Anda di halaman 1dari 134

1

MATERI POKOK BAHASAN - 1

PENGERTIAN MASALAH-MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

Masalah kesejahteraan sosial merupakan suatu fenomena yang

mempunyai berbagai dimensi. Kerena, begitu banyaknya dimensi yang

terkandung di dalamnya, mengakibatkan hal ini menjadi objek kajian, akan tetapi,

meskipun gejala ini telah lama, sampai sekarang belum diperoleh rumusan

pengertian yang disepakati berbagai pihak. Pada umumnya masalah kesejahteraan

sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian besar

warga masyarakat. Hal itu disebabkan karena gejala tersebut merupakan kondisi

yang tidak sesuai dengan nilai, norma, dan standar sosial yang berlaku. Lebih dari

itu, suatu kondisi juga dianggap sebagai masalah kesejahteraan sosial karena

menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian baik fisik maupun nonfisik.

Sehubungan dengan hal itu, salah satu persoalan yang tidak jarang menjadi

sumber perdebatan dalam studi masalah kesejahteraan sosial adalah tentang

defenisi. Tidak kurang usaha untuk mendefenisikan masalah kesejahteraan sosial

secara unliversal dengan berangkat dari pemikiran bahwa masalah kesejahteraan

sosial tersebut berupa kondisi dalam kehidupan masyarakat yang menimbulkan

kerugian baik nonfisik maupun fisik material pada segmen tertentu dari suatu

masyarakat. Untuk menghindari adanya berbagai bias tersebut serta untuk menuju

pada defenisi asalah sosial yang objektif dan bersifat universal telah dicoba pula

merumuskan devenisi masalah kesejahteraan sosial dari pendapat umum. Apabila

masalah kesejahteraan sosial dari didefenisikan dari pendapat umum, maka

fenomena yang dapat dianggap sebagai masalah akan terbatas pada perilaku dan
2

tindakan yang melanggar eksistensi tatanan sosial yang berlaku. Cara

pendefenisian dan identifikasi masalah seperti itu akan kurang mampu untuk

mendeteksi masalah yang muncul dan justru dilestarikan oleh sistem yang berlaku

dalam masyarakat yang bersangkutan.

Parillo (1987: 14) menyatakan, bahwa pengertian masalah kesejahteraan

sosial mengandung empat komponen, dengan demikian suatu atau kondisi sosial

dapat disebut sebagai masalah kesejahteraan sosial apabila terlihat indikasi

keberadaan empat unsur tadi. Keempat komponen tersebut adalah :

1. Kondisi tersebut merupakan masalah yang bertahan untuk suatu periode

waktu tertentu. Kondisi yang di anggap sebagai masalah, tetapi dalam waktu

singkat kemudian sudah hilang dengan sendirinya tidak masuk masalah

kesejahteraan sosial.

2. Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau nonfisik, baik

pada individu maupun masyarakat.

3. Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari salah satu

atau beberapa sendi kehidupan masyarakat.

4. Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan.

Sementara itu, Raab dan Selznick (1964: 2) menyatakan bahwa tidak semua

masalah kesejahteraan sosial. Masalah kesejahteraan sosial pada dasarnya adalah

masalah yang terjadi dalam antar hubungan di antara warga masyarakat. Suatu

masalah yang dihadapi seorang warga masyarakat sebagai individu tidak otomatis

merupakan masalah kesejahteraan sosial. Masalah individu tersebut dapat

dianggap sebagai masalah kesejahteraan sosial kalau kemudian berkembang

menjadi isu sosial. Keterkaitan dengan proses relasi sosial seringkali juga
3

menyangkut aturan dalam hubungan bersama baik formal maupun informal.

Masalah kesejahteraan sosial terjadi apabila :

1. Banyak terjadi hubungan antar warga masyarakat yang menghambat

pencapaian tujuan penting dari sebagian besar warga masyarakat.

2. Organisasi sosial menghadapi ancaman serius karena ketidakmampuan

mengatur hubungan antarwarga.

Defenisi masalah kesejahteraan sosial yang mencoba mengakomodasi

adanya relativitas seperti itu, antara lain dikemukakan oleh Weinberg (1981: 4),

masalah kesejahteraan sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu yang

bertentangan dengan nilai-nilai oleh warga masyarakat yang cukup signifikan, di

mana mereka sepakat dibutuhkannya suatu tindakan untuk mengubah situasi

tersebut. Dari defenisi tersebut dapat diidentifikasi tiga unsur penting yaitu :

1. Suatu situasi yang dinyatakan.

2. Warga masyarakat yang signifikan.

3. Kebutuhan akan tindakan pemecahan masalah.

Dari unsur-unsur tadi dapat dikatakan, bahwa agar dinyatakan sebagai

masalah kesejahteraan sosial, suatu gejala harus diidentifikasi sebagai masalah

oleh masyarakat. Definisi yang dirumuskan Weinberg ini lebih melihat

keberadaan masalah kesejahteraan sosial seagai hasil konstruksi sosial. Dan

Apabila masalah kesejahteraan sosial sudah diidentifikasi, maka perhatian

berikutnya dicurahkan pada usaha untuk menangani dan memecahkan masalah.

Teori Fungsional Struktural kemudian melahirkan perspektif patologi

sosial,disorganisasi sosial, perilaku menyimpang, teori konflik mengembangkan

perspektif konflik nilai dan institusional, sedangkan teori Interaksionalisme


4

Simbolik diderivasikan dedalam perspektif labeling, Klasifikasi tersebut

sebetulnya cukup paralel dengan apa yang dikemukakan Parrilo (1987: 2) sebagai

empat orientasi atau penekanan dalam memahami masalah kesejahteraan sosial.

Keempat orientasi dalam studi masalah kesejahteraan sosial tersebut adalah :

1. Individual faults and deviant behavior emphasis

2. Institusional faults and system disorganization emphasis

3. Inequality and inevitable conflict emphasis

4. Interaction and sosial interpretation emphasis

Sebetulnya persoalan unit analisis ini sangat erat kaitannya dengan

kenyataan bahwa masalah kesejahteraan sosial mempunyai dimensi yang luas dan

menyangkut berbagai aspek dalam kehidupan sosial, Sebagaimana dilakukan oleh

Julian (1986: 3-4), dia mengemukakan empat asumsi yang perlu dipegang dalam

membuat telaah tentang masalah kesejahteraan sosial. Keempat asumsi tersebut

adalah :

1. Masalah kesejahteraan sosial dalam kadar yang berbeda-beda adalah suatu

hasil efek tidak langsung dan tidak diharapkan dari pola tingkah laku yang

ada.

2. Suatu sturktur sosial budaya tertentu dapat membuat masyarakat

menyesuaikan diri tetapi dapat pula menyimpang.

3. Setiap masyarakat dapat dibedakan berdasarkan beberapa kategori seperti

income, tingkat pendidikan, latar belakang etnis dan jenis pekerjaan.

Kelompok-kelompok tersebut disebut strata yang berbeda tentang masalah

yang sama. Dengan demikian akan mempunyai pemahaman yang berbeda.


5

4. Orang dari strata yang berbeda mempunyai aspirasi yang berbeda dalam

hal pemecahan masalah tertentu. Selama aspirasi pemecahan masalah

berorientasi kepada nilai dan kepentingannya, maka sering kali akan sulit

untuk mencapai kesepakatan dalam pemecahan masalah.

Sebagai proses perubahan yang terencana, maka Kotler (Dalam Zailman,

1972: 174) menginventarisasi bahwa tindakan sosial tersebut mengandung lima

elemen yang disebutnya sebagai The Five C’s of Sosial Action, yang terdiri dari

Cause, Change Agency, Change Target, Channel dan Change Strategy.

Cause, dimaksudkan sebagai faktor yang menyebabkan dilakukannya

tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Faktor ini tidak lain adalah

kondisi yang diidentifikasi sebagai masalah kesejahteraan sosial itu sendiri.

Change Agency merupakan organisasi baik dari dalam lingkungan

masyarakat sendiri maupun yang berasal dari luar yang bertujuan untuk

mendorong, memfasilitasi terjadinya perubahan. Dalam menjalankan fungsinya

untuk mewujudkan perubahan, change agency dapat menggunakan pendekatan

yang bersifat mengarahkan, tetapi dapat pula menggunakan pendekatan ang

bersifat persuasive.

Change target adalah individu, kelompok atau institusi yang menjadi

sasaran perubahan. Fokus perhatian pada sasaran individu sebagai penyandang

masalah atau pada sistem dan institusi sosialnya sangat ditentukan oleh

pendekatan yang digunakan dalam mendiagnosis masalah, yang pada umumnya

berada di antara person blame approach dan system blame approach.


6

Channel adalah saluran yang berfungsi menghubungkan antara change

agency dengan change target. Pada umumnya hubungan di antara keduanya

melalui channel tersebut menggunakan mekanisme influence-response.

Change strategy adalah cara change agency memengaruhi sasaran dalam

rangka mewujudkan perubahan. Strategi yang digunakan akann menentukan

keberasilan atau efektivitas tindakan. Pilihan strategi yang digunakan banyak

mempertimbangkan kondisi masyarakat, bentuk masalah, dan potensi perubahan

yang ada.
7

MATERI POKOK BAHASAN - 2

TAHAP-TAHAP PENANGANAN

MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

1. PENGANTAR

Masalah kesejahteraan sosial adalah sebuah gejala atau fenomena yang

muncul dalam realitas kkehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan keseharian

fenomena tersebut hadir bersamaan dengan fenomena sosial yang lain, oleh sebab

itu untuk dapat memahaminya sebagai masalah kesejahteraan sosial, dan

membedakannya dengan fenomena yang lain dibutuhkan suatu identifikasi. Di

samping itu, pada dasarnya, fenomena tersebut merupakan kondisi yang tidak

sesuai dengan harapan masyarakat atau kondisi yang tidak sesuai dengan harapan

masyarakat atau kondisi yang tidak di kehendaki, oleh karenanya wajar kalau

kemudian selalu mendorong adanya usaha untuk mengubah dan memperbaikinya.

Dalam studi dan penanganan masalah kesejahteraan sosial ketiga tahap

tersebut boleh dikatakan sebagai langkah baku untuk memahami dan menangani

masalahnya. Hanya saja, dalam berbagai kesempatan memang ditemukan

penggunaan formulasi yang berbeda. Sebagai contoh, Parrillo (1987) juga

membagi pentahapan tersebut menjadi tiga namun dengan formulasi yang

berbeda yaitu :

1. Trend impact analysis

2. Cross impact analysis

3. Scenarios

Tahap pertama melihat kecenderungan gejala masalah kesejahteraan sosial

yang terjadi, yang sesungguhnya tidak berbeda dengan tahap identifikasi. Tahap
8

kedua malihat keterkaitan masalah yang diidentifikasi tersebut dengan berbagai

faktor dan fenomena yang member gambaran tentang faktor penyebab serta

kompleksitas masalah, sehingga identik dengan upaya mendiagnosis masalah.

Tahap ketiga merumuskan dan merekomendasikan langkah-langkah yang harus

diambil untuk usaha pemecahan dan perbaikan, yang sebetulnya tidak berbeda

dengan upaya treatment.

Sementara itu Weinberg (1981) memformulasikan pentahapan yang lebih

banyak meliputi : definition, causes, conditions, consequences dan solution.

Walaupun jumlah tahapan dan formulasi yang digunakan berbeda akan tetapi

sebetulnya secara substansial tetap parallel dengan pentahapan yang telah

disebutkan pertama. Tahap definition sebetulnya juga merupakan langkah

identifikasi masalah, sedangkan tahap causes, conditions dan consequences

parallel dengan tahap diagnosisi masalah.

Sebagai ilustrasi yang lain dapat dikemukakan formulasi yang digunakan

oleh Raab dan Selznick (1964) yang meliputi tahap measurement, causation dan

meeting the problems. Sudah tentu yang dimaksudkan dengan tahap

meansurement adalah pengukuran untuk mengidentifikasi keberadaan masalah

kesejahteraan sosial.

Dibandingkan dengan tahap-tahap yang lain, identifikasi masalah sering

dianggap sebagai langkah yang lebih sederhana dan lebih mudah dilakukan. Hal

itu disebabkan oleh karena adanya anggapan, bahwa identifikasi masalah sekedar

merupakan upaya agar masyarakat menyadari adanya gejala yang pantas disebut

sebagai masalah kesejahteraan sosial, sehingga membutuhkan perhatian serta

penanganan.
9

Walaupun demikian, identifikasi masalah yang secara sepintas kelihatan

merupakan langkah yang sederhana tersebut, sebetulnya mempunyai peranan yang

cukup penting dalam studi masalah kesejahteraan sosial. Dilihat sebagai suatu

proses, identifikasi masalah dapat berfungsi untuk memberikan inspirasi bagi

langkah-langkah berikutnya. Kesadaran akan keberadaan masalah kesejahteraan

sosial dapat mendorong orang untuk melakukan berbagai tindakan baik studi dan

penelitian guna lebih memahami masalah tersebut maupun langkah diagnosis dan

treatment sebagai upaya penanganan masalahnya.

2. Tahap Identifikasi

Masalah kesejahteraan sosial merupakanfenomena yang selalu muncul

dalam kehidupan masyarakat. Dalam perkembangan masyarakat, perwujudannya

dapat merupakan masalah lama yang mengalami perkembangan baik secara

kualitatif maupun kuantitatif, akan tetapi dapat pula merupakan masalah baru

yang muncul karena perkembangan dan kehidupan sosial, ekonomi dan kultural.

Dalam studi masalah kesejahteraan sosial, terdapat beberapa kriteria yang

sering digunakan untuk melakukan identifikasi awal guna mengetahui apakah

dalam suatu masyarakat terkandung fenomena yang disebut masalah

kesejahteraan sosial ataukah tidak. Dari beberapa kriteria yang digunakan, secara

garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu ukuran objektif dan subjektif

(Raab and Selznick, 1964: 5). Dalam perkembangnya kemudian, guna

memberikan pedoman yang lebih operasional untuk mengetahui keberadaan

masalah kesejahteraan sosial dalam masyarakat atau lokasi tertentu degan

menggunakan ukuran objektif ini, dikenal adanya indikator masalah kesejahteraan

sosial. Beberapa di antaranya adalah indikator sederhana, indikator


10

kependudukan, indikator berganda, indikator jarak sosial dan indikator partisipasi

sosial.

Indikator sederhana adalah identifikasi masalah kesejahteraan sosial dengan

memanfaatkan angka statistik yang tersedia bagi daerah tertentu seperti

monografi, kabupaten atau propinsi dalam angka.

Indikator kependudukan adalah cara melakukan identifikasi masalah

kesejahteraan sosial khususnya dengan memanfaatkan data kependudukan yang

tersedia. Sebagai contoh adalah data yang menggambarkan piramida penduduk.

Indikator berganda pada prinsipnya sama dengan indikator sederhana atau

indikator kependudukan yaitu memanfaatkan data statistik yang bersedia di daerah

tertentu untuk hal-hal yang diduga terkait dengan masalah kesejahteraan sosial.

Perbedaannya adalah, dalam indikator berganda ini dilakukan kombinasi dari

beberapa indikator sederhana untuk mengidentifikasi keberadaan masalah

kesejahteraan sosial.

Indikator jarak sosial merupakan instrument identifikasi keberadaan

masalah kesejahteraan sosial dengan memanfaatkan data yang lebih bersifat

kualitatif. Indikator ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa dalam masyarakat

yang harmonis hubungan antarwarga dan antarkelompok berlangsung karena

adanya ikatan sosial yang kokoh.

Sama halnya dengan indikator jarak sosial, indikator partisipasi sosial ini

juga memanfaatkan data yang cenderung bersifat kualitatif. Asumsi yang

digunakan dalam pengembangan indikator ini adalah bahwa eksistensi kehidupan

masyarakat sangat ditentukan oleh dukungan berbagai komponen yang ada baik

tingkat individu, kelompok maupun institusi sosialnya.


11

3. Tahap Diagnosis

Setelah masalah kesejahteraan sosial teridentifikasi, maka akan

mendorong munculnya respon dari masyarakat, berupa tindakan bersama untuk

memecahkan masalahnya. Agar upaya pemecahan masalah mencapai hasil

yang diharapkan, dibutuhkan pengenalan tentang sifat, eskalasi dan latar

belakang masalahnya. Pengenalan sifat, eskalasi dan tahap diagnosis, akan

sangat membantu untk menentukan tindakan sebagai upaya pemecahan

masalah. Upaya pemecahan masalah yang didasari oleh diagnosis diharapkan

lebih tepat sasaran dan berpijak pada realitas yang ada.

Banyak orang beranggapan bahwa masalah kesejahteraan sosial terjadi

oleh karena ada hal yang salah atau kurang benar dalam kehidupan masyarakat.

Denagan demikian mendiagnosis masalah kesejahteraan sosial pada dasarnya

adalah mencari sumber kesalahan tadi. Ada dua pendekatan yaitu person blame

approach dan system blame approach. Pendekatan pertama mencari sumber

masalah kesejahteraan sosial pada level individu, sedang pendekatan kedua

beranggapan bahwa sumber masalah kesejahteraan sosial ada pada level sistem

sehingga dalam mendiagnosis masalah sumber kesalahan dicari pada level

system juga.

Person blame approach sesuai namanya, dalam melakukan diagnosis

lebih menempatkan individu sebagai unit analisisnya. Baik factor fisik, psikis

maupun proses sosialisasinnya. Sementara itu system blame approach lebih

memfokuskan pada system sebagai unit analisis untuk mencari dan

menjelaskan sumber masalahnya. Yang berkaitan dengan struktur sosial,


12

institusi sosial, fungsi dari berbagai komponen dalam system sosial,

kemampuan system sosial dalam merespons perubahan sosial.

Person blame approach mencoba melihat dan mendiagnosis sumber

masalah kesejahteraan sosial dari penyandang masalah. Dalam mendiagnosis

masalah kesejahteraan sosial, sumber masalah ditelusuri dan digali dari factor-

faktor yang melekat dan melatar belakangi penyandang masalah.

Konsekuensi dari penggunaan pendekatan ini adalah, dalam

mendiagnosis masalah kesejahteraan sosial cenderung mengabaikan factor-

faktor penyebab yang berasal dari kondisi system.

Upaya pemecahan masalah kesejahteraan sosial sangat ditentukan oleh

analisis factorfaktor yang terkait dan menjadi latar belakang serta penyebab

masalah tersebut.

System blame approach lebih memberikan focus perhatian pada level

system sebagai sumber masalah kesejahteraan sosial. Pendekatan ini

mempunyai anggapan bahwa gejalah masalah kesejahteraan sosial yang sering

tampak diipermukaan dan terkesan melekat pada individu sebetulnya hanya

merupakan simtom dari masalah kesejahteraan sosial, bukan masalah

kesejahteraan sosial yang sesungguhnya.

Menurut pendekatan ini apabila ditemukan gejalah meningkatnya angka

putus sekolah, maka sumber masalah yang harus digali bukan dari peserta didik

yang putus sekolah tersebut, melainkan lebih dilihat dari system

pendidikannya.

System blame approach melihat pemecahan masalah kesejahteraan

sosial yang memfokuskan pada si penyandang masalah, dalam kasus


13

penanganan masalah kesejahteraan sosial, pendekatan ini berangggapan bahwa

pemeahan masalah anak jalanan atau masalah prostitusi di kota misalnya, tidak

cukup dengan melakukan rehablitas dan resosialisasi perilaku melalui bentuk

rumah singgah atau lokalisasi, akan tetap cenderunng mengarah pada

perubahan kebijakan yang lebih bersifa makro.

Dalaam studi masalah kesejahteraan sosial, dapat saja kedua

pendekatan tadi masing-masing ditempatkan sebagai alternative. Artinya,

seorang memilih salah satu pendekatan dalam studinya dan menerapkannya

secara konsisten mulai dari tahap identifikasi, diagnosis dan rekomendasi

pemecahan masalahnya.

Dengan pilihan pendekatan yang merupakan kombinasi antara person

dan system blame approach, maka penggunaan unit analisis gabungan individu

dan system dapat dilakukan sejak tahap identifikasi, diagnosis sampai

treatment atau rekomendasi pemecahan masalahnya.

4. Tahap Treatment

Tindakan treatmen atau upaya pemecahan masalah yang ideal adalah

dapat menghapus atau menghlangkan masalahnya dari realitas kehidupan

sosial., untuk penanganan masalah kesejahteraan sosial, harapan ideal tersebut

jarang atau sulit untuk dapat diwujudkan. Apabila suatu bentuk masalah

kesejahteraan sosial mengalami kecenderungan meningkat dengan tajam,

kemudian upaya tretmentberhasil mengambat laju peningkatannya, maka

berarti telah ada usaha mengurangi masalah kesejahteraan sosial. Upaya

penanganan masalah kesejahteraan sosial tidak dapat sepenuhnya mengikuti

prinsip perum pegadaian, dalam kenyataanya tidaak jarang pemecahan masalah


14

kesejahteraan sosial tertentu menimbulkan masalah baru sebagai side effect

negatifnya.

Treatment atau penanganan masalah kesejahteraan sosial mempunyai

cakupan yang luas, tidak terbatas pada tindaakan rehabilitatif berupa upaya

untuk melakukan perubahan atau perbaikan terhadap kondisi yang dianggap

bermasalah.

Menciptakan daan mengembangkan iklim yang kondusif dalam

kehidupan baik pada level inndividu, kelompok maupun masyarakat juga

merupakan factor yang memberikan daya dukung bagi penanganan masalah

kesejahteraan sosial. Melalui usaha ini penyandang masalah kesejahteraan

sosial yang sudah melewati proses rehabilitasi, diharapkan dapat

mempertahankan kondisinya dan tidak kembali menjadi penyandang masalah,

bahkan dapat meningkatkan dan mengembangkannya lebih baik. Masalah

kesejahteraan sosial seringkali muncul dari kegagalan masyarakat dalam

memenuhi tuntutan kebutuhannya. Di samping itu, masalah kesejahteraan

sosial juga dapat terjadi karena kegagalan masyarakat dalam menyesuaikan

dirinya dengan proses perubahan yang terjadi dilinkungan (sosial

maladjustment).

Penanganan masalah kesejahteraan sosial yang merupakan bentuk

treatment perlu dilakukan secara komprehensif, tidak semata mata melakukan

rehabilitasi terhadap penyandang masalah, tetapi juga melakukan upaya

pencegahan (preventif) dan pengembangan (developmental). Bentuk tindakan

penanganan masalah kesejahteraan sosial tersebut diusahakan bersifat sinergis,

saling mendukung dan saling melengkapi satu terhadap yang lain.


15

Penanganan masalah kesejahteraan sosial yang bukan hanya bersifat

rehabilitas terhadap kondisi yang dianggap bermasalah juga dimaksudkan agar

usaha yang dilakukan tidak semata bersifat tindakan reaktif terhadap masalah

kesejahteraan sosial yang ada. Dengan memasukan tindakan preventif dan

developmental, maka akan dihasilkan penanganan masalah yang bukan saja

bersifat komprehensif integral sebagai mana sudah disinggung sebelumnya,

melainkan juga usaha yang lebih berkelanjutan dan sistematis.

a. Usaha Rehabilitatif

Fokus utama usaha ini terletak pada kondisi penyandang maslah sosial,

terutama upaya untuk melakukan perubahan atau perbaikan terhadap kondisi

yang tidak diharapkan atau yang dianggap bermasalah, menjadi kondisi yang

sesuai harapan atau standar sosial yang berlaku. Usaha rehabilitatif ini didasari

oleh sebuah asumsi utama. Asumsi tersebut adalah bahwa pada diri

penyandang masalah kesejahteraan sosial, baik level individu, kelompok

maupun masyarakat terkandung adanya potensi untuk berubah menjadi kondisi

yang normal. Asumsi yang digunakan adalah bahwa realitas yang melekat pada

penyandang masalah merupakan kondisi yang tidak dapat diubah, maka usaha

rehabilitatif tidak ada gunanya .

Apabila bentuk masalah yang akan ditangani adalah berupa perilaku

individu, maka secara konseptual usaha rehabilitatif pada umumnya banyak

menggunakan perspektif patologi sosial (aliran lama yang memberikan focus

adanya masalah kesejahteraan sosial pada level individu) dan perspektif

perilaku mennyimpang. Perilaku seorang merupakan normal atau patologis

ditentukan sebagai hasil interaksi empat factor dalam kehidupan sosial individu
16

yang bersangkutan. Keempat factor tersebut adalah warisan organis, warisan

sosial, pengalaman unik dan human nature harus mengubah factor-faktor

interaktif yang membentuknya. Dalam pendekatan sosial, factor yang mudah

dirubah pada diri seseorang adalah warisan sosial dan pengalaman unik.

Dalam pandangan perspektif perilaku menyimpang tindakan seseorang

apakah menyimpang atau normal merupakan hasil dari proses sosialisasi

melalui berbagai media dan lingkungan sosial. Dalam melakukan proses

resosialisasi penyandang masalah ini dibedakan menjadi menjadi dua bentuk,

yang pertama adalah bentuk self-help dimaksudkan melakukan usaha

rehabilitasi dengan memanfaatkan proses sosialisasi melalui kelompok sosial

yang adalah dsalam masyarakat, di dalam kelompok tersebut dimungkinkan

juga terdapat anggotanya yang bekas penyandang masalah.

Sesuai sifatnya yang rehabilitatif, maka bentuk penangan masalah

kesejahteraan sosial ini merupakan usaha dengan kelompok sasaran tertentu,

dalam hal ini adalah bagian dari kehidupan masyarakat yang menjadi

penyandang masalah. Dalam pendekatan ini, yang penting adalah bagaimana

pada periode waktu yang sudah ditetapkan, berbagai input program telah

sampai pada kelompok sasaran, tanpa memerhatikan usaha untuk

meningkatkan kapasitas penyandang masalah. Dalam penanganan masalah

masalah jangka dan bersifat darurat, barangkali pendekatan tersebut dapat

dilakukan sebagai upaya membantu agar penyandang masalah tetap dapat

bertahan jadi semacam jaring pengaman sosial dalam jangka panjang, apabila

usaha pengembangan kapasitas tidak dilakukan akan menimbulkan sifat

ketergantungan. Pendekatan ini juga memberikan konsekuensi Negara harus


17

menyediakan dana kesejahteraan sosial yang selalu bertambah, oleh karena

penyandang masalah tidak berkurang. Apabila usaha yang dilakukan sekedar

memberikan pelayanan sosial agar poenyandang masalah tetap bertahan hidup,

bukanya berusaha mengembangkan kapasitas agar bersangkutan dapat hilang

dari kemiskinan, maka Negara akan semakin terbebani karena penyandang

kemiskinan tidak semakin berkurang.

Bentuk usaha rehabilitatif yang lebih ideal adalah penanganan penyandang

masalah kesejahteraan sosial yang beroerintasi pada pengembangan kapasitas.

Berbagai intervensi dan pelayanan yang diberikan dimaksudkan agar

penyandang masalah mengalami peningkatan dalam kapasitas dirinya, srhingga

kemudian berbekal kapasitasnya tersebut akan lebih mengatasi masalah yang

dihadapi.

Usaha rehabilitatif dalam bentuk delivery approach vs capacity building

ini sejalan dengan bentuk emergency vs sustainability. Usaha rehabilitatif

dalam pendekatan emergency dimaksudkan sebagai penangan masalah

kesejahteraan sosial secara darurat.usaha ini juga sering di sebut sebagai

semacam jarring pengaman sosial. Sudah tentu karena sifatnya yang darurat

maka tidak memberikan dampak yang berkesinambungan. Hal ini disebabkan

karena intervensi dan pelayanan yang diberikan bukan dimaksudkan untuk

menangani sumber permasalahanya, melainkan gejala atau simtomnya.

Berbeda halnya apabila tindakan rehabilitatif tersebut beroerintasi

sustainability. Melalui pendekatan ini diusahakan agar dampak dari intervensi

dan pemberian pelayanan tidak hanya bersifat sementara, akan tetapi

berkelanjutan. Setelah melalui tindakan rehabilitatif, penyandang masalah


18

terlepas dari masalah yang dihadapi, dan akan tetap dalam kondisi tersebut

walaupun intervensi dan pelayanan dihentikan.

b. Usaha Preventif

Usaha preventif mempunyai focus perhatian pada kondisi masalah

kesejahteraan sosial yang belum terjadi, walaupun di dalamnya terkandung

potensi munculnya masalah kesejahteraan sosial. Atau uswaha ini merupakan

usaha ini merupaka usaha pencegahan dan usaha antisipasi agar masalah

kesejahteraan sosial tidak terjadi.

Usaha preventif ini dilandasi oleh sebuah asumsi. Asumsi yang melandsi

usaha preventif ini adalah bahwa setiap individu, kelompok atau masyarakat

pada periode waktu tertentu dianggap normal dan relative tidak mengandung

segala masalah kesejahteraan sosial, sebetulnya pada dirinya terkandung

potensi bagi tumbuhnya masalah kesejahteraan sosial. Dengan demikian suatu

masyarakat, kelompok atau individu yang saat sekarang dinyatakan normal,

tidak tertutup kemungkinan pada masa yang akan datang mengalami masalah

kesejahteraan sosial.

Dalam operasionalisasinya usaha preventif ini dapat dilakukan pada level

individu, kelompok maupun masyarakat. Pada level individu, untuk melakukan

pencegahan bagi kemungkinan terjadinya perilaku yang tidak sesuai dengan

nilai norma dengan standar sosial, usaha dapat dilakukan dengan mengotrol

atau memberikan arah pada proses sosialisasi termasuk lingkungan interaksi

sosial.
19

Pada level kelompok, usaha preventif terutama difokuskan pada kelompok-

kelompok sosial yang dipandang cukup beresiko, dalam pengertian mencapai

potensi yang cukup besar untuk memasuki kondisi yang bermasalah.

Pada level masyarakat, usaha preventif dapat dilakukan dengan

mengefektifkan mekanisme control sosial dalam masyarakat. Apabila control

sosial cukup efektif, dapat menjadi sarana pengendalian sosial.Usaha preventif

pada level masyarakat juga dapat dilakukan dengan menciptakan kehidupan

masyarakat yang cukup kondusif dan memberikan peluang bagi masyarakat

untuk mengembangkan diri dan mencegah kondisi yang sebaliknya.

Upaya penganan masalah kesejahteraan sosial yang konfrehensif tidak

hanya didasarkan pada prediksi tentang apa yang akan terjadi apabila suatu

tindakan dilakukan, tetapi juga prediksi tentang apa yang terjadi apabila suatu

tindakan tidak dilakukan.

c. Usaha Develomental

Usaha developmental dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan atau

kapasitas seorang atau sekelompok orang agar dapat memenuhi kehidupan

yang lebih baik. Dengan peningkatan kemampuan tersebut, maka akan tercipta

iklim yang kondusif bagi masyarakat untuk menghadapi berbagai tantangan

dan tuntutan kebutuhan dalam kehidupannya. Usaha developmental dapat

berfungsi sebagai usaha untuk mendukung langkah preventif dan rehabilitatif

di harapkan lebih memiliki jangkauan ke depan. Melalui usaha developmental

ini penyandang masalah kesejahteraan sosial setelah melewati masa rehabilitasi

bukan saja kondisinya dapat pulih kembali sehingga tidak lagi berposisi
20

sebagai penyandang masalah, akan tetapi juga lebih dapat mengembangkan

didinya menuju kondisi yang lebih baik.

Di sisi yang lain, upaya developmental ini juga dapat mendukung upaya

preventif untuk mencegah agar individu, kelompok atau masyarakat yang

normal tidak menjadi bermasalah dan agar penyandang masalah yang sudah

direhabilitasi tidak kambuh lagi. Dengan demikian apabila hambatan-hambatan

itu dihilangkan atau minimal dikurangi malalui upaya developmental maka

akan sangat besar konstribusinya dalam melakukan pencegahan terhadap

munculnya masalah kesejahteraan sosial.

Pada umunya, intervensi dan pelayanan tidak sama sekali dihentikan

setelah tindakan rehabilitatif dianggap selesai, melainkan melanjutkan dengan

monitoring dan pelayanan lanjutan untuk memfasilitasi bekas penyandang

masalah melakukan pengembangan diri. Dalam usaha developmental ini

termasuk di dalamnya adalah pemberian peluang bagi proses aktualisasi diri,

akses terhadap sumber daya dan kesempatan, akses dalam proses pengambilan

keputusan, akses terhadap informasi dan pelayanan.

Pada level masyarakat, usaha developmental dapat berupa usaha

mendorong agar dalam masyarakat berkembang system sosial yang

mempunyai kemampuan secara mandiri untuk melakukan respon terhadap

munculnya masalah kesejahteraan sosial. Dalam hal ini usaha developmental

lebih difokuskan pada pengembangan kapasitas institusi yang dimaksud.

Pengembangan kapasitas institusi sosial tersebut tidak hanya berdampak

internal akan tetapi juga menyangkut kapasitas untuk membangun kerja sama

dan jaringan secara eksternal..masyarakat dengan kondisi seperti ini tidak


21

hanya mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan bersama guna

meningkatkan kondisi kehidupan dan kesejahteraan, akan tetapi juga

mempunyai ketahanan sosial terhadap kemungkinan munculnya masalah

kesejahteraan sosial.

Masyarakat seperti itu hanya mungkin tumbuh dan berkembang di atas

landasan saling percaya (mutual trust), asas timbal balik atau resiprositas dan

solidaritas. System sosial yang mempunyai kapasitas seperti ini pada umumnya

mampu melahirkan berbagai kearifan local yang tumbuh dan berkembang

dalam dinamika kehidupan masyarakatnya melalui proses belajar sosial dengan

demikian bentuk tindakan bersama berlandaskan kearifan local ini sudah cukup

melembaga dan teruji melalui berbagai tantangan dalam kehidupan sosial dan

secara otomatis sudah merupakan hasil penyesuaian dengan lingkungan

kehidupan sosial, ekonomi, cultural dan fisik masyarakatnya. Sumber masalah

yang harus diantisipasi tidak jarang juga berasal dari factor eksternal yang

diperoleh melalui kemampuan membangun jaringan tidak jarang memberikan

konstribusi yang besar dalam usaha masyarakat untuk mengatasi berbagai

masalah kesejahteraan sosial.


22

MATERI POKOK BAHASAN - 3

MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM BERBAGAI

PERSPEKTIF

Pada dasarnya sasaran kajian ilmu sosial adalah fenomena kehidupan

bermasyarakat. walaupun demikian dalam perkembangannya, dari objek studi

yang sama tersebut orang dapat memberikan fokus perhatian yang berbeda dan

mempunyai sudut pandang yang berbeda pula. pada umumnya, dalam dunia ilmu

pengetahuan orang mencoba untuk melihat dan menjelaskan suatu fenomena

sosial mengunakan alur dan logika befikir berdasarkan Suatu teori Tertentu.

Oleh karena Setiap teori Mempuyai Asumsi Dan pemahaman tertentu

terhadap relita sosial, maka masing-masing akan memberikan penjelasan dan

pemahaman yang dapat berbeda terhadap fenomena sosial yang menjadi objek

studinya, termaksud fenomena yang di sebut masalah kesejahteraan sosial.

Asumsi, alur dan logika berfikir yang berbeda tersebut yang menyebabkan dalam

studi maslah sosial kemudian ada di kenal ada beberapa perspekif yang bersumber

dari teori tertentu.seperi adanya teori struktural fungsional melahirkan perspektif

patologi sosial, disorganisasi sosial dan perilaku menyimpang. Teori struktural

konflik melahirkan perspektif konflik nilai dan institusional.sementara teori

interaksionalisme simbolik melahirkan Sperpektif Labeling. Dengan memahami

berbabai sperpektif tersebut, seseorang dapat megetahui mengetahui mengapa

Suatu realitas masalah kesejahteraan sosial tertentu,sebut saja masalah kemiskinan

sebagai contohnya dapat dijelaskan dengan cara berbeda, termasuk dalam

melakukan identifikasi masalah, doagnosis dan treatmen. Oleh karena itu

pemahaman tentang perspektif yang digunakan akan sangat membantu dalam


23

menjalin komunikasi akademik. Seseorang akan sulit memahami penjelasan dan

analisis yang dilakukan orang lain yang melakukan studi masalah kesejahteraan

sosial dengan perspektif tertentu, apabila membacanya dengan menggunakan

perspektif yang berbeda.

Selanjutnya, apabila kemudian hasil kajian dari masing-masing perspektif

tersebut digabungkan, maka akan menghasilkan pemahaman masalah

kesejahteraan sosial yang bukan saja mendalam melainkan juga komprehensif.

Dengan demikian jika hasil kajian tersebut kemudioan digunakan sebagai

referensi pemecahan masalahnya, maka akan dapat dirumuskan suatu upaya

penanganan masalah kesejahteraan sosial yang komprehensif pula.

PERSPEKTIF BERDASARKAN TEORI FUNGSIONAL STRUKTUAL

a. Tinjauan Singkat Tentang Teori Fungsional Struktual

Beberapa sumber akan digunakan untuk menjelaskan pokok-pokok

pikiran teori fungsional stuktural ini, diantaranya adalah Ritzer (1980),

Poloma (1987), dan turner (1986). Apabila ditelusuri dari paradigma yang

digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma yang digunakan,

maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta sosial. Hal ini disebabkan

karena pada masa awal perkembangannya, masih kuat dipengaruhi oleh dua

cabang ilmu yang lebih dulu kukuh berdiri yaitu filsafat dan psikologi. Untuk

membedakan dengan telaah psikologi, fakta sosial ini harus juga dibedakan

dengan fakta psikologi. Fakta psikologiu dianggap sebagai fenomena yang

dibawa oleh manusia sejak lahir, dengan demikian bukan merupakan hasil

pergaulan hidup masyarakat.


24

Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap sturuktur dalam sistem sosial,

funmgsional terhadap yng lain, sebalikny kalau tidak fungsional maka

struktur ini tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinmya. Dalam

peraktek kehidupan bermasyarakat nilai sosial tersebut akan menjadi

pedoman perilaku dan pedoman dalam menunaikan peranan sosial setiap

unsur dari sistem. Sebagai satu misal, Merton telah mengutip tiga postulat

yang terdapa dalam analisis fungsional dan kemudian disempurnakan.

Postulat pertama adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi

sebagai suatu keadaan di mana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama

dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai,

tanpa menghasilkan konflik yang berkepanjangan yang tidak dapat diatasi

atau diatur.

Postulat kedua, yaitu fungsionalisme yang universal yang menganggap

bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki

fungsi-fungsi positif.

Postulat ketiga, yaitu indispensability yang mengatakan bahwa dalam

setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materiil dan kepercayaan

memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus

dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam

kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Menurut Merton, postulat ini masih

kabur, belum jelas apakah suatu fungsi merupakan keharusan.


25

b. Perspektif Patologi sosial

Perspektif ini boleh dikatan yang relatif paling awal digunakan untuk

memahami masalah kesejahteraan sosial. Hal ini disebabkan karena landasan

pemikirannya merupakan landasan pemikiran yang digunakan oleh tokoh-

tokoh pendahulu sosiologi khususnya Auguste Comte (Turner 1986: 9).

Menurut Comte sosiolog adalah studi tentang statika sosial (struktural) dan

dinamika sosial (proses/fungsi).

Salah seorang penerus yang banyak membahas perihal analogi ini

adalah Herbert Spencer, seorang ahli sosioli Inggris yang mencoba

menjelaskan berbagai persamaan dan perbedaan yang khusus diantaranya

sistem biologis dan sistem sosial. Pembahasan Spencer tentang masyarakat

sebagai suatu organisme hidup dapat diringkas dalam butir berikut ini

(Polma, 1987: 24).

1. Masyarakat maupun organisasi hidup sama-sama mengalami

pertumbuhan.

2. Disebabkan oleh pertambahan dalam ukurannya, maka struktur tubuh

sosial (sosial body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu

mengalami pertambahan pula. Semakin besar struktur sosial maka

semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem

biologis yang menjadi semakin besar.

3. Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun

organisme sosial mempunytai fungsi dan tujuan tertentu. Mereka

tumbuh menjadi organ yang berbeda dan mempunyaki fungsi yang

berbeda pula.
26

4. Baik didalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada

suatu bagian akan menyebabkan perubahan pada suatu bagian akan

menyebabkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya juga

perubahan di dalam sistem secara keseluruhan.

5. Bagian-bagian tersebut walaupun saling berkaitan merupakan struktur

mikro yang dapat dipelajari secara terpisah.

Sudah barang tentu pola pikir perspektif ini selain akan memengaruhi

cara-cara memahami masalahnya juga akan berpengaruh dalam cara-cara dan

pendekatan guna memecahkan masalah. Masalah kesejahteraan sosial timbul

karena individu gagal dalam proses sosialisasi atau individu karena adanya

beberapa cacat yang dimilikinya, dalam bersikap dan berperilaku tidak

berpedoman pada nilai-nilai sosial dan nilai-nilai kepercayaan yang ada

dalam masyarakat.

Disamping itu secara perspektif dapat dilakukan usaha dengan jalan

memisahkan atau mengisolasi individu yang menyandang masalah tersebut

dari berbagai hubungan sosial atau bahkan memasukkannya kedalam penjara.

Dalam perkembangan lebioh lanjut, ada pendangan baru dalam perspekrif ini.

Pandangan patologi sosial baru ini ingin mendiagnosis masalah dengan cara

melihat cacat yang ada dalam masyarakat dan institusi sosialnya.

Masalah kesejahteraan sosial berkembang dalam usaha

mempertahankan sosial order, yang apabila tidak terpecahkan akan menjurus

pada kondisi yang apabiula tidak terpecahkan akan menjurus pada kondisi

yang dapat disebut sebagai dehumanize society. Dengan melalui diagnosis


27

semacam ini maka treatmen cenderung diarahkan pada orientasi yang

apresiatif (appreciative orientation).

Dengan demikian sebenarnya setiap orang potensial untuk menjadi

patalogis dalam dimensi waktu dan tempat yang berbeda, oleh sebab itu

dianggap lebih proporsional apabila diagnosis didasarkan pada beberapa

pertanyaan berikut ini:

1. Mengapa beberapa peraturan lebih banyak dilanggar daripada

peraturan yang lain.

2. Mengapa orang-orang tertentu lebih banyak melanggar peraturan

daripada orang-orang lain.

3. Apa dan bagaimana tentang lingkungan sosial yang banyak

menimbulkan individu yang patalohis.

Di samping beberapa sudut oandang yang telah diuraikan tersebuiyt,

sementara sosial patholigist juga ada yang mendiagnosis masalah

kesejahteraan sosial dari kegagalan masyarakat dalam menyesuaikan dengan

berbagai tuntutan yang selalu berkembang, serta kegagalan dalam melakukan

penyesuaian antarbagian dari masyarakat.

Oleh sebab itu tidsak mengherankan apabila kemudian orang

menamakan kondisi yang disebut masalah kesejahteraan sosial sebagai

patalogi sosial. Hal yang kurang lebih senada juga dikemukakan oleh Gillin

(1954: 74), yang juga melihat patalogi sosial sebagai kondisi masyarakat yang

maladjusment. Dilihat dari pandangan ini, treatmen tidak lain adalah usaha

untuk menciptakan kembali kondisi yang adjusment baik pada kehidupan

individu maupun kelompok dan masyarakat.


28

c. Perspektif Disorganisasi

Dasar pemikran perspektif ini sebetulnya tidak banyak berbeda dengan

perspektif patalogi sosial, karena juga menggunakan analogi masyarakat atau

sistem sosial sebagai human organism. Perbedaannya, perspektif ini tidak

melihat organism tersebut dalam kondisi, sehat atau sakit, melainkan lebih

melihatny sebagai struktur dan fungsi yang organized atau integrated dan

dismtegrated.

Dari berbagai pandangan tersebut dapat juga dikatakan, bahwa kondisi

yang disebut sosial disorganization merupakan kebalikan dari sosial

organization. Konsep tersebut merupakan konsep yang relatif, oleh karena

tidak ada masyarakat yang organized atau disorganized sepenuhnya.

Dalam perkembangannya lebih lanjut beberapa penganut pwerspektif

ini tidak sepenuhnya menggunakan analogi human organic. Hal ini

disebabkan karena antara masyarakat dengan human organic sebenarnya

terdapat perbedaan. Perbedaan utama adalah masyarakat lebih lemah dalam

menghadapi elemen-elemn baru dan situasi konflik dibandingkan human

organic (Parrillo, 1987: 27).

Beberapa fakta menjelaskan kenyataan tersebut diantaranya petani

yang tinggal diatas tanahnya sendiri tetapi merasa terancam bahwa sewaktu-

waktu akan tergusur, bahwa petani yang baru saja kehilangan tanahnya tidak

segera menemukan pekerjaan baru di kota.

Lebih lanjut, langkah yang cukup penting dalam studi masalah

kesejahteraan sosial menurut perspektif disorganisasi sosial ini adalah

pengukuran (measurement). Pengukuran dimaksudkan untuk melakukan


29

identifikasi adanya gejala disorganisasi sosial termasuk melihat kadar

masalahnya.

Walaupun banyak yang berpendapat bahwa pengukuran dengan cara

ini tetap dilanjutkan maka harus dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mengiventarisasi sejumlah nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat

serta melihat hubungan satu dengan yang lain.

2. Mengklasifikasikan, nilai-nilai tersebut berdasarkan arti pentingnya

dalam kehidupan masyarakat. Arti penting disini dilihat dari

kebermaknaan nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.

3. Apabila ditemukan sejumlah besar anggota masyarakat menggunakan

nilai-nilai yang berbeda untuk aktivitas-aktivitas yang cukup bermakna,

maka diorganisasi sosial terjadi.

Untuk memahami masalahnya lebih mendalam dan juga keperluan

pemecahan masalah, perlu diketahui latar belakang dari gejala disorganisasi

sosial ini. Dengan demikian latar belakang disorganisasi sosial perlu dilacak

dalam kaitannya dengan berbagai fenomena sosial tersebut.

Keterkaitan dengan perubahan sosial tersebut antara lain dapat

dipahami secara lebih jelas melalui teori Culturallog. Perubahan dalam salah

satu unsur kebudayaan yang tidak segera diikuti oleh unsur yang lain dapat

mengganggu hubungan dalam system yang menyebabkan disorganisasi

sosial. Hubungannya dengan nilai sosial dapat dipahami dari adanya gejala

konflik nilai, ketidak pastian nilai dan kekaburan nilai terutama dalam

masyarakat yang sedang berubah. Kenyataan tersebut akan mengganggu

keserasian hubungan antara unsur dalam system sosial.


30

Shanon (1991), lebih melihat masalah disorganisasi sosial sebagai

akibat perubahan sosial yang pesat dalam masyarakat urban, terutama terkait

dengan proses industrialisasi dan urbanisasi.dalam kenyataannya masyarakat

tidak selalu berhasil untuk melakukan berbagai dimensi tersebut. Kondisi ini

dapat mengakibatkan berbagai masalah kesejahteraan sosial baik pada level

individu kelompok maupun masyarakat. Untk lebih jelasanya keterkaitan

proses perubahan sosial dan disorganisasi sosial tersebut dapat diamati dalam

gambar berikut ini

Gambar 1. Perubahan Sosial dan Disorganisasi Sosial

Industrialization and Rapid change in:


Urbanization - Sosial organization
- Culture
- Sosial relationship

Conseqeunses for individu and


society:
- Sosial disorganization
- Psychological stress
- Anomie
- alienation
Sumber : Shanon (1991: 67)

Dalam berbagai ukuran tadi, dapat dilihat bahwa menurut perspektif ini,

gejala disorganisasi sosial juga dilihat kaitannya dengan gejala disorganisasi

individual. Hal ini disebabkan, oleh karena sebetulnya individu dan masyarakat

dianggap sebagai aspek yang berbeda dari proses yang sama dalam interaksi

sosial. Berdasarkan pada asumsi bahwa sosial disorganisasi tumbuh melalui


31

proses sosial yang padqa muaranya adalah munculnya keseimbangan baru,

maka sebetulnya upaya treatmen menuret perspektif ini tidak begitu relevan,

oleh karena secara alamiah masyarakat nantinya akan berproses kembali pada

kondisi sosial organization.

d. Perspektif Perilaku Menyimpang

Sepertinya yang sudah disinggung sebelumnya, salah satu bentuk fakta

sosial menurut paradigm ini adalah pranata sosial. Dalam kedudukan yang

demikian, aturan-aturan sosial ini akan berfungsi sebagai pedoman bagi

tingkah laku individu maupun kelaompok dalam melakukan kehidupan

bermasyarakat termasuk dalam berinteraksi antara sesamanya. Dari berbagai

pandangan tersebut, selanjutnya dapat dikatakan bahwa untuk menjadi warga

masyarakat yang baik, perlu dapat terintegraasi kedalam system harus dapat

berperilaku sesuai aturan permainan yang berlaku.

Dalam studi tentang perilaku menyimpang ini dapat pula

diidentifikasikan adanya dua tipe penyimpangan yaitu penyimpangan murni

dan penyimpangan tersenbunyi atau terselubung (Soekanto, 1988: 19)

penyimpangan murni adalah perilaku yang tidak mentaati aturan dan juga

dianggap demikian oleh pihak lain. Berdasarkan tolok ukur itu akan dapat

ditentukan apakah seorang anggota kelompok melanggar aturan kelompok

yang dapat menyimpang.

Perilaku menyimpang yang disengaja terjadi bukan karena sipelaku

tidak mengetahui aturan. Pernyataan yang paling relevan untuk memahami

bentuk perilaku ini adalah mengganggap penyimapangan. Sehubungan dengan

hal tersebut Becker mengatakan, bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan
32

hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat

demikian (Soekanto, 1988: 26).

Table 1. adaptasi Terhadap kesenjangan Antara Harapan dan Kenyataan

Konsistensi terhadap Konsistensi terhadap tujuan

cara mencapai tujuan Tinggi Rendah

Tinggi Conformity Ritualisme

Rendah Innovation Retreatism

Sama halnya dengan perspektif yang lain, pola piker dan sudut

pandang perspektif yang lain, pola dan sudut pandang perspektif ini juga akan

memengaruhi pemikiran dalam usaha pencegahan maupun pemecahan

masalahnya
33

MATERI POKOK BAHASAN - 4

PERSPEKTIF BERDASARKAN TEORI KONFLIK

a. Tinjauan Singkat Tentang Teori Konflik

Teori ini dibangun atas dasar paradigma yang sama dengan teori

fungsional struktural yaitu paradigma fakta sosial. Walaupun demikian pola

pikir teori ini bertentangan dengan teori fungsional struktural, termaksud

proposisi-proposisinya. Tokoh utama teori ini hasil pemikirannya secara

ekstrim berseberangan dengan teori fungsional struktural adalah Ralf

Dahrendorf. Beberapa kontras antara kedua teori tersebut dapat diuraikan

dalam beberapa hal (Ritzer,1980:52).

1. Menurut teori fungsional struktural, masyarakat berada dalam kondisi

statis atau lebih tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan, sedang

teori konflik justru sebaliknya, masyarakat senantiasa berada dalam proses

perubahan yang ditandai oleh pertentangan terus menerus di antara unsur-

unsurnya.

2. Dalam teori fungsional struktural setiap elemen atau setiap institusi

dianggap memberikan dukungan terhadap stabilitas, sedang teori konflik

melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap

disintegrasi sosial.

3. Teori fungsional struktural melihat anggota masyarakat terikat secara

informal oleh norma-norma, nilai dan moralitas umum, sedang teori

konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah


34

disebabkan adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh

golongan yang berkuasa.

Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi, yang keduanya

merupakan fakta sosial. Perbedaan wewenang merupakan suatu tanda adanya

berbagai posisi dalam masyarakat. Kekuasaan dan wewenang menempatkan

individu pada posisi atas dan posisi bawah dalam setiap struktur. Lebih lanjut

dikatakan, bahwa didalam masyarakat selalu terdapat golongan yang saling

bertentangan, yaitu antara penguasa dan yang dikuasai. Pertentangan tersebut

terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha

mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk

mengadakan perubahan-perubahan.

Dalam berbagai pembahasan berdasarkan teori konflik, konsep-konsep

kepentingan latent atau kepintingan manifest, kelompok semu, kelompok

kepentingan, posisi dan wewenang merupakan unsur-unsur dasar yang dapat

menjelaskan bentuk-bentuk konflik yang terjadi. Dalam situasi konflik,

golongan yang terlibat khususnya golongan yang dikuasai, melakukan

tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial.

Di samping para pengikut teori konflik yang pemikirannya cukup kontras

terhadap teori fungsional struktural ada sementara ahli teori konflik yang lebih

bersifat moderat dalam hubungannya dengan teori fungsional struktural

tersebut. Di antaranya adalah Lewis A Coser (Poloma, 1987: 115 dan

Turner ,1986: 165). Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional secara

positif maupun negatif. Fungsional secara positif apabila konflik tersebut

memperkuat kelompok, sebaliknya bersifat negatif apabila bergerak melawan


35

struktur. Dalam kaitannya dengan sistem nilai yang ada dalam masyarakat,

konflik bersifat fungsional negatif apabila menyerang suatu nilai inti.

Ahli lain yang kurang lebih bersifat sama Piere Van den Berghe. Bahkan

Berghe mencoba mempertemukan kedua perspektif tersebut. Di samping itu

kedua teori tersebut juga cenderung sama-sama memusatkan perhatian

terhadap variabel-variabel mereka sendiri dan mengabaikan variabel yang

menjadi perhatian teori lain. sebagai upaya mempertemukan upaya tersebut,

Berghe beranggapan bahwa konflik dapat memebrikan sumbangan terhadap

integrasi dan sebaliknya integrasi dapat juga melahirkan konflik. Dalam

hubungan ini dikatakan adanya empat fungsi dari konflik:

1. Sebagai alat untuk memlihara solidaritas

2. Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain

3. Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi

4. Mempunyai fungsi komunikasi

b. Perspektif Konflik Nilai

Perspektif ini berkembang setelah perang Dunia II. Persefektif ini

memberikan kritik tehadap perspektif yang sudah ada khususnya persperktif

patologi sosial dan perspektif perilaku menyimpang. Hal ini disebabkan karena

menurut perspektif konflik nilai, konsep sickness atau sosial expectation

merupakan konsep yang subjektif, sehingga sulit untuk dijadikan reperensi

dalam memahami masalah kesejahteraan sosial.

Dalam masyarakat yang berkembang semakin kompleks dapat saja terjadi

penyimpangan peraturan tersebut karena si pelaku terbiasa hidup dalam

kelompok lain yang nilainya berbeda bahkan saling bertentangan. Dalam pola
36

pikir itu, masalah kesejahteraan sosial terjadi apabila dua kelompok atau lebih

dengan nilai yang berbeda saling bertemu dan berkekompetisi (Julian,

1986:13).

Masalah kesejahteraan sosial mungkin tidak terjadi apabila pihak yang

kuat bersedia berkorban bagi yang lemah. Sebaliknya, masalah kesejahteraan

sosial akan timbul apabila yang kuat justru menggunakan kekuatannya untuk

membela kepentingannya dan kenyataannya, situasi konflik tersebut dapat

berkembang menjadi tiga kemungkinan yaitu konsensus, trading, dan power.

Dalam format yang berbeda, situasi konflik sebagaimana digambarkan

dalam kasus tuan tanah dan petani penyewa tersebut, juga dapat terjadi dalam

bentuk kehidupan sosial lain. Konflik antargenerasi misalnya, dapat terjadi

karena perbedaan orientasi nilai antara generasi tua dengan generasi muda. Di

satu pihak, generasi tua masih berpegang pada nilai-nilai lama sehingga

memandang apa yang dilakukan oleh generasi muda sebagai penyimpangan

nilai. Di lain pihak, generasi muda dengan menggunakan orienitasi nilai baru,

memandang generasi tua bersifst kolot. Pada umumnya generasi tua karena

proses sosialisasinya telah lebih lama, mengakibatkan nilai-nilai lama telah

terinternalisasi dan mengakar dalam kehidupannya. Di lain pihak, generasi

muda karena usianya, belum cukup mapan dalam mengadopsi nilai lama serta

berkenaan dengan perkembangan kejiwaannya yang masih labil, menyebabkan

lebih mudah menerima anasir baru termasuk nilai-nilai baru.

Sehubungan dengan pembahasan tentang masalah ini dikenal tiga

terminologi yaitu minoritas rasial, minoritas etnik dan asimilasi. Minoritas

rasial terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai karateristik yang


37

merupakan pembawaan biologis seperti warna kulit. Orang-orang yang

berwarna kulit hitam dapat menjadi minoritas di kalangan masyarakat yang

mayoritas berkulit putih. Minoritas Etnik terdiri dari sekelompok orang yang

mempunyai pemanpilan budaya yang berbeda dengan yang digunakan oleh

sebagian besar anggota masyarakat. Aspek kultural yang dapat membentuk

minoritas tipe ini adalah bahasa, agama, asal kebangsaan, kesamaan sejarah

dan sebagainya. Apabila anggota-anggota kelompok minoritas baik dari latar

belakang ras maupun etnik, menggunakan atau mengadopsi karateristik dari

budaya yang merupakan arus utama dalam lingkungan masyarakat yang luas,

melalui adaptasi pola kultural mereka yang “unik” ke dalam pola kultur

kelompok mayoritas, atau melalui perkawinan silang, maka terjadilah proses

asimilasi.

Potensi kea arah konflik akan menjadi semakin bertambah besar apabila

kelompok minoritas cenderung bersifat eksklusif sebagaimana disebutkan

sebagai lima karateristik kelompok minoritas berikut ini (Wagley and Harris,

dalam Julian: 1986: 234).

1. Minoritas adalah merupakan suborninasi dari masyarakat yang kompleks.

2. Minoritas cenderung mempunyai cirri fisik atau pemanpilan budaya

khusus yang tidak disukai oleh kelompok yang dominan dalam

masyarakat.

3. Minoritas cenderung mengembangkan kesadaran berkelompok dan rasa

kebersamaan di antara mereka.


38

4. Anggota-anggota kelompok minoritas diwarisi aturan dan nilai turu

menurun dari kelompok mereka, untuk mempertahankan karateristik

kelompok pada generasi berikutnya.

5. Anggota kelompok minoritas cenderung melakukan endogami atau

perkawinan di antara sesama anggota kelompok sendiri.

Ada beberapa usaha yang dapat dijalankan untuk melakukan antisipasi

terhadap masalah tersebut. di antaranya adalah:

1. Katup penyelamat (Savety Valve) ialah suatu mekanisme khusus yang

dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik

sosial.

2. Simbiose mutualistik ialah mengusahakan suasana atau iklim sedemikian

rupa, sehingga di antara kelompok-kelompok yang potensial terlibat

konflik merasa dapat saling mengambil keuntungan dari kehadiran

masing-masing.

3. Nilai koodinatif ialah ada suatu nilai inti yang mampu mengoordinasikan

setiap nilai yang ada dalam masyarakat.

4. Mendorong terbentuknya asosiasi dan kelompok baru yang tidak bersifat

eksklusif tetapi inklusif yang bersifat terbuka dari berbagai kelompok

dengan latar belakang sosial yamg berbeda.

5. Transformasi struktural yaitu ditransformasikan suatu struktur sosial baru

yang diperhitungkan dapat menghilangkan perbedaan posisi yang

mengakibatkan konflik nilai dan konflik kepentingan.

Dalam menjelaskan konflik sebagai salah satu bentuk sosial, perspektif ini

juga dapat digunakan untuk menjelaskan proses dan dinamika sejak identifikasi
39

masalah sampai perumusan kebijakan untuk memecahkan masalah. Dalam

pemahaman ini, masalah kesejahteraan sosial berkembang melalui tiga tahap:

awareness, policy determination dan reform (Weinberg, 1981: 88).

Menurut perspektif ini, dalam proses perumusan kebijakan ini pun

masing-masing kelompok berjuang dengan berbagai cara dan media agar nilai

dan kepentingannya lebih banyak mewarnai kebijakan yang diambil. Sudah

tentu harapannya adalah apabila nilai berbentuk melalui kebijakan tersebut

akan banyak mengakomodasikan nilai dan kepentingan kelompoknya.

Dinamika seperti ini, contonhnya secara empirik dapat diamati proses

perumusan Rancangan Undang Undang KenagaKerjaan dan Rancangan

Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sempat mengundang

kontroversi yang cukup mengemuka tahun 2006.

c. Perspektif Institusional

Perspektif ini melihat bahwa masalah kesejahteraan sosial merupakan

salah satu bentuk kondisi sosial. Dengan demikian objek studi tentang masalah

kesejahteraan sosial adalah masyarakat itu sendiri. Hal ini paling tidak dapat

dijelaskan dari dua alasan: (1) masyarakatlah yang menimbulkan suatu

kondisiyang menyebabkan terjadinya kerugian fisik dan mental dari berbagai

kehidupan sosial (2) tindakan dan kondisi yang melanggar norma dan nilai

terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, basis dan unit analisis untuk

memahami masalah kesejahteraan sosial adalah masyarakat khususnya struktur

sosialnya.

Memang benar, untuk melacak latar belakang terjadinya masalah

kesejahteraan sosial ada dua pendapat utama, terutama dalam melihat siapa
40

yang bersalah. Kedua pendekatan tersebut adalah person blame approach dan

system blame approach. Person blame approach merupakan suatu pendekatan

untuk mencari latar belakang maupun factor penyebab masalah kesejahteraan

sosial dari segi “cacat” yang ada pada individu. Cacat individual tersebut dapat

berupa cacat pembawaan, secara fisik maupun mental, dapat pula cacat

cultural. System blame approach merupakan pendekatan untuk mencari latar

belakang maupun factor penyebab masalah kesejahteraan sosial dari segi

“cacat” yang ada pada sistem, pada struktur dan institusi sosial.

Perspektif institusional cenderung melakukan studi masalah kesejahteraan

sosial dari pendekatan yang kedua yaitu system blame approach. Ada beberapa

alasan yang dikemukakan oleh para pengikut perspektif ini, sehingga

cenderung melacak latar belakang masala sosial dari cacat sistem (Eitzen,

1986: 17). Pertama, didorong adanya suatu kenyataan bahwa warga masyarakat

pada umumnya, instansi kepolisian, pengadilan dan bahkan banyak ahli ilmu

sosial cenderung membuat interpretasi tentang masalah kesejahteraan sosial

dari sudut perspektif individual. Dengan deamikian dibutuhkan suatu imbangan

karena menurut realitasnya masalah kesejahteraan sosial juga dapat bersumber

dari sistem. Kedua, didasarkan pada pertimbangan, bahwa pokok persoalan

ilmu sosial bukan terletak pada aspek individu melainkan masyarakat. Oleh

karena ahli ilmu sosial harus menitik beratkan pada determinan sosial dalam

rangka menkaji suatu masalah, maka seharusnya melakukan pembahasan

melalui analisis yang kritis tentang struktur sosial. Ketiga, tidak dapat diingkari

bahwa kerangka institusional dari suatu masyarakat adalah merupakan sumber


41

masalah kesejahteraan sosial (masalah rasial, populasi, distribusi pelayanan

kesehatan yang tidak merata, kemiskina, peperangan dan sebagainya).

Pada umumnya lapisan yang menguasai power dan resources ini

cenderung ingin mempertahankan status quo dalam rangka mempertahankan

posisi dan kepentingannya (Parrillo, 1987: 29). Kondisi semacam ini yang

kemudian dapat menjadi sumber berbagai masalah kesejahteraan sosial

(kejahatan, kemiskinan, penganggaran masalah daerah kumuh dan sebagainya).

Sehubungan dengan hal tersebut Eitzen (1986:10) mencoba menjelaskannya

melalui analisis deduktif dari Teori Human Basic Needs Abraham Maslow dan

Teori konflik Ralp Dahrendorf.

Pada dasarnya setiap manusia mempunyai dan merasakan adanya beberapa

kebutuhan dasar (shelter and sustenance, security, group support, esteem,

respect, and self actualization). Dengan adanya berbagaia macam kebutuhan

tersebut, wajar apabila setiap orang berusaha memenuhinya.

Kekerasan adalah bentuk ekstrem dalam penyelesaian konflik sosial

(Parrillo, 1987: 204). Dalam kenyataannya lapisan masyarakat yang merasa

memperoleh kedudukan dan perlakuan tidak adil dapat bereaksi dalam

berbagai bentuk. Mereka dapat sekadar menerima nasib karena merasa tidak

mempunyai power untuk menuntut perubahan; melakukan isolasi dan

berhimpun dalam kelompok senasib, atau melakukan tindakan yang bersifat

agresif sebagai semacam protes terhadap kondisi dan ketidakadilan yang

dialami.
42

MATERI POKOK BAHASAN - 5

PERSPEKTIF BERDASARKAN TEORI INTERAKSIONISME

SIMBOLIK

a. Tinjauan Singkat Tentang Interaksionisme Simbolik

Teori ini bersumber dari paradigma defenisi sosial. Buah pikiran yang

sangat penting dalam paradigma ini adalah karya Weber dalam analisisnya

tentang tindakan sosial (sosial action) (Ritzer, 1980: 84). Weber tidak

memisahkan dengan tegas antara struktur sosial dan pranata sosial. Keduanya

membantu membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau penuh makna.

pokok persoalan dalam paradigma ini adalah tindakan sosial dalam

antarhubungan sosial. Tindakan sosial dapat berasal dari tindakan individu

sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya

dan diarahkan bagi tindakan bagi orang lain.

Teori interaksionisme simbolik yang dibangun dari paradigma definisi

sosial memandang manusia sebagai aktor yang sadar dan refleksif, yang

menyatukan objek-objek yang diketahuinya melalui apa yang disebur Blumer

sebagai self indication (Poloma, 1987: 268). Self indication adalah proses

komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu,

menilainya, memberinya makna dan memikirkan untuk bertindak berdasarkan

makna itu. Blumer interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada

pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain.
43

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial

berlangsung.

Pandangan interaksionisme simbolik juga berbeda dengan pandangan

paradigma fakta sosial. Menurut interaksionisme simbolik, fakta sosial bukanla

merupakan barang sesuatu mengendalikan dan memaksakan tindakan manusia.

Fakta sosial sebagai aspek yang memang penting dalam kehidupan masyarakat

ditempatkan di dalam kerangka simbol-simbol interaksi manusia. Dalam hal ini

organisasi masyarakat (fakta sosial) merupakan kerangka di dalam mana

tindakan sosial mengambil tempat, bukan merupakan faktor penentu tindakan

sosial.

Untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap teori ini barangkali ada

gunanya dikemukakan sejumlah ide dasar yang terkandung di dalamnya

(Poloma, 1987: 267).

1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi.

2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan

dengan kegiatan manusia lain.

3. Objek-objek tidak mempunyai makna intrinsik, makna lebih merupakan

produk interaksi simbolik.

4. Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal, mereka dapat melihat

dirinya sebagai objek.

5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia

sendiri.

6. Tindakan tersebut dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota

kelompok.
44

b. Prespektif Labeling

Perspektif labeling melihat definisi masalah kesejahteraan sosial bersifat

subjektif. Oleh sebab itu, perspektif ini lebih tertarik untuk mempersoalkan

mengapa dan dalam kondisi bagaimana tindakan tertentu atau situasi tertentu

didefinisikan sebagai masalah kesejahteraan sosial (Julian, 1986: 14).

Dari berbagai pemikiran tersebut Parrillo (1987: 30) mengemukakan dua

bidang kajian pendekatan ini yaitu:

1. Perspektif labeling menggambarkan bagaiman seseorang dinamakan atau

diberi label sakit mental, atau bagaimana seorang remaja dikatakan

delinquent dan seterusnya.

2. Definisi masalah kesejahteraan sosial merupakan hasil negosiasi dari suatu

proses sampai dengan masyarakat menganggap bahwa telah terjadi

masalah kesejahteraan sosial.

Label yang diberikan masyarakat terhadap tindakan seseoang, bagi si

aktor dapat pula merupakan rangsangan yang harus yang diinterpretasikan

untuk diberi manka. Interpretasi dan makna yang diberikan terhadap label

tersebut seringkali akan dapat mengubah interpretasi aktor terhadap tindakan

semula.

Bentuk yang paling ekstrimdari pendekatan ini adalah radical

nonintervention. Pendekatan ini diperkenalkan Edwin M Schur, merupakan

suatu pendekatan dalam penangananan masalah kesejahteraan sosial yang

manggunakan prinsip leave the deviant alone whenever possible (Weinberg,

1981: 181 dan Eitzen, 1986: 408).

Ada beberapa kritik yang ditujukan kepada perspektif ini (Eitzen, 1986: 409).
45

1. Perspektif ini terlalu berkosentrasi kepada reaksi masyarakat sebagai

perwujudan dari interpretasi masyarakat terhadap situasi dan tindakan

tertentu.

2. Label yang diberikan kepada suatu tindakan dapat tidak proporsional. Hal

ini disebabkan karena masyarakat dapat terbentuk dari berbagai kelompok

penguasaan power yang berbeda.

3. Perspektif labeling tidak menjelaskan bagaimana karier devian terbentuk,

bertahan dan dilestarikan. Berkaitan dengan hal ini ada sejumlah masalah

dari segi konsep utama:

a. Konsep ini tidak menjelaskan atau sengaja menghindari untuk menjelaskan

sebab-sebab deviasi (khususnya deviasi primer).

b. Labeling terjadi setelah fakta, dengan demikian tidak ada definisi sebelum

fakta terjadi.

c. Permasalahan labeling dapat muncul bagi tindakan yang tersamar. Karena

sifatnya yang terselubung tersebut, menjadi sulit terdeteksi, sehingga tidak

ada pemberian label sebagai masalah kesejahteraan sosial.

c. Perspektif Perilaku Sosiopathik

Perspektif perilaku sosiopathik pada awalnya dimaksudkan sebagai

antisipasi dari berbagai kelemahan pengukuran perilaku devian oleh perspektif

yang dibangun dari teori fungsional struktural. Sebagaimana diketahui,

menurut perspektif fungsional structural, suatu perilaku dikatakan menyimpang

diukur dari pranata sosial yang ada.

Ada beberapa anggapan dasar yang digunakan oleh perspektif perilaku

sosiopathik ini dalam mengembangkan konsep-konsepnya. (Lemert, 1951: 22).


46

1. Ada berbagai pola dan cirri khusus dari tingkah laku manusia dari

sejumlah deviasi dari ciri-ciri khusus tersebut yang dapat diidentifikasi

dan digambarkan pada situasi khusus menurut waktu dan tempat.

2. Deviasi tingkah laku ini merupakan fungsi dari konflik kebudayaan yang

menampakkan diri melalui organisasi sosial.

3. Setiap deviasi akan mendapatkan reaksi masyarakat yang bergerak dari

sangat setuju sampai dengan sangat tidak setuju.

4. Perilaku Sosiopathik adalah deviasi yang menimbulkan akibat reaksi

tidak setuju.

Perbedaan interpretasi ini dapat disebabkan oleh perbedaan referensi yang

digunakan. Sehubungan dengan hal ini Lemert (1951: 51) mengatakan, bahwa

reaksi masyarakat akan ditentukan oleh taraf visibilita sosialnya. Konsep

visibilita sosial sebetulnya mengandung dua aspek yaitu aspek pemampakan

lahiriah atau pemanpakan peragaan tindakan maupun situasi tersebut secara

fisik (lahiriah), dan aspek pemanpakan sosial dalam arti bagaimana tindakan

dan situasi itu tampak sebagai masalah dilihat dari interpretasi masyarakat.

Kehidupan masyarakat yang kompleks yang ditandai dengan

heterogenitas dan mobilita sosial yang tinggi dari warganya, juga diidentifikasi

sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi visibilita sosial. Kondisi

itu diyakini juga akan memengaruhi reaksi masyarakat terhadap berbagai

bentuk masalah kesejahteraan sosial.

Apabila seseorang mulai menggunakan perilaku devian itu sebagai usaha

untuk mempertahankan diri, alat penyerang atau penyesuaiankan diri terhadap

permasalahan yang bersifat overt dan covert yang timbul sebagai akibat reaksi
47

masyarakat terhadapnya, maka deviasi telah berkembang ke arah deviasi

sekunder. Proses perkembangnya deviasi primer menjadi deviasi sekunder

tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Deviasi primer

2. Reaksi masyarakat berupa hukuman dan sanksi

3. Deviasi primer lebih lanjut

4. Penolakan sosial dan sanksi yang lebih hebat

5. Pengembangan deviasi primer lebih lanjut mungkin disertai perasaan

permusuhan terhadap pihak yang memberi hukuman.

HUBUNGAN ANTAR PERSPEKTIF

Masalah kesejahteraan sosial merupakan suatu gejala sosial yang mempunyai

banyak aspek dan banyak dimensi. Oleh sebab itu, usaha untuk memahami gejala

tersebut semestinya dibekali oleh suatu pengertian akan adanya kompleksitas dari

objek yang akan dipelajari. Lebih lanjut dapat dipahami pula, apabila studi

masalah kesejahteraan sosial yang lengkap juga menuntut penyesuaian dengan

kompleksitas tersebut. Dengan demikian, studi masalah di samping melihat gejala

itu sebagai suatu proses, juga dituntut untuk melihatnya dari segala aspek dan

dimensi yang terkait.

Bahkan akan lebih fungsional apabila studi masalah kesejahteraan sosial juga

meliputi usaha untuk mencari jalan pemecahannya. Dilihat dari kenyataan bahwa

masalah kesejahteraan sosial merupakan gejala multiaspek dan multidimensi,

dapat dipahami pula apabila dijumpai studi masalah kesejahteraan sosial yang

bervariasi dari sudut aspek yang menjadi focus perhatiannya. Oleh karena setiap

aspek dapat menjadi objek kajian suatu disiplin ilmu tertentu, dan setiap disiplin
48

ilmu tidak jarang melahirkan berbagai perspektif sebagai deviasi dari teori-teori

yang dimilikinya, maka tidak mengherankan pula bahwa dalam studi masalah

kesejahteraan sosial akan ditemukan variasi yang semakin banyak, dilihat dari

perspektif yang digunakan.

Perspektif yang dilandaskan teori konflik baik perspektif konflik nilai

maupun perspektif institusional sangat berguna untuk memahami realitas konflik

dalam masyarakat, bahwa tidak semua fakta sosial selalu fungsional positif

terhadap struktur. Di samping itu juga sangat relevan untuk mendiagnosis masalah

kesejahteraan sosial yang bersumber dari kondisi struktural. Walaupun demikian,

pemecahan masalah melalui trasformasi struktural seringkali membutuhkan

sejumlah persyaratan yang tidak setiap pengambil kebijakan berani untuk

menghadapi resikonya. Di samping itu, perubahan struktural yang terjadi juga

belum tentu menjamin terjadinya distribusi power dan resources yang lebih baik.

Dapat saja terjadi struktu masyarakat hasil transformasi akan berproses pada

pertentangan antarkelompok dengan isu baru.

Perspektif labeling memang lebih menjanjikan pendekatan yang bersifat

humanistis karena mengakui keberadaan individu yang mempunyai sifat

interpretative teradap situasi dan rangsangan ang diterima. Di samping itu,

perspektif ini juga diharapkan dapat, mengantisipasi kenyataan bahwa ukuran

masalah kesejahteraan sosial bersifat relatif tergantung tempat dan waktu.

Walaupun demikian, perspektif ini dinilai mengandung kelemahan karena sangat

memberi fokus perhatian pada reaksi masyarakat, padahal dalam kenyataannya

reaksi masyarakat tidak selalu mampu mengidentifikasi seluruh gejala yang

disebut masalah kesejahteraan sosial. Lebih dari itu perspektif ini juga dinilai
49

kurang memberikan perhatian terhadap kajian tentang latar belakang masalah

kesejahteraan sosial itu sendiri.

Perspektif perilaku menyimpang dan konflik nilai sangat potensial untuk

digunakan merencanakan program action guna pemecahan masalah, walaupun

mungkin masalah tersebut didiagnosis dengan menggunakan perspektif lain.

Beberapa kasus menunjukkan, bahwa masalah kemiskinan didiagnosis dengan

perspektif patologi sosial, tetapi dipecahkan dengan menggunakan perspektif

konflik nilai. Dalam hal ini, kemiskinan dianggap sebagai akibat kondisi dehuman

yang disebabkan oleh orde ekonomi yang sakit. Untuk memecahkan masalahnya

sering dilakukan dengan mendorong suatu gerakan sosial untuk membela

kepentingan lapisan miskin tersebut sehingga akan memperoleh perbaikan dalam

kehidupannya.

Akhirnya dapat dinyatakan, bahwa keseluruhan perspektif yang sudah

dibahas dalam bab ini mengacu pada salah satu di antara dua tema pokok:

keberaturan sosial dan konflik sosial. Pada saat pandangan tentang keberaturan

sosial sedang banyak diminati dan menjadi arus utama yang mewarnai pemikiran

para ilmuwan dan praktisi sosial, makna perspektif patologi sosial lama,

disorganisasi sosial dan perilaku menyimpang akan lebih banyak digunakan.

Sebaliknya, apabila pandangan konflik yang sedang banyak mendapat tempat di

hati masyarakat, maka perspektif patologi sosial baru, konflik nilai dan labeling

akan lebih banyak diminati. Sebagaiman terjadi dalam berbagai disiplin ilmu dan

berbagai studi tentang fenomena tertentu, pergeseran dominasi suatu aliran

pemikiran, bahkan tampilannya, aliran-aliran pemikiran secara silih berganti

menjadi arus utama dalam masyarakat adalah hal yang wajar.


50

MATERI POKOK BAHASAN - 6

PERILAKU INDIVIDU SEBAGAI MASALAH KESEJAHTERAAN


SOSIAL YANG BERSUMBER DARI FAKTOR INDIVIDUAL

1. Pengantar

Masalah kesejahteraan sosial adalah kondisi yang tidak diharapkan,

oleh karena dianggap dapat merugikan kehidupan sosial atau bertentangan

dengan standar sosial yang telah disepakati. Untuk mengetahui keberadaan

masalah kesejahteraan sosial dalam kehidupan masyarakat dapat diperlukan

identifikasi. Sebagaimana sudah dibahas terdahulu, identifikasi merupakan

langkah awal sebelum dilakukan diagnosis dan treatment. Dilihat dari fokus

perhatian dalam identifikasi masalah kesejahteraan sosial dapat dibedakan

dalam dua pendekatan individu dan sistem. Dalam pendekatan individual

masalah kesejahteraan sosial atau kondisi yang dianggap bermasalah lebih

dilihat pada level individu sebagai warga masyarakat. Sudah tentu yang lebih

dilihat sebagai masalah adalah perilaku individu dalam pendekatan sistem,

yang dianggap bermasalah bukan perilaku orang perorang sebagai individu,

tetapi masyarakat sebagai totalitas, masyarakat sebagai sistem.

Berkaitan dengan hal ini, Eitzen membedakan adanya dua pendekatan

yaitu person blame approach dan system blance approach. Pendekatan

pertama mencari sumber masalah pada level individu, sedangkan pendekatan

kedua beranggapan bahwa sumber masalah kesejahteraan sosial ada pada level

sistem sehingga dalam mendiagnosis masalah sumber kesalahan dicari pada

level sistem juga.


51

Variasi tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel. 3. Variasi Pendekatan Berdasarkan Unit Analisis

Identifikasi Diagnosis Dan Treatment

Individu Sistem

Individu 1 2

Sistem 3 4

Dari tabel tersebut dapat dilihat, bahwa berdasarkan tahap studi dan

dari unit analisisnya, kajian masalah kesejahteraan sosial dapat dibedakan

dalam empat variasi. Variasi pertama adalah studi masalah kesejahteraan sosial

yang melihat permasalahannya pun dilihat dari hal-hal yang melatarbelakangi

individu sebagai penyandang masalah. variasi kedua, masalah juga dilihat pada

level individu atau perilaku individu, akan tetapi dalam mendiagnosis masalah

lebih memfokuskan pada sistem sebagai sumber masalah. variasi ketiga, yang

dilihat bermasalah adalah sistemnya, akan tetapi sumber masalahnya dicari

pada level individu yang merupakan bagian dari sistem dan merupakan aktor

utama yang membentuk sistem tersebut. variasi empat, baik identifikasi

masalah maupun diagnosis dan treatment difokuskan pada level sistem.


52

2. Perilaku Individu Sebagai Masalah kesejahteraan sosial Yang Bersumber

Dari Faktor Individual

a. Individu Sebagai Satuan Identifikasi Sekaligus Sumber Masalah

Dalam studi masalah kesejahteraan sosial, setelah masalah

diidentifikasi maka langkah berikutnya adalah melakukan pemecahan masalah

secara baik, maka perlu dipahami sumber permasalahannya. Pembahasan

dalam sub bab ini akan lebih mencari sumber masalah dengan satuan

pengamatan individu, artinya melacak sumber masalah dari cacat dan

kesalahan yang melekat pada individu sebagai penyandang masalah. pelacakan

sumber masalah tersebutperlu memerhatikan kemungkinan dari berbagai

dimensi yang melekat pada individu yang bersangkutan baik fisik atau

biologis, psikologis, maupun sosiologis.

Pandangan ini melihat pelaku panyimpangan adalah individu. Apabila

cara pandang ini digunakan dalam rangka memahami masalah kesejahteraan

sosial, maka beberapa konsekuensi teoretik dan implementasinya dalam

kebijaksanaan adalah:

1) Membebaskan pemerintah, sistem ekonomi, struktur sosial, institusi sosial,

sistem peradilan, sistem pendidikan dari “tuduhan” sebagai sumber

kesalahan.

2) Karena penyebab masalah adalah faktor individual, maka upaya

pemecahan masalah akan lebih banyak bersifat sebagai bentuk konseling,

modifikasi perilaku, psychotheraphy.

3) Memperkuat mitos sosial tentang peranan kontrol individu terhadap nasib

seseorang. Juga memperkokoh pandangan sosial Darwinism yang


53

beranggapan bahwa penempatan seseorang dalam stratifikasi sosial

merupakan fungsi dari kemampuan masing-masing.

b. Pandangan Biologis

Sebagai contoh dari pandangan tersebut, dapat dikemukakan dalam

beberapa bentuk pengkajian yang dapat ditemukan dalam perbendaharaan studi

masalah kesejahteraan sosial seperti physiognomi (studi tentang karakter

manusia yang ditentukan oleh bentuk wajah), phrenology (studi tentang

kemampuan mental yang ditentukan oleh konfigurasi tempurung kelapa),

somatology (studi tentang karakter manusia yang ditentukan oleh bentuk

tubuh), genetic anomalies (sifat dan tingkah laku menyimpang yang

disebabkan oleh masalah genetika termasuk kelainan kromosom) dan brain

malfunction (perilaku menyimpang yang disebabkan oleh kelainan fungsi

otak). (Eitzen, 1986:1987).

Dampak perkembangannya, pandangan Lombroso ini kemudian

dijelaskan melalui prinsip atafisme. Prinsip ini menyatakan adanya proses

kemunduran menuju kepada pola-pola primitif dari spesiesnya, yaitu tiba-tiba

muncul ciri-ciri milik nenek moyangnya, yang semula lenyap selama berabad-

abad kini timbul kembali. Ternyata, ciri-ciri dan tingkah laku kaum kriminal

ini mirip dengan tingkah laku orang primitif yang liar dan kejam. Kesimpulan

tersebut diperoleh setelah membandingkan ciri-ciri karakter anatomis dan

organik, di antara para penjahat dan orang-orang primitif (Kartono, 1983:158).

Pandangan biologis semacam itu juga sering dijumpai dalam

menjelaskan masalah kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan inferioritas

pada kelompok tertentu dalam masyarakat. Sebagaimana diketahui, penjelasan


54

klasik untuk persoalan inferioritas tadi sering kali dikaitkan dengan cacat atau

kelemahan genetika (flawed genetic), dengan demikian inferior dianggap

sebagai sifat yang diwariskan. Untuk kasus masyarakat Amerika, pandangan

ini juga digunakan oleh Arthur Jensen dan Richard Herrnsteinyang mengatakan

bahwa kulit hitam secara mental berkedudukan inferior dibandingkan kulit

putih (Eitzen, 1986: 205).

c. Pandangan psikologis

Pandangan psikologis juga mencoba menjelaskan bahwa sumber

terjadinya perilaku individu yang menyimpang berasal dari dalam diri individu

sendiri. Bedanya dengan pandangan biologis adalah bahwa faktor penyebabnya

bukan kondisi biologis melainkan kondisi kejiwaan dan kepribadiaan dari

individu. Asumsi yang mendasarinya adalah kondisi psikologis seseorang akan

sangat besar pengaruhnya terhadap perilakunya. Menurut Eitzen (1986: 397)

bentuk-bentuk kondisi psikilogis yang dapat menyebabkan perilaku

menyimpang tersebut antara lain phychopaths (yang dapat termanifestasikan

pada sikap asosial, agresif dan impulsif ), oeldipalconfict dan psychosexual

trauma.

Menurut pandangan psikoanalisis, devian adalah seseorang yang tidak

dapat mengembangkan ego secara wajar untuk mengontrol impuls deviant (the

id). Gejala ini juga dapat berupa akibat adanya konflik batin antara dorongan-

dorongan infantile melawan pertimbangan yang matang dan rasional. Essensi

dari perilaku menyimpang tidak terletak dari perilakunya itu sendiri, tetapi

pada terjadinya ketidakseimbangan yang patologis diantara unsur-unsur


55

dinamis dalam kepribadian seseorang (ithe id, ego dan seper ego) (Kauffman,

1989: 60).

Lemert (1951: 37) dalam tulisannya dia membedakan deviasi tingkah laku

menjadi tiga bentuk yaitu deviasi individual, deviasi situasional dan deviasi

sistematik. Dari ketiga bentuk tersebut deviasi individual merupakan gejala

personal yang ditimbulkan oleh kondisi individu sendiri.

Sehubungan dengan desintegrasi kepribadian ini, Elliot dan Merrill

(1961: 45) juga membahasnya sebagai gejala individual dan personal

disorganization sebagai bentuk lain dari gejala sosial disorganization. Bentuk

yang pertama, merupakan disorganisasi pada level individual khususnya dilihat

dari kepribadiannya, sedang bentuk yang kedua merupakan disorganisasi pada

level masyarakat. Dikemukakan pula, bahwa personal disorganization ini

sangat erat kaitannya dengan konsep dan gejala isolasi. Sebagaimana juga

dikatakan oleh Kauffman (1989:6), bahwa perilaku disorder dapat dijelaskan

dalam dua dimensi yaitu externalizing (dalam bentuk perilaku agresif dan

perilaku yang lain yang punya sasaran orang lain) dan internalizing (dalam

bentuk tindakan menarik diri dari lingkungan sosialnya atau isolasi).

Dalam uraian tentang pandangan biologis telah dikemukakan pendapat

Jensen dan Herrnstein yang pada dasarnya mengatakan bahwa dengan

menggunakan kasus masyarakat Amerika mereka sampai pada kesimpulan

bahwa orang kulit hitam lebih inferior dibanding kulit putih. Salah satu

penyebabnya adalah tingkat inteligensia (IQ) orang kulit hitam rata-rata lebih

rendah, dan ia merupakan sesuatu yang diwariskan secara biologis.

Relefansinya dengan pandangan psikologis adalah seorang menjadi miskin


56

karena inteligensi dan kemampuan mentalnya rendah. Maka teorinya

beranggapan bahwa perbedaan dalam stratifikasi sosial terjadi karena:

1) Kemampuan mental diwariskan.

2) Sukses dalam pekerjaan dan memperoleh pendapatan tergantung dari

kemampuan mental.

Berikut ini akan dicoba diinventarisasi beberapa kritik sekaligus dampaknya

dalam implementasi kebijakan apabila pandangan ini digunakan sebagai dasar

perumusan kebijakan penanganan masalah kesejahteraan sosial (Eitzen, 1986:

167):

1) Pandangan Jensen dan Herrstein ini merupakan contoh klasik pemahaman

masalah kesejahteraan sosial yang mencari sumber masalah atau sumber

“kesalahan” dari si penyandang masalah. Kemiskinan terjadi karena

“kesalahan” individu yang miskin itu, jadi bukan disebabkan karena

kesalahan system pendidikan, bias cultural dalam tes IQ, dan barrier sosial

dalam mencapai prestasi dan sukses.

2) Mengujuhkan anggapan bahwa kemiskinan merupakan sesuatu yang tak

dapat terhindarkan sekaligus merupakan penguatan survival of the fittest

sebagai ideology kapitalis.

3) Memberikan keabsahan bahwa tes IQ merupakan ukuran yang punya

legitimasi sebagai sarana untuk melihat tingkat inteligensi seseorang.

4) Pendapat tersebut juga memberikan alasan pembenar bagi terjadinya

ketidakmerataan dalam proses belajar mengajar.


57

5) Tesis ini juga mendorong pembuat keputusan atau perumus kebijakan

untuk menangani efeknya dari pada menangani sumber penyebab dari

dalam system dan struktur sosialnya sendiri.

d. Pandangan Sosialisasi

Sosialisasi merupakan suatu proses terintegrasinya individu kedalam

kehidupan bermasyarakat, atau dengan perkataan lain merupakan proses

perubahan seseorang dari makhluk biologis menjadi makhluk sosial. Soekanto

(1982: 140) mengatakan, secara luas sosialisasi dapat diartikan sebagai suatu

proses, dimana warga masyarakat dididik untuk mengenal, memahami, menaati

dan menghargai norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Secara khusus, sosialisasi mencakup suatu proses dimana warga masyarakat

mempelajari kebudayaannya, belajar mengendalikan diri dan mempelajari

peranan-peranan dalam masyarakat.

Berdasarkan pandangan sosialisasi tadi, maka perilaku individu akan

diidentifikasi sebagai masalah kesejahteraan sosial apabila tidak berhasil dalam

melewati proses belajar tersebut. Kauffman (1989: 6) mengemukakan bahwa

perilaku juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial (pandanngan

ecology). Dalam pandangan ini, perilaku disorder tidak dapat dilihat secara

sederhana sebagai tindakan yang tidak layak, melainkan dari pada itu harus

dilihat sebagai hasil interaksi dan transaksi yang tidak benar antara seseorang

dengan lingkungan sosialnya. Ketidakberhasilan proses belajar sosial atau

“kesalahan” dalam interaksi dn transaksi sosial tersebut dapat

termanifestasikan dalam beberapa hal.


58

Salah satu diantaranya, disebabkan karena “kesalahan” dalam memilih

lingkungan interaksi sosialnya, seseorang dapat berperilaku devian. Sebagai

suatu misal, tingkat kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada

umumnya berada pada bagian wilayah kota yang miskin, dengan kondisi

perumahan dibawah standar, overcrowding, derajat kesehatan rendah dan

kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil, (Eitzen: 1986: 400).

Dalam bagian lain dari tulisannya Eitzen juga mengutip pendapat Sutherland

dalam menjelaskan mengapa beberapa orang berperilaku kriminal sedang

orang lain tidak. Sehubungan dengan hal itu, Sutherland beranggapan bahwa

seseorang belajar untuk menjadi kriminal melalui interaksi. Apabila

lingkungan interaksi cenderung devian, maka seseorang akan mempunyai

kemungkinan besar untuk belajar tentang teknik dan nilai-nilai devian yang

pada gilirannya akan memungkinkan untuk menumbuhkan tindakan kriminal.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam proses

sosialisasi adalah kemampuan memahami dan menginterprestasikan nilai yang

diserap. Kenyataan ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan persoalan

mengapa dua orang yang hidup dalam lingkungan sosial yang sama, yang satu

dapat berperilaku devian sedang yang lain tidak. Salah satu penyebabnya

adalah karena perbedaan interpretasi. Ibaratnya norma sosial sebagai faktor

pembatas perilaku individu dalam hidup bermasyarakat, maka dapat terjadi

perbedaan penafsiran antara yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.

Dalam hal ini, perilaku menyimpang dapat terjadi karena perbedaan

interprestasi tentang batas-batas toleransi suatu perilaku untuk disebut sebagai

pelanggaran norma antara individu tertentu dengan masyarakat pada umumnya.


59

Dalam jangka panjang nilai dan norma yang terserap melalui proses sosialisasi

dan proses interaksi sosial dapat terinternalisasi dalam diri individu dan ikut

membentuk self perception.walaupun seseorang hidup didalam lingkungan

bahkan subkultur kriminal atau delinquent, akan tetapi belum tentu menjadi

kriminal dan delinguent karena mempuanyai self perception tertentu yang

menjadi semacam daya tangkal terhadap pengaruh lingkungan tersebut

(Kauffman: 308).
60

MATERI POKOK BAHASAN - 7

PERILAKU INDIVIDU SEBAGAI MASALAH KESEJAHTERAAN


SOSIAL YANG BERSUMBER DARI SISTEM

a. Individu Sebagai Satuan Identifikasi, System Sebagai Sumber Masalah

pendekatan ini beranggapan, bahwa penanganan masalah kesejahteraan

sosial yang didasarkan pada diagnosis yang hanya memerhatikan simtom tidak

akan dapat memecahkan “masalah”, atau setidak-tidaknya hanya memecahkan

masalah secara sementara dan tidak tuntas. Hal itu disebabkan oleh karena

sumber masalahnya belum berubah, karena belum ditangani secara serius.

Dalam pelaksanaannya, diagnosis dengan menggunakan system blame

approach ini pun menjadi cukup bervariasi, tergantung pada perspektif yang

digunakan untuk melihat system sebagai sumber masalah.

b. Sumber Masalah Dari Cacat Struktur

Abraham Maslow mengidentifikasi kebutuhan tersebut sebagai berikut:

shelter and sustenance, security, group support,esteem, respect, dan self

actualization. Atas dasar kenyataan tadi, menjadi wajar apabila setiap orang

mencoba dan berusaha untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Masalah akan

timbul apabila usaha pemenuhan kebutuhan tersebut mendapat hambatan.

Hambatan yang dimaksud dapat berasal dari aspek individual dan dapat pula

dari aspek structural. Contah hambatan dari aspek structural adalah apabila

struktur masyarakat tidak menjamin distribusi penguasaan resources dan

power. Hal itu akan mengakibatkan warga masyarakat tertentu merasa


61

terhambat dalam mengembangkan potensi dan kapasitas dirinya yang

disebabkan kurang dimilikinya prestise dan power tersebut (Rein, 1970: 426).

Prestise merupakan kapasitas yang memungkinkan seseorang

mempunyai rasa percaya diri terhadap orang lain. Power adalah kapasitas

untuk memperoleh apa yang diinginkan lebih sering dan lebih dahulu dari

orang lain. Permasalahan akan menjadi semakin tajam apabila dianalisis

dengan menggunakan pandangan teori konflik. Hal ini disebabkan, karena

menurut teori tersebut lapisan masyarakat yang menguasai power dan

resources cenderung untuk berusaha mempertahankan status quo, sehingga hal

ini akan semakin dirasakan sebagai bertambahnya hambatan dalam pemenuhan

kebutuhan bagi lapisan yang kurang menguasai resources.

Dalam kasus masyarakat Amerika Serikat, tindakan kekerasan yang

banyak dilakukan oleh kulit hitam menurut pandangan ini bukan disebabkan

oleh orang-orang kulit hitam yang agresif, melainkan lebih disebabkan oleh

terbatasnya peluang mereka untuk melakukan mobilitas vertikal dalam struktur

sosial yang ada (Eitzen, 1986: 11). Danil Moynihan, seorang ahli ilmu sosial

dari Universitas Harvard yang kemudian beralih profesi menjadi senator

mengatakan, bahwa struktur keluarga yang lemah lebih banyak terdapat

dikalangan orang-orang kulit hitam dan hal ini merupakan penyebab dari posisi

mereka dalam masyarakatyang kurang mengungtungkan (Eitzen, 1986: 205).

Struktur keluarga yang dikatakan lemah tersebut ditandai oleh struktur yang

tidak stabil yang dilatarbelakangi oleh pengalaman masa perbudakan, absennya

suami dari lingkungan keluarga dan tingginnya tingkat ilegitimasi.

Tesis Maynihan mendapat banyak kritik untuk hal-hal berikut:


62

1) Moynihan dinilai telah melakukan over generalization.

2) Kesimpulan bahwa keluarga orang kulit hitam lebih tidak stabil

dibandingkan keluarga orang kulit putih dinilai tidak memiliki dasar yang

kuat.

3) Kritik yang sama juga diarahkan untuk pernyataan bahwa keluarga orang

kulit hitam pada umumnya bersifat matrialkal dan terjadi desersi suami

dari lingkungan keluarga.

4) Berdasarkan beberapa hal tersebut, sudah barang tentu kritik juga

ditujukan pada solusi atau pemecahan masalah yang diajukan. Moynihan

merekomendasikan solusi melalui perubahan struktur keluarga, sedangkan

para pengkritik beranggapan bahwa pemecahan masalah harus melalui

perubahan struktur sosial pada umumnya, karena hal ini yang dianggap

sebagai sumber masalah.

Bentuk lain dari pandangan struktural yang ingin menjelaskan sumber

masalah mengapa seseorang berperilaku menyimpang atau berada pada kondisi

yang tidak diharapkan adalah tesis tentang diskriminasi institusional. Menurut

pandangan ini, mengapa seseorang menjadi miskin atau jahat, bukan karena

kesalahan individu yang bersangkutan, tetapi karena kebetulan orang tersebut

dilahirkan pada bagian kota tertentu atau lingkungan strata sosial tertentu tidak

menguntungkan.keberadaannya pada lingkungan yang tidak memungkinkan

tersebut menyebabkan dia tidak dapat mengembangkan dirinya secara optimal

karena berbagai hambatan.

Disamping itu, beberapa diskriminasi institusional juga sering kali

dijumpai karena dalam sistem sosial terjadi perlakuan yang tidak adil terhaap
63

kelompok masyarakat tertentu (misal kelompok minoritas), jenis kelamin

tertentu (adanya pekerjaan tertentu yang sulit dimasuki kaum wanita), atau

kelompok umur tertentu (Eitzen, 1986: 173). Perlakuan diskriminatif yang

diterima dapat dalam hal memperoleh peluang kerja, bertempat tinggal,

memperoleh pendidikan dan akses terhadap pelayanan publik.

c. Disorganisasi Sosial Sebagai Sumber Masalah

konsep disorganisasi sosial muncul berkaitan dengan proses perubahan

dan dinamika kehidupan masyarakat. Setiap unsur masyarakat akan terlibat

dalam proses perubahan tersebut. Proses tersebut cenderung membuat pola

lama dalam hidup bermasyarakat sudah dutinggalkan dan dianggap tidak lagi

terpakai, sedangkan pola baru belum menentu.

Eitzen, 1986; 10 mengemukakan bahwa seseorang dapat menjadi jelek

oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk. Hal tersebut

dapat dijelaskan dalam kenyataan, bahwa pada umumnya dalam masyarakat

yang menngalami disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi

kehilangan kekuatan mengikat. Dengan demikian, kontrol sosial menjadi

lemah, sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan

perilaku. Masalah conformity dan deviation berhubungan erat dengan sosial

control (Soekanto, 1987: 193). Bahkan Lemert (1967: 18) menegaskan bahwa

kontrol soaial harus didudukkan sebagai suatu independent variable terhadap

proses deviasi dan bukannya sekadar faktor konstant.

Dalam masyarakat yang disorganize dengan kondisi yang sering kali

tidak menentu, mengakibatkan tingkat kekhawatiran dan kecemasan warga

masyarakatnya menjadi semakin tinggi (Elliot and Merrill, 1961: 53).


64

d. Pandangan labeling

Terjadinya deviasi oleh individu disebabkan oleh perbedaan interpretasi

antara individu yang bersangkutan dengan masyarakatnya. Individu masih

menganggap perilakunya dalam ketegori normal, sedang masyarakatnya sudah

memberi label sebagai deviasi. Dalam kenyataanya, memang sering dijumpai

adanya perbedaan interprestasi antara individu dan masyarakat tentang batas-

batas perilaku yang diperbolehkan dan yang dilarang (Lemert, 1951: 96).

Pandangan labeling ini sering kali juga masih perlu memerhatikan

pandangan struktural. Hal ini disebabkan karena tidak jarang lapisan

masyarakat yang mempunyai power dapat memengaruhi pemberian label oleh

masyarakat terhadap perilaku tertentu. Walaupun perilaku tertentu sebetulnya

merupakan deviasi menurut interprestasi masyarakat, akan tetapi proses

labeling apabila reaksi masyarakat tidak terjadi olek karena pelakunya adalah

anggota masyarakat yang mampu mengontrol reaksi masyarakat tersebut.

4. Masalah kesejahteraan sosial Pada Level Sistem Yang Bersumber dari

Individu

a. Sistem Sebagai Satuan Identifikasi, Individu Sebagai Sumber

Masalah

Masalah kesejahteraan sosial terjadi pada level sistem, akan tetapi

sumber masalah dapat berasal dari individu anggota mayarakat yang

bersangkutan. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat merupakan suatu

kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu. Dengan perkataan lain,

individu merupakan bagian integral dari masyarakat atau sistem sosial tertentu.

Kenyataan bahwa masalah kesejahteraan sosial pada level sistem ini juga dapat
65

bersumber dari individu, dapat pula dijelaskan dari adanya pandangan tentang

indikator sederhana sebagai salah satu cara untuk mengidentifikasi masalah

kesejahteraan sosial. Menurut pandangan ini, suatu masyarakat dapat

dinyatakan mengalami masalah kesejahteraan sosial dengan melihat angka

statistik untuk hal-hal tertentu seperti angka kejahatan, angka kenakalan, dan

angka bunuh diri. Dari indikator tersebut dapat ditafsirkan, bahwa semakin

banyak anggota masyarakat yang melakukan tindakan dan perilaku yang

menyimpang akan memberi, indikasi bahwa masyarakatnya dalam kondisi

yang tidak sehat atau mengalami masalah kesejahteraan sosial (Gillin and

Gillin, 1945; 742).

b. Disorganisasi Sosial Karena Disorganisasi Individu

Disorganisasi sosial adalah proses melemahnya jaringan dan pola

hubungan yang mengikat individu bersama-sama dalam suatu kolompok.Hal

ini disebapkan karena kepribadian individu trbentuk dan berkembang melalui

proses belajar tentang pola hubungan dan peranan sosial.Ketika pola tersebut

menjadi kacau ,maka anggota masyarakat tidak tahu secara pasti apa yang

mereka lakukan dan apa yang diharapkan dari mereka oleh masyarakat.

Dengan demikian ,bukan hanya disorganisasi sosial hanya dapat

menyebabkan terjadinya disorganisasi individu, melainkan juga sebaliknya

disorganisasi individu dapat turut membentuk terjadinya disorganisasi sosial.

Hal ini disebapkan karena sebetulnya individu merupakan aktor

dalam”drama”kehidupan bermasyarakat ,sedangkan antara hubungan di

antara mereka dalam suatu kolompok .Sebagai aktor,maka individu tak

terhindarkan akan terlibat dalam proses kehidupan sosialnya termasuk dalam


66

proses menuju masyarakat disorganize. Dari contoh tersebut dapat

dilihat ,bahwa disorganisasi individual dan personal dapat terefleksiakan

kedalam kehidupan kolompok maupun masyarakat .Individu yang tidak sehat

secara mental atau fisik akan mengalami kesulitan dalam menangapi berbagai

aspek kehidupan sosialnya secara normal. Dari sisi lain, penelusuran individu

sebagai sumber terjadinya masalah kesejahteraan sosial pada level sistem ini

juga dapat dilihat dari proses sosialiasasi individu. Bahwa deviasi yang

dilakukan seseorang dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap orang lain dan

masyarakat pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu;

(1) seseorang yang tingah lakunya menjadi masalah bagi orang lain,

tetapi tidak untuk dirinya sendiri

(2) seseorang yang tingah lakunya menjadi masalah bagi dirinya tetapi

tidak untuk orang lain

(3) seseorang yang tingkah lakunya menjadi masalah baik untuk dirinya

maupun untuk orang lain.

Tingkah laku yang menjadi masalah bagi orang lain itulah yang

kemudian dapat disebut sebagai sumber masalah pada level sistem yang

berasal dari individu.Dalam hal ini ,awalnya yang bermasalah adalah

perilaku individu, akan tetapi karena kemudian berdampak dalam relasi

sosial, maka kemudian daapat menjadi isu sosial dan masalah sosial.

c. Deviasi sistematik

Deviasi sistematik pada dasarnya adalah suatu sistem tingkah laku

lalu disertai organisasi sosial khusus,status ,peranan,norma, dan moral

tertentu yang kesemuanya berbeda dengan situasi pada umumnya.Dengan


67

demikian ,dapat dilihat dari proses terbentuknya,maka deviasi sistematik

tersebut dapat berasal dari individi-individu yang menyimpang yang

kemudian saling bertemu dan menjalin komunikasi yang sangat

intensif,intensitas komunikasi tersebut seringkali dilatarbelakangi oleh

perasaan senasib ,kesamaan kepentingan ,yang kemudian mendorong mereka

mengorganisasi diri sebagai bentuk pembelaan terhadap masyarakat

makronya.potensi konflik dan dikotomi masyarakat yang bersangkutan.

5. Masalah kesejahteraan sosial Pada Level Yang Bersumber Dari Sistem

a. Sistem Sebagai Satuan Identifikasi Sekaligus Sumber Masalah

Sebelumnya telah dibahas, bahwapenelusuran sumber masalah dilakukan

dari sisi individu, sedang pada pembicaraan ini sumber masalah akan dilihat

dari”kesalahan”sistem.Apalagi jika diingat, bahwa dalam kenyataan kerangka

konstitusional dari suatu maasyarakat memang sering menjadi sumber

masalah kesejahteraan sosial (seperti masalah ras,polusi ,distribusi pelayanan

kesehatan yang tidak merata ,kemiskinan struktuural, perang).pertimbangan

lain adalah asumsi bahwa institusi sosial dibuat oleh manusia ,dengan

demikian tidak bersifat sakral ,sehingga dengan demikian dapat berubah atau

di ubah apabila di anggap kurang memenuhi berbagai aspek kebutuhan

bermasyarakat.

b. Sistem Yang Diskriminatif

Sumber masalah kesejahteraan sosial dari aspek struktural tersebut

seringkali juga digunakan untuk menjelaskan masalah kemiskinan .Dalam


68

hal ini diidentifikasi adanya suatu bentuk kemiskinan yang tidak di alami

individu karena sebap2 individu seperti malas bekerja ,atau sering menderita

sakit ,akan tetapi karena sebap2 struktural ,kemiskinan itu disebut sebagai

kemiskinan struktural ,yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu golongaN

masyarakat.

c. konflik nilai

Masyarakat trdiri dari berbagai kolompok yang saling berintersi dan

masing2 dapat menpunyai kepentingan dan nilia yang berbeda.dalam proses

interaksi tersebut setiap kolompok yang lain tersebut setiap kolompok

berusaha agar kolompok lain mengikuti nilai yang dipakai,masalah

kesejahteraan sosial akan timbul apabila dalam masyarakat tidak terdapat

saluran yanga mapan dan dapat mengkodisikan berbagai aspirasi ,nilai dan

kepentingan yang saling berbeda tersebut.apabila saluran yang dapat

mengkondisikan berbagai nilai ,aspirasi dan kepentingan terssebut tidak

hadir dalam masyarakat,maka bentuk aturan sosial yang muncul kemudian

lebih merupakan suatu sistem yang semata-mata dirancang guna memberikan

tekanan untuk melindungin nilai-nalia kolompok dominan.apabila hal yang

sama dirasakan dan saling terjadi komunikasi,kondisi semacam itu biasanya

menimbulkan tiga karateristik.

1. Merasakan adanya desakan untuk bertidak tapi tidak tau harus berbuat

apa.

2. Adanya perasaan yang mengelitik yang berupa bentuk atau kecemasan

yang tidak menentu, rasa tidak tentram, yang dapat membangkitkan sifat

bringas,
69

3. Emosi yg tidak stabil mengakibatkan lebih mudah mengikuti dan

menerima stimuli guna mengubah kemapanan.

d. Kelemahan Kultural

Hipotesis ini seringkali mendapat kritik terutama melalui angapan

bahwa masyarakat miskin atau kolompok miskin sebutulnya merupakan

bagian intergal dari masyarakat makronya.penjelasan lain yang dapat

digunakan untuk memahami aspek kultural dalam proses terjadinya masalah

kesejahteraan sosial adlah melalui teori culltural lag yang dikemukakan oleh

Wliiam F Ogburn,hipotesis ketertingalan budaya ini menjelaskan bahwa

kecepatan perubahan yang terjadi pada jaman moderen berkaitan dengan

penyesuaian berbagai bagian kebudayaan.

Apabila unsur-unsur kebudayaan dapat dibedakan menjadi unsur

kebudayaan materill dan kebudayaan non materil,maka pada umumnya

perubahan kebudayaan materil ini berlangsung lebih cepat dan kadang-

kadang telambat diikuti oleh unsur kebudayaan nonmateril dengan demikian

lebih banyak dengan demikian lebih banyak merupakan kebudayaan adatif

yang menyesuaikan degan perubahan materil,seperti pola kebiasaan

lembaga-lembaga sosial dan aturan –aturan sosial yang harus melakukan

penyesuaian terrhadap peruubahan fisik dan teknologi.

6. Menuju Pendekatan Yang Kompetitif

Upaya untuk melakukan perbaikan perlu didahului dengan adanya

kesadaran (awareness) akan keberadaan masalah kesejahteraan sosial dalam

masyarakat. Oleh sebab itu, langkah awal dalam penanganan masalah

kesejahteraan sosial adalah identifikasi masalah, yang untuk melakukannya


70

dibutuhkan kepekaan terhadap gejaa sosial yang terjadi. Kepekaan dapat

ditingkatkan apabila ada fokus perhatian yaitu individu dan masyarakat

sebagai suatu system.

Setelah itu, dapat dilakukan kegiatan mendiagnosis masalah. Untuk

menelusuri sumber masalah dapat digunakan 2 pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan individual (Individual/Person blame approach)

2. Pendekatan system (system blame approach)

Dari kedua pendekatan tersebut dapat diketahui, bahwa sumber

masalah kesejahteraan sosial dapat ditelusuri dari “kesalahan” individu” dan

“kesalahan” system.

Suatu masalah menjadi lebih dianggap mendesak dan urgen untuk segera

ditangani, apabila:

- Banyak kejadian yang merupakan kasus baru dan diidentifikasi

sebagai masalah

- Tersebar dalam ruang lingkup yang luas

- Cenderung tumbuh dan berkembang secara pesat.

Kombinasi antara pendekatan individual dengan pendekatan sistem untuk

ketiga sarana pengukuran gejala tersebut, akan dapat meningkatkan

pemahaman terhadap gejala dan keseriusan masalah yang dihadapi. Misalnya,

masalah kesejahteraan sosial yang bersifat individual tetapi secara beruntun

dan dalam lingkup yang luas, sebetulnya merupakan fungsi dan simtom dari

system yang kurang baik.

Hal yang sama juga dapat dilakukan dalam tahap diagnosis dan

penanganan masalah kesejahteraan sosial. Untuk mengdiagnosis masalah


71

penganguran misalnya, agar dapat memahami sumber masalah secara

kompetitif tidak cukup dilihat dari faktor yang melekat pada diri pengagur

seperti kurang inovatif.sumber masalah barangkali juga perlu dilihat dari

sistem perekonomian pada umumnya. ketepatan antara sistem produksi yang

digunakan dengan kondisi kependudukan khususnya angkatan kerja yang

tersedia seringkali juga menjadi faktor yang cukup penting untuk diperhatikan

.pengunaan teknologi yang lebih cangih di satu pihak memang mempunyai

segi positif di pandang dari perlakuan terhadap tenaga kerja, karena akan

dapat memperlakukan tenaga kerja lebih manusiawi, membebaskan mereka

dari pekerjaan kasar yang memerlukan otot dan tenaga.


72

MATERI POKOK BAHASAN - 8

PEMECAHAN MASALAH BERBASIS MASYARAKAT

1. Pengantar

Sebagai pihak yang paling merasakan akibatnya, sebetulnya masyarakat

sendiri yang paling tidak menghendaki adanya masalah kesejahteraan sosial.

Respon masyarakat terhadap masalah kesejahteraan sosial dapat berupa tindakan

kolektif untuk melakukan perubahan dalam bentuk tindakan rehabilitative, atau

bahkan mengantisipasi agar kondisi yang tidak diharapkan Pemecahan masalah

berbasis masyarakattersebut tidak terjadi. Kelebihan respon oleh masyarakat

sendiri terhadap kebberadaan masalah kesejahteraan sosial adalah karena tindakan

kolektif tersebut pada umumnya berupa pola aktivitas yang sudah melembaga

dalam masyarakat, sudah mengakar dalam kehidupan bersama, sehingga

terintegrasi kedalam kehidupan keseharian didalam system sosial.

Disamping itu, penanganan masalah kesejahteraan sosial oleh masyarakat

sendiri dalam banyak hal juga dapat berkedudukan saling mengisi dan saling

melengkapi tindakan penanganan yang dilakukan oleh institusi pemerintah

(Negara). Respon masyarakat terhadap masalah kesejahteraan sosial pada

umumnya merupakan tindakan bersama yang diharapkan berdampak pada kondisi

kehidupan yang lebih baik. Secara umum dapat dikatakan, bahwa masyarakat

yang dapat mengelola dan mengatasi masalah kesejahteraan sosial, memiliki

tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang lain.


73

2. Mengembangkan Sistem Sosial Yang Responsive

Apabila penyakit masyarakat dianggap identik dengan masalah kesejahteraan

sosial, maka upaya pemecahan masalahnya tidak cukup dengan memberikan

pelayanan sosial yang sifatnya rehabilitative kepada individu penyandang

masalah. Lebih dari itu perhatian justru perlu dicurahkan pada system sosialnya.

Menurut pemikiran ini, masyarakat dapat melakukan upaya perbaikan,

penyembuhan dan penanganan masalah kesejahteraan sosial secara mandiri

melalui bekerjanya mekanisme dalam system sosial.

Menggunakan pola piker tersebut, maka pemahaman dan identifikasi

tentang kondisi masalah kesejahteraan sosial yang terjadi akan menjadi umpan

balik yang merupakan reperensi untuk menentukan dimensi dan komponan yang

harus diperbaiki. Sebagai ilustrasi bekerjanya system dalam mengolah umpan

balik adalah melalui perbaikan mekanisme control sosial setelah, ternyata

disadari, banyak kasus masalah kesejahteraan sosial sebagai akibat penyimpangan

terhadap nilai dan norma sosial.

Apabila dalam kehidupan masyarakat ditemukan suatu kondisi dimana

banyak nilai dan norma dilanggar sehingga keberaturan dan integrasi sosial

terganggu, maka sistem yang baik akan melihatnya sebagai kegagalan mekanisme

sosialisasi nilai dan control sosialnya.

Sebagai ilustrasi lain, upaya masyarakat yang bersifat mandiri untuk

melakukan penanganan masalah kesejahteraan sosial ini, secara lebih operasional

dikembangkan melalui model sitem keterjaminan sosial.


74

Berdasarkan pemkiran tersebut, maka dalam rangka usaha masyarakat

sendiri untuk menangani masalah kesejahteraan sosial terutama melalui upaya

developmental, strategi community development dan strategi pembangunan yang

lain yang berbasis masyarakat dan berorientasi pemberdayaan dapat digunakan.

Dalam kondisi tersebut masyarakat akan lebih memiliki kemampuan untuk

melakukan identifikasi kebutuhan dan identifikasi sumber daya.

Strategi tersebut merupakan bagian dari upaya untuk memberikan

kewenangan kepada komonitas khususnya masyarakat lokal untuk mengelola

pembangunannya termasuk pengelolaan sumber daya.

3. Pemanfaatan Modal Sosial

Dari pengamatan melalui praktek kehidupan dalam keseharian tenyata

masyarakat telah banyak melakukan upaya penanganan masalah kesejahteraan

sosial ini. Pada umunya masyarakat mampu melakukan hal-hal seperti itu karena

didalam masyarakat sendiri tersimpan modal sosial, yang seperti halnya dengan

modal fisik dan financial dapat digunakan sebagai energy penggerak tindakan

bersama termasuk dalam menangani masalah kesejahteraan sosial.

Dalam berbagai referensi dapat ditemukan definisi tentang modal sosial ini,

salah satunya dikemukakan oleh uphoff (dalam dasgupta & serageldin, 2000 :

215). Menurut pendapatnya modal sosial dapat dibedakan dalam dua kategori ;

fenomena kognitif dan struk tural.

Dalam fenomena kognitif modal sosial tumbuh dari proses mental dan hasil

pemikiran yang diperkuat oleh budaya termasuk nilai dan norma. Bentuk modal
75

sosial yang dapat menjadi pendorong tindakan bersama masyarakat dan

kepedulian sosial bagi sesama warga masyarakat.

4. Pemanfaatan Institusi Sosial

Di Indonesia walaupun dalam beberapa pasal konstitusinya mengamanatkan

agar Negara dapat menjamin kesejahteraan sosialnya kepada warga pada level

pemenuhan kebutuhan dasar, akan tetapi saat ini kondisi Negara sangat jelas

belum memungkinkan. Oleh sebab itu yang paling realistis bagi kondisi Indonesia

adalah bahwa perwujudan kesejahteraan sosial, terutama kesejahteraan pada

tingkat pemenuhan kebutuhan dasar bukan semata-mata menjadi tanggung jawab

Negara melainkan tanggung jawab bersama antar Negara, masyarakat dan swasta.

Pelibatan unsur-unsur lain diluar Negara dalam mewujudkan kesejahteraan sosial

tersebut juga dapat dicari landasannya secara konseptual, hill (1997 : 2)

mengingatkan, bahwa mendefinisikan kebijakan sosial sebagai aktifitas Negara

untuk memengaruhi kesejahteraan public jangan sampai mengarah pada asumsi

yang salah seolah – olah hanya Negara yang dapat memengaruhi kesejahteraan.

Unsur-unsur tersebut adalah:

- Asosiasi sukarela yang dapat meliputi kelompok swadaya, lembaga

swadaya independen, lembaga sukarela independen.

- Lingkungan tetangga dan rumah tangga yang berasal dari keluarga

ekstended dan solidaritas bertetangga.

- Pasar, berupa usha bisnis yang bersifat privat dan

- Negara, berupa pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah.


76

a. Organisasi Masyarakat

Secara garis besar organisasi yang melakukan usaha kesejahteraan sosial yang

berasal dari masyarakat ini dapat dibedakan menjadi tiga : institusi

masyarakat local, organisasi yang bergerak atas dasar motivasi filantropi dan

lembaga swadaya masyarakat. Organisasi masyarakat yang bersifat local

dapat tumbuh sebagai bentuk atualisasi berbagai pranata sosial yang ada dan

tidak jarang pula didasarkan pada pengamalan ajaran agama, dengan

demikian lebih didorong oleh motivasi religiugs.

Sementara itu organisasi sosial yang berasal dari masyarakat dalam bentuk

lembaga swadaya masyarakat (lsm) secara garis besar dapat dibedakan

menjadi dua : lsm yang secara langsung melakukan usaha kesejahteraan

sosial dan pelayanan sosial dan lsm yang secara tidk langsung dapat

erdampak pada peningkatan kesejahtraan sosial mmelalui advokasi yang

kkedudukannya sebagai kelompok penekan yang dapat mempengaruhi

pengambilan keputusan dan kebijakan.

b. Organisasi Swasta

Sektor swasta sesuai sifatnya pada umumnya adalah bidang usaha yang dapat

memperhitungkan profit. Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada

peluang bagi organisasi swasta ini untuk melakukan dan memberikan

pelayanan sosial yang tidak semata-mata berorientasi profit kepada lapisan

masyarakat bawah. Dalam bentuk lain perusahaan swasta yang berorientasi

profit dan memiliki usaha diluar bidang pelayanan sosial dan jaminan sosial,

sebetulnya juga dapat melakukan usaha “sampingan” dalam bentuk kegiatan

pelayanan sosial dan bantuan sosial.


77

Untuk mendorong semakin banyak organisasi swasta yang melakukan usaha

kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial terutama kepada masyarakat lapisan

bawah, dibutuhkan berbagai bentuk rangsangan.

c. Optimalisasi Kontribusi Dalam Pelayanan Sosial

Untuk mendorong kontribisi yang lebih besar berbagai organisasi sosial bagi

perwujudan kesejahteraan sosial dan untuk mendorong aktualisasi potensi

yang masih laten, dibutuhkan adanya iklim yang kondusif dalam kehidupan

masyarakat pada umumnya.

Untuk organisasi pemerintah, kebijakan yang perlu segera diambil adalah

melakukan reorientasi dalam melakukan usaha kesejahteraan sosial dan

pelayanan sosial agar tidak terlalu birokratis apalagi berorientasi projek.

Disisi yang lain, LSM yang terbukti telah memberikan kontribusi bagi usaha

kesejahteraan sosial perlu didukung dan difasilitasi dalam melakukan

aktifitasnya.

d. Kerja Sama dan Jaringan

Dalam rangka optimalisasi kontribusi masing-masing dan mewujudkan

hubungan yang sinergis, perlu dijajaki berbagai kemungkinan kerja sama

antarorganisasi pelayanan sosial yang ada.

Dengan terjalinnya komunikasi akan dapat mendorong kesadaran bahwa

masing-masing memiliki kekurangan yang dapat diisi oleh kelebihan pihak

lain, sebuah survey yang dilakukan VEDI R HADIZ (1999 : 43) terhadap

beberapa LSM diindonesia member gambaran bahwa masing-masing LSM

tersebut mempunyai kekuatan utama yang berbeda satu dengan yang lainnya.
78

Melalui pengembangan jaringan, kerja sama yang sinergis akan memberikan

hasil yang optimal. Sudah tentu agar kerjasam dapat terjalin diperlukan syarat

berikutnya yaitu kesetaraan dan saling percaya.

Pada dasarnya komitmen bersama yang bersumber dari kepedulian terhadap

masalah kesejahteraan sosial dapat menjadi energi sekaligus perekat dalam

mengembangkan forum komunikasi antar stakeholder.

Disamping itu, forum stakeholder juga dapat mengambil peran sebagai media

bagi terjalinnya komunikasi antar pihak. Dari komunikasi yang terjalin dapat

lebih dikembangkan saling pengertian tentang apa yang dapat dilakukan dan

diberikan oleh masing-masing pihak dari pihak yang lain. Dari proses ini

dapat diciptakan saling member masukan antar pihak serta kejelasan posisi

masing-masing dengan demikian hubungan kerja yang bersifat sinergis dapat

lebih diharapkan.
79

MATERI POKOK BAHASAN - 9

BEBERAPA KASUS MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

1. Pengantar

Sebagaimana diketahui masalah kesejahteraan sosial merupakan

kondisi yang tidak diinginkan karena mengandung unsur-unsur yang dianggap

merugikan baik dari segi fisik maupun non fisik bagi kehidupan masyarakat.

Lebih dari itu, dalam kondisi yang disebut masalah kesejahteraan sosial

tersebut juga sering terkandung unsur yang dianggap merupakan pelanggaran

dan penyimpangan terhadap nilai, norma dan standar sosial tertentu.

Masalah kesejahteraan sosial merupakan kondisi yang perlu diubah

dan diperbaiki, dengan demikian penanganan masalah merupakan suatu usaha

atau suatu proses untuk melakukan perubahan kea rah perbaikan. Dengan

demikian, tidak jarang bahwa berbagai kondisi yang dapat dikategorisasikan

sebagai masalah kesejahteraan sosial seperti kemiskinan, keterbelakangan

merupakan sesuatu yang mendorong dilaksanakannya perubahan.

Dilihat pada saat proses perubahan menuju kondisi yang lebih baik

sedang berlangsung, maka masalah kesejahteraan sosial dapat berposisi

sebagai hambatan yang dialami dalam proses tersebut.Proses perubahan dan

pembaruan menuju kondisi yang lebih baik lebih sejahtera jarang menghadapi

hambatan yang berasal dari kondisi masyarakat itu sendiri.Masalah


80

kesejahteraan sosial juga dimungkinkan dengan adanya lembaga-lembaga

kemasyarakatan yang secara formal ada, akan tetapi sebetulnya secara riil

sudah tidak berfungsi.

Pada sisi yang lain, masalah kesejahteraan sosial yang bersumber dari

disintegrasi sistem yang mebawa akibat kurang serasinya hubungan antara

komponen dapat mudah menimbulkan gejala cultural lag. Pejelasan lain untuk

melihat posisi masalah kesejahteraan sosial yang dapat menghambat proses

peningkatan kondisi masyarakat yang sejahtera adalah, adanya buntuk

masalah kesejahteraan sosial yang dialami oleh sebagian warga masyarakat

seperti masalah kriminal, kenakalan, penyalahgunaan obat dan sejenisnya.

Para penyandang masalah tersebut cenderung kurang dapat berpartisipasi

dalam ikut mengenakan kehidupan bermasyarakat, termasuk partisipasinya

dalam mewujudkan kondisi masyarakat sejahtera.

Posisi masalah kesejahteraan sosial dalam proses perubahan juga dapat

dilihat pada dimensi waktu setelah suatu program atau aktivitas penanganan

masalah dijalankan. Mengingat bahwa penangan masalah kesejahteraan sosial

merupakan suatu proses perubahan yang terencana menuju suatu kondisi yang

lebih baik, maka munculnya side effect negatif tersebut seolah-olah

merupakan hal yang kontradiktif. Walaupun demikian, kenyataan tersebut

paling tidak dapat dijelaskan melalui tiga hal (Soetomo, 1992: 74).

Pertama, walaupun sudah diusahakan untuk mencangkup semua aspek

yang terkait, akan tetapi mungkin saja dalam perencanaan yang dibuat, ada

salah satu atau beberapa aspek yang terlewatkan, sehingga pada tahap

pelaksanaan, munculnya masalah yang berkaitan dengan aspek tersebut tidak


81

masuk dalam kendali pelaksanaannya. Kedua,membuat rencana termasuk

merencanakan proses perubahan pada dasarnya mirip dengan membuat

sekenario terhadap hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan datang. Oleh

sebab itu untuk membuat rencana yang baik diperlukan kemampuan membuat

prediksi, munculnya side effect negatif yang tidak diperhitungkan sebelumnya

sebutulnya merupakan buntuk dari kelemahan prediksi. Ketiga, mungkin saja

asumsi, konsep dan teori yang mendasari perencanaan sudah mampu

memprediksi berbagai aspek yang ditimbulkan, akan tetapi karena

keterbatasan, terpaksa dipilih aspek tertentu yang menjadi prioritas.

2. Masalah kesejahteraan sosial Sebagai Inspirasi Perubahan (Kasus

Kemiskinan)

a. Intensitas dan Kompleksitas Masalah

Dalam konsep ekonomi misalnya, studi masalah kemiskinan akan

segera terkait dengan konsep standar hidup, pendapatan dan distribusi

pendapatan.Tidak kurang pihak-pihak lain yang justru lebih menampilkan

aspek non ekonomi, sebagai indikator yang dominan. Pandangan ini

menghendaki agar indikator pembangunan lebih melihat perbaikan kehidupan

dilihat dari aspek manusianya (improvement of human life), Dengan demikian,

pembangunan seharusnya diperuntukkan bagi semua pihak dan semua lapisan

masyarakat, serta paling tidak mengandung tujuan ;

1) memperbaiki hal-hal yang berkaitan dengan penopang hidup warga

masyarakat.

2) memperbaiki kondisi hidup yang memungkinkan terpenuhinya harga

diri.
82

3) adanya kebebasan, termasuk didalamnya kebebasan dari penindasan,

dari ketidakacuhan serta dari kesengsaraan dan kemelaratan (Goulet,

1973: 94).

Adanya berbagai variasi pendekatan dalam pengukuran tersebut

sekaliga juga menujukan bahwa kemiskinan dapat dilihat secara absolut dan

secara relatif. Secara absolut maksudnya tingkat kemiskinan diukur dengan

standar tertentu, sehingga kemudian dapat dikatakan bahwa mereka yang taraf

hidupnya dibawah standar yang ditentukan tersebut dikatakan miskin,

sebaliknya mereka yang berada diatas standar dinyatakan tidak miskin.

Dengan membandingkan jumlah penduduk yang berada di bawah standar

bedasarkan indikator yang digunakan pada priode sebelumnya dan sesudah

proses pembangunan, maka dapat diketahui keberhasilan dari proses tersebut

dalam upaya mengentaskan kemiskinan.

Oleh sebab itulah disamping adanya pengertian kemiskinan absolut,

dikenal juga pengertian kemiskinan relatif. Konsep yang terakhir ini

bertambah relevan digunakan dalam masyarakat yang sudah semakin terbuka

dan semakin berkembang. Pada umunnya orang berpendapat bahwa kondisi

kemiskinan tersebut telah memengaruhi secara negatif terhadap berbagai

aspek kehidupan masyarakat sehingga tidak jarang menciptakan suatu kondisi

yang disebut lingkaran yang tak berujung pangkal. Terciptanya kondisi

semacam ini akan semakin mempersulit masyarakat keluar dari masalah

kemiskinan.

Sementara itu Kartodirdjo (1987: 75) menempatkan dua jenis sindrom

kemiskinan dan sindrom inertia sebagai permasalahan pondok yang harus


83

dipecahkan dalam usaha pembangunan. Di daerah pedesaan, sindrom

kemiskinan berkaitan dengan berbagai dimensi yang saling memperkuat

seperti produktivitas rendah, pengangguran, tunahtanah, kurang gizi, tingginya

morbiditas, buta huruf. Sedangkan sindrom intertia berakar pada passivisme,

fatalisme, terarah ke dalam, serba patuh, ketergantungan. Dari berbagai

pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa masalah kemiskinan sering kali

sudah mengarah pada terjadinya komplikasi yang membuat lebih sulit untuk

melakukan penanganan yang tuntas. Paling tidak kondisi tersebut

mengisyaratkan perlunya penanganan yang bersifat komprehensif.

Pelajaran yang dapat dipetik dari tulisan Chamber tadi adalah bahwa

pemahaman dan penanganan masalah kemiskinan tidak bisa tidak perlu

melibatkan banyak aspek terutama ekonomis, sosiologis, psikologis dan

politis. Aspek ekonomis antara lain menyangkut terbatasnya pemilikan faktor

produksi, rendahnya tingkat upah, posisi tawar yang lemah dalam menentukan

harga, rentan terhadap kebutuhan mendesak karena tidak punya tabungan,

kemampuan yang lemah dalam mengantisipasi peluang ekonomi. Aspek

psikologis terutama berkaitan dengan perasaan rendah diri, sikap fatalisme dan

merasa terisolasi. Aspek sosiologis terutama rendahnya akses pelayanan

sosial, berbatasnya jaringan interaksi sosial dan terbatasnya penguasaan

informasi. Aspek politis antara lain berkaitan dengan kecilnya akses terhadap

berbagai fasilitas dan kesempatan, perlakuan diskriminatif, lemahnya posisi

dalam melakukan bargaining untuk menuntut hak dan kurangnya keterlibatan

dalam proses pengambilan keputusan.


84

Dengan demikian, menjadi miskin dirasakan telah mengalami

degradasi dan sering kali tidak merupakan lapisan yang terpilih dalam hidup

bertentanagan dan berteman. Bahkan dalam masyarakat kota yang lebih

bersifat individualistic dengan hasrat berprestasi yang lebih tinggi, di mana

faktor kerja dan memperoleh uang merupakan bagian penting dalam

kehidupan masyarakat, maka menjadi miskin dan kehilangan pekerjaan akan

mempunyai dampak sosiologis dan psikologis yang lebih berat. Keluarga

miskin sebagaimana juga keluarga pada umumnya merupakan lingkungan

sosial yang penting dimana anak-anaknya belajar dan memantapkan berbagai

norma sosial yang berlaku. Sehubungan dengan hal ini, kondisi keluarga

miskin sebagai lingkungan sosial kurang mendukung atau kurang membantu

terbentuknya watak atau sifat-sifat pribadi yang dapat mendobrak kemiskinan

(Saparinah Sadli dalam LP3ES, 1986: 128).

Kondisi yang dikatakan kurang kondusif tersebut terutama dilihat dari

situasi yang tidak mendukung proses belajar, kebiasaan hidup tidak teratur,

pemilihan aspirasi yang terbatas, kebiasaan mengundur pemuasan mendadak

dari kebutuhannya dan stigma yang mejadi cap sebagai keluarga miskin yang

akan berpengaruh bagi kepribadian anak. Sebuah hasil penelitian juga

menunjukan, bahwa tingkat pendidikan formal anak-anak keluarga miskin

pada umumnya rendah, bahkan banyak diantaranya yang tidak mampu

menyelesaikan tingkat pendidikan dasar. Dalam jangka panjang pewarisan

kemiskinan antara generasi ini juga didukung oleh proses sosialisasi nilai.

Situasi kemiskinan yang sudah terlalu lama mencekam suatu kelompok dapat

membentuk budaya kemiskinan sebagai suatu subbudaya yang kemudian


85

membentuk nilai-nilai khas yang erat hubungannya dengan masalah

kemiskinan dan usaha manusia untuk mengadaptasikan diri dengan situasi

tersebut (Susanto, 1984: 113)

b. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana sudah diuraikan dalam bab sebelumnya, untuk dapat

mengetahui sumber masalah kemiskinan dan untuk menjawaban siapa atau

apa penyebab kemiskinan, dijumpai ada dua jawaban yang berbeda. Yang

pertama menyatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi yang disebabkan

karena beberapa kekurangan dan kecacatan individual baik dalam bentuk

kelemahan biologis, psikologis, maupun kultural yang menghalangi seseorang

memperoleh kemajuan dalam kehidupannya. Jawaban kedua menunjuk faktor

struktural sebagai penyebabnya. Seseorang menjadi miskin karena berbeda

dilingkungan masyarakat yang mempunyai karakteristik antara lain: distribusi

penguasaan resources yang timpang, gagal dalam mewujudkan pemerataan

kesempatan memperoleh pendidikan, institusi sosial yang melahirkan berbagai

bentuk diskriminasi, perkembangan industri dan teknologi yang kurang

membuka kesempatan kerja.

Menurut pendekatan pertama, kemiskinan merupakan akibat dari sifat

malas, kurangnya kemampuan intelektual, kelemahan fisik, kurangnya

keterampilan dan rendahnya kemampuan menanggapi persoalan disekitarnya.

Dalam perkembanagan lebih lanjut, pandangan ini juga memusatkan faktor

individual lain yang berupa adopsi budaya kemiskinan dan rendahnya need for

achievement sebagai faktor penyebab kemiskinan (Hardiman and Midgley,


86

1982:51), Pendek kata kemiskinan lebih dilihat dari cacat dan kelemahan

individual.

Pendekatan kedua lebih melihat masyarakat ternasuk sistem dan

strukturnya sebagai penyebab masalah kemiskinan. Contoh yang sudah

disebutkan antara lain adalah kondisi sosial yang menghadirkan berbagai

ketimpangan, baik ketimpangan antara desa dan kota, antarlapisan masyarakat

termasuk antara jenis kelamin. Bagi negara-negara sedang berkembang,

masalah ketimpanagan distribusi pendapatan pada umumnya dijumpai pada

tahap-tahap awal proses pembangunan nasionalnya. Hal itu disebabkan karena

pada tahap tersebut perhatian lebih difokuskan pada usaha mengejar

pertumbuhan ekonomi yang pesat melalui peningkatan GNP.

Penjelasan secara ekonomi politik, lebih melihat masalah kemiskinan

sebagai akibat tidak meratanya pengusaan sumber daya dalam masyarakat.

Dengan perkataan lain, sistem sosial ekonomi yang berlaku memungkinkan

terkonsentrasinya kekuasaan dan sumber daya pada pihak tertentu. Kondisi

semacam ini dapat berlangsung baik pada skala sempit maupun skala yang

luas, dari tingkat lokal, nasional sampai internasional. Antara level satu

dengan yang lain dimungkinkan adanya saling berhubungan.

Dixon (1990:53) mengemukakan, bahwa ketimpangan pada level

internasional disebabkan oleh adanya eksploitasi negara penjajah terhadap

daerah jajahnya pada masa kolonial, sedang masa pascakolonial berupa

terjadinya proses pertukaran yang tidak seimbang antara negara maju dan

negara sedang berkembang yang antara lain berupa investasi dunia maju di

negara sedang berkembang yang kemudian diikuti mengalirnya repatriasi


87

profit dalam jumlah yang besar. Proses pada level internasional ini kemudian

menghasilkan pembagian negara-negara di dunia menjadi negara kaya dengan

negara miskin. Pada level nasional, ketimpanagan terjadi sebagai akibat proses

pertukaran yang tidak seimbang antara sektor pedesaan dan perkotaan. Salah

satu bentuknya adalah rendahnya harga produksi pertanian dan kebijakan

menekan harga bahan makanan agar tetap rendah sementara tidak demikian

halnya untuk barang hasil industri.

Pada tingkat desa ketimpangan lebih banyak disebabkan karena elite

lokal, pemilik tanah luas, pelepas uang dan lapisan pedagang di desa makin

mapan dalam penguasaan sumber daya. Di lain pihak, kemiskinan buatan

terjadi karena kelembagaan-kelembagaan yang ada membuat anggota atau

kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas

secara merata. Dilihat dari pengertiannya, konsep kemiskinan buatan ini dapat

identik dengan kemiskinan struktural. Sebagaimana di kemukakan oleh Selo

Soemardjan (dalam Alfian, 1980:5), kemiskinan struktural adalah kemiskinan

yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, yang mana karena struktur

sosial masyarakat tersebut, mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-

sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.

c. Penanganan Masalah

Dengan meminjam istilah medis dapat dikatakan, bahwa treatment

dalam menangani kemiskinan akan sangat ditentukan oleh diagnosis yang

telah dilakukan. Strategi pembangunan masyarakat dalam menangani

kemiskinan akan sangat dipengaruhi oleh pendekatan dalam memahami latar

belakang dan sumber masalahnya. Apabila kemiskinan dilihat sebagai akibat


88

dari cacat dan kelemahan individual, maka strategi yang digunakan untuk

pemecahannya akan lebih didekatkan pada usaha untuk mengubah aspek

manusia sebagai individu atau warga masyarakat.

Sementara itu, apabila kemiskinan dianggap merupakan akibat dari

kelemahan strktur dan sistem, maka strategi penanganan kemiskinan lebih

dititikberatkan pada perubahan sistem dan perubahan struktural. Kemiskinan

alamiah pada umumnya dicoba diatas dengan berbagai bentuk pembangunan

prasarana fisik, pemasukan modal dan pengenalan teknologi baru.

Dalam kaitannaya dengan pembangunan masyarakat desa, Long

(1977:144) mengetengahkan adanya dua pendekatan utama, improvement

approach dan transformation approach. Dalam penerapannya untuk

masyarakat desa, khususnya masyarakat pertanian, improvement approach

dimaksud sebagai usaha memperbaiki secara berangsu-angsur cara kerja

pertanian dengan jalan menggerakan petani dari segi psikologis dan teknis

guna untuk meningkatkan produksi tanpa perubahan radikal dalam sistem

sosial tradisional. Pendekatan ini tidak melakukan perubahan mendasar dalam

sistem dan struktur sosial sehingga memungkinkan kesinambungan dan

bertahannya institusi sosial dan sistem pemilikan tanah. Dibidang pertanian

pendekatan ini pernah diimplementasikan secara luas dalam bentuk revolusi

hijau, yang di Indonesia salah satunya diwujudkan dalam program Bimas dan

Inmas.

Dari yang kurang mensyaratkan perubahan struktural sampai yang

lebih mensyaratkan perubahan struktural, urutannya adalah: strategi

teknokratik, reformasi dan radikal. Berbicara tentang strategi pembangunan


89

masyarakat dalam dalam rangka pengentasan kemiskinan, agar lebih kena

dengan sasaran dan menyentuh kepentingan dan permasalahan langsung

lapisan miskin, maka tidak dapat diabaikan persoalan partisipasi mereka

dalam proses pembangunan yang dijalankan.

Bentuk yang pertama merupakan partisipasi dalam proses pengambilan

keputusan dalam kebijakan program yang akan dijalankan. Bentuk yang kedua

berupa partisipasi dalam perkembangan program. Dasar pemikiran adalah,

sebagai kelompok sasaran, lapisan miskin akan berkedudukan sebagai

konsumen program. Bentuk partisipasi ketiga lebih menekankan pada

keterlibatan dalam gerakan sosial, bentuk ini barangkali paling radikal dan

kontrovesial dibandingkan bentuk yang lain. Dalam konsep ini lapisan miskin

dilihat sebagai pihak yang tidak berdaya (powerless). Bentuk partisipasi

keempat yang biasanya dinilai sebagai bentuk yang paling tidak kontroversial,

berupa keterlibatan lapisan miskin di dalam berbagai pekerjaan.

Beberapa tentang system blame approach dalam rangka pengentasan

kemiskinan melalui pembangunan masyarakat, tidak dapat dilakukan untuk

menengok kembali pada kebijaksanaan pembangunan yang digunakan.

Dengan demikian, perubahan sistem yang dimaksud dapat berupa suatu

bentuk reorientasi kebijaksanaan pembangunan guna memperoleh pendekatan

yang paling tepat dalam menangani masalah kemiskinan. Mengingat bahwa

pembangunan masyarakat termasuk pembangunan masyarakat dalam rangka

pengentasan kemiskinan merupakan bagian integral dari pembangunan

nasional, maka reorientasi kebijakan yang dimaksud dapat dimulai dari

lingkup pembangunan nasional.


90

Walaupun demikian, di banyak negara diperoleh kenyataan bahwa laju

pertumbuhan yang mengesankan tersebut juga diikuti dengan masalah

ketimpangan relative dan kemiskinan absolute. Hal itu berarti bahwa hasil

pembangunan yang sudah berjalan belum dapat dinikmati secara merata oleh

seluruh lapisan masyarakat.

Disatu pihak mengatakan bahwa pada tahap awal pembangunan, antara

pertumbuhan dan pemerataan tidak dapat berjalan seiring. Ketimpangan dalam

pembagian pendapatan cenderung bertambah besar selama tahap-tahap awal

pembangunan, baru kemudian setelah tahap-tahap lebih lanjut dari

pembangunan, ketimpangan berbalik menjadi lebih kecil.

Berdasarkan kenyataan tersebut orang mulai berpikir untuk mencari

model pembangunan alternatif disamping strategi konvensional yang

berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Hal itu disebabkan karena

pertumbuhan ekonomi tidak lagi dapat dianggap sebagai obat mujarab yang

dapat menghapus kantong-kantong kemiskinan yang ada melalui tetesan

kebawah, pertumbuhan ekonomi secara agregat tidak identik dengan

lenyapnya kemiskinan, pertumbuhan ekonomi merupakan suatu syarat yang

harus dipenuhi (necessary condition), tetapi belum merupakan suatu syarat

yang mencukupi bagi terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi (The Kian

Wie,1981 a:103)

Oleh sebab itu wajar apabila orang berharap dapat mengawinkan

pertumbuhan dan pemerataan tersebut melalui strategi redistribusi dengan

pertumbuhan (redistribution with growth). Berkaitan dengan ketimpangan

desa-kota, strategi alternative yang diusulkan adalah bahwa porsi sumberdaya


91

pembangunan, tabungan, kredit, keahlian, uang, administrator dan kekuasaan

harus semakin melimpah ditumpahkan kedaerah pedesaan (Nasikun, 1991).

Secara umum strategi koreksi yang kemudian banyak direkomendasikan

adalah: strategi pembangunan yang berorientasi pada penciptaan lapangan

kerja, strategi yang berorientasi pada penghapusan kemiskinan dan strategi

yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar. Untuk maksud tersebut

selama dasawarsa 1970-an muncul tiga strategi dasar:

1) Bantuan disalurkan ketempat di mana mayoritas penduduk miskin hidup

melalui program pembangunan desa terpadu.

2) Bantuan dipusatkan untuk mengatasi cacat standar kehidupan orang-orang

miskin melalui program kebutuhan dasar manusia.

3) Bantuan dipusatkan kepada kelompok yang mempunyai ciri-ciri

sosioekonomi khusus melalui proyek-proyek yang sengaja dirancang

untuk masyarakat khusus tersebut (Rondinelli, 1990: 91).

Khususnya dalam rangka redesign pembangunan desa, Jhonston dan

Calrk (226-271); merekomendasikan strategi pembangunan desa yang

ibaratnya tombak bermata tiga, yaitu merupakan kombinasi program yang

berorientasi produksi, konsumsi dan organisasi. Program yang berorientasi

konsumsi terutama menyangkut aspek kesehatan, nutrisi dan keluarga

berencana. Sedangkan yang ketiga, berkenaan dengan orientasi organisasi

menekankan pada struktur intitusional dan prosedur manajerial, lebih lanjut,

masih banyak penduduk hidup dalam kondisi kemiskinan di tengah proses

pembangunan yang kurang tersentuh oleh program-program pembangunan

yang dijalankan.
92

Permasalahan yang kemudian tampil adalah kesenjangan antara

program-program pembangunan dengan kondisi, permasalahan dan kebutuhan

nyata dalam masyarakat. Pendekatan pembangunan semacam itu juga

dianggap kurang mengundang partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya.

Situasi yang menuntut segera terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi

mendorong pilihan pada strategi pembangunan yang mengutamakan efisiensi

dan kurang memberikan peluang bagi perencanaan yang bersifat partisipatoris

(Conyers, 1982: 133).

Atas dasar pemikiran itu, maka strategi alternative yang kemudian

ditawarkan adalah bukan pembangunan yang berorientasi produksi melainkan

pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centre oriented), bukan

program-program pembangunan yang bersifat uniform melainkan program-

program yang memperhatikan variasi lokal. Penelolaan sumber daya produktif

tidak dirancang dan dikelola secara terpusat, melainkan oleh masyarakat

sendiri.

Berdasarkan analisis tentang berbagai faktor yang melatar belakangi

dan dianggap sebagai sumber masalah kemiskinan tersebut, pada umumnya

strategi penanganan kemiskinan yang bersifat nasional diusahakan

menggunakan pendekatan yang komprehensif dan berusaha mengakomodasi

penanganan berbagai sumber masalahnya. Berkaitan dengan hal itu, terlepas

dari bagaimana implementasinya penanggulangan kemiskinan secara nsional

di Indonesia menggunakan beberapa strategi utama (Komite Penanggulangan

Kemiskinan, 2005:112). Kelima strategi utama tersebut adalah: (1) perluasan


93

kesempatan kepada kelompok miskin dalam pemenuhan hak-hak dasar dan

peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan, (2) pemberdayaan kelembagaan

masyarakat guna lebih memungkunkan partisipasi kelompok miskin dalam

pengambilan keputusan kebijakan publik, (3) peningkatan kapasitas untuk

mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha kelompok

miskin agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan, (4) perlindungan

sosial dan rasa aman terutama bagi kelompok rentan, (5) penataan kemitraan

global untuk menata ulang hubungan dan kerja sama dengan lembaga

internasional guna mendukung pelaksanaan strategi pertama sampai keempat.


94

MATERI POKOK BAHASAN - 10

MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL SEBAGAI HAMBATAN


PENINGKATAN KESEJAHTERAAN

Dalam hal ini bentuk masalah kesejahteraan sosial yang tampil dapat

berupa masalah pada level individu tetapi dapat pula level masyarakat atau

sistem. Yang termasuk jenis pertama adalah masalah kesejahteraan sosial yang

berkaitan dengan perilaku orang per orang sebagai anggota masyarakat seperti

tindakan kriminal, prostitusi, kenakalan serta berbagai bentuk penyalahgunaan

dan kecanduan obat. Sedangkan jenis yang kedua dapat berupa disintegrasi

sosial, masalah kependudukan dan kurang berfungsinya berbagai bentuk

aturan sosial. Dalam pembahasan lebih lanjut akan di bicarakan sebuah contoh

masalah kesejahteraan sosial berupa penyalahgunaan obat seperti narkotika,

alcohol beserta implikasinya seperti mabuk, teller dan kecanduan.

Jenis masalah kesejahteraan sosial tersebut dapat dilihat sebagai salah

satu hambatan usaha mewujudkan masyarakat sejahtera, terutama apabila

peningkatan kesejahteraan dipandang sebagai proses pendayagunaan sumber

daya dalam rangka pemenuhan kebutuhan guna peningkatan taraf hidup

masyarakat. Termasuk sebagai sumber daya yang memegang peranan penting

dalam proses tersebut adalah sumber daya manusia. Nilai strategis sumber

daya ini tidak semata-mata terletak pada segi jumlah atau kuantitas, melainkan

juga kualitas.

a. Intensitas dan Kompleksitas Masalah


95

Sebetulnya pada mulanya alkohol atau minum minuman beralkohol

lebih berkaitan dengan fisik. Dalam kedudukan seperti itu, maka efek yang

timbul juga terjadi pada segi fisik dan dalam batas-batas kewajaran tidak

menimbulkan dampak yang negative. Bentuk dan fungsinya kemudian tidak

sekadar sebagai sarana relaksasi terhadap kelelahan, tekanan batin, rasa apatis,

perasaan terisolasi, akan tetapi juga berfungsi sebagai sarana ritual dalam

rangka mengembangkan simbol solidaritas serta sebagai sarana untuk

jembatan dan pengakraban pergaulan.

Di satu pihak diagungkan sebagai kunci kegairahan dan kemuliaan,

sedang dilain pihak dianggap merupakan pemacu kesesatan moral

kemanusiaan dan penyebab utama penyakit sosial. Berdasarkan pemikiran

adanya ambivalensi itulah maka untuk aspek yang negatif digunakan konsep

penyalahgunaan, karena pada sisi lain dengan pemakaian yang wajar dan

proposional bahan itu memang bermanfaat. Ambivalensi nilai terhadap

alkohol tersebut muncul dari kenyataan bahwa alkohol dapat menjadi

pengubah perilaku. Modifikasi perilaku terjadi melalui proses pemabukan; hal

ini secara personal dan sosial merupakan sesuatu yang bersifat destruktif

terutama dilihat dari integrasi personal dan sosial.

Hal yang kurang lebih sama sebetulnya juga berlaku untuk bahan-

bahan kimia lain yang berada dalam kelompok obat-obatan (drug), termasuk

didalamnya bahan-bahan jenis narkotika, bahkan yang berasal langsung dari

bahan tumbuh-tumbuhan seperti ganja. Drug adalah sebangsa bahan kimia

yang dapat memengaruhi dan membawa efek pada fungsi dari struktur
96

organism tubuh. Seperti sudah disinggung sebelumnya, jenis-jenis drug ini

tadinya dimaksudkan untuk kesenangan dan obat.

Dampak lebih lanjut dari gejala kecanduan ini adalah seseorang akan

berkurang; kontaknya dengan diri sendiri, dengan orang lain dengan dunia

sekitar. Menurut Sheaef, sebetulnya gejala kecanduan ini tidak hanya berupa

kecanduan terhadap obat, tetapi juga kecanduan terhadap aktivitas tertentu.

Pada dasarnya seseorang menjadi kecanduan tidak secara tiba-tiba, akan tetapi

melalui suatu proses. Dengan mengambil kasus mariyuana, Becker (dalam

Soekanto, 1988: 40) mengatakan, bahwa pemakaian mariyuana merupakan

fungsi konsepsi individual mengenai mariyuana dan penggunaannya.

Tahap mempelajari teknik maksudnya adalah, bahwa seorang pemula

pada umumnya belum merasakan kenikmatan yang tinggi. Hal ini dapat:

disebabkan karena cara menghisapnya tidak benar atau dosisnya terlalu

rendah. Dengan demikan seseorang pemula harus mempelajari teknik terlebih

dahulu sehingga cara yang dipakai benar,sebagai persyaratan untuk

memperoleh kenikmatan walaupun teknik yang digunakan sudah benar, juga

belum menjamin untuk merasakan kenikmatan. Untuk itu harus melalui tahap

mempelajari efeknya. Melalui tahap ini bagi yang bersangkutan akan timbul

konsepsi bahwa mariyuana merupakan objek yang dapat menimbulkan

kenikmatan. Dengan demikian agar timbul konsepsi pada diri yang

bersangkutan perlu syarat adanya gejala dan pengakuan terhadap gejala

tersebut.

Adanya efek saja belum cukup, tanpa pemakaian menyatakan bagi

dirinya sendiri dan secara sadar menghubungkannya dengan mariyuana yang


97

dihisapnya. Pemakaian mariyuana cenderung akan terus timbul. Agar sensasi

yang ditimbulkan dapat dirasakan sebagai kenikmatan, butuh pengalaman.

Lebih lanjut, dilihat dari intensitas penggunaan, seseorang berproses

menjadi pecandu biasanya melalui tahap pemula, okasional dan rutin

(Soekanto, 1988:59). Tahap pemula merupakan tahap seseorang untuk

pertama kali melakukannya, tahap kedua sifatnya belum rutin tergantung pada

kesempatan untuk memperoleh dam melakukannya, sedangkan tahap ketiga

seseorang telah menggunakannya secara rutin.

Tidak jarang pada tahap ketiga ini yang bersangkutan sudah

kecanduan, karena sudah dianggap sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi,

walaupun barangkali harus memperoleh barangnya dengan cara yang sulit dan

melalui cara yang melanggar hukum.

Dari berbagai dampak dan implikasi perilaku mabuk apalagi sampai

kecanduan obat tersebut, dapat dipahami apabila potensinya sebagai sumber

daya manusia dalam pembangunan menjadi menurun. Sebagaiman dikatakan

Tjiptoherjanto (1989: 5) pengaruh tingkat kesehatan terhadap produktivitas ini

dapat terjadi melalui dua cara, yang pertama, melalui pengaruh langsung,

seperti misalnya manusia yang sehat akan mempunyai kapabilitas yang tinggi,

jangkauan umur yang lebih panjang dan masih banyak pengaruh yang lain.

Yang kedua, melalui pengaruh tidak langsung berupa kenyataan,

baahwa apabila orang tidak sakit maka akan mampu belajar lebih banyak,

lebih mungkin meningkatkan keterampilannya yang selanjutnya dapat

menghasilkan lebih banyak juga. Apalagi jika diingat, bahwa dalam

masyarakat yang semakin berkembang, lebih dibutuhkan inisiatif, kreativitas


98

dan kompetensi masyarakat sendiri untuk melaksanakan pembangunan.

Agaknya sikap yang demikian akan sulit diharapkan dari para penyandang

masalah penyalahgunaan dan kecanduan obat tersebut.

b. Latar Belakang Masalah

Perilaku penyalahgunaan obat dan kecanduan obat memang

merupakan deviasi pada level individu, walaupun demikian, sumber

pemasalahannya dapat berasal dan faktor individual maupun dari masyarakat

atau sistem. Seperti dikemukakan oleh Eitzen (1986: 411), ada lima variasi

perilaku individu yang menyimpang dilihat dari sumber masalahnya. Kelima

variasi tersebut adalah:

1) Terjadi pelanggaran norma dan nilai sosial oleh individu

2) Persepsi individu yang didasarkan pada proses sosialisasi

3) Masyarakat yang memberikan label seseorang sebagai devian

4) Peranan dari kekuatan dominan dalam proses kehidupan masyarakat

5) Struktur masyarakat sendiri yang menyebabkan seseorang warganya

melakukan deviasi.
99

MATERI POKOK BAHASAN - 11

MASALAH PENYALAH GUNAAN OBAT

Perilaku penyalagunaan obat dan kecanduan obat memang merupakan

deviasi pada level individu, walaupun demikian, sumber permasalahannya dapat

berasal dari factor individual maupun dari masyarakat atau system. Seperti yang

dikemukakan oleh Eitzen(1986: 411), ada 5 variasi perilaku individu yang

menyimpang dilihat dari masalahnya, kelima variasi tersebut adalah:

1. Terjadi pelanggaran norma dan nilai social oleh individu

2. Persepsi individu yang didasarkan pada proses sosialisasi

3. Masyarakat yang memberikan label seseorang sebagai devian

4. Peranan dari kekuatan dominan dalam proses kehidupan masyarakat

5. Struktur masyarakat sendiri yang menyebabkan seseorang warganya

melakukan deviasi.

Ada 3 hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan latar belakang

masalah dari factor sosialisasi ini yaitu:

a. Urbanisme yaitu suatu penjelasan yang berangkat dari argument karakteristik

dan kehidupan kota. Asumsi yang mendasarinya adalah kehidupan kota yang

cenderung impersonal dan anonym.

b. Melalui proses transmisi cultural yaitu penjelasan ini dapat menggunakan teori

Sutherland tentang proses asosiasi yang diferensial,( diferential associstion).

Melalui cara ini dapat dijelaskan mengapa seseorang menjadi jahat ,

sedangkan orang lain tidak, padahal berasal dari karakteristik yang sama,
100

misalnya masyarakat urban. Apabila lingkungan social yang paling dekat

berisfat devian, maka kuat kecenderungannya terjadi proses belajar tentang

teknik dan nilai devian, sehingga lebih memungkinkan terjadi tindak dan

perilaku criminal.

c. Penjelasan melalui realita perbedaan subkultur. Dalam hal ini penggunaan

obat merupakan suatu kebiasaan yang terintegrasi ke dalam subkultur tertentu.

Dengan demikian kebiasaan tersebut akan mewarnai pengalaman, gaya hidup

dan cara hidup masyarakatnya, walaupum menurut ukuran subkultur lain atau

pandangan masyarakat umum dianggap sebagai penyimpangan.

Dari uraian tentang ketiga sumber masalah melalui proses sosialisasi

tersebut, akan tampak walaupun sama-sama merupakan sumber masalah dari

factor individu( individual /person blame approach) perbedaannya dengan

pandangan biologis dan psikologis adalah bahwa teori sosialisasi lebih

menitikberatkan pada kekuatan factor eksternla yang mendorong individu menjadi

berperilaku devian. Contoh peranan dokter dalam penggunaan obat penenang,

peranan pelatih terhadap atletnya dalam penggunaan obat yang termasuk kategori

doping, peranan orang tua terhadap anaknya melalui proses pewarisan gaya hidup

serta kebiasaan mabuk, dan peranan teman dekat dalam bentuk penularan tingkah

laku melalui pergaulan yang akrab.

Lebih lanjut, sumber masalah pada level masyarakat atau pada level

system dan struktur juga dapat dijelaskan dalam berbagai variasi. Salah satunya

adalah penjelasan dengan menggunkan perspektif labeling. Menurut pandangan

ini, masyarakatlah yang membuat pemakai obay sebagai devian. Hal ini

disebabkan karena pemakaian obat sebagaimana bentuk perilaku yang lain berisfat
101

netral. Pada dasarnya label yang diberikan sangat ditentukan oleh interpretasi

masyarakat terhadap bentuk perilaku penyalagunaan dan kecanduan obat.

Oleh sebab itu, sebenarnya pola pikir tersebut juga dapat digunakan untuk

menjelaskan kenyataan bahwa tingkah laku yang sama dalam hal ini

penyalagunaan dan kecanduan obat merupakan sesuatu yang dilarang di suatu

masyarakat, akan tetapi pada masyarakat lain termasuk perilaku yang

diperbolehkan. Perbedaan interpretasi tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan

referensi yang digunakan, perbedaan kepentingan dan perbedaan konstelasi social

ekonomi dan politik. Apabila penggunaan obat dan kecanduan obat dianggap

sebagai deviasi, pada umumnya label yang diberikan dalam bentuk reaksi social

yang bersifat penolakan ( social reaction). Dengan adanya reaksi penolakan ini,

maka dapat dikatakan bahwa proses labeling merupakan factor krusial dalam

perkembangan karir divian. Dalam kasus ini, deviasi dapat dibedakan menjadi 2

yaitu:

1. Deviasi primer adalah penyalagunaan dan kecanduan obat yang dianggap

melanggar aturan dan kemudian mendatangkan label.

2. Deviasi sekunder adalah perilaku penyalagunaan dan kecanduan obat yang

tidak jarang semakin tinggi intensitas dan kualitasnya sebagai hasil proses

labeling.

Proses seperti itu dimungkinkan karena menjadi orang yang diberi label

devian berarti akan menaggung konsekuensi untuk ditolak atau paling tidak

dipersulit dan dijauhi dalam pekerjaan, dan berteman dan dalam pergaulan yang

lain. Apabila sampai pada kondisi seperti ini, maka perjalanan devian sudah

mencapai tingkat deviasi sekunder.


102

Tumbuhnya kesadaran akan identitas diri sesuai label yang diberikan

masyarakat serta tindakan berhimpun untuk melakukan aktifitas di luar system

bahkan melawan system ini oleh sementara pihak diidentifikasi berada pada

tingkat deviasi tersier. Walaupun demikian, memang tidak dapat disangkal adanya

alternative lain dari proses labeling tersebut. Tidak jarang terjadi, penyalagunaan

obat yang sama memperoleh label yang berbeda, karena pelakunya berasal dari

lapisan social yang berbeda. Dalam hal yang demikian dapat ditafsirkan bahwa

perbedaan pengaruh dan power akan dapat memengaruhi label yang diterima dari

masyarakat.

Cara lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan latar belakang masalah

penyalagunaan dari dimensi structural adalah melalui pandangan konflik nilai.

Hampir sama dengan cara labeling, masalah social termasuk didalamnya

penyalagunaan dan kecanduan obat dilator belakangi dari tidak adanya

kesepakatan tentang definisi ini disebabkan oleh adanya perbadaan nilai yang

dianut bahkan sering kali juga terkait dengan perbedaan kepentingan. Suatu

masyarakat tidak selalu homogeny, akan tetapi sering juga dijumpai yang bersifat

heterogen. Masyarakat dapat terdiri dari banyak kelompok yang berbeda, yang

masing-masing mempunyai pandangan dan kepentingan yang berbeda.

Hal seperti ini terutama akan banyak ditemukan dalam masyarakat

majemuk yang tidak hanya bersifat kompleks dari sudut ekonomi dan kepentingan

ekonomi tetapi juga mengandung keanekaragaman etnis, cultural, agama dan gaya

hidup yang sering kali menciptakan keanekaragaman nilai.

Manifestasinya terjadi dalam halperilaku penyalagunaan obat tertentu,

oleh kelompok tertentu dianggap sebagai suatu hal yang wajar, sedangkan oleh
103

kelompok lain dianggap sebagai suatu perbuatan tercela. Permasalahannya tidak

berhenti sampai disitu, karena masing-masing pihak berjuang agar definisi

berdasarkan nilai kelompoknya itulah yang kemudian berlaku untuk seluruh

masyarakat.

Selain pendekatan yang sudah diuraikan tadi, penjelasan ekonomi politik

sering kali juga digunakan untuk memahami sumber masalah pada level

masyarakat, khususnya struktur sosialnya. Penjelasan ekonomi politik ini terutama

digunakan berkaitan dengan kenyataan sering adanya inkonsistensi dalam

kebijakan yang berkaitan dengan penyalahgunaan dan kecanduan obat. Seperti ;

berupa kebijakan memperkenankan penggunaan beberapa jenis drug dan melarang

bahkan menghukum penggunaan jenis-jenis yang lain.

Masalah lain yang muncul dilihat dari pendekatan ekonomi politik ini

dikemukakan Eitzen (1986:521) tentang kasus Amerika Serikat. Dalam kasus ini

diinformasikan bahwa pendekatan hukum yang bersifat represif di USA sejak

awal 1900-an yang merupakan hasil usaha kelompok masyarakat yang menganut

nilai antidrug telah menciptakan kelas criminal pemakai obat-obatan tertentu.

Pelacakan sumber dan latar belakang masalah penyalahgunaan obat dari

leve masyarakat yang sudah dibicarakan tersebut pada umumnya menggunakan

pandangan structural yang di dalamnya terkandung perbedaan nilai dan perbadaan

kepentingan. Pandangan tersebut dapat dibagi 3 yaitu:

1. Terpusat pada kelompok(group centered) yaitu bahwa masalah

penyalahgunaan obat bukan disebabkan karena individu yang immoral atau

kurangnya koordinasi dalam norma dan aturan, melainkan lebih merupakan

fungsi dari adanya berbagai segmen dalam masyarakat.


104

2. Evaluative yaitu definisi tentang penyalahgunaan obat tidak dilakukan dalam

orientasi yang netral dan obyektif.

3. Orientasi tindakan action oriented) yaitu masing-masing pihak akan berusaha

untuk mempertahankan legitimasi berdasarkan nilai dan kepentingannya.

Blame approach juga dapat dilakukan dengan melihat sistemnya sebagai

suatu kesatuan. Masalah penyalahgunaan obat barangkali dapat dikenal sebagai

dampak dari system yang kurang memberikan peluang, sarana dan saluran bagi

warga masyarakat guna memenuhi berbagai aspirasi dan kebutuhannya.

Sebagaimana diketahui, masalah social dapat terjadi akibat tidak adanya

keseimbangan antara kebutuhan dan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan

( Wirjosumarto, 1973: 20).

Pendapat Maslow ( Eitzen , 1986: 10) tentang berbagai variasi kebutuhan

seperti kebutuhan fisik (penopang hidup), rasa aman, dukungan kelompok, harga

diri, memperoleh penghargaan dan aktualisasi diri. Pandangan Goulet (1973: 94),

tentang tujuan pembangunan yang meliputi hal-hal yang berkaitan dengan

penopang hidup, harga diri dan kebebasan dari penindasan, ketidakacuhan,

kesengsaraan, kemelaratan, dapat memperjelas hal ini. Salah satu bentuk caranya

adalah melalui alcohol dan pemakaian obat tertentu yang dalam jangka panjang

dapat mengakibatkan masalah mabuk, teller dan kecanduan dengan segala

implikasi negative lain yang menyertainya. Sebagai akibatnya terjadi gejala

formalism yang berdampak pada lemahnya fungsi control dan pengendali

termasuk pada berbagai bentuk penyimpangan perilaku.


105

C. Penanganan Masalah

Penanganan masalah merupakan langkah yang mengikuti definisi atau

identifikasi masalah dan diagnosis masalah. Dengan demikian identifiksi masalah

juga berfungsi mengangkat masalah, yang latent ini kepermukaan sehingga

segera mengundang penanganan lebih lanjut. Identifikasi dan definisi masalah

mendorong dilakukannya diagnosis dan selanjutnya upaya penanganan masalah,

maka dapat dimengerti bahwa langkah-langkah pemecahan masalah social sangat

ditentukan oleh hasil diagnosis yang telah dilakukan. Apabila diagnosis

menggunakan individual/person blame approach, maka upaya penanganannya

juga bersifat pembinaan terhadap penyandang masalah.

Salah satu sumber masalah dari level individu yang sudah dikemukakan

dalam latar belakang adalah proses sosialisasi individu. Apabila lingkungan

asosiasi yang paling dekat bersifat devian, maka akan mempunyai potensi besar

bagi kecenderungan perilaku devian. Melihat latar belakang seperti ini maka

penanganan juga melalui cara interaksi dalam kelompok. Ada dua cara

penanganan seperti ini, keduanya mengacu pada teori asosiasi diferensial yang

dikembangkan Sutherland yaitu:

a. Alcoholics Anonymous yang dikembangkan oleh Milton A Maxwell

( Weinberg, 1981: 152). Model ini memang tidak secara eksplisit

menyebutkan teori asosiasi deferensial sebagai landasannya. Walaupun

demikian, mengikuti pola pikir yang terkandung di dalamnya, model ini

memang cenderung merupakan implementasi dan pengembangan lebih lanjut

dari teori Sutherland. Maxwell menggambarkan model ini sebagai suatu

subkultur baru dengan aturan dan nilai tersendiri, dimana pecandu alcohol
106

belajar melalui kontak face to face dengan anggota yang lain yang dilakukan

melalui pengaruh peer group dengan asosiasi gaya hidup yang tidak menyukai

minum alcohol apalagi sampai mabuk dan kecanduan.

b. Model yang dikembangkan oleh Volkman dan Cressy melalui lima prinsip

rehabilitasi ( Weinberg, 1981 :156-168). Cara yang dikembangkan tersebut

kemudian dikenal dengan group therapy, therapeutic communities atau total

institution. Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa masyarakat

seharusnya ikut serta dalam upaya rehabilitasi para pecandu alcohol dan

menempatkan mereka secara layak dalam masyarakat, serta menjauhkan

mereka dari lingkungan yang akan memengaruhi mereka kembali

menggunakan obat atau minuman beralkohol. Caranya adalah melalui

asimilasi ke dalam kelompok yang kondusif terhadap perilaku yang mematuhi

hokum dan sebaliknya dijauhkan dari kelompok yang dapat mendorong tindak

dan perilaku menyimpang.

Ada 5 prinsip yang perlu diikuti dalam proses rehabilitasi melalui

kelompok yaitu:

 Admission yaitu tidak setiap pecandu obat secara otomatis diterima dalam

kelompok. Hanya mereka yang betul-betul berminat untuk masuk dalam

kelompok, menyadari kesalahan perilakunya sebagai pemakai dan pecandu

obat serta bersedia menerima dan menaati norma kelompok, yang dapat

diterima dan bergabung dalam kelompok.

 Indoctrination yaitu rehabilitasi memengaruhi anggota untuk mengadopsi nilai

dan sikap tertentu, dalam hal ini adalah sikap antipenyalahgunaan obat,

kecanduan obat, dan antimabuk.


107

 Group cohetion yaitumelalui kelompok yang kohesifdimungkinkan hubungan

saling memengaruhi satu terhadap lainnya khususnya dalam hal ketaatan

terhadap norma kelompok.

 Status ascription baik anggota kelompok yang merupakan pecandu obat

maupun yang bukan, meraih status dalam kelompok berdasarkan tingkat

penampilannya yang antipenyalahgunaan obat dan anti mabuk.

 Synanon adalah sebagai mekanisme yang efektif untuk rehabilitas melalui

kelompok.

Penanganan masalah penyalahgunaan dan kecanduan obat sering juga

dilakukan dengan mengefektifkan sarana pengenadalian social termasuk

didalamnya melalui peraturan hokum yang bersifat represif. Beberapa alternative

diusulkan Lemert(1967: 78), yaitu:

a) Melalui system hUkum koersif yang menyatakan bahwa pembuatan, distribusi

dan pengonsumsian jenis obat tertentu dan minuman beralkohol sebagai

tindakan yang illegal.

b) Melalui system indoktrinasi berupa informasi tentang konsekuensi, bahaya

penggunaan obat tertentu atau minuman beralkohol dengan tujuan agar

pengguna jenis obat dan alcohol tadi dilakukan secara wajar dan tidak

berlebihan atau bahkan masyarakat menjadi terpantang terhadaap jenis obat-

obat tersebut.

c) Melalaui peraturan tentang jenis obat dan minuman beralkohol yang dapat

dikonsumsi, standar harganya, cara distribusinya, saat dan tempat yang

diperkenankan untuk menggunakannya dan kalangan yang boleh


108

mengonsumsi berdasar umur, jenis kelamin, serta karakteristik social ekonomi

lainnya.

d) Melalui substitusi minuman lain yang dianggap lebih aman tetapi ekuivalen

dengan jenis yang larang.


109

MATERI POKOK BAHASAN - 12

MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL SEBAGAI EFEK SAMPING


PERUBAHAN ( KASUS LINGKUNGAN HIDUP)

1. Pengantar

Efek sampingan yang terjadi dapat bersumber dari dimensi social maupun

fisik. Yang berasal dari dimensi social misalnya memudarnya nilai-nilai social

masyarakat, merosotnya kekuatan mengikat berbagai norma-norma social

sehingga menimbulkan bentuk perielaku menyimpang serta ketergantungan

masyarakat terhadap pihak lain sebagai akibat system intervensi pembangunan

yang kurang proporsional. Selo Soemarjan dalam kata pengantar untuk buku

Colleta dan Umar Kayam (1987) mengemukakan bahwa di asmping hasil-hasil

yang cukup menggembirakan dalam pembangunan ekonomi gaya modern,

masyarakat di Negara sedang berkembang merasakan kemerosotan yang tidak

mengenakkan dari identitas budaya mereka.

Walaupun demikian, dalam kenyataannya keluasan dan intensitas

perubahan lingkungan selalu lebih besar daripada yang direncanakan. Oleh sebab

itu, dilihat dari perubahan lingkungan tersebut, dikenal adanya efek sampingan

dari proses pembangunan yang dapat bersifat positif maupun negatif.

A. Intensitas dan Kompleksitas Masalah

Eitzen (1986: 91), mengemukakan adanya beberapa factor dari kekuatan

social atau manusia dan perilakunya yang berpengaruh terhadap hadirnya masalah

pencemaran dan kelestarian lingkungan. Factor tersebut adalah:

2. Pertumbuhan penduduk yang pesat dan mengakibatkan meningkatnya

permintaan akan makanan, energy dan beberapa produk yang lain.


110

3. Konsentrasi penduduk di daerah perkotaan menyebabkan berbagai limbah

yang harus diserap oleh ekosistem dan lingkungan.

4. Proses pembangunan dan modernisasi yang meningkatkan penggunaan

teknologi modern dan pola konsumsi.

Secara sangat jelas, Salim (1986: 21) bahwa hal itu melalui beberapa

dampak lingkungan dari pendekatan pembangunan yang menggunakan pandangan

aliran klasik dan neoklasik yaitu:

a. Mekanisme pasar bekerja tanpa pertimbangan lingkungan hidup. Dengan

demikian, teknologi produksi dan pola konsumsi dikembangkan tanpa

memperhitungkan pengaruhnya terhadap lingkungan.

b. Tumbuh-tumbuhan, binatang, zat dan benda mati yang tidak atau belum

diketahui manfaatnya saat ini akan luput pula dari perhitungan ekonomi

pembangunan, sehingga kemusnahannya tidak dirasakan sebagai kerugian.

c. Setiap sumber alam diolah tanpa keharusan memperbaruinya kembali

walaupun termasuk jenis renewable resources.

d. Berbagai bentuk sampah, kotoran dan limbah sebagai hasil kegiatan industry

tidak masuk biaya perusahaan, demikian juga beban yang diderita pihak lain

sebagaia akibatnya.

Eitzen (1986: 94), membedakan berbagai bentuk pencemaran sebagai

berikut:

1. Pencemaran udara yang dapat berasal dari asap mobil, asap pabrik, asap

pembakaran minyak, asap pembakaran sampah.


111

2. Pencemaran air yang bersumber dari pembuangan limbah industry ke sungai,

danau, laut atau limbah berbagai jenis pestisida dan pupuk yang digunakan

petani.

3. Pencemaran kimiawi berupa pencemaran produksi bahan-bahan sintetis yang

digunakan sebagai bahan dterjen, pupuk, pestisida, plastic, pakaian.

4. Limbah padat yang berupa sampah buangan kegiatan individu atau bisnis

tertentu.

5. Polusi panas berupa peningkatan temperature iar dan panas atmosfer yang

disebabkan oleh berbagai ulah manusia.

Selain dari jenis-jenis pencemaran, keluasaan pencemaran dan kelestarian

alam juga dapat dilihat dari berbagai dimensi yaitu dimensi waktu karena

masalahnya tidak hanya dirasakan pada saat itu akan tetapi terutama di masa

mendatang seperti erosi, banjir, abrasi air laut, gangguan kesehatan sebagai akibat

berbagai bentuk pencemaran sudah mulai dapat dirasakan saat ini, dimensi ruang

karena masalah ini dapat terjadi dalam kawasan manapun, baik itu kota maupun

desa. Masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan juga merupakan persoalan

dalam ruang lingkup nasional karena menyangkut keberhasilan pembangunan

nasional, khususnya keberhasilan dalan jangka panjang, agar kesejahteraan yang

lebih baik dapat juga dinikmati oleh generasi mendatang.

Kesimpulan pokoknya adalah: jika kecenderungan-kecenderungan

sebagaimana diperlihatkan di masa lampau diteruskan, dunia akan melampaui

batas-batas kemampuannya untuk berkembang dalam beberapa generasi lagi dan

akan mengalami bencana(MT Zen dalam Meadow dkk, 1980: xxv)


112

B. Latar Belakang Masalah

Untuk kasus Indonesia Salim(1986: 171), mengemukakan 4 faktor yang

memengaruhi yaitu; jumlah, kualitas dan lokasi penduduk, teknologi yang

dipakai, sifat sumber alam(dapat diperbaharui atau tidak) dan pola hidup yang

mengonsumsi sumber alam. Sikap manusia terhadap teknologi memengaruhi

intensitas serta keluasan masalah pencamaran dan kelestarian lingkungan melalui

cara bagaimana manusia berhubungan dengan alam. Paling tidak ada 3 hubungan

tersebut antara lain:

1. Manusia melihat alam sebagai kekuatan besar yang dapat mengendalikan

kehidupan manusia, oleh karenanya manusia tunduk kepadanya.

2. Melihat hubungan dalam keseimbangan, manusia membutuhkan alam dan

alam membutuhkan manusia.

3. Manusia dengan segala kemampuannya mencoba menguasai alam.

Menurut Mochtar Lubis( dalam Mangunwijaya, 1985:7), inti persoalannya

adalah kenyataan bahwa kemajuan teknologi telah tidak dibarengi dengan

kemajuan kebudayaan. Dengan kemajuan kebudayaan seiring dengan kemajuan

teknologi dapat dikembangkan daya analisis dan sikap kriti terhadap teknologi.

Perkembangan manusia memengaruhi hadirnya masalah lingkungan hidup

berkiatan dengan perubahan cara manusia dalam memanfaatkan alam.

Paham materialism berkaitan dengan masalah pencemaran dan kelestarian

lingkungan oleh karena pahham ini menempatkan aspek materi sebagai symbol

sukses seseorang. Oleh sebab itu orang akan terdorong untuk mengumpulkan dan

memiliki serta menguasai. Paham individualism juga ditunjuk sebagai salah satu

sumber masalah dari sudut kultur, karena paham ini sangat kuat mendorong
113

berkembangnya personal achievement. Hal yang sama juga terjadi untuk

kebutuhan air, kebutuhan air akan semakin meningkat termasuk diverifikasi

penggunaannya seperti air minum, irigasi, industry, dan rekreasi. Selain jumlah

dan masalah pertambahan penduduk, masalah kosentrasi penduduk pada kawasan

tertentu juga dapat menimbulkan masalah. Akhirnya, stratifiksi social juga

ditunjuk sebagai sumber masalah terutama menyangkut sering adanya bias dan

inkonsistensi dalam mendefinisikan masalah pencemaran dan kelestarian

lingkungan di antara pelaku yang berbeda stratifikasi sosialnya.

C. Penganan Masalah

Berdasarkan beberapa sumber masalah yang telah diidentifiksinya, Eitzen

(1986: 11) menawarkan 3 alternatif untuk menangani masalah pencemaran dan

kelestarian lingkungan. Ke-3 alternatif tersebut adalah:

a. Reduksi secara sukarela melalui mekanisme pasar yaitu membiarkan

terjadinya mekanisme permintaan dan penawaran.

b. System hokum yang berfungsi sebagai pengendalian yaitu penanganan yang

cenderung represif. Pemerintah menggunakan premis bahwa pencemaran

lingkungan merupakan kejahatan masyarakat yang tidak dapat ditoleransi.

c. Memerangi langsung terhadap pencemaran yaitu dilaksanakan dengan jalan

melakukan perencanaan untuk mencegah pencemaran dan menjalankan

konservasi.

Pengertian dan definisi secara umum dari konsep tersebut adalah suatu

cara atau strategi pembangunan yang memaksimalkan keuntungan dalam jangkah

panjang dan menghindari eksploitasi sumber daya alam secara maksimal yang

hanya memberikan keuntungan jangkah pendek (Ascher and Healy, 1990: 5).
114

Selanjutnya mereka menambahkan, bahwa prasyarat bagi usaha pembangunan

melalui strategi tersebut adalah konservasi sumber daya hidup yang meliputi:

1. Memelihara proses ekologi yang esensial dan system penopang hidup

2. Mengawetkan dan melindungi aneka ragam genetika

3. Pemanfaatan yang berkelanjutan dari berbagai spesies dan ekosistem.

Bertolak dari masalah-masalah pencemaran dan kelestarian ( Garbarino,

1992:5) dia mengetengahkan 4 faktor yang dapat menentukan terwujudnya

masyarakat yang berkelanjutan ( sustainable society) yaitu:

 Koreksi terhadap pola kependudukan yang kurang mendukung

 Inovasi teknologi diarahkan untuk mengurangi factor pembatasan sumber

daya alam dengan cara menciptakan subtitusi yang melimpah dari sumber

daya alam yang langkah.

 Gaya hidup masyarakat kota yang industrial disesuaikan guna pengembangan

manusia jangka panjang

 Situasi yang menawarkan prospek jangkah panjang bagi terciptanya keadilan.

Dengan demikian, tujuan akhir dari intervensi yang dilakukan baik dalam

bentuk pelayanan, maupun bantuan materi adalah tumbuhnya aktifitas masyarakat

yang mandiri. Untuk mencapainya dibutuhkan lembaga kemasyarakatann yang

mandiri pula. Analisis dan pembahasan yang sudah disampaikan diharapkan

dapat memberikan gambaran tentang berbagai factor yang harus diperhatikan

apabila kita akan memasukkan dan mengintegrasikan isu lingkungan hidup ke

dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Dalam formulasi yang lain

walaupun esensinya tidak banyak berbeda, Purba (2002:18) mengemukakan 5


115

prinsip utama pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan

antara lain:

 Keadilan antargenerasi

 Keadilan dalam satu generasi

 Pencegahan dini

 Perlindungan keanekaragaman hayati

 Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme intensif


116

MATERI POKOK BAHASAN – 13

MASALAH KESEJAHTERAAN KELUARGA, ANAK DAN


LANJUT USIA

Dasar-dasar pengetahuan tentang keluarga


A. Pengertian keluarga
Beberapa pengertian keluarga :
 Secara sosiologis keluarga adalah : kelompok orang yang memiliki
hubungan darah atau hubungan perkawinan. Orang-orang yang termasuk
keluarga adalah ibu, bapak, dan anak-anaknya.
Seseorang yang tidak melangsungkan perkawinan dan hanya berkumpul
bebas (free sex; kumpul kebo) dapat juga disebut keluarga.
 Secara yuridis keluarga adalah seseorang yang telah melangsungkan
perkawinan dengan mengikuti aturan hukum yang berlaku.
 Keluarga diartikan sebagai suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau
lebih yang diikat oleh ikatan darah, perkawinan atau adopsi serta tinggal
bersama.
 Menurut Mac Iver and Page, family is a group defined by a sex relationship
sufficiently precise and enduring to provide for the procreation and
upbringing of children.” (Keluarga adalah suatu kelompok yang
digambarkan oleh suatu hubungan seks yang tepat dan cukup lama untuk
menyediakan pengasuhan dan kreasi bagi anak)
 Eliot and Merill mengatakan, keluarga adalah “…a group of two or more
persons residing together who are related by blood, marriage, or
adoptions. (suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang
tinggal bersama-sama yang terkait oleh darah, perkawinan, atau adopsi.)
 Bogardus mengatakan bahwa “The family is a small social group, normally
composed of a father, a mother, and one or more children, in which
affection and responsibility are equitably share and in which the children
are reared to become self controlled and socially motivated persons.”
(Keluarga adalah suatu kelompok sosial kecil, yang secara normal terdiri
atas seorang bapak, ibu, dan satu atau lebih anak, di mana kasih sayang dan
117

tanggung jawab secara berimbang berbagi dan di mana anak-anak


dibesarkan untuk menjadi dirinya sendiri yang dikendalikan dan secara
sosial termotivasi oleh orang-orang-di sekitarnya).
 Zastrow mengatakan bahwa : “Family is a group of people related by
marriage, ancestry, or adoption who live together in a common
household”. (Keluarga adalah sekelompok orang yang terkait oleh
perkawinan, jalur keluarga, atau adopsi yang tinggal bersama-sama dalam
suatu rumah tangga).
 Horton dan Hurt memberikan pilihan dalam mendefinisikan keluarga,
yaitu :
1. Suatu kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama.
2. Suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah dan
perkawinan.
 Menurut A.M. Rose, “a family is a group of interacting persons who
recognize a relationship with each other based on common parentage,
marriage, and/or adoption”. (keluarga adalah sekelompok orang yang saling
berinteraksi yang mengenali hubungan satu sama lain berdasar pada asal
usul-orang tua, perkawinan, dan/atau adopsi.
 Dari beberapa definisi tentang keluarga tersebut di atas dapat disimpulkan
intisarinya, bahwa :
1. Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil yang umumnya terdiri
dari ayah, ibu dan anak.
2. Hubungan sosial diantara anggota keluarga relatif tetap dan didasarkan
atas ikatan darah, pekawinan, dan/atau adopsi serta tinggal bersama.
3. Hubungan antar anggota keluarga dijiwai oleh suasana kasih sayang dan
rasa tanggung jawab.
4. Fungsi keluarga ialah merawat, memelihara dan melindungi anak dalam
rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan
berjiwa sosial.

B. CIRI-CIRI KELUARGA
118

Ciri-ciri yang terdapat pada keluarga dalam bentuk dan tipe apapun adalah
sebagai berikut :
 Mempunyai hubungan yang hangat dan lebih intim.
 Kooperatif.
 Face to face.
 Masing-masing anggota memperlakukan anggota lainnya sebagai
tujuan bukannya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Ciri-ciri Umum :
 Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan
perkawinan, darah, atau adopsi.
 Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah
satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga; atau jika mereka
bertempat tinggal, rumah tangga tersebut menjadi rumah mereka.
 Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan
berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi suami dan
istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan saudara
perempuan.
 Keluarga adalah suatu media pemelihara kebudayaan bersama, yang
pada hakekatnya diperoleh dari kebudayaan umum, tetapi pada masyarakat
yang kompleks masing-masing keluarga mempunyai ciri-ciri yang berlainan
dengan keluarga lainnya.
Ciri-ciri Khusus :
 Kebersamaan
 Dasar-dasar emosional
 Pengaruh Perkembangan
 Ukuran yang terbatas
 Posisi Inti dalam struktur sosial
 Tanggung jawab para anggota
 Aturan kemasyarakatan
 Sifat kekekalan dan kesementaraannya
119

C. BENTUK-BENTUK KELUARGA
 Keluarga inti, dapat didefinisikan dengan keluarga atau kelompok
yang terdiri dan ayah, ibu dan anak-anaknya yang belum dewasa atau belum
nikah/kawin.
 Keluarga besar/luas, adalah suatu keluarga yang meliputi lebih dari
satu generasi dan suatu lingkungan kaum keluarga yang lebih luas daripada
hanya ayah, ibu dan anak-anaknya. Dengan adanya suatu perkawinan baru,
maka anakna yang memisahkan diri dari orang tuanya atau keluarga intinya.
Hmile Durkheim menyebut conjugal family, yaitu suatu inti dari pasangan
suami istri dan keturunan-keturunan mereka yang dilingkungi oleh lapisan-
lapisan keluarga yang agak jauh.

D. FUNGSI KELUARGA
 Fungsi keluarga menurut Dubois dan Miley, terdiri dari fungsi
economic production (produksi ekonomi), childbearing (mampu
melahirkan), chil-rearing (membesarkan anak), education (pendidikan),
and socialization (sosiaisasi). Sementara kelembagaan masyarakat juga
bertanggung-jawab terhadap education (pendidikan), maintenance of healt
(institusi kesehatan), and the distribution of goods and services (distribusi
barang dan jasa).
 Menurut Khairuddin fungsi pokok keluarga yang sulit dirubah dan
diganti oleh orang lain adalah fungsi biologik, fungsi afeksi, dan fungsi
sosialisasi. Sedangkan fungsi yang relatif lebih mudah berubah adalah :
fungsi ekonomi, fungsi perlindungan, fungsi pendidikan, fungsi rekreasi,
dan fungsi religi.
 BKKBN menggagas fungsi keluarga yang perlu
ditumbuhkembangkan dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarganya,
antara lain adalah : fungsi keagamaan, fungsi budaya, fungsi cinta kasih,
fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan,
fungsi ekonomi, dan fungsi pembinaan lingkungan.
 Zastrow menggambarkan fungsi sosial keluarga sebagai berikut:
120

a. Replace of population (pembaharuan populasi), aspek-aspeknya meliputi


kepemilikan anak serta pengaturan jumlah anak.
b. Care of the young (perawatan anak), meliputi kebutuhan akan nutrisi,
pakaian serta perawatan kesehatan.
c. Socialization of new members (sosialisasi), meliputi penerapan nilai-nilai
agama, nilai dan norma keluarga, nilai dan norma masyarakat.
d. Regulation of sexual behavior (regulasi prilaku seks), penanaman
pemahaman seks bagi anggota keluarga, serta pengaturan seks bagi
pasangan suami istri.
e. Source of affection (sumber kasih sayang), meliputi rasa aman, rasa
memiliki, memberikan perhatian dan dukungan, serta mendorong
mendapat kesempatan dan pengalaman.
 Sheafor A Hotrejsi (2003) mencatat, pada umumnya fungsi keluarga
meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Pengasuhan dan sosialisasi.
2. Menciptakan suasana intim dan rasa memiliki bagi anggota-anggotanya
seperti penerimaan dan cinta.
3. Menyediakan suatu tempat yang dapat menjamin privasi anggota
keluarganya.
4. Menyediakan lingkungan yang aman secara emosional bagi pasangan
suami istri untuk mengekspresikan hubungan seksualnya.
5. Memberikan identitas sosial dan hukum bagi anggota keluarganya seperti
hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak dan tanggung jawab pengasuhan.
6. Melayani sebagai suatu unit ekonomi seperti membuat keputusan yang
berkaitan dengan pembelanjaan, pelayanan, anggaran, rencana masa
depan, tatalaksana dan perawatan harta dan kekayaan.
7. Melindungi, membantu dan merawat anggota keluarga yang tidak
mampu merawat diri sendiri seperti anak-anak, anggota yang sakit atau
cacat.
8. Melayani sebagai suatu advokasi bagi anggota-anggota keluarga yang
membutuhkan sumber-sumber, seperti orangtua berusaha memperoleh
121

pendidikan yang sesuai bagi anaknya atau berusaha mencari pelayanan


medis yang dibutuhkan oleh anggota keluarga yang sakit.
 Horton dan Hurt mengatakan bahwa fungsi keluarga meliputi: fungsi
pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi,
fungsi penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomi.

E. DAUR KEHIDUPAN KELUARGA


Mc Whirter (1998) bahwa banyak permasalahan keluarga yang terfokuskan
pada perubahan, tahapan dan transisi yang terjadi dalam daur kehidupan
keluarga. Keluarga sebagai suatu sistem membantu kita dalam
mengidentifikasikan stressor yang memiliki kontribusi terhadap masalah yang
dialami anak.
Berikut ini dibahas mengenai permasalahan yang khas tersebut, diantaranya:
1. Keluarga yang dalam keadaan stress (stressed family); Biasanya
keluarga yang hanya memiliki satu orang tua untuk berjuang demi
kehidupan keluarga (single-parent) dan keluarga miskin memiliki
kemungkinan besar untuk mengalami stress. Disamping itu, semua anggota
blended families (keluarga yang terbentuk kembali melalui perkawinan,
sehingga mengakibatkan adanya saudara tiri) dan latchkey families
(keluarga yang orang tuanya tidak hadir untuk mengasuk anak), terutama
anak-anak menghadapi situasi khusus yang penuh stress.
2. Keluarga yang mengalami disfungsi (Dysfunctional Families);
Semua keluarga yang mengalami disfungsi mengakibatkan anggota
keluarganya mengalami stress, seperti :
 Subtance abusing families (keluarga yang orang tuanya
alkoholik atau pengguna narkoba)
 Violent families (keluarga yang orang tuanya sering terjadi
kekerasan).
 Child abusing families (keluarga yang sering terjadi
kekerasan pada anak-anaknya)
 Parental psychopatal families (keluarga yang orang tuanya
mengalami gangguan kejiwaan).
122

DASAR-DASAR PENGETAHUAN TENTANG ANAK

A. PENGERTIAN ANAK

 Secara Sosiologis; pengertian anak biasanya dikaitkan dengan status-peran


dan tingkat ketergantungan di dalam keluarga. Ukuran-ukuran sosiologis
ini dari kacamata antropologis dikaitkan dengan nilai-nilai budaya yang
berlaku pada suatu masyarakat.
 Secara Ekonomis; perbedaan anak dengan orang dewasa didasarkan pada
keharusan akan keterlibatannya dalam kegiatan ekonomis.
 Secara Politis; berakhirnya masa anak ditandai dengan diperolehnya hak
dan kewajiban sebagai warga negara secara penuh, seperti bertambahnya
hak dan kewajiban dalam pemilihan umum.
 Secara Demografis; batasan usia 15 tahun sebagai usia terkendali dalam
perhitungan dependency rasso, bahwa batasan anak adalah usia 14 tahun
ke bawah.
 Dalam Konvensi Hak-Hak Anak; dunia internasional mengakui anak
sebagai seorang yang berada pada usia 0 hingga 18 tahun.
 Undang-Undang Perkawinan; menentukan anak adalah mereka yang
belum mencapai umur 18 tahun atau belum menikah.
 Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak,
mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
tahun dan belum pernah kawin. 1
 Menurut Edi Suharto (1997 : 363) "Penetapan usia anak berdasarkan
pertimbangan untuk kepentingan usaha kesejahteraan sosial, serta
kematangan sosial, kematangan pribadi, kematangan mental seseorang
yang umumnya dicapai setelah melampaui usia 21 tahun dan atau telah
menikah ".

2
123

 Menurut samsunuwiryati marat & juke r. Siregar, bahwa anak adalah


periode sejak berusia 2 tahun (periode anak awal/early childhood : 2 – 6)
sampai usia 12/13 tahun (periode anak akhir/late childhood)

B. CIRI-CIRI ANAK
Ciri-ciri anak dapat dilihat dari usia seperti pada penjelasan di atas, dimana
batasan usia tersebut berbeda-beda tergantung dari sudut pandangnya.
Selain itu ciri-ciri anak yang paling utama adalah perbedaan dari hak,
kewajiban dan tugas perkembangannya dari periode yang lain, seperti yang
akan dijelaskan di muka.

C. TUGAS PERKEMBANGAN ANAK


Menurut Havighurst, Tugas-tugas perkembangan anak dilihat dari
perkembangan usianya adalah sebagai berikut:
1. Masa Bayi Dan Masa Kanak-Kanak
a. Belajar memakan makanan padat.
b. Belajar berjalan.
c. Belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh.
d. Mempelajari perbedaan seks dan tata caranya.
e. Mempersiapkan diri untuk membaca.
f. Belajar membedakan benar dan salah, dan mulai mengembangkan
hati nurani.
2. Akhir Masa Kanak-Kanak.
a. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permaman-
3
permainan yang umum.
b. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai
makhluk yang sedang tumbuh.
c. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya.
d. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat.
e. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk
membaca, menulis dan berhitung

4
124

D. KEBUTUHAN DAN HAK ANAK


Kebutuhan Anak
Kebutuhan yang diperlukan dalam perkembangan anak serta pertumbuhannya
adalah meliputi :
1. Kebutuhan Fisik atau Jasmani, seperti kebutuhan pangan, sandang dan
papan yang layak untuk diri anak.
2. Kebutuhan dari Segi Rohani, seperti kebutuhan akan pendidikan untuk
mengembangkan kecerdasan dan intelektualitasnya dalam berpikir,
penanaman akidah dan akhlak sesuai dengan tuntutan agama masing-
masing.
3. Kebutuhan Sosial, seperti untuk bisa diterima di lingkungan masyarakat
atau tetangga, tempat tinggal dimana anak tersebut berada.
Menurut Edi Suharto (1997 : 365) perihal kebutuhan anak
mengemukaan: "Prasyarat utama agar anak tumbuh dan berkembang secara
normal adalah terpenuhinya kebutuhun dasar anak yang meliputi kebutuhan
fisiologis, kasih sayang, pendidikan, kesehatan, perlindungan terhadap segala
diskriminasi dan perlakuan salah (abuse), serta kesempatan untuk
menyuarakan pendapatnya dalam berbagai keputusan yang menyangkut
nasib dirinya.
Hak Anak
Menurut LUNBERG, anak berhak untuk memperoleh perawatan yang
menjamin : 5
1. Kesehatan fisik dan mental,
2. Kehidupan rumah yang sehat,
3. Pengembangan kekuasaan malalui pendidikan yang sebesar
mungkin,
4. Latihan moral dan agama,
5. Kesempatan untuk bermain dan berteman secara sehat,
6. Perlindungan dari pekerjaan yang mengganggu kesehatan dan
sekolahnya.
7. Menurutnya kebutuhan dan hak anak merupakan hal yang sinonim.
125

Lebih jauh ditegaskan dalam Konvensi PBB tentang hak-hak anak, yang
telah diratifikasi oleh negara-negara peserta termasuk Indonesia (melalui
Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990), bahwa hak anak secara umum
dapat dikelompokan ke dalam :
1. Hak-hak sipil yang mencakup hak terhadap nama, kewarganeraraan,
6
prosedur perlindungan dalam peradilan,
2. Hak-hak ekonomi, diantaranya mencakup hak untuk menikmati taraf
hidup yanmg memadai untuk menjamin tumbuh kembang anak dan hak
akan jaminan sosial;
3. Hak-hak sosial termasuk mendapat perawaran atau asuhan yang penuh
kasih sayang dari orangtua, atau pengasuhan; hak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan, perawatan khusus bila cacat, perlindungan bagi
anak-anak tanpa keluarga, perlindungan dari semua bentuk kekerasan
fisik dan mental, penyalahgunaan, penelantaran, perlakuan salah atau
eksploitasi, termasuk eksploitasi ekonomi dan seksual;
4. Hak-hak budaya yaag mencakup hak untuk memperoleh pendidikan, hak
untuk mengakui dan menikmati budayanya sendiri, hak untuk turut
dalam kehidupan budaya dan seni.

KONSEP TENTANG LANJUT USIA


7
A. PENGERTIAN LANJUT USIA

1. Menurut UU R.I No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia


Pasal 1 ayat (2) :
“Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke
atas”
2. Menurut UU No. 4 tahun 1965 tentang Pemberhentian Bantuan
Penghentian Orang Jompo:
“Lanjut usia adalah seseorang yang usia 55 tahun ke atas.”
3. Di Amerika Serikat Lanjut Usia disesuaikan dengan Sosial Security Act
(1935) :
“Lanjut usia adalah saat seseorang menerima jaminan sosial yaitu
berusia 65 tahun.”
126

B. CIRI KHAS LANJUT USIA


1. Usia; Seseorang dikatakan lanjut usia apabila orang tersebut berusia
(lanjut) dan orang tersebut harus mengerti dan menghayati sebagai orang
tua.
2. Kematian; kematian merupakan fakta bagi kehidupan, tetapi kematian
sebagai ancaman yang tidak dapat dihindarkan merupakan fakta yang
dirasakan berbeda-beda oleh lanjut usia.
3. Intensifikasi (Peningkatan); pada umumnya orang lanjut usia asyik
memikirkan tentang kematian, keagamaan, dirinya sendiri dan keadaan
jasmani,
4. Penyakit; pada umumnya orang lanjut usia berada dalam keadaan sakit dan
yang perlu diperhatikan adalah akibat emosional dari penyakit terhadap
semangat dan kekuatan lanjut usia.
5. Keterasingan, kesepian, tekanan jiwa dan ketergantungan.
C. KEBUTUHAN LANJUT USIA
1. Kebutuhan fisik
a. Rumah/tempat tinggal
b. Kesehatan dan permakanan
c. Pakaian
d. Alat-alat bantu
e. Pemakaman
2. Kebutuhan Psikis/Kejiwaan; kebutuhan akan masalah-masalah emosional,
diantaranya :
a. Kebutuhan akan rasa aman dan damai
b. Kebutuhan berinteraksi dan mendapat dukungan dari orang lain
c. Kebutuhan berprestasi dan berekspresi
d. Kebutuhan untuk memperoleh penerimaan dan pengakuan.
3. Kebutuhan Mental Spiritual; kebutuhan akan aspek keagamaan dan
kepercayaan dalam kehidupan termasuk persiapan dalam menghadapi
kematian.
4. Kebutuhan Ekonomi; yang diperlukan adalah :
a. Pelatihan keterampilan untuk memperoleh penghasilan.
127

b. Menyediakan pekerjaan penuh atau paruh waktu.


c. Memberikan bantuan keuangan/modal usaha.

D. PENGETAHUAN YANG DIPERLUKAN DALAM PENANGANAN


LANJUT USIA
1. Pengetahuan Biologis Dan Fisiologis
a. Pengetahuan Biologis berhubungan dengan pengaruh phisik dan
fungsi sosial lanjut usia.
b. Pengetahuan Fisiologis membahas 8 (delapan) sistem jaringan
tubuh yaitu :
1) Sistem jaringan otot dan kerangka tubuh
2) Sistem Sirkulasi
3) Sistem Endokrin
4) Sistem pernafasan
5) Sistem susunan syaraf
6) Sistem pencernaan
7) Sistem pengindraan
8) Sistem reproduksi dan seksualitas
2. Pengetahuan Sosiologis
Pengetahuan sosiologis berkaitan dengan peranan dan posisi lanjut usia
dalam masyarakat, khususnya hak dan tanggung jawabnya serta apa yang
diharapkan masyarakat, meliputi :
a. Peranan-peranan keluarga
b. Hubungan keluarga
c. Keadaan sebagai janda
d. Perilaku seksual
e. Keadaan sebagai kakek
f. Orang tua dan anak
g. Peranan teman-teman (sahabat)
h. Pengunduran diri
128

3. Pengetahuan Psikologis
Meliputi aspek :
a. Sensori Kognitif dan Proses Psikomotor
 Sensori Kognitif
 Pandangan
 Pendengaran
 Perasaan
 Persepsi
 Proses Psikomotor : Perubahan dalam sistem otot dan
hilangnya sel-sel karena perubahan usia pada Lansia.
b. Afektif dan Teori Kepribadian
 Afektif ; sikap dan minat orang tua dipengaruhi oleh
kebudayaan dan pengalaman yang dialaminya.
 Teori Kepribadian ; meliputi :
 Teori pelepasan
 Teori kegiatan
 Teori kepuasan diri
 Teori perkembangan
c. Penyakit Psikiatrik
 Neurosis ; ditandai oleh adanya kecemasan akan
kekaburan pada realita atau disorganisasi kepriadian
 Psikose ; merupakan tekanan dalam kehidupan yang
ditandai dengan kepribadian yang kompulsif. Akibat negatif dari
faktor-faktor phisik diantaranya :
 Bunuh diri
 Gangguan organik
 Sindrome organik otak
 Sindrome akut otak
 Sindrome akut otak
 Sindrome Otak Kronis
129

4. Pengetahuan Ekonomi dan Politik


Berhubungan dengan peranan usia lanjut dalam :
a. Partisipasi Politik; Dalam pengambilan
keputusan mempunyai proporsi yang tinggi dalam hubungan dengan
kepartaian, umumnya mereka tidak tertarik pada aktivitas lainnya dan
perhatiannya berubah dan tercurah pada politik.
b. Kekuatan Politik :
 Siap melayani untuk memberikan bimbingan
 Hak kekuasaan
 Penelitian
c. Manusia usia lanjut sebagai konsumen
d. Minoritas pada usia lanjut
e. Perspektif kehidupan
 Kelemahan dan kekuatan manusia usia lanjut dipengaruhi
oleh kehidupan masa lalu
 Usaha untuk memperluas gagasan yang ada.
130
131

KEPUSTAKAAN

Adi, Isbandi Rukminto, 2001.Pemberdayaan, Pengembangan masyarakatdan


Intervensi Komunitas. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, UI.
Jakarta.
Departemen Sosial RI, 1996. Pola Pengembagan ProfesiPekerjaan Sosial.
Jakarta.
Fahruddin, Adi. Ph.D, 2012. PengantarKesejahteraan Sosial, PT. Reflika
Aditama. Bandung.
Fahruddin, Adi. Ph.D, 2000. Kerja Sosial dan Psikologi Isu-Isu Terpilih.
University Malaysia Sabah Press
Sarman, Mukhtar dan Sajogyo, 2000. Masalah Penanggulangan Kemiskinan.
Puspa Swara. Jakarta.
Soetomo, 2008. Masalah Sosial dan Upaya pemecahannya . Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Soetomo, 2006. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. Cipta, Jakarta.
Soemitro Remi, Sutyastie dan Prijono, 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan
di Indonesia. Rineka
Rasuan Utamato, Bur. 2005. Keadilan Sosial. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
DuBois, B. & Miley, K..K. (2005). Social Work An Empowering Profession,
Fifth Ed. Boston : Pearson Education.

Dubowitz, Howard & DePanfilis. Diane. 2000. Handbook for Child Protection
Practice. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc.

Erwin, Phil. (1998). Friendship, Chilhood and Adolecence. London :


Routledge.

Friedlander. W.A. & Apte, R.Z. (1980). Introduction to Social Welfare. New
Delhi : Me Graw Hill.

Gilbert, Neil & Specht, H. (Ed.). (1981). Handbook of the Social Services. New
York : Prentis Hall.

Heffeman, J., Shuttlesworth, G. & Ambrosino. R. (1997). Social Work and


Social Welfare : An Introduction. New York : West Publishing.

Hepworth, D.H. & Larsen. J.A. (1993). Direct Social Work Practice : Theory
ang Skills. Pacific Grove, California : Brooks/Cole.

Holland, Sally. (2004). Child and Family Assesment in Social Work Practice.
London : Sage Publications..
132

Horejsi, C.R. & Sheafor. B.W. (2003). Techniques and Guidlines for Social
Work Practice, Sixth Ed. Boston : Pearson Education.

Huttman, E. D. (1981 : 200). Introduction to Social Policy. New York :


McGraw-Hill.

Kadushin, Alfred. (tanpa tahun). Child Welfare Services. New York :


Macmillan.

Kilpatrick, Allie C. & Holland, Thomas P. (2003). Working With Family: An


Integratif Model By Level of Need. Boston : Pearson Education.

Lowy, Louis. (1879). Social Work With the Aging. New York : Harper & Row.
Macionis (1995). Sociology, Fifth Ed. Englewood Cliffs, New Jersey :
Prentice Hall.

McCubbin, Hamilton I & Thompson. Anne I. (1987). Family Assessment


Inventories: Research and Practice. Madison-Wisconsin: The
University of Wisconsin-Madison. Halaman 35- 49.

Netting, F. E., Kettner. P.M. & McMurtry, S. L. (1993). Social Work Macro
Practice. London : Longman.

Schichedanz, J. Et all. (2001). Understanding Children and Adolecents.


Boston: Allyn and bacon.

Siporin, Max. (1975). Introduction to Social work Practice. New York :


McMillan Publishing.

Skidmore, R.A., Thackeray, M. G. & Parley, 0. W. (1991). Introduction to


Social Work. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice-Hall
international.

Uphoff, Norman. (1986). Local Institutional Development : An Analytical


Sourcebook With Cases. Oakwood Avenue, USA : Kumarian.

Zastrow, C. (2000). Social Problem : Isues and Solutions, Fifth Ed. Australia :
Wadsworth.

Dokumen :

Departemen Sosial RI. Acuan Umum Strategi dan Managemen Perlindungan


Anak. Jakarta : Pengarang.

Deparetemen Sosial RI. Kebijakan dan Program Direktorat Bina Pelayanan


Sosial Anak. Jakarta : Pengarang.

Departemen Sosial RI. (1998). Pelembagaan Lanjut Usia dalam Kehidupan


Bangsa. Jakarta : Pengarang.
133

Departemen Sosial RI. (1999). Pedoman Perlindingan Anak. Jakarta :


Pengarang.

Departemen Sosial RI. (2004). Rencana Strategis Departemen Sosial RI.


Jakarta : Pengarang.
134

Anda mungkin juga menyukai