TORANG TAMBAK - FSH
TORANG TAMBAK - FSH
PEREMPUAN DI INDONESIA”
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Persyaratan
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
TORANG TAMBAK
NIM 11190430000107
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Bahwa yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum
dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih
terbatas.
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
ب B Be
خ T Te
ث Ts te dan es
ج J Je
خ Kh ka dan ha
د D De
ر R Er
س Z Zet
ص S Es
ش Sy es dan ye
غ Gh ge dan ha
ف F Ef
ق Q Qo
v
ك K Ka
ل L El
م M Em
ن N En
ً W We
ه H Ha
ء ˋ Apostrop
ي Y Ya
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau
monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
ﹶ A Fathah
ﹶ I Kasrah
ﹶ U Dammah
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
diimbangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam
transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului
oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: =الثخاريal-Bukhâri
tidak ditulis Al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
vi
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan berpedoman
pada ketentuan-ketentuan diatas:
3 أصٌٌ ل الفقو
ٌ usûl al-fiqh
vii
KATA PENGANTAR
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis temukan, namun atas berkat rahmat dan ridha-Nya, kesungguhan, serta
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung
segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi
ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D., Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
viii
5. Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., selalu Dosen
Penasihat Akademik yang telah membantu dalam menentukan judul skripsi.
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
D. Metode Penelitian......................................................................................... 9
xi
6. Teknik Penulisan .................................................................................... 11
BAB II ................................................................................................................... 18
2. Sejarah Poligami..................................................................................... 19
A. Duduk Perkara............................................................................................ 48
xii
BAB IV ................................................................................................................. 60
BAB V................................................................................................................... 72
PENUTUP ............................................................................................................. 72
A. KESIMPULAN .......................................................................................... 72
B. SARAN ...................................................................................................... 73
LAMPIRAN .......................................................................................................... 79
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974.
3
Kompilasi Hukum Islam
4
Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender (Jakarta: Rahima,
3
3 dan 129, tidak serta merta menghapus poligami, namun Islam membatasi
kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat
pula seperti keharusan adil diantara istri.5 Sebelum masuknya Islam pada
praktiknya poligami merupakan hal yang menjadi tradisi di masyarakat Arab, saat
itu tidak ada gagasan tentang pemenuhan hak perempuan sebagai istri, suamilah
yang menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk
dimiliki secara tidak terbatas, sedangkan istri-istri harus menerima takdir mereka
tanpa ada usaha memperoleh keadilan.6 Sedangkan Islam sebagai agama yang
menebarkan rahmat bagi alam semesta, sangat menekankan pentingnya
penghormatan kepada manusia. Satu dari penghormatan tersebut adalah pengakuan
Islam terhadap keutuhan hak kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki.7
Oleh karena itu, poligami hanya diperbolehkan bila dalam keadaan darurat
misalnya istrinya ternyata mandul (tidak dapat membuahkan keturunan), istri
terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai
seorang istri.8
2011,)19
5
Abd. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah) (Jakarta: Rajawali Press,
2002),195..
6
Asghar Ali Engineer, Pembahasan Perempuan (Yogyakarta: LKIS, 2003), 111
7
Siti Musdah Mulsa, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Kibar Press, 2007), 60.
8
Masifuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah (Jakarta: CV. Haji Masaung, 1989), cet. Ke-IV, 13.
4
Pasal 4:
9
Mahkamah Agung RI, Buku II: Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama
(Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2013), 135.
10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974.
5
poligami perlu adanya pertimbangan bahwa sudah ada jaminan yang jelas suami
akan berlaku adil, memiliki penghasilan yang mumpuni, bahkan pertimbangan jika
kondisi calon istri kedua terbukti hamil maupun mencegah terjadinya perzinahan.
Dari hasil library research sementara, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
memiliki bentuk perlindungan hukum terhadap hak perempuan dalam perkara
permohonan izin poligami, dimana dalam perkara ini mendudukkan istri sebagai
pihak termohon (contentius), wajib adanya alasan fakultatif poligami, wajib
memenuhi semua alasan kumulatif dalam poligami, dan wajib melakukan
permohonan penetapan harta bersama. Seorang hakim dalam melakukan
pertimbangannya untuk melindungi hak perempuan dalam perkara permohonan
izin poligami perlu juga memperhatikan petunjuk Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
dengan Hukum yang bersikap aktif dalam melaksanaan pemeriksaan setempat
terhadap harta bersama sebagai perlindungan hukum dan keadilan. Oleh karena itu,
poligami hanya diperbolehkan ketika keadaan darurat, dan hakim dalam
putusannya harus mempertimbangkan maslahat dan mudharatnya dan
menjadikannya sebagai perkara khusus ketika menghadapi perempuan yang
berhadapan dengan hukum.11
Hal inilah topik permasalahan yang menarik untuk peneliti kaji lebih dalam
terkait pertimbangan hukum terhadap upaya perlindungan hak perempuan dalam
perkara putusan izin poligami dan faktor apa saja yang menjadikan dikabulkannya
permohonan izin poligami nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS. di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
11
Syifa Al Huzni, “Keadilan Dalam Perkara Poligami (Persepsi Hakim Pengadilan Agama Cirebon
atas Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam).” (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Sunan Gunung Jati, 2018), 11.
6
2. Pembatasan Masalah
3. Rumusan Masalah
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian kali ini
adalah sebagai berikut :
2. Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoritis
a. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan pengetahuan bagi penulis sekaligus sebagai pelaksanaan tugas
akademik yaitu untuk melengkapi salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan
Hukum di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
c. Melalu penelitian ini juga, paling tidak menambah sumbangsih
ilmu atas berbagai serpihan pemikiran dan teori dalam konsep
pernikahan yang patut dan ideal.
d. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan informasi
tentang pertimbangan Hukum yang dilakukan Hakim mengenai
upaya hukum perlindungan hak perempuan sebagai istri terhadap
putusan permohonan izin poligami.
9
Adapun manfaat yang dapat diambil secara praktis dalam penelitian ini
adalah memberikan edukasi terhadap masyarakat umum khususnya
muslim di Indonesia agar lebih selektif dalam memeilih pasangan
hidup untuk mengantisipasi pertengkaran-pertengkatan kecil dalam
sebuah rumah tangga supaya tidak mudah menyebabkan poligami,
juga agar anak dari hasil pernikahan tersebut tidak merasa menjadi
korban. Dan hukum yang ditegakkan ditengah masyarakat dapat
diberlakukan secara adil sesuai dengan peraturan yang berlaku, baik
dalam hukum positif di Indonesia maupun dalam hukum Islam.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
2. Pendekatan Penelitian
Studi ini menggunakan pendekatan analisis teks yaitu cara yang digunakan
untuk mencari dan menyusun data secara teratur kemudian dibuat suatu kesimpulan
yang efektif agar mudah untuk dipahami.13 Penelitian yuridis hukum normatif yaitu
penelitian yang melakukan analisis pada sumber-sumber hukum positif berupa
12
Johan Anggito, Albi, Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jawa Barat: CV Jejak,
2018).h. 10.
13
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantatif Kualitatif dan R&D (Jawa Barat: Alfabeta,2010)
10
3. Sumber Data
Data yang diambil dari studi ini bersumber dari beberapa bahan sumber
data yaitu:
Sumber data bahan primer pada penilitian ini yaitu Putusan Nomor
673/Pdt.G/2021/PA.JS yaitu putusan yang mengabulkan permohonan izin
poligami,Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang rativikasi CEDAW penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan serta kajian-kajian yang
berhubungan dengan persoalan yang dibahas.
14
Indah Rahmawati, “Analisis Yuridis-Normatif Terhadap Peran dan Tindakan Telemarketing
dalam Transaksi Digital,” Jurnal Cakrawala Hukum 11, no. 1 (2020): 60–70.
15
“View of Keberadaan Surat Ijo Dikaji Berdasarkan Pendekatan Kasus dan Teori Tujuan Hukum
Gustav Radbruch,” accessed October 30,
2022http://journal.ipts.ac.id/index.php/ED/article/view/3210/2059.
11
6. Teknik Penulisan
16
Usman Yahya, “View of Konsep Pendidikan Anak Usia Sekolah Dasar (6-12) Tahun di
Lingkungan Keluarga Menurut Pendidikan Islam,” accessed
October 30, 2022, https://ejournal.iainkerinci.ac.id/index.php/islamika/article/view/50/46.
17
Bella Harum Ashari, Berto Mulia Wibawa, and Satria Fadil Persada, “Analisis Deskriptif dan
Tabulasi Silang Pada Universitas di Kota Surabaya ),” Jurnal Sains dan Seni ITS 6, no. 1 (2017):
17– 21, https://media.neliti.com/media/publications/134699-ID-analisis-deskriptif-dan-tabulasi-
silang.pdf.
12
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan proposal ini merujuk pada buku,artikel dan juga jurnal
serta sikiripsi ataupun penelitian penelitian yang membahas seputar praktek
poligami dalam upaya hukum perlindungan hak perempuan untuk mengetahui
kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan dibahas oleh para peneliti
lainnya,maka penulis me- review beberapa jurnal dan sikiripsi yang terdahulu
hampir serupa dengan pembahasan yang saya angkat judul proposal sikripsi saya
Dalam hal ini penulis menemukan beberapa jurnal dan sikiripsi yang
terdahulu:
1. Penelitian dalam bentuk jurnal yang dilakukan oleh Teddy Lahati dengan
judul “Ketidakadilan Gender Putusan Izin Poligami (Studi Putusan
Pengadilan Agama Limboto Tahun 2013-2016)”, membahas tentang
hakim melalui putusan-putusannya berperan mengangkat derajat harkat
dan martabat kaum perempuan dengan segala hak dan tanggung jawabnya
setara dengan laki-laki. Ketika hukum konvensional tidak berpihak kepada
kaum perempuan, maka hakim melalui putusan-putusannya berperan
melakukan pembaharuan dan terobosan hukum guna memberi
perlindungan hukum dan keadilan kepada kaum perempuan sebagai pihak
yang lemah dan terpinggirkan, maka hakim harus memiliki sensitivitas
14
18
Teddy Lahati,”Ketidakadilan Gender Izin Poligami (Studi Putusan Pengadilan Agama Limboto
Tahun 2013-2016,” Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18: 2 (2018):
22.
15
19
Ekawati Mulyaningsih, “Pertimbangan Hakim dalam Pemberian Izin Poligami Menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan di Pengadilan Agama
Wonogiri (Studi Kasus Perkara Nomor 515 / Pdt.g / 2000 / PA.Wng).” (Skripsi, Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), 57.
16
20
Syifa Al Huzni,”Keadilan Dalam Perkara Poligami (Persepsi Hakim Pengadilan Agama Cirebon
atas Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam).” (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Gunung Djati, (2018). 13
17
1. Pengertian Poligami
Poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani,yakni Poly atau Polus
yang berarti banyak,dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan.
Jadi secara bahasa,poligami berarti “suatu perkawinan yang jumlah isterinya
banyak”, baik pria maupun wanita.Poligami adalah perkawinan seorang laki-laki
dengan lebih seorang dari seoramg perempuan.23
Sedangkan poligami yang berasal dari bahasa inggris adalah “poligamy´ dan
disebut ta’adudu zaujat dalam hukum islam, yang berarti beristri lebih dari seorang
wanita.begitu pula dengan istilah poliandri berasal dari bahasa inggris “poliandry”
21
Dapartemen Pendidikan Nasional.Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:Balai
Pustaka,1989),h.639.
22
Imam Mustofa,Politik Hukum Islam Indoensia,(Lampung: Stain Jurai siwo metro,2015),.h116.
23
Moh. Mukri,”Poligami; Antara Teks Dan Konteks Sosial”.Jurnal Al-‘adalah,Vol.14,No
1,2017,h,202.
18
19
dan disebut ta’adudu aswaja atau ta’adudu alba’ul dalam hukum islam, yang
berarti bersuami lebih dari seorang pria,maka poligami adalah seorang peria yamg
memiliki istri lebih dari satu wanita, sedangkan poliandri adalah seorang wanita
yag bersuami lebih dari seorang pria.24
Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih
dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus berarti banyak
dan gune berarti perempuan,sedangkan bagi seorang istri yang mempunyai lebih
dari seorang suami disebut poliadri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak
dan andrus yang berarti laki-laki. Jadi kata yang tepat bagi seorang laki-laki yang
mempunyai lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukan
poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang
perempuan dalam waktu yang bersamaan.sedangkan yang dimaksud dengan
poligini adalah perkawinan dari seorang laki-laki dengan beberapa orang
perempuan dalam waktu yang bersamaan, namun lebih dikenal oleh masyarakat
umum sebagai arti dari poligami25
2. Sejarah Poligami
Poligami atau menikah lebih dari seorang istri bukanlah merupakan masalah
baru. Poligami sudah ada sejak dulu kala, pada kehidupan manusia di berbagai
24
Mahyudin,Masailul fighiyah,(Jakarta:kalam mulia,2003),h.59.
25
Mahyudin,Masailul fighiyah,(Jakarta:kalam mulia,2003),h.59.
20
Namun Poligami juga sudah dipraktikkan umat manusia jauh sebelum Islam
datang. Rasulullah Saw. membatasi poligami sampai empat orang isteri. Sebelum
adanya pembatasan ini para sahabat sudah banyak yang mempraktikkan poligami
melebihi dari empat isteri, seperti lima isteri, sepuluh isteri, bahkan lebih dari itu.
26
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur‟an, as-Sunah, dan Pendapat Para
Ulama, Bandung: Mizan Media Utama, hlm. 90.
26
Abdurrahman I Doi, “Inilah Syari‟ah Islam Terjemahan”, Buku The Islamic Law, Usman Efendi
AS dan Abdul Khaliq Lc, Jakarta: Puataka Panji, Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam
dan Perkawinan, jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 259
27
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur‟an, as-Sunah, dan Pendapat Para
Ulama, Bandung: Mizan Media Utama, hlm. 90.
28
Abdurrahman I Doi, “Inilah Syari‟ah Islam Terjemahan”, Buku The Islamic Law, Usman Efendi
AS dan Abdul Khaliq Lc, Jakarta: Puataka Panji, 1990, hlm. 207.
29
Abdurrahman I Doi, “Perkawinan dalam Syari‟at Islam”, Syari‟at The Islamic Law, Terj. Basri
Aba Asghary, Wadi Masturi, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 43.
21
Mereka melakukan hal itu sebelum mereka memeluk Islam, seperti yang dialami
oleh Qais bin al-Harits. Ia berkata: “Aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan
isteri, lalu aku datang kepada Nabi Saw. dan menyampaikan hal itu kepada beliau
lalu beliau berkata: “Pilih dari mereka empat orang.” (HR. Ibnu Majah). Hal ini
juga dialami oleh Ghailan bin Salamah al-Tsaqafi ketika memeluk Islam. Ia
memiliki sepuluh isteri pada masa Jahiliah yang semuanya juga memeluk Islam.
Maka Nabi Saw. menyuruhnya untuk memilih empat orang dari sepuluh isterinya
(HR. al-Tirmidzi).
Jadi poligami sudah lama dipraktikkan oleh umat manusia jauh sebelum
Nabi Muhammad Saw. melakukan poligami. Nabi-nabi sebelum Muhammad juga
banyak yang melakukan poligami, seperti Nabi Daud a.s., Nabi Sulaiman a.s., dan
begitu juga umatumatnya. Masyarakat Jahiliah dalam waktu yang cukup lama
mentradisikan poligami dalam jumlah yang tidak terbatas hingga datangnya Islam.
Sebagian dari orang Jahiliah ini kemudian memeluk Islam dan sudah berpoligami,
sehingga harus tunduk kepada aturan Islam yang hanya membatasi poligami sampai
empat isteri saja.
Muhammad Rasyid Ridha, “Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar Keberadaan
30
Wanita”, Terj, Hukuukal Mar‟ah al-Muslimah, Abd. Harris Rifa‟i dan M. Nur Hakim, Surabaya:
Pustaka Progresif, 1992, hlm.78.
22
31
Bunyamin, dan Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (cetakan I: Februari 2017), hlm. 103.
23
Artinya: Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak
berbuat zalim.
32
Nasution, Khairuddin. 1996. Riba & Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I.
33
Al-Thabari, Ibnu Jarir. 1978. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid IV.
34
Al-Zamakhsyari. 1966. Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh alTa’wil.
Mesir: Mushthafa al-Bab al-halabi. Jilid I.
24
َٰ صلِ ُح ْوا َوتَتا ُق ْوا فَاِ ان ِ ِ ِ ِ ۤ ِ ولَن تَست ِطي عىوا اَ ْن تَع ِدلُوا ب
اّلل ْ ُصتُ ْم فَ ََل ََتْي لُ ْوا ُك ال الْ َمْي ِل فَتَ َذ ُرْوَها َكالْ ُم َعلا َقة َۗوا ْن ت
ْ ْي الن َساء َولَ ْو َحَر
َ َْ ْ ْ ُْ ْ َ ْ ْ َ
١٢٩ َكا َن َغ ُف ْوًرا ارِحْي ًما
Artinya: Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
35
Al-Zamakhsyari. 1966. Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh alTa’wil.
Mesir: Mushthafa al-Bab al-halabi. Jilid I.
36
Al-Qurthubi. 1967. Al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabiyyah. Jilid V.
25
yang yatim dan non-yatim, Allah menyuruh untuk menikahi perempuan yang non-
yatim saja maksimal empat orang dengan syarat dapat berbuat adil. Jika tidak dapat
berbuat adil, maka cukup satu saja. Al-Syaukani juga menegaskan bahwa menikahi
wanita lebih dari empat orang hukumnya haram karena bertentangan dengan
sunnah Nabi dan bertentangan dengan pemahaman bahasa Arab yang umum37
ketika menafsirkan ayat aw ma malakat aimanukum alSyaukani menyatakan, untuk
menjadikan budak sebagai isteri tidak diharuskan menikahinya, karena budak
disamakan dengan harta milik.
37
Al-Syaukani. 1973. Fath al-Qadir: al-Jami’ Bain Fann al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-
Tafsir. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid I.
38
Al-Syaukani. 1973. Fath al-Qadir: al-Jami’ Bain Fann al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-
Tafsir. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid I.
26
Itulah beberapa pendapat para ulama tentang poligami yang pada prinsipnya
semuanya membolehkan poligami dengan berbagai ketentuan yang bervariasi. Ada
yang membolehkan poligami dengan syarat yang cukup longgar dan ada juga yang
memberikan persyaratan yang ketat. di antara mereka juga ada yang menegaskan
bahwa dibolehkannya poligami hanya dalam keadaan darurat saja. Mengenai
jumlah isteri yang boleh dinikahi dalam berpoligami ada yang membatasinya empat
orang dan ada yang membatasinya sembilan orang. dari variasi pendapat mereka
tidak ada yang dengan tegas menyatakan bahwa poligami itu dilarang. Mereka tidak
berani menetapkan hukum yang bertentangan dengan al-Quran atau hadis yang
memang tidak pernah melarangnya. Inilah barangkali salah satu ciri dari ulama
klasik dalam menetapkan hukum.
39
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. 1969. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mushthafa al-Bab alHalabi. Jilid
IV.
27
40
Bunyamin, dan Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (cetakan I: Februari 2017), hlm. 111.
28
41
Abuh Samah, “Izin Isteri Dalam Poligami Perspektif Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal Hukum Islam, Vol. XIV: 1 (1 Juni 2014),hlm.
39.
42
Ibid, hlm. 39-40.
29
a. Jumlah perempuan yang boleh dinikahi tidak boleh lebih dari empat
orang.Walaupun ada juga yang berpendapat bahwa batas maksimal 9
orang yaitu dengan menjumlah dua ditambah tiga ditambah
emapat,penafsiran yang sekian itu tidak benar.
b. Samggup berlaku adil terhadap istri-istrinya, jika sudah tidak berlaku
adil terhadap istri -istrinya.Maka sebaiknya tidak menikah lagi untuk
kedua kalinya atau seterusnya.
c. Perempuan yang akan dinikahi adalah dibawah pengasuhan laki-laki
yang akan berpoligami dan berlaku adil kepada anak yatim dan harta
anaka yatim tersebut.
d. Perempuan yang hendak di nikahi tidak boleh ada hubungan
saudara,baik sedarah atau sesuan.43
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami untuk memproleh izin istri
pertama pada dasarnya seorang perempuan tidak suka dipoligami, sehingga
apabila ada seorang perempuan bersedia memberi izin atau karena keadaan
terpaksa dengan pertimbangan seperti ini, istri tidak dapat mencari nafkah
sendri,berpeluang kecil untuk harapan dapat menikahi kembali dengan orang lain
karena usianya sudah cukup tua, istri tidak ingin keluarganya pecah demi
kepentingan anak-anaknya.44 Adapun pada Pasal 5 ayat (2) mengenai persetujuan
dari seorang istri menunjukkan bahwa persetujuan tidak diperlukan jika seorang
istri tidak memungkinkaan dimintai persetujuan kepada suaminya, Maka
Pengadilan Agama menetapkan pemberian izin poligami setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan agama,dan terhadap penetapan
ini suami ataupun istri boleh mengajukan banding.45
43
Seomiyat,Hukum Perkawinan Islam dan Unadang Undang ( Yogyakarta:Liberty,1982),76.
44
R.Seotojo Prawirohamidjo,pluralisme dalam Perundang Undangan Perkawinaan din Indoensia
(surabaya: Airlangga UniversitiyPress,2011).50
45
Tihami,fikih Munakahat..370
30
46
Abuh Samah, “Izin Isteri Dalam Poligami Perspektif Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal Hukum Islam, Vol. XIV: 1 (1 Juni 2014), hlm.
40-41.
47
Abuh Samah, “Izin Isteri Dalam Poligami Perspektif Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal Hukum Islam, Vol. XIV: 1 (1 Juni 2014), hlm.
41.
48
Bunyamin, dan Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (cetakan I: Februari 2017), hlm. 111.
32
urusan kekuasaan negara yakni mesti adanya izin Pengadilan Agama.Tanpa izin
pengadilan agama dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak
mengikat.Perkawinan tetap dianggap never existed tampa izin Pengadilan Agama,
meskipun perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah.49
49
Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangandan Acara Peradilan Agama UU No.7
tahun1989,hal,43.
33
2. Kewenangan Relatif PA
Permohonan ijin untuk beristeri lebih dari seorang diajukan kepada
Pengadilan Agama di tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1) UU No. 1/1974)
tentang Perkawinan.
3. Surat Permohonan
4. Pemanggilan pihak-pihak.
5. Pemeriksaan
6. Upaya damai
7. Pembuktian
1) Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,
sebagai syarat alternatif yaitu:
a. Bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; atau
c. Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
2) Ada atau tidak adanya persetujuan dari isteri baik persetujuan lusan
ataupun tertulis, yang harus dinyatakan di depan persidangan.
3) Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
isteri-isterinya dan anak-anaknya dengan memperlihatkan:
a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani
oleh bendahara tempat kerja, atau
b. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
c. Surat keterangan lain yang dapat diteri oleh pengadilan.
4) Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhada
isteri-isterinya dan anak-anaknya dengan pernyataan atau janji suami
yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan.
35
Secara bahasa,upaya hukum terdiri atas dua kata yaitu upaya dan
hukum.Upaya berarti usaha, akal dan ikhtiar untuk mencapai suatu maksud.51
Sedangkan hukum yang dimaksud dalam tulisan ini adalah keputusan atau
peninbangan yang ditetatpkan oleh hakim pengadilan52.Selain itu,upaya hukum
juga dapat dimaksudkan dengan usaha setiap orang yang merasa dirugikan hak atau
kepentingannya untuk memperoleh keadilan atau perlindungan serta kepastian
hukum dengan cara-cara yang ditetapkan undang-undang53.
Sedangkan upaya hukum menurut peradilan agama adalah sama dengan
penegrtian upaya hukum yag diterangkan oleh Sarwono di atas ( menurut hukum
acara perdata) karena upaya hukum adalah bagian dari hukum acara,sedangkan
hukum acara yang berlaku pada peradilan agama adalah hukum acara perdata yang
berlaku pada Peradailan dalam limgkungan Peradilan Umum ( Pasal 54 Undang
Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama54
Upaya hukum dapat ditemukan dalam hukum acara perdata maupun dalam
hakum acara pidana. Dalam hukum acara pidana,upaya hukum memiliki pengertian
yang tidak jauh berbeda dengan pengertian upaya hukum yang terdapat dalam
50
Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, ( 11 mei 1996), Hlm. 235-237.
51
Anton M.meolino Kamus besar bahasa aindonesia.(jakarta;Balai Pustaka,2002)hal 1250
52
Anton M.meolino Kamus besar bahasa aindonesia hl.410
53
A.Mukti Arto,Praktek perkara perdata pada peradilan agama(yogyakarta pustaka
pelajar,1996).hl.271
54
Direktorat Jend,Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Himpunan Peraturan perundang-
undangan Lingkungan Peradilan Agama Edisi 12012 Hal,268
37
hukum acara perdata.Upaya hukum dalam sistem hukum pidana merupakan hak
terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang
berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
kitab undang-undang hukum acara pidana55
Upaya hukum diberikan oleh undang-undang dimaksudkan untuk mencegah
adanya keputusan hakim yang salah. Hal ini disebabkan karena hakim sebagai
manusia dan sudah barang tentu juga tidak terlepas dari suatau keselahan atau
kekhilapan. Dengan adanya upaya hukum yang diberikan oleh undang-undang
kepada setiap orang yang sedang berperkara di pengadilan memberikan mamfaat.
55
Andi sopyan Hukum Acara Pidana ,(Jakarta Kencana 2014 ) Hal 268
56
KBBI, 2008:873
38
اط ِل يُ ْؤِمنُ ْو َن ِۗ و ٰاّلل جعل لَ ُكم ِمن اَنْ ُف ِس ُكم اَْزواجا اوجعل لَ ُكم ِمن اَْزو ِاج ُكم بنِْي وح َف َد ًة اورَزقَ ُكم ِمن الطايِٰب
ِ ت اَفَبِالْب
َ َ ْ َ َ َ َْ َ ْ َ ْ ْ َ َ َ ً َ ْ ْ ْ َ ََ ُ َ
َۙ
٧٢ ت ٰاّللِ ُه ْم يَ ْك ُف ُرْو َن
ِ وبِنِعم
َْ َ
Artinya: Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu
rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari
nikmat Allah?
Kata aspek hukum dalam tulisan ini adalah hukum secara normatif,
yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) yang
57
Ismiati, 2010:12
58
Arifin, hlm 2016:115
39
Hak asasi perempuan, yaitu hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik
karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah
hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem
hukum tentang hak asasi manusia. Sistem ini meliputi berbagai instrumen hukum
dan perangkat pelaksanaan sistem hukum baik di tingkat nasional, regional maupun
internasional. Berbagai sistem tersebut tidak saja mencantumkan hak yang diakui
namun juga bagaimana menjamin dan mengakses hak tersebut.60
dipatuhi. Hal ini dengan tegas telah diungkap oleh pemikir-pemikir hukum dan
negara. Teorinya dikenal dengan Rechtssouvereiniteit (teori kedaulatan hukum).
Bahwa hukumlah yang memiliki kedaulatan tertinggi dalam suatu negara. Negara
harus tunduk pada hukum (konstitusi) Grondrecht dan pemerintahan harus
dijalankan berdasar hukum (asas legalitas).61 Kedudukan hukum yang demikian itu
telah memosisikannya sebagai alat (tool) sarana untuk mewujudkan ide, cita dan
harapan-harapan perwujudan nilai-nilai keadilan kemanusiaan. Keadilan
kemanusiaan hanya akan ada bilamana hak asasi manusia (HAM) dihormati.
Disinilah ditemukan titik taut (kohesi dan korelasi) antara hukum dan hak asasi
manusia (HAM).62
1. Hak Asasi Manusia dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (3)
menjelaskan bahwa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah
dilarang oleh hukum. Aturan hukum lainnya harus meniadakan
diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan, sosial, politik, ekonomi,
budaya dan hukum. Pasal-pasalnya dalam UU HAM ini selalu
ditujukan kepada setiap orang, ini berarti semua hal yang diatur
dalam UU HAM ini ditujukan bagi semua orang dari semua golongan
dan jenis kelamin apapun.
2. Hukum Keluarga dapat mengatur permohonan izin poligami beberapa
negara memperbolehkan poligami dengan syarat syarat tertentu, seperti
persetujuan dari istri pertama atau batasan jumlah istri yang
diizinkan,undang undang keluarga ini dapat mengatur hak-hak dan
kewajiban istri-istri dalam poligami termasuk hak-hak harta
warisan,dan tanggung jawab finansial.
61
Nurul Qamar, 2013, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi, Sinar Grafika, Cet.
I, Jakarta, hlm. 18.
62
Ibid.
41
63
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1983 hlm. 1
64
Nalom Kurniawan,2011, : “ Hak Asasi Manusia dalam Presfektif Hukum Dan Agama”,Jurnal
Konstitusi, Vol.IV,No,1.
42
65
Komnas Perempuan,2022,peta kekerasan;pengalaman perempuan indonesia,SGIFF-CIDA-The
Asia Foundation,Jakarta
43
66
Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana (Jakarta: Kompas, 2005), 105.
44
Hak Politik Wanita ( Convention on the Political Right of Woman) tahun 1952 dan
konvensasi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan ( Convention on the Elimanation Of All Forms Discrimanation
Against Woman: CEDAW ) tahun 1979 diratifikasi dengan Undang Undang Nomor
7 tahun 1984.67 Prinsip kewajiban negara menerut CEDAW anatara lain menjamin
hak perempuan melalui hukum dan kebijakan perlindungan HAM Perempuan yang
mencakup kebijakan dalam ranah hukum publik dan hukum privat.68
Pelaksanaan CEDAW di Indonesia telah menyertakan hak laki-laki dan
perempaun, hal inilah yang dikenal dengan kesetaraan gender. Keseteraan gender
di indonesia telah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat di indonesia, seperti misalnya keseteraan gender pada bidang
politik, bidang ekonomi dan bidang -bidang kehidupan yang lainnya serta
terpenting yaitu persamaan dimuka hukum, yang merupakan perwujudan dari asas
hukum equalitiy before the law.69 Hal ini dilakukan sebagai bentuk upaya hukum
perlindungan hak perempuan untuk meminimalisir tindakan penindasan maupun
terhadap perempuan yang terjadi di tengah masyarakat sebagai fenomena
ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan .
Indoensia melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
menunjukkan bahwa Indonesia telah mengakui secara hukum adanya prinsip
kesetaraan dan keadilan gender antara lakin-laki dan perempuan. Keadilan yang
dimaksud dalam konvensi ini bukan hanya keadilan secara formil, tetapi keadilan
yang substansi dan propesional tampa mengandung unsur- unsur yang
diskriminatif,sebaliknya mengandung persamaan yang secara nyata dapat
dirasakan baik oleh laki-laki dan perempuan.Persamaan disini tidak hanya pada
67
Rahayu,Hukum Hak Asasi Manusia (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro,2015).109.
68
Josefhin Merata, “ Mekanisme Penegakan Hukum Dalam Upaya Perlindungan Hak Kelompok
Rentan ( Anak dan Perempuan)’’, Jurnal HAM 7:2 (2016),153
69
Dapertemen Hukum dan Ham,Laporan Akhir Kompendium Tentang Hak-Hak Perempuan (
Jakarta,2006)27.
45
akses terhadap HAM yang sama bagi perempuan tetapi juga persamaan terhadap
perempuan tetapi juga persamaan terhadap mamfaat atau pada hasilnya. Sehingga
bentuk bentuk affirmative action atau kebijakan khusu bagi perempuan bukanlah
kemudian dimaknai sebagai diskriminasi terhadap yang lain,tetapi kekhususan
tersebut harus ditempuh untuk menjamin mamfaat dan hasil yang sama mengingat
situasi atau konteks yang berbeda yang harus dipertimbangkan.70
70
Roni HB, “Akibat Hukum Bagi Perempuan dalam Perkawinan Poligami di Bawah Tengah
Menurut Peraturan Perundang- Undangan (Prespektif Teori Maslahah dan CEDAW).”
(Sikiripsi,Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Negri Syarif Hidayatullah Jakarta,2020),48.
71
Bunyamin, dan Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (cetakan I: Februari 2017), hlm. 111.
46
72
Adnan, Baharits Shalih Hasan. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001, Cet. ke-2.
73
Lynn, Wilcok. Wanita dan Alquran dalam perspektif Sufi.Bandung. Pustaka Hidayah: 2000, Cet.
ke-1.
47
Ayat ini mengatur tentang jumlah istri yang dapat dimiliki oleh seorang pria
dalam poligami.Namun ayat ini juga memberikan peringatan penting bahwa jika
seorang suami tidak mampu memperlakukan istri-itri secara adil,maka sebaiknya ia
hanya menikahi satu istri atau memilih opsi lain.
Selain itu hak-hak wanita sebagai istri yang harus didapat dari seorang
suami sangat komprehensif, dari mulai sandang papan pangan bahkan kasih sayang
yang dalam bahasa kitab ini mu’asyarah bil ma’ruf. Dalam hal ini seharusnya
seorang suami memberikan haknya, mu’asyarah yang baik menurut syara’ yang
sudah disepakati tidak menterlantarkan dengan memberikan pangan sandang dan
papan. Sedangkan ma’ruf menurut lokal menurut penulis seorang suami harus
memperlakuakan baik menurut adat kebiasaan daerah tertentu. Artinya seyognya
seorang suami mengetahui kebiasaan yang baik menurut daerah tertentu. Kalau
dalam satu daerah kewajiban suami harus berkunjung ke tempat saudara ibu dari
istrinya dan biasanya membawa oleh-oleh maka jika itu dipandang baik secara adat
lokal maka seorang suami harus mengikuti permintaan istrinya karena itu
membahagiakan istri dengan memperlakukan saudara ibunya dengan baik.
Dipanggil dengan kata-kata yang baik, disapa dan ditegur dengan kata-kata yang
baik.
BAB III
A. Duduk Perkara
Pokok persoalan pada putusan ini adalah perkara izin poligami yang mana
para pihak dalam perkara ini adalah Pemohon Tempat/Tanggal Lahir Medan,09
Nopember 1979 Agama Islam, Kewarganegaraan WNI, Pekerjaan Karyawan
Swasta,bertempat tinggal Prum Griya Warung Sila No,20,RT.005 RW.004
Kel/Desa Ciganjur, Kecematan Jagakarsa Kotamayda Jakarta Selatan dalam hal ini
selanjutnya disebut sebagai suami melawan Termohon tempat dan tanggal lahir
Jakarta,09 Maret 1981, pekerjaan mengurus rumah tangga, Agama Islam,
bertempat tinggal di Perum Griya Warung Sila N0.20,RT.005, RW004,Kel/Desa
Ciganjur, Kecematan Jakagarsa Kotamadya Jakarta Selatan, Yang selanjutntya
berstatus sebagai Istri. Para pihak sama-sama tinggal di wilayah Kabupaten
Tangerang Selatan sehingga sudah menjadi kewenangan relative Pengadilan
Agama Jakarta Selatan untuk mengadili perkara tersebut.74
74
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
48
49
6693 NIB.09.02.09.05.0792, seluas 132 m2( seratus tiga pulu dua meter persegi)
atas nama Muhammad Noer; Sebidang tanah dan bangunan diatasnya yang terletak
di Jl.Moch Kahfi I Gang Rukun N0 15 Berdasarkan Sertifikat Hak Milik N0.07947
seluas 50 m2 ( lima pulu meter persegi) NIB. 0902090508614 Atas Nama Nurul
Haida; Sebidang Tanah dan Bangunan diatasnya yang terletak di Jl Hasan Niung,
Pancoran Mas, Depok berdasarkan Sertifikat Hak Milik N0.06539 seluas 80 m2 (
delapan pulu persegi meter) NIB.10.27.04.03.0749 Atas Nama Nurul Haida;
Apertemen Green Palace Kalibata City Lt.20 Blok R,Nomor R20 CB,Jakarta
Selatan Atas Nama Muhammad Noer; Mobil Toyota Fortuner 2, 694 CC G Lux AT
Tahun Pembuatan 2012, Nomor Rangka: MHFZX69G3C7047335, Nomor
Mesin:2TR7461471,Nomor Registrasi: B 2273 UBD Atas Nama Muhammad
Noer;Motor Yamaha Type SE88,125 CC,Warna Hiatam,Nomor
Rangka:MH3SE8860HJ008272,Nomor Mesin:E3R2E1698632,Tahun Pembuatan
2017,Nomor Registrasi: B 4797 SDK,Atas Nama Muhammad Noer; Harta benda
tersebut tetap menjadi hak milik Pemohon dan Termohon serta calon istri kedua
Pemohon menyatakan tidak akan mengganggu harta tersebut.
Kemudian dalam jalannya persidangan pada hari dan tanggal yang telah
ditetapkan, Pemohon dan Termohon telah hadir di persidangan yang kemudian
Majelis Hakim telah berusaha memberikan upaya perdamian kepada Pemohon dan
Termohon, bahkan untuk memenuhi ketentuan Pasal 130 HIR Juncto Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2016, Majelis Hakim telah
memberi petunjuk kepada para pihak telah memilih Drs Syamsul Huda,S.H
sebagai mediator umtuk melaksanakan perdamaian antara Pemohon dan juga
51
75
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
52
Pemohon dan Termohon benar pasangan suami istri secara sah, dan pada bukti
tersebut diberi kode tanda bukti P.3. Selain itu, calon istri kedua Pemohon juga
memberikan fotocopy Akta Cerai Nomor: 2121/AC/2020/PA.Dpk yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Depok. Bukti tersebut dibutuhkan sebagai
penguat bahwa calon istri kedua Pemohon tidak dalam ikatan hubungan suami istri
dengan orang lain, yang kemudian diberi kode bukti P.6.76
Tidak hanya iti Pemohon juga telah mengajukan 2 (dua) orang saksi yang
telah bersumpah dan menerangkan keterangannya. Saksi-saksi tersebut yakni
teman Pemohon yang mana menerangkan bahwa Pemohon dengan Termohon
adalah pasangan suami istri dan Pemohon memang benar hendak menikah kembali
dengan calon istri Pemohon dan setahu saksi Termohon menyetujui itu. Kemudian
saksi menerangkan bahwa Pemohon sanggup jika beristri dua karena Pemohon
76
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
53
adalah seorang Pengusaha dan bisa memenuhi kebutuhan istriistrinya dan juga
anak-anaknya.77
77
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
54
Pada saat persidangan Majelis Hakim telah berusaha dengan segenap hati
untuk menasihati Pemohon agar mengurungkan niat menikah lagi dengan calon
istri keduanya. Pada saat persidangan sudah dilaksanakan tahap mediasi dengan
mediator Drs. Syamsul Huda, S.H, pada tanggal 23 Pebruri 2021 sebagaimana
dengan ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 130 HIR.Jo. Pasal 82 ayat
(1) dan (4) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan
Undang Undang No.3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang Undang
No.50 Tahun 2009.79 Namun kenyataannya usaha tersebut tidak berhasil hingga
putusan ini dijatuhkan. Di dalam permohonan Pemohon menyatakan bahwa
Termohon membenarkan dalil dalil Pemohon serta Termohon menyatakan bahwa
tidak keberatan jika Pemohon menikah lagi dengan calon istri keduanya.80
78
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
79
Winsherly Tan, “Urgensi Pembentukan Undang-Undang tentang Mediasi di Indonesia,”
NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengertahuan Sosial 8, no. 3 (2021): 287.
80
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
55
Majelis Hakim menimbang bahwa bukti surat-surat P.1 hingga P.16 yang telah
diajukan saat persidangan terbukti telah memenuhi syarat formil dan materil
sehingga memiliki kekuatan hukum yang cukup dan sempurna. Adapun yang
dimaksud telah memenuhi syarat formil dan materil yaitu bukti surat-surat yang
telah terpenuhi dan surat tersebut dinyatakan keabsahannya.81
Majelis Hakim menimbang bahwa para saksi sudah dewasa, berakal sehat,
dan sudah disumpah dalam memberikan kesaksiannya sehingga sudah memenuhi
syarat formil. Kemudian para saksi Pemohon membenarkan bahwa Pemohon dan
calon istri Pemohon sudah menjalin hubungan yang dekat sehingga dapat
menimbulkan fitnah dan dikhawatirkan Pemohon dan calon istrinya terjerumus
kedalam perbuatan yang dilarang oleh agama dan negara. Keterangan antara saksi
yang satu dengan yang lainnya sesuai dan cocok sehingga sudah memenuhi syarat
materil dan formil. Maka keterangan saksi dapat memperkuat bukti sebab memiliki
kekuatan pembuktian dan dapat diterima.82
81
Dinda Anggita Sari, Elvi Zahara, “Tinjauan Yuridis terhadap Syarat Formil dan Materil UU No
37 Tahun 2004 Terhadap Perkara Kepailitan pada Putusan Nomor 09/Pdt.Sus-
Pkpu/2015/Pn.Niaga Medan,” Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum 5, no. 1 (2018): 16.
82
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.
56
dengan aslinya dan ternyata cocok, pada bukti tersebut menerangkan tentang
alamat domisili Pemohon berada di wilayah Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
maka bukti tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil. Sehingga Pemohon
dapat mengajukan perkaranya karena bukti tersebut memiliki kekuatan hukum.
Kemudian bukti P.3 Kutipan Akta Nikah berupa keterangan Pemohon dan
Termohon yang menyatakan masih terikat perkawinan yang sah serta diperkuat
dengan keterangan saksi.
Pada P.6 menyatakan bahwa calon istri Pemohon benar tidak sedang terikat
perkawinan dengan orang lain. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan saksi
yang menyatakan hal yang sama.
83
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.
57
menikah.84 Oleh karena itu, bukti surat-surat tersebut sudah memenuhi syarat
formil dan materil sehingga bukti surat-surat tersebut dapat dijadikan sebagai bukti
pada permohonan izin poligami.
Kaidah fiqih tersebut menjelaskan bahwa jika dalam situasi yang sama
terdapat pilihan menolak mafsadat atau mencari kemaslahatan, maka yang
didahulukan yaitu menolak mafsadat. Karena dengan menolak mafsadat maka
84
Agus Hermanto, “Larangan Perkawinan Perspektif Fikih dan Relevansinya dengan Hukum
Perkawinan di Indonesia,” Muslim Heritage 2, no. 1 (2017): 128.
85
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.
58
E. Amar Putusan
Berdasarkan duduk perkara dan pertimbangan hukum Majelis Hakim, serta
rapat musyawarah Majelis Hakim yang diselenggarakan tamggal 6 Mei 2021. Maka
dengan itu Majelis Hakim memutuskan yakni sebagai berikut:
86
Fakhruzzaini, “Urgensi Kaidah Fikih dan Aplikasinya terhadap Masalah-Masalah Sosial”
(Skripsi S1 Institut Agama Islam Negeri Antasari, 2009).
59
Pada Hari Kamis, tanggal 6 Mei 2021 Masehi bertepatan dengan tanggal 25
Ramadahn 1442 H, Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah menjatuhkan putusan
pada perkara nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS oleh permusyawaratan Majelis
Hakim,putusan tersebut pada hari itu juga di ucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum oleh ketua majelis tersebut dan dihadiri Hakim Anggota yang sama.87
87
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.
BAB IV
Data yang diperoleh dari hasil penelitian yang diketahui bahwa permohonan
izin poligami telah diajukan oleh pemohon yang terdaftar di Kapaniteraan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS. pada
tanggal 8 Pebruari 2021 Dengan merujuk pada pada Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menjadi rujukan Majlis
Hakim sebagaimana tersebut diatas,Fakulatif yang dikabulkan oleh Pengadilan
Agama Jakarta Selatan. Terutama pada alasan – alasan poligami sebagaimana
tertuang pada Pasal 4 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang selengkapnya berbunyi:
Pengadilan Agama hanya memberi Izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila:
Dapat diambil kesimpulan jika merujuk pada Pasal 4 ayat (2) yang dijadikan
pertimbangan hukum oleh Majelis Hakim pada permohonan izin poligami Nomor
60
61
673/Pdt.G/2021/PA.JS bahwa tidak ada satupun syarat fakulatif yang sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang.Dalil yang diajukan oleh Majelis Hakim pada pemohon
yakni masih ingin memiliki keturunan sedangkan istiri sudah memasuki fase
menopause.Poligami seperti ini merupakan bentuk ketidakadilan terhadap
perempuan,karena perempuan dianggap sebagai pemuas hawa nafsu kaum laki-laki
belaka.Perempuan menjadi subordinasi bagi kaum patriarki,dan dipandang sebagai
benda yang dapat ditukar maupun diperjualbelikan.Kedudukan perempuan sebagai
istri harus rela diduakan oleh suaminya karena hal diluar kuasanya dan
terdiskriminasi karena kodratnya seakan-akan perempuan diperlakukan seperti alat
produksi semata. Hal ini memicu implikasi dan konsekuensi yang sangat luas,
apakah dengan melakukan pernikahan poligami akan membawa mamfaat atau
justru lebih besar dampak buruknya.
maka perempuan pun boleh. Apabila yang diperbolehkan hanya laki-laki sementara
perempuan tidak diperkenankan, secara rasional dapat dinamakan
diskriminasi.Lebih jelasnhya indonesia telah meratifikasi instrumen internasional
Hak Asasi Manusia dari beberapa konvensi yang melindungi hak perempuan
diantranya adalah, Konvensi Hak Politik Wanita ( Convention on the Political Right
of Woman) tahun 1952 dan konvensasi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ( Convention on the Elimanation Of All
Forms Discrimanation Against Woman: CEDAW ) tahun 1979 diratifikasi dengan
Undang Undang Nomor 7 tahun 1984.88 Prinsip kewajiban negara menerut
CEDAW anatara lain menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan
perlindungan HAM Perempuan yang mencakup kebijakan dalam ranah hukum
publik dan hukum privat.
1. Pasal 16 huruf (a) disebutkan hak yang sama antara pria dan wanita
untuk melakukan perkawinan;
88
Rahayu,Hukum Hak Asasi Manusia (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro,2015).109.
63
2. Pasal 16 huruf (b) hak-hak yang sama untuk memilih bebas pasangan
hidupnya dan untuk masuk kedalam ikatan perkawinan hanya dengan
persetujuan bebas dan sepenuhnya;
3. Pasal 16 huruf (c) mensyaratkan hak-hak dan tanggung jawab yang
sama selama perkawinan dan pada pemutusan perkawinan;
4. Pasal 16 huruf (d) mengakui hak pribadi yang sama sebagai suami istri
termasuk hak memilih nama,keluarga,profesi,dam jabatan;
5. Pasal 16 (e) mensyaratkan hak yag sama untuk kedua suami dan istri
berkaitan dengan benda.
Ketegasan dalam Pasal 16 ayat 1 di atas menjadi penyeimbang jika
terjadinya penghilangan hak terhadap perempuan dalam hubungan perkawinan
khususnya pada perkara poligami dimana banyaknya kasus terjadi memihak pada
kekuatan otoritas daripada istri dan dalam pembagian harta bersama.
Dengan adanya pasal ini,sudah selayaknya Indonesia perlu adanya upaya
hukum perlindungan hak perempuan dalam perkara poligami,namun keberpihakan
terhadap istri sebagai Termohon pun perlu diperhatikan oleh hukum, karena secara
fisik dan psikis akan menimbulkan perasaan inferior pada diri istri,ia mempunyai
perasaan bersalah karena tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis suami,sehingga
suami melakukan poligami. Hal ini jika terlalu dirasakan oleh seorang istri secara
terus menerus,maka akan menimbulkan penyakit kajiwaan secara terus menerus
pada diri istri. Dengan demikian bahwa praktek poligami dapat menimbulkan
Madharat pada istri.Terbukti,dalam penelitian di Pengadilan Agama jakarta
Selatan pada tahun 2019 terdapat 12 perkara percerian yang disebabkan oleh
poligami.Ketentuan hukum perihal suami dalam mengajukan izin poligami yang
diatur dalam Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
dinilai menuai masalah dari sisi keadilan gender karena memberikan hak kepada
suami untuk meninggalkan istri yang sudah produktif padahal istrinya telah
melaksanakan kewajiban sepenuhnya seperti memberikan keturunan. Sementara
posisi suami tidak diperjelaskan kewajiban terhadap istri dalam
berpoligami.disamping kepastian dalam pembagian harta maupun dalam konsep
adil tidak dapat dipastikan istri mendapatkan perlindungan dalam sisi psiologis
64
yang menjadi haknya sebagi perempuan,dalam hal keadilan cinta dan kasih sayang
tidak dapat ditemukan penegeasan kepada suami untuk melaksanakan hak-hak istri
pertama agar diberikan upaya hukum perlindungan,suami tidak melakukan
kekerasan dalam rumah tangga yang harmonis,dan ada sanksi yang tegas bila suami
izin poligami. Perempuan masih diletakkan pada objek yang lemah,pada situasi
yang termarnilasisikan.
Meskipun regulasi mengenai poligami ini dinilai sudah kurang efektif untuk
perkembangan di masyarakat sekarang, namun ketentuan Undang-Undang Nomor
ini masih dipakai demi ketertiban keperdataan. Agar tidak bertentangan dengan
asas monogami yang di anut oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dalam
pemberian izin poligami dan sebagai upaya hukum perlindungan hak perempuan
(istri), maka Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memeriksa dan memutus
perkara permohonan izin poligami harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut;
1. Perkara Permohonan izin poligami harus bersifat contentiuns dengan
mendudukkan istri sebagai pihak Termohon.
2. Alasan izin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 bersifat fakulatif,maksudnya bila salah satu
persyaratan tersebut dapat dibuktikan,Pengadilan Agama dapat memberi
izin poligami.
3. Persyaratan Izin poligami yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 bersifat Kumalatif, maksudnya Pengadilan
Agama hanya dapat memberi izin poligami apabila semua persyaratan
tersebut telah terpenuhi
4. Harta bersama dalam hal suami beristri lebih dari satu orang. Telah diatur
dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam,akan tetapi pasal tersebut
mengandung ketidakadilan yang dalam keadaan tertentu dapat merugikan
istri yang dinikahkan lebih dulu.Maka dari itu,perlu adanya penjelasan
sebagai berikut:
a. Harta yang diperoleh oleh suami selama dalam ikatan perkawinan
dengan istri pertama,merupakan harta benda bersama milik suami
dan sitri pertama dan tidak bisa diganggu gugat lagi.Sedangkan harta
65
Mengenai kasus yang ada, penulis akan meneliti putusan hakim atas
permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yakni dalam
Perkara Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS.
89
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 113.
68
calon istri yang sesuai dengan keinginannya tanpa adanya unsur paksaan dari pihak
manapun.
Selian itu, Majelis Hakim juga berpendapat bahwa maksud dan kehendak
Pemohon tersebut dipandang telah memenuhi ketentuan Pasal 40 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974
dan untuk memenuhi ketentuan syariat agama Islam dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
90
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
91
Salinan Putusan Nomor 673/Pdt.G/2021/PA.JS
69
Pertimbangan Majelis Hakim bahwa Pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974,
Pasal 41 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 57 KHI, menentukan bahwa
seorang suami yang akan berpoligami hanya dapat dikabulkan apabila isteri tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri, istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan
(syarat fakultatif).
Kompelasi Hukum Islam. Akan tetapi beliau melihat dari kronologi yang telah
terjadi yaitu Termohon sudah tidak ingin lagi memiliki keturunan sedangkan
Pemohon ingin memiliki keturunan dan juga melihat kedekatan Pemohon dan calon
Isteri kedua yang sudah terlalu dekat.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
72
73
bersama dengan istri pertama, maka perlu persyaratan atas masa perkawinan
dengan istri pertama harus terdata secara lengkap, karena hal tersebut yang
menjadi syarat dalam perkawinan poligami sebagai upaya hukum
perlindungan hak perempuan. dan dalam putusan Nomor
673/Pdt.G/2021/PA.JS., hakim mengabulkan permohonan Pemohon
dengan memberikan izin kepada Pemohon untuk menikah kembali dengan
pertimbangan bahwa Termohon telah memberikan izin secara tidak tersurat
dan hal itu tidak selaras dengan ketentuan Pasal 41 huruf (b) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan dan juga ketentuan Pasal 58 ayat (2) yang menyatakan bahwa
persetujuan isteri atau ister-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan
lisan, sekalipun persetujuan tersebut telah ada secara tulis maka harus
dipertegas kembali secara lisan pada persidangan.
B. SARAN
Siti Musdah Mulsa, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Kibar
Press, 2007), 60.
Mahkamah Agung RI, Buku II: Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama (Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama,
2013), 135.
Ashofa Burhan, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 19.
75
76
Abdurrahman I Doi, “Inilah Syari‟ah Islam Terjemahan”, Buku The Islamic Law,
Usman Efendi AS dan Abdul Khaliq Lc, Jakarta: Puataka Panji,
Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 259
Nasution, Khairuddin. 1996. Riba & Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran
Muhammad Abduh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I.
Al-Thabari, Ibnu Jarir. 1978. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Dar al-
Fikr. Jilid IV.
( Yogyakarta:Liberty,1982),76.
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1983 hlm. 1
Adnan, Baharits Shalih Hasan. Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-Laki,
Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet. ke-2.
79