Anda di halaman 1dari 144

PEMAHAMAN HADIS TENTANG LARANGAN

MEMBACA DAN MENYENTUH MUSHAFAL-QUR’AN


SAAT HAID (STUDI KASUS MAHASISWI PESANTREN
TAKHASSUS IIQ JAKARTA)

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama
(S.Ag)

OLEH:

TUTI ATIANTI

NIM: 1113034000196

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan

HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN


‫ا‬ tidak dilambangkan
‫ب‬ b be
‫ت‬ t te
‫ث‬ ts te dan es
‫ج‬ j je
‫ح‬ h h dengan garis bawah
‫خ‬ kh ka dan ha
‫د‬ d de
‫ذ‬ dz de dan zet
‫ر‬ r er
‫ز‬ z zet
‫س‬ s es
‫ش‬ sy es dan ye
‫ص‬ s es dengan garis bawah
‫ض‬ ḏ de dengan garis bawah
‫ط‬ ṯ te dengan garis bawah
‫ظ‬ ẕ zet dengan garis bawah
‫ع‬ ´ koma terbalik diatas hadap kanan
‫غ‬ gh ge dan ha
‫ؼ‬ f ef
‫ؽ‬ q ki
‫ؾ‬ k ka
‫ؿ‬ l el
‫ـ‬ m em
‫ف‬ n en
‫و‬ w we
‫هػ‬ h ha
‫ء‬ ` apostrof
‫ي‬ y ye

iii
iv

B. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri

dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk

vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ﹷ‬ a Fathah

‫ﹻ‬ i Kasrah

‫ﹹ‬ u ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ﹷي‬ ai a dan i

‫ﹷو‬ au a dan u

C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa

Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ػ ػ ػ ػ ػ ػَ ػػا‬ â a dengan topi di atas

ْ‫ـــِي‬ î i dengan topi di atas

ْ‫ـــُو‬ û u dengan topi di atas

D. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan

dengan huruf, yaitu ‫اؿ‬, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
v

syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-Rijâl bukan ar-Rijâl, al-

Diwân bukan ad-Diwân.

E. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda (‫ )ﹽ‬dalam alih aksara ini dilambangkan

dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah

itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah

itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.

Misalnya, kata ‫َّرْوَرة‬


ُ ‫ الض‬tidak ditulis aḏ-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah,

demikian seterusnya.

F. Ta Marbûṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat

pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi

huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta

marbûṯah tersebut diikuti oleh kata sifat (na´t) (lihat contoh 2). Namun, jika

huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda (isim), maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No. Kata Arab Alih Aksara


1 ‫طَ ِريْػ َقة‬ Ṯarîqah
2 ‫الج ِاملَة ا ِإل ْس َل ِميَّة‬
َ
Al-Jâmilah al-Islâmiyyah
3 ‫الو ُج ْود‬
ُ ‫َو ْح َدة‬
Wahdat al-Wujûd
vii

ABSTRAK

Tuti Atianti

Pemahaman Hadis Tentang Larangan Membaca dan Menyentuh Mushaf al-


Qur’an Saat Haid (Studi Kasus Mahasiswi Pesantren Takhassus IIQ
Jakarta)

Pelarangan bagi perempuan haid membaca dan menyentuh mushaf al-


Qur’an adalah bentuk adanya adab dalam berinteraksi dengan al-Qur’an, tentunya
ini dikarenakan al-Qur’an yang sifatnya suci, yang mana jika dikaitkan dengan
permasalahan haid tentu hal ini akan selaras karena sifat haid yang kotor dan
berupa hadas besar yang dialami setiap bulannya oleh perempuan haid. Namun
dewasa ini, dalam aplikasi kesehariannya masyarakat berbeda-beda, contohnya
saja pada lembaga seperti pesantren yang backgroundnya adalah al-Qur’an,
kadangkala dalam aplikasinya memilih adanya rukhsoh atau keringanan
dibolehkannya perempuan haid tetap belajar al-Qur’an.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian field research (penelitian


lapangan) dengan pendekatan kuantitatif. Sedangkan pada pengambilan
sampelmenggunakan metode purposive sampling sehingga pada penelitian ini
yang menjadi koresponden penelitian adalah mahasiswi IIQ semester II prodi
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, dengan jumlah sampel 80 mahasiswi yang diambil dari
100 populasi. Adapun penyelesaiannya menggunakan perhitungan skala likert
yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial.

Hasil penemuan pada penelitian ini bahwasanya pada tingkat pengetahuan


mahasiswi IIQ terkait hadis larangan membaca dan menyentuh mushaf al-Qur’an
tidak sejalan dengan pemahaman nya, artinya mereka mengetahui terdapat hadis
yang melarang perempuan haid membaca dan menyentuh mushaf al-Qur’an akan
tetapi pada tingkat pemahaman hadis mereka cenderung memilih pada pendapat
yang membolehkan. Terlebih di Pesantren takhassus IIQ Jakarta yang sistem
menghafal al-Qur’annya adalah sistem kejar target hafalan, sehingga pada
penelitian ini ditemukan bahwa sebagian mahasiswi tetap membaca dan
menyentuh mushaf al-Qur’an karna adanya keterpaksaan berupa peraturan yang
diterapkan di IIQ, hal ini sejalan dengan adanya doktrin atau arahan dari pihak
lembaga IIQ Jakarta.

Kata kunci : Membaca al-Qur’an, Menyentuh Mushaf al-Qur’an, Haid,


Purposive Sampling, Skala Likert, Pesantren Takhassus IIQ
Jakarta
KATA PENGANTAR

‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬

Dengan mengucap rasa puji dan syukur kepada ALLAH SWT berkat

limpahan rahmat, curahan kasih sayang, kesehatan dan keistiqomahan serta

kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul :

Pemahaman Hadis Tentang Larangan Membaca Dan Menyentuh Mushaf

Al- Qur’an Saat Haid ( Studi Kasus Mahasiswi Pesantren Takhassus Iiq

Jakarta) . Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah

Muhammad SAW sang penegak kebenaran, sang pejuang , sang guru besar

peradaban, serta replika kesempurnaan akhlak teladan bagi umat manusia hingga

akhir zaman.

Selanjutnya penulis menyadari bahawasanya skripsi ini tidak akan selesai

tanpa dukungan, bantuan, dorongan serta semangat dari berbagai pihak, maka dari

itu penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : Bapak

Prof. Dede Rosyada, MA. Selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta beserta jajarannya, dan bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA.

Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, dan Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum,

MA. Selaku ketua Jurusan Ilmu al- Qur’an dan Tafsir. Serta Ibu Dra.

viii
ix

Banun Binaningrum, M.Pd selaku sekretaris jurusan Ilmu al- Qur’an

dan Tafsir.

2. Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag, selaku dosen pembimbing penulis

yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang

telah meluangkan waktunya, memberikan saran, arahan, dan motivasi

kepada penulis. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama proses

bimbingan banyak merepotkan dan semoga Allah senantiasa memberi

kesehatan dan melindungi bapak dan keluarga.

3. Bapak Dr. Mafri Amir, MA, selaku dosen pembimbing akademik yang

telah membimbing penulis dari semester satu hingga selesai.

4. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya dosen program studi

Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, terimakasih atas ilmu, wawasan,

pengalaman serta motivasi yang dibserikan, semoga Allah mengganti

dengan pahala yang berlipat ganda. Serta seluruh staf karyawan

Fakultas Ushuluddin.

5. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Umum, dan

Perpustakaan fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Teruntuk kedua orang tua ku tercinta dan tersayang ayahanda Alm.

H.M. Thahir Ta’at , terimakasih atas cinta dan perjuangannya selama

hidup mu telah mendidik dan mengajarkan banyak hal, telah

menanamkan banyak kebaikan sehingga mengantarkan ananda sampai

ke titik ini, semoga Allah mengampuni segala dosa dan khilaf dan

menjadikan setiap tetes kebaikan menjadi amal jariyah yang menemani

perjalanan mu. Ibunda terkasih Siti Soleha yang selalu ku rindu


x

senyum dan belaian tangannya, terimakasih sudah memberikan banyak

cinta, telah memberikan sebanyak-banyaknya doa, semoga Allah

menjaga, dan memberkahi usia tua mu dengan selalu istiqomah

beribadah kepada Nya.

7. Teruntuk kekasih halal yang senantiasa setia menemani, senantiasa

memberikan semangat dan kasih sayang yang mampu membuat jatuh

cinta berkali-kali, selamat menanti buah hati...! semoga Allah

anugerahkan dzurriyat yang menjadi penyejuk pandangan mata, dan

menjadi generasi qur’ani penolong kelak diakhirat. Amiin

8. Kepada saudara-saudara kakak Tawakkal dan abang Mahyul Ulum

tersayang , adik-adik terkasih Maulida dan Ihsan, terimakasih atas doa-

doa dan persaudaraan yang senantiasa membuat rindu ingin pulang.

9. Kepada guru-guru khususnya pengasuh Pesantren al- Qur’an Al Falah

(Alm) KH. Q Ahmad Syahid, Ph.D, semoga Allah menempatkan

diantara para syuhada dan keberkahan ilmu nya senantiasa mengiringi

santri-santrinya. Dan juga Pengasuh Pesantren al-Qur’an Nur Medina

KH. Endang Husna dan Ibu Nyai Hj. Arbiyah Mahfudz, berkat doa,

dan kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan segala target

hafalan selama di pesantren, semoga Allah selalu memberikan

kesehatan sehingga semakin banyak yang merasakan mutiara ilmu dari

beliau.

10. Teman-teman mahasantri Pesantren al-Qur’an Nurmedina, khususnya

tim ewer-ewer (Wawah, Puput, Izza, Halimah, Bunda Laila dll.. yang

tidak penulis sebutkan satu-satu) terimakasih sudah mewarnai


xi

perjalanan kehidupan ini kurang lebih 4 tahun, semoga persahabatan

ini sampai ke jannahNya.

11. Teman-teman seperjuangan seluruh angkatan Tafsir Hadis 2013

khususnya kelas TH F (Puput, Arimah, Maya, Mak Rusnul, Faza, Mba

Khuzaimah, Lukman dan lain-lain) mohon maaf tidak penulis sebutkan

satu-satu tapi tidak mengurangi rasa sayang dan bangga ini kepada

kalian, semoga ilmu yang kita dapatkan selama menempuh pendidikan

manfaat dan berguna dimasyarakat.

12. Teman-teman KKN Gempita terimakasih atas satu bulan kebersamaan

yang memberikan banyak pengalaman dan pelajaran.

13. Dan kepada seluruh teman-teman yang tidak penulis cantumkan

namanya satu persatu, dan seluruh pihak yang telah membantu

memberikan semangat dan dorongan sampai karya ilmiah ini selesai.

Jazakumullah Ahsanal Jaza’..

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih terdapat banyak

kekurangan dan jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan

kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Besar harapan

penulis semoga skripsi ini memberikan banyak manfaat khususnya untuk penulis

dan bagi para pembaca sekalian.

Jakarta, 27 Mei 2018

Hormat saya
Tuti Atianti
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................

PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................................... iii

ABSTRAK ........................................................................................................................ vi

KATA PENGANTAR .................................................................................................... viii

DAFTAR ISI .................................................................................................................... xii

BAB I : PENDAHULUAN................................................................................................ 1

A. . Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1

B. . Identifikasi Masalah ...................................................................................... 13

C. . Pembatasan Masalah...................................................................................... 13

D. . Perumusan Masalah ....................................................................................... 13

E. . Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 14

F. . Tinjauan Pustaka............................................................................................ 14

G. . Metodologi Penelitian.................................................................................... 17

H. . Sistematika Penulisan .................................................................................... 23

BAB II : HADIST-HADIST SEPUTAR LARANGAN PEREMPUAN HAID ......... 25

1. . Hadist Larangan Perempuan Haid Melaksanakan Sholat Dan Puasa............ 25

2. . Hadist Larangan Perempuan Haid Melaksanakan Tawaf.............................. 28

3. . Hadist Larangan Perempuan Haid Masuk Masjid ......................................... 31

4. . Hadist Larangan Perempuan Haid Berjima’ .................................................. 34

A. . Hadist Yang Melarangan Membaca al qur’an Saat Haid .............................. 37

1. . Redaksi Hadis Larangan Perempuan Haid membaca al Qur’an .................... 38

2. . Takhrij Hadist ................................................................................................ 39

xii
xiii

3. . Penjelasan Sanad Hadis ................................................................................. 42

4. . Penjelasan Hadis Larangan Perempuan Haid Membaca Alqur’an ................ 49

B. . Hadist Yang Melarang Membawa Mushaf al qur’an Saat Haid .................... 54

1. Redaksi Hadis Larangan membawa mushaf al Qur’an Saat Haid ............... 54

2. Takhrij Hadist ................................................................................................ 54

3. Penjelasan Sanad Hadis ................................................................................. 57

4. Penjelasan Hadis Larangan Menyentuh Mushaf Alqur’an ............................ 65

BAB III: PESANTREN TAKHASSUS IIQ JAKARTA ............................................. 70

A.. Sejarah dan Perkembangan Pesantren Takhassus IIQ Jakarta....................... 70

B. . Tujuan Didirikan IIQ ..................................................................................... 75

C. . Visi dan Misi ................................................................................................. 75

D. . Sarana dan Fasilitas Pesantren ....................................................................... 76

E. . Struktur Organisasi Pesantren ....................................................................... 76

F. . Kegiatan Di Pesantren IIQ Jakarta ................................................................ 77

BAB IV: PEMAHAMAN HADIS TENTANG LARANGAN MEMBACA

DAN MENYENTUH MUSHAF AL QUR’AN DALAM KEADAAN HAID ............ 79

A. . Analisis Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Profil

Santri ............................................................................................................ 80

B. . Analisis Data Mengenai Pemahaman Hadis Tentang Larangan

Membaca Dan Menyentuh Mushaf Al Qur’an ............................................ 84

C. . Hasil Analisa Pemahaman Menyeluruh Mahasiswi IIQ terhadap

hadis Larangan Membaca dan Menyentuh al-Qur’an Saat haid ................ 101
xiv

D. Penerapan Hadis Larangan Membaca dan Menyentuh Mushaf Al

Qur’an Dalam Keseharian Mahasiswi Pesantren Takhassus IIQ

Jakarta .................................................................................................... 105

BAB V: PENUTUP ....................................................................................................... 111

A. Kesimpulan ............................................................................................ 111

B. Saran-saran ............................................................................................ 112

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 113

LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................................... 121


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Secara kasat mata perbedaan antara laki-laki dan perempuan jelas sekali

terlihat secara fisik. Bagi seorang perempuan memiliki pematangan payudara,

ovarium dan juga rahim yang tidak dimiliki oleh seorang pria , sedangkan pria

mempunyai jakun yang juga tidak dimiliki oleh perempuan. Selanjutnya laki-laki

masa baligh nya ditandai dengan mimpi dan sebaliknya perempuan ditandai

dengan datang nya menstruasi yang menjadi kodrat nya dan sangat erat kaitannya

dengan aktifitas ibadah nya sehari-hari.

Dalam hadis nabi :

ِ َ َ‫ ق‬،‫اس ِم‬ ِ ‫الر ْْح ِن بن ال َق‬ ِ َ َ‫ ق‬،‫ حدَّثَنَا س ْفيا ُن‬:‫ال‬ ِ ِ ِ


‫ت‬
ُ ‫ ََس ْع‬:‫ال‬ َ ْ َ َّ ‫ت َعْب َد‬ ُ ‫ ََس ْع‬:‫ال‬ َُ َ َ َ‫ ق‬،‫َحدَّثَنَا َعل ُّي بْ ُن َعْبد اللَّو‬
،‫ت‬ ْ ‫ف ِح‬َ ‫ فَلَ َّما ُكنَّا بِ َس ِر‬،‫ َخَر ْجنَا الَ نََرى إَِّال احلَ َّج‬:‫ول‬ُ ‫ت َعائِ َشةَ تَ ُق‬ ِ ُ ‫ ي ُق‬، ‫اسم بن ُُم َّم ٍد‬ ِ
ُ‫ض‬ ُ ‫ ََس ْع‬:‫ول‬ َ َ َ ْ َ ‫ال َق‬
ِ ِ ِ َ َ‫ ق‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َوأَنَا أَبْ ِكي‬ ِ ُ ‫فَ َدخل علَي رس‬
،‫ نَ َع ْم‬:‫ت‬ُ ‫ قُ ْل‬.»‫ « َما لَك أَنُف ْست؟‬:‫ال‬ َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َّ َ َ َ
ِ
َ ‫ إِ َّن َى َذا أ َْمٌر َكتَبَوُ اللَّوُ َعلَى بَنَات‬:‫ال‬
1
)‫ (رواه البخاري‬...‫آدم‬ َ َ‫ق‬
Artinya: “Dari Abdurrahman bin Al Qasim dari bapaknya dari Aisyah
radliallahu 'anha, ia berkata; Kami pergi bersama-sama Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, tiada lain niat kami selain haji. Setelah kami sampai dekat Sarif, tiba-
tiba aku haid. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam kemahku,
didapatinya aku sedang menangis. Lalu beliau bertanya: "Apakah kamu haid?"
jawabku, "Benar ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Haid adalah hal yang lumrah
bagi putera-puteri anak Adam...” (HR. Al- Bukhari)
Perkara Menstruasi ini pun sudah ada pada masa jahiliyyah, yang mana

haid dianggap sesuatu yang menjijikkan dan harus dipikul kaum wanita. bahkan

1
Abi „Abdillah Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim Al Bukhari, Sahîh Al Bukhârî,
(Beirut: Dar Al Fikr,t.t), kitab haid, bab Wanita yang sedang haid melaksanakan seluruh manasik
haji kecuali tawaf di Baitullah, juz.1, no. 249 hlm. 490

1
2

seringkali hal ini dijadikan bahan untuk merendahkan kaum wanita, dalam cerita

tradisi keagamaan, pandangan filsuf, budayawan, bahkan biomedis barat

perempuan yang sedang menstruasi banyak dicerca, seperti yang dirangkum

dalam buku Natural History karya Pliny mengungkapkan bahwasanya perempuan

menstruasi jika mereka menyentuh anggur maka anggur tersebut akan menjadi

busuk, tanaman yang akan panen akan menjadi gabuk dan gagal panen, serta

banyak lagi ungkapan yang seolah-olah menganggap bahwasanya menstruasi bagi

seorang perempuan adalah kutukan.1

Bagi kaum yahudi, wanita haid diperlakukan secara tidak manusiawi dan

wanita yang haid diusir dari rumah, tidak diajak tidur dan makan bersama.

Sedangkan kaum nasrani mempunyai kebiasaan menggauli istrinya ketika haid.

Hal ini kemudian mendorong para sahabat menanyakan tentang haid sehingga

turun lah firman Allah dalam surah al Baqarah ayat 222 yang merupakan

gambaran sebagian jawaban tentang hukum-hukum yang terkait dengan masalah

haid.

‫َوي َْسأَلُ ْوه ََك َع ِن الْ َم ِح ْي ِ ِۗض قُ ْل ه َُو َأ ًذ ۙى فَاعْ َ َِتلُوا ال ِن ّ َس َاء ِِف الْ َم ِح ْي ِۙض َو ََل تَ ْق َربُ ْوه َُّن َح ى ّّت ي َ ْطه ُْر ََۚن فَا َذا ت ََطه َّْر َن‬
ِ ِۗ ُ ّ ‫فَأْت ُْوه َُّن ِم ْن َح ْي ُث َأ َم َرُُكُ ى‬
) ٢٢٢ : ‫الل ُ ُِي ُّب التَّ َّواب ْ َِْي َو ُ ُِي ُّب الْ ُمتَ َطهِّ ِريْن ( البقراة‬ َ ّ ‫الل ا َّن ى‬
ِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah
suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”.2

1
Zaitunah Subhan, Al- Qur‟an dan Perempuan ; Menuju Kesetaraan Gender Dalam
Penafsiran, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 241
2
Yayasan Penyelenggara Penterjamah Pentafsir Al Quran, Al Quran dan Terjemahnya,
(Departemen Agama: 2004) hlm. 36
3

Atas pertanyaan para sahabat Rasulullah menyatakan “lakukan lah segala

sesuatu (kepada istri yang sedang haid) kecuali bersetubuh” kemudian sampai

pada kalangan orang-orang yahudi dan mantan penganut yahudi merasa terkejut

dengan penyataan tersebut sehingga mereka menentang dengan mengatakan

bahwasanya apa yang menjadi pernyataan rasulullah tersebut merupakan hal yang

menentang tradisi besar orang yang yahudi, karena haid dikalangan mereka

merupakan sesuatu yang dianggap tabu akan tetapi tiba-tiba dianggap seperti

sesuatu hal yang lumrah seperti halnya adzan. Lalu kemudian Usayd bin Hudayr

dan Ubbad bin Basyr melaporkan hal ini kepada Rasulullah SAW, seketika raut

wajah Rasulullah berubah karena merasa tidak enak dengan reaksi tersebut Usayd

bin Hudayr dan Ubbad bin Basyar mengira bahwasanya Rasulullah Marah kepada

mereka berdua, lalu mereka keluar dan sebelumnya memberikan hadiah air susu

kepada beliau, lalu diutus lah seseorang untuk mengejar mereka berdua dan

memberikan mereka minum air susu sehingga mereka berdua tau bahwasanya

Rasulullah SAW tidak marah kepada mereka.3

Secara bahasa Haid berarti mengalir, berasal dari ucapan orang-orang arab

Hâḏa Al Wâdi (lembah itu megalir), ada beberapa istilah yang serupa dengan kata

haid didalam bahasa arab yakni tamas,berarti darah kotor; ikbar berarti darah

yang kental; I‟sar, berarti tetesan darah; dan ḏahak berarti darah yang mengalir.4

Oleh para dokter definisi haid (menstruasi) secara ilmiah adalah siklus

bulanan yang memakan waktu selama dua puluh delapan hari. Hari pertama dari

siklus itu dimulai dengan rasa lemas (karena keluarnya darah). Pada hari kelima,
3
Abu Hasan Ali bin Hamid al Wahdi al Naisaburi, Asbabun Nuzul, (Beirut: Dar al Fikr,
1986) hlm.46
4
Luthfi Rahmatullah dkk,” Haid (Menstruasi) Dalam Tinjauan Hadis”, Jurnal Palastren,
Vol .6, No. 1, 2013
4

ketika rasa lemasnya telah pudar, mulailah putaran yang dahsyat dalam

pertumbuhan akibat aktifitas hormon-hormon yang berasal dari kelenjer otak.

Sedangkan pada hari keempat belas dari siklus bulanan, rahim telah

mempersiapkan diri untuk menyambut sel telur (ovum) yang membuahkan

kehamilan, dan standarnya menurun seperti pada masa awal siklus. Setelah itu ada

hormon lain yang menempati posisi hormon-hormon hingga pada masa terjadinya

kehamilan. Keberadaan hormon ini akan menurun , bilamana kehamilan tidak

terjadi dan darah didalam rahim jadi mengalir sehingga menyebabkan haid.

Sebaliknya, jika kehamilan terjadi, haid tidak akan terjadi.5

Dalam tinjauan fiqih, haid berarti merupakan darah yang keluar dari vagina

seorang perempuan pada saat usia haid yaitu menurut kesepakatan para ulama

ketika seorang perempuan mencapai usia minimal 9 tahun atau lebih , dan darah

tersebut keluar secara alami, perempuan tersebut dalam keadaan sehat, dan bukan

karena melahirkan, maksimal masa haid adalah 15 hari jika darah keluar melebihi

masa tersebut maka itu tidak lagi disebut dengan darah haid melainkan darah

istihâḏah.6

Ulama mengelompokkan kondisi haid pada kelompok kondisi janabah

seperti nifas maupun junub, dan hal yang diharamkan karena sebab janabah juga

diharamkan bagi orang haid, diantaranya adalah perempuan haid dilarang untuk

mengerjakan shalat, puasa, sujud tilawah, thawaf, masuk masjid dan i‟tikaf ,

menyentuh mushaf al- Qur‟an dan membaca al- Qur‟an. Namun terkait pada boleh

5
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka
Azzam),2009, h. 446
6
M. Hamim HR,Terjemah Fathul Qorib, (Kediri Jawa Timur : Snatri Salaf Press, 2014)
juz 1, hlm 77
5

atau tidaknya pada perkara membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an ulama

berbeda pendapat mengenai hal ini.7

Pada kelompok yang membolehkan hal ini tentu dikarenakan adanya kaitan

antara sifat dari najis pada haid yang identik dengan kotor dengan adab dan

kemuliaan al- Qur‟an itu sendiri. Mengingat yang disampai kan Yusuf Qardhawi

didalam bukunya Bagaimana berinteraksi dengan al- Qur‟an ? yang mana beliau

di sana memaparkan adab seseorang ketika berinterkasi dengan Al- Qur‟an.8

Begitu juga dengan apa yang disampaikan oleh Jalaluddin al-Suyuti didalam

karya nya al- Itqân Fî „Ulûm al-Qur‟an bahwasanya beliau memaparkan salah

satu tekhnis yang perlu dilakukan oleh seorang ketika akan berinteraksi dengan al-

Qur‟an hendaklah berwudhu 9.

Didalam kitab al Tibyân fî Adab Hamalat al- Qur‟an, Imam haramain

mengatakan bahwasanya mengenai perkara suci dari najis tidak dikatakan makruh

akan tetapi meninggalkan yang utama10

‫ فان مل جيد ادلاء تيمم‬,‫ با ىو تارك لألفضل‬,‫ وال يقال ارتكب مكروىا‬:‫قال امام احلرمني‬
Dalam kata lain pesan yang dapat kita ambil terkait dengan adab-adab

terhadap al- Qur‟an hendaklah seseorang yang berinterkasi dengan al- Qur‟an

harus terjaga dari najis. Dari pendapat ulama ini kemudian dapat kita tangkap

7
Wahbah al-Zuhaily, Fikih Thaharah Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: CV. Pustaka
Media Utama), h. 401
8
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Berinterkasi Dengan Al- Qur‟an?, Terj. Kathur
Suhardi(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), h. 135-206
9
Jalaluddin al-Suyuti, al- Itqân Fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Dar al- Fikri, 1951), j.1, h.
99-111
10
Abu Zakariyya Yahya bin Sarf al-Din al-Nawawi, al-Tibyân Fî Adâb Hamalat al-
Qur‟ân, (Beirut: Dar An-Nafa‟is, 1984) h. 73
6

sebuah pesan hendaklah ketika berinteraksi dengan al- Qur‟an dalam keadaan suci

dari najis.

Pendapat di atas kemudian didukung di dalam hadis tentang ketidakbolehan

seorang perempuan membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an ketika dalam

keadaan haid.

َ‫وسى بْ ِن عُ ْقبَة‬
َ ‫اش َع ْن ُم‬
ِ ِ
ٍ َّ‫اعْيل بْ ُن َعي‬ ٍ ُ ‫َح َّد ثَنَا َعلِ ُّي‬
ُ َ‫بن ُحجر َو احلَ َس ُن بْ ُن عُ ْرفَةَ قَ َاال َحدَّثَنَا إ َْس‬
‫ب َشْيأً ِم َن ال ُق ْرآ ِن (رواه‬ ِ ِ
ُ َ‫صلَّى اهلل َعلَْيو َو َسلَّ َم َال تَ ْقَرأُاحل‬
َ ُ‫ائُ َوَال اجلُن‬ َ ‫ب‬‫َع ْن نَاف ْع َع ْن ابْ ُن عُ َمَر َع ِن النَِّ ي‬
11
)‫الرتمذي‬
“Dari nabi SAW beliau bersabda, jangan lah kalian membaca dari al- Qur‟an

sedikitpun bagi yang haid dan junub.” (HR. Tirmidzî)

‫ب‬ َّ ِ ُ ‫َع ْن أَِ ْب بَ ْك ٍر بْ ُن ُُمَ َّم ْد بْ ُن َع ْم ُرو بْ ُن َح ْزٍم َع ْن أَبِْي ِو َع ْن َج يدهِ أَ َّن َر ُس‬
َّ َ ِ‫ول اهلل‬
َ َ‫ص لى اهللُ َعلَْي و َو َس ل َم َكت‬
‫اىٌر (رواه دار القط ي‬ ِ ََ ‫اِ َل أَى ِل ال يم ِن كِتاب ا فَ َك ا َن فِي ِو َال َِي س ال ُق رآ َن اَِّال‬
َّ َ ْ ً َ ََ ْ
12
)
“Dari Abu Bakar bin Muhammad bin „Amru bin Hazm dari ayahnya dari
kakeknya bahawasanya Rasulullah SAW menulis sebuah surat kepada penduduk
Yaman yang isinya tidaklah menyentuh al- Qur‟an kecuali orang yang suci” (HR.
Dâr al- Quṯni)
Kemudia kedua hadis di atas, dikuatkan oleh firman Allah SWT didalam surah

al Wâqi‟ah ayat 79:

)97 : ‫َال َِيَ ُّسوُ اَِّال الُمطَ َّه ُرو َن (الواقعة‬


Artinya: “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan”
Dari hadis dan firman Allah SWT diatas tentu menimbulkan

probelamatika tersendiri terhadap kaum perempuan yang setiap bulan senantiasa

didatangi tamu bulanan (Haid/ menstruasi), karena perkara haid ini tentu akan

11
Imam Tirmidzi, Sunan Al- Tirmidzî, ( Beirut: Dar al- Fikr,1994) kitab Thaharah, Bab
Haid dan Junub : Keduanya Tidak Membaca al- Qur‟an, j.1, no.131, h. 182
12
„Alî bin „Umara Dâr al- Quṯni, Sunan Dâr al- Quṯni, (Beirut: Dâr al- Ma‟ârifah, 1422H/
2001 M), Bab Hadis Larangan Menyentuh Mushaf, j.1, h. 121,
7

mengurangi porsi ibadah bagi seorang perempuan dibandingkan seorang laki-laki

yang senantiasa bisa beribadah tanpa ada halangan apapun, sehingga beberapa

kalangan menyebutkan bahwasanya kurangnya ibadah seorang perempuan ini

seringkali dikaitkan dengan hadis Rasulullah SAW tentang perempuan adalah

seorang yang kurang agamanya:

‫اض‬ِ َ‫ َع ْن ِعي‬،‫َسلَ َم‬


ْ ‫َخبَ َرِِن َزيْ ٌد ُى َو ابْ ُن أ‬ َ َ‫ ق‬،‫َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َج ْع َف ٍر‬
ْ ‫ أ‬:‫ال‬ ْ ‫ أ‬:‫ال‬ ُ ِ‫َحدَّثَنَا َسع‬
َ َ‫ ق‬،َ‫يد بْ ُن أَِب َم ْرََي‬
‫َض َحى أ َْو فِطْ ٍر‬
ْ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ِِف أ‬ ِ ُ ‫ خرج رس‬:‫ال‬
َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ َ َ َ َ‫ ق‬،‫ي‬
ٍ ِ‫ عن أَِب سع‬،‫ب ِن عب ِد اللَّ ِو‬
‫يد اخلُ ْد ِر ي‬ َ َْ َْ ْ
)...‫ات َع ْق ٍل َوِدي ٍن‬ِ ‫ما رأَيت ِمن نَاقِص‬...( ‫ يا معشر النيس ِاء‬:‫ال‬ ِ ‫ فَمَّر علَى الن‬،‫إِ َل ادلصلَّى‬
َ ْ ُ َْ َ َ َ َ ْ َ َ َ ‫ فَ َق‬،‫يساء‬ َ َ َ َُ
13
)‫(رواه البخاري‬
“ ...Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya...”

Sehingga ini menimbulkan pandangan streotip terhadap kaum perempuan

haid, sebagian Para fuqaha cenderung masih memposisikan perempuan tidak

setara. Karena sirkulasi haid yang dialami perempuan dianggap mengakibatkan

adanya anggapan bahwa perempuan kurang akal dan kurang agamanya. 14 Tentu

persepsi ini muncul karena adanya kesalahan manusia dalam memahami hadis ini

sehingga menimbulkan anggapan bahwasanya hadis ini mengandung kesan

kebencian terhadap kaum perempuan15.

Padahal maksud yang disampaikan pada hadis ini ialah berkaitan dengan

persaksian laki-laki yang diberikan otoritas lebih dari pada perempuan karena

laki-laki pada masa Rasulullah SAW fungsi dan figur publik diberikan kepada

pundak laki-laki, sedangkan anggapan kekurangan agama pada perempuan karena

memang hanya perempuanlah yang mengalami menstruasi yang mana keadaan ini

13
Abi „Abdillah Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim Al Bukhari, Sahîh al Bukharî,
Kitab Haid, Bab Tark al- Hâiḏ wa al- Saum, j.1 No. 2484, h. 178
14
Nasarudin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, (Jakarta: Kompas Gramedia,
2014),h. 52
15
Ahmad Fudhaili, Perempuan Di Lembaran Suci Kritik Atas Hadis-Hadis Shahih,
(Jakarta: Transpustaka), h,137
8

menuntut seorang perempuan untuk tidak melakukan ibadah-ibadah wajib ketika

haid 16.

Namun kekurangan bagi wanita yang dimaksud di sini adalah bukan aib

bagi mereka, justru merupakan sebuah rahmat yang harus disyukuri karena pada

yang demikian itu terdapat banyak hikmah yang tidak semuanya dapat ditangkap

oleh manusia.17

Tidak terlepas dari itu semua, aktivitas yang menyangkut tentang ke al-

Qur‟an-an merupakan sebuah rutinitas yang sudah sangat fenomenal dikalangan

umat Islam terlebih negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, al-

Qur‟an banyak dikaji baik dari segi bacaan, hukum maupun makna-makna yang

terkandung di dalamnya di forum-forum pengajian seperti majlis taklim, forum-

forum seminar bahkan sudah menjadi lembaga resmi yang ada di segala penjuru

baik di pelosok maupun ibukota. Contohnya saja seperti yang banyak populer di

indonesia terdapat banyak lembaga atau pesantren-pesantren yang berbasis al-

Qur‟an seperti Pesantren Tahfidz al- Qur‟an, yang mana tentunya aktivitas yang

ada di pesantren seperti ini tidak lepas dari hal-hal yang menyangkut tentang al-

Qur‟an itu sendiri seperti menambah hafalan, menyetor kan hafalan dan

memuraja‟ah atau mengulang hafalan yang sudah dihafal.

Jika seluruh aktivitas di pesantren ini dikaitkan dengan perihal harus

terhindarnya seseorang dari najis ketika hendak berinteraksi dengan al-Qur‟an,

tentu ini menjadi masalah yang cukup sulit bagi seorang perempuan yang sedang

menempuh proses menghafal al-Qur‟an, Karena jika ia sedang datang bulan atau

16
Husein Muhammad dan Mamang Muhammad Haerudin, Mencintai Tuhan, Mencintai
Kesetaraan : Inspirasi Dari Islam dan Perempuan, (Jakarta: Kompas Gramedia,2014), h. 178
17
Ibnu hajar asqalany, bulughul maram terj. Bulughu maram min adhillatil ahkam
(Damaskus: darul fikr)2008. H.78
9

haid ia tidak diperbolehkan membaca dan menyentuh al-Q ur‟an, dan jika hafalan

al-Qur‟an tersebut tidak diulang maka hafalan tersebut pasti akan hilang atau jika

seorang yang sedang proses menyelesaikan hafal al-Qur‟annya tidak selalu

berinteraksi dengan al-Qur‟an tentu hafalan al-Qur‟an nya tidak akan bertambah

dan ini akan berdampak pada tidak akan selesai nya hafalan 30 juz sesuai dengan

target yang sudah ditentukan. Hal ini pun sejalan dengan sabda Rasulullah

bahwasanya hafalan al-Qur‟an itu lebih cepat terlepas dari pada onta yang terikat

dari ikatan nya. Sesuai sabda Rasulullah SAW dibahwah ini:

ٍ ِ
ُ‫صلَّى اللَّو‬َ ‫َّب‬ ‫وسى َع ْن النِ ي‬ َ ‫ُس َام َة َع ْن بَُريْد َع ْن أَِب بُْرَدةَ َع ْن أَِب ُم‬َ ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن الْ َع ََلء َحدَّثَنَا أَبُو أ‬
‫َش ُّد تَ َفلُّتًا ِم ْن ا ِإلبِ ِل ِ ِْف عُ ُقلِ َها‬ ِ ٍ
َ ‫س ُُمَ َّمد بِيَدهِ َذلَُو أ‬
ِ َّ
ُ ‫اى ُدوا َى َذا ال ُق ْرآ َن فَ َوالذي نَ ْف‬ َ َ‫َعلَْي ِو َو َسل ق‬
َ ‫ال تَ َع‬
18
)‫ث ِالبْ ِن بََّر ٍاد (رواه البخاري‬ ِ ‫ظ احل ِدي‬
ْ َ ُ ‫َولَ ْف‬
Selain dari pada itu renggang waktu antara masa haid dengan tidak yang

terkadang setiap wanita berbeda-beda lama haidnya, bisa saja menyebabkan

datang nya rasa malas ketika sudah kembali suci dari haidh. Sedang kan didalam

sebuah hadis Rasulullah juga menjelaskan tentang bahwasanya tidak ada dosa

yang lebih besar dari pada dosa orang yang mengetahui ayat atau surat al- Qur‟an

kemudian ia melupakannya.

‫َب َرَّو ٍاد َعن ابْ ِن ُجَريْ ٍج‬ ِ َ ‫َخبَ رنَا َعْب ُد ادل ِجْي ُد َعْب ُد‬‫بد احلَ َك ِم اخلََّز ُاز أ‬
ْ ِ‫العزيْز بْ ِن أ‬ َ َ ْ ُ ‫الوَّىاب بْ ُن َع‬ َ ‫َحدَّثَنَا َعْب ُد‬
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬ ٍ ِ‫س ب ِن مال‬ ٍ َّ‫ب بْ ِن َعْب ِداللَّ ِو بْ ِن َحْنط‬
ِ ‫َعن ادلطللي‬
َ ‫ول اللَّو‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬َ َ‫ك ق‬ َ ْ ٍ َ‫ب َعن أَن‬
ِِ ِ َّ ‫ع ِرضت علَي أُجور أ َُّم ِِت ح ََّّت ال َق َذاةُ ُُيْ ِرجها‬
‫وب أ َُّم ِ ِْت فَلَم أ ََر‬
ُ ُ‫ت َعلَ َّي ذُن‬
ْ‫ض‬ َ ‫الر ُج ُل م َن ادلسجد َوعُ ِر‬ َُ َ ْ ُ ُ َّ َ ْ َ ُ
َ
19
)‫رآن أَو آيٍَة ِمن أُوتِ َيها َر ُج ٌل ُُثَّ نَ ِسيَها (رواه الرتمذي‬ ِ ‫َذنْبا أ َْعظَم ِمن سورةٍ ِمن ال ُق‬
َُ ْ َ ً

18
Al- Bukhari, Sahîh Bukhârî, Kitab Fadâil al Qur‟ân, Bab Mengingat-ingat Al Qur‟an
dan Menjaganya, No. 4711, h.35
19
Abu „Isa Muhammad Ibnu Mûsa al Ḏahaq al Sulamî al Bughi, Sunan al-Tirmidzî,
(Kairo: Dar Al-Hadist, 2005), kitab Faḏail al-Qur‟an,Bab 19, No. 2916, j.5, h.25
10

“telah diperlihatkan kepadaku semua pahala amalan ummatku hingga kotoran


yang dikeluarkan dari mesjid. Aku juga telah ditunjukkan dosa-dosa umatku,maka
tidka aku lihat dosa yang lebih besar dari orang yang mengetahui ayat atau surat
al- Qur‟an kemudian melupakannya”.
Ini lah kemudia yang menjadi salah satu fokus ulama dalam meneliti dan

merumuskan hukum-hukum mengenai permasalahan haid ini adalah tentang adab-

adab dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang haid,

dengan merujuk kepada hadis diatas dapat kita artikan bahwasanya seorang

perempuan haid tidak diperkenankan membaca al-Qur‟an dan menyentuhnya

ketika dalam keadaan tidak suci.

Namun beberapa pendapat menyebutkan bahwasanya hadis-hadis yang

berkaitan dengan ketidakbolehan seorang perempuan haid membaca dan

menyentuh mushaf al-Qur‟an tidak ada yang bisa dijadikan hujjah karena status

kualitas hadisnya adalah ḏaif (lemah), hal ini disebabkan karena ada kecacatan

pada periwayat hadis tersebut. Begitu juga dengan firman Allah didalam al-

Qur‟an yang menjadi penguat pernyataan ini, ulama berbeda-beda pendapat

terhadap penafsiran mengenai ayat ini, seperti pendapat Ibnu Abbas yang

menafsirkan bahwasanya yang dimaksud almuṯahharûn (orang-orang yang

disucikan) di sini bukanlah ditujukan kepada manusia melainkan adalah malaikat

hal ini dilihat dari ayat sebelumnya yang berbunyi kitâbun maknûn (kitab yang

ada dilangit)20.

Akan tetapi imam an nawawi didalam kitab Al Tibyân Fî Adab Hamalatil

Qur‟an menyatakan bahwasanya para ulama telah berijma‟ tentang

20
Ibnu Katsir, tafsirul qur‟anil adzhim, jilid 4, hal 298
11

ketidakbolehan seorang perempuan yang haid menyengaja membaca kan al-

Qur‟an guna menghormati kesucian al- Qur‟an21

Dari beberapa persoalan di atas, terlihat jelas permasalahan yang dihadapi

oleh perempuan yang setiap bulan nya mengalami menstruasi, terlebih perempuan

yang sedang menempuh proses menghafal al-Qur‟an atau yang sedang mengejar

target dalam penyelesaian menghafalkan al-Qur‟an. Apakah mengabaikan hadis

tersebut diatas agar hafalan al-Qur‟an yang sedang ditempuh tidak hilang/lupa?

Atau pada lembaga yang background al-Qur‟an mempunyai fatwa tersendiri yang

memberikan rukhshoh (keringanan) terkait mengenai haid ini? Mengingat

beberapa pesantren ada yang menerapkan bolehnya seorang perempuan tetap

melanjutkan hafalan mereka ketika dalam keadaan haid, seperti di Pesantren An-

Nur, Ngerukem, Sewon, Bantul dan Yogyakarta.22 Kendati demikian ada juga

pesantren yang ketat menerapkan adab dalam membaca dan menyentuh mushaf

al-Qur‟an.

Dari permasalahan di atas penulis tertarik untuk membahas serta mengkaji

lebih lanjut mengenai permasalahan perempuan haid yang membaca dan

menyentuh mushaf al-Qur‟an berdasarkan hadis larangan seorang perempuan haid

membaca dan membawa mushaf al-Qur‟an di atas. Meskipun pembahasan ini

bukanlah sesuatu yang baru, dalam artian terkait hukum membaca dan menyentuh

mushaf al-Qur‟an sudah dibahas dan dikaji oleh ulama-ulama terdahulu, begitu

juga dengan dalil-dalil yang terkait dengan hal tersebut. Namun hal yang paling

mendasar penulis kembali mengangkat tema ini ialah terkait bagaimana penerapan

21
Abu Zakariyya Yahya bin Sarf al-Din al-Nawawi, al-Tibyân Fî Adab Hamalat al-
Qur‟an, (Beirut: Dar An-Nafa‟is, 1984)
22
M.Saiful Bahri, “Problematika Hukum Membaca Al- Qur‟an Bagi Wanita Haid Dalam
Proses Tahfidz”,(Skripsi S1 Syari‟ah, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, 2007)
12

hadis ini dikalangan masyarakat, yang mana terkadang sebagian masyarakat

menjadikan hadis ini sebagai dasar atau alasan tidak belajar al-Qur‟an jika sedang

dalam keadaan menstruasi atau bagi seorang penghafal al-Qur‟an hadis ini

dijadikan sebagai alasan untuk bermalas-malasan sehingga tidak perlu mengulang

dan menambah hafalan ketika menstruasi, hal ini pula yang menjadi pembeda

antara penelitian yang lain yang mengkaji seputar keshahihan dalil sehingga dapat

ditetapkan bahwa dalil terkait membaca dan menyentuh mushaf al-Qur‟an bisa

dijadikan dalil atau tidak.

Maka dari itu fokus penulis pada penelitian ini menyangkut bagaimana

hadis ini dipahami dan diterapkan oleh masyarakat terutama yang setiap harinya

berkecimpung dengan al-Qur‟an seperti kegiatan menghafal al-Qur‟an di sebuah

pesantren. Dalam hal ini penulis memusatkan penelitian di kalangan mahasiswi

pesantren takhassus al- Qur‟an IIQ Jakarta. Yang mana pesantren Institut Ilmu al-

Qur‟an (IIQ) Jakarta ini adalah sebuah pesantren yang memadukan antara

kegiatan kepesantrenan seperti menghafal al- Qur‟an dengan lembaga pendidikan

resmi perguruan tinggi (Institusi), yang mana yang menjadi syarat wajibnya

seorang mahasantri yang juga mahasiswi ini lulus ke semester selanjutnya jika ia

mampu menyelesaikan target hafalan yang diterapkan di kampus tersebut sesuai

dengan kategori yang diambil oleh si mahasiswi. Jika pada akhir semester

mahasiswi tersebut tidak bisa menyelesaikan target hafalan al-Qur‟an nya, maka

mahasiwi tersebut dianggap gagal dan harus mengulang pada semester

berikutnya.23

23
Wawancara langsung antara penulis dengan mahasiswi IIQ Jakarta pada tanggal 16-
november-2017
13

B. Identifikasi Masalah

Dari pembahasan latar belakang masalah diatas, tentu nya banyak

ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan perempuan haid yang mana

permasalahan tersebut berkaitan dengan seputar ibadah sehari-hari seorang

perempuan seperti:

1. Larangan melaksanakan sholat dan puasa

2. Larangan melaksanakan tawaf dibaitullah

3. Larangan masuk masjid ketika haid

4. Larangan berjima‟ bagi suami istri

5. Larangan membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an. Dll

C. Pembatasan Masalah

Melihat luasnya bahasan masalah terkait persoalan perempuan haid ini

maka di sini penulis membatasi penelitian yang akan diteliti hanya pada larangan

bagi perempuan haid membaca dan menyentuh mushaf al-Qur‟an, yang mana

penulis akan memaparkan hadis yang sebelumnya sudah penulis sebutkan di atas

sebagai tolak ukur adanya larangan membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an

dengan fakta yang ada dilapangan.

Sehingga fokus penulis pada penelitian ini yaitu bagaimana hadis ini

dipahami oleh santri Pesantren Takhassus IIQ Jakarta, serta penerapan hadis ini

pada keseharian mahasantri IIQ, yang mana setiap mahasantri nya di bebankan

target penyelesaian hafalan sampai batas waktu yang di tentukan,.

D. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pemahaman hadis tentang larangan membaca dan menyentuh

mushaf al-Qur‟an di kalangan mahasiswi pesantren takhassus IIQ Jakarta?


14

2. Bagaimana penerapan hadis tersebut jika dikaitkan dengan keseharian

mahasiswi Pesantren Takhassus IIQ Jakarta?

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari ada penenlitian ini, adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat menyikapi larangan dan

kebolehan hadis tesebut serta bagaimana mengaplikasikan hadis tesebut ,

khususnya pada lingkungan yang background nya adalah al- Qur‟an

seperti pesantren. Dalam penelitian ini penulis memilih pesantren

takhassus IIQ Jakarta sebagai obyek penelitian.

Adapun Manfaat dari penelitian ini, adalah:

1. Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan sekaligus sebagai syarat untuk

memperoleh gelar sarjana program studi tafsir al- Qur‟an dan hadits di

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Sebagai bahan masukan guna menambah wawasan keilmuan khususnya

penulis dan umumnya kepada para pembaca sebagai bahan rujukan bagi

pihak-pihak yang berkepentingan terhadap masalah ini.

F. Tinjauan Pustaka

Imam Al-Nawawi salah satu ulama di kalangan madzhab syafii

berpendapat di dalam kitabnya Al-Majmû‟ Syarah Al- Muhadzdzab bahwasanya

para ulama madzhab berpendapat hukum bagi seorang wanita haid yang membaca

al- Qur‟an adalah haram, sebagaimana pendapat ini masyhur dikalangan syafii.24

24
Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf Al- Nawawi, Al- majmu‟ syarah al
Muhadzdzab,(Beirut: Dar Al- Fikr, 1994) jilid 2, hal 357
15

Syekh Kamil dalam bukunya yang berjudul Fiqih Wanita bahwasanya

wanita diperbolehkan membaca Al- Qur‟an, akan tetapi terlarang dalam

menyentuh mushafnya.25

Dalam kajian ilmiah penulis menemukan penelitian ilmiah yang serupa

dengan penelitian yang penulis lakukan:

1. Fauziatul Akmal, ”Pengetahuan jamaah majelis taklim kecmatan Ciputat

Timur terhadap hadis membaca dan menyentuh mushaf al-Qur‟an bagi

wanita haid dan junub” (Skripsi, 2009), bahawasanya dari segi

keseluruhan sanad hadis tentang larangan membaca al- Qur‟an bagi

perempuan haid adalah hasan, dan pemahaman mayoritas jamaah majlis

taklim ciputat tentang hadis tersebut adalah haram membaca al- Qur‟an

ketika haid.26

2. Ahmad Zainunnashih, “Pandangan Ulama Terhadap Kebolehan Wanita

Haid Dalam Membaca dan Menyentuh Al Qur‟an” (Skripsi, 2013),

bahwasanya terkait masalah hukum boleh atau tidaknya seorang

perempuan haid membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an Nabi SAW

tidak melarang secara jelas, dan belum dtemukan hadis yang shahih, maka

persoalan ini masih kental dengan ikhtilafiyah. Adapun adanya sebagaian

pendapat yang membolehkan hal itu dijadikan dalil sebagai solusi bagi

25
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita : Edisi Lengkap (Jakarta : Pustaka
al-Kautsar, 2008), 77.
26
Fauziatul Akmal, “Pengetahuan Jamaah Majelis Taklim Kecamatan Ciputat Timur
Terhadap Hadis Membaca dan Menyentuh Al- Qur‟an Bagi Wanita Haid dan Junub,”(Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, 2009)
16

wanita haid yang mengikuti Musabaqah Tilawah Al Qur‟an (MTQ) atau

wanita haid yang hendak mengulang-ulang hafalan al- Qur‟annya.27

3. Sapnah, “Menstruasi Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah :

Studi Atas Surat Al Baqarah Ayat 222” (Skripsi, 2009), bahwasanya darah

Haid mencegah seorang perempuan dalam melakukan ibadah seperti

berjima‟ antara suami dan istri, shalat, membaca atau menyentuh al-

Qur‟an, haji, thawaf, puasa dll.28

4. Syarif Rahmat, “Berwudu untuk memegang mushaf al- Qur‟an” (Jurnal,

Buletin Jum‟at Qum, 2005), bahwasanya ulama madzhab empat (Abu

Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad bin Hanbal) sepakat bahwasanya orang

yang tidak memiliki wudu tidak diperkenankan untuk memegang mushaf

al-Qur‟an, hal ini juga disampaikan oleh oleh mantan rektor Universitas Al

Azhar Mesir, Syekh Jadul Haq bahwa seornag muslim tidak boleh

menyentuh mushaf al-Qur‟an atau membawanya kecuali dalam keadaan

berwudu sebagai bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap al-

Qur‟an.29

Dari beberapa pembahasan diatas yang serupa dengan penenlitian yang

penulis lakukan perbedaan nya terletak pada tempat penelitian dan pembahasan

yang dikaji yaitu melalui kritis sanad hadis nya.

27
Ahmad Zainunnashih, “Pandangan Ulama Terhadap Kebolehan Wanita Haid Dalam
Membaca dan Menyentuh Al Qur‟an,”(Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri (UIN) Jakarta, 2013)
28
Sapnah, “Menstruasi Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah : Studi Atas
Surat Al Baqarah Ayat 222,”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2009)
29
Syarif Rahmat, “Berwudu Untuk Menyentuh Mushaf al- Qur’an”, Buletin Jum’at Qum ,
No. 209 (Desember 2005)
17

G. Metodologi Penelitian

1. Metode penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian lapangan

(field research) yaitu dengan cara langsung meneiliti objek yang akan diteliti guna

mendapatkan data yang akurat. Penelitian lapangan ini pada hakikatnya

merupakan metode spesifik tentang apa yang terjadi pada objek penelitian.30

Dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif yaitu metode yang digunakan

untuk menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan antara variabel,

sehingga data yang terdiri dari angka-angka dapat dianalisis berdasarkan prosedur

statistik. Dan analisa data yang penulis gunakan di sini adalah statistik deskriptif

yaitu penyajian data statistik yang sudah diproses melalui program SPSS

kemudian data tersebut dijabarkan dan diuraikan berupa keterangan-keterangan

yang diperoleh dari keadaan, gejala, atau fenomena dan persoalan yang didapat di

lapangan. penyajian data statistik deskriptif biasanya tersaji dalam bentuk tabel,

diagram dsb.31 Dalam prosesnya penulis menggambarkan langsung dan

mengumpulkan data tentang pemahaman mahasiswi IIQ terhadap hadis larangan

membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an di Pesantren Takhassus IIQ Jakarta

sebagai tempat penelitian. Dengan menyertakan sumber data-data pendukung

seperti buku, kitab, karya ilmiyah dan sumber-sumber data yang relevan dengan

penelitian.

30
Emriz, Metodologi Penelitian Pendidikan: kualitatif dan kuantitatif,(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2008), h. 169.
31
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Kara
Ilmiah,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 38
18

2. Sumber Data

Dalam proses pengumpulan data, penulis mengumpulkan sebanyak-

banyak nya data yang di peroleh mengenai masalah yang berkaitan dengan

penelitian ini, diantara nya dengan menggunakan data primer dan data sekunder.32

a. Data primer adalah sumber data utama atau pokok yang menjadi

data utama dalam objek penelitian ini yang dianataranya diperoleh melalui

responden melalui angket yang disebarkan. Dalam hal ini responden yang penulis

maksud adalah mahasiswi semester II IIQ prodi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir.

b. Data sekunder adalah data pendukung yang diperoleh dari sumber

yang berkaitan dengan penelitian ini diantaranya melalui wawancara kepada pihak

lembaga terkait Pesantren Takhassus IIQ Jakarta dan kajian pustaka berupa kitab-

kitab takhrij, buku, skripsi, tesis dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.33

3. Populasi dan Sampel

Populasi mempunyai arti yang bervariasi , menurut Babbie (1983), tidak

lain adalah elemen penelitian yang hidup dan tinggal bersama-sama dan secara

teoritis menjadi target hasil penelitian. Jadi, populasi adalah semua anggota

kelompok manusia, yang tinggal bersama dalam satu tempat dan secara terencana

menjadi target kesimpulan dari hasil akhir suatu penelitian.34 dalam hal ini adalah

mahasiswi semester II IIQ Jakarta.

Sedangkan sampel adalah, sebagian dari jumlah populasi yang dipilih

untuk sumber data tersebut. Dengan kata lain sampel adalah sejumlah anggota

yang dipilih dari populasi, Kemudian syarat yang paling penting untuk

32
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Kara Ilmiah,h.
137
33
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif,
(Bandung: al- Fabeta, 2010)h. 193
34
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), h. 53
19

diperhatikan dalam pengambilan sampel ada dua macam, yaitu jumlah sampel

yang mencukupi dan profil sampel yang dipilih harus mewakili keadaan populasi

yang sesungguhnya.35

Tekhnik pengambilan sampel yang penulis terapkan pada penelitian ini

dengan menggunakan tekhnik purposive sampling36, yaitu tekhnik pengambilan

sampel dengan cara memperhatikan karakteristik tertentu dari populasi atau

dengan pertimbangan tertentu. Dalam penelitian ini penentuan jumlah sampel

yang diambil dari populasi yang ada dengan mempertimbangkan pertama

bahwasanya di Pesantren Takhassus IIQ Jakarta yang diwajibkan untuk bermukim

adalah satu tahun sehingga yang menjadi target sampel dalam penelitian ini

adalah Mahasiswi semester II IIQ, sedangkan mahasisiwi semester IV dan

seterusnya tidak dianggap sebagai mahasantri dikarenakan sudah tidak bermukim

di area pesantren. Kedua dalam penelitian ini sasaran penelitian yang dijadikan

sampel adalah mahasiswi prodi Ilmu al- Qur‟an dan Tafsir dengan melihat

pertimbangan latar belakang pendidikan mahasiswi Ilmu al- Qur‟an dan Tafsir

adalah dominan lulusan dari pesantren sehingga tentu ini akan berpengaruh pada

pembahasan pada penelitian ini.

Adapun jumlah populasi keseluruhan Mahasiswi Semester II IIQ Prodi Ilmu

al- Qur‟an dan Tafsir berjumlah 100 orang, dan sampel yang diambil berjumlah

80 orang.

4. Tekhnik Pengumpulan Data

a. Interview(Wawancara)

35
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, h. 54
36
Yaitu merupakan tekhnik penentuan sampel dengan pertimbangan khusus sehingga
layak untuk dijadikan sampel, (Baca Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis,
Disertasi dan Karya Ilmiah, h. 155)
20

yaitu mengumpulkan data dan informasi melalui Tanya jawab langsung

dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak terstruktur maksudnya

susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat berubah

pada saat wawancara sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wawancara.37

b. Kuisioner (Angket)

Yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan memberikan seperangkat

pertanyaan tertulis yang telah dipersiapkankan sebelumnya untuk memperoleh

informasi dari informan.38 Angket di sini diperlukan untuk memperoleh informasi

dari mahasantri takhassus IIQ Jakarta khususnya mahasiswi Prodi Ilmu Al-

Qur‟an dan Tafsir terkait pemahaman nya mengenai larangan hadis membaca dan

menyentuh mushaf al-qur‟an dalam keadaan haid.

5. Analisa Data

Dalam analisis data penulis menggunakan analisis statistik deskriptif.

Dimana peneliti mengungkapkan data dan fakta secara ilmiah tanpa mengurangi

sedikitpun subjek dan objek penelitian. Dalam pengolahan tersebut peneliti

menggabungkan antara data primer yaitu data hasil penyebaran angket dengan

data sekunder berupa hasil wawancara dan juga kajian kepustakaan yang mana

kedua data tersebut menjadi sebuah data yang bisa saling melengkapi sehingga

bisa di deskripsikan. Setelah itu, penulis akan menafsirkan hasil dari

penggabungan dua data tersebut menjadi sebuah narasi deskriptif yang diuraikan

kedalam bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti.

37
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan,(Jakarta: PT Bumi Aksara,
2005), h. 179
38
Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 24
21

Sedangkan perhitungan angket pemahaman tentang hadis larangan

membaca dan menyentuh mushaf al-Qur‟an dengan menggunakan pengukuran

skala model Likert, untuk mengukur pengetahuan, sikap dan pendapat seseorang

atau sekelompok orang terhadap fenomena sosial. Skala sikap digunakan untuk

mengungkapkan sikap pro dan kontra, positif dan negatif, serta setuju dan tidak

setuju terhadap suatu objek sosial. Skala model likert disediakan 5 alternatif

jawaban, yang mana setiap item instrument nya mempunyai gradasi dari sangat

setuju sampai sangat tidak setuju dengan penilaian 5 untuk point sangat setuju,

dan 1 untuk point sangat tidak setuju.39

Skala pemahaman tentang hadis larangan membaca dan menyentuh mushaf

al-Qur‟an terdiri dari 20 pertanyaan. Data yang sudah dikumpulkan kemudian

disusun dalam bentuk distribusi sesuai dengan frekuensinyan dan dimasukkan

dalam bentuk tabel yang disebut dengan tabel distribusi. Tabel distribusi frekuensi

dibagi menjadi dua, yaitu distribusi frekuensi tunggal dan distribusi frekuensi

kelompok. Dan pada penelitian ini penulis menggunakan tabel distribusi frekuensi

kelompok. Adapun langkah-langkah perhitungannya sebagai berikut:

 Mengurutkan data dari yang terkecil sampai ke yang terbesar

 Menentukan rentang (R); skor tertinggi - skor terendah

 Menentukan jumlah kelas interval dengan rumus: Kriterium Sturges;

K=1 + 3,322 Log N, dimana k adalah banyaknya kelas dan n adalah

banyaknya nilai observasi

 Menentukan panjang kelas interval (i) dengan rumus i=R/K

39
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta,
2006), h. 137
22
23

Sedangkan data tanggapan responden terhadap kuesioner penelitian

dianalisis menggunakan program komputer excel dan SPSS dan didapatkan

hasil skor dari masing-masing responden.

6. Tekhnik penulisan

Adapun tekhnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada panduan buku

pedoman akademik 2013/2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta41

H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tersebut dimaksudkan sebagai gambaran yang akan

menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat memudahkan

dalam memahami dan masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun sistematika

penulisan tersebut, adalah sebagai berikut:

Bab I, merupakan pendahuluan yang berisi uraian secara global, kemudian

dirinci ke dalam bab yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah , batasan

dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian,

tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan.

Bab II, pada bab ini berisi tentang hal-hal yang terkait dengan hadis-hadis

yang membahas seputar apa saja yang di larang bagi perempuan haid (hadis

tentang sholat, hadis puasa, hadis mengenai haji, hadis masuk masjid, hadis

berjima‟ dengan istri), kemudian kritik hadis

Bab III, pada bab ini berisi tentang profil pesantren IIQ Jakarta (sejarah,

Visi Misi, Tujuan dan kebijakan target hafalan IIQ Jakarta) bagaimana pendapat

dewan pengasuh mengenai hadis larangan dan kebolehan perempuan haid

membaca dan membawa mushaf al-Qur‟an.

41
Pedoman akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-
2014
24

Bab IV, pada bab ini berisi tentang pemahaman hadis tersebut sebagai

fakta ilmiyah dengan praktek realita zlapangan dikalangan para mahasiswi ,

berikut juga aplikasi hadis tersebut dengan kebijakan yang berlaku di lingkungan

pesantren.
BAB II

HADIS – HADIS SEPUTAR LARANGAN BAGI WANITA


HAID
1. Hadis Larangan Perempuan Haid Melaksanakan Sholat dan Puasa

Salah satu syarat sahnya salat ialah suci dari najis, karena sholat nya

seseorang yang tanpa wudhu tidak akan diterima, hal ini jelas tertera di dalam

sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitabnya.

‫َخبَ َرنَا َم ْع َمٌر َع ْن ََهَّ ِام بْ ِن‬


ْ ‫ال أ‬
ِ ‫الرز‬
َ َ‫َّاق ق‬ َّ ‫َخبَ َرنَا َعْب ُد‬
ْ ‫ال أ‬َ َ‫احلَْنظَلِ ُّي ق‬
ْ ‫يم‬ ِ ِ ُ ‫حدَّثَنا إِسح‬
َ ‫اق بْ ُن إبْ َراى‬ َْ َ َ
‫ث َح ََّّت‬ َ ‫َح َد‬ ِ ُ ‫ال رس‬ ُ ‫ُمنَب ََِس َع أبَا ُىَريْ َرَة يَ ُق‬
ْ ‫ص ََلةُ َم ْن أ‬ َ ‫ول اهلل صلى اهلل عليو وسلم الَ تُ ْقبَ ُل‬ ُ َ َ َ‫ول ق‬
)‫ط (رواه البخاري‬ ٌ ‫ضَرا‬ُ ‫ال فُ َساءٌ اَْو‬ َ َ‫ث يَا أَبَا ُىَريْ َرَة ق‬
ُ ‫ت َما احلَ َد‬ َ ‫ضَر َم ْو‬ْ ‫ال َر ُج ٌل ِم ْن َح‬ َ َ‫ضأَ ق‬ َّ ‫يَتَ َو‬
Di riwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah telah bersabda, “
Salat orang yang berhadas tidak diterima sebelum dia berwudhu”. Seorang laki-
laki dari hadhramaut bertanya,” Hai Abu Hurairah, apa hadas itu? Abu Hurairah
menjawab, “kentut , bersuara ataupn tidak”
Namun pada hadis di atas yang dimaksud adalah hadas kecil, berbeda

dengan haid yang tergolong kepada hadas besar, yang mana diwajibkan untuk

mandi ketika sudah suci dari haid. Jika syarat diterimanya salat adalah suci dari

hadas kecil maupun besar, maka syarat diterimanya puasa ialah bersih dari hadas

besar seperti haid ataupun nifas.

Di samping itu, pelarangan puasa bagi orang haid ini sifatnya tegas,

berbeda dengan pengecualian yang lain seperti tidak berpuasa bagi orang yang

sakit, atau tidak berpuasa bagi orang yang sudah renta/tua yang sifat pembolehan

tidak berpuasanya adalah bentuk keringanan. Sedangkan perempuan yang haid itu

kondisi kesehatannya menurun, kurang fit, dan emosi yang kadang tidak stabil.

Oleh karena itu, Islam memberikan keringanan tidak wajib berpuasa, bahkan

diharamkan melaksanakannya. Pelarangan ini juga bukan merupakan rukhshah

25
26

yang berlebihan akan tetapi merupakan bentuk kasih sayang Allah untuk menjaga

kesehatan fisik dan saraf wanita, baik itu jiwa maupun raganya. 1

Rasulullah saw bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah RA

‫ َع ْن‬،‫ َع ْن أَبِ ِيو‬،‫ َحدَّثَنَا ِى َش ُام بْ ُن عُ ْرَوَة‬،َ‫ َحدَّثَنَا أَبُو ُم َعا ِويَة‬:‫ال‬ َ َ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ٌد ُى َو ابْ ُن َسَلٍَم ق‬
‫ول اللَّ ِو‬
َ ‫ يَا َر ُس‬:‫ت‬ ِ
ْ َ‫صلَّى اهللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم فَ َقال‬ َ ‫َّب‬‫ش إِ َل النِ ي‬ٍ ‫ت أَِب ُحبَ ْي‬ ِ
ُ ‫ت فَاَ َمةُ بِْن‬ ْ َ‫ َجاء‬:‫ت‬
ِ
ْ َ‫َعائ َشةَ قَال‬
ِ ِ‫ إََِّّنَا َذل‬،َ‫ «ال‬:‫ول اللَّ ِو صلَّى اهلل َعلَي ِو وسلَّم‬
‫ك‬ َ ََ ْ ُ َ ُ ‫ال َر ُس‬ َّ ُ‫اض فََلَ أََْ ُه ُر أَفَأ ََدع‬
َ ‫الصَلََة؟ فَ َق‬ ُ ‫ُستَ َح‬ ْ ‫إِ يِن ا ْمَرأَةٌ أ‬
»‫صليي‬ َّ ‫ك‬ِ ‫ت فَا ْغ ِسلِي َعْن‬ َّ ‫ك فَ َد ِعي‬
ْ ‫ َوإِ َذا أ َْدبََر‬،‫الصَلََة‬ ِ ُ‫ضت‬ ْ َ‫ فَِإ َذا أَقْ بَ ل‬،ٍُ ‫ َولَْيس ِِبَْي‬،‫ِع ْر ٌق‬
َ َّ‫الد َم ُُث‬ َ ‫ت َحْي‬ َ
ِ ٍ ِ ِ
)‫ت» (رواه البخاري‬ ُ ْ‫الوق‬
َ ‫ك‬ َ ‫ َح ََّّت َِجييءَ َذل‬،‫صَلَة‬ َ ‫ « ُُثَّ تَ َوضَّئي ل ُك يل‬- :‫ال أَِب‬ َ َ‫ َوق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬-
“dari 'Aisyah berkata, "Fatimah binti Abu Hubaisyi datang menemui Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah seorang
wanita yang keluar darah istihâḏah (darah penyakit) hingga aku tidak suci.
Apakah aku boleh meninggalkan salat?" Rasulullah SAW lalu menjawab:
"Jangan, sebab itu hanyalah semisal keringat dan bukan darah haid. Jika datang
haidmu maka tinggalkan salat, dan jika telah terhenti maka bersihkanlah sisa
darahnya lalu salat." Hisyam berkata, "Bapakku (Urwah) menyebutkan,
"Berwudulah kamu setiap akan salat hingga waktu itu tiba.”2
Di dalam riwayat Ibnu Majah ada penambahan “dan jika ada darah

menetes keatas tikar”. Dari teks hadis ini dijelaskan bahwasanya jika darah

mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya, itu merupakan darah haid

melainkan istihâḏah, sebab keluar bukan dari dalam rahim. Dalam riwayat lain

Rasulullah SAW menjelaskan: Darah haid dapat dikenal, warnanya adalah hitam.

Jika dalam keadaan demikian maka tinggalkan lah salat.3

Di dalam hadis lain Rasulullah bersabda:

ِ َ‫َسلَ َم َع ْن ِعي‬
‫اض‬ ْ ‫َخبَ َرِِن َزيْ ٌد ُى َو ابْ ُن أ‬ َ َ‫َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َج ْع َف ٍر ق‬
ْ ‫ال أ‬ ْ ‫ال أ‬ ُ ِ‫َحدَّثَنَا َسع‬
َ َ‫يد بْ ُن أَِب َم ْرَََي ق‬
َّ ِ َّ َّ َ ‫ول اللَّ ِو‬ ٍ ِ‫ب ِن عب ِد اللَّ ِو عن أَِب سع‬
‫ت‬ َ ‫س إِ َذا َح‬
ْ ‫اض‬ َ ‫أَلَْي‬...( ‫صلى اللوُ َعلَْيو َو َسل َم‬ ُ ‫ال َخَر َج َر ُس‬ َ َ‫ي ق‬ ‫اخلُ ْد ِر ي‬
ْ ‫يد‬ َ َْ َْ ْ
)‫) (رواه البخاري‬...‫ص ْم‬ ُ َ‫ص يل َوَملْ ت‬
َ ُ‫َملْ ت‬
1
Yusuf Qardhawi, Tirulah Puasa Nabi: Resep Ilahi Agar Sehat Jasmani-Ruhani.
Penerjemah Danis Wijaksana (Bandung: PT Mizan Pustaka,2011), h. 63
2
Al- Bukhârî, Sahîh Bukhârî, Kitab Haid, Bab Mencuci Darah, j.1, no. 221
3
Ibnu Hazm Al Husaini Al Hanafi Ad Damsyiqi, Asbabul Wurud 1, Latar Belakang
Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul, terj. Suwarta Wijaya, (Jakarta: Kalam Mulia,2011), h. 38-
39
27

“Dan bukankah apabila kalian haid tidak bisa berpuasa dan tidak bisa salat?” 4
Hadis ini menjadi landasan wanita yang sedang haid tidak berdosa karna

meninggalkan salat, dan meninggalkan puasa. Meski di dalam hadis tersebut

mengandung pernyataan terkait keringanan bagi perempuan haid tidak

menjalankan ibadah puasa dan salat akan tetapi Perempuan haid wajib mengqada‟

(mengganti) puasa nya ketika ia telah suci dari haid berbeda dengan salat, tidak

wajib menqaḏa‟ salatnya bahkan diharamkan. Akan tetapi dikalangan syafi‟iyah

menyatakan bahwa mengqada‟ salat hukumnya makruh dan menjadi salat sunnah

mutlak yang tidak mendapatkan pahala.5

Hal ini termaktub di dalam sebuah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh

Muslim:

‫ت َعائِ َش َة‬ ِ ِ َّ ‫حدَّثَنَا عب ُد بن ُْحي ٍد أَخب رنَا عب ُد‬


ْ َ‫َخبَ َرنَا َم ْع َمٌر َع ْن َعاص ٍم َع ْن ُم َعا َذ َة قَال‬
ُ ْ‫ت َسأَل‬ ْ ‫الرزَّاق أ‬ َْ َ َ ْ َْ ُ ْ َْ َ
ٍ‫ت قُ ْلت لَست ِِبروِريَّة‬ ِ ْ‫الص ََل َة فَ َقالَت أَحروِريَّةٌ أَن‬ ِ
َّ ‫الص ْوَم َوَال تَ ْقضي‬ ِ
َّ ‫ُ تَ ْقضي‬ ِ
ِ ‫احلَائ‬
ْ ‫ال‬ ُ َ‫ت َما ب‬
َُ ُ ْ ُ َُ ْ ُ ‫فَ ُق ْل‬
)‫الص ََل ِة (رواه مسلم‬ َّ ‫ض ِاء‬ ِ َّ ‫صيب نا َذلِك فَن ؤمر بِقض ِاء‬ ِ ِ
َ ‫الص ْوم َوَال نُ ْؤَم ُر بَِق‬ َ َ ُ َ ْ ُ َ َُ ُ‫ت َكا َن ي‬ ْ َ‫َسأ َُل قَال‬
ْ ‫َولَك يي أ‬
“Dan telah menceritakan kepada kami Abd bin Humaid telah mengabarkan
kepada kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Ashim
dari Mu'adzah dia berkata, "Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, 'Kenapa
gerangan wanita yang haid mengqadha' puasa dan tidak mengqadha' salat? ' Maka
Aisyah menjawab, 'Apakah kamu dari golongan Haruriyah? “Aku menjawab,
“Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya”. Dia menjawab, “Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqada' puasa
dan tidak diperintahkan untuk mengqada' salat'." (HR. Muslim) 6
Adapun alasan yang disebutkan oleh para ulama untuk membedakan antara

puasa dan salat adalah bahwa salat adalah ibadah yang berulang-ulang, maka tidak

wajib diganti karna hal itu akan menyusahkan.7 Dan ini merupakan rahmat Allah

4
Abi „Abdillah Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim Al Bukhari, Sahîh al- Bukhârî,
Kitab Al Syahadah, Bab Syahadah Al Nisa‟, No. 2484, h. 178
5
Wahbah Az-Zuhaili, Al- Fiqhul Islâmî Wa Adilatuhû, terj. Masdar Hilmy, ( Bandung:
Pustaka Media Utama) h.402
6
Muslim bin Hajjaj Abu al Hasan al Qusyairi al Naisabûrî, Sahîh Muslim, (Kairo:
Maktabah Al Islamiyah, 1432 H/ 2011 M), Kitab Haid, Bab Wajib Mengganti Puasa, No.69, h. 78
7
Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Bâri Syarah: sâhih Bukhârî, terj. Gazirah Abdi Ummah,
(Jakarta: Pustaka Azzam), 2002, h. 553
28

SWT, karna jika salat harus diqaḏa‟, tentu akan sangat memberatkan karena

banyaknya jumlah salat yang ditinggalkan pada hari-hari haid. Berbeda dengan

puasa yang hanya dilakukan sekali setahun , yaitu pada bulan ramadhan. Dan hari-

hari haid seorang perempuan normal berlaku 6-7 hari, sehingga tidak akan

memberatkan dan menyusahkan jika dikerjakan oleh seorang wanita.8

2. Hadis Larangan Perempuan Haid Melaksanakan Tawaf

Sejumlah rangkaian ibadah haji yang tidak diperkenankan oleh ulama untuk

dilakukan ketika haid adalah tawaf dan sai. Namun perkara seorang perempuan

harus suci ketika tawaf mayoritas ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama

menganggap bahwasanya tawaf dikategorikan sama dengan salat, hanya saja

pelaksanaan tawaf dibolehkan berbicara. Sebagaimana yang tertera dalam sebuah

hadis Nabi SAW.

‫ ثنا‬،‫الص َم ِد بْ ُن َح َّسا َن‬ َّ ‫ ثنا َعْب ُد‬،ُّ‫صالِ ٍح ا ْذلَْم َد ِاِن‬ ِ


َ ‫ ثنا ُُمَ َّم ُد بْ ُن‬،‫َحدَّثَنَا َعل ُّي بْ ُن ْحَْ َشاذَ الْ َع ْد ُل‬
‫ال‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ َر ِض َي اللَّوُ َعْن ُه َما‬،‫اس‬ ٍ َّ‫ َع ِن ابْ ِن َعب‬،‫ َع ْن ََ ُاو ٍس‬،‫ب‬ َّ ‫ َع ْن َعطَ ِاء بْ ِن‬،‫ي‬
ِ ِ‫السائ‬ ُّ ‫ُس ْفيَا ُن الث َّْوِر‬
‫ فَ َم ْن‬،‫َح َّل لَ ُك ْم فِ ِيو الْ َك ََل َم‬ َّ ‫ص ََلةٌ إَِّال أ‬
َ ‫َن اللَّ َو أ‬
ِ ِ ُ ‫ «الطَّو‬:‫ول اللَّ ِو صلَّى اهلل علَي ِو وسلَّم‬
َ ‫اف بالْبَ ْيت‬ َ َ ََ َْ ُ َ ُ ‫َر ُس‬
)‫يَتَ َكلَّ ُم فَ ََل يَتَ َكلَّ ُم إَِّال ِِبٍَْي» (رواه احلاكم‬
“Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah Saw bersabda;” tawaf dibaitullah adalah
sebagaimana salat, kecuali melaksanakannya diperbolehkan berbicara, maka
barang siapa berbicara, maka janganlah berbicara kecuali berupa perkataan
/ucapan yang baik”.9
Di dalam hadis lain yang menjadi dalil perempuan harus suci ketika tawaf

adalah ketika Aisyah melaksanakan umroh, lalu ia menangis dikarenakan haid,

lalu Rasulullah SAW memerintahkan untuk tidak tawaf mengelilingi ka‟bah.

8
Hendrik, Problema Haid: Tinjauan Syariat Islam dan Medis, (Solo: Tiga
Serangkai,2006), h.192
9
Abu Abdillah Al Hakîm muhammad bin Abdullah bin Na‟im bin Al Hakam Al- Ḏabi
Al- Aṯahmani Al Naisabûri, Mustadrak „Alâ sahîhain, (Beirut: Dar Al Kutub Al‟ilmiyah, 1411 H/
1995 M), Kitab Manasik, J.1, No. 1686, h.630
29

‫اس ِم قال َسعت‬ ِ ‫الر ْْح ِن ب ِن الْ َق‬ ِ


ْ َ َّ ‫ َسعت َعْبد‬:‫ حدثنا سفيان قال‬:‫حدثنا علي بن عبد هلل قال‬
‫ت‬ُ‫ض‬ ْ ‫ف ِح‬ َ ‫احلَ َّج فلما ُكنَّا بِ َس ِر‬ْ ‫القاسم يقول َسعت َعائِ َشةَ َر ِض َي اللَّوُ َعْن َها تقول َخَر ْجنَا َال نَُرى إَِّال‬
‫ال إِ َّن َى َذا‬ ِ ِ َ ‫فَ َدخل علَي النَِّب صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم وأَنَا أَب ِكي فَ َق‬
َ َ‫ت نَ َع ْم ق‬ ُ ‫ قُ ْل‬:‫ت‬ْ َ‫ال أَنَف ْست؟ قَال‬ ْ َ َ ََ َْ ُ َ ُّ َّ َ َ َ
ِ ِ ‫ضي ما ي ْق‬ ِ ِ
‫ض َّحى‬ َ ‫ت َو‬ ْ َ‫اج َغْي َر أَ ْن َال تَطُ ِوِف بِالْبَ ْيت قَال‬
ُّ َ‫احل‬
ْ ‫ضي‬ َ َ ْ‫آد َم فَاق‬ َ ‫َش ْيءٌ َكتَبَوُ اللَّوُ َعلَى بَنَات‬
)‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َع ْن نِ َسائِِو بِالْبَ َق ِر (رواه البخاري‬ ِ ُ ‫رس‬
َ ‫ول اللَّو‬ َُ
“dari 'Abdurrahman bin 'Abdullah Al Qasim dari Al Qasim bin Muhammad
dari 'Aisyah ia berkata, "Kami keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dan tidak ada yang kami ingat kecuali untuk menunaikan hajji. Ketika kami
sampai di suatu tempat bernama Sarif aku mengalami haid. Lalu Nabi shallallahu
'alaihi wasallam masuk menemuiku saat aku sedang menangis. Maka beliau
bertanya: "Apa yang membuatmu menangis?" Aku jawab, "Demi Allah, pada
tahun ini aku tidak bisa melaksanakan haji!" Beliau berkata: "Barangkali kamu
mengalami haid?" Aku jawab, "Benar." Beliau pun bersabda: "Yang demikian itu
adalah perkara yang sudah Allah tetapkan buat puteri-puteri keturunan Adam.
Maka lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji kecuali tawaf di Ka'bah
hingga kamu suci.”10
Namun beberapa menganggap bahwa hadis tentang tawaf sama dengan salat

ini tertolak seperti Ibnu Taimiyah dan ulama yang lain sepakat bahwasanya

wudhu ketika ingin tawaf tidak wajib, dikarenakan hadis tersebut mauquf,

kemudian adanya pelarangan mengenai tawaf ketika haid, hal ini bukan karna

tawaf harus berwudhu akan tetapi karna tawaf dilakukan di masjid 11, Begitu juga

yang diungkapkan oleh syaikhul Islam di dalam kitab majmû‟ fatawâ bahwasanya

bersuci dari hadas tidaklah diwajibkan di dalam tawaf, meski dianjurkan untuk

ṯaharah kecil (berwudhu), namun itu juga tidak terdapat dalil syar‟i yang

mewajibkan taharah kecil ketika tawaf. Pendapat ini juga dikutip oleh Ibnu Hazm

di dalam kitabnya Al Muhalla. 12

Dan pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan tidak boleh seorang

perempuan haid tawaf adalah karna masjidnya, terlebih masjidil haram adalah
10
Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al Bukhari, Sâhîh Bukhâri,
(Kairo: Darul Fikr,tt), Kitab Haid, j.1, no. 294, h. 76
11
„Adil Sa‟di, Fiqh Al Nisa, Thaharah Salat, terj. Abdurrahim, (Jakarta : PT Mizan
Publika, 2006) H. 47
12
Abu Malik Kamil Ibn Sayyid salim, Fikih Sunnah Wanita: Referensi Fikih Wanita
Terlengkap, terj. Firdaus, (Jakarta: Qisti Press, 2013),h.47
30

sebaik-baik masjid, sebagaimana firman allah SWT kepada Nabi Ibrahim dalam

QS. Al- Baqarah: 125

‫الس ُج ْوِد‬ ِِ ِِ ِ ِ ‫أَ ْن ََ يهر ب ي‬


ُّ ‫الرَّك ِع‬
ُّ ‫ني َو‬ َ ْ ‫ِت للطَّآئف‬
َ ْ ‫ني َوالْ َعاكف‬ َ َْ َ
“Sucikan lah rumah-Ku untuk orang-orang yang melaksanakan tawaf,
i‟tikaf, rukuk dan sujud”
Ayat ini menunjukkan bersucinya wanita bukan syarat melaksanakan tawaf,

sama seperti bersucinya seorang wanita untuk melaksanakan salat. Akan tetapi,

Allah menjadikan termasuk dalam perkara-perkara yang menyebabkan tidak

bolehnya wanita untuk melakukan iktikaf di dalam masjidil haram ketika dalam

keadaan haid. Karena itulah wanita yang sedang dalam keadaan haid tidak

dilarang untuk melakukan berbagai macam kegiatan manasik haji. 13

Sedangkan di dalam kitab Al-majmu‟, Al- Nawawi berkata, para ulama

sepakat tentang tidak ada halangan bagai perempuan haid dan nifas untuk

melakukan rangkaian ritual ibadah haji kecuali tawaf dan salat dua rakaat untuk

tawaf. baik itu wajib maupun sunnah. Ijma‟ ini pun kemudian disepakati oleh Ibnu

Jarir al-Tabari dan yang lainnya.14

Para imam mazhab empat telah sepakat melarang orang haid dan nifas karna

hadis ini, selanjutnya jika dia menyalahi ketentuan di atas dan melakukan tawaf

rukun, maka tidak sah tawafnya dan tidak bisa di ganti dengan dam (denda),

Menurut golongan hanafiyah, tawafnya sah dan wajib membayar unta dan tidak

sah sainya yang dilakukan setelah tawaf, tapi harus dganti dengan kambing.15

Dalam riwayat lain diceritakan bahwasanya ketika itu Asma‟ binti Umais

sedang mengalami nifas karna baru saja melahirkan Muhammad bin Abu Bakar,

13
Ibnu Taimiyah, Fatawa Al-Nisa, terj. Khairun Naim, (Jakarta: Ailah, 2005), h. 44-45
14
Syeikh Imad Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita, terj. Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka
Kautsar, 2005),h. 81
15
Siti Choiriyah, “ Tawaf Bagi Wanita Haid Menurut Ibnu Mas‟ud al Kasani”, (Skripsi
S1, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2012), h. 56
31

lalu Rasulullah SAW memerintahkan Abu Bakar, agar Asma‟ mandi dan

mengucapkan talbiyah. Kemudian ia mengucapkan talbiyah dan melakukan apa

yang dikerjakan oleh orang-orang kecuali tawaf di kakbah, hal itu terjadi sewaktu

haji wada‟, Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu „Umar. Dengan demikian wanita haid

harus melakukan kegiatan sebagaimana orang yang sedang berhaji, hanya saja ia

tidak melakukan tawaf qudum dan tawaf wada‟.16

Bagi seorang perempuan yang sedang haid, tidak diwajibkan untuk tawaf

wada‟, mereka cukup menggantinya dengan berdiri sambil berdoa didepan pintu

masjidil haram17 Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

ٍ ِ‫ظ لِسع‬
‫ َع ِن ابْ ِن‬،‫ َحدَّثَنَا ُس ْفيَا ُن‬:‫ قَ َاال‬،‫يد‬ َّ ِ ٍ ُ ‫يد بْن َمْن‬ ِ
َ ُ ‫ َوالل ْف‬،َ‫ َوأَبُو بَ ْكر بْ ُن أَِب َشْيبَة‬،‫صور‬ ُ ُ ‫َحدَّثَنَا َسع‬
ِ ِِ ِ ِ َ َ‫ ق‬،‫اس‬ ٍ َّ‫ َع ِن ابْ ِن َعب‬،‫ َع ْن أَبِ ِيو‬،‫ََ ُاو ٍس‬
َ ‫ إَِّال أَنَّوُ ُخف‬،‫َّاس أَ ْن يَ ُكو َن آخ ُر َع ْهدى ْم بِالْبَ ْيت‬
‫يف‬ ُ ‫ «أُمَر الن‬:‫ال‬
)‫ُ» (رواه مسلم‬ ِ ِ‫احلَائ‬ْ ‫َع ِن الْ َم ْرأ َِة‬
“Rasulullah memerintahkan manusia (yang berhaji) agar akhir yang
dilakukannya adalah tawaf dibaitullah, namun beliau memberikan keringanan
bagi perempuan haid” (HR. Muslim).18
3. Hadis Larangan Perempuan Haid Masuk Masjid

Di antara pelarangan berikutnya yang berlaku bagi perempuan haid adalah

masuk kedalam masjid, akan tetapi ulama berbeda pendapat mengenai hal ini ,

dikarenakan ada beberapa redaksi hadis yang membolehkan dan ada yang tidak,

sehingga di sini terlihat antara redaksi hadis yang satu dengan yang lain seolah-

olah terdapat pertentangan.

Awal mula munculnya pelarangan ini berdasarkan hadis berikut ini:

16
As-Sayyid Muhammad Shiddiq Khan, Al-qur‟an dan As-Sunnah Bicara Wanita
,(Jakarta: Darul Falah,2001), h. 263-264
17
Nasaruddin Umar dan Indriya R. Dani, 100+ Kesalahan Dalam Haji dan
Umroh,(Jakarta: Qultum Media,2008),
h. 40-41
18
Muslim bin Hajjaj Abu al Hasan al Qusyairi al Naisaburi, Sahih Muslim, Kitab Haji,
Bab Wajibnya Tawaf Wada‟ dan Terbebasnya Wanita Haid Melakukannya, No.2351
32

َ َ‫ت بْ ُن َخلِْي َف َة ق‬
ُ ‫ال َحدَّثْتَِ ْي َج ْسَرةُ بِْن‬
‫ت‬ ٍ ِِ
ْ َ‫َّد َحدَّثَنَا َعْب ُد الْ َواحد بْ ِن ِزيَاد َح ّدثَنَا األَفْ ل‬ ً ‫َح َدثَنَا ُم َسد‬
ِ ‫ول اللِو ص َّل اهلل علَي ِو وسلَّم ووجوه ب ي‬
‫وت‬ ُ ‫ول َجاءَ َر ُس‬ ُ ‫ت َعاِئَشةَ َر ِض َي اهللُ َعْن َها تَ ُق‬ ِ َ‫دجاجةَ قَال‬
ُُ ُ ُ ُ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ ‫ت ََس ْع‬ْ َ ََ
‫ال َو يج ُهوا ىذه البيوت عن ادلسجد ُث دخل النب صلى اهلل عليو‬ َ ‫َص َحابِِو َشا ِر َعةٌ ِف ادل ْس ِج ِد فَ َق‬
ْ‫أ‬
َ
‫وسلم ومل يصنع القوم شيئا رجاء أن تنزل فيهم رخصة فخرج إليهم بعد فقال وجهوا ىذه البيوت‬
ِِ ِ ِ
)‫ب (رواه ابو داود‬ َ ُ‫ُ َوَال ُجن‬ َ ‫عن ادلسجد فَِإ يِن َال أُح َّل ادلَ ْسج َد حلَائ‬
“Musaddad telah menceritakan kepadaku, menceritakan kepadaku Abd al-
Wahid bin Ziyad, telah meneritakan kepadaku al- Aflat bin khalifah
berkata: telah menceritakan kepadaku Jasrah binti Dajajah ia berkata:
“Saya mendengar Aisyah r.a bercerita bahwa Rasulullah saw, pernah
datang ketika itu bagian depan rumah sahabat Nabi berhadapan dengan
masjid. Maka Nabi bersabda: Palingkan! Bagian depan rumah kalian dari
amasjid . Akan tetatpi para sahabat tidak melakukan apa-apa berharap
adanya keringanan. Maka Rasulullah saw keluar menuju mereka dan
bersabda: palingkan bagian depan rumah kalian dari masjid sesungguhnya
saya tidak menghalalkan masjid untuk (dimasuki) orang junub dan haid”.19
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Sahabat Aisyah

ulama hadis memberikan penilaian yang berbeda-beda, ada yang menta‟dil dan

menjarh, akan tetapi kebanyakan memberi penilaian jarh, karna berdasarkan

kaidah ilmu hadis jarh harus didahulukan dari pada ta‟dil, Dengan demikian hadis

ini juga dikategorikan sebagai hadis ḏa„if .20

Sedangkan hadis yang membolehkan wanita haid masuk masjid

‫ال ْاْل َخَر ِان َحدَّثَنَا أَبُو‬


َ َ‫َخبَ َرنَا َوق‬
ْ ‫ال ََْي ََي أ‬َ َ‫ب ق‬ ٍ ْ‫َحدَّثَنَا ََْيَي بْن ََْيَي وأَبُو بَ ْك ِر بْن أَِب َشْيبَةَ وأَبُو ُكري‬
َ َ ُ َ َ ُ َ
ِ‫ال ِِل رسو ُل اللَّو‬ ِ ٍ ِ ٍ ِ
ُ َ َ َ‫ت ق‬ ْ َ‫ش َع ْن ثَابِت بْ ِن عُبَ ْيد َع ْن الْ َقاس ِم بْ ِن ُُمَ َّمد َع ْن َعائ َش َة قَال‬ ِ ‫ُم َعا ِويَةَ َع ْن ْاأل َْع َم‬
ِ َ‫ضت‬ ِ ِِ ِ ْ ‫صلَّى اللَّو علَي ِو وسلَّم نَا ِولِ ِيي‬
‫ت‬ ْ ‫ك لَْي َس‬ َ ‫ال إِ َّن َحْي‬
َ ‫ُ فَ َق‬ ٌ ‫ت إِ يِن َحائ‬ ُ ‫ت فَ ُق ْل‬ْ َ‫اخلُ ْمَرَة م ْن الْ َم ْسجد قَال‬ َ ََ َْ ُ َ
)‫ِِف يَدك (رواه مسلم‬ ِ
“Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Bakar
bin Abu Syaibah serta Abu Kuraib, Yahya berkata, telah mengabarkan kepada
kami, sedangkan dua orang lainnya berkata, telah menceritakan kepada kami Abu
Mu'awiyah dari al-A'masy dari Tsabit bin Ubaid dari al-Qasim bin Muhammad
dari Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata

19
Abu Dâwud Sulaimân bin al- Asy‟âsy bin Ishâq bin Basyîr bin Syadad al- Azdi al-
Sijistâni, Sunan Abi Dâwud, (Beirut: Dar al- Fikr,tt), Bab fî Al-Junubi Yadkhulu al- Masjida J.1, h.
207
20
Ahmad Hidayat shaufi, “Studi Kritik Hadis Wanita Haid Masuk Masjid; Analisa Sanad
dan Matan”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta, 2007), h. 72-74
33

kepadaku: "Ambillah untukku minyak wangi dari masjid." Aisyah lalu menjawab,
"Sesungguhnya aku sedang haid!" Beliau pun bersabda: "Sesungguhnya haidmu
tidak terletak pada tanganmu (maksudnya tidak akan mengotori)." (HR. Muslim)21
Diketahui hadis yang menjadi rujukan bolehnya perempuan haid masuk

masjid ini sanad nya sahih dan mempunyai banyak jalur periwayatan yaitu lima

dari enam penulis kutub al- sittah. Berbeda dengan hadis yang melarang wanita

haid masuk masjid hanya mempunyai dua jalur yang terdapat dalam kutub al-

sittah.22

Dari dua teks hadis di atas, terdapat beberapa kesimpulan bahwasanya

hadis pelarangan seorang perempuan haid masuk masjid yang diriwayatkan oleh

Abu Daud dari sahabat Aisyah merupakan hadis qauliy yang menunjukkan tidak

diperkenankan nya seorang perempuan haid melakukan aktifitas dan berdiam diri

di dalam masjid, Kemudian hadis yang menjadi dasar pembolehan wanita haid

masuk masjid ini keduanya dikategorikan sebagai hadis fi‟liy, yang berasal dari

maimunah yang mana mengandung makna bahwasanya seorang perempuan haid

boleh menginjakkan kaki di dalam masjid , yang berarti tidak mengapa seorang

perempuan haid melakukan aktifitas dimasjid jika ada suatu keperluan yang

penting tanpa bermaksud berdiam diri.23

Selain itu, berdasarkan pendapat-pendapat ulama pelarangan ini terjadi

berdasarkan firman Allah SWT di dalam surah Al-Nisa‟(4): 43, yakni “lâ taqrabû

al shalâta wa antum sukara.. dan seterusnya“(“ jangan lah kamu mendekati salat,

sedangkan kalian dalam keadaan mabuk” dan seterusnya), yang mana masing-

21
Abi Al Husain Muslim bin Al Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut: Darul Ma‟afat, tt), Bab
Bolehnya Wanita Haid Membasuh Kepala Suaminya, Menyisir dan Menggunakan Bekas Airnya,
cet 1,j.3. h. 200
22
Ahmad Hidayat shaufi, “Studi Kritik Hadis Wanita Haid Masuk Masjid; Analisa Sanad
dan Matan”, h.74-75
23
Duhriah, “Larangan Bagi Perempuan Haid Melakukan Aktifitas di Masjid dan
Membaca al- Qur‟an”, Kaffah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender V, No.1(2015): h. 65
34

masing memberikan penafsiran berbeda terhadap makna dari kata lâ taqrabû al

shalâta dan makna dari kalimat selanjutnya wa lâ junuban illâ „âbirî sabîlin24 ,

dan kesimpulan dari masing-masing pendapat menunjukkan adanya pelarangan

tersebut karna dikhawatirkan menetes nya darah haid, sehingga dapat mengotori

masjid. Hal ini sejalan dengan sebuah hadis yang diceritakan oleh Abu Hurairah

ketika tengah bersama dengan Rasulullah SAW, lalu melintaslah seorang wanita

kemudian ia terpeleset dan terpelanting sehingga pakaian nya sedikit tersingkap,

sehingga membuat Rasulullah berpaling, kemudian dikatakan oleh orang yang

melihatnya bahwa ia bercelana.25

Sehingga ditarik lah kesimpulan bahwa kultur masyarakat pada waktu itu,

masih banyak perempuan yang tidak memakai celana. Sehingga sangat wajar jika

Rasulullah melarang perempuan memasuki masjid karna jika darah keluar pasti

langsung menetes di dalam masjid.26 Dan zaman modern seperti ini kekhawatiran

akan menetesnya darah haid itu terbantah kan karna telah adanya pembalut yang

bisa dipakai oleh perempuan yang sedang haid.

4. Hadis Larangan Perempuan Haid Berjima’

Pada masa pra Islam, perkara tentang berjima‟ bagi perempuan haid belum

diatur sebagaimana sekarang ini, kemudian datanglah Islam yang mengatur

bahwasanya haram menggumuli bagian yang kotor dan memubahkan bagian yang

24
Lebih jelas baca (Abdul Halim hasan, Tafsir al- Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), Ed.
1, cet. 1, h. 271)
25
Ibnu hamzah al- Husaini, Asbabul Wurud, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-
Hadis Rasul, terj. H.M Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), juz.2,
h.370
26
Ningsih Sri Rahayu, “ Studi Kritik hadis Larangan dan Kebolehan Perempuan Haid
Masuk Masjid”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo, 2012), h. 121
35

selainnya.27 Hingga kemudian Rasulullah dalam banyak kesempatan menegaskan

bolehnya melakukan kontak sosial dengan perempuan haid. Rasulullah

menegaskan bahwa: (“segala sesuatu boleh dilakukan untuknya, kecuali

kemaluannya (faraj)”) dalam artian, segala sesuatu boleh untuknya, kecuali

bersetubuh / berjima‟.28

Bahkan pada praktik sehari-hari Rasulullah banyak sekali memberikan

tuntunan yang menunjukkan bahwa boleh melakukan aktifitas bersama dengan

istri yang sedang haid, dan Beliau sama sekali tidak menunjukkan sikap tabu

dalam perlakuan terhadap istri-istrinya.29 Seperti yang dijelaskan di dalam hadis

riwayat Muslim30, tentang bagaimana cari menggauli istri ketika haid yaitu

dengan memakai izar atau kain penutup dari pusar sampai ke lutut dan potongan

hadis ‫ في فىر حيضتها‬, maksudnya ketika Rasulullah jika ingin bersenggama atau

menggauli istrinya pada saat puncak masa menstruasi yang banyak mengeluarkan

darah beliau menggauli dengan memakai penutup dibagian kemaluan. 31

Menurut pendapat mayoritas ulama dan termasyhur mutlak

mengharamkan berdasarkan nash al qur‟an dan hadis, kemudian ada yang

berpendapat tidak diharamkan, tetapi makruh tanzih. Asy-Syafi‟i sendiri

menetapkan bahwasanya seandainya seorang muslim berkeyakinan bahwa

bersenggama dengan istri yang sedang haid adalah halal atau diperbolehkan, maka

ia telah kafir dan murtad. Terlebih apabila ia mengetahui keharaman tersebut dan

27
Abdurrahman bin Nasir Al- Sa‟di, Syarah Umdatul Ahkâm, terj. Suharlan dan
Suratman, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2015) cet.2, h. 85
28
Nasarudin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, h.51
29
Nasarudin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, h. 51
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن تَأْت َِز َر فِي فَىْ ِر َح ْي‬َ ِ‫َت َحائِضًا أَ َم َرهَا َرسُى ُل هللا‬
30 ُ
‫ ث َّم‬،‫ضتِها‬ ْ ‫ « َكانَ إِحْ دَاوَا إِ َذا كَاو‬:‫ت‬
ْ َ‫ع َْه عَائِ َشةَ قَال‬
ُ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْم ِل‬
»ُ‫ك إِرْ بَه‬ َ ِ ‫هللا‬ ‫ل‬
ُ ‫ُى‬ ‫س‬ ‫ر‬َ َ‫ان‬ ‫ك‬َ ‫ا‬‫م‬ َ
‫ك‬ ُ ‫ه‬ ‫ب‬ ْ‫ر‬
َ َ ِ َِْ ْ َ ‫إ‬ ُ
‫ك‬ ‫ل‬‫م‬ ‫ي‬ ‫م‬‫ك‬ُ ‫ي‬
ُّ َ ‫أ‬‫و‬ « :‫ت‬ْ َ ‫ل‬‫ا‬َ ‫ق‬ »‫َا‬ ‫ه‬‫ر‬ُ ‫ش‬ ‫ا‬
ِ َ ‫ب‬ُ ‫ي‬
31
Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, terj. Agus Ma‟mun dkk, (Jakarta: Darus Sunnah
Press, 2015), cet.4, h. 668-671
36

sengaja melakukannya untuk melapiaskan hasrat seksualnya Maka ia telah

melakukan suatu kemaksiatan besar. Adapun tentang membayar kafarat pendapat

Asy-Syafi‟i yang paling benar tidak wajib baginya kafarat. 32 Namun di dalam

hadis dikatakan bahwasanya laki-laki yang menggauli istrinya dalam keadaan

haid, Rasul bersabda “ia harus bersedekah setengah dinar”33

Di sisi lain, ketika kedatangan tamu bulanan itu mengakibatkan hawa

nafsu seorang perempuan menurun dan emosinya sering kali tidak terkontrol.

Hubungan seks ketika itu tidak melahirkan hubungan intim antara pasangan,

apalagi dengan darah yang selalu siap keluar, dengan aroma yang kurang sedap

serta sesuatu yang tidak menyenangkan untuk dilihat, tentu ini menjadi salah satu

aspek yang mengganggu bagi seorang pria. Pada masa haid juga sel telur yang

keluar belum ada gantinya, sampai beberapa lama setelah wanita sampai pada

masa suci, sehingga pembuahan yang merupakan salah satu tujuan hubungan seks

tidak mungkin akan terjadi pada masa haid.34

Lagi pula berlakunya pelarangan berjima‟ dengan seorang istri yang

sedang haid di dalam Islam ini , pada hakikatnya demi untuk menjaga organ

reproduksi perempuan itu sendiri. Secara klinis terbukti bahwa berhubungan intim

ketika haid sangat merugikan bagi kesehatan, baik bagi perempuan maupun laki-

laki.35 Misalnya seperti radang rahim pada indung telur bagi perempuan,

kemudian sifilis karna masuknya unsur darah haid kedalam organ reproduksi laki-

32
Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, terj. Agus Ma‟mun dkk, h. 671
33
Muhammad nasirudin Albani, Shahih Sunan Tirmidzi, terj. Ahmad Yuswaji, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), h. 125
34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur‟an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002),h. 478-479
35
Siti Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan Dalam Islam, (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2014), h. 63
37

laki. Secara ringkas melakukan senggama ketika perempuan sedang dalam masa

haid, akan menyebabkan kemandulan bagi perempuan atau laki-laki.36

A. Hadis Yang Melarang Seorang Perempuan Haid Membaca Al-

Qur’an

Hadis terbagi dalam beberapa bagian, berdasarkan sampainya hadis

tersebut kepada kita, yakni hadis mutawatir37, dan hadis ahad38. Sedangkan

khabar ahad dilihat dari kuat dan lemahnya hadis terbagi menjadi tiga, yaitu

hadis shahih39, hadis hasan40, dan hadis dhoif41

Untuk mengetahui sebuah hadis maqbul atau tidaknya harus memenuhi

syarat hadis sahih42 dan diperlukan penelitian lebih lanjut yaitu dengan cara

melakukan penelusuran terhadap sanad hadis maupun matan hadis tersebut

dengan cara takhrîj al hadîts. Takhrij secara bahasa adalah berkumpulnya dua

hal yang bertentangan dalam satu masalah. Selain itu pengertian takhrij secara

36
Lebih jelas baca Mahmud Mahdi al- Istanbuli, Tuhfatul Arûsyî, terj. Sholihin,
(Jakarta: Qitshi Press, 2012), h. 120
37
Hadis mutawatir merupakan hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap
thabaqat (tingkatan) nya, sehingga sangat tidak dimungkinkan bahwa perawi-perawi hadis tersebut
sepakat untuk berdusta.
38
Manna Al- Qaṯan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 112-113
39
Hadis sahih adalah hadis maqbul yang dapat dijadikan hujjah, karna di dalamnya
terdapat syarat-syarat tertentu yang menjadikan hadis tersebut dapat diterima dan bisa dijadikan
hujjah
40
Hadis hasan adalah hadis maqbul yang dapat diterima kehujjahan nya, hanya saja
tingkatan nya berada dibawah hadis shahih, karna terdapat kekurangan pada hadis tersebut, dan
kekurangan tersebut bukan termasuk pada kekurangan yang fatal yang dapat menyebabkan hadis
itu tertolak.
41
Sedangkan hadis dhoif adalah hadis yang masuk dalam kategori tertolak, karna ia
termasuk hadis yang lemah dan di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis yang menjadi sebab
hadis tersebut diterima. Dengan kata lain, hadis yang menjadi sumber rujukan hukum dalah hadis
yang maqbul atau hadis sahih.(penjelasan lebih lanjut mengenai hadis shahih, hadis hasan, hadis
dhaif, lihat Manna Al- Qaṯan, “ Pengantar Studi Ilmu Hadis”, h. 116-125)
42
syarat-syarat hadis sahih yaitu pertama ittisal al-sanad (bersambungnya sanad), „adâlat
al-ruwah (periwayat yang adil), dabtu al-ruwah ( periwayat yang dhabt ), „adam asyuzdudz (tidak
ada kejanggalan, dan „adam al-illah (tidak ada cacat).
38

bahasa yang populer adalah :al-istinbât(mengeluarkan), al-tadrîb (melatih atau

membiasakan), al-taujîh (memperhadapkan).43

Setelah melakukan takhrij, proses selanjutnya adalah Kritik sanad hadis

yaitu penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu

perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan

berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad hadis

untuk menemukan kebenaran yaitu kualitas hadis.44

Maka pada pembahasan ini penulis ingin meneliti sebuah hadis yang sudah

populer dikalangan masyarakat yaitu tentang larangan seorang perempuan haid

membaca dan menyentuh mushaf al-Qur‟an.

1. Redaksi Hadis

Potongan hadis yang pertama yang akan penulis teliti adalah tentang

larangan seorang perempuan haid membaca al-Qur‟an :

ُ‫ ال يقرأ القرآن اجلنب وال احلائ‬-


Pada langkah awal penelitian ini, penulis akan meneliti potongan hadis

tersebut dengan cara mentakhrij hadis tersebut melalui tiga metode yaitu

pertama kata-kata fiil yang terdapat pada hadis, kedua melalui awal matan

hadis, ketiga melalui tema hadis. Metode yang pertama penulis menggunakan

kitab mu‟jam mufahras45 dengan menggunakan kata kunci haid dan junub,

pada penelusuran ini penulis menemukan dua hadis yang diriwayatkan oleh

Tirmidzi dan Ibnu Majah. Metode kedua, penulis melakukan pencarian dengan

43
Mahmud al-Ṯahhan, Usul al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânid, (Riyadh: Maktabah al-
Ma‟arif, 1412 H/1991 M), h.7
44
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metode Kritik Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 7
45
A.J Wensinck, Mu‟jam Mufahras Li Alfadz Al-Hadis Al- Nabawî, (Leiden : E.J Brill,
1995), j. 1, h. 382
39

menggunakan kamus Miftâh al-Kunûz46 dengan menggunakan tema haid dan

al-Qur‟an dan di sini penulis menemukan empat hadis yang diriwayatkan oleh

Tirmidzî, al- Nasâi, Ibnu Mâjah dan al-Darimî. Kemudian metode yang ketiga

penulis menggunakan Mausû‟ah Aṯrâf al- Hadîs al-Nabawî al- Syarîf47 dengan

memakai awal matan hadis, di sini penulis menemukan beberapa di dalam

kitab hadis namun penulis hanya mencantumkan empat hadis sebelumnya dan

ditambah dengan hadis yang diriwayatkan oleh Dar Al-Quṯni dan Al-Baihâqî.

2. Takhrij Hadis tentang larangan seorang perempuan haid membaca

al-Qur’an

Setelah melakukan beberapa metode penelusuran di atas, langkah

selanjutnya adalah mencari dan melacak hadis tersebut ke sumber aslinya

sesuai keterangan yang sudah diperoleh, berikut adalah hasil penelusuran ke

kitab-kitab hadis aslinya:

79 ‫ت َهارة‬

)79 ‫ باب رقم‬/ ‫ كتاب الطهارة‬:‫(السنن الرتمذي‬

‫ أهنما ال يقرآن القرآن‬: ُ‫ باب ما جاء ِف اجلنب واحلائ‬-79

‫ َع ْن‬،‫اش‬ ِ ِ
ٍ َّ‫اعيل بْ ُن َعي‬ ٍ ِ
ُ َ‫ َحدَّثَنَا إ َْس‬:َ‫ قَاال‬،َ‫ َواحلَ َس ُن بْ ُن َعَرفَة‬،‫ حدَّثَنَا َعل ُّي بْ ُن ُح ْجر‬-131
ِ‫ الَ ت ْقرأ‬:‫ال‬ َّ ِ َّ َّ َ ‫َّب‬ ِ
َ َ َ َ‫صلى اللوُ َعلَْيو َو َسل َم ق‬ ‫ َع ِن النِ ي‬،‫ َع ِن ابْ ِن عُ َمَر‬،‫ َع ْن نَاف ٍع‬،َ‫وسى بْ ِن عُ ْقبَة‬
َ ‫ُم‬
48
)‫ (رواه الرتمذي‬.‫آن‬ ِ ‫ والَ اجلنُب َشيئًا ِمن ال ُقر‬،ُِ‫احلائ‬
ْ َ ْ ُ ُ َ ُ َ
105 ‫جو َهارة‬
46
A.J Wensinck, Miftâh al- Kunûz al- Sunnah, (Kairo: Dar al- Hadis, 1411 H/ 1991 M),
h. 170
47
Âbu Hajar Muhammad al-Sâ‟îd Ibn Basyunî Zaghlûl, “Mausu‟âh Aṯrâf al-Hadîs al-
Nabawî al-Syarîf”, (Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1989 M), j. 7, h. 440
48
Abi „Îsa Muhammad bin „Îsa bin Saurah, Jami‟ al- sahih Wa Huwa Sunan Tirmidzi,
(Beirut: Dar Al- Kutub al- Ilmiyah,1995/ 1415), Kitab Ṯaharah, j.1, no. 131, h. 236
‫‪40‬‬

‫(السنن إبن ماجو ‪ /‬كتاب الطهارة ‪ /‬باب رقم ‪)105‬‬


‫‪ -‬باب ما جاء ِف قرأة القرآن على غي َهارة‬
‫وسى بْ ُن ُع ْقبَةَ‪َ ،‬ع ْن‬ ‫ال‪َ :‬حدَّثَنَا ُم َ‬ ‫اش قَ َ‬ ‫ِ ِ‬
‫اعيل بْ ُن َعيَّ ٍ‬
‫ال‪َ :‬حدَّثَنَا إ َْسَ ُ‬‫‪َ -‬حدَّثَنَا ِى َش ُام بْ ُن َع َّما ٍر قَ َ‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‪َ« :‬ال يَ ْقَرأُ الْ ُق ْرآ َن‬ ‫ال رس ُ ِ‬
‫ول اللَّو َ‬ ‫ال‪ :‬قَ َ َ ُ‬ ‫نَافِ ٍع‪َ ،‬ع ِن ابْ ِن ُع َمَر قَ َ‬
‫‪49‬‬
‫ُ» (رواه إبن ماجو)‬ ‫اجلنُب‪ ،‬وَال ْ ِ‬
‫احلَائ ُ‬ ‫ُْ ُ َ‬
‫‪An- Nasai, kitab thaharah bab 170 (hadis tidak ditemukan) ‬‬

‫‪( ‬سنن الدارمي ‪/‬كتاب الطهارة ‪ /‬باب احلائُ تذكر اهلل وال تقرأ القرآن)‬

‫‪ -‬أخربنا ُممد بن يزد البزار‪ ,‬حدثنا شريك ‪ ,‬عن فراسو عن عامر ‪ :‬اجلنب واحلائُ ال يقرآن‬
‫القرآن‬

‫‪ -‬أخربنا أبو الواليد‪ ,‬حدثنا شعبة ‪ ,‬حدثنا احلكم ‪ ,‬عن إبراىيم قال ‪ :‬كان عمر رضي اهلل عنو‬
‫يكره أو ينهى أن يقرأ اجلنب‪ ,‬قال شعبة ‪ :‬وحديثو ف الكتاب ‪ :‬واحلائُ‬

‫ال‪:‬‬ ‫ُ قَ َ‬ ‫َح َوِل‪َ ،‬ع ْن أَِب الْ َعالِيَ ِة‪ِِ ،‬ف ْ‬


‫احلَائِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫اج‪َ ،‬ع ْن َْحَّاد بْ ِن َسلَ َمةَ‪َ ،‬ع ْن َعاص ٍم ْاأل ْ‬ ‫َخبَ َرنَا َح َّج ٌ‬
‫‪-‬أْ‬
‫«َال تَ ْقَرأُ الْ ُق ْرآ َن»‬
‫ال‪َ " :‬ال يَ ْقَرأُ‬‫ال‪َ :‬كا َن يُ َق ُ‬ ‫َخبَ َرنَا َس ْه ُل بْ ُن َْحَّ ٍاد‪َ ،‬حدَّثَنَا ُش ْعبَةُ‪َ ،‬ع ْن َسيَّا ٍر‪َ ،‬ع ْن أَِب َوائِ ٍل‪ ،‬قَ َ‬ ‫‪-‬أْ‬
‫اخلَََل ِء‬
‫احلَ َّم ِام‪َ ،‬و َح َاال ِن َال يَ ْذ ُك ُر الْ َعْب ُد فِي ِه َما اللَّوَ‪ِ :‬عْن َد ْ‬
‫ُ‪َ ،‬وَال يُ ْقَرأُ ِِف ْ‬ ‫اجلنُب‪ ،‬وَال ْ ِ‬
‫احلَائ ُ‬ ‫ُْ ُ َ‬
‫‪50‬‬
‫الر ُج َل إِذَا أَتَى أ َْىلَوُ‪ ،‬بَ َدأَ فَ َس َّمى اللَّ َو "‬
‫َن َّ‬‫اجلِ َم ِاع‪ ،‬إَِّال أ َّ‬
‫َو ِعْن َد ْ‬
‫‪( ‬سنن الدار القطي ‪ /‬كتاب الطهارة و كتاب احلائُ‪ /‬باب ِف النهي للجنب واحلائُ‪ ,‬باب‬
‫ختفيف قرآة حلاجة)‬
‫اعيل بْ ُن َعيَّ ٍ‬ ‫ٍ ِ ِ‬ ‫ِ ِِ‬ ‫ِ‬ ‫َّ ِ‬
‫اش ‪َ ,‬ع ْن‬ ‫‪َ -‬حدَّثَنَا َعْب ُد اللو بْ ُن ُُمَ َّمد بْ ِن َعْبد الْ َعزيز ‪ ,‬نا َد ُاو ُد بْ ُن ُر َشْيد ‪ ,‬نا إ َْسَ ُ‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‪:‬‬ ‫ال رس ُ ِ‬
‫ول اللَّو َ‬ ‫ال‪ :‬قَ َ َ ُ‬ ‫وسى بْ ِن عُ ْقبَ َة ‪َ ,‬ع ْن نَافِ ٍع ‪َ ,‬ع ِن ابْ ِن ُع َمَر ‪ ,‬قَ َ‬ ‫ُم َ‬
‫آن»‪.‬‬ ‫اجلنُب َشيئًا ِمن الْ ُقر ِ‬ ‫«َال ي ْقرأُ ْ ِ‬
‫ُ َوَال ُْ ُ ْ َ ْ‬ ‫احلَائ ُ‬ ‫ََ‬
‫احلَ َس ُن بْ ُن َعَرفَةَ ‪ ,‬نا‬
‫آخ ُرو َن ‪ ,‬قَالُوا‪ :‬نا ْ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ ِ‬
‫يم الْبَ َّز ُاز ‪َ ,‬وابْ ُن َمَْلَد ‪َ ,‬و َ‬
‫وب بْ ُن إبْ َراى َ‬
‫‪َ -‬حدَّثَنَا يَ ْع ُق ُ‬
‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫صلَّى اهللُ‬ ‫َّب َ‬ ‫وسى بْ ِن ُع ْقبَةَ ‪َ ,‬ع ْن نَاف ٍع ‪َ ,‬ع ِن ابْ ِن عُ َمَر ‪َ ,‬ع ِن النِ ي‬
‫اش ‪َ ,‬ع ْن ُم َ‬ ‫اعيل بْ ُن َعيَّ ٍ‬
‫إ َْسَ ُ‬
‫َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‪.‬‬
‫‪49‬‬
‫‪Al Hafiẕ Abi „Abdillah Muhammad bin Yazîd Al- Qazwînî, Sunan Ibnu Majah, (Beirut‬‬
‫‪: Dar Al-Fikri, 1995/1415), Kitab Ṯaharah , j.1, h. 195‬‬
‫‪50‬‬
‫‪Abu Muhammad „Abdullah bin „Abdul Rahman bin Faḏl bin Bahram al- Darimî,‬‬
‫‪Sunan Al Darimî, (Kairo: Dar al-Fikr, 1398 H/ 1978 M), Kitab Ṯaharah, j. 1, h. 235‬‬
‫‪41‬‬

‫ِ‬ ‫‪ -‬حدَّثَنا إِب ر ِاىيم بن ُُم َّم ِد ب ِن ََيَي ‪ ,‬نا ُُم َّمد بن إِسح َ ِ ِ‬
‫يم الثَّ َقف ُّي ‪ ,‬نا َسعِ ُ‬
‫يد بْ ُن‬ ‫اق بْ ِن إبْ َراى َ‬ ‫َ ُ ُْ ْ َ‬ ‫َ َ َْ ُ ْ ُ َ ْ ْ َ‬
‫وسى بْ ِن ُع ْقبَةَ ‪َ ,‬وعُبَ ْي ِد اللَّ ِو بْ ِن ُع َمَر ‪,‬‬ ‫اش ‪َ ,‬ع ْن ُم َ‬ ‫اعيل بْ ُن َعيَّ ٍ‬ ‫ِ ِ‬
‫وب الطالْ َقاِنُّ ‪ ,‬نا إ َْسَ ُ‬
‫يَ ْع ُق َ َّ ِ‬
‫يم بْ ُن الْ َع ََل ِء‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ َّ ِ‬
‫صلى اهللُ َعلَْيو َو َسل َم ‪ ,‬مثْ لَوُ‪ .‬تَابَ َعوُ إبْ َراى ُ‬
‫َّب َ َّ‬
‫َع ْن نَاف ٍع ‪َ ,‬ع ِن ابْ ِن ُع َمَر ‪َ ,‬ع ِن النِ ي‬
‫ِ‬
‫يل‪.‬‬ ‫ِ ِ‬
‫ي ‪َ ,‬ع ْن إ َْسَاع َ‬ ‫الزبَْي ِد ُّ‬
‫ُّ‬
‫ِ ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫صالِ ٍح ْاألَبْ َه ِر ُّ‬ ‫ِ ِ‬
‫يم بْ ُن‬ ‫ي ‪ ,‬نا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َج ْع َفر بْ ِن َرزي ٍن ‪ ,‬نا إبْ َراى ُ‬ ‫‪َ -‬و َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َعْبد اللَّو بْ ِن َ‬
‫وسى بْ ِن عُ ْقبَةَ ‪َ ,‬ع ْن نَافِ ٍع ‪,‬‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ ِ ِ‬
‫اش ‪َ ,‬ع ْن عُبَ ْيد اللَّو بْ ِن ُع َمَر ‪َ ,‬وُم َ‬ ‫اعيل بْ ُن َعيَّ ٍ‬
‫الْ َع ََلء ‪ ,‬نا إ َْسَ ُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم ‪ ,‬مثْ لَوُ‬ ‫َّب َ‬ ‫َع ِن ابْ ِن ُع َمَر ‪َ ,‬ع ِن النِ ي‬
‫احلَ َّس ِاِنُّ ‪َ ,‬ع ْن َر ُج ٍل ‪َ ,‬ع ْن أَِب َم ْع َش ٍر ‪َ ,‬ع ْن‬ ‫يل ْ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ٍ‬
‫‪َ -‬حدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َمَْلَد ‪ ,‬نا ُُمَ َّم ُد بْ ُن إ َْسَاع َ‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َ‬ ‫ِ‬
‫ال‪:‬‬ ‫َّب َ‬‫وسى بْ ِن عُ ْقبَةَ ‪َ ,‬ع ْن نَاف ٍع ‪َ ,‬ع ِن ابْ ِن ُع َمَر ‪َ ,‬ع ِن النِ ي‬ ‫ُم َ‬
‫آن َشْيئًا»‬ ‫آن ِمن الْ ُقر ِ‬ ‫ِ‬ ‫«ِْ‬
‫ب َال يَ ْقَر َ ْ‬ ‫اجلُنُ ُ‬‫ُ َو ْ‬‫احلَائ ُ‬
‫َّعثَ ِاء َعلِ ُّي بْ ُن ْ‬
‫احلَ َس ِن‬ ‫ِ‬
‫َْحَ ُد بْ ُن َعل ٍّي ْاألَبَّ ُار ‪ ,‬نا أَبُو الش ْ‬ ‫َْحَ ُد بْ ُن ُُمَ َّم ِد بْ ِن ِزيَ ٍاد ‪ ,‬نا أ ْ‬ ‫‪َ -‬حدَّثَنَا أ ْ‬
‫ال‪َ« :‬ال يَ ْقَرأُ‬ ‫الزبَ ِْي ‪َ ,‬ع ْن َجابِ ٍر ‪ ,‬قَ َ‬ ‫الْ َو ِاس ِط يي ‪ ,‬ثنا ُسلَْي َما ُن أَبُو َخالِ ٍد ‪َ ,‬ع ْن ََْي ََي ‪َ ,‬ع ِن ابْ ِن ُّ‬
‫ِ ‪51‬‬ ‫ِْ‬
‫يف‬
‫ضع ٌ‬ ‫ب َوَال النُّ َف َساءُ الْ ُق ْرآ َن»‪ََْ .‬ي ََي ُى َو ابْ ُن أَِب أُنَْي َسةَ َ‬ ‫اجلُنُ ُ‬
‫ُ َوَال ْ‬ ‫احلَائ ُ‬
‫َْحَ َد بْ ِن َم ْرَوا َن ‪ ,‬ثنا ُع َم ُر بْ ُن عُثْ َما َن بْ ِن َعا ِص ٍم‬ ‫يم بْ ُن أ ْ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫‪ -‬حدَّثَنا عبد َّ ِ‬
‫الص َمد بْ ُن َعل ٍّي ‪ ,‬ثنا إبْ َراى ُ‬ ‫َ َ َْ ُ‬
‫ال رس ُ ِ‬ ‫ض ِل ‪َ ,‬ع ْن أَبِ ِيو ‪َ ,‬ع ْن ََ ُاو ٍس ‪َ ,‬ع ْن َجابِ ٍر ‪ ,‬قَ َ‬
‫صلَّى اهللُ‬ ‫ول اللَّو َ‬ ‫ال‪ :‬قَ َ َ ُ‬ ‫‪ ,‬ثنا ُُمَ َّم ُد بْ ُن الْ َف ْ‬
‫‪52‬‬ ‫احلائُِ وَال النُّ َفساء ِمن الْ ُقر ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫آن َشْيئًا»‬ ‫َُ َ ْ‬ ‫َعلَْيو َو َسلَّ َم‪َ« :‬ال تَ ْقَرأ َْ ُ َ‬
‫‪( ‬سنن الكبي البيهقي ‪ /‬باب احلائُ ال متس ادلصحف )‬
‫َّار‪ ،‬أنا‬ ‫الصف ُ‬
‫يل َّ‬ ‫ِ ِ‬
‫ين قَالُوا‪ :‬أنا إ َْسَاع ُ‬ ‫ني بْ ُن ُع َمَر بْ ِن بُْرَىا َن‪ِِ ،‬ف َ‬
‫آخ ِر َ‬ ‫َخبَ َرنَا أَبُو َعْب ِد اللَّ ِو ْ‬
‫احلُ َس ْ ُ‬ ‫‪َ -‬وأ ْ‬
‫وسى بْ ِن ُع ْقبَ َة‪َ ،‬ع ْن نَافِ ٍع‪َ ،‬ع ِن ابْ ِن ُع َمَر‪َ ،‬ع ْن‬ ‫اش‪َ ،‬ع ْن ُم َ‬ ‫اعيل بْ ُن َعيَّ ٍ‬ ‫ِ ِ‬
‫احلَ َس ُن بْ ُن َعَرفَةَ‪ ،‬نا إ َْسَ ُ‬ ‫ْ‬
‫آن»‬‫احلائُِ َشيئًا ِمن الْ ُقر ِ‬
‫ب َوَال َْ ُ ْ َ ْ‬ ‫اجلُنُ ُ‬‫ال‪َ« :‬ال يَ ْقَرأِ ْ‬ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َ‬ ‫ِ ِ‬
‫َر ُسول اللَّو َ‬
‫يل‬ ‫ي قَ َ ِ ِ‬
‫ال‪ :‬أنا إ َْسَاع ُ‬ ‫الس َّك ِر ُّ‬ ‫ي‪َ ،‬وأَبُو ُُمَ َّم ٍد َعْب ُد اهللِ بْ ُن ََْي ََي بْ ِن َعْب ِد ْ‬
‫اجلَبَّا ِر ُّ‬ ‫َخبَ َرنَا أَبُو َعلِ ٍّي ُّ‬
‫الرو ْذبَا ِر ُّ‬ ‫‪-‬أْ‬
‫وسى بْ ِن ُع ْقبَةَ‪َ ،‬ع ْن نَافِ ٍع‪،‬‬ ‫اش‪َ ،‬ع ْن ُم َ‬ ‫اعيل بْ ُن َعيَّ ٍ‬ ‫ِ ِ‬
‫احلَ َس ُن بْ ُن َعَرفَةَ‪ ،‬ثنا إ َْسَ ُ‬ ‫َّار‪ ،‬ثنا ْ‬ ‫الصف ُ‬‫بْ ُن ُُمَ َّم ٍد َّ‬
‫ب َشْيئًا ِم َن‬ ‫ال‪َ :‬ال تَ ْقرأِ ْ ِ‬ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َ‬ ‫ِ ِ‬
‫اجلُنُ ُ‬
‫ُ َوَال ْ‬ ‫احلَائ ُ‬ ‫َ‬ ‫َع ِن ابْ ِن ُع َمَر‪َ ،‬ع ْن َر ُسول اهلل َ‬
‫ي‬‫س َى َذا بِالْ َق ِو ي‬ ‫ِ‬
‫الْ ُق ْرآن " لَْي َ‬
‫‪51‬‬
‫‪„Ali bin „Umâra Dar Al-Quṯni, Sunan Dâr al-Quṯnî, (Beirut: Dar al-Ma‟arifah, 1422 H/‬‬
‫‪2001 M), j. 1, h. 210-218‬‬
‫‪52‬‬
‫‪„Ali bin „Umâra Dar Al-Quṯni, Sunan Dâr al-Quṯnî, j.2, h. 462 (dikatakan hadis ini‬‬
‫‪dhaif, bahkan dikatakan bahwa hadis ini adalah maudhu‟ dikarenakan ada periwayat yang bernama‬‬
‫)‪Muhammad bin Fadhl‬‬
42

،‫احلَ َس ِن‬ ْ ‫يم بْ ُن ُُمَ َّم ِد بْ ِن‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ْ ‫ وأَخب رنَا أَبو ب ْك ِر بن‬-
ُ ‫ ثنا إبْ َراى‬،‫ أنا أَبُو ُُمَ َّمد بْ ُن حبَّا َن‬،ُ‫احلَارث الْ َفقيو‬ ُ ْ َ ُ ََ ْ َ
ِ ُ‫اجلُن‬ ُّ ‫ ُسئِ َل‬:‫ال‬
ُّ ‫الزْى ِر‬ ِ ‫ ثنا أَبو عم ٍرو ىو ْاألَوز‬،‫يد بن مسلِ ٍم‬ ِ ِ
‫ب‬ ْ ‫ي َع ِن‬ َ َ‫اع ُّي ق‬ َْ َُ ْ َ ُ ْ ُ ُ ْ ُ ‫ ثنا الْ َول‬،‫أنبأ أَبُو َعام ٍر‬
‫آن َشْيئًا " َوُريوينَاهُ َع ْن َجابِ ِر‬ ِ ‫ " َمل ي ر َّخص َذلم أَ ْن ي ْقرءوا ِمن الْ ُقر‬:‫ال‬
ْ َ ُ َ َ ْ ُ ْ َُ ْ َ ‫ فَ َق‬،ُ ْ ‫ َو‬،‫َوالنُّ َف َس ِاء‬
ِ ِ‫احلَائ‬
53
‫ُ َال تَ ْقَرأُ الْ ُق ْرآ َن‬ ِ ِ‫احلَائ‬
ْ ‫يد بْ ِن ُجبَ ٍْي ِِف‬ ِ ِ‫ ُُثَّ عن عطَ ٍاء وأَِب الْعالِي ِة والنَّخعِي وسع‬،‫اهلل‬ ِ ‫ب ِن عب ِد‬
ََ ‫َْ َ َ َ َ َ َ ي‬ َْ ْ

3. Penjelasan Sanad

Setelah melakukan takhrij hadis, langkah selanjutnya adalah jarh wa

ta‟dil54,kata jarh dan ta‟dil adalah dua komponen yang berbeda, akan tetapi

mayoritas ulama menganggapnya satu jenis. Dengan ilmu ini maka dapat

diketahui bahwa apakah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tersebut layak

diterima atau ditolak. Lafaz-lafaz dalam ta‟dil yang paling tinggi adalah

pertama Tsiqah tsiqah atau Imam hujjah dan sejenisnya, kedua tingkatan

dibawahnya menggunakan lafaz yang di atas namun dalam bentuk tunggal,

Misalnya tsiqah atau imam saja. Ketiga lafaz shadûq atau lâ ba‟sa bih, keempat

lafaz mahaluhû ash-shidq, atau lafaz mereka meriwayatkan lafaz darinya,

kemudian lafaz shâlih al hadîs.55

Adapun lafaz jarh yang paling jelek tingkatan nya adalah pertama

Kadzdzâb (pendusta), atau Wadhdha (pembuat hadis maudhu‟/palsu), atau

dajjal dan lafaz yang semakna dengannya. Kedua Muttaham (tertuduh), atau

halik (celaka/binasa), atau saqith (gugur). Ketiga Dha‘îf jiddan (lemah sekali),

atau wahin bi marrah (lemah sekali). Pada hadis yang diriwayatkan oleh tiga

53
Abi Bakar Ahmad bin Husain bin „Ali al-Baihâqi, Sunan Al-Kubrâ, (Beirut: Dar Al-
Kitab Al-Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M), j.1, h. 461
54
yaitu ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi
dan tentang penta‟dilannya (memandang lurus perangan para perawi) dengan memakai kata-kata
yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.)lihat Manna Al- Qaṯan, “
Pengantar Studi Ilmu Hadis”, h. 82)
55
Ibnu Nasirudin al-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar: Kitab Klasifikasi Hadis, terj. Faisal
Saleh dan Khorul Amru Harahap, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), h. 206-209
43

tingkatan ini tidak boleh dijadikan hujjah atau dalil. Selanjutnya tingkatan yang

berada di bawahnya, yang tetap boleh ditulis untuk dijadikan sebagai

perbandingan. Pertama lafaz Ḏa‘îf (lemah) atau mungkar al hadîs (hadis yang

diriwayatkan adalah hadis mungkar), dan sejenisnya. Kedua fihi maqal (ada

kritik pada dirinya), atau laisa bi qawî (tidak kuat), atau huwa layyin al- hadîs

(hadis riwayatnya lemah), dan sejenisnya.56

Pada penelitian ini penulis hanya menelusuri hadis yang diriwayatkan dari

jalur Tirmidzi dan Ibnu Majah. Adapun perawi yang termasuk dalam riwayat

dari jalur tirmidzi adalah: (1) Ibnu „Umar, (2) Nâfi‟, (3) Mûsa Ibnu „Uqbah, (4)

Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsy, (5) Hasan Ibnu „Arafah, (6) „Ali Ibnu Hujrin, (7)

Tirmidzi. Kemudian dari jalur riwayat Ibnu Mâjah adalah: (1) Ibnu „Umar , (2)

Nâfi‟, (3) Mûsa Ibnu „Uqbah, (4) Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsy, (5) Hisyâm Ibnu

„Ammâr, (6) Abu Hâtim, (7) Abu Hasan.

a. Para Periwayat Jalur Tirmidzi

1) Ibnu Umar, nama asli beliau adalah „Abdullah bin „Umar ibn al-

Khattâb al- Qurâisyi, beliau merupakan salah seorang sahabat yang tinggal di

Madinah dan hidup serta bertemu dengan Nabi SAW, beliau dikenal dengan

nama sebutan Abu „Abdirrahman, diketahui bahwa beliau wafat pada tahun 74

H, dan diantara murid yang berguru kepada beliau adalah Nâfi‟, „Abdullah

Ibnu Dînar dll 57

Beliau adalah anak dari „Umar bin Khattâb sahabat yang hidup semasa

dengan Rasulullah Saw, sekaligus menjadi salah satu khalifah yang kedua.

Ibnu Umar adalah sahabat yang juga sempat hidup bersama dengan Nabi,
56
Ibnu Nasirudin ad-Dimasyqi, Mutiara Ilmu Atsar:Kitab Klasifikasi Hadis , h. 209
57
Jamaluddin al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, (Beirut: Dar al- Fikr,
1994), j.10, h. 350
44

sebagaimana kaidah yang sudah disepakati oleh para muhadditsin tentang

keadilan sahabat yaitu al- shahâbah kulluhum „udul (setiap sahabat adil) ,

karna pada masa Rasulullah Saw dan masa khulafaurrasyidin dapat dikatakan

masa berkumpulnya para periwayat hadis yang adil.58 maka Ibnu „Umar juga

tidak diragukan lagi ketsiqahanya dan keadilannya dalam meriwayatkan hadis.

Ia menduduki urutan kedua setelah Abu Hurairah yang meriwayatkan hadis

5.364 hadis, beliau salah satu dari yang terbanyak yang meriwayatkan hadis,

sedagkan ibnu umar meriwayatkan 2.630 hadis.59

2) Nâfi‟, nama asli beliau adalah Nâfi‟ „Abdullah Al Madâni, beliau

adalah budak sekaligus murid dari „Abdullah bin „Umar, dan tinggal di

Madinah beliau dikenal dengan sebutan Abu „Abdillah, tidak diketahui jelas

tentang pastinya kapan beliau wafat, maisng-masing berbeda pendapat antara

117H, 119H, dan 120H. Beliau termasuk dalam tingkat tabi‟in pertengahan

adapun yang berguru pada beliau diantara nya Mûsa Ibnu „Uqbah, Zaid bin

„Abdullah bin „Umar, dll. Ulama berpendapat seperti Al Bukhari mengatakan

beliau Ashahhul Asânid60, Al „Ijlî mengatakan beliau Tsiqah, „Utsmân Ibnu

Sa‟id Al Darimi mengatakan Tsiqah Walam Yufadhadhal, dan Ibnu Khirâsyî

menilai Tsiqah, Nabîl. 61

3) Mûsa Ibnu „Uqbah, nama asli beliau adalah Mûsa Ibnu „Uqbah Ibn

Abi „Ayyâsyi al- Asâdî al- Miṯrâfî , beliau berdomisili di Madinah yaitu bagian

dari negri Hijaz dan wafat pada tahun 141 H, beliau dikenal dengan sebutan

58
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam,Metode Kritik Hadis, h. 7
59
Ibnu Hajar Al-Asqalany, Al Isâbah Fi Tamyîz al-sahabah”, (Beirut: Dar Al- Kutub al-
Ilmiyah, 1415 H), cet.1, j.8, h.
60
Rutbah atau martabat paling tinggi di dalam shahih berdasarkan sanad (lihat penjelasan
T.M. Hasbi Al- siddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), h.
118
61
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 19, h. 32-37
45

Abu Muhammad al-Madânî, beliau termasuk dari pada golongan tabi‟in kecil.

Salah satu dari guru Mûsa Ibnu „Uqbah adalah Nâfi‟ budak dari pada

„Abdullah bin‟Umar, adapun orang yang berguru dengan beliau disebutkan

salah satunya adalah Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsyi. Ulama berpendapat di dalam kitab

“Al- Kabîr bahwa beliau adalah tsiqah, begitu juga Ahmad bin Hanbal ketika

bertanya kepada ayahnya menilai bahwa Mûsa Ibnu „Uqbah adalah orang yang

Tsiqah. Yahya bin Ma‟în, Al „Ijlî dan Al Nasâi juga menyebut demikian, dan

abu Hatim menambahkan dengan menilai beliau tsiqah, shalih 62

4) Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsy bin Sulaim al Insi, dikenal dengan sebutan Abu

„Utbah al-Himsy, beliau bertempat tinggal di Syam, dan wafat antara tahun 181

H/ 182 H, beliau termasuk pada golongan tabi‟in pertengahan, dan disebutkan

salah satu dari guru Ismâ‟îl bin Ayyâsyi adalah Musa bin „Uqbah, dan salah
63
satu murid beliau adalah Hasan bin „Arafah al-„Abdi. Ulama berbeda

pendapat mengenai pribadi Ismâ‟îl Ibnu „Ayyâsyi, ulama „Abbâs al- Dauri dari

Yahya bin Ma‟în menilai Tsiqah, Ya‟qûb bin sufyân tsiqah adil, Abu Bakar bin

abi Khaysimah menilai laisa bihi ba‟sa„, dan „Utsmân bin Sa‟id al- Darimî dari

Yahya bin Ma‟în arjû an la yakûna bihi ba‟sa.

Sedangkan Menurut Yahya bin Ma‟în Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsyi adalah

Tsiqah jika ia meriwayatkan dari guru yang berasal dari Syam, sedangkan jika

dari Hijaz kemungkinan lemah karna orang-orang Hijaz lemah dalam menjaga

hafalan64, Abu „Abdurrahman bin Abi Hatim beliau menilai layyin (setara

dengan lemah), begitu juga ketika Abu Zar‟ah ditanya tentang Ismâ‟il Ibnu

62
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 18, h. 492
63
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 2, h. 207-218
64
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, h. 174
46

„Ayyâsy, ia menjawab shadûq kecuali jika hadis yang ia riwayatkan dari orang-

orang Hijaz dan Iraq.65

5) Hasan bin „Arafah Ibn Yazîd Al-„Abdi, dikenal dengan sebutan Abu

„Ali Al Baghdâdi, tinggal dan wafat di Baghdad pada tahun 275 H, beliau

termasuk dari pada golongan Tabi‟ Tabi‟in, salah satu gurunya adalah Ismâ‟il

Ibnu „Ayyâsyi, dan disebutkan salah satu dari guurnya adalah Tirmidzî.

Menruut Yahya bin Ma‟în ia berkata kepada „Abdullah bin Ahmad bin Hanbal

ia adalah periwayat yang Tsiqah, „Abdurrahman bin hatim menilai shadûq, dan

Al Nasâi mengatakan menta‟dil beliau lâ ba‟sa bih. 66

6) „Alî Ibn Hujrin Ibn Iyâs al- Sa‟di, dikenal dengan sebutan Abu

Hasan Al Marûzi, „Ali Ibn Hujrin berdomisili di Baghdad dan wafat pada tahun

244 H, diketahui bahwa beliau satu perguruan dengan Hasan bin „Arafah yang

berguru kepada Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsy, dan salah satu murid juga disebutkan

adalah Tirmidzî. Menurut „Abu „Ali Muhammad Ibn „Ali Ibn Hamzah al-

Marwâzi beliau adalah faḏlan hâfidzhan, dan Al Nasâi mengatakan beliau

tsiqah, ma‟mûn, hâfidz 67.

7) Tirmidzî nama asli beliau adalah Muhammad Ibn „Îsa Ibn Saurah

Ibn Mûsa Ibn Ḏahâk al- Sulamî , yang dikenal dengan Abu „Îsa Al Tirmidzî,

beliau lahir pada tahun 200 H dan bertempat tinggal di Tirmidz , dan wafat di

Bashrah pada tahun 279 H. Disebutkan bahwasanya „Ali Ibn Hujrin dan Hasan

bin „Arafah adalah guru Imam Tirmidzî, dan telah diketahui bahwa beliau

memiliki kitab Sunan Tirmidzi yang masuk ke dalam Kutub Al Sittah. Menurut

65
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl,h. 178
66
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 4, h. 362
67
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 4, h. 362
47

Abu Hatim beliau adalah orang yang shâlih hadîs (benar dalam meriwayatkan

hadis), shadûq, dan Ibnu Hibban menyebutkan di dalam kitab nya bahwa beliau

adalah tsiqah. 68

b. Periwayat jalur Ibnu Mâjah

1) Ibnu „Umar (telah disebutkan sebelumnya)

2) Nâfi‟ (telah disebutkan sebelumnya)

3) Mûsa Ibnu „Uqbah (telah disebutkan sebelumnya)

4) Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsyi (telah disebutkan sebelumnya)

5) Hisyâm Ibn „Ammâr bin Nusâir Ibn Maysarah Ibnu Abân al-

Sulâmiy, beliau dikenal dengan sebutan Abu Al Wâlid, wafat di Damsyiq pada

tahun 245 H, salah satu dari guru beliau adalah Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsy, dan salah

satu muridnya adalah Ibnu Mâjah. Menurut Mu‟âwiyah bin sâlih bin Junâid,

dan Al „Ijlî beliau adlah tsiqah, dan Al Nasâi mengatakan lâ ba‟sa bih, serta Al

Dâruquṯni mengatakan ia sadûq.69

6) Ibnu Mâjah nama asli beliau adalah Abu „Abdullah Muhammad Ibn

Yazîd Ibn „Abdullah Ibn Mâjah al- Râbi‟î al- Qazwîni, beliau lahir pada tahun

209 H dan wafat pada tahun 273 H, salah satu guru beliau adalah Hisyâm Ibn

„Ammâr, menurut Al Hafîz abu Ya‟la al Khalîl Ibn „Abdullah al Khalîl al-

Qazwîni beliau adalah tsiqah kabîr dan memiliki kitab Sunan, Tafsîr dan

Târikh70

Setelah melakukan penelusuran terhadap sanad hadis larangan

perempuan haid dan junub membaca al-Qur‟an di atas dapat kita lihat

68
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 35, h. 103
69
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j. 19, h. 271
70
Al- Mizzi, Tahdzîb al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijâl, j
48

bahwasanya sanad dari hadis tersebut seluruh sanadnya bersambung, hal ini

dapat dilihat dari pengakuan antara guru dan murid, begitu juga dengan tahun

wafat dari masing-masing perawi. Begitu juga jika ditinjau dari penilaian dari

para kritikus hadis tentang pribadi dari maisng-masing perawi, para ulama

hadis di sini memberikan penilaian berupa ta‟dil (pujian) seperti tsiqah, bukan

memberi penilaian berupa jarh kepada para perawi hadis di atas.

Meski demikian hadis ini dianggap lemah, sebagaimana yang

disampaikan oleh Imam Syauqani bahwa sebagian ulama seperti Imam Bukhâri

dan Imam Baihaqî mendhaifkan hadis Ibnu „Umar tersebut. Karna di dalam

nya terdapat periwayat Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsy yang riwayat hadisnya dari ulama

hijaz dinilai lemah, dan hadis Ibnu „Umar ini adalah salah satunya.71

Muhammad bin Ismâ‟il berkata sesungguhnya Ismâ‟il Ibnu „Ayyâsyi

meriwayatkan beberapa hadis mungkar dari penduduk hijaz dan irak. Seakan-

akan ia menganggap bahwa riwayat dari mereka adalah dhaif. 72 Sebenarnya

dalam hal ini periwayat Ismâ‟îl Ibnu „Ayyâsyi telah dinilai tsiqah oleh imam-

imam hadis sebagai penduduk Syam, munculnya anggapan dhaif karna hadis

ini diriwayatkan dari Mûsa Ibnu „Uqbah dan ia adalah penduduk Hijaz73.

Kemudian dikatakan oleh Al Baihaqi bahwa hadis ini hanya diriwayatkan dari

satu jalur yakni dari Ismâ‟îl Ibnu „Ayyâsyi yang periwayatannya dari penduduk

Hijaz, sehingga dianggap dhaif karna tidak ada jalur lain yang menguatkan.74

71
Muhammad bin „Ali Al Syauqani, Nailu al-Auṯar Min Asrâri Muntaqa al-Akhbar, (j.1,
h. 284
72
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwâdzi : Syarah Jami‟ Tirmidzi, terj. Shafaul Qalbi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), j.2, h. 11
73
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwadzi : Syarah Jami‟ Tirmidzi, j.2, h. 14
74
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwadzi : Syarah Jami‟ Tirmidzi, j.2, h. 14
49

4. Penjelasan Hadis Larangan Membaca Al-Qur’an Saat Haid

Membaca al-Qur‟an merupakan suatu perkara yang baik dan berpahala,

sedangkan seorang wanita yang sedang haid berada dalam kondisi yang sedang

berhadas atau kotor. Maka dengan demikian apabila ada pembolehan membaca

al-Qur‟an bagi perempuan haid mesti disertai dengan dalil dan alasan yang

kuat untuk dijadikan pegangan. Beberapa pendapat yang bersebrangan

mengenai hal ini pula bermacam-macam.

Adanya perbedaan Pendapat mengenai perempuan haid membaca al-

Qur‟an ini tidak lepas dari banyaknya perbedaan pendapat antara ulama

mengenai keshahihah hadis tesebut, pendapat kelompok pertama menyatakan

bahwasanya orang yang dalam kondisi junub dan haid tidak boleh membaca al-

Qur‟an, pendapat seperti ini dari kelompok jumhur ulama adalah ulama

madzhab Hanafiyah, Imam Ahmad serta Imam syafi‟i, sementara dari kalangan

sahabat Umar bin Khaththab, Ali bin Abu Thalib dan Jabir.75 Ada juga yang

meriwayatkan hukumnya makruh bahwa pendapat ini dianut oleh Hasan Al

Basri, Qatadah, An Nakha‟i, Al Zuhri, Asy Syafi‟i dan yang lain. 76 Pendapat

yang kedua menyatakan bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca al-

Qur‟an tanpa ada batas.77 Pendapat ini didasari oleh hadis nabi yang seolah-

olah mengatakan bahwasanya boleh membaca al-Qur‟an dalam keadaan

apapun kecuali ketika junub.

‫س ِجلَنَابٍَة‬ ِ ِ َّ ِ ِ ‫ول‬
َّ َ ‫اهلل‬
َ ‫صلى اهللُ َعلَْيو َو َسل َم َال ََْي ُجبُوُ َعن ال ُق ْرآن َشْي ٌئ لَْي‬ ُ ‫َكا َن َر ُس‬
75
Ahmad Zainunnashih, “Pandangan Ulama Terhadap Kebolehan Wanita Haid Dalam
Membaca dan Menyentuh Al Qur‟an,”(Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri (UIN) Jakarta, 2013), h. 22-23
76
Ibnu Qudamah, Al Mughni, terj. Ahmad Hotib dan Fathurrahman, (Jakarta: Pustaka
Azzam,2007), j. 1, h. 248
77
Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa‟id bin Hazm, Al- Muhalla, terj. Ahmad Rijali
Kadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), j.1, h. 166
50

“Rasulullah Saw tidak melarang (membaca) sesuatu dari al-Qur‟an

kecuali orang yang junub.” HR. Ashabus Sunan

Hadis ini dianggap shahih oleh al-Tirmidzi dan Ibnu Hibban, namun

dianggap dha‟if sebagian riwayatnya oleh sebagian ahli hadis. Adapun hadis

Ibnu „Umar yang mengatakan tidak boleh membaca al-Qur‟an bagi orang haid

dan junub merupakan hadis marfu‟ dan dhaif seluruh sanadnya.78

Di dalam riwayat hadis lain dari Ali RA, disebutkan

ٍِ ٍ ِ ٍ
،‫ش‬ُ ‫ َحدَّثَنَا األ َْع َم‬:َ‫ قَاال‬،‫ َوعُ ْقبَةُ بْ ُن َخالد‬،‫ص بْ ُن غيَاث‬ ُ ‫ َحدَّثَنَا َح ْف‬:‫ال‬ َ ‫َحدَّثَنَا أَبُو َسعِيد األ‬
َ َ‫ ق‬،‫َش ُّج‬
ُ‫صلَّى اللَّو‬
ِ ُ ‫ َكا َن رس‬:‫ال‬
َ ‫ول اهلل‬ َُ َ َ‫ ق‬،‫ َع ْن َعلِ ٍّي‬،َ‫اهلل بْ ِن َسلِ َمة‬
ِ ‫ عن عب ِد‬،َ‫ عن عم ِرو ب ِن مَّرة‬،‫وابن أَِب لَي لَى‬
َْ ْ َ ُ ْ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ َ
ِ ِ ِ
‫يث‬
ٌ ‫يث َعل ٍّي َحد‬ ُ ‫ (رواه الرتمذي) َحد‬.‫َعلَْي ِو َو َسلَّ َم يُ ْق ِرئُنَا ال ُق ْرآ َن َعلَى ُك يل َح ٍال َما َملْ يَ ُك ْن ُجنُبًا‬
.‫يح‬ ِ ‫ح سن‬
ٌ ‫صح‬ َ ٌَ َ
“Nabi Saw membacakan kami al-Qur‟an selama beliau tidak dalam
keadaan junub” (HR. Tirmidzi) 79
Hadis ini adalah hadis shahih, dikatakan di dalam kitab Al-Talkhis hadis

ini diriwayatkan oleh Ahmad, Al Bazzar, Ad-Daruquthni, dan Al Baihaqi,

redaksi hadis ini berbeda-beda. Al Tirmidzi , Ibnu As-Sakan, Abdul Haq, dan

Al Baghwi menilainya shahih. Ibnu Khuzaimah mengatakan “Hadis ini

sepertiga dari modalku”, begitu juga dengan Syu‟bah menganggap tidak ada

yang lebih hasan dari hadis ini.80

Dan hadis yang diriwayatkan „Ali di atas juga kemudian dijadikan

landasan oleh banyak ahli hadis dari kalangan sahabat Nabi SAW dan Tabi‟in

tentang bolehnya seorang perempuan haid membaca al-Qur‟an karna adanya

78
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwâdzi : Syarah Jâmi‟ Tirmidzî, j.2, h. 16-17
79
Abi „Îsa Muhammad bin „Îsa bin Saurah, Sunan Tirmidzî, (Semarang : Maktabah Wa
Matba‟ah,tt), Kitab Thaharah, Bab Membaca al-Qur‟an Dalam Setiap Keadaan, j.1, no. 146, h. 98
80
„Abdullah bin „Abdurrahman Al Bassam, Tauḏih Ahkâm Min Bulugh Al Marâm, terj.
Thahirin Supatra,dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam,2006), j.1, h. 399
51

pernyataan yang mengatakan bahwasanya tidak ada yang menghalangi

membaca al-Qur‟an selain junub. Dan Imam Malik berkata bahwasanya wanita

haid boleh membaca al-Qur‟an sedangkan yang junub tidak boleh, dikarenakan

masa haid itu panjang sehingga apabila ia tidak membaca al-Qur‟an ia kan

lupa, sedangkan masa junub itu sebentar.81

Sedangkan menurut Ibnu Qudamah jika dikiaskan status antara orang haid

dan junub adalah sama tentu di sini orang yang haid lebih utama keharamannya

karna haid lebih besar dan lebih kuat hadas nya dibandingkan dengan orang

yang junub. Karna itulah wanita yang sedang haid diharamkan berhubungan

badan, dilarang berpuasa, digugurkan kewajiban salatnya, dan ia pun

menyamai orang yang sedang junub pada seluruh hukumnya.82

Maka dengan demikian Ibnu Qudamah salah satu ulama dikalangan

madzhab Hanbali mengatakan bahwasanya orang yang junub, wanita haid dan

nifas diharamkan membaca ayat al-Qur‟an, adapun membaca sebagian ayat

yang tidak hanya terdapat di dalam al-Qur‟an saja, seperti basmallah,

hamdalah, doa-doa yang berasal dari ayat al-Qur‟an dan dzikir lainnya yang

tidak dimaksudkan membaca al-Qur‟an. Maka yang demikian tidak mengapa.

Hal ini berlandaskan kepada hadis Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah

Saw berdzikir disetiap keadaan, dan mengenai mengingat Allah berarti

mengagungkanNya tidak ada perselisihan pendapat mengenai hal ini.83

Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat para ulama dikalangan

madzhab Syafi‟i dengan pendapat yang masyhur dikalangan mereka yaitu

81
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwâdzi : Syarah Jâmi‟ Tirmidzî,, j.2, h. 13 dan 14
82
Ibnu Qudamah, Al Mughni, j. 1, 250
83
Ibnu Qudamah, Al Mughni, j. 1, 250
52

mengharamkan membaca al-Qur‟an walau hanya sebagian ayat. Hal ini

ditujukan agar manusia lebih menghormati dan mengagungkan al-Qur‟an.

Boleh juga membaca al-Qur‟an di dalam hati dengan tanpa menggerakkan bibir

dengan syarat dirinya tidak mendengar bacaannya. Adapun anggapan yang

mengatakan kekhawatiran akan lupanya hafalan al-Qur‟an maka hal itu sangat

jarang terjadi dikarenakan batas normal waktu terjadi nya haid biasanya 7-8

hari dan dalam rentan waktu ini seseorang tidak akan lupa hapalannya, meski

demikian kekhawatiran tersebut bisa ditanggulangi dengan tetap mengulang

hapalannya di dalam hati.84

Pendapat ulama yang membolehkan seorang perempuan haid membaca al-

Qur‟an kemudian didukung dan dikuat kan oleh sebuah hadis lain yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya.

َ‫ َع ْن َعائِ َشة‬،‫ َع ْن أَبِ ِيو‬،‫اس ِم‬ ِ ‫الر ْْح ِن ب ِن ال َق‬ ِ ٌ ِ‫َخبَ َرنَا َمال‬ ِ
ْ َ َّ ‫ َع ْن َعْبد‬،‫ك‬ ْ ‫ أ‬،‫ف‬َ ‫وس‬ُ ُ‫َحدَّثَنَا َعْب ُد اللَّو بْ ُن ي‬
ِ‫الص َفا وادلروة‬ ِ ِ ِ ِ
َ َْ َ َّ ‫ني‬ َ ْ َ‫ف بِالْبَ ْيت َوالَ ب‬ْ ََُ‫ َوَملْ أ‬،ُ ٌ ‫ت َم َّكةَ َوأَنَا َحائ‬ ُ ‫ قَد ْم‬:‫ت‬ ْ َ‫َرض َي اللَّوُ َعْن َها أَن ََّها قَال‬
ُّ َ‫ «افْ َعلِي َك َما يَ ْف َع ُل احل‬:‫ال‬
‫اج َغْي َر‬ َ َ‫ ق‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ ِ
َ ‫ك إِ َل َر ُسول اللَّو‬
ِ ‫ فَش َكو‬:‫قَالَت‬
َ ‫ت َذل‬ ُ ْ َ ْ
)‫ت َح ََّّت تَطْ ُه ِري» (رواه البخاري‬ ِ ‫أَ ْن الَ تَطُ ِوِف بِالْب ي‬
َْ
“Dari „Aisyah RA, dia berkata, “ Aku datang ke Mekkah sedang aku
dalam keadaan haid. Aku tidak tawaf di Ka‟bah dan tidak pula (sa‟i) diantara
Shafa dan Marwah.” Aisyah berkata, “ Aku mengadukan hal ini kepada
Rasulullah Saw”, maka Beliau bersabda, “lakukanlah seperti yang dilakukan
orang yang mengerjakan haji, tetapi janganlah engkau tawaf di Baitullah
(ka‟bah) hingga kau suci”.85
Ibnu Hajar al-Asqalany menyebutkan di dalam Fath Al Bâri‟ bahwa Al

Bukhari, dan Imam lainnya seperti Al Ṯabari, Ibnu Al Mundzir, dan Abu

Daud berpegang dengan hadis ini yang membolehkan membaca al-Qur‟an

ketika haid. Karna Rasulullah tidak mengecualikan semua amalan haji kecuali

84
Abi Zakariya Mahyudin bin Syarif Al Nawawi, Al Majmu‟ Syarah Al Muhadzdzab”,
j.2, h 357
85
53

tawaf. Dan membaca al-Qur‟an merupakan salah satu rangkaian ibadah yang

biasa dilakukan oleh orang yang melaksanakan haji, dan membaca al-Qur‟an

sebagai alasan untuk dzikir kepada Allah.86

Jadi, kesimpulan tentang adanya larangan membaca al-Qur‟an ketika

haid tidak bisa dijadikan sebuah dalil, pertama dari segi sanad hadis tersebut,

secara pribadi para perawi hadis nya dinilai tidak bermasalah, jika pun ada

kekurangan itu tidak sampai kepada mungkar ataupun tertuduh pendusta

(bukan berupa kekurangan yang berat) hanya saja menurut penulis yang

menyebabkan hadis ini dinilai dhaif karna driwayatkan hanya satu jalur, dan

tidak ada jalur lain yang menguatkan. Dan satu jalur tersebut hanya melalui

Ismâ‟îl bin „Aiyâsyi yang dinilai mungkar apabila meriwayatkan hadis dari

selain orang syam, sedangkan jalur riwayat hadis ini dari Musa bin „Uqbah

merupakan orang hijaz. Kedua dengan melihat hadis lain yang di nilai shahih

dan mempunyai indikasi makna yang sama seperti hadis yang menyatakan

bahwa Rasulullah SAW berdzikir dalam setiap keadaan, kemudian hadis

ketika „Aisyah melaksanakan haji kemudian ia haid dan oleh Rasulullah

diperbolehkan melakukan rangkaian ibadah haji kecuali tawaf, maka di sini

dapat kita katakan bahwa salah satu ibadah yang lumrah dilakukan ketika

berhaji salah satunya adalah memperbanyak membaca al-Qur‟an dan itu tidak

termasuk dikatakan dilarang untuk dilakukan ketika melakukan ibadah haji.

Ditambah lagi bahwasanya sebaik-baik dzikir ialah membaca al-Qur‟an.

86
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwâdzi : Syarah Jâmi‟ Tirmidzî, j.2, h. 16
54

B. Hadis tentang larangan seorang perempuan haid menyentuh

mushaf al-Qur’an

1. Redaksi Hadis

Potongan hadis kedua yang akan penulis teliti adalah :

‫أن ال ِيس القرآن إال َاىر‬


Pada penelusuran ini, penulis juga menggunakan pencarian melalui 3 metode

seperti sebelumnya, yang pertama melalui kamus mu‟jam mufahras dengan

lafaz matan "‫"طهر‬, dengan hasil penelusuran dua hadis dari Al- Darimi dan

Malik87. Kemudian penelusuran yang kedua penulis mengambil tema tentang “al

qur‟an dan haid” dengan hasil penelusuran satu kitab hadis dari Al- Darimi88.

Kemudian pada penelusuran ketiga penulis menggunakan awal matan dengan

hasil penelusuran sembilan hadis, namun di sini penulis hanya mencantumkan

beberapa, yaitu Muwaṯa‟ Mâlik, Al- Darimî, Abu Dâud di dalam kitab Marâsil li

Abî Dâud, Al- Ṯabrâni di dalam kitab Mu‟jam Shaghîr Al- Ṯabrâni dan Mu‟jam

Kabîr Al- Ṯabrâni, Dâr Al-Quṯni di dalam Sunannya.89

2. Takhrij Hadis Larangan Perempuan Haid membawa Mushaf

Al Qur’an

Dan hasil penelusuran tersebut ditemukan dalam kitab hadis aslinya sebagai

berikut:

2 ‫ دي ََلق‬
1 ‫ ط مس القرآن‬

87
A.J Wensinck, Mu‟jam Mufahras Li Alfadz Al-Hadis Al- Nabawi, j. 4, h. 20
88
A.J Wensinck, Miftâh al- Kûnuz al- Sunnah, h. 170 dan 893
89
Abu Hajar Muhammad al-Sa‟id Ibn Basyunî Zaghlûl, Mausu‟ah Aṯraf al-Hadîs al-
Nabawi al-Syarîf, h. 458 dan 459
‫‪55‬‬

‫(موَأ مالك ‪ /‬باب ال ِيس القرآن إال َاىر ما جاء ِف الطهر من قراءة القرآن‪ /‬االجزاء‬ ‫‪-‬‬
‫‪)1‬‬
‫ك‪َ ،‬ع ْن َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن أَِب بَ ْك ِر بن ُممد بن عمرو بْ ِن‬ ‫ال‪َ :‬حدَّثَنَا َمالِ ٌ‬ ‫ب‪ ،‬قَ َ‬ ‫ص َع ٍ‬
‫َحدَّثَنَا أَبُو ُم ْ‬ ‫‪-‬‬
‫صلى اهلل َعلَيو َو َسلم لِ َع ْم ِرو بْ ِن َح ْزٍم‪ :‬أَ ْن ال‬ ‫اب الَّ ِذي َكتَبو رس ُ ِ‬
‫ول اللَّو َ‬ ‫َُ َ ُ‬
‫َن ِِف الْ ِكتَ ِ‬ ‫َح ْزٍم‪ ،‬أ َّ‬
‫َِيس الْ ُقرآ َن إَِّال ََ ِ‬
‫اىٌر‪.‬‬ ‫َ َّ ْ‬
‫باب أمر الوضوء دلن مس القرآن‬
‫َن ِِف الْ ِكت ِ ِ‬
‫اب الَّذي َكتَبَوُ‬ ‫َ‬ ‫ك‪َ ،‬ع ْن َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن أَِب بَ ْك ِر بْ ِن َح ْزٍم‪ ،‬أ َّ‬ ‫ح َّدثَِي ََْيَي‪َ ،‬عن مالِ ٍ‬
‫َ ْ َ‬ ‫َ‬ ‫‪-‬‬
‫ِ‬
‫س الْ ُق ْرآ َن إَِّال ََاىٌر» قَ َ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ال‬ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم ل َع ْم ِرو بْ ِن َح ْزم‪« :‬أَ ْن َال َِيَ َّ‬ ‫ول اللَّو َ‬ ‫َر ُس ُ‬
‫ك‪« :‬وَال ََي ِمل أَح ٌد الْمصحف بِعِ ََلقَتِ ِو وَال علَى ِوسادةٍ إَِّال وىو ََ ِ‬
‫اىٌر‪.‬‬ ‫ِ‬
‫َ َ َ َ ََُ‬ ‫َمال ٌ َ ْ ُ َ ُ ْ َ َ‬
‫باب‪ :‬الرجل ِيس القرآن وىو جنب‬
‫ال‪ :‬إِ َّن ِِف‬ ‫َخبَ َرنَا َعْب ُد اللَّ ِو بْ ُن أَِب بَ ْك ِر بْ ِن ُُمَ َّم ِد بْ ِن َع ْم ِرو بْ ِن َح ْزٍم‪ ،‬قَ َ‬
‫ك‪ ،‬أ ْ‬‫َخبَ َرنَا َمالِ ٌ‬
‫أْ‬ ‫‪-‬‬
‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫اب الَّ ِذي َكتَبو رس ُ ِ‬
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ل َع ْم ِرو بْ ِن َح ْزم‪« :‬ال َِيَ ُّ‬
‫س الْ ُق ْرآ َن إِال‬ ‫ول اللَّو َ‬ ‫َُ َ ُ‬
‫الْ ِكتَ ِ‬
‫ِ ‪90‬‬
‫ََاىٌر»‬
‫(الدارمي ‪ :‬كتاب الطهارة ‪ /‬باب رقم ‪ /94‬باب ف الغسل ادلستحاضة)‬ ‫‪‬‬

‫س‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ف‪َ ،‬حدَّثَنَا ُس ْفيَا ُن‪َ ،‬ع ْن َمْن ُ ٍ‬


‫اضةُ « ََْتل ُ‬ ‫ال‪ :‬الْ ُم ْستَ َح َ‬ ‫يم‪ ،‬قَ َ‬‫صور‪َ ،‬ع ْن إبْ َراى َ‬ ‫وس َ‬
‫َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن يُ ُ‬
‫‪-‬أْ‬
‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫ك ِِف‬ ‫ب‪َ ،‬وتُ َع يج ُل الْعِ َشاءَ‪َ ،‬و َذل َ‬ ‫ِ‬
‫ص ِر غُ ْس ًَل َواح ًدا‪َ ،‬وتُ َؤ يخ ُر الْ َم ْغ ِر َ‬
‫ِ‬
‫أَيَّ َام أَقْ َرائ َها‪ُُ ،‬ثَّ تَ ْغتَس ُل للظُّ ْه ِر‪َ ،‬والْ َع ْ‬
‫ِ ِ ِ ِ‬
‫وم‪َ ،‬وَال يَأْتِ َيها َزْو ُج َها‪َ ،‬وَال متََ ُّ‬ ‫ِ‬
‫‪91‬‬
‫ف»‬‫ص َح َ‬ ‫س الْ ُم ْ‬ ‫صُ‬ ‫َوقْت الْع َشاء‪َ ،‬ول ْل َف ْج ِر غُ ْس ًَل َواح ًدا‪َ ،‬وَال تَ ُ‬
‫‪( ‬الدارمي ‪ :‬كتاب الطهارة ‪ /‬باب رقم ‪ / 87‬باب ف الغسل ادلستحاضة)‬
‫اضةُ َال يَأْ ِِتَا‬
‫ال‪ :‬الْ ُم ْستَ َح َ‬
‫يم‪ ،‬قَ َ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ف‪َ ،‬حدَّثَنَا ُس ْفيَا ُن‪َ ،‬ع ْن َمْن ُ ٍ‬
‫صور‪َ ،‬ع ْن إبْ َراى َ‬ ‫وس َ‬‫َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن يُ ُ‬
‫‪ -‬أْ‬
‫‪92‬‬
‫ف‪.‬‬‫ص َح ُ‬‫س الْ ُم ْ‬‫ص ْم‪َ ,‬والَ متََ ُّ‬
‫َزْو َج َها‪َ ,‬وَال تَ ُ‬
‫‪ -‬باب ال ََلق قبل النكاح ‪ /‬االجزاء ‪2‬‬
‫ي‪َ ،‬ع ْن أَِب بَ ْك ِر‬‫الزْى ِر ُّ‬
‫وسى‪َ ،‬حدَّثَنَا ََْي ََي بْ ُن ْحََْزةَ‪َ ،‬ع ْن ُسلَْي َما َن بْ ِن َد ُاوَد‪َ ،‬ح َّدثَِي ُّ‬
‫احلَ َك ُم بْ ُن ُم َ‬‫َخبَ َرنَا ْ‬
‫‪-‬أْ‬
‫ص ُل‬ ‫ال ِِل ََيَي بن ْحَْزَة أَفْ ِ‬
‫َْ ْ ُ َ‬ ‫احلَ َك ُم‪ :‬قَ َ‬
‫ال ْ‬ ‫بْ ِن ُُمَ َّم ِد بْ ِن َع ْم ِرو بْ ِن َح ْزٍم‪َ ،‬ع ْن أَبِ ِيو‪َ ،‬ع ْن َجديهِ‪ ،‬قَ َ‬
‫‪90‬‬
‫‪Malik bin Anas bin Malik bin „Âmir Al-Asbahi Al-Madani, Muwaṯa‟ Imam Mâlik”,‬‬
‫‪(T.tp: Muassasah al- Risalah, 1412 H), J. 1, H. 90‬‬
‫‪91‬‬
‫‪Abu Muhammad „Abdullah bin abdurrahman bin Faḏil bin Bahram Al- Darimî, Sunan‬‬
‫‪Al-Darimi, (Kairo: Dar Al-Fikr, 1398 H/ 1978 M), h. 611‬‬
‫‪92‬‬
‫‪Abu Muhammad „Abdullah bin abdurrahman bin Faḏil bin Bahram Ad-Darimi, Sunan‬‬
‫‪Al-Darimi, h. 621‬‬
‫‪56‬‬

‫ول اللَّ ِو صلَّى اهلل علَي ِو وسلَّم َكتب إِ َل أَى ِل الْيم ِن «أَ ْن َال َِيس الْ ُقرآ َن إَِّال ََ ِ‬
‫اىٌر‪َ ،‬وَال‬ ‫َن َر ُس َ‬ ‫أ َّ‬
‫َ َّ ْ‬ ‫ْ ََ‬ ‫ُ َْ ََ َ َ َ‬ ‫َ‬
‫ب َكاتِبًا‬
‫َح َس ُ‬
‫ال‪ :‬أ ْ‬ ‫اع» ُسئِ َل أَبُو ُُمَ َّم ٍد‪َ :‬ع ْن ُسلَْي َما ُن‪ ،‬قَ َ‬ ‫ََََل َق قَ ْب َل إِ ْم ََل ٍك‪َ ،‬وَال َعتَ َ‬
‫اق َح ََّّت يَْبتَ َ‬
‫َّاب ُع َمَر بْ ِن َعْب ِد الْ َع ِزي ِز‪.93‬‬
‫ِمن ُكت ِ‬
‫ْ‬
‫ادلراسيل ألب داود ‪ /‬باب جامع الصَلة‬ ‫‪‬‬
‫َخبَ َرنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن عُ َم َارةَ‪َ ،‬ع ْن أَِب بَ ْك ِر بْ ِن ُُمَ َّم ِد‬ ‫ِِ‬ ‫ِ‬
‫يس‪ ،‬أ ْ‬ ‫َخبَ َرنَا ابْ ُن إ ْدر َ‬ ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن الْ َع ََلء‪ ،‬أ ْ‬ ‫‪-‬‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‪ - ،‬يَ ْع ِي َى َذا ‪ -‬أَنَّوُ «َال‬ ‫ِ ِ ِ ِ‬
‫ال‪َ :‬كا َن ِِف كتَاب َر ُسول اللَّو َ‬ ‫بْ ِن َح ْزٍم‪ ،‬قَ َ‬
‫اىٌر»‬‫َِيس الْ ُقرآ َن إَِّال ََ ِ‬
‫َ ُّ ْ‬
‫ص ِحي َفةً‬ ‫ت َ‬ ‫ال‪ :‬قَ َرأْ ُ‬
‫ي‪ ،‬قَ َ‬ ‫الزْى ِر ي‬
‫ب‪َ ،‬ع ِن ُّ‬ ‫َخبَ َرنَا ُش َعْي ٌ‬
‫ِ‬
‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ََْي ََي‪َ ،‬حدَّثَنَا أَبُو الْيَ َمان‪ ،‬أ ْ‬ ‫‪-‬‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َكتَبَ َها‬ ‫َن رس َ ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫ول اللَّو َ‬ ‫عْن َد آل أَِب بَ ْك ِر بْ ِن ُُمَ َّمد بْ ِن َع ْم ِرو بْ ِن َح ْزم ذَ َكَر أ َّ َ ُ‬
‫يث فِ ِيو‪ْ « :‬‬ ‫اق ْ ِ‬ ‫ٍ ِ‬ ‫ِ‬
‫س‬‫َصغَُر الْعُ ْمَرةُ‪َ ،‬وَال َِيَ ُّ‬ ‫احلَ ُّج ْاأل ْ‬ ‫احلَد َ‬ ‫ني أ ََّمَرهُ َعلَى ََْنَرا َن‪َ ،‬و َس َ‬ ‫ل َع ْم ِرو بْ ِن َح ْزم‪ ،‬ح َ‬
‫يث‪ ،‬مسنَ ًدا وَال ي ِ‬ ‫ال‪ :‬أَبو داود‪ :‬رِوي ى َذا ْ ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫ص ّح‬ ‫احلَد ُ ْ َ َ‬ ‫الْ ُق ْرآ َن إَِّال ََاىٌر» قَ َ ُ َ ُ َ ُ َ َ‬
‫معجم الصغي الطربِن ‪ /‬باب إَسو َيي‬ ‫‪‬‬
‫ص ِحي َف ًة‬ ‫ت َ‬ ‫ال‪ :‬قَ َرأْ ُ‬
‫ي‪ ،‬قَ َ‬ ‫الزْى ِر ي‬
‫ب‪َ ،‬ع ِن ُّ‬ ‫َخبَ َرنَا ُش َعْي ٌ‬
‫ِ‬
‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ََْي ََي‪َ ،‬حدَّثَنَا أَبُو الْيَ َمان‪ ،‬أ ْ‬ ‫‪-‬‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َكتَبَ َها‬ ‫َن رس َ ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫ول اللَّو َ‬ ‫عْن َد آل أَِب بَ ْك ِر بْ ِن ُُمَ َّمد بْ ِن َع ْم ِرو بْ ِن َح ْزم ذَ َكَر أ َّ َ ُ‬
‫يث فِ ِيو‪ْ « :‬‬ ‫اق ْ ِ‬ ‫ٍ ِ‬ ‫ِ‬
‫س‬ ‫َصغَُر الْ ُع ْمَرةُ‪َ ،‬وَال َِيَ ُّ‬‫احلَ ُّج ْاأل ْ‬ ‫احلَد َ‬ ‫ني أ ََّمَرهُ َعلَى ََْنَرا َن‪َ ،‬و َس َ‬ ‫ل َع ْم ِرو بْ ِن َح ْزم‪ ،‬ح َ‬
‫يث‪ ،‬مسنَ ًدا وَال ي ِ‬ ‫ال‪ :‬أَبو داود‪ :‬رِوي ى َذا ْ ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫ص ُّح‬ ‫احلَد ُ ْ َ َ‬ ‫الْ ُق ْرآ َن إَِّال ََاىٌر» قَ َ ُ َ ُ َ ُ َ َ‬
‫معجم الكبي الطربِن ‪ /‬باب إَسو إبن عمر‬ ‫‪‬‬
‫ي‪ ،‬ثنا أَبُو َعا ِص ٍم‪،‬‬ ‫ص ِر ُّ‬‫احلُ ْ‬
‫اب ْ‬ ‫يد بْن ُُمَ َّم ِد بْ ِن ثَو ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ص ِر ُّ‬ ‫َحدَّثَنَا أَبُو َزَك ِريَّا الديينَ َوِر ُّ‬
‫َ‬ ‫ي‪ ،‬ثنا َسع ُ ُ‬ ‫ي الْبَ ْ‬ ‫‪-‬‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫يث َع ْن‬ ‫ت َساملَ بْ َن َعْبد اهللِ بْ ِن عُ َمَر َُيَد ُ‬ ‫ع ِن اب ِن جري ٍج‪ ،‬عن سلَيما َن ب ِن موسى‪ ،‬قَ َ ِ‬
‫ال‪ََ :‬س ْع ُ‬ ‫َ ْ ُ َْ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ َ‬
‫ِ‬
‫س الْ ُق ْرآ َن إَِّال ََاىٌر»‬ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َ‬ ‫َن رس َ ِ‬ ‫ِِ‬
‫ال‪َ« :‬ال َِيَ ُّ‬ ‫ول اهلل َ‬ ‫أَبيو أ َّ َ ُ‬
‫‪ ‬سنن الدار القطي ‪ /‬باب ِف هنى احملدث عن مس القرآن‬
‫يل ‪,‬‬ ‫ِ ِ‬ ‫‪َ -‬حدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ٍر الن َّْي َسابُوِر ُّ‬
‫ني بْ ُن إ َْسَاع َ‬ ‫احلُ َس ْ ُ‬
‫ي ‪ ,‬نا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ََْي ََي ‪[ ,‬ص‪ ]220:‬ح َوثنا ْ‬
‫وسى ‪ ,‬نا ََْي ََي بْ ُن ْحََْزَة ‪َ ,‬ع ْن ُسلَْي َما َن بْ ِن َد ُاوَد ‪,‬‬ ‫يم بْ ُن َىانِ ٍئ ‪ ,‬قَ َاال‪ :‬نا ْ‬ ‫ِ ِ‬
‫احلَ َك ُم بْ ُن ُم َ‬ ‫نا إبْ َراى ُ‬
‫ول‬
‫َن َر ُس َ‬‫ي ‪َ ,‬ع ْن أَِب بَ ْك ِر بْ ِن ُُمَ َّم ِد بْ ِن َع ْم ِرو بْ ِن َح ْزٍم ‪َ ,‬ع ْن أَبِ ِيو ‪َ ,‬ع ْن َج يدهِ ‪ ,‬أ َّ‬ ‫الزْى ِر ُّ‬
‫َح َّدثَِي ُّ‬

‫‪93‬‬
‫‪Abu Muhammad „Abdullah bin abdurrahman bin Faḏil bin Bahram Ad-Darimi, Sunan‬‬
‫‪Al-Darimi, j.1-2, h. 1455‬‬
57

ِ
َّ َ‫ «َال َِي‬:‫ب إِ َل أ َْى ِل الْيَ َم ِن كِتَابًا فَ َكا َن ف ِيو‬
‫س الْ ُق ْرآ َن إَِّال‬ َّ ِ َّ َ ‫اللَّ ِو‬
َ َ‫صلى اهللُ َعلَْيو َو َسل َم َكت‬
94 ِ
»‫ََاىٌر‬
‫ باب هنى احملدث عن مس ادلصحف‬/ ‫ سنن الكرب‬
‫بن َعْب ُد‬ُ ‫بن َح َس ْن‬ ُ ‫َْحَ ْد‬ْ ‫ ثنا أ‬,‫بن َمطََر‬ ُ ‫بن َعْب ُد الْ َع ِزيْ ِز‬
ُ ‫ أنا أَبُو َع ْم ُرو‬,‫بن قَتَ َاد َة‬ ُ ‫َخبَ َرنَا ُع َمَر‬
ْ‫ أ‬-
‫ َح َّدثَِي‬, ‫ َع ْن ُسلَْي َما َن بْ ِن َد ُاوَد‬, ‫ نا ََْي ََي بْ ُن ْحََْزَة‬, ‫وسى‬
َ ‫احلَ َك ُم بْ ُن ُم‬ ْ ‫ثَنَا‬,‫الص ِوِف‬
ُ ‫اجلَبَّار‬
‫ول اللَّ ِو‬ ِ ‫ عن جد‬, ‫ عن أَبِ ِيو‬, ‫ عن أَِب ب ْك ِر ب ِن ُُم َّم ِد ب ِن عم ِرو ب ِن حزٍم‬, ‫ي‬
َّ ‫ أ‬, ‫يه‬
َ ‫َن َر ُس‬ َ َْ ْ َ ْ َ ْ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َ ُّ ‫الزْى ِر‬ ُّ
‫ وبعث بو‬،‫اب فيو الفرائُ والسنن والديات‬ ٍ َ‫صلَّى اهلل َعلَْي ِو وسلَّم َكتَب إِ َل أ َْى ِل الْيم ِن ب ِكت‬
ََ َ َ ََ ُ َ
95 ِ ِ
َّ َ‫ «َال َِي‬:‫وف ِيو قال‬،‫مع عمرو بن حزم فذكر احلديث‬
»‫س الْ ُق ْرآ َن إَِّال ََاىٌر‬
3. Penjelasan Sanad Hadis

Setelah mengumpulkan hadis dengan metode tersebut di atas, penulis akan

menelusuri jalur yang diriwayatkan Al- Darimi dan Abu Daud. Berikut adalah

jalur periwayatan dari Al- Darimi : (1) „Amru bin Hazm, (2) Muhammad bin

„Amru, (3) Abu Bakar bin Muhammad bin „Amru bin Hazm, (4) Al- Zuhrî, (5)

Sulaiman bin Dâud, (6) Yahya bin Hamzah, (7) Hakam bin Mûsa, (8) Al- Darimî.

Kemudian jalur Abu Dâud juga terdapat dua jalur periwayatan, yaitu jalur

pertama melalui : (1) Abi Bakar bin Muhammad bin Hazm, (2) Muhammad bin

„Umâra, (3) Ibnu Idrîs, (4) Muhammad bin Al- A‟la, (5) Abu Dâud. Jalur yang

kedua melalui: (1) Al- Zuhrî, (2) Syu‟aib, (3) Abu Al- Yamân, (4) Muhammad bin

yahya, (5) Abu Dâud.

94
Al- Imam Hafidz „Ali bin „Umara Dar Al-Qutni, Sunan Dar al-Quthni,
95
Al Imam Abi Bakar Ahmad bin Husain bin „Alî al-Baihâqi, Sunan Al-Kubra, j. 1, h.
461
58

Jalur Riwayat Al- Darimi

1) „Amrû bin Hazm bin Yazîd bin Lauẕân al- Ansâri al- Khizrîji , beliau

adalah salah satu dari sahabat yang langsung berguru kepada Nabi SAW ,

beliau dikenal dengan sebutan Abu Ḏahâk atau Abu Muhammad, beliau wafat

pada tahun 50 H, adapun murid yang berguru kepada beliau tak lain adalah

anaknya sendiri yang bernama Muhammad bin „Amrû bin Hazm, dan

keponakan beliau yang bernama Abu Bakar bin Muhammad bin „Amrû,

menurut Ibnu Hâjr beliau adalah salah satu sahabat yang masyhur,

sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya tentang kredibilitas sahabat dalam

meriwayatkan hadis adalah kullu shahabah „udul 96.

2) Muhammad bin „Amrû al- Ansârî al- Najâri, beliau dikenal dengan

nama Abu „Abdul Mâlik, beliau wafat dimadinah pada tahun 63 H, beliau

berguru kepada ayahnya yaitu „Amrû bin Hazm, kemudian salah satu dari

murid beliau adalah Abu Bakar bin Muhammad bin „Amrû yang tak lain adalah

anak dari beliau sendiri. Menurut Al Nasâi beliau adalah orang yang tsiqah, dan

Al Hâfiẕ mengatakan di dalam kitab Taqrîb Al Tadzhîb bahwa beliau adalah

seornag periwayat yang tidak mendengar hadis kecuali dari sahabat.97

3) Abu Bakar bin Muhammad bin „Amrû Hazm al- Anshârî al- Hizrijî ,

beliau dikenal dengan nama Abu Muhammad, beliau wafat pada tahun 120 H,

beliau termasuk di dalam kalangan tabi‟in kecil. Adapun guru beliau adalah

Muhammad bin „Amrû, Salîm bin „Abdullah bin „Umar, dan murid yang

berguru kepada beliau adalah Muhammad bin Muslim bin Syihab Al Zuhrî, dan

96
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal, j. 21, h. 585
97
Abi Al Faḏl Ahmad bin Hajar Al „Asqalany, Tahdzib Al Tahdzib, (Beirut: Dar El
Fikr,t.t)
59

„Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin hazm, selain itu Muhammad bin

„Umâra bin „Amrû, dll. Ulama kritikus hadis seperti Al Waqdî, Muhammad bin

Sa‟îd, Yahya bin Ma‟în, Ibnu Kharâsyî, menilai beliau adalah orang yang

tsiqah, dan Ibnu Hâjar menambahkan dengan „âbid.98

4) Al- Zuhrî nama asli beliau adalah Muhammad bin Muslim bin

„Ubaidillah bin „Abdullah bin Syihâb bin „Abdullah bin Hârits bin Zahrah al-

Qurâsyi al- Zuhrî, beliau dikenal dengan sebutan Abu Al Madâni, beliau wafat

pada tahun 125 H. Salah satu guru beliau adalah Abu Bakar bin Muhammad

bin „Amrû bin Hazm, dan murid yang berguru kepada beliau salah satunya

Sulaiman bin Dâud al Khaulânî, dan Syu‟aib bin Abi hamzah , menurut Ibnu

„Ammâd bahwa Al-Zuhrî adalah salah satu fuqaha yang mashur, dan „Amr bin

Dînâr, „Amr bin „Abdul „Azîz, Al- Lais bin Sa‟ad mengatakan tidak ada yang

lebih mengetahui hadis kecuali Al Zuhrî.99

5) Sulaimân bin Dâwud al- Khaulânî, beliau terkenal dengan sebutan

Abu Dâwud, beliau bertempat tinggal di Damaskus, untuk tahun wafat nya

tidak dtemukan. Adapun guru beliau disebutkan adalah Muhammad bin

Muslîm bin Syihâb Al Zuhrî, dan salah satu dari murid beliau adalah Yahya bin

Hamzah Al Haḏrâmî. Menurut Abu Hatim memberi penilaian lâ ba‟sa bih, Ibnu

Hibbân menilai tsiqah ma‟mûn, dan Abu al- Hasan bin al- Bara‟ dari „Ali ibn

al- Madânî menilai munkar al hadîs, dan ḏa‟îf. 100

6) Yahya bin Hamzah al Waqdi al Haḏrâmî, beliau dikenal dengan Abu

„Abdul Rahmân Al Dimasyqî, diketahui bahwa beliau lahir pada tahun 103 H,

dan wafat pada tahun 183 H, salah satu dari guru beliau adalah Sulaimân bin
98
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal,, j. 33, h. 137
99
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal,, j. 35, h. 104
100
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal,, j.11, h. 416
60

Dâwud Al Khaulânî, dan salah satu murid beliau adalah Al Hakam bin Mûsa

Al Qanṯârî. Menurut ulama Shâlih bin Ahmad bin Hanbal dari ayahnya menilai

lâ ba‟sa bih, „Abdullah bin Syu‟aib Al- Shabûni dan Al Nasâi menilai tsiqah,

sedangkan Abu Hatim menilai shadûq.

7) Hakam bin Mûsa bin Abi Zuhayr, dikenal dengan sebutan Abu Shâlih

Al Qanṯârî, beliau wafat pada tahun 232 H, salah satu guru beliau adalah Yahya

bin Hamzah Al Hadhrâmî, dan murid beliau adalah „Abdullah bin „Abdul

Rahmân Al Darimî. Menurut „Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari Yahya bin

Ma‟în beliau laysa bihi ba‟sa, „Utsmân bin Sa‟îd Al Darimî dari Yahya bin

Ma‟în mengatakan tsiqah, dan Abu Hatim menilai shadûq. 101

8) Al- Darimî, nama asli beliau adalah „Abdullah bin Abdul Rahmân bin

Faḏl bin Bahrâm Al-Darimî al-Tamîmî, beliau dikenal dengan sebutan Abu

Muhammad Al samarkandî. Diketahui bahwa beliau lahir pada tahun 181 H,

dan wafat pada tahun 255 H. beliau berguru kepada Hakam bin Mûsa. Seperti

diketahui bahwasanya beliau masyhur dengan kitab sunan nya yaitu kitab

Sunan Al Darimî.102

Jalur Riwayat Abu Daud I

1) Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (sudah disebutkan sebelumnya)

2) Muhammad bin „Umâra bin „Amrû bin Hazm al- Anshârî al- Hazmî

Al Madânî, banyak yang tidak diketahui mengenai profil beliau termasuk tahun

wafatnya. Salah satu Guru beliau adalah Abu Bakar bin Muhammad bin

„Amrû, dan Murid beliau adalah „Abdullah bin Idrîs. Menurut ulama Ishâq bin

101
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal, j. 7, h. 136
102
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal, j. 15, h. 210
61

Manshûr dari Yahya bin Ma‟în beliau adalah orang yang tsiqah, dan Abu

Hatim menilai beliau adalah orang yang shâlih.103

3) „Abdullah bin Idrîs bin Yazîd bin Abdul Rahmân bin Al- Aswâd,

beliau dikenal dengan nama Abu Muhammad Al Kufî, beliau wafat pada tahun

192 H. Adapun guru-guru beliau salah satunya Muhammad bin „Umâra bin

„Amrû, „Abdul Mâlik bin „Abdul „Azîz bin Jurâij, dan murid beliau adalah Abu

Kurâyb Muhammad bin Al A‟la. Menurut Abu Hatim beliau adalah seorang

Imam dan orang yang tsiqah, Al Nasâi, AL „Ijlî juga menyebutkan yang

demikian beliau adalah orang yang tsiqah tsabit, dan Al Khalîl menambahkan

dengan penilaian mutafaq „Alaih.104

4) Muhammad bin Al- „Ala bin Kurâyb Al Hamdâni, beliau dikenal

dengan sebutan Abu Kurâyb Al Kufî, diketahui bahwa beliau lahir pada tahun

160 H dan wafat pada tahun 247 H. salah satu guru beliau adalah „Abdullah bin

Idrîs, dan ulama-ulama yang berguru kepada beliau salah satunya adalah Abu

Dâwud, Muslim, Tirmidzî dll. Abu Hatim menilai bahwa beliau adalah orang

yang shadûq, dan Al Nasâi menilai dengan penilaian lâ ba‟sa bih.

Jalur riwayat Abu Daud II

1) Al Zuhrî (sudah disebutkan sebelumnya)

2) Syu‟aib bin Abi Hamzah, beliau terkenal dengan sebutan Abu Basyar

Al Hamshî, beliau wafat pada tahun 162 H. Salah satu dari guru beliau adalah

Muhammad bin Muslim bin Syihâb Al Zuhrî, dan banyak yang berguru kepada

beliau salah satunya Abu Al Yamân bin Hakam bin Nâfi‟. Menurut „Abdullah

bin Syu‟aib al- Shabûni dari Yahya bin Ma‟în beliau adalah orang yang tsiqah,

103
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal,, j. 21, h. 254
104
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal,, j. 14, h. 293
62

begitu juga pendapat ulama Ahmad bin „Abdullah al-„Ijlî, Ya‟qûb bin Syibah,

Abu Hâtim, dan Al Nasâi menyebutkan bahwa beliau tsiqah, Al „Ijlî

menambahkan bahwa beliau tsiqah tsabit dan Al Khalîl mengatakan beliau

Hâfidz.105

3) Abu Al Yaman, nama asli beliau adalah Al Hakam bin Nâfi‟ Al

Bahrâni, dikenal dengan sebutan Abu Al Yaman Al Hamshî, beliau wafat pada

tahun 222 H. beliau banyak berguru dengan ulama salah satunya adalah

Syu‟aib bin Hamzah, begitu juga murid beliau salah satunya Muhammad bin

Yahya Al Dzahli. Menurut „Abdul Rahmân bin Abi Hatim beliau adalah

Tsiqah shadûq dan Ahmad bin „Abdullah Al Ijlî memberi penilaian la ba‟sa

bih.106

4) Muhammad bin Yahya bin „Abdullah bin Khâlid bin Fâris bin

dzuwayb al- Dzuhli, beliau dikenal dengan sebutan Abu „Abdullah Al

Naisabûrî Al Imâm Al Hâfidz. Diketahui bahwa beliau lahir pada tahun 172 H

dan wafat pada tahun 258 H. Salah satu dari guru beliau adalah Abu Al Yaman

Hakam bin Nâfi‟, dan murid beliau adalah Abu Dâwud. Menurut Abu Hâtim

beliau adalah orang yang tsiqah, „Abdul Rahman bin Abi Hâtim menilai

dengan peringkat tsiqah shadûq, serta Al Nasâi menilai beliau tsiqah

ma‟mûn.107

5) Abu Dâwud nama asli beliau adalah Sulaimân bin Al Asy‟Asy bin

Ishâq bin Basyîr bin Syidad Al Azdi Al Sijistâni, nama Abu Dâwud adalah

kunyah atau nama yang populer di tengah masyarakat. Beliau wafat pada tahun

275 H, beliau banyak berguru kepada ulama diantaranya Muhammad bin


105
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal,j. 12, h. 516
106
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal, j. 7, h. 146
107
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal, j.
63

Yahya bin Fâris Al Dzahlî, Abu Kurâyb Muhammad bin Al A‟la, dan Hakam

bin Mûsa Al Qanṯâri. Menurut Al Hakam Abu „Abdullah adalah seorang Imam

yang hafiẕ, Ibnu Hâjar berpendapat bahwasanya beliau tsiqah, hafiẕ, dan Abu

Hâtim mengatakan bahwasanya beliau faqih, „ilman, hifẕan.108

Setelah melakukan penelusuran melalui tiga jalur di atas, maka dapat dilihat

bahwa dari masing-masing jalur dan periwayat semua sanad nya bersambung,

hal ini dapat dilihat dari pengakuan antara guru dan murid, kemudian tahun

wafat dari masing-masing perawi. Adapun kritikus hadis masing-masing

mempunyai penilaian berbeda-beda terhadap masing-masing perawi, namun

sebagian memberi penilaian dengan lafaz-lafaz ta‟dil (memuji), seperti kata

tsiqah, tsiqah tsabit, hâfiẕ, dsb. Meskipun ada juga yang memberi penilaian

dibawah itu seperti kata shadûq, lâ ba‟sa bih,dll. Namun dari beberapa

penilaian ta‟dil yang diberikan oleh para ulama kritikus hadis ada satu

periwayat yang dinilai munkar al hadîs dan ḏa‟îf oleh Abu Al Hasan Al Bara‟

yaitu Sulaimân bin Dâwud. Akan tetapi oleh Abu Hâtim (kritikus yang

mutasyaddid/ketat) dinilai lâ ba‟sa bih.

Ulama berbeda-beda pendapat mengenai kesahihan sanad hadis ini,

sebagaian ulama berpendapat bahwasanya sanad hadis ini lemah dengan

berbagai macam kekurangan terhadap perawinya, dan hadis yang diriwayatkan

oleh Malik ini adalah mursal, dan dianggap bersambung oleh Al Nasai dan

Ibnu Hibban, akan tetapi dijelaskan di dalam kitab Subul Al Salâm bahwa

hadis ini adalah ma‟lul109 karna termasuk dari riwayat Sulaimân bin Dâwud,

yang mana disepakati bahwa hadis nya matruk (tidak terpakai), sebagaimana
108
Al-Mizzi, Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal, j.11, h.355
109
Hadis yang diketahui ada keraguan di dalamnya, (umtuk penjelasan lebih lanjut baca
Subul Al Salam, h. 167)
64

yang dikatakan oleh Ibnu Hazm, tetapi dalam hal itu ia keliru karna mengira

Sulaiman yang di maksud adalah Sulaimân bin Dâwud Al Yamâni, padahal

yang dimaksud adalah Sulaimân bin Dâwud Al Khaulâny. Menurut Abu

Zur‟ah, Abu Hâtim, „Ustmân bin Sa‟îd ia dipuji sebagai periwayat yang tsiqah

serta termasuk dalam kelmpok para hafiẕ.110

Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa hadis ini menyerupai hadis mutawatir

karna diriwayatkan berupa hadis bersanad dari jalan shalih, yaitu yang terkenal

menurut ahli sejarah dan ahli hadis sehingga tidak perlu disiarkan sanad nya.

Dan orang-oarang yang menjadi syahid atas hadis tersebut tentu menerimanya,

karna mereka tidak mungkin menerima hadis yang tidak shahih.111

Dikatakan bahwasanya semua jalur hadis tersebut memang tak satupun yang

luput dari kelemahan, hanya saja kelemahan yang dimaksud adalah ringan

yaitu terletak pada kemursalan dan kelemahan terhadap hafalan, tidak ada

seorang pun diantara perawinya yang tertuduh berdusta, dan kelemahan yang

seperti demikian dapat menguatkan satu jalau hadis dengan jalur yang lain

sebagaiaman telah ditetapkan oleh Al Nawawi dalam kitab taqribnya dan As

Suyuti di dalam syarahnya.112

Sehingga meskipun hadis ini di dhaifkan oleh sebagian ulama tapi hadis ini

terdapat banyak jalur periwayatan sehingga Al Bani(sebagai ulama modern)

mengatakan setiap darinya saling menguatkan antara satu sama lain sehingga

110
Muhammad bin Ismâ‟îl Al-Amir Al- San‟âni, Subul Al Salâm: Syarah Bulughul
Maram, terj. Muhammad Isnani, dkk, (Jakarta: Darus Sunnah, 2010), j. 1, h. 168
111
Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul
Ahwadzi : Syarah Jami‟ Tirmidzi, terj. Shafaul Qalbi, j.2, h. 105
112
Syarif Rahmat, “Berwudhu Untuk Memegang Mushaf Al Qur‟an”, Kumpulan Buletin
Jum‟at “Qum”, No. 209 (Desember 2005)
65

dapat diangkat ke taraf shahih lighairihi.113 Pengakuan beberapa syahid yang

menyatakan keshahihah surat tersebut turut menguatkan tentang kebenaran

hadis ini seperti Ya‟qûb bin Sufyan ia mengatakan bahwasanya ia tidak pernah

mengetahui surat yang lebih shahih dari pada surat ini, begitu juga dengan

„Umar bin „Abdul „Azîz dan Az-Zuhrî telah menyatakan kesaksian tentang

benarnya surat tersebut.114

Namun pada tingkat penetapan hukum nya tidak mencapai pada tingkat

haram, hanya makruh karna hadis tersebut masih diperdebatkan sanad-sanad

nya, sedangkan maksud-maksud lafaznya tidak jelas mengharamkannya.115

Dan maksud dari pada bersuci pada teks hadis tersebut perlu penelitian lebih

lanjut karna merupakan lafaz yang mengandung banyak makna. Apakah yang

dimaksud adalah suci dari hadas kecil, atau suci dari hadas besar, orang

mukmin atau orang yang tidak ada najis dibadannya. Harus ada qarinah khusus

untuk memahaminya atas makna tertentu.116

4. Penjelasan Hadis Larangan Menyentuh Mushaf Al-Qur’an Bagi

perempuan Haid

Suci di dalam teks hadis yang bercerita tentang surat yang ditulis Rasulullah

kepada „Amrû bin Hazm menjadi perdebatan dikalangan ulama , ada yang

menyatakan bahwasanya hal yang dimaksud itu adalah suci dari hadas besar

sehingga tidak diperbolehkan bagi orang haid, junub ataupun nifas untuk

menyentuhnya, kemudian ada yang menyatakan bahwasanya hal itu ditujukan


113
Muhammad Nashiruddin Al Bani, Irwâ Al Ghalîl, terj. Khairun Na‟im dan Diana
Madzkur, (Jakarta: Najla Press, 2003), j. 1 , h. 158
114
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Mukhtasar Nailul Authar, terj. Amir
Hamzah Fachrudin dan Asep Saefullah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), h. 164
115
Muhammad bin Isma‟il Al-Amir Al-San‟âni, Subul Al Salâm: Syarah Bulughul
Maram, j.1, h. 266
116
Muhammad bin Isma‟il Al-Amir Al-San‟âni, Subul Al Salâm: Syarah Bulughul
Maram,, j. 1, h. 168
66

untuk orang-orang kafir yang kotor dan najis sebagaimana firman Allah yang

menyebutkan di dalam Surah Al Taubah/ 9:28 (“ Innamal Musyrikûna

najas..”.), sehingga ditarik kesimpulan bahwa tidak mengapa seorang

perempuan haid menyentuh mushaf dikarenakan hadis Rasulullah yang

menyatakan :

‫ ح َو َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر‬،‫ ُْحَْي ٌد َحدَّثَنَا‬:‫ال‬ ٍ ِ‫ حدَّثَنا ََيَي ي ع ِي ابن سع‬،‫ب‬ ٍ


َ َ‫يد ق‬ َ َ ْ ْ َ َ ْ َ َ ‫َح َّدثَِي ُزَىْي ُر بْ ُن َح ْر‬
‫ َحدَّثَنَا بَك ُْر بْ ُن‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ َع ْن ُْحَْي ٍد الطَّ ِو ِيل‬،َ‫يل ابْ ُن عُلَيَّة‬ ِ ِ
ُ ‫ َحدَّثَنَا إ َْسَاع‬- ُ‫ظ لَو‬ ُ ‫ َواللَّ ْف‬- ،َ‫بْ ُن أَِب َشْيبَة‬
ِ‫ «سبحا َن اهلل‬:‫اهلل صلَّى اهلل علَي ِو وسلَّم‬
َ ُْ َ َ َ ْ َ ُ َ
ِ ‫ول‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ ‫فَ َق‬...( ،‫ َع ْن أَِب ُىَريْ َرَة‬،‫ َع ْن أَِب َرافِ ٍع‬،ِ‫َعْب ِد اهلل‬
117
)...»‫س‬ ِ َّ ِ
ُ ‫إن الْ ُم ْؤم َن َال يَْن ُج‬
Selain dari pada itu hal yang menjadi landasan ulama melarang orang yang

haid menyentuh mushaf al-Qur‟an ialah karna adanya perbedaan penafsiran

terhadap firman Allah SWT di dalam surah Al Waqi‟ah ayat : 79

‫الَ َِيَ ُّسوُ إَِّال الْ ُمطَ َّه ُرو َن‬


Artinya : “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan”
Di dalam tafsir Al Thabari dijelaskan bahwa kitab yang terpelihara itu tidak

dapat disentuh kecuali oleh makhluk yang telah disucikan allah dari dosa, sa‟îd

bin Jubair, Abu Al „Alîyah dan Ibnu sa‟îd berpendapat malaikat, Ikrimah

berpendapat dilarang menyentuh bagi orang yahudi dan nashrani, Qatadah

orang suci dari hadas besar dan kecil.118

Sehingga Al-Ṯabari menyimpulkan bahwasanya pemberitahuan pada ayat

ini adalah bersifat umum untuk seluruh makhluk, sehingga pendapat yang

117
Abi Al Husain Muslim bin Al Hajaj, Sahîh Muslim, (Kairo: Maktabah al-
Islamiyah,tt), Kitab Tayammum, Bab Dalil Atas Muslim Tidak Najis,
118
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al Ṯabari, Tafsir Al Ṯabari, terj. Fathurrozi dan
Anshari Taslim, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2009), j. 24, h. 613-615
67

paling tepat adalah yang para malaikat, rasul dan nabi yang telah disucikan

oleh Allah dari perbuatan dosa.119

Pada makna kata lâ yamassuhu di atas, oleh mayoritas ulama kata ganti

nya ditujukan kepada malaikat karna melihat pada ayat sebelumnya yaitu “fî

kitâbin maknûn” (“kitab yang terpelihara”), pada pendapat lain memaknai kata

lâ yamassuhu tersebut menurut al- Biqa‟i kata la di sana bukan bermakna

tidak, melainkan jangan yakni larangan, dan kata ganti hu bukan kembali

kepada manusia atau malaikat melainkan memegang dengan tangan, hal ini

kemudian yang menjadi dasar pendapat Al Qurṯûbi dalam tasfirnya (yang

menganggap yang dimaksud adalah mushaf yang ada ditangan kita sebagai

pendapat yang kuat)120, Al syafi‟i, Imam Mâlik yang dinisbatkan kepada

Ahmad bin hanbal bahwasanya tidak diperkenankan menyentuh al-Qur‟an

dalam keadaan hadas besar atau kecil. Imam Mâlik memperkuat argumen

tersebut dengan hadis yang berupa surat yang dikirimkan kepada penguasa

melaui „Amrû bin Hazm, selain dari pada itu ini menjadi bentuk pengagungan

terhadap al-Qur‟an yang mesti dijunjung tinggi antara lain dengan kesucian

lahir dan bathin. Sedangkan Abu Hanifah memberi toleransi bagi orang yang

berhadas kecil tidak dalam keadaan berwudhu.121

Ayat ini juga turun sebagai bantahan terhadap dugaan bahwasanya al-

Qur‟an itu diturunkan oleh jin, sebagaimana jin menurunkan kepada dukun,

lalu ayat ini turun membantah dengan mengatakan bahwasanya al-Qur‟an itu

adalah kitab yang terpelihara dan tidak disentuh oleh orang yang suci hatinya,

119
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al Ṯabari, Tafsir Al Ṯabari, j.24, h. 616
120
Muhammad Ali Al Sabuni, Safwat Al Tafâsir: Tafsir Tafsir Pilihan”, terj. KH.Yasin,
(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2011), j.5, h. 213
121
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, j. 13, h. 577
68

dalam arti bersih jiwa tanpa ada keraguan atas keesaan Allah dan kekufuran di

dalamnya, sehingga dengan demikian bila hal itu sudah terjadi maka tidak ada

jarak antara dirinya antara dengan dirinya dengan kitab yang maknun

(terpelihara). Hal ini dtegaskan di dalam hadis shahih riwayat Bukhari dan

Muslim tentang larangan membawa Al-Qur‟an didaerah musuh, hal ini

dikhawatirkan al-Qur‟an tersebut disentuh oleh orang musyrik.122 Dan

diperlakukan tidak sewajarnya oleh orang-orang non muslim.123

Secara bahasa dijelaskan An Na‟mani di dalam kitabnya Al Lubâb fi „Ulûm

al- Kitâb bahwasanya kata lâ yamassuhu artinya lâ yanzilu yang berarti tidak

turun kecuali dari malaikat yang suci, kalau yang dimaksud adalah orang

bersuci dari hadas maka redaksi nya menjadi al muthṯahhirûn124. Sebagaimana

firman Allah surah Al Baqarah 2/222 menyebutkan: (“Innallâha yuhibbu al

tawwâbîna wa yuhibbu al mutaṯohhirîn”) Dengan demikian tidak ada indikasi

yang melarang untuk menyentuh al-Qur‟an.

Jadi diakhir kesimpulan tentang perkara menyentuh mushaf al-Qur‟an ini

jika ditinjau dari sanad hadisnya masih terdapat banyak pertentangan,

sebagaimana pernyataan Ibnu Hazm bahwasanya atsar-atsar yang digunakan

oleh orang yang melarang menyentuh mushaf bagi orang yang haid dan junub

tidak bisa dijadikan dalil karna semua atsar itu tidak ada yang shahih, karna

periwayatan hadis itu mursal atau bahkan bermartabat dhaif sehingga tidak bisa

dijadikan landasan hukum.125

122
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al Azhar Juz XXVII, (Jakarta : Pustaka
Panjimas, t.t), h. 256-257
123
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, j. 13, h. 577
124
Abdullahsyah dkk, “Jurnal Kajian Nilai-Nilai KeIslaman”. Al Kaffah vol.3, no 1
(Januari-Juni 2015): h. 21-22
125
Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa‟id bin Hazm, Al- Muhalla, j. 2, h. 172
69

Dan mengenai ayat yang dikutip sebagai penguat akan larangan ini pendapat

yang paling rajih adalah boleh nya menyentuh mushaf al-Qur‟an bagi orang

yang berhadas hal ini dilihat dari beragam nya penafsiran dari ulama mengenai

ayat ini. Pertama dhomir hu pada kalimat la yamassuhu itu kembali kepada

kitab yang ada ditangan malaikat hal ini dlihat dari kata maknun pada ayat

sebelumnya, dan kata al muṯohharun bermakna malaikat, karna tidak ditulis

dengan kata al muṯahhirîn yang berarti manusia yang menyucikan diri. Kedua

ayat ini bukan sebuah perintah atau larangan melainkan suatu khabar yang

menjelaskan tentang bantahan terhadap tuduhan bahwa setan berada dibalik

turunnya al-Qur‟an ke tangan Nabi Muhammad SAW. Ketiga ayat ini

tergolong kepada ayat makiyyah yang mana ayat makiyyah adalah ayat yang

diturunkan sebelum hijrah yang ciri-cirinya merupakan tentang tauhid,

beribadah kepada Allah, argumentasi terhadap orang-orang musyrik, dll.126

Adapun ulama yang melarang menyentuh mushaf al-Qur‟an seperti

Imam syafi‟i menurut Al Razi di dalam tafsirnya bahwasanya sebab adanya

pelarangan menyentuh mushaf bagi orang yang berhadas diambil dari

kesimpulan hadis dan ijtihad dari kesimpulan ayat ini sebagai bentuk

memuliakan al-Qur‟an.127 hal ini juga di utarakan oleh Ali Al Shabuni di dalam

kitabnya bahwa turunnya al-Qur‟an dibawa oleh Malaikat yang suci, justru itu

ia tidak disentuh oleh selain orang yang suci sebagai bentuk pengagungan Al-

Qur‟an.128

126
Manna‟ Khalîl Al Qaṯan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2013), h. 87
127
Imam Muhammad Al Razi Fakhruddin, Tafsir Al Kabîr wa Mafâtih Al Ghaib, (Beirut:
Dar El fikr, 1414 H/ 1994 M), j. 29, h. 195
128
Muhammad Ali Al- Sabuni, Terjemahan Tafsir Ahkam Al-Sabuni, h. 968
BAB III

PESANTREN TAKHASUS INSTITUT ILMU AL- QUR’AN (IIQ)

JAKARTA

A. Sejarah Pesantren Takhassus IIQ Jakarta

Pesantren merupakan salah satu wadah atau sarana untuk menunjang

pengembangan diri masyarakat, baik dari segi akhlak maupun kreatifitas.

Maka dari itu perlu adanya sejumlah konsep sebagai penunjang

pengembangan diri, hal ini berguna untuk meningkatkan kualitas pesantren

tersebut dan juga kualitas kehidupan masyarakat.1

Pesantren Takhassus IIQ merupakan salah satu pesantren yang berbasis

perguruan tinggi, lebih uniknya lagi pesantren ini merupakan pesantren

yang dikhususkan untuk wanita saja dengan tujuan utamanya ialah

mencetak ulama wanita, yang hafal al- Qur‟an, intelek dalam bidang ilmu

pengetahuan dan berwawasan luas.2 Bahkan menurut Prof. K.H. Ibrahim

Hosen, LML selaku rektor IIQ (periode 1977-2001) pada masa itu

bahwasanya :

“IIQ adalah merupakan perguruan tinggi khusus wanita yang baru satu-
satunya ada di Indonesia bahkan didunia Islam. Di negara-negara Islam
Timur Tengah baik di Mesir, saudi, Iraq dan lain-lain belum ditemukan
suatu lembaga pendidikan tinggi khusus wanita yang mengadakan
pendalaman dan pengembangan ilmu-ilmu al- Qur‟an sebagaimana IIQ
ini.”3
Berdiri nya IIQ ini didorong oleh beberapa faktor, pertama tentunya

atas dasar kecintaan terhadap al- Qur‟an dan kesadaran akan pentingnya

1
A. Halim dkk, Manajemen Pesantren, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2005), h. 3
2
Institut Ilmu Al qur‟an Jakarta, Tentang IIQ Sejarah, artikel diakses pada 2 April 2018
dari http://iiq.ac.id/index.php?a=artikel&id=15&dm=16
3
Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25 Tahun
IIQ Jakarta)”, Lustrum V IIQ Jakarta, (1423 H/202 M), h. 13

70
71

memasyarakatkan al- Qur‟an guna untuk menjaga kemurnian dan

keorisinilan al- Qur‟an yang benar-benar terjamin maka perlu dicetak

huffadz al- Qur‟an (penghafal al- Qur‟an) yang bukan hanya sekedar

menghafal isinya tetapi yang tak kalah penting memahami makna al- Qur‟an

itu sendiri dengan menggali, mentelaah, dan mengkaji isi kandungan al-

Qur‟an. Selain dari pada itu para penghafal al- Qur‟an yang sarjana pada

masa itu hampir tidak ada.1

Kedua Pada tahun 1969 untuk pertama kalinya, telah berlangsung

Musabaqah Tilawatil Qur‟an (MTQ) tingkat nasional di Bandung, dan

kegiatan ini mendapat sambutan yang baik dan sangat menakjubkan dari

setiap muslim, sehingga sejak saat itu sampai kini MTQ menjadi tradisi

yang diselenggarakan oleh setiap lapisan pemerintah.2 Melihat bahwasanya

MTQ dan MHQ ini merupakan sarana yang efektif bagi syi‟ar Islam

sekaligus menjadi wadah da‟wah strategis maka agar MTQ dan MHQ ini

lebih bermakna dan berbobot sehingga mempunyai dampak positif yang

berkepanjangan maka perlu ditopang dengan lembaga ilmiah yang bersifat

khusus.3 Maka tak heran jika IIQ ini menjadi salah satu icon yang mencetak

para qori‟ah dan hafidzhah yang sudah berlaga dikancah nasional bahkan

1
Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25 Tahun
IIQ Jakarta)”, h. 6-7
2
Ahmad Sukardja dkk, IIQ dan Peran Sertanya Dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta
: PT Kabiran Makmur Offset, 1985 M), h. 47
3
Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25 Tahun
IIQ Jakarta)”, h. 12
72

internasional seperti baru-baru ini mahasiswi IIQ yang menjadi delegasi

Indonesia berhasil menjadi juara ke II MHQ Internasional di Yordania.4

Ketiga dikhususkan nya lembaga ini untuk wanita saja guna untuk

mengangkat derajat wanita yang mempunyai hak yang sama dan setara

dengan lelaki salah satunya dibidang pendidikan serta menyadari

bahwasanya peranan wanita begitu sangat penting, keduanya sebagai bentuk

merealisir ajaran Islam yang menjunjung tinggi martabat perempuan

sebagaimana firman Allah SWT dan hadis Nabi SAW yang banyak

menggambarkan tentang tokoh-tokoh wanita.5

Selain dari pada itu, yang menjadi penguat dikhususkan nya IIQ ini

sebagai lembaga untuk wanita saja ialah karna mengingat seorang wanita

adalah tiang negara dalam artian berdirinya sebuah negara pun tidak terlepas

dari peran seorang wanita, dan wanita merupakan ibu pendidik sekaligus

madrasatul ula yang melahirkan dan mempunyai peran yang paling dekat

kepada keluaraga dan anak yang mana merupakan generasi penerus, tentu

wanita juga perlu di bekali dengan harapan kelak ia akan melahirkan

generasi penerus yang berkualitas dan berakhlak qur‟ani, maka sebelum

terjun ke masyarakat, IIQ hadir sebagai wadah untuk memberdayakan

perempuan.6

4
http://www.pesantreniiq.or.id/index.php/news-iiq/warta/44-warta/513-Rifdah-Farnidah-
mahasiswi-iiq-juara-mhq-internasional, diakses pada hari Minggu, tanggal 22 April 2018
5
Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25 Tahun
IIQ Jakarta)”, h. 59-60
6
Wawancara Pribadi dengan warek III IIQ, Hj. Romlah Widayati, M.A. , pada hari
Kamis 12 April 2018, Jam 11. 17 WIB
73

Selain dilatarbelakangi oleh beberapa faktor diatas hal ini juga didorong

atas adanya desakan dari Mentri Agama pada waktu itu yaitu Prof. Dr.

H.A.Mukti Ali, MA sehubung dengan adanya permintaan dari Daerah

Istimewa Aceh untuk mendirikan perguruan tinggi khusus wanita. Hal ini

sejalan dengan anjuran Presiden RI (bapak Soeharto pada waktu itu) yang

disampaikan pada pembukaan MTQ Nasional ke III di Banjarmasin agar Al-

qur‟an tidak hanya di musabaqahkan bacaannya saja, akan tetapi hendaknya

juga dipelajari dan digali ilmu dan kandungannya serta diamalkan untuk

disumbangkan kepada kepentingan pembangunan nasional.7

Karna terpanggil oleh rasa tanggung jawab, atas gagasan Prof K.H,

Ibrahim Hosen, LML, didirikanlah IIQ Jakarta pada tanggal 12 Rabiul Awal

1397 H atau bertepatan pada tanggal 1 April 1977 M oleh Yayasan Affan

yang diketuai oleh H. Sulaiman Affan. Yang beberapa tahun sebelumnya

telah memprakarsai berdirinya Perguruan Tinggi Al-Qur‟an (PTIQ) khusus

pria melalui Yayasan Ihya‟ Ulumuddin bersama-sama Almarhum Menteri

Agama K.H. Muhammad Dahlan, dan almarhum K.H.A. Zaini Miftah.8

Kemudian sejak tahun 1983 hingga sekarang IIQ diselenggarakan oleh

yayasan IIQ yang diketuai oleh Hj. Harwini Joesoef. Pada mula

terbentuknya IIQ ini perkuliahan pertama kali diadakan di garasi mobil

keluarga H. Harwini Joesoef yang di sulap menjadi ruang kelas belajar,

sekaligus mahasiswi yang ada tersebut diasramakan karna adanya program

tahfidz 30 juz yang ditempuh maka tidak memungkinkan untuk

7
Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25 Tahun
IIQ Jakarta)”, h. 9-10
8
Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25 Tahun
IIQ Jakarta)”, h. 8
74

menyelesaikan hafalan tersebut jika pulang pergi, selain dari pada itu,

mahasiswi yang ada pada masa itu merupakan utusan LPTQ dari berbagai

daerah seperti Sulawesi, Surabaya, kalimantan, dll.9

Adapun kampus IIQ sekarang ini yang berpusat di daerah Tangerang

Selatan tepat nya di jl. Ir. H. Juanda No.70 kecamatan Ciputat10, dulunya

merupakan gedung LPTQ DKI Jakarta yang kemudian di hibahkan kepada

pihak Yayasan IIQ sebagi mitra untuk di pergunakan sebagai tempat

perkuliahan dan pembinaan calon qori‟ah dan hafidzhah yang nantinya akan

membantu berjalannya kegiatan LPTQ.11

Sebagai lembaga institusi yang memiliki tujuan mencetak para

penghafal al- Qur‟an maka perguruan tingkat institut ini memiliki sebuah

asrama sebagai salah satu sarana untuk mendukung program-program yang

sedang ditempuh di IIQ, Asrama ini juga diharapkan menjadi sebuah

pesantren takhassus yang diharapkan mampu memainkan peran sentral

untuk menunjang keberhasilan pendidikan di IIQ Jakarta terutama dalam

bidang tahfidz, tahsin, dan ulum al-qur‟an.12 Asrama mahasiswi ini

diresmikan pada tanggal 3 april 1985 bertepatan dengan peringatan dies

natalis ke VIII, pada saat itu diatas tanah 2½ hektar baru dibangun sebuah

gedung asrama dan dua buah perumahan pegawai atau pengawas asrama.

Dalam sambutannya selaku ketua umum yayasan IIQ, H.Harwini Yusuf

9
Wawancara Pribadi dengan Hj. Romlah Widayati,
10
Institut Ilmu Al qur‟an Jakarta, “ Tentang IIQ Sejarah,” artikel diakses pada 2 April
2018 dari http://iiq.ac.id/index.php?a=artikel&id=15&dm=16
11
Wawancara Pribadi dengan Hj. Romlah Widayati,
12
Pesantren IIQ, “profil Pesantren,” artikel diakses pada 2 April 2018 dari
http://www.pesantreniiq.or.id/index.php/profil-iiq
75

mengatakan bahwasanya asrama ini merupakan salah satu sarana untuk

menunjang mahasiswi IIQ yang menghafal al- Qur‟an.13

Dalam pidato Dies IIQ ke VIII ini Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML
menyampaikan sebagai berikut:
“IIQ didirikan sebagai markas perjuangan kaum perempuan,
sekaligus merupakan kawah condrodimuko (tempat penggemblengan
dan penggondokan) srikandi-srikandi Islam yang sanggup tampil
mengibarkan panji-panji dakwah Islamiyyah, membangun masyarakat
dan bangsanya menuju masyarakat yang baik dan diridhoi Allah Swt.
Dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
pancasila. Dari lembaga ini diharapkan dapat diproduksi sarjana-sarjana
muslimah yang berilmu dan berakhlak mulia, yang sanggup berperan
aktif mensukseskan pembangunan nasional sebagai sumbangsih
terhadap agama, bangsa dan negaranya.”14

B. Tujuan Didirikannya IIQ

Dalam statuta IIQ tahun 2001, Bab II Pasal 3 berkenaan dengan

tujuan didirikannya IIQ disebutkan sebagai berikut:

1. Membentuk ulama/sarjana yang hafal al-Qur‟an, yang memiliki


kemampuan akademik dan/ atau profesional dalam bidang ilmu
agama Islam, khususnya ilmu-ilmu al-Qur‟an, serta mempunai
wawasan yang luas dan berakhlak mulia.
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu agama Islam,
khususnya ilmu al- Qur‟an , serta mengupayakan penggunaannya
untuk kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dalam negara
Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila.15
C. Visi dan Misi Pesantren Takhassus IIQ Jakarta

Visi
1. Menjadi Pesantren Mahasiswi yang Qur‟ani

Misi
1. Menciptakan lingkungan pesantren yang nyaman dan kondusif
untuk menghafal al-Qur‟an.

13
Ahmad Sukardja dkk, IIQ dan Peran Sertanya Dalam Pembangunan Nasional, h. iv
14
Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25
Tahun IIQ Jakarta)”, h. 37-38
15
Institut Ilmu Al- Qur‟an (IIQ) Jakarta, “ Mengibarkan Panji-Panji Al- Qur‟an (25
Tahun IIQ Jakarta)”, h.37
76

2. Menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada pembinaan


akhlakul karimah dan pembentukan kepribadian yang disiplin dan
bertanggungjawab.
3. Menyelenggarakan program kajian keilmuan khususnya ilmu-
ilmu al-Qur‟an dalam rangka pengembangan pola pikir kritis.16
D. Sarana dan Fasilitas Pesantren

1) Tiga unit gedung asrama


2) Masjid Raudhatul Qur‟an
3) Aula utama
4) Perpustakaan
5) Laboratorium bahasa
6) Laboratorium komputer
7) Koperasi
8) Kantin
9) Laundry
10) Lapangan olahraga
11) Bus antar jemput mahasiswi
12) Saung qur‟an, dll17
E. Struktur Organisasi Pesantren
Yayasan IIQ Jakarta

Rektor IIQ Jakarta


Prof. Dr. Hj. Khuzaimah Tahido Yanggo, M.A

Warek I, II, dan Warek III


Dr. Hj. Nadjematul Faizah, SH., M. Hum
Dr. H. M. Dawud Arif Khan, M.Si., AK., CPA
Dr. Hj. Romlah Widayati, M.A

Pengasuh
Dr. KH. Ahmad Fathoni, Lc., M.A.

Kepala Asrama
Ruaedah, M.A.

Wakil Kepala Asrama


Hj. Istiqomah, M.A.

16
Pesantren IIQ, “profil Pesantren,” artikel diakses pada 2 April 2018 dari
http://www.pesantreniiq.or.id/index.php/profil-iiq
17
Pesantren IIQ, “profil Pesantren,” artikel diakses pada 2 April 2018 dari
http://www.pesantreniiq.or.id/index.php/profil-iiq
77

Sekretaris Bendahara
Dliyaul Ula, S.Ud Salwa Fakhriani, S.Pd.I

Dep. PSDMK Dep. PDPK Dep. KIP


Wakil Kepala Khusna Farida, S.Pd.I

Ketua Unit
Asrama I, II, III, IV & Masjid

Mahasantri

F. Kegiatan di Pesantren IIQ Jakarta


Sebagaimana kegiatan pesantren pada umumnya yang tidak terlepas

dari kegiatan agama, begitu juga di IIQ, kegiatan yang wajib diikuti di IIQ

ini adalah tahfiz karna memang dari awal dibentuknya IIQ ini itu menjadi

program unggulan dipesantren ini selain program unggulan lainnya seperti

naghom, Ilmu qiraat, Rasm Utsmani dll. Kegiatan tahfiz di IIQ ini menjadi

salah satu syarat kelulusan menuju semester selanjutnya, jika mahasiswi

terdapat kendala pada tahfiz dalam artian ketika waktu target tahfiz sudah

habis dan mahasiswi tersebut belum juga selesai targetnya maka mahasiswi

tersebut tidak diperkenankan untuk mengikuti ujian semester.18 Pada awal

terbentuknya IIQ ini program tahfiz yang ada di pesantren ini seluruhnya 30

juz, namun setelah melihat ada beberapa kendala, diantaranya kemampuan

menghafal setiap mahasiswi berbeda-beda maka dibuatlah program tahfiz

bertingkat.19

18
Wawancara pribadi dengan warek III IIQ. Tanggal 12 April 2018
19
Wawancara pribadi dengan warek III IIQ tanggal 12 April 2018
78

Program tahfidz di IIQ ini sendiri terbagi menjadi empat tingkat yaitu

pertama program tahfiz 30 juz, kedua program tahfiz 20 juz, ketiga program

tahfiz 10 juz dan keempat program tahfiz 5 juz.20 Masing-masing dari

pelaksanaan program ini terbagi dalam dua jadwal yaitu jam tahfidz wajib

dan jam tahfiz sunnah. Yang wajib itu berlaku pada hari senin, rabu dan

jum‟at sedangkan pada hari selain yang disebutkan tadi merupakan tahfiz

sunnah artinya boleh setoran tahfiz dan boleh tidak.

Selain dari pada itu, program diatas terbagi lagi menjadi dua, pertama

kelas tahfiz yang mana kelompok ini terdiri dari mahasiswi yang mengambil

program 30 juz dan 20 juz. Sedangkan yang kedua adalah kelas madin atau

kitab yang mana kelas ini wajib diikuti oleh mahasiswi yang mengambil

program 10 juz dan 5 juz. Selain dari kegiatan tahfiz di pesantren IIQ, juga

mahasiswi wajib mengikuti kegiatan penunjang seperti kegiatan baghdadi,

amtsilati, dll. Khususnya kepada mahasiswi yang mengambil program 10

juz dan 5 juz juga dibebankan untuk mengikuti kegiatan wajib kitab seperti

hadis, dan kitab-kitab kuning lainnya.21

Di pesantren IIQ juga terdapat banyak kegiatan ekstrakurikuler yang

bisa diambil oleh mahasiswi yang bermukim dipesantren, seperti kelas

jurnalis, kelas bahasa dll. Dan hampir setiap weekend selalu diisi dengan

kegiatan baik itu kegiatan Orda (Organisasi daerah) ataupun kegiatan

seminar-seminar.22

20
Brosur institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta, Tahun Ajaran 2018-2019
21
Wawancara pribadi dengan mahasiswi pesantren IIQ, tanggal 23 April 2018
22
Wawancara pribadi dengan mahasiswi pesantren IIQ, tanggal 23 April 2018
BAB IV

PEMAHAMAN HADIS TENTANG LARANGAN MEMBACA

DAN MENYENTUH MUSHAF DALAM KEADAAN HAID

Pada penelitian ini penulis memusatkan penelitian di pesantren Takhassus

IIQ Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor. pertama pesantren tersebut adalah

pesantren yang background nya adalah pesantren penghafal al Qur‟an, yang mana

keseharian nya tentu tidak lepas dari pada berinteraksi dengan al Qur‟an berupa

menambah dan mengulang hafalan al Qur‟an mereka. Faktor yang kedua ialah di

dalam pesantren Takhassus IIQ Jakarta tersebut terdapat kebijakan mengenai

waktu target hafalan yang diberikan oleh mahasantri, yang tentunya ketika waktu

target dan waktu haid itu datang bersamaan ini akan menjadi penghambat tertunda

nya mahasantri tersebut menyelesaikan target yang sudah di tentukan dan ini akan

berdampak kepada sanksi yang sudah disiapkan oleh pihak lembaga. Kemudian

yang ketiga adalah karna pesantren tersebut di khususkan untuk perempuan saja,

yang tentunya perempuan akan mengalami menstruasi setiap bulannya, maka

dengan demikian antara pembahasan yang ingin dikaji oleh penulis selaras dengan

objek yang akan diteliti.

Secara keseluruhan santri yang bermukim di pesantren Takhassus IIQ

Jakarta dapat dilihat pada table dibawah ini:

No Angkatan Semester Jumlah Persentase


1 Tahun 2017 II 325 50%
2 Tahun 2016 IV 188 29%
3 Tahun 2015 VI 112 17%
4 Tahun 2014 VIII 30 5%
Total 655 100%

79
80

Tabel: Data Mahasiswi Pesantren Takhassus IIQ Jakarta priode 2017-20181

Namun pada penelitian ini penulis membatasi wilayah penelitian hanya

pada mahasiswi semester II IIQ dikarenakan dari informasi yang penulis dapatkan

bahwasanya mahasiswi yang diwajibkan untuk mukim di asrama pesantren hanya

satu tahun, meskipun selain dari semester II masih ada yang mukim namun itu

tidak keseluruhan, karna sebagian sudah ada yang mukim di luar pesantren.2 Dan

penelitian ini penulis persempit lagi dengan menfokuskan penelitian pada

mahasiswi semester II IIQ Fakultas Ushuluddin prodi Ilmu Al Qur‟an dan Tafsir.

A. Analisis karakteristik responden penelitian berdasarkan profil santri

Karakteristik responden penelitian ini terdiri dari usia, asal daerah,

program tahfiz, pendidikan terakhir, sikap mahasiswi ketika haid dan alasan

menambah atau mengurangi hafalan ketika haid. Analisis selengkapnya dapat

dilihat sebagai berikut:

1. Analisis karakteristik responden berdasarkan usia

Data mengenai karakteristik responden berdasarkan usia dapat dilihat


pada tabel 4.1 berikut3:
Tabel 4.1
Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
No Usia Jumlah Persentase
1 17 Tahun 1 1%
2 18 Tahun 31 39%
3 19 Tahun 25 31%
4 20 Tahun 13 16%
5 21 Tahun 1 1%
6 22 Tahun 2 3%
7 23 Tahun 1 1%
8 Tidak diketahui 6 8%
80 100%
1
Sumber data mahasantri Pesantren Takhassus IIQ Jakarta periode 2017-2018
2
Wawancara pribadi penulis dengan salah satu pengurus Pesantren Takhassus IIQ,
Jakarta 9 April 2018
3
Data Penelitian Diolah Dengan Program Excel, 2018
81

Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.1 di atas dapat dijelaskan

bahwa responden terbanyak berdasarkan usia adalah responden yang berusia

18 tahun yaitu sebanyak 31 responden atau sebesar 39% dan responden

yang paling sedikit adalah pada usia, 17 tahun, 21 tahun, dan 23 tahun yaitu

masing-masing 1 responden atau sebesar 1%.

2. Analisis karakteristik responden berdasarkan asal daerah

Data mengenai karakteristik responden berdasarkan asal daerah dapat

dilihat pada tabel 4.2 berikut4:

Tabel 4.2
Responden Berdasarkan Asal Daerah
No Asal Daerah Jumlah Jiwa Persentase
1 Jabodetabek 29 36%
2 Jawa (Barat, Timur dan Tengah 27 34%
3 Sumatra 14 18%
4 Kalimantan 1 1%
5 Nusa Tenggara Barat 1 1%
6 Sulawesi 1 1%
7 Tidak diketahui 7 9%
Total 80 100%

Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.2 di atas dapat dijelaskan

bahwa responden terbanyak berdasarkan asal daerah adalah responden yang

berasal dari Jabodetabek yaitu sebanyak 29 responden atau sebesar 36% dan

responden yang paling sedikit adalah dari Kalimantan, Nusa Tenggara

Barat, dan Sulawesi yaitu masing-masing 1 responden atau sebesar 1%.

3. Analisis karakteristik responden berdasarkan program tahfiz

Data mengenai karakteristik responden berdasarkan program tahfiz

dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut5:

4
Data Penelitian Diolah Dengan Program Excel, 2018
82

Tabel 4.3
Karakteristik Responden Berdasarkan Program Tahfiz
No Program Tahfidz Jumlah Mahasiswi Persentase
1 30 Juz 33 41%
2 20 Juz 11 14%
3 10 Juz 24 30%
4 5 Juz 12 15%
Total 80 100%

Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.3 di atas dapat dijelaskan

bahwa responden terbanyak berdasarkan program tahfiz adalah responden

dengan program tahfiz 30 Juz yaitu sebanyak 33 responden atau sebesar

41% dan responden yang paling sedikit adalah pada program tahfiz 20 Juz

yaitu sebanyak 11 responden atau sebesar 14%

4. Analisis karakteristik responden berdasarkan pendidikan terakhir

Data mengenai karakteristik responden berdasarkan pendidikan

terakhir dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut6:

Tabel 4.4
Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
No Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase
1 Pon-Pes berbasis SMA, MA dan SMK 60 75%
2 Madrasah Aliyah (MA) 15 19%
3 Sekolah Menengah Atas (SMA) 5 6%
Total 80 100%

Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.4 di atas dapat dijelaskan

bahwa responden terbanyak berdasarkan pendidikan terakhir adalah pada

Pon-Pes berbasis SMA, MA dan SMK yaitu sebanyak 60 responden atau

sebesar 75% dan responden yang paling sedikit adalah pada Sekolah

Menengah Atas (SMA) yaitu sebanyak 5 responden atau sebesar 6%.

5
Data Penelitian Diolah Dengan Program Excel, 2018
6
Data Penelitian Diolah Dengan Program Excel, 2018
83

5. Analisis karakteristik responden berdasarkan sikap ketika haid

Data mengenai karakteristik responden berdasarkan sikap ketika haid

dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut7:

Tabel 4.5
Karakteristik Responden Berdasarkan Sikap Ketika Haid
No Sikap Mahasiswi Ketika Menstruasi Jumlah Persentase
1 Menambah dan mengulang hafalan ketika haid 62 78%
2 Menambah Hafalan Saja 2 3%
3 Mengulang Hafalan saja 16 20%
80 100%
Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.5 di atas dapat dijelaskan

bahwa responden terbanyak berdasarkan sikap ketika haid adalah

menambah dan mengulang hafalan ketika haid yaitu sebanyak 62

responden atau sebesar 78% dan responden yang paling sedikit adalah

menambah hafalan saja yaitu sebanyak 2 responden atau sebesar 3%.

6. Analisis karakteristik responden berdasarkan alasan menambah atau

mengulang hafalan ketika haid

Data mengenai karakteristik responden berdasarkan alasan

menambah atau mengulang hafalan ketika haid dapat dilihat pada tabel 4.6

berikut8:

Tabel 4.6
Responden Berdasarkan Alasan Menambah Atau Mengurangi Hafalan
Ketika Haid
No Alasan Jumlah Persentase
1 Keterpaksaan(terikat peraturan dan target di IIQ) 40 Orang 50%
2 karna hukum haid itu sendiri 8 Orang 10%
3 kebiasaan pribadi 22 Orang 28%
4 Kebiasaan dari pesantren sebelumnya 10 Orang 13%
Total 80 Orang 100%

7
Data Penelitian Diolah Dengan Program Excel, 2018
8
Data Penelitian Diolah Dengan Program Excel, 2018
84

Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.6 di atas dapat dijelaskan

bahwa responden terbanyak berdasarkan alasan menambah atau

mengurangi hafalan ketika haid adalah karena keterpaksaan (terikat

peraturan dan target di IIQ) yaitu sebanyak 40 responden atau sebesar

50%, Artinya jika di sinkronkan dengan tabel 4.5 maka mahasiswi IIQ

sebagian memang menambah atau mengulang hafalan ketika haid karna

adanya peraturan yang mengharuskan mahasiswi tersebut sampai pada

target hafalan yang sudah ditentukan batas waktunya, meskipun ini juga

sebagian dipengaruhi oleh bawaan diri pribadi yang dari dulu tetap

menambah dan mengulang hafalan ketika haid dengan angka persentase

sebesar 28% atau 22 mahasiswi.

Dan responden yang paling sedikit adalah karena hukum haid itu

sendiri yaitu sebanyak 8 responden atau sebesar 10%. Artinya mahasiswi

tersebut hanya menambah atau mengulang hafalan saja ketika haid dan

sebagian dipengaruhi oleh bawaan ketika dari masa pesantren dulu yang

mana ada beberapa pesantren yang mungkin mengharuskan hanya cukup

menambah atau mengulang hafalan saja ketika haid.

B. Analisis data mengenai pemahaman hadis tentang larangan membaca

dan menyentuh mushaf

Analisis mengenai pemahaman hadis tentang larangan membaca

dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid dilakukan pada data yang

dikumpulkan dari data primer berupa kuesioner yang disebarkan kepada

subjek penelitian yaitu mahasiswi pesantren takhassus IIQ Jakarta

sebanyak 80 responden. Data penelitian yang telah dikumpulkan akan


85

disajikan meliputi nilai mean (M) dan standar deviasi dan selanjutnya akan

di analisis guna menjelaskan secara komprehensif mengenai pemahaman

hadis tentang larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan

haid.

Pemahaman mengenai hadis tentang larangan membaca dan

menyentuh mushaf dalam keadaan haid yang akan dijelaskan terdiri dari

pengetahuan secara tekstual, pengetahuan secara hukum dan kontekstual,

sikap dan aplikasi mengenai larangan membaca dan menyentuh mushaf

Al-Qur‟an ketika haid. Kuesioner yang disebarkan kepada subjek

penelitian terdiri dari 20 pernyataan dengan menggunakan skala Sangat

Setuju/Sangat Mengetahui (SS/SM), Setuju/Mengetahui (S/M), Ragu-

Ragu (RG), Tidak setuju/Tidak Mengetahui (TS/TM), dan Sangat Tidak

setuju/Sangat Tidak Mengetahui (STS/STM). Skala tersebut diberi rentang

skor dari 5 untuk sangat setuju/sangat mengetahui hingga 1 untuk sangat

tidak setuju/sangat tidak mengetahui.

Data tanggapan responden terhadap kuesioner penelitian dianalisis

menggunakan program komputer excel dan SPSS dan didapatkan hasil

skor dari masing-masing responden. Selanjutnya nilai skor tersebut akan

disajikan untuk mengetahui tingkat pemahaman hadis tentang larangan

membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid pada mahasiswi

pesantren takhassus IIQ Jakarta. Berdasarkan hasil analisis data yang telah

dilakukan didapatkan nilai skor terkecil hingga skor terbesar sebagaimana

yang tertera berikut ini9.

9
Data Penelitian Diolah Dengan SPSS, 2018
86

52, 52, 53, 53, 53, 54, 54, 54, 55, 55, 55, 56, 56, 56, 56, 57, 58, 58,

58, 58, 58, 58, 58, 59, 59, 59, 59, 60, 60, 60, 60, 60, 60, 60, 61, 61, 61, 61,

61, 61, 62, 62, 62, 62, 63, 63, 63, 63, 63, 64, 64, 65, 65, 65, 65, 66, 66, 66,

66, 66, 66, 67, 67, 68, 68, 69, 69, 69, 70, 70, 70, 70, 71, 71, 73, 73, 73, 75,

75, dan 80. Hasil perhitungan skor tanggapan mahasiswi pesantren

takhassus IIQ Jakarta terhadap pemahaman hadis tentang larangan

membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid didapatkan skor

maksimal sebesar 80 dan skor minimal sebesar 52 dan selanjutnya analisis

akan dilakukan dengan pengukuran skala model Likert dengan langkah-

langkah berikut10.

 Mengurutkan data dari yang terkecil sampai ke yang terbesar

 Menentukan rentang (R); skor tertinggi - skor terendah

 Menentukan jumlah kelas interval dengan rumus: Kriterium Sturges;

K=1 + 3,322 Log N, dimana k adalah banyaknya kelas dan n adalah

banyaknya nilai observasi

 Menentukan panjang kelas interval (i) dengan rumus i=R/K

 Menentukan skor kelas interval pertama, dan memilih skor terendah

dan tertinggi

 Menuliskan frekuensi kelas dalam tally sesuai dengan banyaknya

data11.

Setelah tabel distribusi tanggapan responden mengenai pemahaman

hadis tentang larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan

10
J. Supranto, Statistik Teori dan Aplikasi,( Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 73
11
Budi Susetyo, Statistika Untuk Analisis Data Penelitian,(Bandung: PT Refika
Aditama, 2012) hlm. 21
87
88

dengan rumus K=1 + 3,322 Log N jadi K=1 + 3,322 Log 80= 7,322 = 7.

Selanjutnya dicari panjang kelas interval (i) dengan rumus i=R/K = 80-

52/7 =28/7 =4. Maka dapat disusun tabel distribusi kelompok seperti yang

dipaparkan di bawah ini15:

Tabel 4.7
Distribusi Kelompok
No Interval F X Fx X2 FX2
1 76 - 80 1 78 78 6084 6084
2 72 - 75 5 73,5 367,5 5402,25 27011,25
3 68 - 71 11 69,5 764,5 4830,25 53132,75
4 64 - 67 14 65,5 917 4290,25 60063,5
5 60 – 63 22 61,5 1353 3782,25 83209,5
6 56 - 59 16 57,5 920 3306,25 52900
7 52 - 55 11 53,5 588,5 2862,25 31484,75
Jumlah ∑80 ∑459 ∑4988,5 ∑30557,5 ∑313885,75

Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.7 di atas diketahui bahwa

sebagian besar responden mendapatkan nilai di kelas interval 60-63 yaitu

sebanyak 22 responden, diikuti pada interval kelas 56-59 sebanyak 16

responden, selanjutnya pada kelas interval 64 – 67 yaitu sebanyak 14

responden, pada kelas interval 52 – 55 dan 68 – 71 masing-masing

sebanyak 11 responden, pada kelas interval 72 – 75 sebanyak 5 responden,

dan terakhir sisanya pada kelas interval 76 – 80 sebanyak 1 responden.

2. Mencari rata-rata

Rata-rata dicari berdasarkan tabel distribusi kelompok yang telah

dipaparkan diatas. Maka didapatkan rata-rata pemahaman mahasiswi

pesantren takhassus IIQ Jakarta mengenai hadis tentang larangan

membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid sebagai berikut:

14
Budi Susetyo, Statistika Untuk Analisis Data Penelitian.......hlm. 20
15
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS dan Excel, 2018
89

M = ∑fx = 4988,5 = 62,36


N 80

Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat dijelaskan bahwa rata-

rata pemahaman mahasiswi pesantren takhassus IIQ Jakarta mengenai

hadis tentang larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan

haid sebesar 62,36.

3. Mencari standar deviasi

Standar deviasi dari data yang tertera pada tabel distribusi kelompok di

atas dihitung sebagaimana berikut ini:

√ ∑ √
( ) ( ) √

= √

Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat dijelaskan bahwa

standar deviasi pemahaman mahasiswi pesantren takhassus IIQ Jakarta

mengenai hadis tentang larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam

keadaan haid sebesar 5,89.

4. Mencari kategorisasi tingkat pemahaman hadis tentang larangan membaca

dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid

Setelah didapatkan nilai rata-rata (M) dan standar deviasi (SD) di

atas, maka selanjutnya dilakukan analisis kategorisasi pemahaman

mengikuti ketentuan berikut ini:

Tinggi = M + 1.SD ke atas

= 62,36 + (1 x 5,89)

= 68,25 ke atas

Sedang = M - 1.SD sampai M + 1.SD


90

= 62,36 - (1 x 5,89) sampai 62,36 + (1 x 5,89)

= 56,47 sampai 68,25

Rendah = M - 1.SD ke bawah

= 62,36 - (1 x 5,89)

= 56,47 ke bawah

Dasar pengkategorian pemahaman mengenai hadis tentang larangan

membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid di atas dapat dilihat

juga pada tabel 4.8 berikut16:

Tabel 4.8
Kategori Pemahaman Mengenai Hadis Tentang Larangan Membaca
Dan Menyentuh Mushaf Dalam Keadaan Haid
Skor Nilai Kategori
68,25 – 80 Tinggi
56,47 sampai 68,25 Sedang
52 - 56,47 Rendah

Berdasarkan ketentuan yang ada pada tabel 4.8 di atas, maka

pengkategorian pemahaman mahasiswi pesantren takhassus IIQ Jakarta

mengenai hadis tentang larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam

keadaan haid adalah apabila responden mendapatkan skor nilai 68,25 – 80

maka dapat disimpulkan masuk kategori tinggi, apabila responden

mendapatkan skor nilai 56,47 sampai 68,25 maka dapat disimpulkan

masuk kategori sedang, dan apabila responden mendapatkan skor nilai 52 -

56,47 maka dapat disimpulkan masuk kategori rendah.

16
Data Hasil Penelitian Diolah, 2018
91

Selanjutnya analisis kategorisasi di atas dilakukan dengan

menggunakan bantuan program komputer SPSS. Hasil analisisnya adalah

sebagai berikut17:

Tabel 4.9
Kategori Hasil Pemahaman Mengenai Hadis Tentang Larangan
Membaca Dan Menyentuh Mushaf Dalam Keadaan Haid
Skor Nilai Kategori Frekuensi Porsentase
68,25 – 80 Rendah 15 18,8
56,47 sampai 68,25 Sedang 50 62,5
52 - 56,47 Tinggi 15 18,8
Total 80 100,0

Berdasarkan hasil pengujian seperti yang tertera pada tabel 4.9 di

atas diketahui bahwa sebagian besar pemahaman mahasiswi pesantren

takhassus IIQ Jakarta mengenai hadis tentang larangan membaca dan

menyentuh mushaf dalam keadaan haid dapat kita lihat pada gambar

dibawah ini:

Frekuensi 68,25 – 80
52 - 56,47 Rendah
Tinggi 19%
19%

56,47 sampai
68,25 Sedang
62%

Kelompok kategori tinggi ialah mahasiswi mengetahui dan

memahami bahwasanya terdapat hadis larangan membaca dan menyentuh

mushaf al- Qur‟an dan dalam prakteknya mahasiswi tersebut mengacu

pada tidak diperbolehkan atau haramnya perempuan haid membaca dan

menyentuh musaf al- Qur‟an ketika haid.


17
Data Hasil Penelitian Diolah, 2018
92

Kelompok kategori sedang ialah mahasiswi mengetahui dan

memahami terdapat hadis larangan membaca dan menyentuh mushaf al-

Qur‟an ketika haid namun pada prakteknya cenderung pada membolehkan

tetap membaca dan mnyentuh mushaf al-Qur‟an meskipun dalam keadaan

haid. Akan tetapi dengan pertimbangan berada dalam kondisi darurat atau

sedang dalam proses belajar al-Qur‟an.

Sedangkan kategori rendah ialah mahasiswi mengetahui adanya

hadis larangan membaca dan menyentuh mushaf al- Qur‟an namun dalam

prakteknya mereka mengabaikan hadis tersebut. Dalam artian mereka tetap

membaca dan menyentuh mushaf alqur‟an seperti biasa ketika dalam

keadaan haid, meskipun tidak dalam keadaan darurat.

Dari tabel frekuensi diatas dapat diartikan bahwasanya tingkat

pemahaman mahasiswi IIQ pada hadis larangan membaca dan menyentuh

mushaf al-Qur‟an masuk ke dalam kategori sedang yaitu 62% dari total 50

mahasiswi atau responden.

Kategori pemahaman mahasiswi pesantren takhassus IIQ Jakarta

mengenai hadis tentang larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam

keadaan haid yang sebagian besar masuk kategori sedang menunjukkan

bahwa mahasiswi sudah mengetahui bahwa dalam hadis terdapat larangan

membaca dan menyentuh mushaf dalam keadaan haid, tetapi tidak semua

responden berpegang sepenuhnya pada hadis tersebut dan secara praktek

cenderung memilih menngabaikan hadis tersebut dikarenakan sedang

dalam keadaan proses belajar.


93

Analisis di bawah ini akan menjelaskan secara detail pemahaman

mahasiswi IIQ mengenai larangan membaca dan menyentuh mushaf dalam

keadaan haid sebagaimana berikut:

1) Pengetahuan mahasiswa IIQ Jakarta terkait hadis larangan membaca

Al-Qur‟an dalam keadaan haid secara tekstual hadis

Data mengenai pengetahuan mahasiswa IIQ Jakarta terkait hadis

larangan membaca Al-Qur‟an dalam keadaan haid secara tekstual hadis

dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut18:

Tabel 4.10
Pengetahuan Mahasiswa IIQ Jakarta Terkait Hadis Larangan Membaca Al-
Qur’an Dalam Keadaan Haid Secara Tekstual
SS/SM M/S RG TS/TM STS/STM
No Pertanyaan
F % F % F % F % F %

Apakah anda mengetahui


bunyi hadis dibawah ini
َّ ‫ َع ِن ال َّن ِبيِّ صَ لَّى‬-
‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ُ‫ َوالَ الجُ ُنب‬، ُ‫ الَ َت ْقرَ ِأ الحَ ائِض‬:َ‫َقال‬
1. 7 8,8 43 53,8 13 16,3 17 21,3 0 0
ِ ْ‫َش ْي ًئا مِنَ القُر‬
‫آن‬
(“orang yang sedang haid
dan junub tidak boleh
membaca alqur‟an”)
Apakah anda mengerti
mengenai maksud hadis
2. 7 8,8 46 57,5 18 22,5 9 11,3 0 0
diatas?

Menurut anda maksud


hadis diatas secara teks
3. adalah berisi tentang 12 15 46 57,5 9 11,3 11 13,8 2 2,5
larangan perempuan haid
membaca alqur‟an

Berdasarkan tanggapan responden terhadap pertanyaan bunyi hadis

diatas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden sudah

mengetahui bunyi hadis tersebut yaitu sebanyak 43 responden atau

sebesar 53,8%. Selanjutnya diketahui bahwa sebagian besar responden


18
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS, 2018
94

juga sudah mengerti maksud dari hadis tersebut yaitu sebanyak 46

responden atau sebesar 57,5%. hal ini dapat dilihat dari tanggapan

responden yang menyatakan setuju bahwa hadis tersebut berisi tentang

larangan perempuan haid membaca alqur‟an yaitu sebanyak 46 responden atau

sebesar 57,5%. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian

besar mahasiswa IIQ Jakarta sudah paham tentang hadis larangan

membaca Al-Qur‟an dalam keadaan haid secara tekstual.

2) Pengetahuan mahasiswa IIQ terkait hadis larangan membaca Al-

Qur‟an dalam keadaan haid secara hukum dan kontekstual hadis

Data mengenai pengetahuan mahasiswa IIQ terkait hadis larangan

membaca Al-Qur‟an dalam keadaan haid secara hukum dan kontekstual

hadis dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut19:

Tabel 4.11
Pengetahuan Mahasiswa IIQ Terkait Hadis Larangan Membaca Al-Qur’an
Dalam Keadaan Haid Secara Hukum Dan Kontekstual Hadis
SS/SM M/S RG TS/TM STS/STM
No Pertanyaan
F % F % F % F % F %
Secara pribadi pendapat
anda, perempuan haid itu
haram dan tidak
1 diperbolehkan membaca 6 7,5 7 8,8 9 11,3 39 48,8 19 23,8
alqur‟an tanpa pengecualian
atau alasan apapun

Secara pribadi pendapat


anda, perempuan haid
diperbolehkan membaca
alqur‟an hanya jika dalam
hal yang darurat seperti
2 27 33,8 39 48,8 3 3,8 8 10 2 2,5
belajar dan sejenisnya
(dengann kata lain jika tidak
ada unsur darurat maka tidak
diperbolehkan)

19
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS, 2018
95

SS/SM M/S RG TS/TM STS/STM


No Pertanyaan
F % F % F % F % F %
Secara pribadi pendapat
anda, Perempuan
diperbolehkan membaca
alqur‟an ketika haid baik
dalam keadaan darurat
ataupun tidak, karna tidak
3 ada nash yang menyebutkan 6 7,5 27 33,8 21 26,3 24 30 2 2,5
hukumnya secara pasti baik
berupa alqur‟an atau hadis
tentang ketidakbolehan atau
keharaman mengenai hal
tersebut

Hasil tanggapan mahasiswi IIQ Jakarta terhadap larangan

membaca alqur‟an dalam keadaan haid secara hukum dan kontekstual di

atas menunjukkan bahwa secara pribadi sebagian besar mahasiswi IIQ

Jakarta tidak setuju dengan pernyataan perempuan haid itu haram dan

tidak diperbolehkan membaca alqur‟an tanpa pengecualian atau alasan

apapun yaitu sebanyak 39 responden atau sebesar 48,8%.

Selanjutnya sebagian besar responden yaitu sebanyak 39 responden

atau sebesar 48,8% secara pribadi setuju dengan pertanyaan perempuan

haid diperbolehkan membaca alqur‟an hanya jika dalam hal yang darurat

seperti belajar dan sejenisnya (dengan kata lain jika tidak ada unsur

darurat maka tidak diperbolehkan). Pernyataan tersebut menunjukkan

bahwa mahasiswi IIQ Jakarta memahami hadis tersebut secara

kontekstual dan hukum, akan tetapi mereka mengacu kepada pendapat

yang mentashilkan/memberi keringan pada hal-hal yang darurat seperti


96

para penghafal Al-Qur‟an, pengajar Al-Qur‟an, termasuk juga orang

yang belajar.

Tanggapan responden terhadap pertanyaan terakhir menunjukkan

bahwa secara pribadi sebagian besar responden yaitu sebanyak 27

responden atau sebesar 33,8% juga setuju pada pernyataan bahwa

perempuan diperbolehkan membaca alqur‟an ketika haid baik dalam

keadaan darurat ataupun tidak, karna tidak ada nash yang menyebutkan

hukumnya secara pasti baik berupa alqur‟an atau hadis tentang

ketidakbolehan atau keharaman mengenai hal tersebut.

3) Pengetahuan santri IIQ terkait hadis larangan menyentuh mushaf

dalam keadaan haid secara tekstual hadis.

Data mengenai pengetahuan santri IIQ terkait hadis larangan

menyentuh mushaf dalam keadaan haid secara tekstual hadis dapat dilihat

pada tabel 4.12 berikut20:

20
Data Penelitian Diolah dengan Program SPSS, 2018
97

Tabel 4.12
Pengetahuan Santri IIQ Terkait Hadis Larangan Menyentuh Mushaf Dalam
Keadaan Haid Secara Tekstual hadis
STS/ST
SS/SM M/S RG TS/TM
No Pertanyaan M
F % F % F % F % F %
Apakah anda
mengetahui teks hadis
dibawah ini?

ُ ‫اب الَّ ِذي َكتَبَوُ َر ُس‬


‫ول‬ ِ َ‫إِ َّن ِِف الْ ِكت‬
‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّم لِ َع ْم ِرو‬ ِ
َ ‫اللَّو‬
‫س الْ ُق ْرآ َن إِال‬ ٍ
ُّ ََ‫ «ال ِي‬:‫بْ ِن َح ْزم‬
»‫اىٌر‬ ِ ََ
1 4 5 36 45 16 20 23 28,8 1 1,3
(“bahwasanya salah
satu surat yang ditulis
oleh Rasulullah SAW
kepada „Amru bin
Hazm adalah tidak
menyentuh alqur‟an
kecuali orang yang
suci”)

Apakah anda mengerti


2 mengenai maksud hadis 5 6,3 38 47,5 21 26,3 15 18,8 1 1,3
diatas?

Menurut anda hadis


diatas secara teks berisi
3 tentang larangan 5 6,3 42 52,5 19 23,8 12 15 2 2,5
menyentuh mushaf
alqur‟an ketika haid

Berdasarkan tanggapan responden terhadap pertanyaan mengenai

teks hadis diatas dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden sudah

mengetahui teks hadis tersebut yaitu sebanyak 36 responden atau sebesar

45%. Selanjutnya diketahui bahwa sebagian besar responden juga sudah

mengerti maksud dari hadis tersebut yaitu sebanyak 38 responden atau

sebesar 47,5%. hal ini dapat dilihat dari tanggapan responden yang
98

menyatakan setuju bahwa hadis tersebut berisi tentang larangan perempuan

haid menyentuh mushaf Al-Qur‟an ketika haid yaitu sebanyak 42 responden

atau sebesar 52,5%. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa

mahasiswa IIQ Jakarta sudah paham tentang hadis larangan menyentuh

mushaf Al-Qur‟an dalam keadaan haid secara tekstual.

4) Pengetahuan santri IIQ terkait hadis larangan menyentuh mushaf

dalam keadaan haid secara hukum dan kontekstual hadis

Data mengenai pengetahuan santri IIQ terkait hadis larangan

menyentuh mushaf dalam keadaan haid secara hukum dan kontekstual

hadis dapat dilihat pada tabel 4.13 berikut21:

Tabel 4.13
Pengetahuan Santri IIQ Terkait Hadis Larangan Menyentuh Mushaf Dalam
keadaan Haid Secara Hukum Dan Kontekstual Hadis
STS/ST
SS/SM M/S RG TS/TM
M
No Pertanyaan
F % F % F % F % F %
Secara pribadi pendapat
anda, bahwasanya
perempuan haid haram
dan tidak diperbolehkan
menyentuh alqur‟an
1 baik dengan pembatas 1 1,3 10 12,5 17 21,3 44 55 8 10
atau alas dan baik
dengan mushaf alqur‟an
terjemah terlebih
mushaf alqur‟an yang
bukan terjemah

Secara pribadi pendapat


anda, perempuan haid
tidak boleh menyentuh
36,
2 mushaf alqur‟an kecuali 2 2,5 25 31,3 21 26,3 29 3 3,8
3
dengan syarat
menggunakan alas atau
pembatas seperti kain

21
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS, 2018
99

STS/ST
SS/SM M/S RG TS/TM
M
No Pertanyaan
F % F % F % F % F %
dsb

Secara pribadi pendapat


anda, diperbolehkan
bagi perempuan haid
menyentuh mushaf
3 alqur‟an meskipun 13 16,3 50 62,5 10 12,5 4 5 3 3,8
tanpa alas/pembatas
dengan syarat mushaf
alqur‟an tersebut adalah
mushaf terjemah

Berdasarkan data pada tabel 4.13 di atas menunjukkan bahwa

sebanyak 44 responden atau sebesar 55% secara pribadi menyatakan

ketidaksetujuannya terhadap pertanyaan pertama, yaitu mengenai

bahwasanya perempuan haid haram dan tidak diperbolehkan menyentuh

alqur‟an baik dengan pembatas atau alas dan baik dengan mushaf alqur‟an

terjemah terlebih mushaf alqur‟an yang bukan terjemah.

Namun sebagian besar responden yang menyatakan

ketidaksetujuannya terkait perempuan haid haram dan tidak diperbolehkan

menyentuh alqur‟an baik dengan pembatas atau alas dan baik dengan

mushaf alqur‟an terjemah terlebih mushaf alqur‟an yang bukan terjemah

menunjukkan bahwa mereka tau mengenai hadis larangan menyentuh

mushaf dalam keadaan haid secara teks namun secara hukum dan

pemahaman kontekstual hadis mereka cenderung mempertimbangkan hal-

hal lain seperti mengacu kepada dalil lain yang semakna dengan hadis

tersebut, yaitu berupa firman Allah didalam Al- Qur‟an surah Al Waqi‟ah

ayat 79 yang menunjukkan beberapa penafsiran berbeda mengenai maksud


100

ayat tersebut sehingga muncul beberapa pendapat yang cenderung

membolehkan menyentuh mushaf al-Qur‟an dalam keadaan haid

sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya terkait hal ini.

Selanjutnya sebagian besar responden yaitu sebanyak 29 responden

atau sebesar 36,3% secara pribadi tidak setuju dengan pertanyaan

perempuan haid tidak boleh menyentuh mushaf alqur‟an kecuali dengan

syarat menggunakan alas atau pembatas seperti kain dsb. Hal ini

menunjukkan bahwa mereka menolak pernyataan hadis larangan

menyentuh mushaf dalam keadaan haid. Akan tetapi dapat dilihat bahwa

yang menolak hal tersebut bahkan tidak mencapai 50% dari responden,

artinya ada kecenderungan jawaban lain yaitu setuju dan ragu-ragu.

Selanjutnya diketahui bahwa sebagian besar responden yaitu

sebanyak 50 responden atau sebesar 62,5% secara pribadi setuju pada

pernyataan bahwa diperbolehkan bagi perempuan haid menyentuh mushaf

alqur‟an meskipun tanpa alas/pembatas dengan syarat mushaf alqur‟an

tersebut adalah mushaf terjemah. Pertanyaan ke-tiga ini menunjukkan

bahwa mahasiswi IIQ menilai dibolehkan menyentuh mushaf terjemahan

dalam keadaan haid. Sebagaimana pendapat pribadi dari mahasiswi IIQ

berikut ini.

“...Sedangkan pendapat kedua dari udztad saya di pesantren juga


bahwasanya alqur‟an boleh disentuh jika itu mushaf terjemah karna
mushaf yang ada terjemah itu bukan mushaf melainkan sama seperti buku
apalagi jika kita dalam keadaan menghafal maka murajaah atau mengulang
hafalan agar tidak lupa itu wajib, bahkan lebih wajib dari pada menambah
hafalan , maka di IIQ ini saya mengikuti pendapat udztad saya yang
kedua....”22

22
Wawancara Pribadi dengan Ainun Nadhrah, Jakarta, 9 April 2018
101

Berdasarkan tanggapan responden terhadap pertanyaan-pertanyaan

di atas dapat disimpulkan bahwa santri IIQ sudah mengetahui hadis

larangan menyentuh mushaf dalam keadaan haid, namun praktek

kesehariannya mereka cenderung mengabaikan hadis tersebut. Hal ini

tentunya didasari hadis tersebut tidak bisa dijadikan landasan pasti karena

dimungkinkan masih adanya terdapat banyak pertentangan pendapat.

C. Hasil Analisa Pemahaman menyeluruh mahasiswi IIQ terhadap kedua

hadis yaitu larangan perempuan untuk membaca dan menyentuh mushaf

Al-Qur’an ketika sedang haid.

Data mengenai pemahaman menyeluruh terhadap kedua hadis yaitu

larangan perempuan untuk membaca dan menyentuh mushaf Al-Qur‟an

ketika sedang haid dapat dilihat pada tabel 4.14 berikut23:

Tabel 4.14
Pemahaman Menyeluruh Terhadap Hadis Larangan Perempuan Untuk Membaca
Dan Menyentuh Mushaf Al-Qur’an Ketika Sedang Haid
SS/SM M/S RG TS/TM STS/STM
No Pertanyaan
F % F % F % F % F %
Dari kedua teks hadis
diatas, menurut anda
1 tidak boleh membaca 4 5 13 16,3 29 36,3 31 38,8 3 3,8
alqur‟an dan tidak
boleh menyentuh nya

Dari kedua teks hadis


diatas, menurut anda
perempuan haid boleh
2 membaca alqur‟an dan 7 8,8 29 36,3 24 30 18 22,5 2 2,5
boleh menyentuh
mushaf alqur‟an

Dari kedua teks hadis


3 diatas, menurut anda 1 1,3 16 20 23 28,8 38 47,5 2 2,5
perempuan haid boleh

23
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS, 2018
102

SS/SM M/S RG TS/TM STS/STM


No Pertanyaan
F % F % F % F % F %
membaca alqur‟an
akan tetapi tidak boleh
menyentuhnya

Dari kedua teks hadis


diatas, menurut anda
perempuan haid tidak
4 boleh membaca 0 0 1 1,3 28 45 49 61,3 2 2,5
alqur‟an akan tetapi
hanya boleh
menyentuhnya

Dari tabel rincian pemahaman kedua hadis tersebut dapat kita

paparkan pada gambar dibawah ini :

persentase pemahaman mahasiswi IIQ terkait hadis


larangan membaca dan menyentuh al-Qur'an
ketika haid
tidak boleh membaca dan menyentuh
boleh membaca dan menyentuh
boleh membaca tapi tidak boleh menyentuh
tidak boleh membaca tapi boleh menyentuh

1% 21%
26%

52%

Dari gambar di atas berdasarkan tanggapan responden terhadap ke-

empat pertanyaan di atas dapat disimpulkan bahwa mahasiswi IIQ sudah

paham secara menyeluruh kedua hadis larangan membaca dan menyentuh

mushaf al-Qur‟an ketika sedang haid. Akan tetapi pada prakteknya mereka

lebih memilih untuk mengabaikan hadis tersebut, dengan mengikuti

pendapat yang membolehkan, seperti yang tertera pada gambar diatas


103

bahwasanya sebagian mahasiswi memilih boleh membaca dan menyentuh

mushaf al-Qur‟an meskipun dalam keadaan haid dengan angka persentase

52%. dan tentunya hasil dari persentase ini menunjukkan keterkaitan dengan

hadis yang dijadikan dalil pelarangan tersebut yaitu masih banyak

terjadinya pertentangan dan dalil-dalil tersebut dianggap lemah sehingga

mereka mengikuti hadis-hadis lain sebagai bahan pertimbangan dalam

pelaksanaan kegiatan sehari-harinya di Pesantren Takhassus IIQ.

Jika disinkronkan persentase pada tabel 4.10 dan pada tabel 4.12

terkait sejauh mana pengetahuan mahasiswi IIQ terkait hadis ini,

bahwasanya sebagian mahasiswi mengetahui akan adanya kedua hadis

tersebut dengan jumlah hampir 60% dengan rincian sebanyak hampir 46

responden atau mahasiswi. Sedangkan pada tingkat kepahaman maksud dari

pada hadis tersebut dapat dilihat pada tabel 4.11 dan pada tabel 4.13,

bahwasanya menurut 40% mahasiswi IIQ perempuan haid boleh saja

membaca alqur‟an karna teks hadis tersebut tidak bisa dijadikan pegangan

karen tidak disebutkan hukumnya secara pasti, meskipun sebagian

menyatakan ketidaksetujuannya. Akan tetapi, memilih dibolehkan karna ada

rukhshah atau keringanan bagi perempuan haid yang sedang belajar atau

mengajar, sebagaimana keterangan yang penulis dapatkan dari salah satu

mahasiswi berikut ini:

“Saya dulu tidak pernah membaca atau menyentuh alqur‟an ketika


haid misalnya seperti menambah atau mengulang hafalan kecuali disaat
saya terlupa akan ayat yang sedang saya bacakan, saya membuka mushaf
tapi dengan memakai lapisan (tidak menyentuh secara langsung). Tapi di
IIQ ini saya menambah dan mengulang hafalan ketika haid karena sedang
proses belajar dan mengejar target semester”.24

24
Wawancara Pribadi dengan Qinta Berliana Valfini, Jakarta, 17 April 2018.
104

Sedangkan persentase untuk kebolehan bagi perempuan haid yang

menyentuh atau membawa mushaf al-Qur‟an ketika haid 60% mahasiswi

menyatakan sikap setuju, sehingga dalam prakteknya mahasiswi IIQ tetap

menyentuh mushaf al-Qur‟an dengan mushaf terjemah.

Dari hasil analisa tersebut kemudian dapat disimpulkan bahwasanya di

Pesantren Takhassus Iiq Jakarta cenderung memilih pada pendapat yang

menyatakan kelemahan terhadap hadis tersebut, dan cenderung memilih

pendapat yang membolehkan seperti pendapat Imam Malik dan Abu Daud

al- Zhohiri yang membolehkan membaca dan menyentuh mushaf alqur‟an

ketika haid untuk keadaan tertentu seperti sedang dalam keadaan belajar

atau untuk menjaga hafalan al-Qur‟an agar tidak hilang, sebagaimana yang

telah dibahas pada bab sebelumnya. Sejalan dengan hal tersebut di

Pesantren Takhassus IIQ Jakarta mahasiswi tetap membaca dan menyentuh

mushaf al-Qur‟an karna adanya pernyataan secara lisan oleh rektor IIQ

terkait peraturan yang ada di IIQ,

“dijelaskan waktu proses mastama (masa orientasi mahasiswi) oleh


rektor IIQ beliau mengatakan bahwasanya secara teks hadis tidak
diperbolehkan membaca al-Qur‟an ketika haid dan junub seperti ulama
Imam syafii tidak membolehkan kecuali dengan niat ibadah, kemudian
madzhab Maliki memperbolehkan membaca, memegang jika dalam keadaan
belajar, dan al-Qur‟an yang diperbolehkan adalah mushaf terjemah, begitu
juga dengan IIQ yang mana tercapainya target tahfidz merupakan syarat
wajib yang harus di selesaikan...”25

25
Wawancara Pribadi dengan Agustina Erika, Jakarta 16 April 2018
105

D. Penerapan hadis larangan membaca dan menyentuh mushaf jika

dikaitkan dengan keseharian mahasiswi Pesantren Takhassus IIQ

Jakarta

1) Sikap mahasiswi IIQ Jakarta terkait hadis larangan membaca Al-Qur‟an

dalam keadaan haid

Data mengenai sikap mahasiswi IIQ Jakarta terkait hadis larangan

membaca Al-Qur‟an dalam keadaan haid dapat dilihat pada tabel 4.15

berikut26:

Tabel 4.15
Sikap Mahasiswi IIQ Jakarta Terkait Hadis Larangan Membaca Al-Qur’an
Dalam Keadaan Haid
STS/ST
SS/SM M/S RG TS/TM
M
Pertanyaan
F % F % F % F % F %
Apakah ketika anda
haid anda membaca
alqur‟an didalam hati 3 3,8 14 17,5 9 11,3 46 57,5 8 10
(tanpa bersuara) ?

Berdasarkan hasil tanggapan mahasiswi IIQ Jakarta seperti yang

tertera pada tabel 4.15 di atas diketahui bahwa sebagian besar responden

dalam penerapan kesehariannya tidak mengacu pada hadis tersebut hal

ini dapat dilihat dari pernyataan sikap tidak setuju dengan pertanyaan

bahwa apakah ketika anda haid anda membaca alqur‟an didalam hati

(tanpa bersuara) dengan angka persentase 60% atau sebanyak 46

mahasiswi. Hal ini menunjukkan bahwa responden menilai al-Qur‟an

tidak harus dibaca didalam hati (tanpa bersuara) tetapi boleh dibaca

seperti biasanya. Sikap tersebut menunjukkan bahwa walaupun mereka

26
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS, 2018
106

mengetahui bahwa ada hadis yang melarang membaca al-Qur‟an pada

saat haid akan tetapi mereka tetap mengacu kepada pendapat-pendapat

yang membolehkan membaca al-Qur‟an. Artinya adalah pada kegiatan

sehari-harinya mereka tetap membaca Al-Qur‟an seperti biasa.

Hal ini sesuai dengan sikap mahasiswi ketika ditanya tentang

keseharian mereka ketika haid pada tabel 4.5 pada gambar dibawah ini:

Sikap mahasiswi IIQ ketika haid

80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
62 Orang 2 Orang 16 Orang
menambah dan menambah mengulang
mengulang hafalan saja hafalan saja
hafalan
Series1 78% 3% 20%

Bahwa 78% atau 62 mahasiswi tetap membaca dan mengulang

hafalan ketika haid. Selain mengabaikan hadis tersebut dalam

prakteknya, Mahasiswi IIQ juga lebih cenderung mengikuti peraturan

yang sudah ditetapkan di IIQ, terkait kebijakan target hafalan yang harus

selesai pada waktu yang ditentukan dengan sanksi tidak bisa melanjutkan

ke semester selanjutnya, atau tidak bisa menyelesaikan studi nya di IIQ,

apabila target hafalan tersebut tidak dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat

pada tabel 4.6 terkait alasan mahasiswi IIQ tetap menambah atau

mengulang hafalan ketika haid, sebagaimana yang terdapat pada gambar

dibawah ini:
107

Alasan mahasiswi IIQ menambah atau mengulang


hafalan ketika haid

50%
40%
30%
20%
10%
0%
40 Orang 8 Orang 22 Orang 10 Orang
Keterpaksaa Karna kebiasaan kebiasaan
n hukum Haid pribadi dari
(peraturan itu sendiri pesantren
dan sebelumnya
mengejar
target…
Series1 50% 10% 28% 13%

Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwasanya dari 62

orang mahasiswi yang menambah dan mengulang hafalan ketika

haid, 50% atau 40 orang diantaranya dikarenakan adanya sikap

keterpaksaan untuk mengikuti peraturan yang ada di pesantren

Takhassus IIQ yaitu harus tercapainya target hafalan sampai batas

waktu yang ditentukan oleh pihak kampus sebagai syarat kelulusan

semester. Sedangkan 28% atau 22 orang yang lain tetap

menambah dan mengulang hafalan ketika haid karna memang

sudah menjadi kebiasaan pribadi yang mana tetap menambah dan

mengulang hafalan ketika haid.

Jadi , dapat disimpulkan bahwasanya di pesantren takhassus

IIQ Jakarta memang terdapat peraturan khusus yang menjadi

pegangan diperbolehkannya perempuan haid tetap membaca al-

Qur‟an, selain data diatas hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan

mahasiswi IIQ berikut ini:


108

“...Sedangkan di IIQ diperbolehkan karna sedang proses


belajar menghafal al-Qur‟an, kalau tidak diperbolehkan nanti
hafalan al-Qur‟annya bisa hilang dan target yang di tetapkan di IIQ
tidak tercapai. Karna tahfidz al-Qur‟an merupakan syarat wajib
lulus semester selanjutnya di IIQ, dan ini juga dijelaskan waktu
proses mastama (masa orientasi mahasiswi) oleh rektor IIQ beliau
mengatakan bahwasanya secara teks hadis tidak diperbolehkan
membaca al-Qur‟an ketika haid dan junub seperti ulama Imam
syafii tidak membolehkan kecuali dengan niat ibadah, kemudian
madzhab Maliki memperbolehkan membaca, memegang jika
dalam keadaan belajar, dan al-Qur‟an yang diperbolehkan adalah
mushaf terjemah...”27
2) Sikap dan aplikasi mahasiswi IIQ terkait hadis larangan menyentuh

mushaf dalam keadaan haid.

Data mengenai sikap dan aplikasi mahasiswi IIQ terkait hadis

larangan menyentuh mushaf dalam keadaan haid dapat dilihat pada tabel

4.16 berikut28:

Tabel 4.16
Sikap Dan Aplikasi Mahasiswi IIQ Terkait Hadis Larangan Menyentuh Mushaf
Dalam Keadaan Haid
STS/ST
SS/SM M/S RG TS/TM
M
No Pertanyaan
F % F % F % F % F %
Apakah anda ketika
sedang haid
menambah atau
mengulang hafalan
1 dengan memegang 8 10 52 65 14 17,5 5 6,3 1 1,3
mushaf seperti biasa
ketika dalam
keadaan tidak haid ?

Apakah anda ketika


haid mengulang atau
2 menambah hafalan 5 6,3 18 22,5 14 17,5 40 50 3 3,8
tanpa memegang
mushaf ?

Apakah ketika anda


3 5 6,3 23 28,8 14 17,5 32 40 6 7,5
haid menambah atau

27
Wawancara Pribadi dengan Agustina Erika, Jakarta 16 April 2018
28
Data Penelitian Diolah Dengan Program SPSS, 2018
109

mengulang hafalan
tanpa menggunakan
mushaf akan tetapi
dengan
menggunakan media
elektronik seperti
qur‟an digital dan
sejenisnya

Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.16 di atas dapat

digambarkan bahwasanya terkait penerapan hadis larangan menyentuh

mushaf al-Qur‟an dalam keseharian mahasiswi IIQ, sebagai berikut:

penerapan hadis dalam keseharian mahasiswi


IIQ

70
60
50
40
30
20
10
0
52 Orang 18 Orang 23 Orang
menambah dan menambah dan menambah dan
mengulang mengulang mnegulang
hafalan dengan hafalan tanpa hafalan dengan
mushaf mushaf media
elektronik
Series1 65 22.5 28.8

Pada diagram di atas dapat dijelaskan bahwasanya sebagian

mahasiswi IIQ dengan jumlah persentase 65% atau 52 orang memilih

tetap memegang mushaf al-Qur‟an ketika haid, artinya mereka

mengetahui adanya hadis tersebut seperti yang dapat kita lihat pada tabel

4.12 sebagian mereka mengetahui maksud dari pada hadis tersebut

dengan angka persentase 52,5% atau 42 mahasiswi, namun dalam

penerapan keseharian mahasiswi IIQ tidak berpegang kepada hadis yang

dijadikan dalil adanya larangan menyentuh mushaf al-Qur‟an ketika


110

haid, hal ini dapat dilihat pada tabel 4.13 yaitu 55% atau 44 mahasiswi

tidak setuju pada pernyataan haram bagi perempuan haid menyentuh

mushaf. Dan mahasiswi IIQ ini cenderung memilih menggunakan

mushaf terjemah ketika hendak menambah atau mengulang hafalan

dengan angka persentase 62,5% atau 50 mahasiswi. Selain mengabaikan

hadis tersebut hal ini juga didukung dari pemahaman yang sebelumnya

memang sudah ada pada diri mahasiswi, yang mana pemahaman

tersebut didapatkan dari guru di pesantren sebelum menjadi mahasantri

takhassus IIQ, sebagaimana keterangan yang penulis dapatkan dari

wawancara dengan mahasiswi IIQ, berikut ini:

“...Sedangkan pendapat kedua dari udztad saya di pesantren juga


bahwasanya alqur‟an boleh disentuh jika itu mushaf terjemah karna
mushaf yang ada terjemah itu bukan mushaf melainkan sama seperti
buku apalagi jika kita dalam keadaan menghafal maka murajaah atau
mengulang hafalan agar tidak lupa itu wajib, bahkan lebih wajib dari
pada menambah hafalan...”29
Hal ini semakin memperkuat bentuk sikap dan aplikasi mahasiswi

IIQ terkait hadis larangan menyentuh mushaf dalam keadaan haid yaitu

walaupun terdapat hadis yang melarangnya akan tetapi mereka tetap

yakin dan cenderung mengabaikan hadis tersebut, dengan melihat

beberapa pertimbangan yaitu mereka cenderung berpihak kepada

pendapat ulama yang membolehkan dan dalil lain yang membolehkan,

selain dari hadis dan pendapat para ulama, mereka juga berpatokan pada

peraturan yang ada di IIQ jakarta dan pemahaman yang didapat dari

guru atau udztad mereka dulu.

29
Wawancara Pribadi dengan Ainun Nadhrah
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemahaman mahasiswi IIQ terhadap hadis larangan

membaca dan menyentuh mushaf al-Qur’an dapat dikategorikan

sedang dengan angka persentase 62% atau 50 mahasiswi artinya

secara pemahaman mereka mengetahui dan memahami kedua

hadis tersebut, namun pada aplikasi keseharian nya mahasiswi IIQ

cenderung memilih untuk mengabaikann kedua hadis tersebut dan

mengikuti dalil-dalil yang membolehkan bagi perempuan haid

membaca atau pun menyentuh mushaf al-Qur’an, hal ini dapat

dilihat dari jumlah persentase pemahaman mahasiswi terhadap

kedua hadis tersebut sebesar 52%.

Sedangkan pada penerapan kedua hadis tersebut dapat

dilihat dari besarnya angka persentase ketidaksetujuan mahasiswi

IIQ bahwa jika dalam keadaan haid mereka menambah atau

mengulang hafalan dengan cara membaca didalam hati yaitu 60%

atau 46 mahasiswi. Sebaliknya jika kita lihat persentase sikap

mahasiswi ketika haid maka dapat dilihat bahwa sebagian besar

mahasiswi tetap menambah dan mengulang hafalan ketika haid

dengan angka persentase 78% atau 62 mahasiswi.

Begitu juga jika kita lihat pada persentase sikap mahasiswi

yang menyatakan bahwasanya mereka tetap menambah atau

mengulang hafalan dengan memegang mushaf yaitu 65% atau 52

111
112

mahasiswi tetap memegang mushaf, namun pada hal ini mushaf

yang digunakan mahasiswi IIQ adalah mushaf terjemah.

B. Saran

Setelah melewati penelitian ini, berdasarkan kajian teori dan

lapangan saran yang dapat penulis kemukakan ialah bagi

masyarakat seperti ajelis-majelis taklim, lembaga pesantren kajian

hadis sangat perlu untuk dilakukan pada zaman sekarang ini,

mengingat hadis tidaklah sama dengan alqur’an yang sudah jelas

dan pasti keotentikan nya, terlebih pada kajian yang menyangkut

ibadah-ibadah keseharian, atau amal-amalan yang kadang kala pada

kajian hadis nya terdapat kecacatan, baik dari segi sanad ataupun

matan, sehingga pada implementasinya tetap digunakan dilapangan

seperti majlis taklim, lembaga-lembaga keagamaan dll tanpa

mengetahui status pada hadis tersebut.

Sehingga apabila suatu hadis diimplementasikan dalam

praktek lapangan, bukan hanya mengetahui secara teks saja

melainkan juga mengetahui secara kontekstual hadis tersebut

sehingga dalam mengaplikasikan hadis telah mempunyai dasar

yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA

„Abdullah bin „Abdurrahman Al Bassam, “ Tauḏih Ahkam Min Bulugh


AlMarâm”, terj. Thahirin Supatra,dkk. Jakarta: Pustaka Azzam,2006

A.J Wensinck. Mu‟jam Mufahras Li Alfadz Al-Hadis Al- Nabawi. Leiden : E.J
Brill, 1995

A.J Wensinck. Miftah al- Kunuz al- Sunnah. Kairo: Dar al- Hadis, 1411 H/ 1991
M.

Abdul Malik Abdul Karim Amrullah Hamka. Tafsir Al Azhar Juz XXVII. Jakarta
: Pustaka Panjimas, t.t

Abdullahsyah dkk, “Jurnal Kajian Nilai-Nilai Keislaman.”Al Kaffah V.3, no 1


(Januari-Juni 2015)

Abdurrahman Al Bassam, Abdullah. Syarah Bulughul Maram. Jakarta: Pustaka


Azzam,2009.

Abdurrahman Al- Mubarakfuuri, Muhammad. Tuhfatul Ahwadzi syarhu Jaami‟


at- Tirmidzi. Kairo: Darul Hadis.

Abdurrahman bin Nashir As- Sa‟di, Syaikh . Syarah Umdatul Ahkam”, terj.
Suharlan dan Suratman. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2015

Abi „Abdillah Muhammad bin Yazîd Al- Qazwînî, Sunan Ibnu Majah. Beirut :
Dar Al-Fikri, 1415 H/ 1995 M

Abi Al Fadhl Ahmad bin Hajar Al „Asqalany. Tahdzib Al Tahdzib. Beirut: Dar El
Fikr,t.t

Abi Bakar Ahmad bin Husain bin „Ali al-Baihaqi. Sunan Al-Kubra .Beirut: Dar
Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M

Abi Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Jamaludin. Tahdzibul Kamil Fi Asma al-Rijal. Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1413 H/ 1992 M.

113
114

Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah. Jâmi‟ al- Shahîh Wa Huwa Sunan
Tirmidzî. Beirut: Dar Al- Kutub al- Ilmiyah, 1415H/1995 M

Abi Zakariya Mahyudin bin Syarif Al Nawawi. Al Majmu‟ Syarah Al


Muhadzdzab. Beirut: Dar El Fikr, t.t

Abu „Isa Muhammad Ibnu Mûsa al Dahaq al Sulamî al Bughi. Sunan Al-Tirmidzi.
Kairo: Dar Al-Hadist, 2005.

Abu Abdillah Al Hakim muhammad bin Abdullah bin Na‟im. Mustadrak Al


Shahihain. Beirut: Dar Al Kutub Al‟ilmiyah, 1990 M.

Abu Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, “


Tuhfatul Ahwadzi : Syarah Jami‟ Tirmidzi, terj. Shafaul Qalbi. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.

Abu Dâwud Sulaimân bin al- Asy‟asy bin Ishâq bin Basyîr bin Syadad al- Azdi
al- Sijistâni, Sunan Abi Dâwud, Beirut: Dar al- Fikr,t.tp.

Abu Hajar Muhammad al-Sa‟id Ibn Basyuniy Zaghlul. Mausu‟âh Aṯrâf al-Hadîs
al-Nabawi al-Syarîf. Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1989 M.

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al Thabari. Tafsir Al Thabari, terj. Fathurrozi
dan Anshari Taslim. Jakarta : Pustaka Azzam, 2009

Abu Muhammad „Abdullah bin „Abdul Rahman bin Fadl bin Bahram al- Darimi.
Sunan Al Darimi. Kairo: Dar al-Fikr, 1398 H/ 1978 M

Abu Muhammad „Abdullah bin abdurrahman bin Fadhil bin Bahram Ad-Darimi.
Sunan Al-Darimi. Kairo: Dar Al-Fikr, 1398 H/ 1978 M

Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa‟id bin Hazm, “ Al- Muhalla”, terj. Ahmad
Rijali Kadir. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007

Abu Zakariyya Yahya Sarf al-Din al-Nawawi. al-Tibyân Fî Adab Hamalat al-
Qur’an. Beirut: Dar An-Nafa‟is, 1984.
115

al- Husaini, Ibnu hamzah. Asbabul Wurud, Latar Belakang Historis Timbulnya
Hadis-Hadis Rasul, terj. H.M Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim.
Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Ali Al Shabuni, Muhammad. Shafwatut Tafasir: Tafsir Tafsir Pilihan, terj.


KH.Yasin. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2011

Ali Al Shabuni, Muhammad. Terjemahan Tafsir Ahkam Ash-Shabuni, terj.


Mu‟ammal Hamidy, dan Imron A. Manan. Surabaya: PT Bina Ilmu,2008.

Ali bin „Umara Dar Al-Quthni. Sunan Dar al-Quthni. Beirut: Dar al-Ma‟arifah,
1422 H/ 2001 M

Ash- Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta : Bulan
Bintang, 1976

Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari Syarah: Shahih Bukhari, terj. Gazirah Abdi
Ummah. Jakarta: Pustaka Azzam 2002.

Asqalany, Ibnu Hajar. Al Isâbah Fî Tamyîz al- Shahabah”. Beirut: Dar Al- Kutub
al- Ilmiyah, 1415 H

Asqalany, Ibnu hajar. bulughul maram .Damaskus: darl Al fikr, 2008.

Az-Zubaidi, Imam. Ringkasan Shahih Bukhari. Bandung: Jabal, 2012.

Bahri, M. Saiful. “Problematika Hukum Membaca Al- Qur‟an Bagi Wanita Haid
Dalam Proses Tahfidz.” Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, 2007

Bani, Muhammad Nashiruddin. Irwa Al Ghalil, terj. Khairun Na‟im dan Diana
Madzkur. Jakarta: Najla Press, 2003

Bani, Muhammad Nashiruddin. Shahih Sunan Tirmidzi, terj. Ahmad Yuswaji.


Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Bustamin dan H.A. Salam, M. Isa. Metode Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
116

Choiriyah, Siti. “Thawaf Bagi Wanita Haid Menurut Ibnu Mas‟ud al Kasani.”
Skripsi S1, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012.

Duhriah, “Larangan Bagi Perempuan Haid Melakukan Aktifitas di Masjid dan


Membaca al- Qur‟an.” Kaffah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender V, No.1
,2015.

Emriz, Metodologi Penelitian Pendidikan: kualitatif dan kuantitatif. Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada, 2008.

Fakhruddin, Imam Muhammad Al Razi. Tafsir Al Kabir wa Mafatih Al Ghaib.


Beirut: Dar El fikr, 1414 H/ 1994 M

Faridl, Miftah. Puasa, Ibadah Kaya Makna. Jakarta: Gema Insani, 2007.

Fudhaili, Ahmad. Perempuan Di Lembaran Suci Kritik Atas Hadis-Hadis Shahih.


Jakarta: Transpustaka.

Halim hasan, Abdul . Tafsir al- Ahkam. Jakarta: Kencana, 2006

Hamid al Wahdi al Naisaburi, Abu Hasan Ali. Asbabun Nuzul. Beirut: Dar al
Fikr, 1986.

Hamim HR, M. terjemah fathul qorib. Kediri Jawa Timur : Santri Salaf Press,
2014.

Hanafi Ad Damsyiqi, Ibnu Hazm Al Husaini. Asbabul Wurud 1: Latar Belakang


Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul. Jakarta: Kalam Mulia,2011.

Hendrik. Problema Haid: Tinjauan Syariat Islam dan Medis. Solo: Tiga
Serangkai,2006.

Ibn Sayyid salim, Abu Malik Kamil . Fikih Sunnah Wanita: Referensi Fikih
Wanita Terlengkap”, terj. Firdaus. Jakarta: Qisti Press, 2013

Imam Abi Abdillah Muhammad Ismail bin Ibrahim Al Bukhari. Matan Bukhari
Kairo: Darul Fikr.t.tp
117

Mahdi al- Istanbuli, Mahmud. Tuhfatul Arusy, terj. Sholihin. Jakarta: Qitshi Press,
2012.

Malik bin Anas bin Malik bin „Amir Al-Asbahi Al-Madani. Muwathṯa‟ Imam
Malik. T.tp,: Muassasah al- Risalah, 1412 H

Mizzi, Jamaluddin .Tahdzib al- Kamal Fi Asma‟ al- Rijal. Beirut: Dar al- Fikr,
1994.

Muhammad „Uwaidah, Syaikh Kamil. Fiqih Wanita : Edisi Lengkap. Jakarta :


Pustaka al-Kautsar, 2008.

Muhammad bin „Ali Al Syauqani, “Nailu al-Authar Min Asrari Muntaqa al-
Akhbar”, (j.1, h. 284

Muhammad bin Isma‟il Al-Amir Ash-Shan‟ani. Subulus Salam: Syarah Bulughul


Maram, terj. Muhammad Isnani, dkk. Jakarta: Darus Sunnah, 2010

Muhammad Shiddiq Khan, As-Sayyid. Al-qur‟an dan As-Sunnah Bicara Wanita.


Jakarta: Darul Falah,2001.

Muhammad, Husein dan Haerudin, Mamang Muhammad . Mencintai Tuhan,


Mencintai Kesetaraan : Inspirasi Dari Islam dan Perempuan. Jakarta:
Kompas Gramedia,2014.

Mulia, Siti Musdah. Kemuliaan Perempuan Dalam Islam. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2014.

Nashirudin ad-Dimasyqi, Ibnu. “Mutiara Ilmu Atsar(Kitab Klasifikasi Hadis)”,


terj. Faisal Saleh dan Khorul Amru Harahap. Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2008.

Nasution, Siti Nafsiah. “Studi Kualitas Sanad Hadis Membaca al-Qur‟an Bagi
Wanita Junub, Haid dan Nifas Tanpa Menyentuh Mushaf.”, Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, UIN SUSKA Riau, 2015

Nawawi, Imam .Syarah Shahih Muslim, terj. Agus Ma‟mun dkk. Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2015
118

Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya


Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.

Pedoman akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta


2013-2014

Qardhawi, Yusuf . Tirulah Puasa Nabi: Resep Ilahi Agar Sehat Jasmani-Ruhani.
Bandung: PT Mizan Pustaka,2011.

Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Berinterkasi dengan alqur‟an . Jakarta: Pustaka al-


Kautsar, 2000.

Qattan, Manna‟ Khalil . Studi Ilmu-ilmu Qur‟an. Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2013

Qudamah, Ibnu . Al Mughni. terj. Ahmad Hotib dan Fathurrahman. Jakarta:


Pustaka Azzam,2007

Rahman, Fauzi . Haid Menghalangi Ibadah? No Way!. Bandung :Mizan Pustaka,


2008.

Rahmat, Syarif .“Berwudhu Untuk Memegang Mushaf Al Qur‟an”, Kumpulan


Buletin Jum’at “Qum”, No. 209 (Desember 2005)

Rahmatullah, Luthfi. dkk.” Haid (Menstruasi) Dalam Tinjauan Hadis”. Jurnal


Palastren Vol .6, No. 1 (2013).

Rusyd, Ibnu. Bidâyatul Mujtahid Wa Nihâyatul Muqtasid. Indonesia, Dar Ihya‟ al


Kutub al ArAbiyah,t.th.

Sa‟di, „Adil. Fiqhun Nisa, Thaharah Shalat, terj. Abdurrahim. Jakarta : PT Mizan
Publika, 2006.

Shaufi, Ahmad Hidayat .“Studi Kritik Hadis Wanita Haid Masuk Masjid; Analisa
Sanad dan Matan.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2007.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al- Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur‟an.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
119

Sri Rahayu, Ningsih “ Studi Kritik hadis Larangan dan Kebolehan Perempuan
Haid Masuk Masjid.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo,
2012.

Subhan, Zaitunah. Alqur‟an dan Perempuan; Menuju Kesetaraan Gender Dalam


Penafsiran. Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

Sudijono, Anas Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali, 1989).

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.


Bandung: al- Fabeta, 2010.

Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003.

Suyuti, Jalaludin. Al- Itqan Fi „Ulum al-Qur‟an. Beirut: Dar al- Fikri, 1951.

Syafi‟i Hadzami, Muhammad. Fatwa-Fatwa Muallim; Taudhihul Adhillah


Penjelasan Tentang Dalil-Dalil Shalat . Jakarta: Kompas Gramedia,2010.

Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak. “Mukhtashar Nailul Authar”, terj.
Amir Hamzah Fachrudin dan Asep Saefullah. Jakarta: Pustaka Azzam,
2011.

Taimiyah, Ibnu “ Fatawa An-Nisa‟”, terj. Khairun Naim, Jakarta: Ailah, 2005.

Thahhan, Mahmud. Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Riyadh: Maktabah al-


Ma‟arif, 1412 H/1991 M.

Turmudzi, Imam. Sunan Al- Tirmidzi. Beirut: Dar al- Fikr,1994.

Umar, Nasarudin dan Dani, Indriya R. 100+ Kesalahan Dalam Haji dan Umroh.
Jakarta: Qultum Media,2008.

Umar, Nasarudin. Ketika Fikih Membela Perempuan. Jakarta:Kompas Gramedia,


2014.

Wawancara pribadi dengan Dhiyaul Ula, salah satu pengurus Pesantren Takhassus
IIQ. Jakarta 9 April 2018
120

Wawancara Pribadi dengan mahasiswi IIQ Jakarta, 16-november-2017.

Yayasan Penyelenggara Penterjamah Pentafsir Al Quran. Al Quran dan


Terjemahnya. Departemen Agama: 2004.

Zaki al-Barudi, Syeikh Imad. Tafsir Wanita”, terj. Samson Rahman. Jakarta:
Pustaka Kautsar, 2005.

Zuhaili, Wahbah . Al- Fiqhul Islâmî Wa Adilatuhû”, terj. Masdar Hilmy.


Bandung: Pustaka Media Utama.

Zuhaili, Wahbah. Fikih Thaharah Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: CV.


Pustaka Media Utama

Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: PT Bumi


Aksara, 2005.
Lampiran 1

Surat pengantar penelitian

121
122

Lampiran 2

Surat keterangan telah melakukan penelitian


123

Lampiran 3

Dokumentasi lokasi penelitian

Keterangan: kantor pengurus Pesantren Takhassus IIQ Jakarta


124

Keterangan : Asrama I IIQ Jakarta

Keterangan : Asrama DKI IIQ Jakarta


125

Lampiran 4

Daftar pertanyaan angket penelitian

KUESIONER/ ANGKET
TENTANG PEMAHAMAN MAHASISWI PESANTREN TAKHASSUS IIQ
JAKARATA TERHADAP HADIS LARANGAN MEMBACA DAN
MEMBAWA ATAU MENYENTUH MUSHAF ALQUR’AN SAAT HAID
Judul Penelitian : Pemahaman Hadis tentang Larangan Membaca dan
Menyentuh Mushaf Al Qur‟an Saat Haid (Studi Kasus
Mahasiswi Pesantren Takhassus IIQ Jakarta)
Tujuan dan Manfaat : Untuk memperoleh data tentang pemahaman mahasiswi
pesantren takhassus IIQ Jakarta terhadap hadis larangan
membaca dan menyentuh mushaf bagi wanita yang sedang
haid
Koresponden : Mahasiswi Semester II Jurusan IAT Pesantren Takhassus
IIQ Jakarta
Cara Pengisian : - pada bagian pertama Pilihlah salah satu jawaban yang
paling sesuai dengan pendapat dan pengetahuan saudari
dengan memberi tanda silang (X) pada salah satu A,B,C
dan D dibawah ini ! pada bagian kedua pilihlah jawaban
yang menurut anda paling tepat.
- Bacalah dengan cermat setiap butir pertanyaan
sebelum anda menjawab !
Nama :

Usia :

Asal :

Daftar Pertanyaan
Bagian I: Kuesioner
1. Apa jenjang pendidikan terakhir anda sebelum terdaftar sebagai maha santri
pesantren Takhassus IIQ Jakarta?
A. SMA
B. SMK
126

C. MA
D. PON-PES berbasis SMA atau MA
2. Di Pesantren Takhassus IIQ Jakarta anda mengambil program yang berapa
Juz?
A. 30 Juz
B. 20 Juz
C. 10 Juz
D. 5 Juz
3. Ketika anda mengalami menstruasi apakah anda tetap menambah atau
mengulang hafalan? sertakan alasan dengan cara menceklis di kolom
sebelah kanan !
A. Ya, keduanya  Karna memang dari dulu
menambah atau mengulang
hafalan ketika menstruasi
 Karna mengejar target
hafalan di IIQ
 Karna peraturan yang ada
dipesantren takhassus IIQ
B. Hanya menambah saja  Karna menurut saya pribadi
ketika menstruasi hanya
boleh menambah hafalan
saja
 Karna mengejar target
hafalan di IIQ
 Karna peraturan yang ada
dipesantren takhassus IIQ
 Karna kebiasaan santri
dipesantren saya yang
sebelumnya hanya
menambah hafalan saja
C. Hanya mengulang saja  Karna menurut saya ketika
menstruasi hanya boleh
mengulang hafalan
 Karna mengejar target
hafalan di IIQ
 Karna peraturan yang ada
dipesantren takhassus IIQ
 Karna kebiasaan santri
dipesantren saya yang
sebelumnya hanya
mengulang hafalan saja
127

D. Tidak, keduannya  Karna menurut saya ketika


haid tidak boleh sama sekali
menambah atau mengulang
hafalan

Bagian II: kuesioner

No. Pertanyaan SS M/S RG TS STS

1. Apakah anda mengetahui bunyi hadis dibawah


ini
ِ ِ َ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ‫ َوال‬،‫ض‬
ُ ‫ الَ تَ ْقَرأ احلَائ‬:‫ال‬ ِّ ِ‫ َع ِن الن‬-
َ ‫َِّب‬
ِ ‫اجلنُب َشيئًا ِمن ال ُقر‬
‫آن‬ ْ َ ْ ُ ُ
(“orang yang sedang haid dan junub tidak boleh
membaca alqur‟an”)
2. Apakah anda mengerti mengenai maksud hadis
diatas?

3. Menurut anda maksud hadis diatas adalah berisi


tentang larangan perempuan haid membaca
alqur‟an
4. Secara pribadi pendapat anda, perempuan haid
itu haram dan tidak diperbolehkan membaca
alqur‟an tanpa pengecualian atau alasan apapun
5. Secara pribadi pendapat anda, perempuan haid
diperbolehkan membaca alqur‟an hanya jika
dalam hal yang darurat seperti belajar dan
sejenisnya
6. Secara pribadi pendapat anda, Perempuan
diperbolehkan membaca alqur‟an ketika haid
karna tidak ada nash yang menyebutkan
hukumnya secara pasti baik berupa alqur‟an
atau hadis tentang ketidakbolehan atau
keharaman mengenai hal tersebut
7. Apakah ketika anda haid anda membaca alqur‟an
didalam hati (tanpa bersuara) ?
128

8. Apakah anda mengetahui teks hadis dibawah


ini?
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّم لِ َع ْم ِرو بْ ِن‬ ِ ُ ‫اب الَّ ِذي َكتبه رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ ُ ََ
ِ َ‫إِ َّن ِِف الْ ِكت‬
»‫اهٌر‬ ِ َ‫ «ال َيس الْ ُقرآ َن إِال ط‬:‫حزٍم‬
ْ ُّ ََ َْ
(“bahwasanya salah satu surat yang ditulis oleh
Rasulullah SAW kepada „Amru bin Hazm
adalah tidak menyentuh alqur‟an kecuali orang
yang suci”)
9. Apakah anda mengerti mengenai maksud hadis
diatas?
10. Menurut anda hadis diatas berisi tentang
larangan menyentuh mushaf alqur‟an ketika haid
11. Secara pribadi pendapat anda, bahwasanya
perempuan haid haram dan tidak diperbolehkan
menyentuh alqur‟an baik dengan pembatas atau
alas dan baik dengan mushaf alqur‟an terjemah
terlebih mushaf alqur‟an yang bukan terjemah
12. Secara pribadi pendapat anda, perempuan haid
tidak boleh menyentuh mushaf alqur‟an kecuali
dengan syarat menggunakan alas atau pembatas
seperti kain dsb
13. Secara pribadi pendapat anda, diperbolehkan
bagi perempuan haid menyentuh mushaf
alqur‟an meskipun tanpa alas/pembatas dengan
syarat mushaf alqur‟an tersebut adalah mushaf
terjemah
14. Apakah anda ketika sedang haid menambah atau
mengulang hafalan dengan memegang mushaf
seperti biasa ketika dalam keadaan tidak haid ?
15. Apakah anda ketika haid mengulang atau
menambah hafalan tanpa memegang mushaf ?
16. Apakah ketika anda haid menambah atau
mengulang hafalan tanpa menggunakan mushaf
akan tetapi dengan menggunakan media
elektronik seperti qur‟an digital dan sejenisnya
17. Dari kedua teks hadis diatas, menurut anda tidak
boleh membaca alqur‟an dan tidak boleh
menyentuh nya
18. Dari kedua teks hadis diatas, menurut anda
perempuan haid boleh membaca alqur‟an dan
boleh menyentuh mushaf alqur‟an
19. Dari kedua teks hadis diatas, menurut anda
perempuan haid boleh membaca alqur‟an akan
tetapi tidak boleh menyentuhnya
20. Dari kedua teks hadis diatas, menurut anda
perempuan haid tidak boleh membaca alqur‟an
akan tetapi hanya boleh menyentuhnya
129

Keterangan:

- SS /SM : Sangat Setuju / Sangat Mengetahui


- S /M : Setuju / Mengetahui
- RG : Ragu-Ragu
- TS/ TM : Tidak setuju / Tidak Mengetahui
- STS /STM : Sangat Tidak setuju / Sangat Tidak Mengetahui

Jazakallahu Khairan 

Anda mungkin juga menyukai