Anda di halaman 1dari 113

"POLIGAMI TERHADAP UPAYA HUKUM PERLINDUNGAN HAK

PEREMPUAN DI INDONESIA”

( Studi Kasus Pada Putusan No 673/Pdt.G/2021/PA.JS

di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Persyaratan
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

TORANG TAMBAK

NIM 11190430000107

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2023 M/1444 H


ABSTRAK

TORANG TAMBAK. NIM: 11190430000107 POLIGAMI TERHADAP UPAYA


HUKUM PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DI INDONESIA ( Studi Kasus
Pada Putusan Perkara Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan )
Salah satu asas monogami yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah poligami di indonesia yang
diperbolehkan ketika keadaan darurat dan jika terpenuhinya persyaratan yang
telah di tentukan oleh Undang-Undang. Namun, poligami yang terjadi di tengah
masyarakat jauh lebih luas dan beragam, termasuk di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. Salahsatu diantaranya pada perkara Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.
Pemohon dikabulkan oleh Pengadilan Agama untuk melakukan poligami, padahal
Termohon ( istri pertama ) masih dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik,
tidak terdapat penyakit maupun cacat, dan dapat melahirkan keturunan. Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan permohonan tersebut
harus ditolak. Dalam hal ini belum diketehui oleh pertimbangan hukum mengenai
dikabulkannya permohonan izin poligami ketika syarat fakulatif tidak terpenuhi
dan upaya hukum perlindungan hak terhadap Termohon yang kerap kali
terobjektif dari dalil yang diajukan oleh Pemohon
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang menjadi
rumusan masalah, yakni untuk mengetahui bagaimana analisis upaya hukum
perlindungan hak perempuan sebagai istri dari perkara permohonan izin poligami
dan mengatahui pertimbangan hakim perkara Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
tentang permohonan izin poligami. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan analisis deskriftif. Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian metode hukum normatif, yakni penelitian hukum
doktriner atau penelitian kepustakaan karena penelitian ini hanya ditujukan pada
peraturan tertulis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan Hakim menimbang melalui
sosial justice dengan adanya persetujuan istri pertama menjadi pertimbangan
hukum dalam mengabulkan permohonan izin poligami sebagai upaya hukum
perlindungan hak perempuan dan dalam hal keperdataan Majelis Hakim menjamin
ahli waris serta kepastian harta bersama untuk menyelamatkan hak istri pertama.
Hakim memutuskan izin poligami Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS. Dikabulkan
melalui persangkaan dan keyakinannya ketika menggali suatu perkara yang
didahului pembuktian. Dengan cara menimbang maslahat dan mafsadat yang akan
timbul dari poligami ini dan merujuk pada persetujuan istri pertama maka
permohonan izin poligami tersebut layak untuk dikabulkan meskipun syarat
fakulatif tidak terpenuhi pada perkara Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.
Kata Kunci: Upaya Hukum,Perlindungan Hak Perempuan,
Poligami,Putusan,Regulasi

iv
PEDOMAN TRANSLITERASI

Bahwa yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum
dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih
terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ tidak dilambangkan

‫ب‬ B Be

‫خ‬ T Te

‫ث‬ Ts te dan es

‫ج‬ J Je

‫ح‬ H ha dengan garis bawah

‫خ‬ Kh ka dan ha

‫د‬ D De

‫ذ‬ Dz de dan zet

‫ر‬ R Er

‫س‬ Z Zet

‫ص‬ S Es

‫ش‬ Sy es dan ye

‫ص‬ S es dengan garis bawah

‫ض‬ D de dengan garis bawah

‫ط‬ T te dengan garis bawah

‫ظ‬ Z zet dengan garis bawah

‫ع‬ „ koma terbalik di atas hadap kanan

‫غ‬ Gh ge dan ha

‫ف‬ F Ef

‫ق‬ Q Qo

v
‫ك‬ K Ka

‫ل‬ L El

‫م‬ M Em

‫ن‬ N En

ً W We

‫ه‬ H Ha

‫ء‬ ˋ Apostrop

‫ي‬ Y Ya

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan


Arab Latin

‫ﹶ‬ A Fathah

‫ﹶ‬ I Kasrah
‫ﹶ‬ U Dammah
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Tanda Vokal Keterangan


Arab Latin

Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului
oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: ‫ =الثخاري‬al-Bukhâri
tidak ditulis Al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.

vi
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan diatas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 al-darûrah tubîhu almahzûrât


ٌ ‫الضزرج تثيح المح‬
‫ظٌٌ راخ‬ ً

2 ‫االقتصاد اإلسالمي‬ al-iqtisâd al-islâmî

3 ‫أصٌٌ ل الفقو‬
ٌ usûl al-fiqh

4 ‫األصل في األشياء اإلتاحح‬ al-„asl fî al-asyya ‫ﹶ‬al-ibâhah

5 ‫المصلحح المزسلح‬ al-maslahah al-mursalah

vii
KATA PENGANTAR

َّ ‫الر ْح ٰمن‬ ‫ه‬


‫الر ِح ْي ِم‬ ِ
َّ ‫اّٰلل‬
ِ ‫ِب ْس ِم‬

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, puji serta syukur kehadirat Allah


Subhanahu wa Ta’ala, yang selalu memberikan kesehatan, keberkahan, rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini. Tak lupa shalwat serta salam
senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wasallam yang
telah membawa umatnya dari zaman jahiliyyah hingga zaman terang benderang
seperti saat ini, semoga kelak nanti kita mendapat syafaatnya di akhirat.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis temukan, namun atas berkat rahmat dan ridha-Nya, kesungguhan, serta
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung
segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi
ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D., Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Maksum,SH.,M.A,MDC. selaku Dekan Fakultas


Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Siti Hanna,.Lc.,M.A selaku ketua Program Perbandingan Mazhab yang


telah membantu mahasiswa dalam berbagai kebutuhan dan selalu memberikan
semangat serta motivasi kepada mahasiswa agar dapat menyelesaikan Strata 1
dengan cepat.

4. Ibu Dr.Hj.Rosdiana,.M.A., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah


meluangkan waktunya untuk memberi nasihat, saran, dan membimbing saya
dalam mengerjakan skripsi. Terimakasih banyak Ibu atas masukan, arahan, dan
kritik yang membangun, semoga Ibu senantiasa dalam lindungan Allah SWT.

viii
5. Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., selalu Dosen
Penasihat Akademik yang telah membantu dalam menentukan judul skripsi.

6. Segenap Civitas Akademik Prodi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan


Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku
perkuliahan.

7. Cahaya dalam hidupku, penyemangat tiada henti, kekuatan saat lemahku,


pelipur lara saat sedihku, Ayahanda Mara Pudun Tambak, dan Ibunda tercinta
Isbah Harahap yang tidak pernah mengenal kata lelah mencurahkan perhatian
dan kasih sayangnya berupa bimbingan dalam menuntunku menjadi pribadi
yang lebih baik. Terimakasih untuk semua waktu dan tiap doa yang selalu kau
panjatkan untuk anakmu ini. Terimakasih untuk selalu menjadi yang pertama
membangkitkanku, menyemangatiku, serta membuatku tetap melapangkan
hatiku saat aku mulai lelah dan kehabisan semangat. Bagi ananda, tiada
penghargaan paling terindah di dunia ini selain melihat Ayah dan mamah selalu
tersenyum.

8. Teruntuk abang kandungku yang paling ku banggakan ( Penerangan Halomoan


Tambak dan Julpan Tambak ) beserta kaka Iparku ( Putri Anisa Ritongan dan
Putri Rafiana harahap )Terimakasih yang selalu meberikan warna kepada saya
selama saya masih kuliah di semester 1 samapi akhir, Terimakasih juga atas
nasihat,pengorbanan support dan perhatian serta kasih sayang yang luar biasa
yang tidak ada banding nya dengan orang lain kepada saya,sehingga saya bisa
menyelesaikan Sikiripsi ini.

9. Teruntuk kaka kandungku/ibotokku yang paling ku sayangi (Suryani Rezky


Tambak dan Evi Suriyanti Tambak) beserta Abang Iparku ( Sehat Harahap dan
Jainal Abidin Nasution) Terimaksih banyak atas perhatian dan semangat yang
kalian curahkan sama saya serta kasih sayang yang tak ada habisnya sehingga
saya bisa menyelesaikan Sikiripsi ini.

ix
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .......................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................. iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1

B. Identifikasi,Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 6

1. Identifikasi Masalah ................................................................................. 6

2. Pembatasan Masalah ................................................................................ 7

3. Rumusan Masalah .................................................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 8

1. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8

2. Manfaat Penelitian .................................................................................... 8

D. Metode Penelitian......................................................................................... 9

1. Jenis Penelitian ........................................................................................ 9

2. Pendekatan Penelitian ............................................................................... 9

3. Sumber Data ........................................................................................... 10

4. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 11

5. Teknik Analisis Data (analisis deskriptif) .............................................. 11

xi
6. Teknik Penulisan .................................................................................... 11

E. Sistematika Penulisan ................................................................................ 12

F. Review Kajian Terdahulu .......................................................................... 13

BAB II ................................................................................................................... 18

POLIGAMI DAN UPAYA HUKUM PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN 18

A. Poligami Meneurut Hukum Islam dan Hukum Positif............................... 18

1. Pengertian Poligami ............................................................................... 18

2. Sejarah Poligami..................................................................................... 19

3. Poligami dalam Prefektif Hukum Islam ................................................. 22

4. Poligami dalam Prespektif Hukum Positif ............................................. 27

5. Prosedur Poligami dalam Peraturan Perundang Undangan .................... 31

B. Upaya Hukum dan Perlindungan Perempuan ............................................ 36

1. Pengertian Upaya Hukum ...................................................................... 36

2. Pengertian Perlindungan Perempuan ...................................................... 37

3. Aspek- Aspek Hukum Perlindungan Perempuan ................................... 38

4. Upaya Hukum Perlindungan Hak Perempuan dalam Perespektif Hukum


Islam dan Hukum Positif ............................................................................... 42

BAB III ................................................................................................................. 48

DESKRIPSI PUTUSAN HAKIM PERKARA NOMOR 673/Pdt.G/2021/P.AJS 48

A. Duduk Perkara............................................................................................ 48

B. Proses Pemeriksaan Harta Bersama ........................................................... 53

C. Proses Penyelesaian Perkara ...................................................................... 53

D. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim ........................................................ 54

E. Amar Putusan ............................................................................................. 58

xii
BAB IV ................................................................................................................. 60

UPAYA HUKUM PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DAN


PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG PERMOHONAN IZIN POLIGAMI
NOMOR 673/Pdt.G/2021/PA.JS DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA
SELATAN ..................................................................................................... 60

A. Upaya Hukum Perlindungan Hak Perempuan Sebagai Istri Terhadap


Perkara Permohonan Izin Poligami Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS ................. 60

B. Pertimbangan Majelis Hakim Terhadap Permohonan Izin Poligami Pada


Putusan Perkara Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan. .............................................................................................................. 66

BAB V................................................................................................................... 72

PENUTUP ............................................................................................................. 72

A. KESIMPULAN .......................................................................................... 72

B. SARAN ...................................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 75

LAMPIRAN .......................................................................................................... 79

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan negara yang demokratis dan menjunjung


tinggi nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kehidupan
bermasyarakat penting terdapatnya hukum dengan tujuan untuk menciptakan
keselarasan hidup berbangsa dan bernegara. Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia disamping berlandaskan falsafah Negara Indonesia juga menampung
unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepercayaannya.
Salahsatunya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan prinsip atau
asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang disesuaikan dengan ketentuan agama maupun tuntutan
perkembangan zaman. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947
tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1947 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, maupun Kompilasi Hukum Islam,
merupakan bukti telah adanya unifikasi hukum perkawinan yang berlaku bagi
semua golongan warga negara Indonesia.

Poligami termasuk persoalan yang masih kontroversi, mengundang berbagai


persepsi pro dan kontra. Golongan anti poligami melontarkan sejumlah tudingan
yang mendiskreditkan dan mengidentikkan poligami dengan sesuatu yang
negative. Persepsi mereka, poligami itu melanggar HAM, poligami merupakan
bentuk eksploitasi dan hegemoni laki-laki terhadap perempuan, sebagai bentuk
penindasan, tindakan zhalim, penghianatan dan memandang remeh wanita serta
merupakan perlakuan diskriminatif terhadap wanita. Tudingan lain, poligami
merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum perempuan, karena dianggap
sebagai medium untuk memuaskan gejolak birahi semata. Laki-laki yang
melakukan poligami berarti ia telah melakukan tindak kekerasan atau bahkan
penindasan atas hak-hak wanita secara utuh.

1
2

Sebagai makhluk sosial, manusia untuk mencapai kebahagiaan dan


kesempurnaan hidup tentu membutuhkan manusia lainnya. Perkawinan merupakan
salahsatu sarana untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup, melalui
perkawinan manusia dapat melestarikan keturunan dan tentunya dalam ikatan yang
sah. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut
asas monogami,1 namun masih memungkinkan terjadinya poligami,2 maka dari itu
upaya poligami diperketat dengan adanya persyaratan yang telah ditentukan dan
mengajukan permohonanannya ke Pengadilan Agama untuk memberikan izin
kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang.3 Kebijakan ini dibuat seiring
dengan adanya pengaruh modernisasi sehingga menyebabkan pemikiran yang lebih
berkembang dan merespon peristiwa di tengah masyarakat bahwa poligami lebih
banyak membawa resiko daripada manfaatnya.Dalam hal ini, pada fitrahnya
manusia memiliki sifat cemburu yang bisa saja timbul dalam keluarga yang
melakukan poligami, meskipun pada saat itu aturan hanya sebatas dari pandangan
ulama, saat ini pelaksanaan hukum keluarga kontemporer telah terwujud menjadi
legal formal yang mana segala aturan berkaitan dengan hukum keluarga mengalami
banyak perubahan hukum seperti masa modern saat ini yang mempengaruhi
pelaksanaannya terutama hukum perkawinan khususnya dalam pembahasan
penelitian ini yakni sistem poligami yang pada dasarnya dalam fiqh lebih terbuka
terhadap poligami dengan catatan jika seorang suami khawatir tidak mampu
berlaku adil maka ia diperbolehkan memiliki seorang istri saja. Pada hakikatnya
pandangan ini menunjukkan bahwa diperbolehkannya poligami dengan syarat-
syarat yang cukup ketat. Pandangan ini memandang keadilan sebagai syarat, tetapi
menitikberatkan pada keadilan formal distributif, yakni bahwa suami harus
memenuhi hak-hak ekonomi dan kebutuhan seksual secara adil dan beberapa syarat
lainnya.4 Kedatangan Islam dengan ayat-ayat tentang poligami pada Q.S. An-Nisa’:

1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974.
3
Kompilasi Hukum Islam
4
Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender (Jakarta: Rahima,
3

3 dan 129, tidak serta merta menghapus poligami, namun Islam membatasi
kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat
pula seperti keharusan adil diantara istri.5 Sebelum masuknya Islam pada
praktiknya poligami merupakan hal yang menjadi tradisi di masyarakat Arab, saat
itu tidak ada gagasan tentang pemenuhan hak perempuan sebagai istri, suamilah
yang menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk
dimiliki secara tidak terbatas, sedangkan istri-istri harus menerima takdir mereka
tanpa ada usaha memperoleh keadilan.6 Sedangkan Islam sebagai agama yang
menebarkan rahmat bagi alam semesta, sangat menekankan pentingnya
penghormatan kepada manusia. Satu dari penghormatan tersebut adalah pengakuan
Islam terhadap keutuhan hak kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki.7
Oleh karena itu, poligami hanya diperbolehkan bila dalam keadaan darurat
misalnya istrinya ternyata mandul (tidak dapat membuahkan keturunan), istri
terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai
seorang istri.8

Dengan adanya hal demikian Indonesia membentuk regulasi tersendiri


terkait poligami sebagai respon tuntutan legislasi syariat untuk pelaksanaan hukum
keluarga. Ketentuan perihal poligami diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang menganut asas monogami dan Inpres No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam hal ini suami yang menghendaki
memiliki istri lebih atu satu orang wajib mengajukan permohonan izin poligami ke

2011,)19
5
Abd. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah) (Jakarta: Rajawali Press,
2002),195..
6
Asghar Ali Engineer, Pembahasan Perempuan (Yogyakarta: LKIS, 2003), 111
7
Siti Musdah Mulsa, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Kibar Press, 2007), 60.
8
Masifuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah (Jakarta: CV. Haji Masaung, 1989), cet. Ke-IV, 13.
4

Pengadian Agama dengan alasan-alasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,9 yakni:

Pasal 4:

1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seseorang,


sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini,
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya.
2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila:
a. stri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.10

Dengan demikian, selain suami berhak mengajukan permohonan izin


poligami ke pengadilan, seorang perempuan sebagai istri pun berhak untuk
dilindungi agar tidak menimbulkan kesengsaraan ketika permohonan izin poligami
dikabulkan oleh Pengadilan Agama setempat, seperti memperhatikan kesediaan
dan kerelaan istri untuk dimadu dengan istri kedua karena perkawinan poligami
bukan hanya menyangkut persoalan biologis saja namun juga menyangkut
persoalan pemenuhan psikologis, dampak sosiologis, dan kepastian harta bersama
dengan suaminya. Dalam hal ini, izin istri sebagai bagian dari syarat poligami
merupakan hak individu yang dimiliki oleh perempuan sebagai istri dan perlu
dipenuhi dan dihormati ketika suami menikah lagi dengan perempuan lain.

Dari uraian diatas, terlihat dalam regulasi poligami di Indonesia telah


menetapkan bahwa ketika Pengadilan Agama mengabulkan permohonan izin

9
Mahkamah Agung RI, Buku II: Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama
(Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2013), 135.
10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974.
5

poligami perlu adanya pertimbangan bahwa sudah ada jaminan yang jelas suami
akan berlaku adil, memiliki penghasilan yang mumpuni, bahkan pertimbangan jika
kondisi calon istri kedua terbukti hamil maupun mencegah terjadinya perzinahan.
Dari hasil library research sementara, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
memiliki bentuk perlindungan hukum terhadap hak perempuan dalam perkara
permohonan izin poligami, dimana dalam perkara ini mendudukkan istri sebagai
pihak termohon (contentius), wajib adanya alasan fakultatif poligami, wajib
memenuhi semua alasan kumulatif dalam poligami, dan wajib melakukan
permohonan penetapan harta bersama. Seorang hakim dalam melakukan
pertimbangannya untuk melindungi hak perempuan dalam perkara permohonan
izin poligami perlu juga memperhatikan petunjuk Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
dengan Hukum yang bersikap aktif dalam melaksanaan pemeriksaan setempat
terhadap harta bersama sebagai perlindungan hukum dan keadilan. Oleh karena itu,
poligami hanya diperbolehkan ketika keadaan darurat, dan hakim dalam
putusannya harus mempertimbangkan maslahat dan mudharatnya dan
menjadikannya sebagai perkara khusus ketika menghadapi perempuan yang
berhadapan dengan hukum.11

Hal inilah topik permasalahan yang menarik untuk peneliti kaji lebih dalam
terkait pertimbangan hukum terhadap upaya perlindungan hak perempuan dalam
perkara putusan izin poligami dan faktor apa saja yang menjadikan dikabulkannya
permohonan izin poligami nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS. di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.

Dengan diketahuinya hal tersebut sebagai wujud peran Hakim di Pengadilan


Agama selaku penegak hukum dalam upaya melindungi hak perempuan yang
menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum keluarga membawa pengaruh besar
akibat dari modernitas sebagai tuntutan zaman dalam bentuk perubahan hukum atau

11
Syifa Al Huzni, “Keadilan Dalam Perkara Poligami (Persepsi Hakim Pengadilan Agama Cirebon
atas Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam).” (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Sunan Gunung Jati, 2018), 11.
6

positivisasi pada peraturan perundang-undangan sebagai legislasi formal, sehingga


apa yang menjadi harapan masyarakat dengan adanya hukum keluarga yang
berlaku khusus dapat terlaksana sesuai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat saat
ini.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, penulis tertarik


untuk melakukan penelitian dengan judul “POLIGAMI TERHADAP UPAYA
HUKUM PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DI INDONESIA (Studi
Kasus Pada Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS. di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan)”

B. Identifikasi,Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan upaya yang diambil sebagai


langkah awal dalam suatu penelitian. Penelitian ini menggunakan
identifikasi masalah dengan menjelaskan apa masalah yang ditemukan dan
bagaimana masalah tersebut diukur dan dihubungkan dengan prosedur
penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian kali ini, penulis hendak
mengidentifikasi berbagai penyelesaian-penyelesaian yang banyak terjadi
dalam perkara Poligami Terhadap Upaya Hukum Perlindungan Hak
Perempuan di Indonesia Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Nomor 673/Pdt.g/2021/PA.JS

Dengan demikian identifikasi masalah tersebut adalah sebagai berikut :

a. Wilayah Kajian dalam Penelitian ini mengkaji tentang upaya hukum


perlindungan hak perempuan dalam regulasi poligami Indonesia dari
studi pertimbangan hukum dalam putusan permohonan poligami yang
bukan hanya kepastian terhadap harta bersama namun juga perjuangan
melindungi kaum perempuan agar tidak menimbulkan kedzaliman dan
kesengsaraan bagi istri ketika terjadinya putusan permohonan izin
poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dengan topik teori
perlindungan perempuan dalam hukum islam dan hukum positif
7

b. Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis.


Deskriptif-analitis yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran
sekaligus analisis mengenai pelaksanaan yang didasarkan pada ketentuan
hukum yang berlaku. Dalam penelitian ini penulis akan menafsirkan “
Upaya Hukum Perlindungan Hak Perempuan dalam Poligami di
Indonesia (Studi Kasus Pada Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS. di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan)” dengan analisis regulasi di
Indonesia mengenai putusan poligami.

2. Pembatasan Masalah

Penulis membatasi masalah yang diteliti agar tidak terjadi perluasan


masalah yang dibahas dan memberikan kemudahan dalam proses penelitian.
Oleh karena itu, pembatasan masalah pada penelitian ini hanya pada studi
putusan izin poligami mengenai upaya hukum perlindungan hak perempuan
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang terbatas pada putusan perkara
Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang menjadi subsub


masalah yang akan dibahas yaitu:

a. Bagaimana upaya hukum perlindungan hak perempuan sebagai


istri dalam perkara permohonan izin poligami Nomor
673/Pdt.G/2021/PA.JS di Pengadilan Jakarta Selatan?
b. Bagaimana Pertimbangan hakim terhadap permohonan izin
poligami pada putusan perkara Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian kali ini
adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum dalam


melindungi hak perempuan sebagai istri terhadap perkara
permohonan izin poligami Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan
b. Untuk mengetahui Pertimbangan Hakim yang dikabulkannya
permohonan izin poligami pada putusan perkara Nomor
673/Pdt.G/2021/PA.JS di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

2. Manfaat Penelitian

Selanjutnya manfaat penelitian yang dapat penulis uraikan akan


dibagi kedalam dua bagian, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara
praktis. Selengkapnya sebagai berikut :

1) Manfaat Teoritis
a. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan pengetahuan bagi penulis sekaligus sebagai pelaksanaan tugas
akademik yaitu untuk melengkapi salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan
Hukum di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
c. Melalu penelitian ini juga, paling tidak menambah sumbangsih
ilmu atas berbagai serpihan pemikiran dan teori dalam konsep
pernikahan yang patut dan ideal.
d. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan informasi
tentang pertimbangan Hukum yang dilakukan Hakim mengenai
upaya hukum perlindungan hak perempuan sebagai istri terhadap
putusan permohonan izin poligami.
9

e. Untuk menambah literatur perpustakaan khususnya dalam bidang


perbandingan mazhab.
2) Manfaat Praktis

Adapun manfaat yang dapat diambil secara praktis dalam penelitian ini
adalah memberikan edukasi terhadap masyarakat umum khususnya
muslim di Indonesia agar lebih selektif dalam memeilih pasangan
hidup untuk mengantisipasi pertengkaran-pertengkatan kecil dalam
sebuah rumah tangga supaya tidak mudah menyebabkan poligami,
juga agar anak dari hasil pernikahan tersebut tidak merasa menjadi
korban. Dan hukum yang ditegakkan ditengah masyarakat dapat
diberlakukan secara adil sesuai dengan peraturan yang berlaku, baik
dalam hukum positif di Indonesia maupun dalam hukum Islam.

D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian

Menurut Denzin dan Lincoln penelitian kualitatif adalah penelitian yang


menafsirkan fenomena yang telah terjadi dengan menggunakan latar belakang
ilmiah dan dilakukan dengan menggunakan metode-metode yang ada.12 Jenis
penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data
berbentuk kata-kata (narasi) dengan menganalisis data serta teori dan diolah
menjadi beberapa kalimat.

2. Pendekatan Penelitian

Studi ini menggunakan pendekatan analisis teks yaitu cara yang digunakan
untuk mencari dan menyusun data secara teratur kemudian dibuat suatu kesimpulan
yang efektif agar mudah untuk dipahami.13 Penelitian yuridis hukum normatif yaitu
penelitian yang melakukan analisis pada sumber-sumber hukum positif berupa

12
Johan Anggito, Albi, Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jawa Barat: CV Jejak,
2018).h. 10.
13
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantatif Kualitatif dan R&D (Jawa Barat: Alfabeta,2010)
10

undang-undang dan putusan hakim.14 Kemudian studi ini juga menggunakan


pendekatan kasus (case approach), pendekatan kasus adalah pendekatan yang
dilakukan dengan cara menganalisis kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang
sedang diteliti.15 Dan studi ini menggunakan pendekatan perundangundangan
(statute approach). Pendekatan perundang-undangan (statute Approach) adalah
pendekatan yang menggunakan cara analisis perundangundang dan peraturan yang
bersangkutan dengan masalah hukum yang diteliti.

3. Sumber Data

Data yang diambil dari studi ini bersumber dari beberapa bahan sumber
data yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Sumber data bahan primer pada penilitian ini yaitu Putusan Nomor
673/Pdt.G/2021/PA.JS yaitu putusan yang mengabulkan permohonan izin
poligami,Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang rativikasi CEDAW penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan serta kajian-kajian yang
berhubungan dengan persoalan yang dibahas.

b. Bahan Hukum Skunder

Sumber data bahan sekunder yaitu buku, jurnal, artiket, serta


literatur terkait.
c. Bahan Hukum Tersier

14
Indah Rahmawati, “Analisis Yuridis-Normatif Terhadap Peran dan Tindakan Telemarketing
dalam Transaksi Digital,” Jurnal Cakrawala Hukum 11, no. 1 (2020): 60–70.
15
“View of Keberadaan Surat Ijo Dikaji Berdasarkan Pendekatan Kasus dan Teori Tujuan Hukum
Gustav Radbruch,” accessed October 30,
2022http://journal.ipts.ac.id/index.php/ED/article/view/3210/2059.
11

Sumber data bahan tersier yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan suatu hal yang penting untuk


dilakukan dalam melaksanakan penelitian, karena dengan melakukan teknik
pengumpulan data yang benar maka hasil dari penelitian menjadi konkrit
dan terpercaya. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data
berupa Library Research (Penelitian Pustaka) yaitu metode yang digunakan
untuk menganalisis buku, artikel, jurnal, serta literatur yang berhubungan
dengan permasalahan yang sedang dikaji.16

5. Teknik Analisis Data (analisis deskriptif)

Analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif. Analisis


deskriptif bertujuan mengubah data-data kasar menjadi data yang lebih
mudah untuk dipahami dalam bentuk informasi yang lebih singkat.17

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan pada studi ini berpedoman pada


Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

16
Usman Yahya, “View of Konsep Pendidikan Anak Usia Sekolah Dasar (6-12) Tahun di
Lingkungan Keluarga Menurut Pendidikan Islam,” accessed
October 30, 2022, https://ejournal.iainkerinci.ac.id/index.php/islamika/article/view/50/46.
17
Bella Harum Ashari, Berto Mulia Wibawa, and Satria Fadil Persada, “Analisis Deskriptif dan
Tabulasi Silang Pada Universitas di Kota Surabaya ),” Jurnal Sains dan Seni ITS 6, no. 1 (2017):
17– 21, https://media.neliti.com/media/publications/134699-ID-analisis-deskriptif-dan-tabulasi-
silang.pdf.
12

E. Sistematika Penulisan

Untuk mengarahkan dan memberi gambaran secara umum serta


mempermudah pembahasan dari skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika
penlisannya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, menggambarkan isi dan bentuk penelitian yang berisi


tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian,metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II POLIGAMI DAN UPAYA HUKUM PERLINDUNGAN HAK


PEREMPUAN, menguraikan tentang teori-teori yang melandaskan penelitian
hukum. Pada bab ini membahas mengenai, tinjauan umum tentang perlindungan
hak perempuan dalam hukum islam dan hukum positif, tentang poligami meliputi
pengertian poligami, sejarah poligami, hukum poligami dalam islam dan regulasi
di Indonesia, serta tinjauan umum tentang upaya hukum perlindungan hak
perempuan.

BAB III DESKRIPSI PUTUSAN HAKIM PERKARA NOMOR


673/Pdt.G/2021/PA.JS, merupakan uraian dan pembahasan mengenai metode
penelitian, yang meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian,
sumber data, dan pengumpulan data dan data perkara nomor
673/Pdt.G/2021/PA.JS. di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

BAB IV PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN TERHADAP


PERMOHONAN IZIN POLIGAMI NOMOR 673/Pdt.G/2021/PA.JS DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN, membahas tentang analisis
upaya hukum dalam melindungi hak perempuan sebagai istri terhadap permohonan
izin poligami dan Pertimbangan Majelis Hakim Pada Perkara Nomor
13

673/Pdt.G/2021/PA.JS terhadap permohonan izin poligami di Pengadilan Agama


Jakarta Selatan.

BAB V PENUTUP, menguraikan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan


pembahasan yang telah dilakukan pada bab tiga dan empat sebagai jawaban singkat
atas permasalahan yang diteliti. Penulis juga akan menyampaikan saran terhadap
hasil penelitian yang telah diuraikan

F. Review Kajian Terdahulu

Dalam penulisan proposal ini merujuk pada buku,artikel dan juga jurnal
serta sikiripsi ataupun penelitian penelitian yang membahas seputar praktek
poligami dalam upaya hukum perlindungan hak perempuan untuk mengetahui
kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan dibahas oleh para peneliti
lainnya,maka penulis me- review beberapa jurnal dan sikiripsi yang terdahulu
hampir serupa dengan pembahasan yang saya angkat judul proposal sikripsi saya

Dalam hal ini penulis menemukan beberapa jurnal dan sikiripsi yang
terdahulu:

1. Penelitian dalam bentuk jurnal yang dilakukan oleh Teddy Lahati dengan
judul “Ketidakadilan Gender Putusan Izin Poligami (Studi Putusan
Pengadilan Agama Limboto Tahun 2013-2016)”, membahas tentang
hakim melalui putusan-putusannya berperan mengangkat derajat harkat
dan martabat kaum perempuan dengan segala hak dan tanggung jawabnya
setara dengan laki-laki. Ketika hukum konvensional tidak berpihak kepada
kaum perempuan, maka hakim melalui putusan-putusannya berperan
melakukan pembaharuan dan terobosan hukum guna memberi
perlindungan hukum dan keadilan kepada kaum perempuan sebagai pihak
yang lemah dan terpinggirkan, maka hakim harus memiliki sensitivitas
14

gender demi keadilan. Hasil penelitian menunjukan bahwa hakim dalam


melihat alasan-alasan pihak berpoligami lebih pada kesesuaian antara
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, tidak pula didampingin
pada bentuk upaya responsif terhadap gender. Disatu sisi pemerintah
mengakui legal capacity kaum perempuan namun disisi lain justru
mengukuhkan pembagian peranan berdasarkan jenis kelamin (sex roles)
secara kaku serta menguatkan stereotype terhadap perempuan. Sehingga
peranan hakim dalam persidanan sangat vital untuk melindungi dan
menjaga perlakuan yang merujuk pada diskriminasi gender.18 Persamaan
penelitian terdahulu tersebut diatas dengan penelitian yang akan penulis
lakukan ini yaitu sama-sama membahas tentang putusan Hakim dalam
perkara permohonan izin poligami. Akan tetapi permasalahan yang diteliti
berbeda. Permasalahan yang dikaji pada penelitian terdahulu diatas adalah
peneliti menyajikan pernyataan tentang ketidakadilan gender dalam
putusan yang diberikan oleh hakim dalam permohonan izin poligami yang
dikabulkan oleh hakim Pengadilan Agama Limboto. Sedangkan pada
penelitian ini menyajikan pembahasan tentang upaya hukum perlindungan
hak perempuan yang dilakukan hakim dalam putusan permohonan izin
poligami.
2. Skripsi Ekawati Mulyaningsih dengan judul “Pertimbangan Hakim dalam
Pemberian Izin Poligami Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Pengadilan Agama
Wonogiri (Studi Kasus Perkara Nomor 515 / Pdt.g / 2000 / PA.Wng)”.
Penelitian ini membahas mengenai pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Agama Wonogiri dalam mengabulkan permohonan izin
poligami sesuai atau tidaknya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

18
Teddy Lahati,”Ketidakadilan Gender Izin Poligami (Studi Putusan Pengadilan Agama Limboto
Tahun 2013-2016,” Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18: 2 (2018):
22.
15

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. Penelitian ini berjenis


penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat preskriptif dan
menggunakan teknik pengumpulan data secara dokumentasi dengan
teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penulisan hukum
ini adalah analisis data kualitatif yang menganalisis data untuk
mengungkapkan gejala yang ada dan realita dari suatu peristiwa yang
terjadi dan dinyatakan dalam bentuk tulisan-tulisan atau pernyataan lisan.
Hasil penelitian ini tersebut diketahui bahwa putusan Majelis Hakim
perkara Nomor: 515/ Pdt.G/2000/PA. Wng tentang permohonan izin
poligami sebenarnya adalah untuk kemaslahatan umat dan menghindari
kemudharatan. Alasan-alasan mendasar pengajuan permohonan poligami
tidak terpenuhi dalam kasus ini namun syarat-syarat mengajukan poligami
dapat dipenuhi oleh Pemohon. Penulis menambahkan menurut ketentuan
apabila hakim murni berpedoman pada ketentuan yang telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan permohonan tersebut haruslah ditolak karena alasannya tidak
terpenuhi namun dengan dua pertimbangan diatas Majelis Hakim akhirnya
menjatuhkan putusan berupa mengabulkan izin poligami.19 Persamaan
penelitian terdahulu di atas dengan penelitian yang akan penulis lakukan
ini yakni sama-sama membahas tentang pertimbangan hakim dalam
pemberian poligami. Akan tetapi, permasalahan yang diteliti berbeda.
Permasalahan yang dikaji pada penelitian terdahulu di atas adalah perihal
perbandingan putusan yang berpedoman pada ketentuan yang telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

19
Ekawati Mulyaningsih, “Pertimbangan Hakim dalam Pemberian Izin Poligami Menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Pengadilan Agama
Wonogiri (Studi Kasus Perkara Nomor 515 / Pdt.g / 2000 / PA.Wng).” (Skripsi, Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), 57.
16

UndangUndang Perkawinan. Sedangkan pada penelitian ini yang dibahas


mengenai putusan permohonan izin poligami atas pertimbangan Hakim
mengenai perlindungan hak perempuan akibat dari modernitas yang
mempengaruhi pelaksanaan hukum perkawinan.
3. Skripsi Syifa Al Huzni dengan judul “Keadilan Dalam Perkara Poligami
(Persepsi Hakim Pengadilan Agama Cirebon atas Pasal 55 Kompilasi
Hukum Islam)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
keadilan poligami menurut hukum islam dan hukum positif, dan
mendeskripsikan persepsi hakim Pengadilan Agama Cirebon mengenai
keadilan dalam perkara poligami. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penelitian disusun berdasarkan
dari hasil wawancara dan dokumentasi dengan hakim Pengadilan Agama
Cirebon kemudian menganalisanya melalui reduksi data, penyajian data,
dan pembuatan kesimpulan. Hasil penelitian bahwa hakim Pengadilan
Agama Cirebon mengartikan keadilan dalam poliami bersifat
proporsional, Syarat ini karena sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang juga merujuk pada al-Qur’an surat
an-Nissaa ayat 3 dan juga ayat 129, yang sudah barang tentu al-Qur’an itu
kebenarannya tidak bisa dibantah lagi.20 Persamaan penelitian terdahulu di
atas dengan penelitian yang akan penulis lakukan ini yaitu sama-sama
membahas tentang regulasi poligami yang berlaku di Indonesia dan

20
Syifa Al Huzni,”Keadilan Dalam Perkara Poligami (Persepsi Hakim Pengadilan Agama Cirebon
atas Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam).” (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Gunung Djati, (2018). 13
17

pertimbangan hakim dalam putusan permohonan izin poligami. Akan


tetapi permasalahan yang diteliti berbeda. Permasalahan yang dikaji pada
penelitian terdahulu di atas perihal persepsi hakim tentang keadilan dalam
perkara poligami untuk memutus izin poligami di Pengadilan Agama
Cirebon.Sedangkan penelitian ini yang dibahas yakni tentang
pertimbangan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengenai
putusan permohonan izin poligami terhadap upaya hukum perlindungan
hak perempuan dalam regulasi poligami di Indonesia.
Dari beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas, ternyata
belum ada tinjauan secara khusus dan komprehensif tentang pertimbangan
hakim mengenai perlindungan hak perempuan dalam putusan permohonan
izin poligami serta objek penelitian yang dilakukan di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
BAB II

POLIGAMI DAN UPAYA HUKUM PERLINDUNGAN HAK


PEREMPUAN

A. Poligami Meneurut Hukum Islam dan Hukum Positif

1. Pengertian Poligami

Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak


memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.21
Poligami memiliki dua makna:poligini dan poliandari.poligini adalah seorang
suami memiliki banyak istri; sedangkan poliandari adalah seorang istri memiliki
bnayak suami ( seperti drupadi dalam cerita mahabarata). akan tetapi dalam
khazanah hukum islam di indoensia, poligami yang dimaksudkan dalam arti yang
pertama,yaitu poligami22 berdasarkan pengertian poligami yang telah dio
ungkapkan, bahwa poligami adalah perkawinan dimana lelaki memiliki lebih dari
satu istri atau beristri banyak.

Poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani,yakni Poly atau Polus
yang berarti banyak,dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan.
Jadi secara bahasa,poligami berarti “suatu perkawinan yang jumlah isterinya
banyak”, baik pria maupun wanita.Poligami adalah perkawinan seorang laki-laki
dengan lebih seorang dari seoramg perempuan.23

Sedangkan poligami yang berasal dari bahasa inggris adalah “poligamy´ dan
disebut ta’adudu zaujat dalam hukum islam, yang berarti beristri lebih dari seorang
wanita.begitu pula dengan istilah poliandri berasal dari bahasa inggris “poliandry”

21
Dapartemen Pendidikan Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:Balai
Pustaka,1989),h.639.
22
Imam Mustofa,Politik Hukum Islam Indoensia,(Lampung: Stain Jurai siwo metro,2015),.h116.
23
Moh. Mukri,”Poligami; Antara Teks Dan Konteks Sosial”.Jurnal Al-‘adalah,Vol.14,No
1,2017,h,202.

18
19

dan disebut ta’adudu aswaja atau ta’adudu alba’ul dalam hukum islam, yang
berarti bersuami lebih dari seorang pria,maka poligami adalah seorang peria yamg
memiliki istri lebih dari satu wanita, sedangkan poliandri adalah seorang wanita
yag bersuami lebih dari seorang pria.24

Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih
dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus berarti banyak
dan gune berarti perempuan,sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih
dari seorang suami disebut poliadri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak
dan andrus yang berarti laki-laki. Jadi kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang
mempunyai lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan
poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang
perempuan dalam waktu yang bersamaan.sedangkan yang dimaksud dengan
poligini adalah perkawinan dari seorang laki-laki dengan beberapa orang
perempuan dalam waktu yang bersamaan, namun lebih dikenal oleh masyarakat
umum sebagai arti dari poligami25

Seacara terminologi,poligami diartikan sebagai ’’ikatan anatara laki-laki


seorang suami dengan mengawini beberapa orang istri’’ atau ’’ seorang laki laki
beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang’’ menurut siti
musdah mulia merumuskan poligami merupakan ikatan perkawinan dalam hal
dimana suami mengawini lebih dari satu orang istri dalam waktu yang sama. Laki-
laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti ini dikatan bersifat
poligami,dengan singkat moch anwar menegaskan poligami adalah beristri lebih
dari satu.poligami adalah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang laki-laki
dengan lebih dari seorang perempuan.

2. Sejarah Poligami

Poligami atau menikah lebih dari seorang istri bukanlah merupakan masalah
baru. Poligami sudah ada sejak dulu kala, pada kehidupan manusia di berbagai

24
Mahyudin,Masailul fighiyah,(Jakarta:kalam mulia,2003),h.59.
25
Mahyudin,Masailul fighiyah,(Jakarta:kalam mulia,2003),h.59.
20

kelompok masyarakat seluruh penjuru dunia.26 Bangsa Arab telah berpoligami


bahkan jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain disebagian
besar kawasan dunia selama masa itu. Kitab-Kitab Suci agama-agama Samawi dan
buku-buku sejarah menyebutkan bahwa dikalangan para pemimpin maupun orang-
orang awam disetiap bangsa, bahkan diantara para Nabi sekalipun, poligami bukan
merupakan hal yang asing ataupun tidak disukai27 Dalam kitab suci agama Yahudi
dan Nasrani, poligami telah merupakan jalan hidup yang diterima. Semua Nabi
yang disebutkan dalam Talmud, perjanjian lama, dan Al-Qur‟an, beristri lebih dari
seorang, kecuali Yesus/Nabi Isa as. Bahkan di Arab sebelum Islam telah
dipraktekkan poligami tanpa batas.28

Bentuk poligami ini telah dikenal di antara orang-orang Medes, Babilonia,


Abbesinia dan Persia. Nabi saw. Membolehkan poligami diantara masyarakat
karena sudah dipraktekkan juga oleh orang-orang Yunani yang diantaranya seorang
istri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga bisa diperjualbelikan secara lazim
diantara mereka. Poligami merupakan kebiasaan di antara suku-suku Bangsa di
Afrika, Australia serta Mormon di Amerika. Bahkan ajaran Hindu di India tidak
melarang poligami.29

Namun Poligami juga sudah dipraktikkan umat manusia jauh sebelum Islam
datang. Rasulullah Saw. membatasi poligami sampai empat orang isteri. Sebelum
adanya pembatasan ini para sahabat sudah banyak yang mempraktikkan poligami
melebihi dari empat isteri, seperti lima isteri, sepuluh isteri, bahkan lebih dari itu.

26
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur‟an, as-Sunah, dan Pendapat Para
Ulama, Bandung: Mizan Media Utama, hlm. 90.
26
Abdurrahman I Doi, “Inilah Syari‟ah Islam Terjemahan”, Buku The Islamic Law, Usman Efendi
AS dan Abdul Khaliq Lc, Jakarta: Puataka Panji, Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam
dan Perkawinan, jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 259
27
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur‟an, as-Sunah, dan Pendapat Para
Ulama, Bandung: Mizan Media Utama, hlm. 90.
28
Abdurrahman I Doi, “Inilah Syari‟ah Islam Terjemahan”, Buku The Islamic Law, Usman Efendi
AS dan Abdul Khaliq Lc, Jakarta: Puataka Panji, 1990, hlm. 207.
29
Abdurrahman I Doi, “Perkawinan dalam Syari‟at Islam”, Syari‟at The Islamic Law, Terj. Basri
Aba Asghary, Wadi Masturi, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 43.
21

Mereka melakukan hal itu sebelum mereka memeluk Islam, seperti yang dialami
oleh Qais bin al-Harits. Ia berkata: “Aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan
isteri, lalu aku datang kepada Nabi Saw. dan menyampaikan hal itu kepada beliau
lalu beliau berkata: “Pilih dari mereka empat orang.” (HR. Ibnu Majah). Hal ini
juga dialami oleh Ghailan bin Salamah al-Tsaqafi ketika memeluk Islam. Ia
memiliki sepuluh isteri pada masa Jahiliah yang semuanya juga memeluk Islam.
Maka Nabi Saw. menyuruhnya untuk memilih empat orang dari sepuluh isterinya
(HR. al-Tirmidzi).

Jadi poligami sudah lama dipraktikkan oleh umat manusia jauh sebelum
Nabi Muhammad Saw. melakukan poligami. Nabi-nabi sebelum Muhammad juga
banyak yang melakukan poligami, seperti Nabi Daud a.s., Nabi Sulaiman a.s., dan
begitu juga umatumatnya. Masyarakat Jahiliah dalam waktu yang cukup lama
mentradisikan poligami dalam jumlah yang tidak terbatas hingga datangnya Islam.
Sebagian dari orang Jahiliah ini kemudian memeluk Islam dan sudah berpoligami,
sehingga harus tunduk kepada aturan Islam yang hanya membatasi poligami sampai
empat isteri saja.

Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Sebagai Nabi terakhir di


negara Arab, telah melarang perzinaan dan bentuk-bentuk lain yang menganggap
perempuan bagaikan barang dan hewan yang dimiliki. Islam tidak mengharamkan
poligami secara mutlak, tetapi diberi batasan dan bersyarat.30 Dengan adanya
batasan jumlah perempuan yang akan dijadikan istri agar terjadi kemaslahatan
keturunan, pranata sosial dan kesiapan kaum lelaki. Seorang lelaki hanya boleh
menikahi maksimal empat orang perempuan. Tentu saja dengan bersyarat mampu
memberi nafkah terlindungi dan bisa berlaku adil.

Muhammad Rasyid Ridha, “Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar Keberadaan
30

Wanita”, Terj, Hukuukal Mar‟ah al-Muslimah, Abd. Harris Rifa‟i dan M. Nur Hakim, Surabaya:
Pustaka Progresif, 1992, hlm.78.
22

3. Poligami dalam Prefektif Hukum Islam

Allah Swt. Maha Bijaksana ketika menetapkan aturan poligami, sehingga


tidak ada kesalahan dan cela. Islam tidak menjadikan poligami sebagai suatu
kewajiban bagi lakilaki, sebagaimana tidak pula diwajibkan bagi perempuan dan
keluarganya untuk menerima perkawinan dari laki-laki yang sudah beristeri.

Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan disyariatkannya hukum Islam adalah


untuk kemaslahatan manusia. dengan prinsip seperti ini, jelaslah bahwa
disyariatkannya poligami juga untuk kemaslahatan manusia. Poligami bertujuan
untuk mewujudkan keluarga yang baik, bukan semata-mata untuk menyenangkan
suami. dari prinsip ini juga dapat dipahami bahwa jika poligami itu tidak dapat
mewujudkan kemaslahatan, maka poligami tidak boleh dilakukan. Karena itulah,
Islam memberikan aturan-aturan yang dapat dijadikan dasar untuk pelaksanaan
poligami sehingga dapat terwujud kemaslahatan tersebut.

Menurut Mahmud Syaltut yang dikutip dari buku Bunyamin dan


Hermanto “hukum poligami adalah mubah, selama tidak di khawatirkan
terjadinya penganiayaan terhadap istri, Islam memperbolehkan poligami sampai
empat orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka, yaitu adil dalam
melayani istri, seperti nafkah, tempat tinggal, pakaian, dan hal-hal yang bersifat
lahiriah. Jika tidak dapat berbuat adil cukup satu istri saja”.31 Hal ini berdasarkan
Quran, yaitu QS. al-Nisa’ (4):3

Para ulama juga berbeda pendapat mengenai ketentuan poligami, meskipun


dasar pijakan mereka adalah sama, yakni mereka mendasarkan pada satu ayat
dalam al-Quran, yaitu QS. al-Nisa’ (4): 3

ِ ‫ث وربٰع ۚ فَاِ ْن ِخ ْفتُم اَاَّل تَع ِدلُوا فَو‬ ِۤ ِ ِ ِ ِ ِ ِ


‫اح َد ًة‬َ ْ ْ ْ َ َ‫َوا ْن خ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْقسطُْوا ِِف الْيَ ت ٰٰمى فَانْك ُح ْوا َما ط‬
َ ُ َ َ ‫اب لَ ُك ْم م َن الن َساء َمثْ ٰٰن َوثُٰل‬
ۗ ِ
٣ ‫ك اَ ْد ٰىٰن اَاَّل تَعُ ْولُْوا‬
َ ‫ت اَْْيَانُ ُك ْم ۗ ٰذل‬
ْ ‫اَْو َما َملَ َك‬

31
Bunyamin, dan Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (cetakan I: Februari 2017), hlm. 103.
23

Artinya: Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak
berbuat zalim.

Seperti di atas. Menurut jumhur (kebanyakan) ulama ayat di atas turun


setelah Perang Uhud selesai, ketika banyak pejuang Muslim yang gugur menjadi
syuhada’. Sebagai konsekuensinya banyak anak yatim dan janda yang ditinggal
mati ayah atau suaminya. Hal ini juga berakibat terabaikannya kehidupan mereka
terutama dalam hal pendidikan dan masa depan mereka kondisi inilah yang
melatarbelakangi disyariatkannya poligami dalam Islam.32

Ibnu Jarir al-Thabari sangat setuju dengan pendapat yang mengatakan


bahwa makna ayat di atas merupakan kekhawatiran tidak mampunyai seorang wali
berbuat adil terhadap harta anak yatim. Maka jika sudah khawatir kepada anak
yatim, mestinya juga khawatir terhadap perempuan. Maka janganlah menikahi
mereka kecuali dengan perempuan yang kalian yakin bisa berbuat adil, satu hingga
empat orang. Sebaliknya, jika ada kekhawatiran tidak sanggup berbuat adil ketika
berpoligami, maka cukup menikahi seorang isteri saja.33

Dalam menafsirkan ayat di atas al-Zamakhsyari mengatakan, kata wa dalam


ayat matsna wa tsulatsa wa ruba’ berfungsi sebagai penjumlahan (li al-jam’i).
Karena itu, menurutnya, perempuan yang boleh dinikahi oleh laki-laki yang bisa
berbuat adil bukan empat, sebagaimana pendapat ulama pada umumnya, tetapi
sembilan.34 Ketika menjelaskan makna ayat 129 dari surat al-Nisa’ yang berbunyi:

32
Nasution, Khairuddin. 1996. Riba & Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I.
33
Al-Thabari, Ibnu Jarir. 1978. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid IV.
34
Al-Zamakhsyari. 1966. Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh alTa’wil.
Mesir: Mushthafa al-Bab al-halabi. Jilid I.
24

َٰ ‫صلِ ُح ْوا َوتَتا ُق ْوا فَاِ ان‬ ِ ِ ِ ِ ۤ ِ ‫ولَن تَست ِطي عىوا اَ ْن تَع ِدلُوا ب‬
‫اّلل‬ ْ ُ‫صتُ ْم فَ ََل ََتْي لُ ْوا ُك ال الْ َمْي ِل فَتَ َذ ُرْوَها َكالْ ُم َعلا َقة َۗوا ْن ت‬
ْ ‫ْي الن َساء َولَ ْو َحَر‬
َ َْ ْ ْ ُْ ْ َ ْ ْ َ
١٢٩ ‫َكا َن َغ ُف ْوًرا ارِحْي ًما‬

Artinya: Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Al-Zamakhsyari mengatakan bahwa tuntutan kemampuan berbuat adil


terhadap para isteri sesuai dengan kemampuan maksimal, sebab memaksakan diri
dalam melakukan sesuatu di atas kemampuannya termasuk perbuatan zhalim.35
Ketika membahas kata aw ma malakat aimanukum al-Zamakhsyari mengatakan
bahwa untuk halalnya hubungan seorang tuan dengan budaknya, maka harus
dinikahi terlebih dahulu.

Al-Qurthubi sepakat dengan al-Zamakhsyari dalam hal menikahi budak


yang akan digauli oleh tuannya. Namun al-Qurthubi berbeda dengan al-
Zamakhsyari dalam memahami jumlah maksimal perempuan yang dijadikan isteri
dalam berpoligami. AlQurthubi sepakat dengan apa yang ditegaskan oleh Nabi
Saw. ketika menyuruh sahabat untuk menyisakan isterinya maksimal empat orang.
Dengan demikian, menurut al-Qurthubi jumlah maksimal isteri bagi suami yang
berpoligami adalah empat orang36

Al-Syaukani menyebutkan, bahwa sebab turunnya ayat al-Nisa’: 3


berhubungan dengan kebiasaan orang-orang Arab pra-Islam. Di antara kebiasaan
mereka adalah para wali yang ingin menikahi anak yatim tidak memberikan mahar
yang jumlahnya sama dengan mahar yang diberikan kepada perempuan lain.
Karena itu, kalau tidak bisa memberikan mahar yang sama antara yang perempuan

35
Al-Zamakhsyari. 1966. Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh alTa’wil.
Mesir: Mushthafa al-Bab al-halabi. Jilid I.
36
Al-Qurthubi. 1967. Al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabiyyah. Jilid V.
25

yang yatim dan non-yatim, Allah menyuruh untuk menikahi perempuan yang non-
yatim saja maksimal empat orang dengan syarat dapat berbuat adil. Jika tidak dapat
berbuat adil, maka cukup satu saja. Al-Syaukani juga menegaskan bahwa menikahi
wanita lebih dari empat orang hukumnya haram karena bertentangan dengan
sunnah Nabi dan bertentangan dengan pemahaman bahasa Arab yang umum37
ketika menafsirkan ayat aw ma malakat aimanukum alSyaukani menyatakan, untuk
menjadikan budak sebagai isteri tidak diharuskan menikahinya, karena budak
disamakan dengan harta milik.

Dalam menafsirkan QS. al-Nisa’: 129, sebagaimana umumnya para ahli


tafsir, alSyaukani menegaskan, bagaimanapun usaha untuk berbuat adil, manusia
tidak akan mampu, lebih-lebih kalau dihubungkan dengan kemampuan membagi
di bidang nonmateri. Karena itu, Allah melarang untuk condong kepada salah satu
yang mengakibatkan yang lain menjadi terlantar. Dengan kata lain, harus ada upaya
maksimal dari seorang suami untuk dapat berbuat adil kepada para isterinya ketika
berpoligami.38

Al-Maraghi menyatakan dalam kitab tafsirnya bahwa kebolehan poligami


adalah kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya, poligami
diperbolehkan dalam keadaan darurat yang hanya dapat dilakukan oleh orang-
orang yang benar-benar membutuhkan. Dia kemudian mencatat kaidah fiqhiyah
“dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” (menolak yang berbahaya
harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat). Catatan ini
dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk berhati-hati dalam
melakukan poligami. Alasan yang membolehkan poligami, menurut alMaraghi,
adalah

1) karena isteri mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat


mengharapkan keturunan.

37
Al-Syaukani. 1973. Fath al-Qadir: al-Jami’ Bain Fann al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-
Tafsir. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid I.
38
Al-Syaukani. 1973. Fath al-Qadir: al-Jami’ Bain Fann al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-
Tafsir. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid I.
26

2) apabila suami memiliki kemampuan seks yang tinggi sementara isteri


tidak mampu meladeni sesuai dengan kebutuhannya.
3) jika suami memiliki harta yang banyak untuk membiayai segala
kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan isteri sampai kepentingan
anak-anak.
4) jika jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki yang bisa jadi
dikarenakan perang. Atau banyaknya anak yatim dan janda sebagai
akibat perang juga membolehkan dilakukannya poligami.

Al-Maraghi juga menegaskan hikmah pernikahan poligami yang dilakukan


Nabi Muhammad Saw. yang menurutnya ditujukan untuk syiar Islam. Sebab jika
tujuannya untuk pemuasan nafsu seksual, tentu Nabi akan memilih perempuan-
perempuan cantik dan yang masih gadis. Sejarah membuktikan bahwa yang
dinikahi Nabi semuanya janda kecuali ‘Aisyah. Terkait dengan QS. al-Nisa’: 129
al-Maraghi mencatat, yang terpenting harus ada upaya maksimal untuk berbuat
adil. Adapun di luar kemampuan manusia, bukanlah suatu yang harus dilakukan.39

Itulah beberapa pendapat para ulama tentang poligami yang pada prinsipnya
semuanya membolehkan poligami dengan berbagai ketentuan yang bervariasi. Ada
yang membolehkan poligami dengan syarat yang cukup longgar dan ada juga yang
memberikan persyaratan yang ketat. di antara mereka juga ada yang menegaskan
bahwa dibolehkannya poligami hanya dalam keadaan darurat saja. Mengenai
jumlah isteri yang boleh dinikahi dalam berpoligami ada yang membatasinya empat
orang dan ada yang membatasinya sembilan orang. dari variasi pendapat mereka
tidak ada yang dengan tegas menyatakan bahwa poligami itu dilarang. Mereka tidak
berani menetapkan hukum yang bertentangan dengan al-Quran atau hadis yang
memang tidak pernah melarangnya. Inilah barangkali salah satu ciri dari ulama
klasik dalam menetapkan hukum.

39
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. 1969. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mushthafa al-Bab alHalabi. Jilid
IV.
27

Dengan demikian, pada prinsipnya hukum islam membolehkan adanya


poligami dengan berbagai persyaratan yang cukup ketat. disyariatkannya poligami,
seperti ketentuan hukum Islam lainnya, juga untuk kemaslahatan umat manusia.
dari sinilah harus disadari bahwa siapa pun boleh melakukan poligami selama ia
dapat mewujudkan kemaslahatan. namun, jika ia tidak dapat mewujudkan
kemaslahatan itu ketika melakukan poligami, maka poligami tidak boleh ia
lakukan. persyaratan yang ditentukan oleh alQuran (seperti keharusan berlaku adil)
dan juga berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh para ulama tentang poligami
harus dipahami sebagai upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dalam
pelaksanaan poligami. hal ini hanya bisa terwujud jika poligami dilakukan oleh
pihak laki-laki (suami) dan tidak mungkin dapat dilakukan oleh pihak wanita
(isteri).

4. Poligami dalam Prespektif Hukum Positif

Di Indonesia, masalah poligami diatur dalam UndangUndang Nomor 1


tahun 1974 tentang perkawinan pasal 3, 4, dan 5 yang menentukan bahwa
perkawinan berasas monogami, tetapi membuka kemungkinan atas izin
pengadilan dengan alasan istri tidak dapat menjalankannya sebagai istri, istri cacat
atau punya penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau istri mandul, dan dengan
syarat mendapatkan izin dari istri/ istri-istri terdahulu, mampu memberikan
nafkah, dan dapat berlaku adil.40

Menurut undang-undang poligami ialah mengawini beberapa lawan


jenisnya dalam waktu yang sama. Berpoligami atau menjalankan (melakukan)
poligami sama dengan poligami yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu
yang sama. hal ini disebutkan dalam pasal 55 ayat (1) Kompelasi Hukum Islam
(KHI) bahwa “beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas
hanya sampai empat isteri”. Ketentuan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 baik

40
Bunyamin, dan Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (cetakan I: Februari 2017), hlm. 111.
28

pasal demi pasal maupun penjelasannya tidak ditemukan pengertian poligami.


Hanya pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa
“pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehenaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Dengan adanya
pasal ini maka undangundang Nomor 1 tahun 1974 menganut azas monogami,
oleh karena itu poligami tidak dapat begitu saja dapat dibuka tanpa pengawasan
hakim.41

Dengan demikian, poligami baru boleh dilakukan apabila terdapat


beberapa sebab, diantaranya: 1) isteri tidak lagi sanggup lagi memenuhi keinginan
suami untuk memenuhi dorongan nafsu syahwatnya. 2) isteri dalam keadaan sakit
parah sehingga tidak dapat lagi melayani suaminya. 3) bertujuan untuk membela
kepada kaum wanita yang sudah menjadi janda karena suaminya gugur dalam
berjihad fisabililah; 4) untuk menyelamatkan kaum wanita yang masih belum
berpeluang berumah tangga, supaya mereka tidak terjerumus kelembah dosa.42

Adapun pasal yang menunjukkan adanya peluang sebagai kebolehan


untuk berpoligami adalah sebagaiman yang tercantum pada Pasal 3 ayat (2) yang
berbunyi, “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih daei seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan’’.
Dalam penjelesan Pasal 3 ayat (2) disebutkan, “Pengadilan dalam memberi
putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut pada Pasal 2. Dengan
adanya perumusan pad Pasal 2 ayat (1) yang dimaksud dengan hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaanya itu termasuk ketentuan perundang-
undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaan itu sepanjang
tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan
ini.

41
Abuh Samah, “Izin Isteri Dalam Poligami Perspektif Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal Hukum Islam, Vol. XIV: 1 (1 Juni 2014),hlm.
39.
42
Ibid, hlm. 39-40.
29

Dalam Pasal 4 diatas dinyatakan poligami dibolehkan dengan batasan-


batasan yang berat berupa syarat-syarat dan tujuan yang mendesak:

a. Jumlah perempuan yang boleh dinikahi tidak boleh lebih dari empat
orang.Walaupun ada juga yang berpendapat bahwa batas maksimal 9
orang yaitu dengan menjumlah dua ditambah tiga ditambah
emapat,penafsiran yang sekian itu tidak benar.
b. Samggup berlaku adil terhadap istri-istrinya, jika sudah tidak berlaku
adil terhadap istri -istrinya.Maka sebaiknya tidak menikah lagi untuk
kedua kalinya atau seterusnya.
c. Perempuan yang akan dinikahi adalah dibawah pengasuhan laki-laki
yang akan berpoligami dan berlaku adil kepada anak yatim dan harta
anaka yatim tersebut.
d. Perempuan yang hendak di nikahi tidak boleh ada hubungan
saudara,baik sedarah atau sesuan.43

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami untuk memproleh izin istri
pertama pada dasarnya seorang perempuan tidak suka dipoligami, sehingga
apabila ada seorang perempuan bersedia memberi izin atau karena keadaan
terpaksa dengan pertimbangan seperti ini, istri tidak dapat mencari nafkah
sendri,berpeluang kecil untuk harapan dapat menikahi kembali dengan orang lain
karena usianya sudah cukup tua, istri tidak ingin keluarganya pecah demi
kepentingan anak-anaknya.44 Adapun pada Pasal 5 ayat (2) mengenai persetujuan
dari seorang istri menunjukkan bahwa persetujuan tidak diperlukan jika seorang
istri tidak memungkinkaan dimintai persetujuan kepada suaminya, Maka
Pengadilan Agama menetapkan pemberian izin poligami setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan agama,dan terhadap penetapan
ini suami ataupun istri boleh mengajukan banding.45

43
Seomiyat,Hukum Perkawinan Islam dan Unadang Undang ( Yogyakarta:Liberty,1982),76.
44
R.Seotojo Prawirohamidjo,pluralisme dalam Perundang Undangan Perkawinaan din Indoensia
(surabaya: Airlangga UniversitiyPress,2011).50
45
Tihami,fikih Munakahat..370
30

Pengadilan tidak akan memberi izin kepada seorang suami yang


mengajukan permohonan untuk kawin kembali atau menikahi isteri kedua, ketiga
atau ke empat jika alasan yang diajukan tidak sesuai dengan yang disebut pasal 4
ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Di samping alasan-alasan yang
dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih diperlukan
sayaratsyarat lain, sebagai mana yang telah di jelaskan pada pasal 3 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan: “pengadilan dalam
memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut pada pasal 4 dan
5 telah dipenuhi. Selanjutnya mengajukan permohonan kepengadilan. Hal ini
diatur dalam ketentuan umum praturan pelaksanaan Undang-undang Perkawinan
Pasal 1 huruf b dan c bahwa pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama
bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama lain.
Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan poligami adalah berikut:

1) Suami harus mengajukan permohonan izin secara tertulis ke Pengadilan


Agama (Pasal 40, ketentuan umum Undang-undang Perkawinan).

2) Pengadilan memberikan izin atas permohonan poligami harus sesuai


dengan aturan pada pasal 4 ayat ( 2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, apabila memenuhi persyaratan seperti yang ada di bawah ini;

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat


disembuhkan.

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

3) Pengajuan permohonan sesuai Pasl 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1


Tahun 1974 haruslah di penuhi dengan syarat-syarat, diantaranya;

a. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri (bila suami sudah


mempunya beberapa isteri);

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu mejamin keprluan hidup


isteri-isteri dan anak-anak mereka;
31

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-


isteri dan anak-anak mereka.46

Persetujuan dari isteri atau isteri-isterinya merupakan syarat untuk suami


berpoligami, tetapi pelaksanaannya boleh secara lisan mau pun tertulis, apabila
secara lisan harus di ucapkan langsung di muka sidang pengadilan, sedangkan
persetujuan secara tertulis tentu saja dilakukan dengan surat yang ditandatangani
oleh isteri atau isteri-isterinya tersebut. Walupun izin dari siteri atau isteriisterinya
sebagai syarat izin untuk suami berpoligami, tetapi jika isteri telah pergi terlebih
dahulu dari rumah lebih dari dua tahun sehingga tidak bisa atau tidak mungkin
untuk mendapatkan izin dari isterinya, atau karna sebab-sebab lain maka hakim
Pengadilan akan mempertimbangkannya, sesuai dengan Pasl 5 ayat (2) Undang-
undang Nomor 1 Thaun 1974.47

Adapun peraturan pemerintah RI Nomor 9 tahun 1975 tentang aturan


pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974. Bagi Pegawai Negeri Sipil aturan
dipisahkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Adapun sebagai hukum
materiil bagi orang Islam, terdapat ketentuan dalam Kompelasi Hukum Islam
(KHI).48

5. Prosedur Poligami dalam Peraturan Perundang Undangan

Di Indonesia,suami yang ingin berpoligami, maka dia harus memohon izin


ke Pengadilan Agama untuk diperiksa dan diputus oleh Hakim. Dalam hal ini
dilibatkan campur tangan Pengadilan Agama, poligami tidak lagi sebagai tindakan
individual affair. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi

46
Abuh Samah, “Izin Isteri Dalam Poligami Perspektif Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal Hukum Islam, Vol. XIV: 1 (1 Juni 2014), hlm.
40-41.
47
Abuh Samah, “Izin Isteri Dalam Poligami Perspektif Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal Hukum Islam, Vol. XIV: 1 (1 Juni 2014), hlm.
41.
48
Bunyamin, dan Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (cetakan I: Februari 2017), hlm. 111.
32

urusan kekuasaan negara yakni mesti adanya izin Pengadilan Agama.Tanpa izin
pengadilan agama dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak
mengikat.Perkawinan tetap dianggap never existed tampa izin Pengadilan Agama,
meskipun perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah.49

Poligami di Indonesia, sesuai dengan pasal 5 Undang-Undang No.1 tahun


1974 tentang Perkawinan memberikan persyratan terhadap seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:

Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama


sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.


2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka.

Pada pasal 40 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 menyebutkan bahwa


apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang,maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan Agama .Dan juga pasal
56 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa suamiyang hendak beristri
lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

Adapun tatacara permohonan izin poligami di Pengadilan Agama diatur


sebagai berikut:

1. Poligami harus ada ijin dari pengadilan agama


Seorang suami yang hendak beristeri lebih dari seorang (poligami)
harus mendapat ijin lebih dahulu dari Pengadilan Agama (pasal 56 ayat (1)
KHI).

49
Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangandan Acara Peradilan Agama UU No.7
tahun1989,hal,43.
33

2. Kewenangan Relatif PA
Permohonan ijin untuk beristeri lebih dari seorang diajukan kepada
Pengadilan Agama di tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1) UU No. 1/1974)
tentang Perkawinan.

3. Surat Permohonan

a. Surat permohonan ijin beristeri lebih dari seorang harus memuat:

1) Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu: suami dan


termohon, yaitu isteri/isteri-isteri.
2) Alasan-alasan untuk beristeri lebih dari seorang;
3) Petitum.
b. Permohonan ijin merupakan perkara contentious, karena harus ada
(diperlukan) persetujuan isteri. Karena itu, perkara ini diproses di
Kepaniteraan Gugatan dan didaftarkan dalam Register Induk Perkara
Gugatan.

4. Pemanggilan pihak-pihak.

a. Pengandilan Agama harus memanggil dan mendengar pihak suami


isteri ke Persidangan.

b. Panggilan dilakukan menurut tatacara pemanggilan yang diatur dalam


hukum acara perdata biasa diatur dalam pasal 390 HIR dalam pasal-
pasal yang berkaitan. (selanjutnya ada di Bab IV Bagian G tentang
Pemanggilan pihak-pihak).

5. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan permohonan ijin poligami dilakukan oleh Majelis Hakim


selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat
permohonan beserta lampiranlampirannya ( pasal 42 ayat (2) PP No.
9/1975).
34

b. Pada dasarnya, pemeriksaan dilakukan dalam sidang trebuka untuk


umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut
pertimbangan hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan,
pemeriksaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup (pasal 17 ayat (1)
UU No. 14/1970).

6. Upaya damai

a. Pada sidang pertama pemeriksaan perkara ijin poligami, hakim


berusaha mendamaikan (pasal 130 ayat (1) HIR).

b. Jika tercapai perdamaian, perkara dicabut kembali oleh pemohon.

7. Pembuktian

Pengadilan Agama kemudian memeriksa mengenai:

1) Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,
sebagai syarat alternatif yaitu:
a. Bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; atau
c. Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
2) Ada atau tidak adanya persetujuan dari isteri baik persetujuan lusan
ataupun tertulis, yang harus dinyatakan di depan persidangan.
3) Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
isteri-isterinya dan anak-anaknya dengan memperlihatkan:
a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani
oleh bendahara tempat kerja, atau
b. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
c. Surat keterangan lain yang dapat diteri oleh pengadilan.
4) Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhada
isteri-isterinya dan anak-anaknya dengan pernyataan atau janji suami
yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan.
35

a. Walaupun sudah ada persetujuan tertulis dari isteri tetapi


persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan didepan
persidangan, kecuali istri telah dipanggil dipersidangan dengan
patut dan resmi tetapi tidak hadir di persidangan dan tidak pula
menyuruh orang lain sebagai wakilnya.
b. Persetujuan dari isteri tidak diperlukan lagi dalam hal:
1) Isteri/isteri-isteri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian; atau
2) Tidak ada kabar dari isterinya selama sekurangkurangnya 2
(dua) tahun.
3) Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mndapat penilaian
dari Hakim Pengadilan Agama.
8. Apabila sudah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus
dipertegas dengan persetujuan lisan didepan sidang,kecuali dalam hal istri
telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam sidang dan
tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya.dan persetujuan dari istri
tidak diperlakukan lagi dalam hal:
9. Istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
mungkin menjadi pihak dalam perjanjian;atau
10. Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun;atau
11. Karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian Hakim Pengdilan
Agama.
12. Putusan
a. Apabila alasan yang di ajukan dari pemohon untuk beristeri lebih dari
seorang sudah cukup maka Pengadilan agama akan mengeluarkan
putusan untuk memberi ijin pemohon untuk beristeri dari seorang.
b. Terhadap putusan ini, baik isteri maupun suami dapat mengajukan
banding atau kasasi .
13. Biaya perkara
Biaya dalam perkara ini dibebankan kepada penggugat atau
pemohon (pasal 89 ayat (1) UU No. 7/1989).
36

14. Pelaksanaan Poligami


Pegawai penacatat nikah dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum
ada ijin dari Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.50

B. Upaya Hukum dan Perlindungan Perempuan


1. Pengertian Upaya Hukum

Secara bahasa,upaya hukum terdiri atas dua kata yaitu upaya dan
hukum.Upaya berarti usaha, akal dan ikhtiar untuk mencapai suatu maksud.51
Sedangkan hukum yang dimaksud dalam tulisan ini adalah keputusan atau
peninbangan yang ditetatpkan oleh hakim pengadilan52.Selain itu,upaya hukum
juga dapat dimaksudkan dengan usaha setiap orang yang merasa dirugikan hak atau
kepentingannya untuk memperoleh keadilan atau perlindungan serta kepastian
hukum dengan cara-cara yang ditetapkan undang-undang53.
Sedangkan upaya hukum menurut peradilan agama adalah sama dengan
penegrtian upaya hukum yag diterangkan oleh Sarwono di atas ( menurut hukum
acara perdata) karena upaya hukum adalah bagian dari hukum acara,sedangkan
hukum acara yang berlaku pada peradilan agama adalah hukum acara perdata yang
berlaku pada Peradailan dalam limgkungan Peradilan Umum ( Pasal 54 Undang
Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama54
Upaya hukum dapat ditemukan dalam hukum acara perdata maupun dalam
hakum acara pidana. Dalam hukum acara pidana,upaya hukum memiliki pengertian
yang tidak jauh berbeda dengan pengertian upaya hukum yang terdapat dalam

50
Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, ( 11 mei 1996), Hlm. 235-237.
51
Anton M.meolino Kamus besar bahasa aindonesia.(jakarta;Balai Pustaka,2002)hal 1250
52
Anton M.meolino Kamus besar bahasa aindonesia hl.410
53
A.Mukti Arto,Praktek perkara perdata pada peradilan agama(yogyakarta pustaka
pelajar,1996).hl.271
54
Direktorat Jend,Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Himpunan Peraturan perundang-
undangan Lingkungan Peradilan Agama Edisi 12012 Hal,268
37

hukum acara perdata.Upaya hukum dalam sistem hukum pidana merupakan hak
terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang
berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
kitab undang-undang hukum acara pidana55
Upaya hukum diberikan oleh undang-undang dimaksudkan untuk mencegah
adanya keputusan hakim yang salah. Hal ini disebabkan karena hakim sebagai
manusia dan sudah barang tentu juga tidak terlepas dari suatau keselahan atau
kekhilapan. Dengan adanya upaya hukum yang diberikan oleh undang-undang
kepada setiap orang yang sedang berperkara di pengadilan memberikan mamfaat.

2. Pengertian Perlindungan Perempuan

Masalah perempuan sepertinya tak pernah kering untuk dibahas dan


semakin menarik untuk dibicarakan, meskipun sudah banyak sekali penelitian yang
dikerjakan, buku yang diterbitkan dan artikel-artikel yang ditulis, namun masih
banyak kasus-kasus yang mengancam keselamatan perempuan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Perempuan ialah lawan


dari laki-laki. Artinya, perempuan adalah manusia atau orang yang mempunyai
vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Sedangkan
Perlindungan yaitu proses, cara, perbuatan melindungi56

Sedangkan, perlindungan menurut ketentuan pasal 1 ayat 4 undang-undang


Nomor 23 tahun 2004 ialah segala upaya menurut aturan hukum yang ditujukan
untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan pihak keluarga,
advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan ketetapan pengadilan.

Perlindungan hukum sendiri dibedakan dalam dua bentuk, yaitu sarana


perlindungan hukum preventif dan sarana perlindungan hukum represif.

55
Andi sopyan Hukum Acara Pidana ,(Jakarta Kencana 2014 ) Hal 268
56
KBBI, 2008:873
38

Perlindungan hukum preventif yaitu hukum yang 15 dititikberatkan pada upaya


pencegahan sedangkan perlindungan hukum represif ialah dititikberatkan pada
upaya penyelesaian.57

Dalam Al-Qur’an surah An Nahl ayat 72 menjelaskan :

‫اط ِل يُ ْؤِمنُ ْو َن‬ ِۗ ‫و ٰاّلل جعل لَ ُكم ِمن اَنْ ُف ِس ُكم اَْزواجا اوجعل لَ ُكم ِمن اَْزو ِاج ُكم بنِْي وح َف َد ًة اورَزقَ ُكم ِمن الطايِٰب‬
ِ ‫ت اَفَبِالْب‬
َ َ ْ َ َ َ َْ َ ْ َ ْ ْ َ َ َ ً َ ْ ْ ْ َ ََ ُ َ
َۙ
٧٢ ‫ت ٰاّللِ ُه ْم يَ ْك ُف ُرْو َن‬
ِ ‫وبِنِعم‬
َْ َ

Artinya: Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu
rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari
nikmat Allah?

Perlindungan Perempuan sebenarnya ditujukan untuk mengurangi


kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga yang mengakibatkan para
perempuan mengalami trauma psikis maupun psikologi hingga kematian. Serta,
mengurangi angka perceraian akibat KDRT58

Jadi, Perlindungan perempuan adalah upaya untuk melindungi seseorang


(Perempuan) dari tindak kekerasan maupun dari tindak bahaya yang dilakukan oleh
pihak keluarga maupun pemerintah berdasarkan aturan yang berlaku yang bersifat
sementara maupun putusan.

3. Aspek- Aspek Hukum Perlindungan Perempuan

Kata aspek hukum dalam tulisan ini adalah hukum secara normatif,
yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) yang

57
Ismiati, 2010:12
58
Arifin, hlm 2016:115
39

ditetapkan pada orde reformasi. Adapun isi perundang-undangan yang dipilih


untuk diteliti dibatasi hanya pada peraturan perundang-undangan yang bertujuan
untuk melindungi hak-hak dasar perempuan terhadap poligami.

Perjuangan kaum perempuan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan


yang telah dilakukan sejak dahulu, ternyata belum dapat mengangkat harkat
dan martabat kaum perempuan untuk dapat sejajar dengan kaum laki-laki.
Sekalipun kekuasaan tertinggi di negeri ini pernah dipegang oleh perempuan,
yakni Presiden Megawati Soekarno Putri, dan telah banyak kaum perempuan
yang memegang jabatan strategis dalam pemerintahan, ketidakadilan gender
dan ketertinggalan kaum perempuan masih belum teratasi sebagaimana yang
diharapkan. Kaum perempuan tetap saja termarjinalkan dan tertinggal dalam segala
aspek kehidupan, termasuk dalam bidang hukum. Hal ini merupakan tantangan
berat bagi kaum perempuan dan pemerintah.59

Hak asasi perempuan, yaitu hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik
karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah
hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem
hukum tentang hak asasi manusia. Sistem ini meliputi berbagai instrumen hukum
dan perangkat pelaksanaan sistem hukum baik di tingkat nasional, regional maupun
internasional. Berbagai sistem tersebut tidak saja mencantumkan hak yang diakui
namun juga bagaimana menjamin dan mengakses hak tersebut.60

Untuk menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi


perempuan sebagai perwujudan dari hak asasi manusia, maka hak asasi perempuan
tersebut harus diatur dalam asas-asas hukum, prinsip-prinsip hukum dan norma-
norma hukum. Hal ini terkait dengan hubungan antara hukum dengan hak asasi
manusia (HAM). Hukum memiliki supremasi (supreme) kedudukan tertinggi untuk

Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di IndonesiaThe Rights of


59

Women in Indonesian Laws and Regulations


60
Sri Wiyanti Eddyono, Hak Asasi Perempuan Dan Konvensi CEDAW, Seri Bahan Bacaan Kursus
HAM untuk Pengacara X Tahun 2004, httpsekitarkita.comwp-
contentuploads200905konvensi_cedaw.pdf, Diakses Kamis, 23 Februari 2012.
40

dipatuhi. Hal ini dengan tegas telah diungkap oleh pemikir-pemikir hukum dan
negara. Teorinya dikenal dengan Rechtssouvereiniteit (teori kedaulatan hukum).
Bahwa hukumlah yang memiliki kedaulatan tertinggi dalam suatu negara. Negara
harus tunduk pada hukum (konstitusi) Grondrecht dan pemerintahan harus
dijalankan berdasar hukum (asas legalitas).61 Kedudukan hukum yang demikian itu
telah memosisikannya sebagai alat (tool) sarana untuk mewujudkan ide, cita dan
harapan-harapan perwujudan nilai-nilai keadilan kemanusiaan. Keadilan
kemanusiaan hanya akan ada bilamana hak asasi manusia (HAM) dihormati.
Disinilah ditemukan titik taut (kohesi dan korelasi) antara hukum dan hak asasi
manusia (HAM).62

Bebrapa aspek hukum yang dapat mempengaruhi hak perlindungan


perempuan terhadap poligami

1. Hak Asasi Manusia dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (3)
menjelaskan bahwa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah
dilarang oleh hukum. Aturan hukum lainnya harus meniadakan
diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan, sosial, politik, ekonomi,
budaya dan hukum. Pasal-pasalnya dalam UU HAM ini selalu
ditujukan kepada setiap orang, ini berarti semua hal yang diatur
dalam UU HAM ini ditujukan bagi semua orang dari semua golongan
dan jenis kelamin apapun.
2. Hukum Keluarga dapat mengatur permohonan izin poligami beberapa
negara memperbolehkan poligami dengan syarat syarat tertentu, seperti
persetujuan dari istri pertama atau batasan jumlah istri yang
diizinkan,undang undang keluarga ini dapat mengatur hak-hak dan
kewajiban istri-istri dalam poligami termasuk hak-hak harta
warisan,dan tanggung jawab finansial.

61
Nurul Qamar, 2013, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi, Sinar Grafika, Cet.
I, Jakarta, hlm. 18.
62
Ibid.
41

3. Hukum Pidana merupakan ketentuan hukum positif yang mengatur


tentang perbuatan yang dilarang (tidak boleh dilakukan) dan sanksi
berupa penderitaan/nestapa yang dijatuhkan terhadap pelanggaran
tersebut. Moelyatno memberikan definsi hukum pidana adalah bagian
dari pada hukum yang berlaku pada suatu negara yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau
sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut;
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan
atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah ditentukan;
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.63

Tujuan undang-undang pidana semacam ini adalah melindungi


perempuan dari penyalahgunaan atau eksploitasi dalam konteks poligami.

4. Hukum perlindungan terhadap diskriminasi, hukum ini mengatur


tentang jesnis kelamin dan mendorong keseteraan gender.Jika poligami
dipandang sebagai praktik yang melanggar hak-hak perempuan atau
memberikan perlakuan tidak adil terhadap mereka,maka dapat
digunakan untuk melindungi perempuan dari poligami yang
dipaksakan atau tidak adil.64
5. Hukum kekerasan dalam rumah tangga juga menetapkan peraturan
untuk melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga.Hal
ini mencakup tindakan seperti kekerasan fisik,pelecehan

63
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1983 hlm. 1
64
Nalom Kurniawan,2011, : “ Hak Asasi Manusia dalam Presfektif Hukum Dan Agama”,Jurnal
Konstitusi, Vol.IV,No,1.
42

seksual,ancaman,penelantaraan,dan perilaku kekerasan lainnya di


limgkungan rumah tangga.Undang undang semacam ini juga
memberikan perlindungan terhadap korban,perlindungan saksi dan
sanksi bagi pelaku kekerasan.65
6. Hukum konvensi dan deklerasi internasional juga sebegai perlindungan
perempuan,seperti konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan (CEDAW) yang dikeluarkan oleh perserikatan
bangsa-bangsa.Konevnsi ini menetapakan standar dan rekomendasi
bagi negara-negara untuk melindungi hak perempuan.

Kesemua aspek hukum tersebut merupakan perlindungan hak perempuan


untuk mencegah kekerasan,diskriminasi,dan perlakuan tidak adil terhadap
perempuan serta memastikan hak-hak perempuan diakui dan dihormati.
4. Upaya Hukum Perlindungan Hak Perempuan dalam
Perespektif Hukum Islam dan Hukum Positif
Pertama, upaya hukum perlindungan hak perempuan dalam presfektif
hukum positif diberikan melalui perhatian nyata, konsisten, sistematik, yang
ditujukan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Hal ini secara resmi pemerintah
telah menganut dan menentapkan atas persamaan antara perempuan dan laki-laki
sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27: “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”. Ketentuan ini sebagai dasar untuk memberikan akses,
partisipasi dan kontrol bagi perempuan maupun laki-laki dalam bidang ekonomi,
sosial, dan politik bersamaan kedudukannya. Dan dengan ini pula Indonesia
kemudian meratifikai sejumlah konvensi Internasional tentang penghapuan
diskriminasi dan peningkatan status perempuan. Kaum perempuan menyadari
ketertinggalannya dibanding kaum laki-laki dalam banyak aspek kehidupan. Untuk
mengejar ketertinggalan tersebut, maka dikembangkanlah konsep emansipasi
(kesamaan) antara perempuan laki-laki di tahun 1950 dan 1960-an hingga saat ini

65
Komnas Perempuan,2022,peta kekerasan;pengalaman perempuan indonesia,SGIFF-CIDA-The
Asia Foundation,Jakarta
43

masih terus dikembangkan dan diperjuangkan demi terealisasinya perlindungan


hak perempuan. Menurut Ani Widyani Soetjipto, untuk mengejar ketertinggalan
kaum perempuan dapat dilakukan dengan affirmative action, bahwa tujuan utama
affirmative action terhadap perempuan adalah untuk membuka peluang kepada
perempuan agar mereka yang selama ini sebagai kelompok marginal bisa
terintregrasi dalam kehidupan secara adil.66 Adapun upaya hukum pemerintah
dalam melakukan perlindungan terhadap hak perempuan pada tahun 2000
pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 yang merupakan
wujud memberikan semangat bagi aktualisasi kepentiangan perempuan dalam
konteks kebjakan pembangunan, baik level pusat maupun daerah. Selain itu,
pemerintah Indonesia mensahkan UndangUndang No. 7 Tahun 1984 tentang
ratifikasi CEDAW (Convention the Elimination of all Form of Discrimination
againt Women) dimana pada dasarnya isi daripada CEDAW ini upaya untuk
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan salahsatunya
persamaan hak untuk perempuan dalam status perkawinan. Indikasinya terlihat dari
masih marakanya diskriminasi terhadap perempuan, tingginya angka kematian ibu
melahirkan, meningkatnya kasus kekerasan berbasis gender, tingginya angka
poligami dan perkawinan anak. Khusus mengenai hukum keluarga terdapat pada
pasal 16 yakni bidang khusus perkawinan, keluarga hak atas anak dan harta benda
perkawinan. Perspektif yang digunakan oleh CEDAW mengacu pada persamaan
gender dimana perempuan harus memiliki hak yang sama dengan yang dimiliki
laki-laki meliputi persamaan hak dalam perkawinan, persamaan hak persetujuan
perkawinan, persamaan hak pemutusan perkawinan, hak dan tanggung jawab yang
sama dalam rumah tanggan, dan lain sebagainya. Prinsip tersebut dirasa sudah
cukup rasional, jika laki-laki boleh melakukan sesuatu maka perempuan pun boleh.
Apabila yang diperbolehkan hanya laki-laki sementara perempuan tidak
diperkenankan, secara rasional dapat dinamakan diskriminasi.Lebih jelasnhya
indonesia telah meratifikasi instrumen internasional Hak Asasi Manusia dari
beberapa konvensi yang melindungi hak perempuan diantranya adalah, Konvensi

66
Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana (Jakarta: Kompas, 2005), 105.
44

Hak Politik Wanita ( Convention on the Political Right of Woman) tahun 1952 dan
konvensasi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan ( Convention on the Elimanation Of All Forms Discrimanation
Against Woman: CEDAW ) tahun 1979 diratifikasi dengan Undang Undang Nomor
7 tahun 1984.67 Prinsip kewajiban negara menerut CEDAW anatara lain menjamin
hak perempuan melalui hukum dan kebijakan perlindungan HAM Perempuan yang
mencakup kebijakan dalam ranah hukum publik dan hukum privat.68
Pelaksanaan CEDAW di Indonesia telah menyertakan hak laki-laki dan
perempaun, hal inilah yang dikenal dengan kesetaraan gender. Keseteraan gender
di indonesia telah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat di indonesia, seperti misalnya keseteraan gender pada bidang
politik, bidang ekonomi dan bidang -bidang kehidupan yang lainnya serta
terpenting yaitu persamaan dimuka hukum, yang merupakan perwujudan dari asas
hukum equalitiy before the law.69 Hal ini dilakukan sebagai bentuk upaya hukum
perlindungan hak perempuan untuk meminimalisir tindakan penindasan maupun
terhadap perempuan yang terjadi di tengah masyarakat sebagai fenomena
ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan .
Indoensia melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
menunjukkan bahwa Indonesia telah mengakui secara hukum adanya prinsip
kesetaraan dan keadilan gender antara lakin-laki dan perempuan. Keadilan yang
dimaksud dalam konvensi ini bukan hanya keadilan secara formil, tetapi keadilan
yang substansi dan propesional tampa mengandung unsur- unsur yang
diskriminatif,sebaliknya mengandung persamaan yang secara nyata dapat
dirasakan baik oleh laki-laki dan perempuan.Persamaan disini tidak hanya pada

67
Rahayu,Hukum Hak Asasi Manusia (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro,2015).109.
68
Josefhin Merata, “ Mekanisme Penegakan Hukum Dalam Upaya Perlindungan Hak Kelompok
Rentan ( Anak dan Perempuan)’’, Jurnal HAM 7:2 (2016),153
69
Dapertemen Hukum dan Ham,Laporan Akhir Kompendium Tentang Hak-Hak Perempuan (
Jakarta,2006)27.
45

akses terhadap HAM yang sama bagi perempuan tetapi juga persamaan terhadap
perempuan tetapi juga persamaan terhadap mamfaat atau pada hasilnya. Sehingga
bentuk bentuk affirmative action atau kebijakan khusu bagi perempuan bukanlah
kemudian dimaknai sebagai diskriminasi terhadap yang lain,tetapi kekhususan
tersebut harus ditempuh untuk menjamin mamfaat dan hasil yang sama mengingat
situasi atau konteks yang berbeda yang harus dipertimbangkan.70

Kedua dalam upaya hukum perlindungan hak perempuan dalam presfektif


hukum islam didasarkan pada prinsip prinsip yang tercantum dalam Al-Qur’an dan
hadist serta interpretasi yang dilakukan oleh ulama ulama islam.Meskipun prinsip-
prinsip tersebut bervariasi tergantung pada interpretasi dan penerapan hukum islam
di berbagai negara atau mazhab,beberapa umum yang dianggap hak perempuan
dalam poligami adalah sebagai berikut:
1. Batasan jumlah istri:Islam mengatur batasan jumlah istri yang
dapat dimiliki oleh seorang pria dalam poligami.Umumnya,batas
maksimun yang diperboleh adalah empat istri, dengan syarat
bahwa pria mampu memenuhi kewajiban finansial dan merawat
istri -istri secara adil.71
2. Keadilan dalam perlakuan:Prinsip penting dalam hukum islam
adalah keadilan dalam perlakuan terhadap istri-istri dengan adil
dalam hal nafkah,waktu dan perhatian hak -hak warisan dan hak-
hak lainnya.
3. Persetujuan istri pertama: Beberapa ulama menganggap
persetujuan istri pertama sebagai syarat dalam praktik poligami.ini
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan istri pertama dan
memastikan bahwa dia setuju dan menerima kondisi poligami
sebelum suami menikahi istri tambahan.

70
Roni HB, “Akibat Hukum Bagi Perempuan dalam Perkawinan Poligami di Bawah Tengah
Menurut Peraturan Perundang- Undangan (Prespektif Teori Maslahah dan CEDAW).”
(Sikiripsi,Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Negri Syarif Hidayatullah Jakarta,2020),48.
71
Bunyamin, dan Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (cetakan I: Februari 2017), hlm. 111.
46

4. Tanggung jawab finanasial: Seorang suami dalam poligami


diharuskan memberi nafkah yang cukup kepada istri-istri dan anak-
anak mereka.hal ini termasuk kebutuhan dasar,perawatan, dan
pemenuhan hak -hak ekonomi mereka.
5. Keseimbangan dan keseteraan: Prinsip keseimbangan dan
kesetaraan juga diperhatikan dalam hukum islam sebagai aspek
perlindungan hak perempuan terksit dengan poligami,Meskipun
permohonan izin poligami oleh pengadilan agama, prinsip
kesetaraan anatar istri-istri dan perlakuan yang adil dan harus di
jaga.
Satu hal yang sangat menarik untuk dipahami bersama, dan didudukkan
persoalan tersebut pada porsinya, yaitu ketika wanita dengan segala kelemahan
secara fisik, juga karena kelegalan Islam terhadap laki-laki untuk berpoligami
walaupun dengan segala syarat dan rambu-rambunya, ini lah yang dimanfaatkan
oleh para laki-laki untuk selalu menakut- nakuti dan mengancam para wanita.72
Wanita Indonesia boleh berbangga hati bahwa Undang-Undang dasar RI tahun
(1945 menjamin persamaan hak dan kedudukan pria dan wanita baik dalam
pendidikan, maupun hukum dan pemerintahan dan sebagainya. UU perkawinan
melindungi dan mengangkat derajat wanita apalagi peraturan pemerintah benar-
benar melindungi wanita dari kehancuran rumah tangganya.
Dalam alquran wanita banyak dibahas baik hak atau peran dan
kewajibannya, begitu pula dalam Hadis banyak sekali pernyataan pernyataan
tentang kesetaraan gender, baik meliputi peran, posisi ataupun ataupun kedudukan
wanita.73
Dalam AlQur’an terdapat beberapa ayat yang membahas tentang poligami
dan perlindungan hak perempuan adalah dari Surah An-Nisa (4) ayat 3 :

72
Adnan, Baharits Shalih Hasan. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001, Cet. ke-2.
73
Lynn, Wilcok. Wanita dan Alquran dalam perspektif Sufi.Bandung. Pustaka Hidayah: 2000, Cet.
ke-1.
47

ِ ‫ث وربٰع ۚ فَاِ ْن ِخ ْفتُم اَاَّل تَع ِدلُوا فَو‬


‫اح َد ًة‬ ٰ
‫ل‬ ‫ث‬
ُ‫و‬ ‫ٰن‬
ٰ ‫ث‬
ْ ‫م‬ ِ ‫واِ ْن ِخ ْفتم اَاَّل تُ ْق ِسطُوا ِِف الْي ت ٰٰمى فَانْ ِكحوا ما طَاب لَ ُكم ِمن النِس ۤا‬
‫ء‬
َ ْ ْ ْ َ
َ َُ َ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ ْ ُْ َ
ۗ ِ
٣ ‫ك اَ ْد ٰىٰن اَاَّل تَعُ ْولُْوا‬
َ ‫ت اَْْيَانُ ُك ْم ۗ ٰذل‬
ْ ‫اَْو َما َملَ َك‬
Artinya: Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah
perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu
khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba
sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu
tidak berbuat zalim.

Ayat ini mengatur tentang jumlah istri yang dapat dimiliki oleh seorang pria
dalam poligami.Namun ayat ini juga memberikan peringatan penting bahwa jika
seorang suami tidak mampu memperlakukan istri-itri secara adil,maka sebaiknya ia
hanya menikahi satu istri atau memilih opsi lain.

Selain itu hak-hak wanita sebagai istri yang harus didapat dari seorang
suami sangat komprehensif, dari mulai sandang papan pangan bahkan kasih sayang
yang dalam bahasa kitab ini mu’asyarah bil ma’ruf. Dalam hal ini seharusnya
seorang suami memberikan haknya, mu’asyarah yang baik menurut syara’ yang
sudah disepakati tidak menterlantarkan dengan memberikan pangan sandang dan
papan. Sedangkan ma’ruf menurut lokal menurut penulis seorang suami harus
memperlakuakan baik menurut adat kebiasaan daerah tertentu. Artinya seyognya
seorang suami mengetahui kebiasaan yang baik menurut daerah tertentu. Kalau
dalam satu daerah kewajiban suami harus berkunjung ke tempat saudara ibu dari
istrinya dan biasanya membawa oleh-oleh maka jika itu dipandang baik secara adat
lokal maka seorang suami harus mengikuti permintaan istrinya karena itu
membahagiakan istri dengan memperlakukan saudara ibunya dengan baik.
Dipanggil dengan kata-kata yang baik, disapa dan ditegur dengan kata-kata yang
baik.
BAB III

DESKRIPSI PUTUSAN HAKIM PERKARA NOMOR


673/Pdt.G/2021/P.AJS

A. Duduk Perkara
Pokok persoalan pada putusan ini adalah perkara izin poligami yang mana
para pihak dalam perkara ini adalah Pemohon Tempat/Tanggal Lahir Medan,09
Nopember 1979 Agama Islam, Kewarganegaraan WNI, Pekerjaan Karyawan
Swasta,bertempat tinggal Prum Griya Warung Sila No,20,RT.005 RW.004
Kel/Desa Ciganjur, Kecematan Jagakarsa Kotamayda Jakarta Selatan dalam hal ini
selanjutnya disebut sebagai suami melawan Termohon tempat dan tanggal lahir
Jakarta,09 Maret 1981, pekerjaan mengurus rumah tangga, Agama Islam,
bertempat tinggal di Perum Griya Warung Sila N0.20,RT.005, RW004,Kel/Desa
Ciganjur, Kecematan Jakagarsa Kotamadya Jakarta Selatan, Yang selanjutntya
berstatus sebagai Istri. Para pihak sama-sama tinggal di wilayah Kabupaten
Tangerang Selatan sehingga sudah menjadi kewenangan relative Pengadilan
Agama Jakarta Selatan untuk mengadili perkara tersebut.74

Permohonan izin poligami Pemohon kemudian terdaftar di Kepaniteraan


Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 08 Pebruari 2021. Pemohon
mengajukan permohonan izin poligami dengan berbagai alasan namun, sebelum
nya pada hari Ahad, 11 Maret 2001 telah dilangsungkan pernikahan antara
Pemohon dengan Termohon secara syariat Islam dan dihadapan pejabat Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan Jagakarsa Kotamadya Kabupaten Jakarta
Sealatn Provinsi Jawa Barat yang dibuktikan dengan adanya Kutipan Buku Akta
Nikah Nomor: 281/101/III/ tanggal 11 Maret 2001 dan status Pemohon adalah
Perjaka.

74
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS

48
49

Sejak awal menikah Pemohon dan Termohon bertempat tinggal di rumah


kediaman bersama. Dalam Perkawinannya mereka hidup rukun dan bahagia
layaknya sebagai pasangan suami istri dan sudah di karuniai anak. Namun
menginjak umur Perkawinan ke 42 tahun Pemohon sebagai suami hendak menikah
lagi (poligami) dengan seorang perempuan berstatus janda cerai hidup berusia 42
tahun bekerja sebagai wiraswasta. Pemohon dan calon istri keduanya berniat
melangsungkan Perkawinan di hadapan Pegawai Pencatatan Nikah Kantor Urusan
Agama Kecamatan Cilodong. Calon istri kedua dan orang tuanya menyatakan rela
dan tidak keberatan jika anaknya menjadi istri kedua dari Pemohon. Kemudian
Pemohon dan calon istri kedua Pemohon menyatakan tidak memiliki larangan
untuk melaksanakan perkawinan seperti bukan saudara sepersusuan,sudah
berstatus janda cerai hidup,serta tidak dalam bertunangan dengan laki-laki lain.

Pada pertengahan pernikahan antara Pemohon dengan Termohon, Pemohon


mengajukan permohon izin poligami kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dengan alasan Pemohon telah mempunyai calon istri yang sesuai dengan Pemohon.

Alasan Pemohon berpoligami karena Pemohon sudah berkenalan selama


setahun dengan calon istri keduanya,karena hubungan saling mencintai sehingga
dikhawatirkan akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh norma agama dan
peraturan perundang-undangan. Kemudian Termohon menyatakan rela dan
mengizinkan Pemohon untuk melaksanakan poligami karena Termohon merasa
bahwa Pemohon mampu secara lahir dan batin dan mengikuti sunnah rasurullah.

Dalam mengajukan permohonan izin poligami, Pemohon menyatakan


sanggup berlaku adil pada istri-istri dan anak-anaknya. Selain itu Pemohon
menyatakan bahwa mampu untuk memenuhi kebutuhan istri-istri dan anakanaknya
karena Pemohon bekerja Trainer/Instruktur Pelatihan di PT Presenta Edukreasi
Nusantra dan mempunyai penghasilan sebesar Rp.25.000.000,-(Dua Puluh Lima
Juta Rupiah ) Per bulan. Selama Perkawinan Pemohon dan Termohon memiliki
harta bersama berupa harta bergerak dan harta tidak bergerak yakni,. Sebidang
tanah & bangunan diatasnya yang terletak di jalan warung sila N0.20, RT.005,
RW,))7,Ciganjur,Jakarta Selatan berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) N0.
50

6693 NIB.09.02.09.05.0792, seluas 132 m2( seratus tiga pulu dua meter persegi)
atas nama Muhammad Noer; Sebidang tanah dan bangunan diatasnya yang terletak
di Jl.Moch Kahfi I Gang Rukun N0 15 Berdasarkan Sertifikat Hak Milik N0.07947
seluas 50 m2 ( lima pulu meter persegi) NIB. 0902090508614 Atas Nama Nurul
Haida; Sebidang Tanah dan Bangunan diatasnya yang terletak di Jl Hasan Niung,
Pancoran Mas, Depok berdasarkan Sertifikat Hak Milik N0.06539 seluas 80 m2 (
delapan pulu persegi meter) NIB.10.27.04.03.0749 Atas Nama Nurul Haida;
Apertemen Green Palace Kalibata City Lt.20 Blok R,Nomor R20 CB,Jakarta
Selatan Atas Nama Muhammad Noer; Mobil Toyota Fortuner 2, 694 CC G Lux AT
Tahun Pembuatan 2012, Nomor Rangka: MHFZX69G3C7047335, Nomor
Mesin:2TR7461471,Nomor Registrasi: B 2273 UBD Atas Nama Muhammad
Noer;Motor Yamaha Type SE88,125 CC,Warna Hiatam,Nomor
Rangka:MH3SE8860HJ008272,Nomor Mesin:E3R2E1698632,Tahun Pembuatan
2017,Nomor Registrasi: B 4797 SDK,Atas Nama Muhammad Noer; Harta benda
tersebut tetap menjadi hak milik Pemohon dan Termohon serta calon istri kedua
Pemohon menyatakan tidak akan mengganggu harta tersebut.

Berdasarkan dalil-dalil diatas, maka Pemohon memohon agar Ketua


Pengadilan Agama Jakarta Selatan agar memanggil pihak-pihak dalam perkara ini
dan memeriksa serta mengadili perkara ini dengan menjatuhkan putusan dengan
amarnya yaitu mengabulkan permohonan Pemohon, memberikan izin kepada
Pemohon agar bisa menikah lagi (poligami) dengan calon istri kedua Pemohon,
menetapkan harta bersama seperti yang sudah disebutkan, dan membebankan biaya
perkara kepada Pemohon

Kemudian dalam jalannya persidangan pada hari dan tanggal yang telah
ditetapkan, Pemohon dan Termohon telah hadir di persidangan yang kemudian
Majelis Hakim telah berusaha memberikan upaya perdamian kepada Pemohon dan
Termohon, bahkan untuk memenuhi ketentuan Pasal 130 HIR Juncto Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2016, Majelis Hakim telah
memberi petunjuk kepada para pihak telah memilih Drs Syamsul Huda,S.H
sebagai mediator umtuk melaksanakan perdamaian antara Pemohon dan juga
51

Termohon agar Pemohon dapat kembali berpikir untuk melakukan poligami


namun, tidak berhasil. Kemudian persidangan dilanjutkan oleh Majelis Hakim
dengan membacakan surat permohonan Pemohon yang pada intinya tetap
mempertahankan isi maksud permohonan tersebut.75

Selanjutnya Majelis Hakim membacakan surat permohonan Pemohon yang


maksud dan tujuannya tetap dipertahakan oleh Pemohon. Maka atas dasar
permohonan Pemohon, Termohon akan mengajukan jawaban secara lisan yang
pokok pembahasannya yaitu Termohon membenarkan dalil-dalil Pemohon serta
tidak keberatan dan mengizinkan Pemohon untuk menikah lagi karena Pemohon
mampu secara lahir dan batin. Kemudian Majelis Hakim juga telah mendengar
keterangan secara lisan dari calon istri kedua Pemohon yang pokoknya menjelaskan
bahwa ia bersedia menjadi istri kedua Pemohon serta tidak akan mengganggu
hubungan Pemohon dengan istri pertamanya, membenarkan bahwa sudah
berkenalan selama setahun karena saling mencintai sehingga khawatir akan terjadi
hal-hal yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku, mereka (Pemohon dan
calon istrinya) tidak memiliki larangan untuk melaksanakan Perkawinan, dan
menyatakan telah bercerai dengan suaminya sehingga tidak ada halangan hukum
untuk menikah dengan Pemohon.

Dalam mengajukan permohonan izin poligami Pemohon mengajukan


buktibukti yang memperkuat dalil-dalilnya yaitu Pemohon, Termohon, dan calon
istri kedua Pemohon telah mengajukan bukti dari P.1 hingga P.16 yang bermaterai
dan sudah dicocokan dengan aslinya di nazagelen dan ternyata cocok. Adapun
buktibukti surat yang ajukan berupa Fotocopy Kartu Tanda Penduduk bermaterai
atas nama Pemohon, Termohon, dan calon istri kedua Pemohon yang diberi kode
tanda bukti P.1, P.2, dan P.5. Kemudian Pemohon juga memberikan fotocopy
Kutipan Akta Nikah Nomor: 281/101/III/2001 tertanggal 12 Maret 2001 yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Jagakarsa Kotamadya, Jakarta
Selatan, bukti tersebut dibutuhkan sebagai alat bukti yang membuktikan bahwa

75
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
52

Pemohon dan Termohon benar pasangan suami istri secara sah, dan pada bukti
tersebut diberi kode tanda bukti P.3. Selain itu, calon istri kedua Pemohon juga
memberikan fotocopy Akta Cerai Nomor: 2121/AC/2020/PA.Dpk yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Depok. Bukti tersebut dibutuhkan sebagai
penguat bahwa calon istri kedua Pemohon tidak dalam ikatan hubungan suami istri
dengan orang lain, yang kemudian diberi kode bukti P.6.76

Selain itu, Pemohon juga memberikan fotocopy surat pernyataan Sanggup


Berlaku Adil atas nama Termohon bermaterai tertanggal 3 Maret 2021. Surat
pernyataan Sanggup Berlaku Adil merupakan suatu syarat kumulatif yang harus
dilengkapi oleh Pemohon dalam mengajukan permohonan izin poligami. Surat
pernyataan persetujuan tersebut kemudian diberi bukti P.7.

Termohon juga memberikan fotokopi Surat Pernyataan Tidak Keberatan di


Madu atas nama Termohon bermaterei pada tanggal 3 maret 2021 Surat Pernyataan
tersebut merupakan suatu syarat kumulatif yang harus dilengkapi oleh Termohon
yang kemudian diberi kode bukti P.8.

Pemohon juga melengkapi surat Penghasilan yang dikeluarkan oleh


Direktur PT.Presenta Edukrasi Nusantra bermaterai atas nama Pemohon yang
diberi kode bukti surat P.10. Dan agar di kemudian hari tidak terjadi perkara harta
gono-gini dalam rumah tangga antara Pemohon, Termohon dan calon istri
Pemohon maka Pemohon memberikan daftar harta bersama atas nama Pemohon
dan Termohon yang sudah ditetapkan oleh Majelis Hakim.

Tidak hanya iti Pemohon juga telah mengajukan 2 (dua) orang saksi yang
telah bersumpah dan menerangkan keterangannya. Saksi-saksi tersebut yakni
teman Pemohon yang mana menerangkan bahwa Pemohon dengan Termohon
adalah pasangan suami istri dan Pemohon memang benar hendak menikah kembali
dengan calon istri Pemohon dan setahu saksi Termohon menyetujui itu. Kemudian
saksi menerangkan bahwa Pemohon sanggup jika beristri dua karena Pemohon

76
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
53

adalah seorang Pengusaha dan bisa memenuhi kebutuhan istriistrinya dan juga
anak-anaknya.77

Pada intinya dalam persidangan para saksi menyatakan bahwa mengenal


Pemohon dan Termohon, mengetahui alasan Pemohon menikah lagi, para saksi
kenal dengan calon istri kedua Pemohon, menyatakan bahwa Pemohon dapat
berlaku adil karena Pemohon termasuk orang yang bertanggungjawab dan para
saksi menyatakan khawatir akan terjadi hal yang dilarang oleh agama dan peraturan
yang berlaku jika tidak menikah dengan calon istri keduanya.

B. Proses Pemeriksaan Harta Bersama


Pada jadwal persidangan yang telah ditetapkan,Pemohon dan Termohon
datang menghadiri persidangan untuk memeriksa harta bersama berupa:

1) Sebidang tanah dan bangunan diatasnya yang terletak di jalan Warung


Sila No.20, RT.005, RW.007,Ciganjur, Jakarta Sealatan berdasarkan
Sertifikat Hak Mikik (SHM) No.6693 NIB.09.02...05.0792, seluas 132
m2 (seratus tigah pulu dua meter persegi ) atas nama Muhammad Noer
2) Sebidang tanah dan bangunan diatasnya yang terletak di Jl.Moch Kahfi
I Gang Rukun No 15 berdasarkan Sertifikat Hak Milik No.0794 seluas
50 m2 ( lima pulu meter persegi) NIB 0902…614 Atas nama Nurul
Haida.
3) Motor Toyota Fortuner 2,694 CC Lux ..AT Tahun Pembuatan 2012
Nomor registrasi tersebut merupakan atas nama Muhammad Noer

Bahwa di dalam pemeriksaan harta bersama hakim menjatuhkan putusan


yang amarnya berbunyi Primer.Adalah Harta Bersama Pemohon dan Termohon
dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
C. Proses Penyelesaian Perkara
Majelis hakim yang menangani perkara Nomor 673/Pdt.G/2017/PA.JS
telah memanggil kedua pihak untuk menghadap ke persidangan. Bahwa pada hari

77
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
54

persidangan yang telah ditetapkan, Pemohon dan Termohon datang menghadap


sendiri dipersidangan. Bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA
RI) Nomor 01 Tahun 2016 semua sengketa perdata yang di ajukan ke Pengadilan
Tingkat Pertama wajib lebih dahulu di upayakan penyelesaian lewat mediasi
dengan bantuan mediator. Bahkan Majelis Hakim telah memberi petunjuk kepada
para pihak tentang pemelihan mediator untuk melaksanakan perdamaian antara
Pemohon dan Termohon dengan cara mediasi.Namun mediasi yang diajukan oleh
Termohon dan Pemohon berdasarkan laporanya tertanggal 23 Peburiari 2021 tidak
berhasil didamaikan, sehingga persidangan harus dilanjutkan.78
D. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Bersumber pada perkara yang telah diuraikan, maka Majelis Hakim
memutuskan perkara ini dengan beberapa pertimbangan hukum. Adapun
pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara ini yaitu:

Pada saat persidangan Majelis Hakim telah berusaha dengan segenap hati
untuk menasihati Pemohon agar mengurungkan niat menikah lagi dengan calon
istri keduanya. Pada saat persidangan sudah dilaksanakan tahap mediasi dengan
mediator Drs. Syamsul Huda, S.H, pada tanggal 23 Pebruri 2021 sebagaimana
dengan ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 130 HIR.Jo. Pasal 82 ayat
(1) dan (4) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan
Undang Undang No.3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang Undang
No.50 Tahun 2009.79 Namun kenyataannya usaha tersebut tidak berhasil hingga
putusan ini dijatuhkan. Di dalam permohonan Pemohon menyatakan bahwa
Termohon membenarkan dalil dalil Pemohon serta Termohon menyatakan bahwa
tidak keberatan jika Pemohon menikah lagi dengan calon istri keduanya.80

Bersumber pada fakta-fakta tersebut, maka Majelis Hakim


mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

78
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
79
Winsherly Tan, “Urgensi Pembentukan Undang-Undang tentang Mediasi di Indonesia,”
NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengertahuan Sosial 8, no. 3 (2021): 287.
80
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
55

Pada saat persidangan Pemohon dan Termohon mengaku bahwa dalam


rumah tangganya hidup rukun layaknya pasangan suami istri dan ditemukan tidak
adanya kekurangan Termohon sebagai istri dalam menjalankan kewajiban secara
lahir dan batin. Bahkan dalam Perkawinannya sudah dikaruniai anak.

Alasan utama diajukannya permohonan izin poligami karena Pemohon


ingin menikah lagi dengan calon istri kedua Pemohon karena sudah kenal selama
setahun dan saling mencintai , agar terhindar dari fitnah dan khawatir akan terjadi
hal-hal yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku dan Pemohon
menyatakan mampu secara lahir dan batin.

Majelis Hakim menimbang bahwa bukti surat-surat P.1 hingga P.16 yang telah
diajukan saat persidangan terbukti telah memenuhi syarat formil dan materil
sehingga memiliki kekuatan hukum yang cukup dan sempurna. Adapun yang
dimaksud telah memenuhi syarat formil dan materil yaitu bukti surat-surat yang
telah terpenuhi dan surat tersebut dinyatakan keabsahannya.81

Majelis Hakim menimbang bahwa para saksi sudah dewasa, berakal sehat,
dan sudah disumpah dalam memberikan kesaksiannya sehingga sudah memenuhi
syarat formil. Kemudian para saksi Pemohon membenarkan bahwa Pemohon dan
calon istri Pemohon sudah menjalin hubungan yang dekat sehingga dapat
menimbulkan fitnah dan dikhawatirkan Pemohon dan calon istrinya terjerumus
kedalam perbuatan yang dilarang oleh agama dan negara. Keterangan antara saksi
yang satu dengan yang lainnya sesuai dan cocok sehingga sudah memenuhi syarat
materil dan formil. Maka keterangan saksi dapat memperkuat bukti sebab memiliki
kekuatan pembuktian dan dapat diterima.82

Untuk menguatkan dalil-dalil permohonan Pemohon, maka Pemohon telah


mengajukan bukti surat P.1 hingga P.16. Pada bukti surat P.1 P.2 P.3 P.4 P.5
berbentuk fotocopy yang telah di-nazegelen dengan materai dan sudah dicocokkan

81
Dinda Anggita Sari, Elvi Zahara, “Tinjauan Yuridis terhadap Syarat Formil dan Materil UU No
37 Tahun 2004 Terhadap Perkara Kepailitan pada Putusan Nomor 09/Pdt.Sus-
Pkpu/2015/Pn.Niaga Medan,” Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum 5, no. 1 (2018): 16.
82
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.
56

dengan aslinya dan ternyata cocok, pada bukti tersebut menerangkan tentang
alamat domisili Pemohon berada di wilayah Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
maka bukti tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil. Sehingga Pemohon
dapat mengajukan perkaranya karena bukti tersebut memiliki kekuatan hukum.

Kemudian bukti P.3 Kutipan Akta Nikah berupa keterangan Pemohon dan
Termohon yang menyatakan masih terikat perkawinan yang sah serta diperkuat
dengan keterangan saksi.

Pada P.6 menyatakan bahwa calon istri Pemohon benar tidak sedang terikat
perkawinan dengan orang lain. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan saksi
yang menyatakan hal yang sama.

Kemudian Pemohon sudah memenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh


UndangUndang Pasal 4 ayat (2), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41
ayat (2) dan (3), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jis Pasal 58 Kompilasi
Hukum Islam, Pemohon sudah memperlihatkan surat penyataan berlaku adil, surat
penghasilan, surat persetujuan dari Termohon, calon istri kedua, dan orang tua
calon istri kedua, surat tidak keberatan di madu Hal tersebut termuat dalam bukti
P.7, P.8, P.9, P.10, P.11,P12,P13,P14,P15dan P16.83 Pemohon dan Termohon juga
sudah menetapkan harta bersama selama Perkawinan yang sudah disepakati, yang
sudah di tetapkan oleh Majelis Hakim.

Di dalam persidangan Majelis Hakim juga sudah mendengarkan keterangan


dari calon istri kedua Pemohon yang menyatakan tidak keberatan menjadi istri
kedua Pemohon, dan calon istri kedua Pemohon tidak memiliki hubungan keluarga
baik secara darah, sepersusuan, atau semenda dengan Pemohon dan Termohon.
Calon istri kedua Pemohon juga menyatakan bahwa sudah bercerai secara agama
dan negara sebagaimana yang tercantum pada bukti P.5. Jika ditinjau bersadarkan
Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 39 hingga 44 Kompilasi
Hukum Islam maka tidak ada larangan Pemohon dan calon istri keduanya untuk

83
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.
57

menikah.84 Oleh karena itu, bukti surat-surat tersebut sudah memenuhi syarat
formil dan materil sehingga bukti surat-surat tersebut dapat dijadikan sebagai bukti
pada permohonan izin poligami.

Untuk memperkuat permohonannya maka Pemohon mendatangkan


saksisaksi dalam persidangan. Sehingga fakta-fakta ditemukan dari pernyataan
saksisaksi yang menyatakan bahwa Pemohon dan Termohon adalah pasangan
suami istri yang sah, saksi khawatir akan terjadi hal-hal yang dilarang oleh
peraturan karena sudah memiliki hubungan yang cukup dekat, saksi mengetahui
bahwa calon istri kedua Pemohon berstatus janda, Pemohon mampu berlaku adil
pada istri-istri dan anak-anaknya, Termohon dan calon istri kedua menyetujui
poligami, dan benar adanya pernyataan tentang harta bersama.85

Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan serta Majelis


Hakim menimbang bahwa Pemohon dan calon istri kedua Pemohon memiliki
hubungan yang intens sehingga dikhawatirkan terjadi hal-hal yang bertentangan
dengan agama serta peraturan perundang-undangan yang berlaku dan untuk
mencegah terjadinya fitnah dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon. Maka
Majelis Hakim menyimpulkan bahwa mencegah lebih baik sebelum terjadi
kemudharatan yang akan datang. Hal tersebut sesuai dengan kaidah fiqih yaitu:

‫صالِ ِح‬ ِ ْ‫ام َعلَى َجل‬


َ ‫ب الْ َم‬
ِِ
ٌ ‫َد ْرءُ اْلَ َمفاسد ُم َقد‬
Artinya: “Menolak kerusakan adalah lebih didahulukan daripada menarik
kemaslahatan”

Kaidah fiqih tersebut menjelaskan bahwa jika dalam situasi yang sama
terdapat pilihan menolak mafsadat atau mencari kemaslahatan, maka yang
didahulukan yaitu menolak mafsadat. Karena dengan menolak mafsadat maka

84
Agus Hermanto, “Larangan Perkawinan Perspektif Fikih dan Relevansinya dengan Hukum
Perkawinan di Indonesia,” Muslim Heritage 2, no. 1 (2017): 128.
85
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.
58

kemaslahatan akan tercapai.86 Pada permohonan ini Majelis Hakim menimbang


bahwa dengan dikabulkannya permohonan izin poligami maka telah menolak
mafsadat sehingga meminimalisir mudharat yang datang di kemudian hari.

Berdasarkan pertimbangan hukum hakim tersebut, maka Majelis Hakim


berpendapat bahwa permohonan izin poligami sudah sepatutnya dikabulkan. Maka
dalam perkara permohonan izin poligami pada putusan nomor
673/Pdt.G/2021/PA.JS. Dikabulkan.

Setelah menganalisis putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS, penulis


mengetahui bahwa dasar hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim yang menangani
perkara ini adalah ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974
junto Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 junto pasal 56 ayat (2)
Inpres Nomor 1 tahun 1991, Pasal 4 ayat (2) huruf (a) Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 junto pasal 57 huruf (a), pasal 5 ayat (1) Undangundang Nomor 1 tahun
197 4 tentang perkawinan junto Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975 junto pasal 58 ayat (1) dan (2) (Kompilasi Hukum Islam) dan juga Kaidah
Fiqih.

E. Amar Putusan
Berdasarkan duduk perkara dan pertimbangan hukum Majelis Hakim, serta
rapat musyawarah Majelis Hakim yang diselenggarakan tamggal 6 Mei 2021. Maka
dengan itu Majelis Hakim memutuskan yakni sebagai berikut:

1. Mengabulakan permohonan Pemohon;


2. Menetapkan memberi izin lagi ke pada Pemohon unruk menikah lagi
(Poligami) dengan seorang perempuan
3. Menetapkan bahwa harta yang diperoleh selama pernikahan antara
Pemohon dengan Termohon

86
Fakhruzzaini, “Urgensi Kaidah Fikih dan Aplikasinya terhadap Masalah-Masalah Sosial”
(Skripsi S1 Institut Agama Islam Negeri Antasari, 2009).
59

4. Membebankan Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah


Rp.2.670.000,(Dua Juta enam ratus tujuh puluh ribu rupiah).

Pada Hari Kamis, tanggal 6 Mei 2021 Masehi bertepatan dengan tanggal 25
Ramadahn 1442 H, Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah menjatuhkan putusan
pada perkara nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS oleh permusyawaratan Majelis
Hakim,putusan tersebut pada hari itu juga di ucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum oleh ketua majelis tersebut dan dihadiri Hakim Anggota yang sama.87

87
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.
BAB IV

UPAYA HUKUM PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DAN


PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG PERMOHONAN IZIN
POLIGAMI NOMOR 673/Pdt.G/2021/PA.JS DI PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN

A. Upaya Hukum Perlindungan Hak Perempuan Sebagai


Istri Terhadap Perkara Permohonan Izin Poligami Nomor
673/Pdt.G/2021/PA.JS

Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 673/Pdt.g/2021/PA.JS


tentang izin poligami yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sejak
pengajuan,persidangan pertimbangan hukum serta putusannya dapat diuraikan
sebagai berikut.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian yang diketahui bahwa permohonan
izin poligami telah diajukan oleh pemohon yang terdaftar di Kapaniteraan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS. pada
tanggal 8 Pebruari 2021 Dengan merujuk pada pada Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menjadi rujukan Majlis
Hakim sebagaimana tersebut diatas,Fakulatif yang dikabulkan oleh Pengadilan
Agama Jakarta Selatan. Terutama pada alasan – alasan poligami sebagaimana
tertuang pada Pasal 4 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang selengkapnya berbunyi:

Pengadilan Agama hanya memberi Izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri


2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak tidak dapat melahirkan

Dapat diambil kesimpulan jika merujuk pada Pasal 4 ayat (2) yang dijadikan
pertimbangan hukum oleh Majelis Hakim pada permohonan izin poligami Nomor

60
61

673/Pdt.G/2021/PA.JS bahwa tidak ada satupun syarat fakulatif yang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang.Dalil yang diajukan oleh Majelis Hakim pada pemohon
yakni masih ingin memiliki keturunan sedangkan istiri sudah memasuki fase
menopause.Poligami seperti ini merupakan bentuk ketidakadilan terhadap
perempuan,karena perempuan dianggap sebagai pemuas hawa nafsu kaum laki-laki
belaka.Perempuan menjadi subordinasi bagi kaum patriarki,dan dipandang sebagai
benda yang dapat ditukar maupun diperjualbelikan.Kedudukan perempuan sebagai
istri harus rela diduakan oleh suaminya karena hal diluar kuasanya dan
terdiskriminasi karena kodratnya seakan-akan perempuan diperlakukan seperti alat
produksi semata. Hal ini memicu implikasi dan konsekuensi yang sangat luas,
apakah dengan melakukan pernikahan poligami akan membawa mamfaat atau
justru lebih besar dampak buruknya.

Adapun upaya hukum pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap


hak perempuan pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No.
9 Tahun 2000 yang merupakan wujud memberikan semangat bagi aktualisasi
kepentiangan perempuan dalam konteks kebjakan pembangunan, baik level pusat
maupun daerah. Selain itu, pemerintah Indonesia mensahkan UndangUndang No.
7 Tahun 1984 tentang ratifikasi CEDAW (Convention the Elimination of all Form
of Discrimination againt Women) dimana pada dasarnya isi daripada CEDAW ini
upaya untuk penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
salahsatunya persamaan hak untuk perempuan dalam status perkawinan.
Indikasinya terlihat dari masih marakanya diskriminasi terhadap perempuan,
tingginya angka kematian ibu melahirkan, meningkatnya kasus kekerasan berbasis
gender, tingginya angka poligami dan perkawinan anak. Khusus mengenai hukum
keluarga terdapat pada pasal 16 yakni bidang khusus perkawinan, keluarga hak atas
anak dan harta benda perkawinan. Perspektif yang digunakan oleh CEDAW
mengacu pada persamaan gender dimana perempuan harus memiliki hak yang sama
dengan yang dimiliki laki-laki meliputi persamaan hak dalam perkawinan,
persamaan hak persetujuan perkawinan, persamaan hak pemutusan perkawinan,
hak dan tanggung jawab yang sama dalam rumah tanggan, dan lain sebagainya.
Prinsip tersebut dirasa sudah cukup rasional, jika laki-laki boleh melakukan sesuatu
62

maka perempuan pun boleh. Apabila yang diperbolehkan hanya laki-laki sementara
perempuan tidak diperkenankan, secara rasional dapat dinamakan
diskriminasi.Lebih jelasnhya indonesia telah meratifikasi instrumen internasional
Hak Asasi Manusia dari beberapa konvensi yang melindungi hak perempuan
diantranya adalah, Konvensi Hak Politik Wanita ( Convention on the Political Right
of Woman) tahun 1952 dan konvensasi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ( Convention on the Elimanation Of All
Forms Discrimanation Against Woman: CEDAW ) tahun 1979 diratifikasi dengan
Undang Undang Nomor 7 tahun 1984.88 Prinsip kewajiban negara menerut
CEDAW anatara lain menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan
perlindungan HAM Perempuan yang mencakup kebijakan dalam ranah hukum
publik dan hukum privat.

Peneliti juga menggunkan salah satu upaya hukum perlindungan hak


perempuan yakni pada Pasal 5 Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination
of All Forms Of Discrimination Againts Women) atau Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan menyebutkan bahwa Negara harus merubah
pola tingkah laku sosial budaya laki-laki dan perempuan, menghapus prasangka
dan kebiasaan dan segala praktek lainnya yang didasarkan atas inferioritas atau
superioritas salah satu jenis kelamin serta peran stereotipe laki-laki dan perempuan.

Selain itu, pasal yang menegaskan mengenai hak perlindungan perempuan


pada ikatan perkawinan dalam CEDAW terhadap poligami yakni dalam pasal 16
sebagai berikut:

1. Pasal 16 huruf (a) disebutkan hak yang sama antara pria dan wanita
untuk melakukan perkawinan;

88
Rahayu,Hukum Hak Asasi Manusia (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro,2015).109.
63

2. Pasal 16 huruf (b) hak-hak yang sama untuk memilih bebas pasangan
hidupnya dan untuk masuk kedalam ikatan perkawinan hanya dengan
persetujuan bebas dan sepenuhnya;
3. Pasal 16 huruf (c) mensyaratkan hak-hak dan tanggung jawab yang
sama selama perkawinan dan pada pemutusan perkawinan;
4. Pasal 16 huruf (d) mengakui hak pribadi yang sama sebagai suami istri
termasuk hak memilih nama,keluarga,profesi,dam jabatan;
5. Pasal 16 (e) mensyaratkan hak yag sama untuk kedua suami dan istri
berkaitan dengan benda.
Ketegasan dalam Pasal 16 ayat 1 di atas menjadi penyeimbang jika
terjadinya penghilangan hak terhadap perempuan dalam hubungan perkawinan
khususnya pada perkara poligami dimana banyaknya kasus terjadi memihak pada
kekuatan otoritas daripada istri dan dalam pembagian harta bersama.
Dengan adanya pasal ini,sudah selayaknya Indonesia perlu adanya upaya
hukum perlindungan hak perempuan dalam perkara poligami,namun keberpihakan
terhadap istri sebagai Termohon pun perlu diperhatikan oleh hukum, karena secara
fisik dan psikis akan menimbulkan perasaan inferior pada diri istri,ia mempunyai
perasaan bersalah karena tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis suami,sehingga
suami melakukan poligami. Hal ini jika terlalu dirasakan oleh seorang istri secara
terus menerus,maka akan menimbulkan penyakit kajiwaan secara terus menerus
pada diri istri. Dengan demikian bahwa praktek poligami dapat menimbulkan
Madharat pada istri.Terbukti,dalam penelitian di Pengadilan Agama jakarta
Selatan pada tahun 2019 terdapat 12 perkara percerian yang disebabkan oleh
poligami.Ketentuan hukum perihal suami dalam mengajukan izin poligami yang
diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
dinilai menuai masalah dari sisi keadilan gender karena memberikan hak kepada
suami untuk meninggalkan istri yang sudah produktif padahal istrinya telah
melaksanakan kewajiban sepenuhnya seperti memberikan keturunan. Sementara
posisi suami tidak diperjelaskan kewajiban terhadap istri dalam
berpoligami.disamping kepastian dalam pembagian harta maupun dalam konsep
adil tidak dapat dipastikan istri mendapatkan perlindungan dalam sisi psiologis
64

yang menjadi haknya sebagi perempuan,dalam hal keadilan cinta dan kasih sayang
tidak dapat ditemukan penegeasan kepada suami untuk melaksanakan hak-hak istri
pertama agar diberikan upaya hukum perlindungan,suami tidak melakukan
kekerasan dalam rumah tangga yang harmonis,dan ada sanksi yang tegas bila suami
izin poligami. Perempuan masih diletakkan pada objek yang lemah,pada situasi
yang termarnilasisikan.
Meskipun regulasi mengenai poligami ini dinilai sudah kurang efektif untuk
perkembangan di masyarakat sekarang, namun ketentuan Undang-Undang Nomor
ini masih dipakai demi ketertiban keperdataan. Agar tidak bertentangan dengan
asas monogami yang di anut oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dalam
pemberian izin poligami dan sebagai upaya hukum perlindungan hak perempuan
(istri), maka Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memeriksa dan memutus
perkara permohonan izin poligami harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut;
1. Perkara Permohonan izin poligami harus bersifat contentiuns dengan
mendudukkan istri sebagai pihak Termohon.
2. Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 bersifat fakulatif,maksudnya bila salah satu
persyaratan tersebut dapat dibuktikan,Pengadilan Agama dapat memberi
izin poligami.
3. Persyaratan Izin poligami yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 bersifat Kumalatif, maksudnya Pengadilan
Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila semua persyaratan
tersebut telah terpenuhi
4. Harta bersama dalam hal suami beristri lebih dari satu orang. Telah diatur
dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam,akan tetapi pasal tersebut
mengandung ketidakadilan yang dalam keadaan tertentu dapat merugikan
istri yang dinikahkan lebih dulu.Maka dari itu,perlu adanya penjelasan
sebagai berikut:
a. Harta yang diperoleh oleh suami selama dalam ikatan perkawinan
dengan istri pertama,merupakan harta benda bersama milik suami
dan sitri pertama dan tidak bisa diganggu gugat lagi.Sedangkan harta
65

yang diperoleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan istri


kedua dan selama itu pula suami masih terikat dengan perkawinan
dengan istri pertama, mak harta tersebut merupakan harta bersama
milik suami.istri pertama dan istri kedua.Demikian pula halnya sama
dengan perkawinan dengan istri ketiga dan keempat.
b. Ketentuan harta bersama tersebut tidak berlaku atas harta yang
diperuntukkan terhadap istri kedua,ketiga dan keempat(seperti
rumah,perobatan rumah dan pakaian) sepanjang harta yang
diperuntukkan istri kedua,ketiga dan keempat tidak melebihi 1/3
(sepertiga) dari harta bersama yag diperoleh dengan istri kedua
ketiga dan keempat.
c. Harta yang diperoleh oleh istri pertama,kedua ketiga dan keempat
merupakan harta bersama dengan suaminya,kecuali yang diperoleh
suami/istri dari hadiah atau warisan.
d. Pada saat permohonan izin poligami,suami wajib pula mengajukan
permohonan penetapan harta bersama dengan istri-istri sebelumnya.
Dalam hal suami tidak menagajukan permohonan penetapan harta
bersama yang digabung dengan permohonan izin poligami,istri atau
istri istrinya dapat mengajukan rekovensi penetapan harta bersama.

Ketiga proses pemeriksaan terhadap permohonan izin poligami oleh


Pengadilan yang berwenang,telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975,Pasal 42 menjelaskan bahwa Pengadilan harus memanggil dan
mendengar istri yang bersangkutan dan pemeriksaan oleh Majelis Hakim dilakukan
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan izin
poligami beserta lampiran-lampiranya. Ketentuan dalam Pasal 43 apabila cukup
alasan bagi Pemohon untuk beristri lebih dari seorang maka Pengadilan
memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang. Dari
pasal tersebut dapat tergambar bahwa upaya untuk merealisasikan hak perempuan
yang ditunjukkan untuk mengatasi adanya perbedaan,disparitas,ataupun keadaan
yang merugikan perempaun.
66

Adapuan syarat fakulatif tidak terpenuhi oleh Pemohon,menurut penulis


dalam perkara ini Hakim menggunakan fungsinya yaitu kebebasan Hakim dalam
menemukan hukum berdasarkan keyakinannya dalam mengenai suatu
perkara.Hakim melihat dalil-dalil pihak berpoligami baik pada kesusaian dengan
perundang-undangan yang berlaku maupun melalui Social justice.Adapun yang
dijadikan pertimbangan Hakim dalam upaya hukum perlindungan hak
perempaun.Hakim bersifat aktif dalam memeriksa dan mengadili perkara
permohonan izin poligami dengan secara cermat dan teliti menggali alasan
permohonan izin poligami,dan yang paling dijadikan pertimbangan utama dalam
mengabulkan izin poligami pada perkara Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS adalah
kesedian/Izin istri untuk memberikan izin suami berpoligami serta kemampuan
finansial suami dalam memenuhi kebetuhan istri/istri-istrinya dan anak dilengkapi
dengan kepastian harta dalam perkawinan poligami.

B. Pertimbangan Majelis Hakim Terhadap Permohonan Izin


Poligami Pada Putusan Perkara Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Didalam bab ini penulis akan menganalisa tentang pertimbangan majelis


hakim terhapad permohonan izin poligami pda pengadilan agama jakarta selatan.
Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah memutuskan dengan peraturan-peraturan
yang berlaku. Dengan mengambil sumber hukum dari Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahnun 1975, dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Dimana ketiga aturan tersebut dipakai oleh Pengadilan Agama seluruh
Indonesia.

Majelis Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus berusaha


memberikan suatu putusan yang seadil-adilnya, tentunya dengan mengingat
ketentuan ketentuan hukum tertulis maupun yang tidak tertulis serta nilai-nilai
hukum yang hidup dimasyarakat. Untuk membuat suatu kepuasan yang benar-
benar sesuai kenyataan hukum dalam masyarakat. Dalam hal mengabulkan
permohonan izin perkawinan poligami, hakim juga mempunyai faktor-faktor yang
67

melatar belakangi dikabulkan izin perkawinan poligami. Sebagai dalam putusan-


putusan berikut ini.

Dalam ajaran Islam diperbolehkan seorang suami ingin mempunyai lebih


dari seorang dalam satu perkawinan. Namun Islam Islam tidak menganjurkan
apabila isteri tidak terdapat cacat secara lahir dan batin. Kehadiran syarat ini lebih
disebabkan membatasi praktik-praktik pemilihan wanita yang melampaui betas
yang terjadi pada masa lalu, di samping poligami dianggap solusi alternative pada
kasus yang kritis kondisional.89

Untuk mengajukan permohonan izin poligami haruslah dengan alasan yang


sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Tetapi tidak dapat dipungkiri jika
suami yang ingin berpoligami hanya ingin memenuhi hasrat biologis. Maka Hakim
perlu mempertimbangkan untuk mengabulkan permohonan izin perkawinan
poligami.

Mengenai kasus perkawinan poligami yang terjadi di Pengadilan Agama


Jakarta Selatan, hendaknya dilihat dari beberapa sumber otentik, yaitu sebuah
putusan Pengadilan. Selain mengikuti proses persidangan poligami itu sendiri,
hendaknya juga menelusuri dari sumber ahli yang berkaitan terhadap penetapan itu
sendiri.

Mengenai kasus yang ada, penulis akan meneliti putusan hakim atas
permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yakni dalam
Perkara Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.

Dalam surat permohonanya, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim


untuk memberikan izin poligami dengan alasan bahwa pemohon ingin
melaksanakan pernikahan kembali (poligami) sesuai dengan syari‟at agama dan
mengikuti sunnah rasurullah serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Selain itu alasan lainnya adalah bahwa pemohon telah mempunyai

89
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 113.
68

calon istri yang sesuai dengan keinginannya tanpa adanya unsur paksaan dari pihak
manapun.

Berdasarkan permohonan tersebut, Majleis Hakim yang menangani dan


memeriksa perkara tersebut mengabulkan permohonan Pemohon dengan
pertimbangan hukum sebagai berikut:

Majelis Hakim yang menangani dan memeriksa perkara Nomor


673/Pdt.G/2021/PA.JS. berpendapat bahwa posita permohonan Pemohon
menunjukkan perkara ini adalah sengketa di bidang perkawinan, Pemohon dan
Termohon berdomisili di wilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, perkara
ini termasuk dalam kompetensi absolut dan relative Pengadilan Agama Tigaraksa.90

Selian itu, Majelis Hakim juga berpendapat bahwa maksud dan kehendak
Pemohon tersebut dipandang telah memenuhi ketentuan Pasal 40 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974
dan untuk memenuhi ketentuan syariat agama Islam dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Majelis Hakim yang menangani dan memeriksa perkara Nomor


673/Pdt.G/2021/PA.JS. berpendapat bahwa sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 41 ayat (2) dan (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam, bahwa untuk memenuhi unsur formil sebagai pihak yang berhak dalam
permohonan poligami ini, Pemohon harus memenuhi syarat-syarat adanya
persetujuan dari isteri untuk berpoligami, adanya kepastian bahwa Pemohon
mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya, dana adanya
jaminan bahwa Pemohon akan berlaku adil terhada isteri-isteri dan anak-anaknya
(syarat kumulatif).91

90
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
91
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
69

Pertimbangan Majelis Hakim bahwa Pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974,
Pasal 41 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 57 KHI, menentukan bahwa
seorang suami yang akan berpoligami hanya dapat dikabulkan apabila isteri tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri, istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan
(syarat fakultatif).

Majelis Hakim bahwa atas pernyataan calon istri Pemohon dengan


termohon memiliki hubungan yang baik dan dapat berkomunikasi dengan
baik,keterangan istri pertama ini sangat diperlukan dalam persidangan,sedapat
mungkin Hakim memperoleh data yang sebenar-benarnya bahwa sikap hidup yang
bersangkutan terpuji baik dalam rumah tangga maupun lingkungan
masyarakat,upaya ini dapat dilakukan oleh Hakim dengan menghadirkan para saksi

Majelis Hakim juga mendengarkan bahwa Teromohon telah menyampaikan


jawaban secara lisan yang pada pokoknya telah membenarkan dalil-dalil Pemohon
menyetujui dan serta mengizinkan Pemohon untuk menikah lagi,karena Pemohon
sudah dekat berhubungan calon istri kedua Pemohon untuk mengikuti sunnah
rasulllah

Majelis Hakim menyimpulkan bahwa permohonan Nomor


673/Pdt.G/2021/PA.JS. sudah memenuhi syarat komulatif yaitu dengan
dikuatkannya pernyataaan Termohon yang rela untuk di madu atau Pemohon
menikah lagi dengan calon isteri kedua, kemudian Pemohon menyatakan sanggup
berlaku adil terhadap isteri-isteri Pemohon.

Berdasarkan uraian diatas maka Majelis Hakim mengabulkan permohonan


poligami Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS dengan mengacu pada Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu syarat adanya
persetujuan Istri,syarat adil dan syarat adanya kemampuan secara materi.

Menurut H.S Shalahuddin, S.H,M.H sebagai ketua Majelis dalam perkara


Nomor 673/Pdt.G/2021/PA JS. pertimbangan dalam mengabulkan permohonan
Pemohon tidak hanya mengacu pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
70

Kompelasi Hukum Islam. Akan tetapi beliau melihat dari kronologi yang telah
terjadi yaitu Termohon sudah tidak ingin lagi memiliki keturunan sedangkan
Pemohon ingin memiliki keturunan dan juga melihat kedekatan Pemohon dan calon
Isteri kedua yang sudah terlalu dekat.

Pertimbangan Hakim dalam mengabulkan permohonan poligami ini lebih


menekankan kepada alasan Pemohon untuk mengajukan permohonan poligami
yaitu Pemohon berkeinginan untuk memiliki keturunan lagi tetapi Termohon sudah
tidak ingin lagi memiliki keturunan. Pertimbangan lain mengapa Hakim
mengabulkan yaitu hubungan Pemohon dengan calon isteri kedua yang sudah
terlalu dekat sehingga ditakutkan menimbulkan kemudaratan yang dapat menimpa
keduanya, yang terdapat pada kaidah ushul fiqih;

‫صالِ ِح‬ ِ ‫ام َعلَى َج ْل‬


َ ‫ب الْ َم‬
ِِ
ٌ ‫َد ْرءُ اْلَ َمفاسد ُم َقد‬
Artinya: “Menolak kerusakan adalah lebih didahulukan daripada menarik
kemaslahatan”

Setelah penulis memeriksa, dan meneliti pertimbangan Hakim mengabulkan


perkara No. 673/Pdt.G/2021/PA.JS sudah sangat tepat karena alasan Pemohon
mengajukan permohonan poligami yaitu Pemohon ingin memiliki keturunan lagi
sedangkan Termohon sudah tidak ingin lagi memiliki keturunan. Karana kalau
dikaitkan dengan Agama Islam yaitu ketaatan seorang isteri yaitu memenuhi semua
keinginan suami salah satunya yaitu keturunan, karena apabila hal ini tidak
dikabulkan takut terjadinya perzinahan dengan seorang wanita yang tidah sah
dalam islam. Perkara ini juga sudah memenuhi persyaratan dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974. Tetapi yang penulis lihat disini hakim dalam memutus
perkara ini hanya melihat keadail yang atau persyaratan pasal 5 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 yaitu adanya persetujuan dari isteri nya saja yang telah di cantumkan
dalam putusan. Sedangkan adanya kejaminan suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka tidak disebutkan secara jelas, maksudnya
jaminan lahir batin tidak hanya lahiriyah saja.
71

Selain itu penulis juga mencermati bahwa hakim mempertimbangkan


hukum dengan melihat positia yang merupakan penjelesan tentang keadaan atau
peristiwa yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar permohonan,
petitium sebagai bagian hal yang dimohon putusannya dari Pengadilan,dan bukti-
bukti yang terbukti dalam persidangan. Dengan melihat bukti surat-surat yang
berupa slip gaji apabila bekerja disebuah instansi pekerjaan dan surat lainnya yang
perlu dibuktikan di persidangan sebagai pertimbangan hukum yang dilakukan
Majelis Hakim berupa keyakinan sebagai indikator untuk memutuskan apakah
Pemohon layak atau tidak mendapatkan izin poligami, dengan cara menimbang
maslahat dan mufsadat yang akan timbul dari poligami ini, sebab melindungi
muru’ah dengan calon istri yang baru mengorbankan istri pertama untuk istri kedua
agar terselamatkan muru’ahnya untuk istri kedua yang masih banyak terjadi istri
pertama menjadi korban bukan mendapatkan perlindungan hak dari suami.
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis uraikan pada bab-bab


pembahasan sebelumnya mengenai Poligami terhadap upaya hukum
perlindungan hak perempuan studi kasus pada Putusan Perkara Nomor
673/Pdt.G/2021/PA.JS, maka penulis menyimpulkan :

1. Peneliti menggunkan salah satu pasal tentang upaya hukum perlindungan


hak perempuan yakni pada Pasal 5 Konvensi CEDAW (Convention on the
Elimination of All Forms Of Discrimination Againts Women) atau
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
menyebutkan bahwa Negara harus merubah pola tingkah laku sosial budaya
laki-laki dan perempuan, menghapus prasangka dan kebiasaan dan segala
praktek lainnya yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu
jenis kelamin serta peran stereotipe laki-laki dan perempuan.dan pasal 16
menegaskan juga perlu adanya upaya hukum perlindungan hak perempuan
dalam perkara poligami,namun keberpihakan terhadap istri sebagai
Termohon pun perlu diperhatikan oleh hukum, karena secara fisik dan psikis
akan menimbulkan perasaan inferior pada diri istri,sehingga mempunyai
perasaan bersalah karena tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis
suami,sehingga suami melakukan poligami.
2. Dari hasil penelitian tentang perkara tersebut di atas diketahui bahwa
permohonan izin Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS. Jika merejuk pada Pasal
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjadi
dasar hukum Majelis Hakim sebagaimana tersebut di atas. Hakim
menimbang melalui social justice dengan adanya persetujuan dari istri
pertama menjadi pertimbangan hukum dalam mengabulkan permohonan
izin poligami. Adapun dalam hal ketertiban keperdataan untuk
menyelematkan hak istri pertama, Ahli waris dari istri pertama, harta

72
73

bersama dengan istri pertama, maka perlu persyaratan atas masa perkawinan
dengan istri pertama harus terdata secara lengkap, karena hal tersebut yang
menjadi syarat dalam perkawinan poligami sebagai upaya hukum
perlindungan hak perempuan. dan dalam putusan Nomor
673/Pdt.G/2021/PA.JS., hakim mengabulkan permohonan Pemohon
dengan memberikan izin kepada Pemohon untuk menikah kembali dengan
pertimbangan bahwa Termohon telah memberikan izin secara tidak tersurat
dan hal itu tidak selaras dengan ketentuan Pasal 41 huruf (b) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan dan juga ketentuan Pasal 58 ayat (2) yang menyatakan bahwa
persetujuan isteri atau ister-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan
lisan, sekalipun persetujuan tersebut telah ada secara tulis maka harus
dipertegas kembali secara lisan pada persidangan.

B. SARAN

Berdasarkan penelitian, pembahasan, dan kesimpulan penulis, maka penulis


perlu memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Diharapkan para Majelis Hakim selaku penegak hukum dapat melihat


serta melindungi hak perempuan yang menunjukkan bahwa
pelaksanaan hukum keluarga membawa pengaruh besar akibat dari
modernitas sebagai tuntutan zaman dalam bentuk perubahan hukum
atau positivisasi pada peraturan perundang-undangan sebagai legislasi
formal, sehingga apa yang menjadi harapan masyarakat dengan adanya
hukum ini bisa menjadi perlindungan hak perempuan terhadap
poligami.

2. Diharapkan kepada para hakim ketika menangani dan memeriksa


permohonan izin poligami agar lebih cermat dan teliti dalam
memberikan pertimbangan hukum sebelum mengambil keputusan, agar
terciptanya sebuah keadilan bagi para pihak yang sedang mencari
keadilan. Dan seharusnya hakim dalam memutus permohonan izin
74

poligami tidak hanya melihat kemaslahatan terhadap suami saja akan


tetapi lihat pula kemaslahatan isteri dan juga dampak bagi isteri serta
juga anak akibat dari suatu perkawinan poligami

3. Bagi masyarakat terutama seorang suami jika hendak melalukan izin


poligami maka hendaknya memenuhi ketentuan terkait
persyaratanpersyaratan dalam izin poligami yang telah diatur dalam
undang-undang agar perkawinan poligami yang dilakukan memiliki
kekuatan hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

Kompilasi Hukum Islam

Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender


(Jakarta: Rahima, 2011), 19.

Abd. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah) (Jakarta:


Rajawali Press, 2002), 195.

Asghar Ali Engineer, Pembahasan Perempuan (Yogyakarta: LKIS, 2003), 111

Siti Musdah Mulsa, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Kibar
Press, 2007), 60.

Mahkamah Agung RI, Buku II: Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama (Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,
2013), 135.

Syifa Al Huzni, “Keadilan Dalam Perkara Poligami (Persepsi Hakim Pengadilan


Agama Cirebon atas Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam).” (Skripsi, Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Jati, 2018), 11.

Uliansyah Noor, Metodologi Penelitian ( Jakarta: Kencana, 2014), h., 22.

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung:


ALFABETA, 2017), h., 2

Ashofa Burhan, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 19.

75
76

Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research: Pengertian Metodologi Ilmiah


(Bandung: CV Tarsito, 1973), 39.

Amirudin, Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja


Grafindo Persada, 2006), Cet ke-1, 30.

Rijali,”Analisis Data Kualitatif,” Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah 17: 33


(2019):hlm 8

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986),


hlm251.

Sugiyono, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D...246-252.

Teddy Lahati,”Ketidakadilan Gender Izin Poligami (Studi Putusan Pengadilan


Agama Limboto Tahun 2013-2016,” Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang
Filsafat dan Dakwah 18: 2 (2018): 22.

Ekawati Mulyaningsih, “Pertimbangan Hakim dalam Pemberian Izin Poligami


Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Perkawinan di Pengadilan Agama Wonogiri (Studi Kasus Perkara
Nomor 515 / Pdt.g / 2000 / PA.Wng).” (Skripsi, Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), 57.
77

Syifa Al Huzni,”Keadilan Dalam Perkara Poligami (Persepsi Hakim Pengadilan


Agama Cirebon atas Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam).” (Skripsi, Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, (2018). 13.

Dapartemen Pendidikan Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:Balai


Pustaka,1989),h.639.

Imam Mustofa,Politik Hukum Islam Indoensia,(Lampung: Stain Jurai siwo


metro,2015),.h116.

Moh. Mukri,”Poligami; Antara Teks Dan Konteks Sosial”.Jurnal Al-


‘adalah,Vol.14,No 1,2017,h,202.

Mahyudin,Masailul fighiyah,(Jakarta:kalam mulia,2003),h.59.

Mahyudin,Masailul fighiyah,(Jakarta:kalam mulia,2003),h.59.

Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur‟an, as-Sunah, dan


Pendapat Para Ulama, Bandung: Mizan Media Utama, hlm. 90.

Abdurrahman I Doi, “Inilah Syari‟ah Islam Terjemahan”, Buku The Islamic Law,
Usman Efendi AS dan Abdul Khaliq Lc, Jakarta: Puataka Panji,
Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 259

Nasution, Khairuddin. 1996. Riba & Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran
Muhammad Abduh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I.

Muhammad Rasyid Ridha, “Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar


Keberadaan Wanita”, Terj, Hukuukal Mar‟ah al-Muslimah, Abd. Harris
Rifa‟i dan M. Nur Hakim, Surabaya: Pustaka Progresif, 1992, hlm.78.

Al-Thabari, Ibnu Jarir. 1978. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Dar al-
Fikr. Jilid IV.

Al-Zamakhsyari. 1966. Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi


Wujuh alTa’wil. Mesir: Mushthafa al-Bab al-halabi. Jilid I.

Seomiyat,Hukum Perkawinan Islam dan Unadang Undang


78

( Yogyakarta:Liberty,1982),76.

R.Seotojo Prawirohamidjo,pluralisme dalam Perundang Undangan Perkawinaan


din Indoensia (surabaya: Airlangga UniversitiyPress,2011).50

Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1983 hlm. 1

Nalom Kurniawan,2011, : “ Hak Asasi Manusia dalam Presfektif Hukum Dan


Agama”,Jurnal Konstitusi, Vol.IV,No,1.

Komnas Perempuan,2022,peta kekerasan;pengalaman perempuan


indonesia,SGIFF-CIDA-The Asia Foundation,Jakarta

Adnan, Baharits Shalih Hasan. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki,
Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet. ke-2.

Lynn, Wilcok. Wanita dan Alquran dalam perspektif Sufi.Bandung. Pustaka


Hidayah: 2000, Cet. ke-1.
LAMPIRAN

79

Anda mungkin juga menyukai