, poligami juga memicu perdebatan tentang hak-hak perempuan, keadilan gender,
dan kesetaraan dalam perkawinan.
• Proses permohonan izin poligami: Suami harus mengajukan izin poligami ke pengadilan
agama dengan melampirkan bukti-bukti yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
• Hak-hak istri: Istri yang diceraikan karena poligami berhak atas harta bersama, nafkah
iddah, dan mutah.
• Hak-hak anak: Anak-anak yang lahir dari pernikahan poligami memiliki hak yang sama
dengan anak-anak yang lahir dari pernikahan monogami.
9
masih banyak perempuan yang terpaksa menerima poligami karena tekanan dari keluarga atau
masyarakat.
• Hak-hak perempuan dan anak: Poligami dapat berakibat pada pelanggaran hak-hak
perempuan dan anak, seperti kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi, dan
penelantaran.
• Kemiskinan dan ketimpangan sosial: Poligami dapat memperparah kemiskinan dan
ketimpangan sosial, terutama bagi perempuan dan anak-anak.
• Konflik keluarga: Poligami dapat menimbulkan konflik keluarga, seperti kecemburuan,
perselisihan, dan keretakan hubungan antar anggota keluarga.
• Keadilan gender: Poligami dapat menjadi hambatan bagi terwujudnya keadilan gender
dan kesetaraan dalam perkawinan.
Melihat berbagai implikasi di atas, diperlukan penguatan hukum dan kebijakan terkait
poligami di Indonesia. Upaya ini perlu dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, seperti
pemerintah, lembaga agama, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi. Penting untuk terus
melakukan edukasi dan sosialisasi tentang hukum perkawinan dan poligami kepada
masyarakat. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak
dan kewajiban dalam perkawinan, serta mendorong praktik poligami yang dilakukan sesuai
dengan hukum dan norma-norma yang berlaku.
Dengan demikian, poligami menjadi isu yang kompleks dan multidimensi yang perlu
dikaji dari berbagai sudut pandang. Dari perspektif hukum perkawinan, poligami di Indonesia
diatur dengan syarat-syarat dan ketentuan yang ketat. Namun, implementasi dan efektivitasnya
masih menjadi perdebatan. Diperlukan penguatan hukum dan kebijakan, serta edukasi dan
sosialisasi kepada masyarakat, untuk memastikan praktik poligami yang dilakukan sesuai
dengan hukum dan norma-norma yang berlaku, serta meminimalkan dampak negatifnya
terhadap kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
10
DAFTAR PUSTAKA
Aini, N. (2017). "Perlindungan Hak Anak dalam Perkawinan Poligami di Indonesia". De Jure:
Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 9, No.2, 73-87.
Aini, N. (2017). “Perlindungan Hak Anak Dalam Perkawinan Poligami di Indonesia”. De Jure:
Jurnal Hukum dan Syari’ah Vol. 9, No. 2,, 73-87.
Harman Hakam, J. N. (2021). "Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Latar Belakang Sejarah
dan Perkembangannya". Ijtihad : Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, Volume 15, Nomor
2.
Masri, E. (Desember 2019). "Poligami dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jurnal Krtha Bhayangkara,
Volume 13, Nomor 2.
Surjanti. (2014). "Tinjauan Kompilasi Hukum Islam terhadap Poligami di Indonesia. Jurnal
Universitass Tulangagung BONOROWO Vol.1 No.2.
11