Anda di halaman 1dari 62

USLUB AL-ISTI’ARAH DALAM AL-QUR’AN

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Balaghah

Oleh:

Muhammad Alby Muwaffil Hammam (07020322057)

Dosen Pengampu:

Drs. Umar Faruq, MM

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

2024 M/1445 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, dengan maksud mengucap Syukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan anugerah dan rahmatnya, serta ucapan shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah berperan sangat besar terhadap Islam melalui perjuanganya,
sehingga keilmuan islam tetap utuh yang kemudian diwariskan dan dijaga dengan baik
oleh para ulama’ sampai sekarang. Oleh karenanya, sebagai bentuk mempertahankan
tradisi keilmuan islam, maka disusunlah sebuah makalah yang berjudul “Uslub al-
Istia>’rah dalam al-Qur’an” yang bertujuan untuk menambah wawasan bagi khalayak
umum, khususnya penulis dan pembaca.

Ucapan terima kasih, dihaturkan kepada bapak Faruq selaku dosen pengajar
matakuliah ilmu balaghah yang telah memberikan tugas dan senantiasa membimbing
proses kepenulisan makalah ini. Hal ini ditujukan untuk menyelesaikan tugas dalam
matakuliah Balaghah dan sebagai tanggung jawab sebagai seorang muslim yang seantiasa
melestarikan budaya keilmuan islam.

Saya mengucapkan terima kasih juga kepada seluruh pihak yang ikut terlibat atas
terbentuknya makalah ini, baik itu teman-teman maupun orang-orang tersayang yang
telah membagikan Sebagian pengetahuanya dan senantiasa memberikan motivasi maupun
semangat untuk melangkah mengembangkan progess kepenulisan tersebut. Luasnya ilmu
pengetahuan yang dimuat diberbagai media baik tulisan maupun internet, memudahkan
penulis untuk mengambil refrensi yang nantinya menjadi bahan dalam makalah ini.

Makalah ini pasti jauh dari kata sempurna, tentunya masih banyak kesalahan-
kesalahan yang perlu diperbaiki baik dari segi kepenulisanya maupun materinya. Oleh
karena saya berharap dari para pembaca untuk memberikan saran dan kritik terhadap
makalah ini, demi terbentuknya makalah yang baik dan benar.

Surabaya, 4 Maret 2024

penyusun

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…....…………………………………………………….II

DAFTAR ISI…….,,…………………………………………………………...III

BAB I

PENDAHULUAN………………………………………………………………6

a. Latar Belakang.……………………………………………………...6

b. Identifikasi Masalah.………………………………………………...7

c. Rumusan Masalah….………………………………………………..7
d. Tujuan Penelitian ….………………………………………………..8
e. Manfaat Penelitian….………………………………………………..8
f. Metodologi Penelitian.….……………………………………………8
g. Kajian Pustaka Terdah.ulu…………………………………………....9

BAB II

LANDASAN TEORI….…………………………………………………….…..12

a. Pengertian Uslub……………………………………………………..12
b. Macam-macam Uslub ………………………………..….…………..16
c. Kriteria uslub yang baik………………………..………….…………19
d. Pengertian al-Istia’arah……………………………..………………..20
e. Macam-macam al-Istia’arah………………………………….……...24
f. Rukun-rukun al-Istia’rah……………………………………….…….26
g. Manfaat dan Tujuan al-Istia’arah…………………………………….30
h. Efek dari bentuk al-Istia’arah………………………………………...31

BAB III

USLUB AL-ISTI’ARAH DALAM AL-QURAN………………………………..34

III
a. Pendapat Ulama’ dalam mengomentari Uslub Isti’arah dalam al-
Quran………………………………………...……………………….34
b. Penggunaan Isti’arah dalam berbagai bentuk kajian Tafsir………….36
c. Fenomena isti’arah dalam al-Quran………………………………….41

BAB IV

ANALISIS USLUB AL-ISTIA’RAH.,……………………………………..……50

a. Analisis Uslub Istia’arah dalam al-Quran……………………..……..50


b. Analisis Uslub Istia’arah dalam Kitab Nadzam Jauharul
Maknun…............................................................................................52

Bab V

PENUTUP………………………………………………………...……………..56

a. Kesimpulan………………………………………………..…………56
b. Saran…………………………………………………………………57

DAFTAR PUSTAKA

IV
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


Sebuah pesan akan mudah tersampaikan dan diterima dengan baik, apabila
ungkapan yang disampaikan itu didesain dengan benar dan beraturan. Keindahan Bahasa
menjadi daya tarik tersendiri dalam menyampaikan maksud topik pembicaraan. Dalam
disiplin ilmu balghah hal tersebut dinamakan uslub (gaya Bahasa) Dimana hal ini banyak
digunakan dalam al-Quran yang bertujuan untuk menyingkap makna yang tersirat
didalamnya.
Al-Quran merupakan kitab suci yang sempurna yang diturunkan melalui Nabi
Muhammad saw. Kitab ini menyimpan banyak rahasia yang kemudian menjadi bahan
kajian untuk mengetahui maksud dari kandungan ayat-ayatnya . Kitab ini dipenuhi
dengan kemukjizatan baik secara lafadz atau makna, dan salah satu kemukjizatan kitab
al-Quran terletak pada susunan ayat-ayat perumpamaan yang dirangkai dengan indah
oleh sang pencipta, sehingga melekat kuat pada jiwa dan memudahkan manusia dalam
memahami serta menerimanya, sehingga terasa mudah untuk mengaplikasikan maksud
ayat dalam kehidupan sehari-hari.
Di antara perkara unik yang terdapat dalam al-Quran terletak pada kaedah dan
gaya bahasa dalam menyampaikan suatu pesanan ke hati manusia yaitu kaedah yang
terdapat di dalam ilmu Balaghah dan sering dimuat didalam al-Quran, berupa uslub
Isti’arah1. Sebab hal tersebut merupakan Salah satu seni pengungkapan makna sebagai
suatu gambaran imajinatif tinggi adalah dengan menggunakan gaya bahasa majȃz
isti’ȃrah. Termasuk bagian dari ilmu balaghȃh yang berfungsi untuk memperkuat
ketajaman pemaknaan, sehingga dari pemaknaan tersebut menghasilkan berbagai
interpretasi dan ilmu pengetahuan yang baru..
1
BINTI ZAINUDIN, Siti Nor Aisyah; OSMAN, Khazri; ISLAM, Fakulti Pengajian. KEINDAHAN USLUB ISTI’ARAH DALAM
SURAH AL-KAHFI. Hal 4

V
Gaya bahasa majȃz dalam Al-Qur`an membahas perbedaan antara kata yang
tersirat dengan tersurat. Namun dalam perkembangan selanjutnya muncullah sebuah
wacana dalam kajian balaghȃh yang mengemukakan persoalan estetika bahwa gaya
bahasa ini merupakan penghias Al- Qur`an, dan jika dihilangkan maka hilanglah sebagian
keindahannya. Pernyataan ini tidaklah keliru, hanya saja perlu ada penambahan bahwa
akan sedikit hilang mutiara-mutiara makna yang terkandung di dalamnya2.
Balaghah al-Quran menjadi kajian yang penting dalam mengetahui rahasia
keindahan Bahasa al-Quran, sehingga tidak hanya menjadikan al-Quran untuk tujuan
keagamaan dengan kata lain hanya sebatas membaca al-Quran dan menafsirkan secara
global maupun perinci akan tetapi, juga bisa menghayati dan merasakan keindahan dan
ketinggian nilai sastra yang dikandungnya. Langkah ini tentunya bisa meningkatkan
kualitas pola pikir seseorang dengan berusaha dalam mengapresiasi keindahan bahasa al-
Quran dan kedalaman maknanya3
Kaidah tersebut sangat penting untuk dipelajari, agar nantinya tidak terjadi
penyelewengan dalam pemaknaan teks al-Quran yang mengacu pada tekstual saja tanpa
memperhatikan unsur balaghahnya, sehingga nantinya berakibat kesalahfahaman dalam
mengambil makna teks al-Quran.
B. Identifikasi masalah

Objek kajian pembahasan makalah ini adalah mengenai uslub Isti’arah. Makalah
ini akan memaparkan mengenai kemungkinan yang diduga menjadi masalah dalam
penelitian ini. dapat diidentifikasikan sebagai berikut: Definisi, konsep, peran, pembagian
isti’arah disertai contohnya, kemudian membahas menyangkut perbedaan pandangan para
ulama mengenai ada atau tidaknya isti’arah di dalam Al- Qur’an, dan .Penulis membuat
objek penelitian ini pada Al-Qur’an saja, agar dapat terfokus pada bahasan uslub Isti’arah
dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

C. Rumusan Masalah
1. Pengertian Uslub Istia’arah ?
2
Nashoiha, I. (2018). Majȃz Isti’ȃrah dalam Surah Yȗsuf (Studi Komparatif Tafsir al-Kasyâf & Tafsir Bahrul Muhîth),
hal 2
3
Nurbayan, Y. (2020). Analisis Ayat-Ayat Kinâyah Dalam Al-Quran Dan Implikasinya Bagi Pengajaran Balaghah.

VI
2. Pendapat ulama’ mengenai uslub Isti’arah di dalam al-Quran ?
3. Pengaplikasian model uslub Isti’arah dalam ayat-ayat al-Quran ?

D. Tujuan penelitian
1. Mengetahui maksud uslub Isti’arah, baik dari segi definisi, pembagian dan konsepnya
2. Mengetahui komentar Ulama’ mengenai uslub Istia’arah dalam al-Quran
3. Mengetahui contoh sekaligus model uslub Isti’arah dalam ayat-ayat al-Quran

E. Manfaat penelitian
1. Bagi peneliti
a. Penelitian ini tentunya dapat mendorong penulis untuk mengembangkan
pengetahuan dengan proses telaah dan analisi terhadap materi melalui data-data
yang telah didapatkan, khsusnya dalam bidang kajian balaghah, tepatnya dalam
bidang uslub Istia’arah
b. Mengimplementasikan teori ilmu pengetahuan yang telah didapatkan semasa
perkuliahan melalui sumber literatur yang tersedia dan dapat mempelajari kajian
materi-materi yang penting sebagai Upaya dalam sumbangsih khazanah
intelektual pada bidang keilmuan al-Quran dan tafsir melalui pendekatan Ilmu
Balaghah, khususnya pada ilmu Uslub Istia’arah.
2. Khalayak umum
a. Melalui penelitian ini, tentunya dapat memudahkan bagi para pengkaji al-Quran
dan tafsir untuk memahami kandungan ayat-ayat al-Quran melalui kaidah uslub
Isti’arah, sehingga pembaca bisa menemukan hakikat maknanya dengan baik dan
jelas.
b. Hasil penelitian, diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi kedepanya dan
tentunya semoga mengalami rekonstruksi secara berkelanjutan, demi
mengembangkan sebuah keilmuan dan agar tetap utuh.
c. Memberikan ruang bagi para pembaca untuk memberi kritik maupun masukan
terhadap makalah ini, sehingga dapat menjadi bahan pengajaran selanjutya
melalui pembentukan materi yang sistematis dan praktis, yang kemudian dapat
dinikmati dan dipelajari oleh banyak orang dengan mudah

VII
F. Metedeologi penelitian

Penelitian ini berbasis Kajian Kepustakaan atau Library Research, dengan


pengumpulan data yang bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal, kajian terdahulu, dan
literatur-literatur lainnya yang masih memiliki hubungan keterkaitan dengan tema
permasalahan penelitian ini. Sehingga dalam penelitian ini akan mencari ragam informasi
yang berhubungan dengan Isti’ara>h melalui sumber yang berbasis tulisan, khususnya
mengenai aspek gaya bahasa (uslub) isti’arah yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an,
beserta pandangan para ulama tentangnya

Metode yang dipakai untuk makalah ini ialah decriptive-analythic method atau
metode deskriptif-analisis. Dengan cara ini, penulis akan mendeskripsikan dan
menganalisa dari berbagai sumber yang didapat melalui referensi/kepustakaan, dengan
tujuan penulis secara kualitatif dapat menemukan/mendapatkan makna yang mendalam
dari suatu fenomena yang dikaji4.

G. Kajian Pustaka terdahulu

Setelah melakukan penelusuran, ternyata terdapat beberapa karya tulis terdahulu


yang mengkaji tentang Isti’arah, meskipun terdapat perbedaan secara spesifik. Berikut
beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh para akademisi yang relevan
dengan materi pembahasan ini:

1. Jurnal yang ditulis Siti Nor Aisyah Binti Zainuddin dengan judul “ keindahan
Uslub Istia’arah dalam surah al-Kahfi “. Dalam jurnal dijelaskan secara
terperinci yaitu meliputi definisi, struktur, hubungan antara metafora, isti’arah,
dan berbagai pendapat ulama dalam mengemontari Uslub Istia’arah dalam al-
Quran. Pemilihan surah al-Kahfi menjadi kajian khusus dalam jurnal ini,
karena penulis mengaplikasikan teori Isti’arah terhadap surah tersebut dengan
meneliti ayat-ayat di dalamnya yang mengandung Uslub Isti’arah. Kemudian
dijelaskan secara terperinci konsep Istia’arah yang terkandung di dalamnya
disertai alasan-alasan dan rujukan yang telah dianggap kuat. Melalui Isti’arah,
4
Muhammad Rijal Fadli, Memahami desain metode penelitian kualitatif, Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah
Umum, Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia, jurnal UNY Vol. 21. No. 1. (2021). Hal 7

VIII
segala kalimah Majaz yang masih teriakat dapat dihayati maknanya walaupun
pada kenyataanya memerlukan daya imajinasi yang tinggi dan pemikiran yang
mendalam untuk memahaminya. Hasil kajian ini merumuskan bahwa
Balaghah Isti’arah memiliki peranan yang penting dalam menyampaikan
pesan yang terdapat di dalam al-Quran dengan lebih bermakna dan berkesan,
imbuhnya.
2. Jurnal yang ditulis oleh Imroatul Azizah dan Ibnu Samsul Huda dengan judul
“ Penggambaran Hari Kiamat dengan Uslub Isti’arah(Metafora) dalam
Alquran: Telaah Tafsir Al-Munir “ penelitian ini terfokus pada teori dan
aplikasi yaitu meliputi pengenalan materi berupa penjelasan tentang Istia’arah
dan hal-hal yang berkaitan denganya, kemudian diaplikasikan kepada ayat-
ayat al-Quran yang berkaitan dengan fenomena hari kiamat dan relevan
dengan kaidah uslub Istia’arah, jenis-jenis Isti’arah dan tujuan penggunanya.
Tafsir Munir sebagai bahan kajian utama dalam karya ilmiahnya, Jenis
penelitian pada penilitian ini adalah jenis penelitian kepustakaan atau library
research. Data- data pada penelitian ini mula-mula dikumpulkan melalui
metode dokumentasi kemudian dianalisis. Oleh karena itu, penulis bermaksud
mengkomparasikan pemahaman melalui metode deskriptif, analitis dan
spesifikasi. Hasil kajianya menunjukan, bahwa Uslub Isti’arah dalam ayat-
ayat penggambaran hari kiamat terdapat 144 ayat, dengan perincian 97 ayat
menggunakan selain kata hari kiamat, seperti yaumul hasyr, yaumul hisab, dan
lain-lain sedangkan 47 lainnya tanpa menyebutkan kata al-yaum. Dari 144
ayat tersebut mengandung jenis Isti’arah adalah Isti’arah Makniyyah sebanyak
95 ayat dan Isti’arah Tashrihiyyah sebanyak 49 ayat, dan seterusnya. Tentunya
ini didukung oleh sumber rujukan yang kuat dan dapat dipertangung
jawabkan.
3. Tesis yang ditulis oleh H.Deden Hidayat, seorang Mahasiswa Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “ I’Jaz al-
Quran ditinjau dari Uslub Isti’arah (kajian Balaghah surat al-Baqarah, ali-
Imran, an-Nisa, dan al-Maidah). penelitian ini menjelaskan tentang kerangka
teoritis Isti’arah, Rukun Isti’arah, dan pengaruh strukturnya serta Istia’arah

IX
dalam al-Quran. Kemudian dijelaskan bagaimana Uslub Istia’arah melihat
kemukjizatan dalam al-Quran secara komperhensif dan kompleks. Penulis
memberikan klasifikasi terhadap konsep I’jaz al-Quran kemudian
menggunakan Uslub Istia’arah di surah al-Baqarah, ali-Imran, an-Nisa dan
surah al-Maidah. metode yang digunakan hampir mirip dengan jurnal yang
telah dipaparkan diatas. Kajian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam
dunia keilmuan Islam bagi para pengkaji. Pengkaji juga berharap agar peneliti
masa depan dapat meningkatkan upaya dalam memperkembangkan bidang ini
lebih lanjut.

X
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Uslub
Bahasa merupakan suatu alat berkomunikasi sekaligus kontrol social di berbgai
kondisi dan waktu. Setiap individu pasti memiliki cara yang berbeda-beda dalam
mengungkapkan maksud dan tujuan yang hendak disampaikan meskipun secara
substansial itu sama. Bahasa terasa indah apabila terdiri dari diksi-diksi yang luar biasa
dan mampu memberikan makna secara baik dan jelas, sehingga pendengar mampu
menerima kandungan maksudnya. Dalam disiplin ilmu bahasa, hal tersebut dinamakan
gaya bahasa (uslub). Terdapat istilah lain yang digunakan yaitu Uslubiyyah,
Menurut sejarah, istilah Uslub (Le Style) mulai digunakan sejak abad ke-15, dan
memang ketika itu, Istilah Uslubiyah(Stylistique)belum ada, kemudian baru muncul pada
abad ke-20, sebagaimana yang dijelaskan di kamus sejarah dalam bahasa Perancis.
Sehingga istilah uslub popular pada abad ke-15 sampai abad ke-19 yang dimaksudkan
sebagai aturan dan kaidah umum, seperti Uslub al-Ma’isyah, al-Uslub al-Musyiqy, atau
al-Uslub al-Klasiky yang menjelaskan tentang pakaian dan perangkat Dan al-Uslub al-
Balagh untuk setiap penulis5.
Uslub berasal dari bahasa Latin Stilus yaitu berarti pena, pada awal mulanya
berhubungan dengan tulisan tangan dan menunjukkan pada sesuatu yang ditulis,
kemudian bergeser pada ungkapan kebahasaan yang sastra 6. Adapun pada abad ke-20
istilah ini terus berlanjut serta berkembang dan memunculkan istilah baru, yaitu al-
Uslubiyyah yang mengkaji tentang ruang lingkup kesusastraan. Mengingat, Uslub ini
memiliki hubungan dengan kajian bahasa sehingga terdapat berbagai nama yang
digunakan dalam bahasa Eropa, bahasa Inggris yang dikenal dengan Stylistics, dalam
bahasa Perancis dikenal dengan La Stylistique, kemudian di Jerman dinamakan dengan

5
Makinuddin, M. (2018). Mengenal Uslub dalam Struktur Kalimat dan Makna. MIYAH: Jurnal Studi Islam, 14(2), hal
160
6
Sholah Fadl, Ilm al-Uslub Mabadiuh wa Ijra’atuh, (Kairah: Dar al-Syuruq, 1968), 94.

XI
Die Stylistik dan dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan Ilm al-Uslub atau al-
Uslubiyyah7.
Uslub menjadi bagian dalam ilmu balaghah yang mengkaji tentang bagaimana
cara mengungkapkan suatu makna menggunakan susunan kalimat yang indah dan pilihan
diksi yang tepat dengan berbagai gaya bahasa yang berbeda-beda. Sehingga memberi
kesan yang indah dalam berbahasa dan dapat mempengaruhi lawan bicara atau
pendengar8. Tetapi seorang pembicara seharusnya memperhatikan muqtadhol hal (sesuai
tuntunan keadaan) yang meliputi, tempat, waktu, maupun kondisi, sehingga pesan
tersampaikan dengan baik.
Pembicara dalam mengungkapkan suatu perkataan maupun pesan, akan lebih
mudah diterima apabila menggunakan uslub yang baik dan menarik. Sebab sampai
tidaknya sesuatu tergantung dari prosesnya, apakah telah memenuhi kriteria atau justru
merusaknya. Hal ini tentunya memberikan pengaruh kepada obyek pembahasan, yang
kemudian dapat menentukan suatu kesimpulan dalam pesan. Bahasa menjadi titik tumpu
dalam menyampaikan sesuatu, oleh kareananya berbahasalah dengan baik apabila
maksudmu ingin diperhatikan orang lain.
Balāghah(retorika) dipandang sebagai suatu cara penggunaan bahasa untuk
memperoleh efek estetis. Ia diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu
bagaimana penutur menyiasati bahasa sebagai media untuk mengungkapkan gagasannya.
Ungkapansebuah bahasa mampu mencerminkan sikap dan perasaan penuturnya,
sekaligus juga dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca atau
pendengar yang tercermin dalam nada. Oleh karena itu, pengungkapan bahasa harus
efektif, yakni mampu mendukung gagasan secara tepat sekaligus mengandung estetis
sebagai sebuah karya seni9 (copas)
Salah satu kemukjizatan Al-Quran adalah menggunakan struktur bahasa.Al-
Qur’an tidak dapat dipahami begitu saja tanpa melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk
mengantarkan seseorang mendalami isi Al-Qur’an yang sangat agung. Di antaranya

7
Ibid, hal 161
8
H. Deden Hidayat, Tesis “ I’Jaz al-Quran ditinjau dari Uslub Isti’arah (kajian Balaghah surat al-Baqarah, ali-Imran,
an-Nisa, dan al-Maidah, UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta, 2008, hal 6
9
Alfi Nurafika, Majaz Isti’ārah dalam Surah Yāsīn:Studi Pemikiran Ibn ‘Āsyūr dalam Kitab Al-Taḥ rīr wa Al-Tanwīr
JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah StudiesFaculty of UshuludinIIQ An-Nur YogyakartaVol. 2, No. 2,
2022, hal 53

XII
adalah ilmu bahasa. Gaya bahasa yang digunakan dalam Al-Quran adalah bahasa yang
singkat,padat,dan mencakup keseluruhan sehingga mampu menjadi relevan seiring
perkembangan zaman. Relevansi struktur bahasa terhadap ilmu pengetahuan yaitu
memiliki bahsa yang singkat dan padat serta jelas pada setiap leksikalnya.Disamping itu,
Al-Quran mengandung nilai sastra yang sangat tinggi, dapat mematahkan nilai-nilai
sastra yang terkenal pada waktu itu. Al-Qur’an bukan suatu kumpulan puisi, prosa, sajak
atau lainnya. Penggunaan bahasa yang terdapat dlam Al-Quran sangatlah indah10.
Unsur fonologi yang terdapat dalam Al-Quran memiliki keserasian dalam
pengaturan harakah, sukun, madd dan ghunnah sehingga enak untuk didengar dan
diresapkan.Penggunaan bunyi bahasa yang indah dan teratur ini sangat terimplikasi
dalam menimbulkan aspek psikologis kepada pembaca dan pendengarnya. Manusia tentu
saja sangat menyenangi hal yang indah-indah, sehingga ketika Al-Quran tampil dengan
gaya yang sangat indah maka timbullah komunikasi yang sangat harmonis dengan
audiennya. Bila komunikasi telah terbuka dengan baik, tentu saja pesan-pesan yang
dibawakan oleh Al-Quran dapat diterima dengan baik pula . Jadi di samping untuk
membuktikan kebenaran Al-Quran dan melemahkan orang-orang yang ingkar kepadanya,
juga untuk menjadikan Al-Quran ini dekat dengan kejiwaan manusia yang menyukai
keindahan-keindahan11.
Al-Qur’an dengan segala keindahan bahasanya yang dapat mempengaruhi
pembaca dan pendengarnya menyimpan banyak makna yang belum terungkap. Menurut
Wahbah al-Zuhaili yang dikutip Ahmad Muzakki dalam bukunya Stilistika al-Qur’an,
beliau berpendapat bahwa karakteristik uslu>b al-Qur’an adalah susunan kalimat yang
indah, berirama dan bersajak yang menakjubkan sehingga membedakan dengan
ungkapan-ungkapan lainnya, seperti syair, prosa, maupun pidato dengan pemilahan lafal,
struktur, ungkapannya yang indah, kelembutan suara dalam menyusun huruf serta
kesesuaian lafal dan makna12.
Telah diketahui, Uslub sebagai peran utama dalam menyampaikan maksud dan
tujuan pembicaraan dalam berbagai bahasa dan media. Dan hal tersebut sering digunakan
10
Panggabean, N. H., & Irham, M. I. (2022). I’ jaz Al-Qur’ an dan Relevansinya dengan Ilmu Bahasa. Jurnal
Kewarganegaraan, 6(3), 5156-5161.
11
Ibid, hal 12
12
Safii, R., Shaleh, S. R., & Doni, C. P. (2022). Uslub Kalam Khabar dan Insya’dalam Dialog Kisah Nabi Zakariyah
dalam Al-Qur’an. A Jamiy: Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, 11(2), hal 396

XIII
dalam ilmu balaghah, yakni salah satunya uslub istia’arah yang popular dalam bahasa
Indonesia dengan sebutan majaz metafora. Sehingga sering digunakan oleh para
sastrawan dalam Menyusun karya sastranya baik itu berupa tulisan pujangga, puisi, dan
lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar pesan yang disampaikan mempunyai nuansa
yang indah.
Untuk memahami suatu pembahasan, Langkah awal adalah mengetahui makna
kata dari istilah pembahasan tersebut, khususnya makna secara bahasa, karena definisi
yang detail tidak akan terlepas dari pengertian secara bahasa. Mengingat bahasa arab
yang sifatnya musytarak (mempunyai makna ganda) sering terjadi kesalahpahaman
makna, maka perlu memperhatikan Siyaqul kalam (konteks pembahasanya) agar nanti
pemahaman tersampaikan dengan baik dan benar.
Setiap disiplin ilmu pasti ada sebuah definisi, baik itu secara bahasa maupun
istilah, memang keduanya harus dikomparasikan dan disesuaikan untuk membentuk
konsep yang beraturan, sebagaimana yang dijelaskan oleh syeikh Shohban dalam
mabadiul al-Asyrah yakni 10 dasar permulaan dasar keilmuan sebelum menelaah lebih
dalam suatu disiplin ilmu, baik itu Sharaf, nahwu, balaghah, tafsir, tajwid dan lain
sebagainya .
Uslub merupakan kosa kata bahasa Arab yang berasal dari tashrif istilahi kata
‫سلبا‬-‫يسلب‬-‫ سلب‬yang mempunyai arti merampas. Adapun jamaknya adalah asalib yang
dapat diartikan sebagai jalan, cara, metode, gaya bahasa. Adapun pengertianya adalah
cara pembicara ataupun penulis dalam menuangkan ide, gagasan dan pikiran. Juga bisa
dikatakan ‫ اخذنا اساليب من القول‬artinya aku mengambil cara-cara / metode-metode / dari
sebuah ucapan13.
Uslub menurut al-Zarqoni (745-794 H) secara istilah adalah cara berbicara yang
diambil penulis dalam menyusun kalimat dan memilih lafadz-lafadz 14. Hal tersebut
tertuju kepada seoarang penulis yang memilih suatu kata dalam menyusun lafadz-lafadz
untuk mengungkapkan suatu maksud dan tujuan makna kalimatnya. dan tentunya tidak
sembarang seorang penulis ataupun pembicara dalam memilih diksi, karena perlu

13
Mahmasoni, M. S. (2022). Uslub al-Qur’an: Studi Uslub Taqdim wa Ta’khir dalam al-Qur’an. JURNAL AL MA'ANY,
1(1), 54-69.Hal 56
14
Muhammad ‘Abdul-‘Azim az-Zarqany, Manahilul-‘Irfan fi ‘Ulumil-Qur’an (Mesir: Dar al-Ihya’), hal 198

XIV
memperhatikan antara maksud dan kalimat yang akan digunakan dengan merangkainya
secara tersktruktur.
Ali al-Jarim dan Mushtafa Uthman mengungkapkan, bahwa Uslub adalah makna
yang terkandung pada kata-kata yang telah tersusun sedemikian rupa sehingga lebih
mudah untuk mencapai sasaran kalimat yang dikehendaki dan lebih menyentuh jiwa para
penerima pesan15. Dikatakan, bahwa uslub adalah jalan atau metode dalam
menyampaikan atau mengungkapkan yang digunakan oleh seseoarang untuk
menggambarkan atau menjelaskan sesuatu maksud darinya atau memindahkanya kepada
orang lain dengan ungkapan kebahasaan16.
Uslub apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia disebut gaya bahasa,
jelasnya pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur kata atau
menulis, baik itu berhubungan dengan karya sastra maupun tulisan kebahasan
(linguistik). Selain itu dapat didefinisikan sebagai cara yang khusus dalam menuangkan
pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan maupun lisan17
Setiap mutakallim mampu merumuskan metode tersendiri dalam menyampaikan
ungkapanya sesuai dengan kemampuanya. Apabila gaya bahasa yang digunakan baik dan
indah, maka akan terasa lebih enak di dengar dan dinikmati. Dan itu dipengaruhi oleh Ide
pikiran seseorang, karena hal tersebut sangat mempengaruhi kualitasnya dalam berbicara
dan menuliskan suatu karya, sehingga secara personal orang mampu mengeskpresikan
sesuatu melalui gaya bahasanya masing-masing.

B. Macam-macam Uslub

Terdapat berbagai pembagian uslub dalam ilmu balaghah, berikut macam-macam


uslub ditinjau dari segi substansinya:

A. Uslub insya’i
Uslub insya‟i adalah ungkapan yang substansinya tidak dapat dinilai
maupun dihukumi dengan benar atau bohong. Uslub insya‟i terbagi kepada dua
macam yaitu insya‟ thalabi dan insya ghair thalabi. Insya’ thalabi adalah kalimat

15
Ali al-Jarim dan Musthafa Amin, Al-Balaghah al-Wadlihah, (Surabaya:TB.al-Hidayah, 1961), hal 10
16
Fajrina, F. (2018). AL USLUB FII AN NAQD AL BALAGHY. Ijaz Arabi Journal of Arabic Learning, 1(2). Hal 6
17
Munawwir Abdul Fattah dan Adib Bisyri, Kamus al-Bisyri, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), 335

XV
yang menghendaki terjadinya sesuatu yang belum terjadi pada waktu pembicara
mengucapkan kalimat itu, seperti kalimat perintah (amr), kalimat larangan (nahi),
kalimat tanya (istifham), kalimat pengandaian (tamanni), dan kalimat panggilan
(nida‟).
Sedangkan uslub Insya’ ghairu Thalabi adalah kalimat yang tidak
menuntut terjadinya sesuatu, di antaranya ungkapan kekaguman (ta‟ajjub),
ungkapan pujian (madah), ungkapan celaan (dzamm), ungkapan sumpah (qasam),
dan ungkapan penghargaan (raja‟)18. Dan keduanya banyak sekali ditemukan di
dalam al-Quran maupun di kitab-kitab turats
B. Uslub khabari

Uslub khabari adalah suatu ungkapan yang mengandung kemungkinan benar atau
salah dengan mempertimbangkan kenyataan19. Jika makna substansinya sesuai
dengan realita maka itu dianggap benar, dan sebaliknya jika maknanya berbeda
dengan realita maka dianggap dusta atau bohong20.

Seperti ucapan seorang lelaki kepada kekasihnya, yang mengungkapkan isi


hatinya, bahwa dia akan menjumpainya lagi dengan maksud meminangnya di masa
depan nanti, karena masa sekarang digunakan untuk fokus menimba ilmu. Hal
tersebut merupakan kalam khabari karena perkataanya kemungkinan mengalami
benar atau salah. Jika ternyata laki-laki tersebut mampu menempati janjinya dengan
menikahi kekasihnya, maka itu dianggap benar, sedangkan apabila dia berpaling dan
memilih orang lain karena proses cintanya yang dipisahkan oleh jarak,
menghilangkan rasa kesetiaanya pada kekasihnya, maka ini dianggap bohong.

Setiap perkataan yang disampaikan oleh mutakallim pasti mempunyai tujuan yang
khusus. Oleh karena itu, dalam kalam khabari memiliki dua tujuan yaitu faidah al-
khabar dan lazim al-faidah. Faidah al-khabar yaitu suatu kalam khabari yang

18
ABD HALIM, A. H. B. (2017). USLUB INSYA’I DAN DILALAHNYA DALAM AL-QURAN (Kajian Ilmu Balaghah Dalam
Surah Shaad) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau). Hal 12
19
Danil, M., & Mahendra, A. (2021). Taḥlīlu Uslūbi al Insyā’i wa al Khabari fī Syi’ri al Raṡā’i “Falā Yub’idannaka
Allāhu” li al Khansā’i (Dirāsatun Taḥlīliyyatun fī ‘Ilmi al Ma’āni). Al-Uslub: Journal of Arabic Linguistic and Literature,
5(01), hal 45
20
Randi Safii. Dkk, Uslūb al-Kalām al-Khabariy dan al-Insyaiy dalam dialog kisah Nabi Zakariyah dalam Al-Qur’an,
Universitas Muhammadiyah: Gorontalo, ‘A Jamiy: Jurnal Bahasa dan Sastra Arab Volume 11, No. 2, September
2022, hal 399.

XVI
diucapkan untuk memberitahu kepada orang yang belum mengetahui sama sekali
maksud tersebut. Sedangkan lazim al-faidah adalah memberitahu sebuah khabar
kepada pendengar bahwa mutakkalim telah mengetahuinya. sedangkan mukhattab
telah mengetahui hukum tersebut21.

Selain itu, Ali al-Jarim dan Musthafa Utsman membagi secara umum, yakni
uslub ilmi, uslub adabi, uslub khitabi Uslub ‘ilmi, khitabi dan adabi merupakan cara
untuk mengekspresikan ide, gagasan, atau argumentasi, sehingga dengan mudah dan
cepat menyentuh jiwa para pendengarnya. Ketiga unsur uslub (‘ilmi, khitabi, dan
adabi) dapat ditemui dalam teks Tanbīh al-Māsyī. Uslub ‘ilmi lebih dominan dan
berpengaruh dalam corak pemikiran tulisannya daripada uslub khitabi dan adabi.
Sedangkan Lafaz tasybīh, iqtibās, amr, nidā’, taukīd, dan lainnya dapat ditemui dalam
ketiga uslub tersebut. Adapun maknanya tergantung pada konteks kalimat, berikut
pembagianya dan keistemewaanya22.
1. Uslub Ilmi
Uslub ini termasuk gaya bahasa yang paling dasar dan memerlukan logika
yang kuat dan baik serta pemikiran yang berkualitas. Gaya bahasa sebenarnya
tidak memerlukan khayalan maupun imajinasi. Karena uslub ini berurusan
dengan akal dan berdialog dengan pikiran, maka ia mengemukakan hakikat
ilmu yang cukup kompleks dan samar. Oleh karena itu, dalam uslub ini lebih
memperhatikan kosakata yang jelas dan tegas artinya dan tidak memiliki
banyak arti yang berbeda.
Adapun Kelebihan yang paling menonjol dari gaya bahasa ini adalah
kekuatan dan keindahannya.Kekuatannya terletak pada kejelasan dan
ketepatan argumennya, sementara keindahannya terletak pada kemudahan
dalam pengungkapan, kejernihan dalam memilih kata-katanya, dan keahlian
dalam menentukan makna dari berbagai segi kalimat yang mudah dipahami.
Uslub ini bertujuan menerangkan Hakikat dan dimengerti oleh pendengar dan
pembaca. Berciri-ciri terang, detail, terseleksi,dan logis. Berikut contohnya:

21
Ridha, Z. (2021). AL KALAM AL KHABAR FI DIWAN AL SYAFI'I (DIRASAH TAHLILIYYAH FI ILM AL MA'ANI) (Doctoral
dissertation, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA). Hal 16
22
Rasyad, R., Hermansyah, H., & Zulkhairi, Z. (2017). TANBĪH AL-MĀ SYI AL-MANSŪB ILĀ TARĪQ AL-
QUSYASYĪ: Analisis Uslub Bahasa Arab dalam Karya Abd Ar-Rauf As-Singkili. Jurnal Adabiya, 18(2), 61-80.

XVII
Pemakaian Tasybih atau penyerupaan merupakan bagian dari Uslub Ilmi,
yakni terdapat pada surah al-Jum’ah ayat 5:
‫َم َثُل ٱَّلِذ يَن ُح ِّم ُلوْا ٱلَّتۡو َر ٰى َة ُثَّم َلۡم َيۡح ِم ُلوَها َك َم َثِل ٱۡل ِح َم اِر َيۡح ِم ُل َأۡس َفاَۢر ۚا ِبۡئ َس َم َث ُل ٱۡل َق ۡو ِم ٱَّل ِذ يَن َك َّذ ُبوْا َٔ‍ِباَٰي ِت ٱِۚهَّلل‬
‫َّٰظ‬
‫َو ٱُهَّلل اَل َيۡه ِد ي ٱۡل َقۡو َم ٱل ِلِم يَن‬
Artinya: Perumpamaan sesorang dibebankan Taurat tetapi mereka tidak
melaksanakannya itu seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.
Dalam tafsir al-Thabari dijelaskan, bahwa Secara kontekstual, ayat
tersebut menjelaskan kaum yahudi dan nashrani yang telah diberi kitab taurat
yang kemudian ada perintah untuk mengamalkanya, akan tetapi mereka
enggan mengamalkanya yang mana mereka harus mengakui kebenaran nabi
Muhammad SAW sebagai rasul sekaligus nabi terakhir yang berasal dari arab-
mekkah. Sehingga perumpamaan tersebut cocok bagi mereka yaitu seekor
keledai yang mengangkut kitab, jelas tidak ada faedahnya dan percuma
membawa kemana-mana akan tetapi tidak bisa memahaminya dengan baik.
Hal tersebut tampak jelas bagaimana uslub ini menjelaskan secara rasional
yang tergambarkan di dalam pikiran, bahwa sifat keledai yang membawa kitab
tertujukan kepada orang-orang yahudi Nasrani yang enggan mengamalkan
pengetahuan kitabnya. Sehingga dalam kesimpulanya dapat memberikan arah
pengertian, bahwa hal demikian tidak ada gunanya sama sekali karena mereka
tidak diberi petunjuk oleh Allah SWT.
2. Uslub Adabi (sastra)
Uslub adabi ditujukan untuk membangkitkan respon emosional pada
perasaan pendengar dan pembaca. Gaya ini terkenal dengan pemilihan kata-
kata yang tepat dan penggunaan-perumpamaan yang berlebihan dalam
mengekspresikan ide, serta memperhatikan aspek imajinatif dan penggunaan
kata dan frasa yang tepat.
Keindahannya bersumber dari khayalan yang indah, daya imajinasi yang
tajam, perpaduan beberapa titik kesamaan yang jauh di antara beberapa hal,
dan penggunaan kata benda atau kata kerja yang konkret sebagai pengganti
kata benda atau kerja yang abstrak. Seperti contoh yang terdapat dalam al-
Quran surah al-Taubah ayat 111:

XVIII
‫۞ِإَّن ٱَهَّلل ٱۡش َتَر ٰى ِم َن ٱۡل ُم ۡؤ ِمِنيَن َأنُفَس ُهۡم َو َأۡم َٰو َلُهم ِبَأَّن َلُهُم ٱۡل َج َّنَۚة ُيَٰق ِتُلوَن ِفي َس ِبيِل ٱِهَّلل َفَيۡق ُتُل وَن َو ُيۡق َتُل وَۖن َو ۡع ًدا‬
‫َٰذ‬
‫َع َلۡي ِه َح ّٗق ا ِفي ٱلَّتۡو َر ٰى ِة َو ٱِإۡل نِج يِل َو ٱۡل ُقۡر َء اِۚن َو َم ۡن َأۡو َفٰى ِبَع ۡه ِدِهۦ ِم َن ٱِۚهَّلل َفٱۡس َتۡب ِش ُروْا ِبَبۡي ِع ُك ُم ٱَّل ِذ ي َب اَيۡع ُتم ِبۚۦِه َو ِل َك ُه َو‬
‫ٱۡل َفۡو ُز ٱۡل َعِظ يُم‬
“ Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri mau-pun
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan
Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari
Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an.”
Al-Qur'an turun di masyarakat Arab, maka dari itu terdapat berbagai
istilah yang berhubungan dengan kehidupan manusia pada masa itu, baik itu
yang berhubungan dengan perniagaan, pertanian, peternakan dan lain
sebagainya dan. Dalam ayat tersebut Allah SWT memakai kata isytara dimana
Allah akan menukar atau mengganti amal kebaikan orang mukmin surga, dan
juga kata bai' dimana proses tersebut seperti jual beli. Ayat tersebut
memberikan efek emosi perasaa seorang pendengar dan pembaca,
menggunakan “pemoles”,dan memperhatikan gambaran imajinatif.
Alial-Jarim dan musthafa Uthman menegaskan, secara garis besar uslub
ini harus indah, menarik inspirasinya, dan jelas serta tegas. Orang-orang yang
baru terjun ke dalam dunia sastra banyak yang beranggapan bahwa uslub itu
akan semakin baik bila banyak memakai kata-kata majaz, tasybih, dan jauh
khayalannya. Anggapan ini sangat keliru, sebab hilangnya keindahan uslub ini
kebanyakan justru karena dibuat-buat dan diada-adakan, dan tidak ada yang
merusak keindahannya yang lebih jelek daripada kesengajaan menyusunnya.

3. Uslub Khitabi
Uslub Khitabi ini sangat menonjolkan kejelasan pengertian dan penulisan,
ketegasan pemikiran dan informasi, dan kedalaman pengetahuan. Dalam gaya
uslub ini seorang pembicara harus mampu memotivasi dan mempengaruhi
hati para pendengar. Keindahan dan keterangannya sangat berpengaruh dalam
memengaruhi dan menyentuh hati.
Keistimewaan uslub Khitabi yang menonjol adalah pengulangan kata atau
kalimat tertentu, pemakaian sinonim, pemberian contoh masalah, pemilihan

XIX
kata-kata yang tegas. Dalam uslub ini seorang pembicara dituntut dapat
membangkitkan semangat dan mengetuk hati para pendengarnya. Keindahan
dan kejelasan uslub ini memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi dan
menyentuh hati.
Uslub khitabi al-Qur'an ada kesesuain antara lafadz dengan makna ayat,
ketika dalam konteks mengancam dan menakut-nakuti maka kalimat-kalimat
kuat, tegas dan menakutkan, tapi ketika dalam konteks lunak makalafadz-
lafadznya lunak juga, sebagaimana contoh Surah al-Hajj ayat 19-22:

‫ب ِّم ن َّن اٖر ُيَص ُّب ِم ن َف ۡو ِق ُر ُء وِس ِهُم‬ٞ‫۞َٰه َذ اِن َخ ۡص َم اِن ٱۡخ َتَص ُم وْا ِفي َر ِّبِهۖۡم َفٱَّل ِذ يَن َكَف ُروْا ُقِّطَع ۡت َلُهۡم ِثَي ا‬
‫ُدوْا ِفيَه ا‬kk‫ٱۡل َحِم يُم ُيۡص َهُر ِبِهۦ َم ا ِفي ُبُطوِنِهۡم َو ٱۡل ُج ُلوُد َو َلُهم َّم َٰق ِم ُع ِم ۡن َحِد يٖد ُك َّلَم ٓا َأَر اُد ٓو ْا َأن َيۡخ ُرُجوْا ِم ۡن َها ِم ۡن َغ ٍّم ُأِع ي‬
‫ۡل‬
‫َو ُذ وُقوْا َع َذ اَب ٱ َح ِر يِق‬
Artinya: Orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api
neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka. dengan air itu
dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka).
dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi. Setiap kali mereka hendak ke luar dari
neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya.
(kepada mereka dikatakan), "Rasakan azab yang membakar ini". Ayat-ayat tersebut
menggunakan kata-kata yang kuat, tegas dan menakutkan
Berbeda dengan ayat berikut ini:
‫ل ِّم نُك ۡم‬ٞ ‫َو ِس يَق ٱَّلِذ يَن َكَفُر ٓو ْا ِإَلٰى َج َهَّنَم ُز َم ًر ۖا َح َّتٰٓى ِإَذ ا َج ٓاُء وَها ُفِتَح ۡت َأۡب َٰو ُبَه ا َو َق اَل َلُهۡم َخَز َنُتَه ٓا َأَلۡم َي ۡأ ِتُك ۡم ُرُس‬
‫َيۡت ُلوَن َع َلۡي ُك ۡم َء اَٰي ِت َر ِّبُك ۡم َو ُينِذ ُر وَنُك ۡم ِلَقٓاَء َيۡو ِم ُك ۡم َٰه َذ ۚا َقاُلوْا َبَلٰى َو َٰل ِكۡن َح َّقۡت َك ِلَم ُة ٱۡل َع َذ اِب َع َلى ٱۡل َٰك ِفِر يَن‬
Artinya: Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan.
Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan
berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Apakah belum pernah datang
kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu
dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?" Mereka
menjawab: "Benar (telah datang)". Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab
terhadap orang-orang yang kafir. (Q.S Az-Zumar ayat 71)
Ayat ini menggunakan kata-kata yang lunak dan halus karena dalam
konteks menceritakan tentang orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan,
mereka dibawa ke dalam syurga berombong-rombongan (pula). Sehingga
apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan
berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan)

XX
atasmu. Berbahagialah kamu! Maka masukilah syurga ini, sedang kamu kekal
di dalamnya"

C. Kriteria Uslub yang baik dan benar

Uslub yang baik adalah Uslub yang efektif dan memiliki kesesuaian makna dengan
Balaghah yaitu dapat menimbulkan efek psikologis, bahkan artistik (keindahan) sehingga
dapat mengarahkan jiwa mukhatab untuk memberikan respon berupa perkataan atau
reaksi perbuatan sesuai yang dikehendaki oleh mutakallim. Uslub yang benar harus
memenuhi kaidah yang telah ditetapkan dan tersusun secara structural.

Selain itu, uslub yang baik dan benar harus memperhatikan fashahah (kalam fashih)
dan sesuai dengan maqam (situasi kondisi) sehingga memiliki nilai yang kompeten
terhadap balaghah dan tentunya fasih. Berikut kriteria yang perlu diperhatikan dalam
uslub, yaitu:23

1. Tujuan, yakni maksud apa yang ingin disampaikan oleh mutakallim kepada
mukhatab haruslah bersifat jelas dengan Uslub-nya itu.
2. Mutakallim dan mukhatab, interaksi antara keduanya yang perlu diperhatikan,
yakni berbicara dengan siapa, apa statusnya dan peranan masing-masing dalam
berkomunikasi, yang meliputi, latar belakang pendidikan, pola pikir dan
sebagainya.
3. Uslub yang disampaikan mutakallim sesuai dengan waktu dan tempat, termasuk
latar belakang fisik dan lingkungan sosial yang dapat membantu
pembaca/pendengar untuk memahami secara jelas terhadap maksud mutakallim.
4. Sedangkan uslub al-Quran mempunyai karakteristik tersendiri yaitu:24
a. Sentuhan lafadz al-Quran melalui keindahan intonasinya dan juga
keindahanya dapat diterima semua lapisan Masyarakat
b. Keserasian rangkaian kalimat al-Quran dan kekayaan seni redaksional

23
Rofiqul'Ala, M. (2021). Urgensi Mengenal Uslub Khitabi untuk Penulisan Karya Tulis dalam Bahasa Arab. Al-lisān
Al-‘arabi-Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa Arab, 1(1), hal 9
24
Yusuf Bahtiar, Aam abdulsalam, Uslub Nahyu dalam kajian metode tafsir al-Quran, ZAD AL-MUFASSIRIN; JURNAL
ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR Vol.2, No 2, 2020, hal 115

XXI
c. Penyusun kalimat-kalimat dan lafadz-lafadznya yang terstruktur dan indah
5. Uslub yang efektif, yakni memiliki kesesuaian dengan makna balaghah yang
dapat menimbulkan efek psikologis bahkan artistic((keindahan) sehingga dapat
menggerakkan jiwa lawan bicara untuk memberikan respon perkataan atau reaksi
perbuatan sesuai yang diinginkan oleh mutakallim25.

D. Pengertian istia’arah

Menurut Bahasa isti'arah berati "tholabul iarah" (mencari pinjaman), Ibn Qutaibah
(w. 276-H), mengatakan bahwa isti'arah merupakan peminjaman kata untuk digunakan
pada kata lain karena terdapat beberapa faktor. Biasanya, orang Arab sering meminjam
kata dan menmepergunakan untuk kata lain Ketika ditemukan alasan,alasan yang
membenarka. Abd daib mendefinisikan bahwa istiarah adalah kata yang digunakan pada
tempatnya atau meminjamkan suatu kata untuk digunakan pada kat lainya yang kemudian
untuk menjalskan isi dari maksud perkataan atau topik tersebut26.

Secara umum, istiarah adalah suatu majaz (peralihan makna dasar ke makna
lainya) yang memiliki hubungan keserupaan terhadap makna yang dimaksud., seperti
firman Allah SWT, surah Ibrahim ayat 1:

‫آلۚر ِكَٰت ٌب َأنَز ۡل َٰن ُه ِإَلۡي َك ِلُتۡخ ِر َج ٱلَّناَس ِم َن ٱلُّظُلَٰم ِت ِإَلى ٱلُّنوِر ِبِإۡذ ِن َر ِّبِهۡم ِإَلٰى ِص َٰر ِط ٱۡل َع ِز يِز ٱۡل َح ِم يِد‬

Dijelaskan, bahwa adanya al-Quran itu bertujuan untuk mengeluarkan


(mensadarkan) manusia dari kegelapan kepada Cahaya. Secara tekstual kalimat tersebut
kuarang difahami, kemudian istia’rah datang sebagai Solusi untuk memberi penafsiran
tentang ayat tersebut. Maka lafadz ‫ ٱلُّظُلَٰم ِت‬meminjam kata ‫ الضالل‬yang berarti kesesatan,
sedangkan ِ‫ ٱلُّنور‬meminjam kata ‫ الهدى‬yang berarti petunjuk27. Sehingga bisa difahami
bahwa tujuan al-Quran diturunkan untuk menyadarkan umat manusia dari kesesatan
menuju jalan petunjuk yaitu agama islam.

25
Stoducu, www UINSUKA.
26
Ridwan, R. (2007). PEMINJAMAN KATA (ISTI’ARAH) DALAM ALQURAN. El Harakah, 9(3), 233
27
Hanafi, Dkk, Qawaidh lughah al-Arabiyah, dar al-Kutb al-Islamiyyah, cetakan pertama, 2014, hal 154

XXII
Peranan istia’arah sangat berpengaruh dalam kajian al-Quran, karena memang
kemujmalan al-Quran yang susah untuk difahami bagi orang awam, sehingga sarana
istia’arah cukup memberikan Solusi sekaligus dapat memahami kandungan ayat-ayat al-
Quran. Hal ini tentunya tidak sembarangan dalam mengambil kata untuk metode istiarah,
perlu analisis yang serius tentang bagaimana menggunakanya dengan baik dan benar.
Kemudian mengetahui konsep istia’arah dalam penggunanya.28

Mengkaji dan memahami gaya bahasa Al-Qur’an tidak bisa dipisahkan dengan
pendekatan balaghah, dalam hal ini adalah majaz Isti’arah atau penempatan suatu lafazh
pada selain makna asli teksnya, karena ada hubungan yang berupa keserupaan antara
makna yang dipindah dan lafazh yang digunakan, Sehingga untuk memahami Al-Qur’an
secara komprehensif, menggali dan mengungkap berbagai rahasia yang terkandung dalam
kitab suci al-Qur’an tidak cukup menggunakan gramatikal arab secara tekstual, tetapi
juga harus menggunakan pendekatan Balaghah29

Perlu diketahui, uslub istia’arah ini merupakan cabang dari ilmu bayan yang
memiliki pandangan mengenai tentang cara atau metode dalam mengungkapkan bahasa
yang indah serta ungkapan yang disesuaikan dengan situasi maupun kondisi yakni
keadaan si lawan bicara dan tentunya melihat konteks pemahaman yang dimaksud.
Sebenarnya terdapat beberapa lagi cabang keilmuan lainya yang termasuk kategori ilmu
bayan ini, seperti majaz mursal, dan majaz murakkab dan lain sebagainya yang tentunya
memiliki tujuan yang sama sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

Al-Quran memiliki mukjizat yang luar biasa, salah satunya adalah dari segi
bahasa dan sastranya, banyak sekali mufassir yang setuju sekaligus mendukung hal
demikian seperti syeikh zamakhsyari, khalafullah, amin al-Khulli dan istrinya aisyah binti
syathi’ dan masih banyak lagi. Hal ini terbukti dengan kitab karya tafsirnya yang lebih
dominan dalam menafsirkan al-Quran melalui pendekatan bahasa dan sastranya. Sastra
dalam kitab al-Quran juga membahas keindahan kisah melalui gaya Bahasa yang tersedia

28
Nuha, M. A. U., & Musyafaah, N. (2022). Majaz Isti'arah Analysis Terms of Mulaim in Arabic Oral Perspective.
Lisanudhad: Jurnal Bahasa, Pembelajaran Dan Sastra Arab, 9(2), 164-196.
29
Bima, S. T. I. H. M. (2022). Majaz Isti’arah in Qur’an Surah Al-Baqarah: A Balaghah Science Perspective Based
Analysis. Buletin Al-Turas Vol, 28(1), hal 89

XXIII
didalamnya. kemudian dalam setiap kisah mengandung hikmah yang tersimpan sehingga
diksi yang digunakan al-Quran mempengaruhi kandungan didalamnya30

Gaya bahasa yang dicantumkan dalam al-Quran memiliki keistimewaan tersendiri


yang membuat tandingan-tandinganya tercengang tidak berkutik dalam melawan
Uslubiyyah al-Quran. Sebagaimana yang terjadi pada zaman dahulu, yakni pada zaman
nabi Muhammad SAW di era jauh sebelum islam dikenal oleh Masyarakat luas, karena
memang ajaranya Ketika itu tetap memegang teguh nenek moyang mereka yang
menyesatkan yaitu penyembah berhala dan memang Ketika itu karya sastra berupa
tulisan-tulisan yang mengandung gaya bahasa yang indah yang mampu mempengaruhi
bahkan menyihir para pendengarnya.

Akibatnya, banyak dari Masyarakat yang semakin terjermus pada kesesatan dan
kegilaan kepada hal tersebut sehingga menimbulkan dampak yang negative bagi mereka
sendiri. Selain itu tidak mempunyai nilai-nilai kemanusiaan, perkelahian yang terjadi di
mana-mana dan peperangan yang muncul tidak kunjung berhenti, suasana seperti ini terus
terjadi dan berlanjut sampai agama Islam Muncul ditengah-tengah mereka 31. Islam datang
sebagai rahmatan lil alamin sengan kitab suci berupa al-Quran yang mejadi pedoman
sekaligus petunjuk bagi seluruh manusia dari jalan yang sesat menuju jalan yang terang
benderang. Dengan gaya bahasa al-Quran yang sangat luar biasa sekali dan mampu
menandingi sekaligus mengalahkan karya sastra para Masyarakat di era jahiliyyah
tersebut.

Ketinggian mutu sastra pada al-Qur‟an ini meliputi berbagai aspek. Akurat akan
perbendaharaan kata-kata, makna yang terkandung sangat padat, sangat indah dan
kompleks dalam mengemukakan pembahasan ayat al-Quran sehingga dapat
menyesuaikan pemahaman antara orang yang tinggi maupun rendah daya
intelektualnya32. Pembahasanya yang terkadang dijelaskan secara ringkas karena memang
telah sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang dikenal dengan ijaz atau terkadang

30
Mahliatussikah, H. (2016). Analisis Kisah Nabi Yusuf Dalam Al-Quran Melalui Pendekatan Interdisipliner Psikologi
Sastra. Arabi: Journal of Arabic Studies, 1(2), 75-89.
31
Indriana, N. (2019). ISTI’ARAH DALAM PIDATO KHULAFAUR-RASYIDIN (KAJIAN ANALISIS BALAGHAH). An-Nas:
Jurnal Humaniora, 3(2). Hal 56
32
Yanggo, H. T. (2016). Al-Qur'an sebagai Mukjizat Terbesar. Misykat, 1(2), 271161

XXIV
dijelaskan dengan Panjang lebar, karena ada faidah tersendiri yang kemudian dikenal
dengan ithnab

Betapa menakjubkanya rangkaian al-Qur’an dan betapa indah susunannya. Tidak


ada kontradiksi dan perbedaan yang termuat di dalamnya, padahal telah diungkapkan dari
berbagai segi yang mencakup banyak hal, seperti nasihat, argumentasi, hukum, hikmah,
kisah, peringatan dan tuntutan, janji dan ancaman, kabar gembira dan berita mengerikan,
akhlak mulia, perilaku mulia, budi pekerti dan lain sebagainya. Sementara yang terdapat
pada kalam pujangga, penyair dan orator agitator yang hanya mahir dalam bidang
tertentu saja33.

Melalui Isti'arah, segala kalimah Majaz yang berkaitan dapat dihayati maksudnya
walaupun pada hakikatnya ia memerlukan kepada daya imaginasi yang tinggi dan
pemikiran yang mendalam unutuk memahaminya34. Isti’arah bermaksud penggunaan
perkataan bukan dengan makna asalnya dan hubungan antara makna asal dengan makna
majaz dibina atas dasar persamaan 35. Isti'arah itu menggunakan lafadz bukan pada makna
sebenarnya, karena adanya hubungan serta Qorinah yang melarang untuk dikehendakinya
makna yang sebenarnya36.

Kesimpulan daripada pemaparan di atas, isti’arah itu merupakan pemakaian atau


peminjaman kata-kata yang menyatakan sesuatu makna yang lain dari makna biasa atau
makna haqiqi dari perkataan yang bersangkutan dan dijadikan sebagai perbandingan atau
kiasan kepada makna baru yang ingin disampaikan juga meminjam sifat makna perkataan
yang lain untuk memberi makna baru dalam teks37.

E. Macam-macam al-Istia’arah
Istia’arah jika dilihat dari segi kelengkapan unsur-unsurnya terbagi menjadi 3:38

33
Ibid, hal 73
34
Roslan, A. R., & Idris, A. (2011). Isti'arah al-Qur'an dalam Juzuk Pertama: Suatu Pandangan Ulama Balaghah. Hal 3
35
Noor Eliza, A. R., Nooraihan, A., Noor Anida, A., & Zulazhan, A. H. (2018). Penterjemahan isti’arah dan kinayah
dalam teks al-quran. Hal 3
36
MUSDIK-NIM, A. M. I. R. (2011). USLUB AL-ISTI'ARAH FI SURAH AL-KAHFI DIRASAH TAHLILIYAH BALAGHIYAH
(Doctoral dissertation, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Hal 5
37
Radzi, Siti Fatimah, and Harun Baharudin. "Analisis Kontrasif Tasybih Dan Istia’rah Dengan Simile Dan Metafora."
Jurnal ILMI 9.1 (2019), hal 50
38
Ilmu al-Din Muhammad yasin al-Fadani, Husnus al-Shiyaghah fi syarh durus al-Balaghah, maktabah al-Barokah:
Rembang, cetakan ke-8, 2018, hal 101

XXV
1. Istia’arah musharrahah, yaitu suatu lafadz yang dijelaskan melalui musyabbah
bihnya, dan dimaksudkan bahwa lafadz yang dipinjam itu menunjukan pada
musyabbah bih. Istia’arah ini boleh dikatakan sebagai istia’arah.
2. Istia’arah makniyyah adalah suatu lafadz yang dibuang musyabbah bihnya
dan mengindikasikan sesuatu dari salah satu sifat khasnya.
3. Istia’arah takhyiliyyah, yaitu maknanya tidak nyata baik secara hissi maupun
aqli, bahkan posisi maknanya berupa perkara yang disangka.

Sedangkan majaz isti’arah dilihat dari segi kedua ujungnya,yaitu must’ar minhu
dan musta’ar lah, terbagi menjadi 2, yaitu:39

1. 'Inadiyah, yaitu kedua ujungnya tidak bisa bersatu sebat


berlawanan, seperti mengisti'arahkan yang ma'dum kepada
yang maujud, orang yang mati kepada yang hidup yang bodoh, seperti:
‫رايت الميت في المدرسة‬
Isti'arah 'inadiyah itu terbagi dua macam, yaitu:
a. Tahmlihiyah (supaya lucu), seperti: “aku melihat kucing ptong di baber
shop”
b. Thahakkumiyah (memperolok-olok), seperti:"Saya melihat macan; dengan
dimaksudkan kepada orang penakut. "
2. Wifaqiyah, yaitu kedua ujung isti'arah itu dapat bersatu/
berkumpul, seperti mengisti' arahkan menghidupkan kepada
memberi hidayah, seperti firman Allah:
‫اومن كان ميت فاحيينه‬
Allah SWT dapat memberikan hidayah sekaligus dapat menghidupkan segala
sesuatu.

Pembagian lsti' arah jika dilihat dari pengertian yang menghimpun kedua
ujungnnya (mus ta' ar, musta' ar minhu dan musta' arlahnya), adalah terbagi menjadi tiga,
yaitu:40

39
Imam Akhdlori, ilmu balaghah terjemah jauharul maknun, PT Al-Ma’arif: Bandung, cetakan ke 10, hal 174
40
Ridwan, R. (2007). PEMINJAMAN KATA (ISTI’ARAH) DALAM ALQURAN. El Harakah, 9(3), hal 236

XXVI
1. Mutlaq, yaitu isti'arah yang tidak disertai pengetian yang menghimpun kedua
unsumya, seperti: ‫رايت اسدا‬Saya melihat laki,laki perkasa; tetapi bila terdapat
qarinah haliyah, tampaknya makna (laki,laki perkasa) itu menunjukkan pada
tempat yang jauh dari harimau
2. Mujarradah, yaitu isti'arah yang disertai oleh lafadz yang mengandung
pengertian yang mengarah pada musta'arlah, seperti: ‫دا يخاطب‬kk‫ رايت اس‬Saya
melihat laki,laki gagah berpidato. Musta'arlah nya adalah laki,laki gagah.
Sedangkan kata ‫ يخاطب‬ini memiliki pengertian yang sangat dekat kepada
laki,laki gagah.
3. istia’arah murosyahah, adalah istia’arah yang disertai kata yang mengandung
pengertian terarah kepada musta’ar minhu nya, seperti: ‫د‬kk‫ه لب‬kk‫ “ رايت اسد ل‬aku
melihat laki-laki gagah yang tebal rambutnya” kata ‫ له لبد‬sangat dekat kepada
musta’ar minhu nya, yaitu harimau, yang menjadi semua qarinah itu adalah
keadaan.

Bila ditinjau dari tharaf dan jami’nya terbagi menjadi beberapa maca,
yaitu:41

1. Isti’arah Mahsus Li Mahsus Isti’arah mempunyai tarafai yang konkrit dan


jami’nya juga merupakan sesuatu yang konkrit. Dibagi menjadi 2, yaitu yang
dirasai pada bentuk hissi dan ‘aqli.
2. Isti’arah Ma’qul Li Ma’qul Isti’arah ini ialah isti’arah yang mempunyai
tarafai yang abstrak manakala jami’nya merupakan sesuatu yang abstrak
juga.
3. Isti’arah Mahsus Li Ma’qul. Isti’arah ini ialah isti’arah yang mempunyai
musyabbah bih yang konkrit, manakala musyabbah bagi isti’arah tersebut
merupakan sesuatu yang abstrak.
4. Isti’arah Ma’qul Li Mahsus Isti’arah ini ialah isti’arah yang mempunyai
musyabbah bih yang abstrak. Manakala musyabbah bagi isti’arah ini
merupakan suatu yang konkrit.

41
Izham, S. S. (2013). Uslub metafora dalam al-Qur’an: Kajian terhadap Surah al-Kahfi. University of Malaya
(Malaysia).

XXVII
5. Jami’ Peranannya sama seperti wajh al-syabh dalam rukun tasybih. Ia
merupakan sumber pentakwilan dalam konteks makna pada ayat antara
musta’ar lahu dan musta’ar minhu.

F. Rukun-rukun Istia’arah42
Terdapat 3 rukun yang terdapat di dalam Istia’arah, yaitu: Al-musta'ar minhu, Al-
musta'ar lah, Al-musta'ar .
1. Al-musta'ar minhu (perkara yang diserupai). Must`ar Minhu sering disebut
dengan musyabbah bih dalam uslub tasybih, seperti contoh: “singa telah
memimpin pasukan tentara tersebut”. musta'ar minhu adalah “singa” padahal
secara hakikat memiliki makna suatu jenis hewan liar yang populer dengan
keberaniannya. Penggunaan lafadz singa, ditujukan untuk menunjukkan sifat
keberanian yang diambil dan dipergunakan yang kemudian dinisbatkan
kepada seseorang pemimpin tentara yang berani. yaitu mengambil dari sifat
sesuatu kemudian dipinjamkan kepada pihak lain.
2. Al-musta'ar lah (perkara yang diserupakan). Musta'ar lah atau dikenal dengan
musyabbah dalam uslub tasybih seperti contoh: singa telah mengetuai
sekumpulan tentera itu” makna perkataan “singa” dilihat dari segi makna
majazi bukan makna haqiqi, ini jelas menunjukkan sifat seorang pemimpin
itu musta'ar minhu dipinjamkan dari sifat hewan tersebut yang memberi
makna secara majazi dan dipanggil musta’arlahu atau yang dipinjamkan
sesuatu sifat kepadanya.
3. Al-musta'ar (lafadz yang dipinjam). Yaitu sifat yang mempunyai kesamaan
konteks secara makna pada ayat yang dimaksud, diantara musta`arlahu dan
musta'ar lah bisa dikatakan seperti mana wajh syabh dalam tasybih. Jadi
uslub isti`arah itu berasal dari tasybih dan memang kenyataanya ia
mempunyai unsur-unsur perbandingan. Meskipun demikian, dalam
perbandingan tentunya berbeda caranya antara isti`arah berbeda dengan
tasybih, sebab tasybih membuat perbandingan di antara dua perkara
menggunakan partikel tertentu, apabila isti’arah pula meminjamkan perkatan
42
Rahmawati, IMPLEMENTASI ISTI`ARAH DALAM SURAH AL-BAQARAH AYAT 187 (Analisis Corak TafsirLughawi dalam
Tafsir AlQur`an Al-`Azhim dan Tafsir Al-Bahr Al-Muhith), 050/IAT-U/SU-S1/2022, hal 14

XXVIII
untuk memberi perbandigan makna secara majazi, dan perkataan yang
diungkapkan atau digunakan itu pada dasarnya bukanlah makna sebenar
perkataan tersebut.
Berikut contohnya:

‫ِد َها َو َق ۡد َج َع ۡل ُتُم ٱَهَّلل َع َلۡي ُك ۡم َك ِفيۚاًل ِإَّن ٱَهَّلل َيۡع َلُم َم ا‬k ‫َو َأۡو ُفوْا ِبَع ۡه ِد ٱِهَّلل ِإَذ ا َٰع َهدُّتۡم َو اَل َتنُقُضوْا ٱَأۡلۡي َٰم َن َبۡع َد َتۡو ِكي‬
ijnaj halitapet naD
,nakrarkiid haletes
llA aynhuggnuseS t
‫َتۡف َع ُلوَن‬

‫ة َّلُهُم ٱَّلۡي ُل َنۡس َلُخ ِم ۡن ُه ٱلَّنَهاَر َفِإَذ ا ُهم ُّم ۡظ ِلُم وَن‬ٞ‫َو َء اَي‬
saukek( adnat utaus naD
am irad gnais naklaggnat
napalegek
‫ۗۜا‬
‫َقاُلوْا َٰي َو ۡي َلَنا َم ۢن َبَع َثَنا ِم ن َّم ۡر َقِد َن َٰه َذ ا َم ا َو َعَد ٱلَّر ۡح َٰم ُن َو َص َدَق ٱۡل ُم ۡر َس ُلوَن‬
Mereka berkata: "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur
kami (kubur)?". Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul(Nya)

No Musta’ar Musta’aarlah/ Musta’ar/ wajh syabh


minhu/ Musyabbah
musyabbah bih
1 ‫الجبال‬ ‫االيمان‬ Qarinah yang mengarah kepada kata benda yang
nyata, sehingga disesuaikan dengan konteksnya
dengan pendekatan makna berupa tali karena
qarianh tadi berupa fiil mudhorek yang mempunyai
makna memsisahkan
2 ‫نسلخ‬ ‫كشف‬ Terpisah dari sesuatu,

3 ‫مرقدنا‬ ‫الموت‬ Tidak bisa menampakkan

F. Manfaat dan Tujuan Istia’arah dalam al-Quran

XXIX
Manfaat Gaya bahasa metafora : Metafora merupakan model penuturan dan
penyampaian makna yang efektif karena makan menjadi lebih jelas. Demikian itu karena
metafora, menyampaikan makna yang yang tidak dapat ditangkap Indera dapat ditangkap
oleh indera. Metafora dapat mengemukakan makna yang tidak dikenal kepada suatu yang
dikenal. Selain itu, dapat menyampaikan suatu yang kurang kuat kepada suatu yang kuat
43
dan bahkan lebih meyakinkan . Di samping itu dapat memperoleh kosa kata yang
beragam dan memang memiliki makna berbeda-beda tergantung konteksnya, dan dapat
mengetahui cara (proses) mufassir dalam menggunakan uslub istia’arah.

Prinsip penggunaan isti‟ârah dalam al-Qur‟an yaitu bertujuan untuk menarik


perhatian para pendengar dan pembaca al-Qur‟an. Sehingga dengan unsur balâgah dan
keindahan kata serta maksud di dalamnya dapat menyentuh jiwa. Selain itu dapat
memberikan sifat yang abstrak dan tentunya memperjelas sesuatu yang samar yaitu
mampu digambarkan dengan jelas oleh fikiran manusia. Selain itu penggunaan istia’arah
dalam berbahasa juga memiliki beberapa faidah, yakni diantaranya untuk memperindah
ungkapan Ketika berkata-kata, memancing lawan bicara untuk berpikir terkait makna
ungkapan tersebut, dan untuk menekankan makna dengan lebih kuat dari yang dimaksud
oleh pembicara (Tafsir.id).

Dapat dirumuskan bahwa gaya bahasa istiʻarah memainkan peranan yang penting
dalam menyampaikan pesan lebih berkesan berbanding penggunaan gaya bahasa yang
lain. Terlebih pada Istiʻarah tasrihiyyah dan istiʻarah makniyyah yang keduanya memang
bertujuan sebagai pengukuhan mubalaghah (hiperbola), penjelasan kepada sesuatu yang
samar, dan pemberian sifat kepada sesuatu yang abstrak (personifikasi) 44. Peminjaman
kata kerja yang bukan untuk objek penderita pada dasarnya memiliki fungsi intensifikasi
makna sekkaligus sebagai salah satu bentuk keindahan ekspresi yang oleh al-Askari,
dinilai sebagai salah satu tujuan metafora (istia’arah)45.

43
Husein Aziz, Ilmu al-Balaghah Buku pengajaran Jenjang S1 Jurusan Bahasa Arab dan Sastra Fakultas
Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013, hal 10
44
Halim, N. (2020). The Translation of Istiʻarah to Metaphor in Previous Studies: Penterjemahan Isti'arah Kepada
Metafora Dalam Kajian-kajian Lepas. Sains Insani, 5(1), hal 121
45
Nurul ‘Aini Pakaya, FENOMENA USLUB> ISTI’A>RAH DALAM AL-QUR’A>N (Studi Analisis Ilmu Baya>n),
Al-‘AJAMI,Jurnal Bahasa dan Sastra Arab 54 Volume 05, No. 1, juni 2016, hal 63

XXX
Gaya bahasa istiʻarah merupakan antara penyumbang kepada kemukjizatan al-
Quran kerana gaya bahasanya yang ringkas tetapi sarat dengan makna yang tersirat
memerlukan kepada perhalusan makna agar dapat ditakwil atau ditafsirkan dengan benar.
Berdasarkan ringkasan di atas, jelas menunjukkan bahawa tidak ada istilah khusus bagi
istiʻarah dalam retorik bahasa lain, dan istilah yang paling hampir padanannya ialah
istilah metafora46.

Keistimewaan isti’a>rah dalam bala>ghah tidak lebih dari dari kedua segi
tersebut. Yang pertama : nilai isti’a>rah dilihat dari segi lafaz}nya, susunan kalimatnya
seakan-akan tidak memperhatikan tashbi>h, akan tetapi kandungan tashbi>h-nya
terselubung.Nilai isti’a>rah dalam bala>ghah lebih besar daripada tashbi>h bali>gh,
karena tashbi>h yang bali>gh meskipun dalam mushabbah dan mushabbah bih sama,
akan tetapi tashbi>h-nya tetap disengaja dan terlihat. Berbeda dengan isti’a>rah ,
misalnya isti’a>rah muras}ah}ah itu lebih besar dari isti’a>rah mut}laqah, dan nilai
isti’a>rah mut}laqah lebih besar dari isti’a>rah mujarradah. Dalam contoh ini tergambar
dalam hati bahwa wujud neraka dalam bentuk makhluk yang besar, kejam, menyeramkan
wajahnya, muram, dan bergejolak dadanya karena dendam dan marah47.

G. Efek dari bentuk istia’aroh48


Suatu gaya bahasa pasti memiliki efek dari setiap struktur yang dimiliki, begitu
juga pada gaya bahasa isti‟ârah. Menurut para ulama balaghah, isti‟ârah memiliki efek
terhadap makna bahasa yang dikemasnya. Yang mana pada gaya bahasa isti‟ârah
memunculkan efek yang positif. Adapun efek dari bentuk isti‟ârah adalah sebagai
berikut:
1. Mubalaghoh
Yaitu memberikan kesan sangat (hiperbolik). Contohnya seperti
pada surat al-Baqarah ayat 93:

46
Op, cit, hal 124
47
Ulva, F. (2022). Isti’arah Tamthiliyah Dalam Tafsir Kitab Ruh Al-Bayan Karya Isma’il Haqqi. Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-
Qur'an, Tafsir dan Pemikiran Islam, 3(2), 225
48
Ahmad Rifa’I, hal 57

XXXI
‫ْۖا‬
‫َو ِإۡذ َأَخ ۡذ َنا ِم يَٰث َقُك ۡم َو َر َفۡع َنا َفۡو َقُك ُم ٱلُّطوَر ُخ ُذ وْا َم ٓا َء اَتۡي َٰن ُك م ِبُقَّو ٖة َو ٱۡس َم ُعو َقاُلوْا َسِم ۡع َنا َو َع َص ۡي َنا َو ُأۡش ِر ُبوْا ِفي ُقُلوِبِهُم‬
‫ٱۡل ِع ۡج َل ِبُك ۡف ِر ِهۚۡم ُقۡل ِبۡئ َس َم ا َيۡأ ُم ُر ُك م ِبِهٓۦ ِإيَٰم ُنُك ۡم ِإن ُك نُتم ُّم ۡؤ ِمِنيَن‬
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit
(Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang
Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!" Mereka menjawab: "Kami
mendengar tetapi tidak mentaati"

Efek yang ditimbulkan oleh gaya bahasa isti‟ârah pada ayat ini adalah
untuk memberikan kesan sangat atau hiperbolik. Yaitu penggambaran orang
kafir. Untuk memberikan kesan sangat tersebut digunakan simbol al-„ijl (anak
sapi) yang disamakan dengan minuman yang lezat. Tapi kemudian kata al-„ijl
yang sebagai musyabbah bih dibuang dan digantikan dengan sifat yang lazim
untuknya, yaitu kata usyribû yang arti asalnya diminum. Sehingga
diterjemahkan anak sapi dijadikan sesuatu yang meresap ke dalam hati mereka
seperti halnya minuman yang enak dan menyegarkan

2. Idzhar al-Khafiy
Yaitu Yaitu menampakkan yang masih samar. Seperti di surah ali-Imran
ayat 52:
‫۞َفَلَّم ٓا َأَح َّس ِع يَس ٰى ِم ۡن ُهُم ٱۡل ُك ۡف َر َقاَل َم ۡن َأنَص اِرٓي ِإَلى ٱِۖهَّلل َقاَل ٱۡل َح َو اِر ُّيوَن َنۡح ُن َأنَص اُر ٱِهَّلل َء اَم َّنا ِبٱِهَّلل َو ٱۡش َهۡد ِبَأَّنا‬
‫ُم ۡس ِلُم وَن‬

“ Maka ketika Isa merasakan keingkaran mereka (Bani Israil), dia berkata,
“Siapakah yang akan menjadi penolong untuk (menegakkan agama)
Allah?” Para Hawariyyun (sahabat setianya) menjawab, “Kamilah
penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah,
bahwa kami adalah orang-orang Muslim”.

Efek yang ditimbulkan oleh gaya bahasa isti‟ârah pada ayat ini
adalah untuk menampakkan yang masih samar. Yaitu tentang kekufuran
Bani Isra‟il. Kata ahassa pada asalnya berarti merasakan. Tapi tentunya ini
adalah isti‟ârah, karena kekufuran tidak dapat dirasakan, melainkan
diketahui dengan akal lewat informasi dan bukti yang diterima.

XXXII
Penggunaannya di sini menunjukkan bahwa kekufuran dari Bani Isra‟il itu
sudah sangat jelas sekali diketahui oleh Nabi „Isa.

Kata al-hawâriyyûn pada ayat di atas bermakna sangat putih atau


cahaya murni. Sahabat-sahabat Nabi „Isa dinamai demikian, karena hati
mereka sangat tulus, putih, bersih tidak ternodai oleh kotoran, lagi tampak
pada wajah mereka cahaya keimanan yang amat murni. Pertanyaan Nabi
„Isa tentang siapa penolong-penolongnya (sahabatsahabatnya), memberi
kesan bahwa ia mencari mereka, karena jumlahnya 54 tidak banyak di
tengah-tengah masyarakat luas yang mengingkarinya. Menurut riwayat
jumlah sahabat-sahabat setia itu hanya 12 orang49.

3. Idhâh al-Zhâhir laisa bi Jaliy


Yaitu menjelaskan yang tampak tetapi belum begitu jelas. Contohnya
seperti ali-Imran ayat 37:
‫َفَتَقَّبَلَها َر ُّبَها ِبَقُبوٍل َحَس َو َأۢن َبَتَها َنَباًتا َح َس ٗن ا َو َك َّفَلَها َز َك َّيۖا ُك َّلَم ا َد َخ َل َع َلۡي َها َز َك َّي ا ٱۡل ِم ۡح َر اَب َو َج َد ِع نَدَها ۡز ٗق ۖا‬
‫ِر‬ ‫ِر‬ ‫ِر‬ ‫ٖن‬
‫َقاَل َٰي َم ۡر َيُم َأَّنٰى َلِك َٰه َذ ۖا َقاَلۡت ُهَو ِم ۡن ِع نِد ٱِۖهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل َيۡر ُز ُق َم ن َيَش ٓاُء ِبَغ ۡي ِر ِح َس اٍب‬
“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik,
dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya
pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia
dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu
memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah".
Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa
hisab.”

Efek yang ditimbulkan dari struktuk gaya bahasa isti‟ârah pada


ayat di atas adalah untuk menjelaskan yang tampak tetapi belum begitu
jelas. Yaitu pertumbuhan Maryam. Kata anbatahâ pada asalnya berarti
menumbuhkan tumbuhan. Dalam hal ini Maryam disamakan dengan
tumbuhan dari segi pertumbuhannya yang bertahap sedikit demi sedikit.

4. Ja’lu mâ laisa bi Mar’iyyin Mar’iyyan

49
R. Edi Komarudin, “Isti‟ârah dan Efek yang Ditimbulkannya dalam Bahasa alQur‟an Surah al-Baqarah dan Ali
„Imran”, dalam Jurnal al-Tsaqafa, Volume 14, No. 01, Januari 2017, hal. 228

XXXIII
Yaitu, menjadikan yang tidak terlihat menjadi terlihat atau arti sebenarnya
(personifikasi). Seperti di surah ali-Imran ayat 103:
‫َو ٱۡع َتِص ُم وْا ِبَح ۡب ِل ٱِهَّلل َج ِم يٗع ا َو اَل َتَفَّر ُق وْۚا َو ٱۡذ ُك ُروْا ِنۡع َم َت ٱِهَّلل َع َلۡي ُك ۡم ِإۡذ ُك نُتۡم َأۡع َدٓاٗء َف َأَّلَف َبۡي َن ُقُل وِبُك ۡم َفَأۡص َبۡح ُتم‬
‫ِبِنۡع َم ِتِهٓۦ ِإۡخ َٰو ٗن ا َو ُك نُتۡم َع َلٰى َش َفا ُح ۡف َر ٖة ِّم َن ٱلَّناِر َفَأنَقَذُك م ِّم ۡن َهۗا َك َٰذ ِلَك ُيَبِّيُن ٱُهَّلل َلُك ۡم َء اَٰي ِتِهۦ َلَع َّلُك ۡم َتۡه َتُد وَن‬
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”

Efek yang ditimbulkan oleh gaya bahasa isti‟ârah pada ayat ini
adalah untuk menjadikan yang bukan person menjadi person
(personifikasi). Yaitu kata habl merupakan isti‟ârah dari al-Qur‟an. Kaitan
di antara keduanya karena sama-sama mengikat kehidupan, sehingga
dapat berjalan sebagaimana mestinya, teratur, dan sesuai dengan yang
dikehendaki semula. Kalimat syafâ hufratin min al-nâr merupakan
isti‟ârah tamtsîliyyah. Tepatnya menggambarkan kondisi orang-orang
mukmin sewaktu Jahiliyah yang hampir dekat dengan kebinasaan. Seolah-
olah berada di tepi jurang neraka.

XXXIV
BAB III

USLUB ISTIA’ARAH DALAM Al-QURAN

Istia’arah menjadi istilah yang cukup popular dalam kajian balaghah, sekaligus
banyak sekali dari kalangan ulama’ dalam menjelaskan suatu melakukan pendekatan
demikian. Hal ini memicu semnagat bagi pengkaji setelahnya karena ada jalan alternatif
yang ditawarkan oleh ulama terdahulu mengenai konsep istia’arah, terlebih dalam kitab
al-Quran yang memang banyak sekali mufassir menggunakan istia’arah sebagai proses
dalam penafsiran.

A. Perspektif ulama dalam mengomentari Istia’arah al-Quran.


Dalam struktur bahasa Arab yang diungkapkan mufassir pada setiap karya
tafsirnya memiliki keistimewaan tersendiri. Bentuk penafsiran isti‟ârah banyak
ditampilkan oleh para mufassir, tetapi yang menggunakan penafsiran dengan bentuk
istia’arah memiliki ciri khas tersendiri. Berikut beberapa perspektif para ulama’ mengenai
uslub Istia’arah dalam al-Quran yang jelaskan oleh para mufassir:
1. Ibn Asyhur, meneliti Uslub Istia’arah dan mengkelompokkan menjadi empat
kriteria penafsiran yaitu; Pertama, dalam menafsirkan ayat-ayat yang berbentuk
isti‟ârah, lebih memunculkan keterangan bahwa ayat tertentu memiliki bentuk
isti‟ârah, yaitu dengan kata isti‟ârah sendiri atau bentuk kata (shigat) lain dari
kata isti‟ârah dan ini yang paling membedakan penafsiranya dengan mufassir
lainya. Kedua, menjelaskan jenis isti‟ârah dalam ayat-ayat yang terdapat isti‟ârah.
Ketiga, menyebutkan beberapa makna yang terdapat dalam bentuk isti‟ârah pada
suatu ayat. Keempat, menyebutkan kemungkinan bentuk lain selain isti‟ârah pada
ayat tertentu50.
2. Imam al-Suyuthi dan para ulama balâgah sepakat, bahwa di dalam alQur‟an itu
mengandung majâz (isti‟ârah). Ia berpendapat, jika majâz dalam al-Qur‟an
ditolak keberadaannya, berarti al-Qur‟an terlepas dari unsur keindahan. Sebab
50
AHMAD RIFAI ARIP, ISTI’ÂRAH DALAM AL-QUR’AN (Studi Pemikiran Ibnu „Âsyûr Tentang Isti‟ârah dalam Tafsîr al-
Tahrîr wa al-Tanwîr Q.S. Al-Fajr), hal 115

XXXV
majâz merupakan salah satu unsur keindahan yang terdapat di dalam al-Qur‟an.
Di samping itu, jika majâz tidak dapat diakui maka tentunya unsur-unsur lain
seperti al-hadzf, al-îjâz, dan lainnya juga mesti tidak ada51
3. Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar merupakan salah satu ulama yang menerima
keberadaan konsep majaz dalam al-Quran, dan memposisikan bahasa sebagai
bagian dari petunjuk akal. Namun, Al-Qadhi mengidentifikasi perbedaan dari
bagian-bagian bahasa sebagai petunjuk melalui dua syarat: pertama,
menempatkan kata-kata yang disesuaikan dengan kata-kata sebelumnya, kedua,
memperhatikan keadaan orang yang berbicara dan maksud dan perkataan itu
sehingga Memahami Isti’arah Dalam al-Quran, maksudnya dapat dipahami.
Menurutnya, adanya perluasan makna tidak berarti bahwa makna tersebut berbeda
dari makna aslinya, oleh karena itu dia mensyaratkan al-ism al-lughawi (sebutan
etimologis) harus mempunyai makna hakiki (denotative) sebelum akhirnya
digunakan dalam bentuk majas (konotatif)52.
4. Zahiriyyah, Ibn Al-Qash dari kalangan mazhab Syafi’iyyah, Ibn Huwaiz dari
mazhab Maliki dan lainnya, mengungkapkan bahwa majaz tidak berbeda dari
sebuah kedustaan dan sudah tentu al-Qur’an terhindar dari segala macam bentuk
kedustaan. Seorang pembicara (mutakallim) tidak akan condong pada kedustaan
tersebut kecuali tidak ada jalan baginya untuk menampilkan sesuatu yang benar,
dan hal itu tidak mungkin akan terjadi pada Allah swt. Bahasa lain dari referensi
yang berbeda, mereka tidak mengakui adanya makna majaz dalam al-Qur’an.
Sebab, majaz sangat terkait dengan kebohongan (al-kadzab), padahal al-Qur’an
harus bersih dari sifat-sifat yang demikian. Alasan lain adalah bahwa seorang
pembicara (al-mutakallim) tidak menggunakan makna majaz, kecuali jika
terpaksa, sedangkan keadaan terpaksa tidak mungkin terjadi pada Tuhan. Di
antara ulama yang berpendapat demikian adalah mayoritas kelompok al-Dhahiri,
Ibal-Qas dari kelompok Syafi’iyah, Ibn Kuwaiz dari kelompok Malikiyyah53.
Keberadaan Majaz (isti’arah) dalam Al-Quran Dan tidak sedikit ulama-ulama yang
mendukung keberadaan majaz dalam al-Quran karena Al-Quran diturunkan berbahasa

51
Imam al-Suyuthi, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz 2, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., hal. 36
52
Mubaidillah, M. Memahami Isti'arah Dalam Al-quran. Nur El-Islam, 4(2), hal 135
53
Ibid, hal 136

XXXVI
Arab, dan ini bukan berarti al-Quran hanya untuk etnis Arab saja. Bahasa Arab memiliki
kekhasan tersindiri, ia sangat kaya dengan kosakata. Ketika diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia, cukup sulit juga untuk mencarikan padanan kata yang semakna. Selain
itu, satu kata dalam bahasa Arab dimemiliki derivasi –perobahan kata- yang amat
beragam, setiap perobahan tadi memiliki makna tersendiri yang berbeda fungsinya
dengan kata yang lain54.

B. Penggunaan istia’arah dalam beberapa kajian literatur tafsir55


1. Penggunaan Istia’arah dalam kitab Tafsir al-kasyaf.
Tafsir al-Kasyaf merupakan karya dari Syeikh Zamakhsyari, memiliki nama
lengkap Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Umar Al-Zamakhsyari al-Khawarizm Jarullah.
Beliau memiliki nama Laqab yang popular, yaitu Jarullah. Ia lahir di Zamakhsar pada
hari Rabu, 27 Rajab tahun 467 H., sebuah perkampungan besar yang terletak di
kawasan Khawarizmi (Turkistan). Melalui kedua Ilmu Bayan dan Ilmu Ma’ani syeikh
Zamakhsyari melakukan penafsiran terhadap setiap lafaz Al-Qur’an, yang kemudian
menjadi sebuah karya tafsir terbesar pada zaman itu56.
Salah satu contoh penafsiran al-Quran yang menggunakan Istia’arah, yaitu
terdapat pada surah al-Baqarah ayat 7:
‫م‬ٞ‫ة َو َلُهۡم َع َذ اٌب َع ِظ ي‬ٞۖ ‫َخَتَم ٱُهَّلل َع َلٰى ُقُلوِبِهۡم َو َع َلٰى َس ۡم ِع ِهۖۡم َو َع َلٰٓى َأۡب َٰص ِر ِهۡم ِغ َٰش َو‬
“ Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka
ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”
Dalam ayat tersebut, terdapat dua kata ista’arah yaitu ‫ َخ َتم‬dan ۖ ‫ة‬ٞ ‫ِغ َٰش َو‬. Keduanya
memang secara makna, akan berakibat kurang difahami oleh orang awam. Maka
lafadz ‫ َخَتَم‬diistia'arahkan dengan lafadz ‫ كتم‬yang memiliki arti menyembunyikan
dengan maksud menutupi supaya sesuatu yang dikehendaki tidak menyambung
padanya dan juga tidak muncul kepadanya. Sedangkan lafadz ‫ة‬ٞۖ ‫ ِغ َٰش َو‬diistia’arahkan
dengan ‫ غطاء‬yang mempunyai makna tutupan yang diumpamakan seperti perban dan
surban57.

54
Ibid, hal 134
55
Ahmad Rifa’I hal 58
56
Mulyaden, A., Hilmi, M. Z., & Yunus, B. M. (2022). Manhaj Tafsir Al-Kasyaf Karya Al-Zamakhsyari. Jurnal Iman dan
Spiritualitas, 2(1), hal 87

XXXVII
Sehingga bisa difahami bahwa yang tertutup adalah hati, pendengaran dan
penglihatan orang-orang kafir. Pemaknaan dalam hal demikian lebih efektif dengan
menggunkan pendekatan makna yang sesuai dengan pemahaman ayat daripada
memahami secara tekstual yang berlandaskan logika.
2. Penggunaan istia’arah dalam kitab tafsir bahr al-Muhith
Pengarang kitab ini dikenal dengan sebutan Abu Hayyan, lengkapnya adalah
Muhammad bin Yusuf bin ‘Ali binYusuf bin Hayyan al-Gharnathiy al-Andalusiy.
Beliau lahir di Thamkharisy, Granada, Andalusia, bertepatan pada bulan Syawal 654
H.(1256 M.) dan wafat di Mesir pada tahun 745 H.(1344 M.). Abu Hayyan
merupakan ulama yang bermazhab Syafi’i dalam masalah furu’. Ktab ini ditulis oleh
Abu Hayyan Ketika beliau berusia 57 tahun sewaktu menjadi pengajar tafsir di Kubah
Sultan al-Malik al-Manshur. Al-Bahr al-Muhith. Kitab ini tergolong sebagai kitab
tafsir yang disusun oleh seorang sunni,memiliki kelebihan dibanding kitab-kitab tafsir
lainnya sehingga dapat menjadirujukan bagi maslah-masalah i’rab, bahasa, i’jaz dan
balagah al-Quran58.
Berikut, contoh istia’arah yang terdapat di dalam kitab tafsir bahr al-
Muhith, yaitu terletak di surah al-Baqarah ayat 187:
‫س َّلُهَّۗن َع ِلَم ٱُهَّلل َأَّنُك ۡم ُك نُتۡم َتۡخ َت اُنوَن‬ٞ‫س َّلُك ۡم َو َأنُتۡم ِلَب ا‬ٞ‫َّر َفُث ِإَلٰى ِنَس ٓاِئُك ۚۡم ُهَّن ِلَب ا‬kk‫ُأِح َّل َلُك ۡم َلۡي َل َة ٱلِّص َياِم ٱل‬
‫َأنُفَس ُك ۡم َفَتاَب َع َلۡي ُك ۡم َو َع َفا َعنُك ۖۡم َفٱۡل َٰٔـ َن َٰب ِش ُروُهَّن َو ٱۡب َتُغ وْا َم ا َكَتَب ٱُهَّلل َلُك ۚۡم َو ُك ُل وْا َو ٱۡش َر ُبوْا َح َّتٰى َيَتَبَّيَن َلُك ُم ٱۡل َخ ۡي ُط‬
‫ٱَأۡلۡب َيُض ِم َن ٱۡل َخ ۡي ِط ٱَأۡلۡس َو ِد ِم َن ٱۡل َفۡج ِۖر ُثَّم َأِتُّم وْا ٱلِّص َياَم ِإَلى ٱَّلۡي ِۚل َو اَل ُتَٰب ِش ُروُهَّن َو َأنُتۡم َٰع ِكُف وَن ِفي ٱۡل َم َٰس ِج ِۗد ِتۡل َك‬
‫ُح ُدوُد ٱِهَّلل َفاَل َتۡق َر ُبوَهۗا َك َٰذ ِلَك ُيَبِّيُن ٱُهَّلل َء اَٰي ِتِهۦ ِللَّناِس َلَع َّلُهۡم َيَّتُقوَن‬
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-
isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.
Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka
dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang
kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.

57
Al-Zamakhsyari. (n.d.). al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Takwil. In Aplikasi Al-Bahits
al-Quran
58
Khalid, M. R. (2015). Al Bahr Al-Muhîth: Tafsir Bercorak Nahwu Karya Abu Hayyân Al-Andalusî. Jurnal Adabiyah,
15(2), 181-192.

XXXVIII
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa”.
Istia’arah pada ayat tersebut, terletak pada kalimat ‫ٱۡل َخ ۡي ُط ٱَأۡلۡب َيُض ِم َن ٱۡل َخ ۡي ِط‬
‫ ٱَأۡلۡس َوِد‬secara tekstual itu memiliki makna benang putih dari benang hitam. Dalam
tafsir bahr al-Muhith dijelaskan, bahwa secara dhahir, benang yang diketahui oleh
para sahabat Ketika itu, yang kemudian diikatkan di kakinya suatu benang putih
dan benang hitam, maka mereka makan dan minum sampai jelas keduanya yaitu
Sesuatu yang tampaknya menjadi fajar pencegat di cakrawala diserupakan dengan
benang putih, sementara sesuatu yang membentang dengan fajar malam
diserupakan dengan fajar hitam. Sehingga bisa fahami bahwa yang dimaksud
dengan demikian adalah waktu malam dan siang59.
3. Penggunan istia’arah dalam kitab Mafatih al-Gahib
Penyusun kitab ini adalah Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain bin al-Hasan
bin ‘Ali at-Tamimi al-Bakri ath-Thuburustani ar-Razi. Kuniyah beliau adalah Abu
Abdillah dan laqab beliau adalah Fakhruddin. Beliau juga diberi laqab Syaikh al-
Islam. Ar-Razi menulis kitab tafsirnya di akhir masa hidupnya. Pada waktu itu, ia
hidup dan berhadapan dengan orang-orang karamiyah dan mu’tazilah. Pengaruh
paham-paham tersebut, terlebih setelah al-Kasysyaf berkembang di masyarakat
mendorong ar-Razi untuk melakukan counter attack, sehingga beliau membela
akidahnya dengan semangat dan mengkritik pemahaman yang bertentangan
denganya60.

Berikut contoh istia’arah yang terdapat pada kitab mafatihul ghaib, yang
terdapat pada surah Ibrahim ayat 1:

‫آلۚر ِكَٰت ٌب َأنَز ۡل َٰن ُه ِإَلۡي َك ِلُتۡخ ِر َج ٱلَّناَس ِم َن ٱلُّظُلَٰم ِت ِإَلى ٱلُّنوِر ِبِإۡذ ِن َر ِّبِهۡم ِإَلٰى ِص َٰر ِط ٱۡل َع ِز يِز ٱۡل َح ِم يِد‬
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin
Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”

59
Muhammad bin Yusuf bin ‘Ali binYusuf bin Hayyan al-Gharnathiy al-Andalusiy, Tafsir al-Bahr al-Muhith, in aplikasi
al-bahits Quran
60
Azmi, U. (2022). STUDI KITAB TAFSIR MAFATIH AL-GHAIB KARYA AR-RAZI. BASHA'IR: JURNAL STUDI AL-QUR'AN
DAN TAFSIR, hal 129

XXXIX
Dalam ayat tersebut terdapat unsur istia’arah yaitu ‫ِم َن ٱلُّظُلَٰم ِت ِإَلى ٱلُّنوِر‬. Dua
kata tersebut secara tekstual memiliki arti gelap dan Cahaya, sedangkan secara
kontekstual akan berbeda lagi, sehingga disini dibutuhkan proses istia’arah.
Dalam tafsirnya al-Razi dijelaskan bahwa ungkapan bodoh dan kekufuran itu
identic dengan kegelapan, karena tidak ada jalan yang jelas dan terlihat, sehingga
akan berakibat kesesatan. Sedangkan keimanan dan hidayah diungkapkan dengan
kata Cahaya karena terang dapat memberikan arahan yang pasti. Dengan begitu,
menunjukan bahwa jalan kebodohan itu banyak, sebaliknya jalan ma’rifat dan
iman itu hanya satu61.

4. Istia’arah dalam kitab tahrir wa al-Tanwir62


Ibnu 'Asyur, yang nama lengkapnya adalah Muhammad al-Tahir ibn 'Ashur,
adalah seorang tokoh penting dalam sejarah keilmuan Islam dan seorang
cendekiawan Muslim terkenal dari Tunisia. Dia lahir pada tanggal 4 Maret 1879
di desa al-Qayrawan, Tunisia, yang pada saat itu merupakan bagian dari
Kesultanan Utsmaniyah. Ibnu 'Asyur berasal dari keluarga terpelajar yang
memiliki warisan keilmuan yang kuat. Ayahnya, Sheikh al-Tahir ibn Ashur, adalah
seorang ulama terkenal dan pemimpin komunitas di al-Qayrawan.
Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir ditulis pada awal abad ke-20 di Tunisia.
Penulisan tafsir ini dilatarbelakangi oleh konteks sosial dan intelektual yang ada
pada masanya dan tantangan modernitas serta Pendidikan dan keilmuan beliau
yang sangat kuat dan berkualitas. Oleh karenanya beliau menggabungkan
pemahaman kontekstual, analisis bahasa, dan relevansi dengan kondisi sosial saat
itu. Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir adalah hasil dari upaya Ibnu 'Asyur untuk
memberikan pandangan yang segar dan pemahaman yang berwawasan. Terdapat
beberapa karakteristik tafsir ini yang menjadi pembeda dari yang lain, yakni
diantaranya pendekatan konstekstual, penekanan pada tujuan adanya wahyu,
analisis linguistic berupa memperhatikan aspek gramatikal, semantik, dan retorika
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, Penggabungan Pendekatan Ilmiah dan

61
Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin ‘Ali at-Tamimi al-Bakri ath-Thuburustani ar-Razi, Mafatih al-
Ghaib, aplikasi bahits al-Quran
62
Qolbi, M. Y. S. (2023). KAJIAN QS AL-FAJR DALAM KARYA IBNU ‘ASYUR ANALISIS KRITERIA PENGGUNAAN KATA
ISTI’ARAH ATAU SHIGAT SELAIN ISTI’ARAH. Al-Mustafid: Journal of Quran and Hadith Studies, 2(2), hal 23

XL
Tradisional, menekankan aplikabilitas pesan Al-Quran dalam kehidupan sehari-
hari dan memberikan panduan praktis dalam menerapkan prinsip-prinsip Islam.
Dalam Tafsir karyanya ini, Ibnu 'Asyur melakukan analisis linguistik yang
mendalam terkait penggunaan isti’arah atau majas dalam Al-Quran. Isti’arah
merupakan salah satu bentuk retorika yang digunakan dalam Al-Quran untuk
menyampaikan pesan secara metaforis atau kiasan. Dalam tafsirnya, Ibnu 'Asyur
memberikan penjelasan dan pemahaman yang rinci tentang isti’arah yang
digunakan dalam Al-Quran. Dia mempertimbangkan konteks penggunaan
isti’arah, makna asli kata-kata yang digunakan, dan tujuan retorika di balik
penggunaannya. Analisis linguistiknya membantu membongkar makna yang
terkandung dalam isti’arah tersebut. Selain itu, Ibnu 'Asyur juga mengaitkan
isti’arah dengan konteks sosial dan budaya di mana Al-Quran diungkapkan. Dia
mengidentifikasi bagaimana isti’arah yang digunakan dapat dipahami dan relevan
dengan masyarakat pada waktu itu. Analisis ini memperkaya pemahaman tentang
penggunaan isti’arah dalam Al-Quran dan membantu pembaca untuk
menafsirkannya dengan benar. Berikut contohnya:
‫َفَص َّب َع َلۡي ِهۡم َر ُّبَك َس ۡو َط َع َذ اٍب‬

Penjelasan Ibn 'Asyur tentang makna sebenarnya dari kata "al-shabb"


dalam konteks ayat tersebut adalah mengacu pada proses mengekosongkan wadah
yang sebelumnya terisi. Dalam hal ini, istilah "al-shabb" digunakan sebagai
perumpamaan untuk menggambarkan datangnya azab dengan tiba-tiba dan
menimpa mereka dengan cepat dan dalam jumlah yang besar, seperti saat air
menuangkan dari tempat mencuci atau hujan yang deras membanjiri bumi.
Padanan isti’arah untuk kata "al-shabb" dapat ditemukan dalam firman Allah: "Ya
Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami" (Surat Al-Baqarah: 250). Dan
padanan untuk kata "al-shabb" adalah perkataan mereka: "serangan dari segala
arah". Azab yang menimpa mereka adalah azab yang datang secara tiba-tiba
sebagai hukuman bagi mereka.
isti’arah yang digunakan dalam ayat ini menggunakan kata "shabba" yang
secara harfiah berarti mengekosongkan sesuatu yang ada di dalam wadah. Dalam

XLI
konteks ayat tersebut, kata tersebut digunakan sebagai perumpamaan untuk
menggambarkan datangnya konsekuensi atau azab yang tak terduga dan tiba-tiba
akibat perbuatan mereka, seperti saat air dituangkan ke dalam tempat mencuci
atau hujan yang tumpah ke bumi. Isti’arah ini memberikan gambaran tentang
cepatnya dan berlimpahnya datangnya azab tersebut. Persamaan yang ditemukan
adalah kecepatan (sura'ah) dan kebanyakannya (katsrah). Efek yang dihasilkan
oleh gaya bahasa isti’arah dalam ayat ini adalah untuk menjelaskan sesuatu yang
terlihat tetapi belum jelas, yaitu penimpaan azab. Kata "shabba" pada awalnya
berarti menuangkan air. Dalam hal ini, azab disamakan dengan air dalam hal
kedatangannya yang cepat dan banyak

C. Fenomena Uslub Isti’arah dalam al-Quran

Kajian balaghah memuat berbagai pokok pembahasan yang dirumuskan melalui


kitab al-Quran sebagai bentuk kemukjizatan dari segi bahasa dan sastra yang terdapat di
dalam ayat-ayat al-Quran. Seiring berkembangnya zaman, pengkaji al-Quran pada masa
kini tidak seperti ulama zaman dahulu yang memiliki semangat tinggi dalam mempelajari
sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang balaghah. Hal ini
tampak dengan kitab-kitabnya yang digunakan oleh para pengkaji al-Quran untuk
memahami ayat-ayat al-Quran.

Adanya pembukuan ilmu pengetahuan sebagai bentuk inovasi sekaligus


kepedulian para ulama’ terhadap peradaban islam, agar selalu mendapatkan perhatian
oleh Masyarakat muslim, khusunya para pelajar yang fokus kajianya dalam bidang
keagamaan. Hal ini ditujukan untuk mempertahankan suatu pengetahuan agar tidak
hilang dan musnah63, karena metode pengajaran secara musafahah dikhawatirkan tidak
efektif dan susah dalam mengandalkan hafalan.

Para ulama’ telah menemukan banyak isti’arah dalam al-Qur’an sebagaimana


Ibnu Qutaibah menyebutkan serta memasukkan delapan puluh empat ayat yang dianggap
metafor dalam karyanya yang berjudul Ta’wil Musykil Al-Qur’an, sedangkan Ibnu
Mu’taz menyebutkan enam ayat dalam ktabnya yang berjudul Kita>b Al-Badi’> semetara
63
Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Murah labith li al-Kaysfi ma’na Quran al-Majid, cetakan pertama, al-
Haramain, 2014, Juz 1, hal 2

XLII
Al-Askari menyebutkan empat puluh enam ayat dalam As-Sina’atayn dibandingkan
dengan karya-karya kesarjanaan lainnya, tulisan milik As-Syarif Al-Radi memuat paling
banyak contoh fenomena metafora dalam Al-Qur’a>n, yakni lebih dari seratus kasus64.

Perhatian ulama’ dalam menjelaskan konsep isti’arah yang terdapat di dalam kitab
al-Quran menjadi prestasi yang patut untuk diapresiasi melalui bentuk menghargai karya-
karyanya dengan cara mengkaji secara structural yaitu baik dan benar Terdapat berbagai
fenomena atau contoh-contoh uslub isti’arah di dalam al-Quran, yakni diantaranya:

a. Surah saba’ ayat 19:

‫َٰذ‬ ‫ۡق َٰن‬ ‫ۡل َٰن‬


‫َفَقاُلوْا َر َّبَنا َٰب ِع ۡد َبۡي َن َأۡس َفاِرَنا َو َظَلُمٓو ْا َأنُفَس ُهۡم َفَج َع ُهۡم َأَح اِد يَث َو َم َّز ُهۡم ُك َّل ُم َم َّزٍۚق ِإَّن ِفي ِل َك ٓأَلَٰي ٖت ِّلُك ِّل َص َّباٖر‬
‫َش ُك وٖر‬
“Maka mereka berkata: "Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami", dan mereka
menganiaya diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami
hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi
bersyukur.”

Secara bahasa, lafadz ‫ َو َم َّز ۡق َٰن ُهۡم ُك َّل ُم َم َّزٍۚق‬itu memiliki makna menyobek-
nyobek sesuatu, Dimana hal tersebut identic dengan kertas atau semacamnya akan
tetapi untuk mengkaitkan lafadz dengan makna ayat agar sesuai dengan
pemahaman. Maka untuk menghubungkan konteks makna ayat, lafadz ‫ّز ق‬kk‫م‬
meminjam lafadz ‫ك‬kk‫ هل‬yang berarti kehancuran, sehingga pemahaman dapat
diperoleh dengan benar.

Dalam tafsir abi su’ud65, lafazd ‫ّز ق‬kk‫ م‬itu ditafsiri dengan lafadz ‫فّرق‬
sehingga beralih pada makna mencerai-beraikan secara berkeping-keping,
ungkapan menyobek-nyobek itu terkhusus untuk memisahkan sesuatu yang
bersambung (utuh) kemudian mencampur-adukkan, karena memang kondisi saat
itu sangat menakutkan dan mengerikan dan menunjukan damage yang sangat
parah. Hal ini merupakan ancaman bagi mereka yang dzolim dan maksiat kepada

64
Muhammad abu Musa. Al-‘Ija>z Al-Bala>qhi> . (Qahirah: Maktabah Wahbah. 1992), hal 59
65
Abu as-Su'ud bin Muhammad al-Imadi, Tafsir Abi al Su'ud aw irshad al 'aql al salim ila mizaya al kitab al Karim,
maktabah syamilah

XLIII
Allah SWT, dan sebagai bentuk kekuasaanya bahwa setiap perbuatan akan
dibalasa sesuai dengan apa yang diperbuat oleh seseorang dahulu.

b. Surah al-A’raf ayat 168:


‫َو َقَّطۡع َٰن ُهۡم ِفي ٱَأۡلۡر ِض ُأَم ٗم ۖا ِّم ۡن ُهُم ٱلَّٰص ِلُحوَن َو ِم ۡن ُهۡم ُد وَن َٰذ ِلَۖك َو َبَلۡو َٰن ُهم ِبٱۡل َحَس َٰن ِت َو ٱلَّس َٔ‍ِّياِت َلَع َّلُهۡم َيۡر ِج ُعوَن‬
“ Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada
orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba
mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka
kembali (kepada kebenaran)."

Lafadz ‫ قطع‬secara bahasa memiliki arti memotong dan hal tersebut identic
dengan memisahkan suatu benda serta menghilangkan keutuhan sesuatu. Kata
kerja ini digunakan secara istia’arah dengan meminjam kata ‫ فّرق‬yang artinya
membedakan, maksudnya mengkelompokkan secara terpisah antara manusia yang
baik dan tidak baik.

Dalam tafsir tahrir al-Tanwir66, ungkapan memotong (tekstual) itu


mengandung pemisahan, yaitu dengan maksud pujian seperti firman Allah SWT,
bahwa terdapat 12 suku besar dari umatnya nabi Musa A.S yang telah dibagi
untuk kemudian dapat memperoleh air dari batu yang telah dipukulnya. Dan juga
dengan maksud mencela, tapi semuanya tergantung pada qarinahnya bukan
mengacu pada tekstual.

c. Surah al-Isra’ ayat 24:


‫َو ٱۡخ ِفۡض َلُهَم ا َج َناَح ٱلُّذ ِّل ِم َن ٱلَّر ۡح َم ِة َو ُقل َّرِّب ٱۡر َح ۡم ُهَم ا َك َم ا َر َّبَياِني َص ِغ يٗر ا‬

“ Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua

telah mendidik aku waktu kecil".

Pada kalimah ‫ َو ٱۡخ ِفۡض َلُهَم ا َج َن اَح‬menurut Ibnu „Âsyûr, bahwa ungkapan
tentang kerendahan hati (tawâdhu‟) dengan penggambarannya keadaan seekor
burung yang merendahkan dirinya ketika ditimpa rasa takut akan burung yang
ganas. Maka susunan tersebut merupakan bentuk isti‟ârah makniyyah, kata sayap

66
Muhammad Ibnu asyur, Tafsir tahrir al-Tanwir, al-Bahits al-Quran in aplikasi

XLIV
merupakan gambaran yang serupa dengan gambaran kuku-kuku pada kematian
dalam bait sya‟ir Abu Dzuaib: “Dan ketika kematian melekat pada kuku-kukunya,
maka meskipun kau pasang jimat tak akan berpengaruh”. Maksudnya yaitu sayap
sama dengan kuku-kuku yang bermakna diri seorang secara utuh. Jadi pada ayat
di atas maksudnya yaitu “rendahkanlah dirimu” dan pada bait sya‟ir yaitu
“melekat pada dirinya”67

d. Surah Maryam ayat 4:


‫َقاَل َر ِّب ِإِّني َو َهَن ٱۡل َع ۡظ ُم ِم ِّني َو ٱۡش َتَعَل ٱلَّر ۡأ ُس َش ۡي ٗب ا َو َلۡم َأُكۢن ِبُدَعٓاِئَك َر ِّب َش ِقّٗي ا‬

“ Dia (Zakaria) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah

dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepadaMu, ya Tuhanku. “

Ar-Rumani mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa


penggunaan kata ista’ala yang digandengkan dengan kata ar-ra’su sangatlah tepat.
Mengingat bahwa pembaca akan merasakan sebuah makna yang agung yaitu
banyaknya uban yang terdapat di kepala, maka seakan-akan kepala yang menyala
bukanlah uban yang menyala. Karena jika uban yang menyala akan memberikan
kesan hanya sedikit uban di kepala. Beberapa teolog lain terpengaruh dengan
pemikiran ar-Rumani sehingga mereka pun menulis karya yang memiliki
kemiripan dengan apa yang dikaji oleh ar- Rumani. Di antara mereka adalah al-
Khattabi dengan karya Bayan I’jaz alQuran, al-Baqilani dengan karya I’jaz al-
Qur’an, Ibn Sinan al-Khafaji dengan karya Sirru al-Fasahah, dan lain
sebagainya68.

e. Surah al-Maidah ayat 71:

‫ر ِّم ۡن ُهۚۡم َو ٱُهَّلل َبِص يُۢر ِبَم ا َيۡع َم ُلوَن‬ٞ‫ة َفَعُم وْا َو َص ُّم وْا ُثَّم َتاَب ٱُهَّلل َع َلۡي ِهۡم ُثَّم َع ُم وْا َو َص ُّم وْا َك ِثي‬ٞ‫َو َحِس ُبٓو ْا َأاَّل َتُك وَن ِفۡت َن‬

“ Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun (terhadap mereka
dengan membunuh nabi-nabi itu), maka (karena itu) mereka menjadi buta dan pekak,

67
Muhammad al-Thahir ibn Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr, Tunis : Dar Suhunun li al Nasyr wa al Tauzi'i, 1997 Juz 15, hal. 70
68
Muhamad Agus Mushodiq, MAJAZ AL-QURAN PEMICU LAHIRNYA ILMU BALAGHAH (TELAAH PEMIKIRAN ‘ALI
‘ASYRI ZĀID), Vol. 20, No. 01 (2018), An-Nabighoh, hal 56

XLV
kemudian Allah menerima taubat mereka, kemudian kebanyakan dari mereka buta
dan tuli (lagi).”
Pada ayat tersebut, mengandung isti'ärah yaitu dalam kalimat ‫فعموا وصموا‬
"mereka buta dan tuli". Keduanya, yaitu "buta" dan "tuli" yang posisinya
sebagai musta'är (kata yang dipinjam) ditunjukkan untuk menggantikan
pengertian "berpaling dari hidayah dan berpaling dari iman" ‫اإلعراض عن الهداية‬
‫ واإليمان‬yang berkedudukan sebagai musta 'är minhu. Alaqah musyabahah dari
isti 'ärah di atas adalah bahwa tanpa hidayah dan iman, manusia seperti orang
buta dan tuli yang tidak bisa mendengarkan nasehat dari orang lain dan tak
dapat melihat kenyataan yang benar.
Qarinah dari isti'ärah tersebut adalah konteks bahwa al-Qur'än
menjelaskan tentang Bani Israil yang didatangi oleh utusan tetapi mereka
lebih senang mengikuti hawa nafsu mereka daripada mengikuti nasehat serta
petunjuk Nabi, dalam ayat ini tidak berbicara tentang orang buta dan tuli
dalam makna yang sebenarnya.
Isti'ärah di atas, bagian dari isti'ärah tashrihiyyah. Sementara dilihat dari
segi musta'ärnya termasuk isti'ärah tabaiyyah, karena musta'ämya
menggunakan kata kerja fiil madli yang musytaq. Kemudian Efek yang
ditimbulkan oleh gaya bahasa isti 'ärah pada ayat 71 surat al-Mäidah adalah
untuk memberikan kesan sangat (mubälaghah). Maksudnya adalah hidayah
dan iman, manusia bagaikan orang buta dan tuli yang tak dapat mendengar
nasehat orang lain dan tak dapat melihat kenyataan yang benar

f. Surah al-Maidah ayat 83:

‫َو ِإَذ ا َسِم ُعوْا َم ٓا ُأنِز َل ِإَلى ٱلَّرُسوِل َتَر ٰٓى َأۡع ُيَنُهۡم َتِفيُض ِم َن ٱلَّد ۡم ِع ِمَّم ا َع َر ُفوْا ِم َن ٱۡل َح ِّۖق َيُقوُلوَن َر َّبَن ٓا َء اَم َّن ا َفٱۡك ُتۡب َن ا‬
‫َم َع ٱلَّٰش ِهِد يَن‬
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul
(Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran
(Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya
berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-
orang yang bersaksi”

XLVI
Pada ayat tersebut, terdapat isti'ärah dalam kalimat ‫دمع‬kk‫"تفيض من ال‬air
matanya tumpah". Lafadz "tumpah" yang berkedudukan sebagai musta 'är (kata
yang dipinjam) tentu saja tidak digunakan untuk pengertian aslinya. Kata ini
digunakan untuk menggantikan "menangis" yang berkedudukan sebagai musta 'är
minhu. Pengertian "tumpah" dalam pengertian awalnya adalah untuk
menggambarkan terbuangnya air dari satu wadah atau tempat karena tempat
tersebut telah penuh atau terlalu penuh, sehingga air yang tak tertampung itu
keluar dari wadah tersebut.Alaqah musyabahah dari isti 'ärah di atas adalah bahwa
mata diibaratkan wadah sehingga apabila sudah penuh isinya maka yang tak
tertampung oleh wadah tersebut akan keluar/tumpah. Qarinah dari isti 'ärah ini
adalah kata ‫دمع‬kk‫من ال‬Yang mengindikasikan bahwa lafadz ‫ تفيض‬tidak digunakan
untuk makna aslinya69.

Sedangkan jenis isti'ärah ini adalah isti'ärah tashrihiyyah tabaiyyah karena


musta 'ärnya merupakan fiil mudlari ' yang musytaqq. Efek yang ditimbulkan oleh
gaya bahasa isti 'ârah pada ayat tersebut adalah untuk memberikan kesan sangat
(mubâlaghah). Konteks ayat ini tentu saja bukan penggunaan makna asli, tetapi
lebih disebabkan oleh tujuan dari gaya bahasa isti'ărah, yaitu mubalaghah atau
memberikan kesan lebih, maka digunakanlah kata "tumpah”. Mata diibaratkan
wadah sehingga apabila sudah penuh isinya maka yang tak tertampung oleh
wadah tersebut akan keluar/tumpah70.

g. Istia’arah dalam surah yasin ayat 9

‫َو َجَع ۡل َنا ِم ۢن َبۡي ِن َأۡي ِد يِهۡم َس ّٗد ا َو ِم ۡن َخ ۡل ِفِهۡم َس ّٗد ا َفَأۡغ َش ۡي َٰن ُهۡم َفُهۡم اَل ُيۡب ِص ُروَن‬
“ Dan Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka
juga sekat, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat “
Menurut Ibn ‘Āsyūr ayat ini mengandung isti’ārah tamsiliyyah. Ayat
tersebut mengandung majaz isti’ārah tamṡīliyyah karena wajhu syabah-nya
terdiri dari gambaran rangkaian keadaan beberapa hal. Dalam ayat tersebut,

69
Murdiono, M., Mauludiyah, L., & Amin, M. (2023). Eksistensi Majaz Isti’arah dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah
Menurut Perspektif Ilmu Balaghah. Jurnal Pendidikan Tambusai, 7(2), 16598-16604
70
Ibid, hal 166

XLVII
Ibn ‘Āsyūr hanya menyebut jenis isti’ārah tamṡīliyyah saja tanpa penjelasan
lebih jauh terkait jenis maupun alasan pengkatagorian isti’ārah. Jika ditinjau
dari penyebutan salah satu ṭarfain, maka termasuk dalam isti’ārah taṣrīhiyyah
karena yang disebutkan adalah musyabbah bih atau musta’ār minhu yaitu lafal
‫ )سدا خلفهم ومن سدا ايدهم بين من جعلنا‬dan kami jadikan di hadapan mereka dinding
dan di belakang mereka dinding).
Sedangkan musyabbah atau musta’ār lah-nya tidak disebutkan yaitu lafal
‫ )اعراضهم حالة و القران في التدبر عن االسالم دعوة‬keadaan orang kafir yang menentang
ajaran AlQur’an dan dakwah islam). Adapun jika ditinjau dari segi penyebutan
lafal musta’ār termasuk isti’ārah taba’iyyah karena yang disebutkan dalam
isti’ārah berupa fi’il yaitu lafal ‫جعلنا‬. Dalam ayat tersebut mengandung
isti’ārah karena terdapat kesamaan antara orang kafir yang menentang ajaran
al-Qur’an dan dakwah Nabi dengan orang yang dihadapan dan belakang
mereka terdapat dinding, yaitu sama-sama terhalang dari petunjuk. Gambaran
orang kafir yang menentang al-Qur’an dan dakwah Islam diserupakan dengan
orang yang terkepung diantara dua dinding. Dinding tersebut menghalangi
pandangan mereka sehingga tidak bisa melihat ayat-ayat Allah yang
mendorong untuk mendapat keimanan.
h. Istia’arah dalam surah ali-Imran ayat 7
‫غ َفَيَّتِبُع وَن‬ٞ ‫ت َفَأَّم ا ٱَّلِذ يَن ِفي ُقُلوِبِهۡم َز ۡي‬ٞۖ ‫ت ُّم ۡح َك َٰم ٌت ُهَّن ُأُّم ٱۡل ِكَٰت ِب َو ُأَخ ُر ُم َتَٰش ِبَٰه‬ٞ ‫ُهَو ٱَّلِذٓي َأنَز َل َع َلۡي َك ٱۡل ِكَٰت َب ِم ۡن ُه َء اَٰي‬
‫ّل ِّم ۡن‬ٞ ‫َم ا َتَٰش َبَه ِم ۡن ُه ٱۡب ِتَغٓاَء ٱۡل ِفۡت َنِة َو ٱۡب ِتَغٓاَء َتۡأ ِو ي ۖۦِلِه َو َم ا َيۡع َلُم َت ۡأ ِو يَل ٓۥُه ِإاَّل ٱُۗهَّلل َو ٱلَّٰر ِس ُخ وَن ِفي ٱۡل ِع ۡل ِم َيُقوُل وَن َء اَم َّن ا ِبِهۦ ُك‬
‫ِع نِد َر ِّبَنۗا َو َم ا َيَّذ َّك ُر ِإٓاَّل ُأْو ُلوْا ٱَأۡلۡل َٰب ِب‬

“ Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya


ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur'an) dan yang lain
mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan,
mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-
cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan
orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-
Qur'an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran
kecuali orang yang berakal.”

XLVIII
Jika ditinjau menurut perspektif musta’ar minhudan musta’ar, maka Q.S.
Ali Imran(3) ayat 7 mengandung isti’arah tasrīhiyah, yaitu lafazh ‫باتكالمأ‬yang
secara bahasa bermakna “ibu, induk kitab”. Pada konteks ayat tersebut lafazh
‫باتكالمأ‬dimaknai dengan‫( أصول الكتاب‬pangkal dan pokok dari ayat-ayat lain)”,
dan lafazh ‫ أصول الكتاب‬dibuang sebagai musta’arnya. Dalam pendekatan
sistemik fungsional), dapat dilihat bagaimana struktur bahasa mencerminkan
fungsi komunikatifnya dalam konteks ayat yang dijelaskan, yaitu musta’ar
minhu(musyabbah bih) dalam konteks ayat, "‫( "باتكالمأ‬Ibu/induk kitab) dapat
dianggap sebagai field, yaitu bidang atau konsep yang sedang dibahas.
Fieldini mengacu pada sesuatu yang konkret dan dikenal, yaitu ibu/induk. Dan
musta’ar"‫( "أصول الكتاب‬pangkal dan pokok dari ayat-ayat lain) menjadi
musta’ār, yang menciptakan relasi antara field dan tenor dalam ayat tersebut 71.

BAB IV

ANALISIS USLUB AL-ISTIA’ARAH DALAM AL-QURAN

71
Hasaniyah, N., Faisol, F., & Murdiono, M. (2023). Stilistika Al-Qur’an: Memahami Bentuk-Bentuk Komunikasi
Metafora dalam Surat Ali Imran. Arabi: Journal of Arabic Studies, 8(2), hal 224

XLIX
A. Analisis materi uslub istia’arah dalam al-Quran
Melalui metode istiqra’ dalam berbagai pendekatan yang telah dipaparkan
kemudian difahami, terdapat suatu poin tersendiri mengenai materi tersebut
yaitu bagaimana uslub istia’arah memiliki pengaruh luar biasa dalam
menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran dan bagaimana proses terjadinya
dengan sedemikian rupa yang tentunya tidak lepas dari kontribusi para
mufassir dalam memberikan penafsiran melalui pendekatan istia’arah tersebut.
Kemudian alasan pemilihan diksi atau kata yang dipinjam dalam menjelaskan
makna yang dimaksud, dan tentunya ada pemahaman serta alasan tersendiri
mengenai hal tersebut.
Istia’arah sering digunakan dalam berbagai kajian keilmuan, terkhusus
dalam bidang kajian al-Quran sebagai bentuk pemahaman ayat-ayat al-Quran
yang masih bersifat global. Terdapat rahasia tersendiri mengenai lafadz
isti’arah yang digunakan dalam al-Quran, karena kata yang dipilih itu
merupakan rekomendasi dari para mufassir yang telah melakukan penelitian
terdahulu berupa penguasaan berbagai bidang keilmuan yang kemudian dapat
mencetuskan lafadz tersebut sebagai istia’arah dalam al-Quran
Memang bahasa yang digunakan dalam al-Quran itu mengandung unsur
balaghah yang padat akan makna, sehingga tidak diperbolehkan memahami
secara mentah-mentah yaitu tekstual saja tanpa memperhatikan konstektual
pemahaman ayatnya.
Melalui konsep istia’arah yang beraturan dapat menjaga dari
kesalahfahaman dalam pemaknaan ayat al-Quran. Kemudian adanya macam-
macam istia’arah menunjukan bahwa kalimat-kalimat ayat al-Quran
mencakup berbagai pokok pembahasan yang berbeda yang menuntut adanya
varian istia’arah mengalami pembagian dan disesuaikan dengan konteksnya.
Adanya klasifikasi dalam istia’arah sebagai bentuk alternatif untuk memahami
ayat al-Quran yang notabenenya banyak menggunakan istia’arah dan
diharapkan para pengkaji dapat menentukan pada tempatnya masing-masing,
mana ayat yang mengandung istiarah makniyyah, tashrihiyyah maupun
mushurrahah dan seterusnya.

L
Perlunya memerhatikan struktur dan kaidah dalam menggunakan uslub
istia’arah. Tidak asal dalam meminjam suatu kata untuk kemudian digunakan
dalam pendekatan makna al-Quran, karena firman Allah SWT tidak boleh
disalahtafsirkan apalgi dilakukan Upaya penyelewengan. Mengingat bahwa
Allah SWT akan menempatkan para manusia yang mencoba menafsirkan
dengan pemikiranya sendiri tanpa didasari oleh dalil yang kuat di tempat yang
amat mengerikan dengan siksaanya yaitu di neraka.
Mufassir Ketika mendalami makna ayat melalui pendekatan istia’arah, hal
yang pertama kali dilakukan adalah memahami sifat eksternal dari ayatnya
terlebih dahulu yang mencakup ilmu ulumul al-Quran seperti asbabun Nuzul,
nasikh mansukhnya, nuzulul quran dan lain sebagainya, kemudian mencoba
mencari padanan ayat yang digunakan dalam istia’arah dengan pertimbangan
yang matang. Melalui kajian kebahasaan al-Quran bisa diketahui rahasia atau
inti sari dari kandungan ayat tersebut.
Diksi yang dipakai dalam al-Quran mempunyai rahasia tersendiri, karena
mengungkapkan makna saja di dalam ayat al-Quran melibatkan berbagai
macam keilmuan, seperti ilmu balaghah, nahwu, Sharaf, ulum al-Quran,

Qawaid al-Tafsir, dan lain sebagainya .Untuk memahami secara keseluruhan,


makna, dibutuhkan ilmu-ilmu demikian, terkhusus balaghah, karena dengan
itu, sampai dapat merasakan kemukjizatan al-Quran dari segi bahasa dan
sastra. Selain itu semua keilmuan yang dibutuhkan tersebut harus sesuai
dengan kaidah dengan benar, sebab salah sedikit saja dapat merubah makna
keseluruh ayatnya.
Mencari padanan kata untuk dipinjamkan kepada al-Quran tidaklah
mudah,harus memperhatikan dengan baik kaidah kebahasaan, karena bahasa
itu berpotensi musytarok yang berarti bermakna ganda atau juga muradif
yakni bermakna sama tapi memiliki redaksi lafadz yang berbeda. Kemudian
juga lafadz juga memiliki kesamaan konteks tapi arahnya berbeda dalam
pemaknaan. Oleh karena itu, pemilihan diksi yang digunakan dalam
peminjaman dalam memberikan makna harus melalui metode Muqabalah

LI
yakni membandingkan diantara diksi yang ada kemudian menyerasikan
pemahaman ayat yang dimaksud, sehingga makna ayat tersebut dapat dicapai.
Ulama juga memberikan alasan secara deksriptif setelah melalui
analisisnya, mengenai lafadz yang digunakan dalam istia’arah. Kemudian juga
memberikan penjelasan lanjutan berupa contoh atau gambaran yang masih ada
hubunganya dengan lafadz tersebut. Hal ini sebagai jalan alternatif bagi
pengkaji untuk memahami makna lafadz yang dimaksud serta faidah dan
pengaruh dalam penggunaanya. Setalah itu mengambil hikmah dari Lafadz
Isti’arah yang dipakai agar nantinya patra pengkaji mengetahui maksud
mengapa yang dibuat pendekatan Istia’arah adalah lafadz demikian.
Berikut analisis Uslub al-Istia’arah dalam surah ali-Imran ayat 7:
‫غ‬ٞ ‫ت َفَأَّم ا ٱَّلِذ يَن ِفي ُقُل وِبِهۡم َز ۡي‬ٞۖ ‫ت ُّم ۡح َك َٰم ٌت ُهَّن ُأُّم ٱۡل ِكَٰت ِب َو ُأَخ ُر ُم َتَٰش ِبَٰه‬ٞ ‫ُهَو ٱَّلِذٓي َأنَز َل َع َلۡي َك ٱۡل ِكَٰت َب ِم ۡن ُه َء اَٰي‬
‫َفَيَّتِبُعوَن َم ا َتَٰش َبَه ِم ۡن ُه ٱۡب ِتَغٓاَء ٱۡل ِفۡت َنِة َو ٱۡب ِتَغٓاَء َتۡأ ِو ي ۖۦِلِه َو َم ا َيۡع َلُم َت ۡأ ِو يَل ٓۥُه ِإاَّل ٱُۗهَّلل َو ٱلَّٰر ِس ُخ وَن ِفي ٱۡل ِع ۡل ِم َيُقوُل وَن َء اَم َّن ا ِبِهۦ‬
‫ّل ِّم ۡن ِع نِد َر ِّبَنۗا َو َم ا َيَّذ َّك ُر ِإٓاَّل ُأْو ُلوْا ٱَأۡلۡل َٰب ِب‬ٞ ‫ُك‬
pada ayat tersebut mengandung isti’arah tasrīhiyah. Yang terletak pada
lafazh ‫الراسخون‬yang secara bahasa bermakna “orang-orang yang teguh di atas
bumi sedemikian beratnya”. Pada konteks ayat tersebut lafazh
‫الراسخون‬dimaknai “orang-orang yang mendalami ilmunya, kokoh tertanam di
dalam hati dan tidak goyah”. Ayat tersebut disebut isti’arah thaba’iyyah
karena lafazh yang digunakan berasal dari kata benda (ism ja>mid), yaitu
lafazh ‫خون‬kk‫(الراس‬orang-orang yang mendalami ilmunya, kokoh tertanam di
dalam hati dan tidak goyah)” Pemahaman isti’arah tasrīhiyahdalam konteks
budaya dan agama pada saat itu memberikan pemahaman mendalam tentang
sifat-sifat orang yang dijelaskan dalam ayat. Konsep "orang-orang yang
mendalami ilmunya" dapat dihubungkan dengan pentingnya pengetahuan dan
kekokohan dalam era modern, menekankan nilai-nilai seperti ketekunan dan
kestabilan
B. Analisis Uslub Istia’arah dalam kitab Jauharul maknun

Kitab ini dikarang oleh Abdurrahman ibn Sagir al-Akhdari dalam bentuk
mandzumat, yang didalamnya menjelaskan dasar ilmu balaghoh, yang

LII
mencakup tiga fan ilmu, yaitu ilmu Ma'ani, ilmu Bayan dan ilmu Badi'. Dan
tidak sedikit para ulama menjadikanya sebagai bahan rujukan dalam kajian
balaghah, karena memang kitab ini cukup popular di kalangan pesantren-
pesantren khususnya yang berbasis salaf. Selain itu kitab ini terbilang sesuai
dengan penyusunanya yang bersifat deskriptif dan structural kemudian mudah
difahami apabila dapat menghafalkan nadzamnya dengan baik dan benar.
Memang metode ulama terdahlu dalam menghimpun suatu keilmuan itu
dengan konsep Mandzumat agar nanti bukan hanya difahami tapi juga dihafal,
sebab terdapat Bahar pada mandzumat tersebut sehingga bisa dilagukan.
Meskipun demikian banyak ulama yang mentaqrir atau menysarahi bahkan
Hasyiyah pada Kitab ini, hal ini ditujukan untuk mempermudah pengkaji
untuk memahami maksud dari redaksi-redaksi yang terdapat pada kitabnya.

Kitab Jauhar al-Maknun karya Syekh Abdurrahman al-Akhdhari adalah


salah satu kitab yang membahas ilmu tata bahasa Arab. Di dalamnya terdapat
sejumlah nazam yang berkaitan dengan tata bahasa dan sastra Arab.

Seperti fan keilmuan pada umumnya, pada bab Istia’arah terlebih dahulu
dikenalkan definis baik itu secara bahasa maupun Istilah, hal tersebut
memang harus ditunjukan di semua macam ilmu, yang kemudian
dikembangkan dalam sebutan Mabdiul al-Asyrah yakni sepuluh pokok dasar
permulaan yang harus diketahui dalam keilmuan sebagaimana yang dikatakan
oleh syeikh Shobhan bahwa sepuluh itu adalah definisi, tema pembahasan,
faidah, keutamaan, nisbat, pencetus, nama, tendensi, hukum mempelajari, dan
problematika yang ada di dalamnya, pasti terdapat hal demikian dalam
mempelajari suatu ilmu.

Kemudian dijelaskan Qarinah (keterkaitan) dalam istia’arah yang


mencakup singular, plural, dan memiliki hubungan antara satu dengan yang
lain. Selanjutnya dijelaskan pembagian istia’arah baik itu ditinjau dari kedua
tharafnya, jami’ nya, lafadznya, dan menghimpun kedua tharafnya yang mana
kesemuanya itu dijelaskan secara detail disertai contoh-contoh baik itu dalam
bentuk syi’ir maupun ayat-ayat al-Quran. Selanjutnya terdapat klasifikasi

LIII
Istia’arah yang mencakup istia’arah tahiqiq dan aqli serta istia’arah
manawiyah atau juga boleh disebut dengan istia’arah bil-kinayah.

Kemudian dipaparkan cara membuat istia’arah yang bagus dan benar yaitu
wajah Ta’arrudnya mencakup kedua ujungnya, tidak ada lafazh yang
menunjukkan tasybih, ada saling menyesuaikan antara kedua ujungnya
dengan jelas, semisal contoh ingin membuat istia’arah untuk kekasihnya yang
penuh dengan kecantikanya baik secara dhohir maupun batin, melalui
ungkapanya, bahwa aku melihat bunga harum di kampus yang dapat
melebarkan garis senyumku alias Bahagia. Bunga harum diistilahkan dengan
gadis cantik yang memiliki aura yang baik dan sholihah.

Di fashl terakhir, dijelaskan mengenai pembuangan I’rob ataupun


menghilangkan suatu huruf yang ada di dalamnya dan menambah hurufnya
semisal pada surah yusuf ayat 85 yang membuang Sebagian hurufnya

. ‫َقاُلوْا َتٱِهَّلل َتۡف َتُؤ ْا َتۡذ ُك ُر ُيوُسَف َح َّتٰى َتُك وَن َحَر ًضا َأۡو َتُك وَن ِم َن ٱۡل َٰه ِلِكيَن‬

Ayat tersebut memberikan pengertian bahwa engkau (nabi Ya’kub) tidak


henti-hentinya mengingat yusuf yang hanya membuat dirinya sakit atau
bahkan sampai menghancurkanya. Di ayat tersebut meskipun tidak ada lafadz
la nafyi tapi mengindikasikan makna terus menerus atau senantiasa.

Kemudian di ayat lain dijelaskan bahwa ada majaz yang menambahkan


kata yakni pada potongan ayat dalam surah al-Syu’ara

‫ء َو ُهَو ٱلَّس ِم يُع ٱۡل َبِص يُر‬ٞۖ ‫َلۡي َس َك ِم ۡث ِلِهۦ َش ۡي‬

Ayat tersebut engindikasikan bahwa Allah SWT merupakan dzat yang tidak
ada yang menyamainya sama sekali, sebenarnya lafadz kaf yang berfungsi
tasybih itu tidak perlu secara pemaknaan karena telah mencukupi, sehingga
disana berfaidah ziyadah saja dan tentunya ada rahasia tersendiri adanya
huruf kaf tersebut. Dan masih banyak lagi

Semua bait yang terdapat dalam kitab Jauharul Maknun penuh dengan
ulasan yang membahas tentang keindahan makna Al-Qur'anul Karim, dalam

LIV
bait Jauharul Maknun juga terdapat internalisasi moral yang disebutkan dalam
beberapa bait. Terlebih dalam bab Istia’arah yang mencoba mengungkapkan
makna lewat sarana diksi yang mengandung keindahan makna yang nantinya
akan dijelaskan. Melalui istia’arah makna lebih mudah difahami dan tentunya
akan menjadi Solusi apabila menemukan kalimat atau teks yang di dalamnya
mengandung kesamaran dalam penjelasan, oleh karena itu, istia’arah sangat
perlu untuk dipelajari apalagi kalau mengkaji al-Quran, sebab di sana banyak
sekali kata-kata yang seharusnya dijelaskan melalui proses istia’arah

Dengan demikian, al-Quran tidak bisa terlepas dari kajian balaghah,


terkhusus pada Uslub Istia’arah karena keduanya saling melengkapi dan
menjelaskan. Al-Quran tanpa Istia’arah maka pemahaman akan kurang,
Istia’arah tanpa al-Quran, kajian balaghah kurang sempurna karena al-Quran
sendiri yang melahirkan Ilmu balaghah yang kemudian digunakan oleh
Ulama’, para pengkaji maupun orang-orang Muslim untuk memahami
teksnya.

LV
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Uslub al-Istiarah adalah gaya bahasa yang dipakai dengan maksud meminjam
suatu lafadz karena ada ‘alaqah (hubungan) yang kemudian digunakan pada suatu
teks untuk menjelaskan maksud isi kandunganya. Kitab al-Quran banyak sekali
menggunakan Uslub al-Istia’arah sebagai jalan dalam menafsirkan al-Quran, karena
dikatakan model yang cukup efektif dalam menjelaskan makna al-Quran. Uslub
mempunyai pengaruh yang penting dalam menjelaskan suatu makna, Uslub terbagi
menjadi tiga yaitu Uslub ‘Ilmi, adabi, dan Khitabi.
Konsep Istia’arah dibedah menjadi beberapa elemen, yakni Rukun-rukun isti'arah
terdiri dari musta'ar minhu (kata yang diberi pinjaman), musta'ar lahu (kata yang
dipinjam), dan musta'ar (kata pinjaman). Dalam pembagian ini, isti'arah dapat
dibedakan menjadi inadiyah (tidak dapat bersatu karena bertolak belakang) dan
wifaqiyah (dapat bersatu). Isti'arah juga dapat dibedakan menjadi mutlaq (tanpa
pengertian yang menghimpun) dan mujarradah (dengan pengertian yang
menghimpun). Setelah dijelaskan secara teoritis, maka terdapat efek yang
ditimbulkan dari Uslub istia’arah ini, terlebih dalam al-Quran dan bagaimana
membuat dan menggunakan Istia’arah dengan baik dan benar kemudian dilengkapi
dengan contoh serta analisis penjelasanya.
Peran ulama’ tentunya sangat berpengaruh dalam mengembangkan teori Istia’arah
dalam al-Quran melalui karya-karyanya yang dibukukan dan telah beredar diberbagai
daerah, kemudian dikembangkan oleh para intelektual muslim. Mereka mempunyai
karakteristik tersendiri dalam mengungkapkan konsep Istia’arah yang meliputi
macam-macam, rukun-rukun, dan lain sebagainya, meskipun berbeda-beda dalam
menyajikan tapi mempunyai tujuan yang sama yakni menjelaskan makna dari lafadz
al-Quran.
B. Saran

LVI
Demikian, makalah yang dapat dipaparkan dengan konsep sedemikian rupa, dapat
menjadi bahan kajian para pengkaji, khsusnya dalam bidang balaghah dan mungkin
dapat dijadikan sebagai rujukan atau refrensi dalam pembelajaran, baik di kalangan
pelajar maupun mahasiswa dikarenakan makalah ini sumbernya valid dan dapat
dipercaya. Kemudian penulis berharap ada masukan atau rekomendasi dari para
pembaca mengenai kepenulisan makalah ini, sehingga menjadi studi yang
berkelanjutan melalui pegembangan keilmuan ini.
Hendaknya pada penelitian selanjutnya dapat memperdalam kembali mengenai
teori-teori dan konsepnya. Selanjutnya lebih mengembangkan ruang lingkup
penelitian, mengingat penelitian yang dilaksanakan ini belum sepenuhnya bisa
kompleks dan komperhensif. Dalam proses pengumpulan data, hendaknya
menggunakan teknik yang diperkirakan dapat lebih optimal dalam mendapatkan data
yang diperlukan.

LVII
DAFTAR PUSTAKA

‘Abdul-‘Azim Muhammad az-Zarqany, Manahilul-‘Irfan fi ‘Ulumil-Qur’an, Cetakan


ketiga Mesir: Dar al-Ihya’

Abdul Fattah Munawwir dan Adib Bisyri, Kamus al-Bisyri, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1999),

Abu Musa Muhammad, Al-‘Ija>z Al-Bala>qhi> . (Qahirah: Maktabah Wahbah. 1992

Agus Mushodiq Muhamad, MAJAZ AL-QURAN PEMICU LAHIRNYA ILMU


BALAGHAH (TELAAH PEMIKIRAN ‘ALI ‘ASYRI ZĀID), Vol. 20, No. 01 (2018),
An-Nabighoh

‘Aini Pakaya Nurul, FENOMENA USLUB> ISTI’A>RAH DALAM AL-QUR’A>N


(Studi Analisis Ilmu Baya>n), Al-‘AJAMI,Jurnal Bahasa dan Sastra Arab 54 Volume
05, No. 1, juni 2016

Akhdlori Imam, Ilmu balaghah terjemah jauharul maknun, PT Al-Ma’arif: Bandung,


cetakan ke 10,

Al-Din Muhammad Ilmu yasin al-Fadani, Husnus al-Shiyaghah fi syarh durus al-
Balaghah, maktabah al-Barokah: Rembang, cetakan ke-8, 2018

Al-Jarim Ali dan Musthafa Amin, Al-Balaghah al-Wadlihah, (Surabaya:TB.al-Hidayah,


1961)

Al-Suyuthi Imam, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz 2, Dar al-Fikr: Beirut

Al-Thahir Muhammad ibn Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwir, Tunis : Dar Suhunun li
al Nasyr wa al Tauzi'i, 1997

As-Su'ud Abu bin Muhammad al-Imadi, Tafsir Abi al Su'ud aw irshad al 'aql al salim
ila mizaya al kitab al Karim, maktabah syamilah

LVIII
Al-Zamakhsyari. (n.d.). al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh
al-Takwil. In Aplikasi Al-Bahits al-Quran

Aziz Husein, Ilmu al-Balaghah Buku pengajaran Jenjang S1 Jurusan Bahasa Arab dan
Sastra Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013

Bima, S. T. I. H. M. (2022). Majaz Isti’arah in Qur’an Surah Al-Baqarah: A Balaghah


Science Perspective Based Analysis. Buletin Al-Turas Vol, 28(1)

Deden Hidayat, H, Tesis “ I’Jaz al-Quran ditinjau dari Uslub Isti’arah (kajian Balaghah
surat al-Baqarah, ali-Imran, an-Nisa, dan al-Maidah, UIN Syarif Hidayatullah:
Jakarta, 2008,

Danil, M., & Mahendra, A. (2021). Taḥlīlu Uslūbi al Insyā’i wa al Khabari fī Syi’ri al
Raṡā’i “Falā Yub’idannaka Allāhu” li al Khansā’i (Dirāsatun Taḥlīliyyatun fī ‘Ilmi
al Ma’āni). Al-Uslub: Journal of Arabic Linguistic and Literature, 5(01)

Edi Komarudin, R “Isti‟ârah dan Efek yang Ditimbulkannya dalam Bahasa alQur‟an
Surah al-Baqarah dan Ali „Imran”, dalam Jurnal al-Tsaqafa, Volume 14, No. 01,
Januari 2017,

Eliza Noor, A. R., Nooraihan, A., Noor Anida, A., & Zulazhan, A. H. (2018).
Penterjemahan isti’arah dan kinayah dalam teks al-quran.

Fajrina, F. (2018). AL USLUB FII AN NAQD AL BALAGHY. Ijaz Arabi Journal of Arabic
Learning, 1(2).

Halim, N. (2020). The Translation of Istiʻarah to Metaphor in Previous Studies:


Penterjemahan Isti'arah Kepada Metafora Dalam Kajian-kajian Lepas. Sains Insani,
5(1), hal 121

HALIM ABD, A. H. B. (2017). USLUB INSYA’I DAN DILALAHNYA DALAM AL-


QURAN (Kajian Ilmu Balaghah Dalam Surah Shaad) (Doctoral dissertation,
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).

Hanafi, Dkk, Qawaidh lughah al-Arabiyah, dar al-Kutb al-Islamiyyah, cetakan pertama,
2014,

LIX
Hasaniyah, N., Faisol, F., & Murdiono, M. (2023). Stilistika Al-Qur’an: Memahami
Bentuk-Bentuk Komunikasi Metafora dalam Surat Ali Imran. Arabi: Journal of
Arabic Studies, 8(2)

Izham, S. S. (2013). Uslub metafora dalam al-Qur’an: Kajian terhadap Surah al-Kahfi.
University of Malaya (Malaysia).

Indriana, N. (2019). ISTI’ARAH DALAM PIDATO KHULAFAUR-RASYIDIN (KAJIAN


ANALISIS BALAGHAH). An-Nas: Jurnal Humaniora, 3(2).

Makinuddin, M. (2018). Mengenal Uslub dalam Struktur Kalimat dan Makna. MIYAH:
Jurnal Studi Islam, 14(2)

Nurafika Alfi, Majaz Isti’ārah dalam Surah Yāsīn:Studi Pemikiran Ibn ‘Āsyūr dalam
Kitab Al-Taḥ rīr wa Al-Tanwīr JALSAH: The Journal of al-Quran and as-Sunnah
StudiesFaculty of UshuludinIIQ An-Nur YogyakartaVol. 2, No. 2, 2022

Mahliatussikah, H. (2016). Analisis Kisah Nabi Yusuf Dalam Al-Quran Melalui


Pendekatan Interdisipliner Psikologi Sastra. Arabi: Journal of Arabic Studies, 1(2),

Mahmasoni, M. S. (2022). Uslub al-Qur’an: Studi Uslub Taqdim wa Ta’khir dalam al-
Qur’an. JURNAL AL MA'ANY, 1(1), 54-69.

Khalid, M. R. (2015). Al Bahr Al-Muhîth: Tafsir Bercorak Nahwu Karya Abu Hayyân Al-
Andalusî. Jurnal Adabiyah, 15(2),

Mubaidillah, M. Memahami Isti'arah Dalam Al-quran. Nur El-Islam, 4(2),

Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin ‘Ali at-Tamimi al-Bakri ath-
Thuburustani ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, aplikasi bahits al-Quran

Mulyaden, A., Hilmi, M. Z., & Yunus, B. M. (2022). Manhaj Tafsir Al-Kasyaf Karya Al-
Zamakhsyari. Jurnal Iman dan Spiritualitas, 2(1)

Murdiono, M., Mauludiyah, L., & Amin, M. (2023). Eksistensi Majaz Isti’arah dalam Al-
Qur’an Surat Al-Maidah Menurut Perspektif Ilmu Balaghah. Jurnal Pendidikan
Tambusai, 7(2)

LX
MUSDIK-NIM, A. M. I. R. (2011). USLUB AL-ISTI'ARAH FI SURAH AL-KAHFI
DIRASAH TAHLILIYAH BALAGHIYAH (Doctoral dissertation, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta).

Safii, R., Shaleh, S. R., & Doni, C. P. (2022). Uslub Kalam Khabar dan Insya’dalam
Dialog Kisah Nabi Zakariyah dalam Al-Qur’an. A Jamiy: Jurnal Bahasa dan Sastra
Arab, 11(2),

Nashoiha, I. (2018). Majȃz Isti’ȃrah dalam Surah Yȗsuf (Studi Komparatif Tafsir al-
Kasyâf & Tafsir Bahrul Muhîth),

Nurbayan, Y. (2020). Analisis Ayat-Ayat Kinâyah Dalam Al-Quran Dan Implikasinya


Bagi Pengajaran Balaghah.

Nuha, M. A. U., & Musyafaah, N. (2022). Majaz Isti'arah Analysis Terms of Mulaim in
Arabic Oral Perspective. Lisanudhad: Jurnal Bahasa, Pembelajaran Dan Sastra Arab,
9(2), 164-196

Panggabean, N. H., & Irham, M. I. (2022). Ijâz Al-Qur’an dan Relevansinya dengan Ilmu
Bahasa. Jurnal Kewarganegaraan, 6(3),

Radzi, Siti Fatimah, and Harun Baharudin. "Analisis Kontrasif Tasybih Dan Istia’rah
Dengan Simile Dan Metafora." Jurnal ILMI 9.1 (2019)

Randi Safii. Dkk, Uslūb al-Kalām al-Khabariy dan al-Insyaiy dalam dialog kisah Nabi
Zakariyah dalam Al-Qur’an, Universitas Muhammadiyah: Gorontalo, ‘A Jamiy:
Jurnal Bahasa dan Sastra Arab Volume 11, No. 2, September 2022,

Rasyad, R., Hermansyah, H., & Zulkhairi, Z. (2017). TANBĪH AL-MĀ SYI AL-
MANSŪB ILĀ TARĪQ AL-QUSYASYĪ: Analisis Uslub Bahasa Arab dalam Karya
Abd Ar-Rauf As-Singkili. Jurnal Adabiya, 18(2)

Ridha, Z. (2021). AL KALAM AL KHABAR FI DIWAN AL SYAFI'I (DIRASAH


TAHLILIYYAH FI ILM AL MA'ANI (Doctoral dissertation, UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA).

LXI
Rofiqul'Ala, M. (2021). Urgensi Mengenal Uslub Khitabi untuk Penulisan Karya Tulis
dalam Bahasa Arab. Al-lisān Al-‘arabi-Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa
Arab, 1(1),

Roslan, A. R., & Idris, A. (2011). Isti'arah al-Qur'an dalam Juzuk Pertama: Suatu
Pandangan Ulama Balaghah

Yusuf Bahtiar, Aam abdulsalam, Uslub Nahyu dalam kajian metode tafsir al-Quran, ZAD
AL-MUFASSIRIN; JURNAL ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR Vol.2, No 2, 2020

Ridwan, R. (2007). PEMINJAMAN KATA (ISTI’ARAH) DALAM ALQURAN. El


Harakah, 9(3)

Rahmawati, IMPLEMENTASI ISTI`ARAH DALAM SURAH AL-BAQARAH AYAT 187


(Analisis Corak TafsirLughawi dalam Tafsir AlQur`an Al-`Azhim dan Tafsir Al-Bahr
Al-Muhith), 050/IAT-U/SU-S1/2022,

Rifai Arip Ahmad, ISTI’ÂRAH DALAM AL-QUR’AN (Studi Pemikiran Ibnu „Âsyûr
Tentang Isti‟ârah dalam Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr Q.S. Al-Fajr)

Qolbi, M. Y. S. (2023). KAJIAN QS AL-FAJR DALAM KARYA IBNU ‘ASYUR ANALISIS


KRITERIA PENGGUNAAN KATA ISTI’ARAH ATAU SHIGAT SELAIN ISTI’ARAH.
Al-Mustafid: Journal of Quran and Hadith Studies, 2(2)

Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, Murah labith li al-Kaysfi ma’na Quran al-
Majid, cetakan pertama, al-Haramain, 2014, Juz 1

Ulva, F. (2022). Isti’arah Tamthiliyah Dalam Tafsir Kitab Ruh Al-Bayan Karya Isma’il
Haqqi. Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-Qur'an, Tafsir dan Pemikiran Islam, 3(2),

Yanggo, H. T. (2016). Al-Qur'an sebagai Mukjizat Terbesar. Misykat, 1(2), 271161

Sholah Fadl, Ilm al-Uslub Mabadiuh wa Ijra’atuh, (Kairah: Dar al-Syuruq, 1968),

LXII

Anda mungkin juga menyukai