Anda di halaman 1dari 8

Antropologi dan Civil Society:

Pendekatan Teori Kebudayaan1

Bachtiar Alam

(Universitas Indonesia)

Abstract

This article seeks to demonstrate the relevance of modern anthropological perspectives to


the development of civil society in Indonesia.The concept of civil society has figured promi-
nently in the political discourses taking place in Indonesia today. It has been largely inter-
preted as an intermediate sphere between the state and local communities, where the dis-
courses on individual freedom as well as cultural and religious diversity can be effectively
articulated without being coopted by the state power, or being bogged down in communal
conflicts. This paper argues that modern anthropological perspectives, centering on the idea
of the development of polyphonic discourses on cultural identities, can offer a powerful con-
ceptual tool to deconstruct the cultural essentialism perpetuated by the state power and
social groups, thereby making a significant contribution to the development of civil society in
Indonesia.

Key words: civil society; practice; discourse; culture theory.

Pengantar lokal’ tempat terhimpunnya kekuatan


Salah satu konsep yang banyak menarik masyarakat untuk mempertahankan kebebasan,
perhatian dalam diskusi-diskusi mengenai keanekaragaman, serta kemandirian masyarakat
kiprah politik negara kita saat ini adalah konsep terhadap kekuasaan negara dan pemerintah.
civil society. Memang, terjemahan istilah civil Konsep civil society demikian jelas
society ke dalam bahasa Indonesia masih menawarkan wawasan alternatif bagi dua pilihan
sangat beragam seperti: masyarakat madani, dikotomis yang selalu didengung-dengungkan
masyarakat sipil, masyarakat berbudaya, oleh berbagai rezim otoriter di dunia: sistem
masyarakat kewargaan, dsb. Tetapi, pada politik yang sentralistis dan otokratis, atau
dasarnya sudah ada satu kesepakatan bahwa kekacauan (chaos) yang ditandai oleh anarki,
civil society adalah wilayah kehidupan sosial konflik komunal, dan disintegrasi. Justru
yang terletak di antara ‘negara’ dan ‘komunitas terhadap perangkap pilihan dikotomi ‘semu’
seperti inilah konsep civil society menunjukkan
1
keampuhannya yang luar biasa, karena konsep
Tulisan ini merupakan penerbitan ulang artikel yang
sama dari Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol. ini secara tegas mengisyaratkan kemungkinan
XXIII, no. 60, 1999, hlm. 3–10. timbulnya ‘kebebasan sipil’ (civil liberties) yang

Alam, Antropologi dan Civil Society 193


bertanggung jawab, perbedaan pendapat yang Konsep civil society
nyata, dan pembentukan perserikatan- Untuk mengkaji relevansi antropologi bagi
perserikatan secara sukarela, tanpa terkooptasi pengembangan konsep civil society dalam
oleh jaringan-jaringan politik resmi. konteks Indonesia, pertama-tama perlu kita
Pada saat berbagai konflik sosial dan politik tinjau kembali perkembangan konsep civil so-
nyaris menceraiberaikan kehidupan bangsa kita ciety itu sendiri. Dalam hal ini, saya tidak
seperti sekarang ini, tampaknya merupakan saat bermaksud melakukan suatu tinjauan
yang sangat tepat untuk merenungkan menyeluruh atas sejarah perkembangan
kemungkinan-kemungkinan pengejawantahan konsep civil society. Saya di sini hanya akan
civil society di dalam konteks Indonesia, agar mencoba menggarisbawahi beberapa kandung-
kecenderungan-kecenderungan timbulnya an makna utama dari konsep ini agar selanjutnya
kembali kekuasaan yang otoriter di negeri ini dapat dipaparkan relevansi teori kebudayaan
dapat dicegah sedini mungkin. mutakhir bagi konsep tersebut.
Tulisan ini bertujuan mengkaji makna Apabila kita mencoba memahami asal-usul
konsep civil society dari segi teori kebudayaan konsep civil society, maka jelaslah bahwa
antropologi, khususnya teori-teori kebudayaan konsep ini mempunyai akar yang sangat dalam
mutakhir yang dijuluki beragam sebutan seperti di dalam sejarah Eropa. Dalam tradisi Eropa
‘post-modernis’, ‘post-strukturalis’, ‘postkolonial’, sebelum abad ke-18, berbagai macam istilah
‘refleksif’, dan lain-lain. Antropologi adalah yang berpadanan dengan civil society, seperti
suatu disiplin ilmu sosial yang telah lama koinonia politike dalam bahasa Yunani, soci-
berusaha merumuskan konsep kebudayaan etas civilis dalam bahasa Latin, societe civile
sebagai salah satu konstruksi teoritis utama dalam bahasa Perancis, dan burgerliche
dalam penelitian sosial. Konsep civil society, Gesellchaft dalam bahasa Jerman, semuanya
seperti akan ditunjukkan dalam tulisan ini, mensinonimkan pengertian civil society dengan
berkaitan erat dengan konsep kebudayaan negara (Keane 1988a:35-36). Pada masa itu,
yang dinamis dan inovatif, sehingga sudah seorang anggota civil society atau masyarakat
sewajarnya apabila teori-teori antropologi kota, dengan sendirinya juga berarti warga dari
menunjukkan relevansi tinggi bagi pengem- negara (citizen) setempat.
bangan konsep civil society dalam konteks Filsuf Jerman Hegel (1770-1831) barangkali
Indonesia. Namun, dalam kenyataannya, hingga merupakan orang pertama yang secara tegas
saat ini nampaknya usaha-usaha ke arah itu membedakan konsep ‘negara’ dan civil soci-
masih sangat terbatas, sehingga tulisan ini ety (Sassoon 1983).3 Menurut Hegel, civil so-
mencoba membuat suatu ‘kajian penjajagan’ ciety adalah suatu ‘wilayah’ (sphere) perantara
(preliminary considerations) mengenai di antara wilayah ‘keluarga’ dan wilayah
relevansi teori kebudayaan antropologi bagi ‘negara’. Menurutnya, kaum borjuis yang mulai
pengembangan konsep civil society dalam
konteks Indonesia.2 3
Perbedaan konsep ‘negara’ dan civil society adalah
pendapat yang diterima secara umum, namun peneliti
2
Karena tulisan ini semata-mata merupakan suatu masalah civil society seperti John Keane (1988a:62-
usaha penjajakan penjabaran konsep civil society dalam 63) membantah pendapat demikian. Menurutnya,
konteks Indonesia, saya tidak mencoba membuat sebelum Hegel sudah ada banyak penulis Inggris,
terjemahan baku istilah tersebut. Untuk sementara,
dalam tulisan ini digunakan istilah Bahasa Inggris civil Perancis dan Jerman yang membahas hubungan antara
society. civil society dan negara.

194 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006


bermunculan di Eropa abad ke-17, melepaskan jelas bahwa—walaupun mereka mengakui civil
diri dari kungkungan kekuasaan negara feudal society sebagai suatu arena sosial yang
maupun keluarga, sehingga menciptakan terpisah dari negara—mereka sangat
wilayah sosial baru yang ditandai oleh berbagai menonjolkan ‘aspek negatif’ dari civil society
persaingan ekonomi dalam bentuk kerja, sebagai ajang persaingan kepentingan
produksi, pertukaran jasa dan barang, serta ekonomi. Pandangan yang lebih positif
perolehan harta. Wilayah sosial demikian oleh terhadap civil society baru bermunculan pada
Hegel disebut civil society atau burgerliche abad ke-20.4
Gesellchaft. Tetapi, Hegel lebih lanjut menyata- Pemikir sosial dari Itali bernama Antonio
kan bahwa karena civil society merupakan Gramsci (Bobbio 1988; Sassoon 1988a, 1988b)
arena persaingan ekonomi, maka ia me- misalnya, menganalisis civil society dengan
ngandung potensi perpecahan, sehingga pada menggunakan konsep hegemoni yang
akhirnya negara, sebagai kekuasaan politik mengritik determinisme ekonomi Marx.
yang mengurus kepentingan umum, harus Menurut Gramsci, suatu kelas sosial mem-
mengontrol civil society agar tidak mengalami pertahankan dominasinya bukan sekedar
disintegrasi. dengan menguasai modus produksi, melainkan
Karl Marx melanjutkan pemikiran Hegel dengan mengembangkan ‘hegemoni’, yaitu
tentang civil society dalam mengembangkan suatu tatanan ide dan moral yang dapat menarik
teorinya tentang masyarakat kapitalis. Tetapi, ‘kesepakatan aktif’ (active consent) dari kelas-
dia melihat civil society dari perspektif kelas sosial yang didominasinya. Dengan kata
determinisme ekonomi bahwa modus produksi lain, konsep hegemoni ini menolak adanya
kehidupan materiallah yang ternyata manifestasi langsung kepentingan-kepenting-
‘mengkondisi’ kehidupan sosial dan politik an ekonomi kelas penguasa di dalam kehidupan
manusia pada umumnya (Marx dan Engels politik maupun kebudayaan masyarakat
1968:181-182). Civil society juga dilihat sebagai bersangkutan. Tak pelak lagi, revisi demikian
‘bentukan sosial’ (social formation) masya- mempunyai implikasi yang sangat jauh bagi
rakat borjuis tempat negara menjadi alat dari pengkajian ideologi dan kebudayaan, karena
kepentingan-kepentingan kelas borjuis. konsep hegemoni praktis membebaskan
Penampilan luar civil society sebagai suatu konsep civil society dari perspektif determinis-
masyarakat, tempat para anggotanya dengan me ekonomi.
bebas dapat mengejar keuntungan ekonomi, Dengan demikian, konsep hegemoni juga
dikritik oleh Marx sebagai suatu ‘kamuflase’ dari memberi arti ‘positif’ bagi konsep civil society.
monopoli sarana produksi oleh kaum borjuis Menurut Gramsci, ajang pembentukan
yang mengeksploitasi kaum proletar. Dengan hegemoni justru terletak di wilayah civil soci-
demikian, civil society bagi Marx hanyalah ety dan bukan di wilayah negara. Gramsci
merupakan fase transisi yang masih tetap berpendapat bahwa untuk mempertahankan
mengandung kontradiksi-kontradiksi hubung- kekuasaannya, kelas sosial yang dominan mau
an ekonomi masyarakat kapitalis, yang pada tidak mau harus bernegosiasi dan membuat
akhirnya pasti akan hancur dari dalam karena
4
terjadi tranformasi total menuju masyarakat Sebetulnya ada pemikir sosial abad ke-19 seperti
sosialis. Alexis Tocqueville yang memberi penilaian positif
terhadap civil society, namun dalam tulisan ini saya
Melihat sepintas pendekatan idealis Hegel memfokuskan pembahasan saya pada pemikiran abad
maupun materialis Marx seperti ini, sangatlah ke-20 yang berpengaruh.

Alam, Antropologi dan Civil Society 195


kompromi-kompromi dengan kelompok- Di Indonesia sendiri, ahli ilmu politik
kelompok sosial lainnya di dalam arena civil Muhammad Hikam (1996:3) melihat civil soci-
society. Karena itu, di dalam pemikiran Gramsci, ety secara eklektif sebagai wilayah kehidupan
di antara negara dan civil society senantiasa sosial yang menjamin berlangsungnya tindakan
terdapat suatu hubungan timbal-balik. Kelas dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh
sosial yang dominan melalui negara mencoba kondisi kehidupan material, tidak terserap di
mengooptasi kelompok-kelompok lain dalam dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik
civil society. Sebaliknya, kelompok-kelompok resmi, serta mengandung transaksi komunikasi
sosial tersebut pun mencoba memaksa negara yang bebas oleh warga masyarakat.
untuk berkompromi dan menerima tuntutan- Dari tinjauan beberapa pemikiran tentang
tuntutannya. civil society oleh para ahli ilmu sosial abad ini,
Hegel dan Marx melihat hubungan antara jelas terlihat seutas benang merah yang
negara dan civil society sebagai hubungan satu menghubungkan pebedaan-perbedaan mereka,
arah. Hegel melihat negara sebagai pengontrol yaitu:
civil society, sedangkan Marx melihat negara • bahwa civil society mempunyai kemandirian
sebagai perpanjangan kepentingan ekonomi terhadap negara, tetapi di antara keduanya
yang menguasai civil society. Berbeda dengan terdapat hubungan timbal balik, dan
pandangan Hegel dan Marx, Gramsci meng- • bahwa civil society merupakan arena
ajukan suatu perspektif baru yang melihat sosial yang mengandung kepentingan-
hubungan timbal balik yang setara di antara kepentingan berbeda, namun memungkinkan
keduanya. Hal inilah yang membuat pemikiran terjadinya negosiasi terus-menerus secara
Gramsci sangat berpengaruh pada berbagai bebas.
pemikiran-pemikiran sosial masa kini.
John Keane (1988a, 1988b), seorang ahli ilmu Pendekatan teori kebudayaan
sosial masa kini yang menentang determinisme mutakhir
ekonomi, melihat civil society sebagai arena Berangkat dari pemikiran-pemikiran tentang
sosial yang mengandung kebebasan (freedom), civil society seperti telah diuraikan di atas,
perserikatan sukarela (voluntary association), teori-teori antropologi masa kini tampak sangat
keragaman hubungan manusia, jati diri, serta relevan. Dalam tulisan ini saya akan mencoba
nilai-nilai, yang terpisah dari kekuasaan politik menunjukkan relevansi antropologi untuk
negara dan pemerintah. Bagi Keane dan para kedua ciri utama konsep civil society yang telah
ahli ilmu sosial lainnya yang berhaluan liberal, disimpulkan di atas.
berbagai macam kekuasaan dalam civil society
Praksis
tidak bersumber dari satu hal, seperti
penguasaan sarana produksi, tetapi dari Seperti telah kita bahas di atas, terobosan
berbagai macam faktor yang sangat beragam konseptual utama dalam pemikiran tentangcivil
dan heterogen. Oleh sebab itu, seperti halnya society—setelah munculnya konsep hegemoni
Gramsci, Keane (1988b:xiii) melihat hubungan Gramsci—adalah diakuinya peranan ‘kesadaran
setara antara negara dan civil society itu subyektif’ (subjective consciousness) dari para
mengandung penyaluran kekuasaan ke aneka pelaku dalam mencapai hubungan timbal-balik
macam wilayah publik yang terdapat di dalam yang harmonis antara civil society dan negara.
dan di antara negara dan civil society. Gramsci melihat peran kesadaran subyektif
demikian sebagai active consent (kesepakatan

196 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006


aktif) dari kelompok-kelompok yang mem- ngetahuan yang diwariskan atau dilestarikan,
bentuk civil society. Pendekatan ini agak melainkan merupakan sesuatu yang ‘dibentuk’,
berbeda dari pendekatan sebelumnya yang suatu konstruksi sosial yang berkaitan erat
dikemukakan oleh Hegel dan Marx yang melihat dengan kepentingan maupun kekuasaan si
civil society dan negara sebagai ‘fakta sosial’ pelaku.
atau ‘struktur’ yang terlepas dari kesadaran Dilihat dari teori praksis seperti ini, hubungan
individu. saling membentuk dan mempengaruhi antara
Dalam teori antropologi masa kini, civil society dan negara merupakan hubungan
‘kesadaran subyektif’ mendapat posisi yang dialektis antara subjek dan struktur objektif.
sangat penting dalam ‘teori praksis’ (theory of Praksis para pelaku tidak sepenuhnya bebas dari
practice) yang dikembangkan oleh Pierre struktur objektif, tetapi praksis juga dapat
Bourdieu (1977; cf. Jenkins 1992). Konsep ini merubah struktur objektif. Begitu juga, seperti
dikemukakan oleh Bourdieu (1977) pada akhir dikemukakan oleh Gramsci, Keane dan Hikam,
dekade 1970an, tetapi baru mulai menarik civil society yang terdiri dari subjek-subjek
perhatian para antropolog pada pertengahan dengan kesadaran serta kepentingan yang
1980an (lihat misalnya Moore 1987; Ortner berbeda-beda di satu pihak dibentuk oleh
1984). negara, namun sebaliknya negara juga
Pokok pikiran teori praksis yang paling dipertahankan atau dirubah oleh civil society.
relevan dalam pembahasan ini adalah bahwa
konsep ‘praksis’ (practice) Bourdieu dibedakan Wacana
dari konsep ‘tindakan’ (action) yang merupakan Konsep antropologi lain yang sangat
salah satu konstruk teoritis utama sosiologi relevan terhadap pemikiran tentang civil soci-
Weber, yang diwariskan dalam berbagai ety adalah wacana. Konsep wacana sangat
pendekatan antropologis, antara lain pen- berpengaruh tidak saja dalam antropologi,
dekatan interpretatif Geertz (1973). Berbeda tetapi juga dalam berbagai cabang ilmu sosial
dengan konsep tindakan yang dalam tradisi dan budaya lainnya.
sosiologi Weber cenderung dilihat sebagai Wacana, menurut Emile Benveniste
pencerminan ide-ide yang terkandung dalam (1971:217-230), adalah modus komunikasi ver-
kebudayaan si pelaku, konsep praksis bal (kebahasaan) tempat posisi si penutur
menekankan adanya hubungan timbal balik tampak dengan jelas, sehingga menurut Fou-
antara si pelaku dan ‘struktur obyektif’ atau cault (1980), sejumlah wacana dapat terhimpun
‘kebudayaan’ sebagai keseluruhan pengetahu- menjadi suatu akumulasi konsep ideologis yang
an yang diwariskan dari generasi ke generasi didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga dan
dalam bentuk simbolik (Bourdieu 1977:83). berbagai macam modus penyebaran pe-
Implikasi utama dari konsep praksis bagi ngetahuan. Perlu diperhatikan bahwa dalam arti
konsep kebudayaan ialah bahwa simbol-simbol adanya keterlibatan ‘subyektivitas’ demikian,
yang terkandung dalam suatu kebudayaan wacana dibedakan dari ‘teks’ yang merupakan
senantiasa bersifat cair, dinamis, dan sementara, penuturan verbal yang telah lepas dari posisi
karena keberadaannya tergantung pada praksis si penutur.
para pelakunya yang berada pada konteks Dengan pengertian wacana demikian, kita
sosial tertentu, yang mempunyai ‘kepentingan’ dapat melihat bahwa setiap wacana tentang
tertentu. Kebudayaan dalam arti ini bukan kebudayaan tidak terlepas dari ‘kepentingan’
semata-mata merupakan sekumpulan pe- dan ‘kekuasaan’. 5 Bahkan, dalam setiap

Alam, Antropologi dan Civil Society 197


masyarakat biasanya terdapat berbagai macam secara tajam melihat hubungan antara wacana
wacana tentang kebudayaan yang bisa saja dan kekuasaan.
saling bertentangan. Namun dengan mendapat Semua pengertian ini jelas sangat cocok
dukungan dari kekuasaan, wacana tertentu dengan ciri kedua civil society yang telah
menjadi wacana yang dominan, sedangkan disimpulkan di atas, yaitu bahwa civil society
wacana-wacana lainnya akan ‘terpinggirkan’ merupakan arena sosial yang mengandung
(marginalized) atau ‘terpendam’ (submerged). kepentingan-kepentingan berbeda, namun
Karena adanya kesadaran tentang memungkinkan terjadinya negosiasi terus
hubungan erat antara wacana dan kepentingan menerus secara bebas. Perspektif antropologi
serta kekuasaan, antropologi dewasa ini sangat seperti yang baru saja diuraikan dapat semakin
mementingkan keragaman wacana tentang mempertajam karakteristik civil society sebagai
kebudayaan, baik dalam arti wacana umum arena sosial yang mengandung berbagai
tentang kebudayaan maupun wacana wacana dan praksis, yang mewakili berbagai
antropologis yang dinamakan etnografi. James kepentingan yang berbeda; tetapi, kesemua
Clifford (1988) mengemukakan perlunya wacana dan praksis mendapat kesempatan
penciptaan ‘ruang’ tempat tumbuh suburnya untuk berkembang secara bebas.
berbagai wacana tentang kebudayaan sebagai
hasil ‘negosiasi konstruktif’ (constructive ne- Penutup: civil society dan wacana
gotiation) antara peneliti dan para pelaku. kebudayaan di Indonesia
Clifford (1988) menamakan kondisi demikian Dalam tulisan ini telah diuraikan dua konsep
sebagai polyphonic atau heteroglossia , utama dari teori kebudayaan mutakhir, yaitu
bersuara majemuk. praksis dan wacana. Kedua konsep ini sengaja
Kepedulian antropologi masa kini terhadap ditonjolkan dalam tulisan ini, karena dalam
kemajemukan wacana kebudayaan, serta berbagai diskusi tentang kebudayaan di Indo-
terhadap wacana-wacana dan pengetahuan- nesia selama ini, kebudayaan lebih banyak
pengetahuan yang terpinggirkan atau digambarkan secara statis, sebagai sesuatu
terpendam oleh kekuasaan yang ada, berkaitan yang diwariskan, dipelajari, dan dilestarikan,
erat dengan kiprah antropologi dewasa ini yang bukan sebagai sesuatu yang dikonstruksi. Teori
menentang ‘esensialisme budaya’. Esensialisme kebudayaan mutakhir justru menekankan
budaya adalah pandangan bahwa suatu bahwa kebudayaan selalu dikonstruksi oleh
kebudayaan mempunyai ‘esensi’ yang statis, para pelakunya melalui praksis dan wacana.
yang tidak akan berubah selama-lamanya. Tetapi, apakah relevansi teori kebudayaan
Esensialisme budaya bukan saja tidak sesuai mutakhir seperti ini bagi pengembangan civil
dengan konsep kemajemukan wacana yang society, khususnya dalam konteks Indonesia?
berkembang dalam antropologi, melainkan juga Inilah kesimpulan terpenting yang ingin saya
mengabaikan perspektif antropologi yang tarik dari pembahasan ini.
Konsep kebudayaan yang dinamis dan
5
Yang dimaksud dengan ‘kekuasaan’ dalam tulisan ini
inovatif justru sangat diperlukan bagi
bukanlah semata-mata kekuasaan politik, melainkan pengembangan civil society di Indonesia,
kekuasaan dalam arti power seperti yang dimaksud karena kepentingan-kepentingan politik di
oleh Foucault (1972:427), yaitu kemampuan untuk negeri ini teramat sering dipresentasikan
menstruktur tindakan orang lain dalam bidang tertentu.
Menurut Foucault (1972), kekuasaan demikian sebagai wacana kebudayaan. Ambil saja
senantiasa beredar dari subjek yang satu ke yang lain. contoh, masih segar dalam ingatan kita bahwa

198 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006


pada akhir masa Orde Baru, ketika Nurcholish nya, melainkan sebagai sesuatu yang
Madjid mengusulkan perlunya partai oposisi, dikonstruksikan oleh para pelaku dengan
oleh pihak penguasa serta merta ditanggapi didorong oleh kepentingan-kepentingannya,
dengan jawaban: ‘oposisi tidak sesuai dengan maka masalah kita sekarang ini bukannya
budaya kita.’ Ini hanya sekedar satu contoh ‘apakah kita mempunyai budaya demokrasi
kecil untuk hal-hal yang bersifat sangat ‘politis’, atau tidak’, melainkan ‘apakah kita mau
seperti sistem oposisi di negeri ini yang menciptakan (mengonstruksi) kebudayaan
cenderung dipresentasikan sebagai persoalan demokrasi atau tidak’. Kalau memang ada
kebudayaan. kemauan politis untuk itu, hal itu dapat
Sangat mudah kita jumpai contoh-contoh dilakukan melalui wacana dan praksis.
seperti ini dalam wacana-wacana politis di Terdapat kecenderungan sangat kuat dalam
negeri ini, bahkan juga pada masa pasca-Orde masyarakat kita untuk mempresentasikan
Baru sekarang ini. Misalnya saja, dalam gejolak masalah-masalah politis sebagai masalah
sosial-politik yang berkepanjangan di negeri budaya. Memang dalam satu segi, hal itu
kita, sering kita dengar pernyataan-pernyataan menunjukkan preokupasi kita dengan masalah
seperti ‘Indonesia belum siap menerima sistem kebudayaan. Tetapi, di lain pihak, hal itu juga
demokrasi’, ‘budaya (sic) demokrasi belum disebabkan oleh konsep kebudayaan yang
berakar di Indonesia’, dan seterusnya. Dilihat berlaku umum di negeri ini yang sangat bersifat
dari pemahaman kebudayaan sebagai suatu statis. Padahal, untuk mengembangkan civil
proses dinamis seperti yang saya kemukakan society yang mandiri, sesuatu yang amat sangat
di atas, pernyataan-pernyataan demikian jelas diperlukan adalah konsep kebudayaan yang
salah kaprah. Kalau kita lihat kebudayaan bukan dinamis dan inovatif. Di sinilah, tak pelak lagi,
sebagai sesuatu sistem simbolik baku yang terdapat peluang besar bagi ilmu antropologi
semata-mata diwariskan dari generasi sebelum- untuk memberikan sumbangsihnya yang nyata.

Referensi
Benveniste, E.
1971 Problems in General Linguistics. Coral Gables: University of Miami Press.
Bobbio, N.
1988 ‘Gramsci and the Concept of Civil Society’, dalam J. Keane (peny.) Civil Society and
the State. London: Verso. Hlm. 73–79.
Bourdieu, P.
1977 Outline of a Theory of Practice. Cambridge, England: Cambridge University Press.
Clifford, J.
1988 The Predicament of Culture: Twentieth-Century Ethnography, Literature, and Art.
Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Foucault, M.
1972 Power/Knowledge. New York: Pantheon.
Geertz, C.
1973 The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Alam, Antropologi dan Civil Society 199


Hikam, M.A.S.
1990 Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.
Jenkins, R.
1992 Pierre Bourdieu. London: Routledge.
Keane, J.
1988a ‘Despotism and Democracy: The Origins and Development of the Distinction be-
tween Civil Society and the State 1750-1850’, dalam J. Keane (peny.) Civil Society and
the State. London: Verso. Hlm. 35–72.
1988b Democracy and Civil Society. London: Verso.
Marx, K dan F. Engels
1968 Selected Works. London: Lawrence & Wishart.
Moore, S.F.
1987 ‘Explaining the Present: Theoretical Dilemmas in Processual Ethnography’, American
Ethnologist 14(4):727–736.
Ortner, S.
1984 ‘Theory in Anthropology since the Sixties’, Comparative Studies in Societies and
History (26):126–166.
Sassoon, A.S.
1983 ‘Civil Society’, dalam T. Bottmore, dkk. (peny.) A Dictionary of Marxist Thought.
Cambridge: Harvard University Press. Hlm.

200 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

Anda mungkin juga menyukai