Anda di halaman 1dari 43

PERLINDUNGAN HAK KREDITUR DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI IDERA

(STUDI KASUS PUTUSAN NO. 262/PDT.G/2017/PN.JKT.PST (“PUTUSAN NO.


262”), PUTUSAN BANDING NO. 453/PDT/2018/PT.DKI (“PUTUSAN BANDING NO.
453”), PUTUSAN KASASI NO. 3071K/PDT/2019 (“PUTUSAN KASASI NO. 3071”))

Mata Kuliah : Hukum Jaminan


Dosen Pengajar : Dr. Endang Pandamdari, S.H., M.H.
Nama Anggota Kelompok : Alia Fathi Ahmad - 01656230112
Eugenius Evan - 01656230101
Nurohmah Rosia Ningrum - 01656230116
Sherien Defrinanda - 01656230114
Tri Hasianatama - 01656230132

Magister Kenotariatan
Universitas Pelita Harapan
Jakarta
2024
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keberadaan pesawat terbang saat ini sangat dibutuhkan bagi masyarakat di seluruh
dunia mengingat mobilitas tinggi yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan fasilitas,
layanan, serta jangka waktu yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan moda
transportasi lainnya, membuat pesawat diminati oleh banyak masyarakat di dunia.
Khususnya di Indonesia, hal ini juga disebabkan Indonesia yang merupakan negara
kepulauan sehingga pesawat terbang selaku alat transportasi menjadi alternatif yang
sangat strategis dan dinilai cukup aman. 1 Kenaikan angka penerbangan tersebut
mengindikasikan bahwa minat masyarakat dinilai cukup tinggi terhadap kendaraan
pesawat terbang. Namun begitu, perlu diketahui juga bahwa jenis transportasi ini
merupakan jenis transportasi yang sifatnya padat modal. Di Indonesia, peminat pada
jenis angkutan udara ini dari waktu ke waktu cenderung meningkat apabila
dibandingkan dengan minat masyarakat terhadap jenis angkutan lain. Terdapat beberapa
pengaturan mengenai pesawat terbang di Indonesia yang sudah diubah melalui Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja salah satunya adalah mengenai
penyederhanaan serta kemudahan bagi investor terutama dari sisi pembukaan usaha baru di
bidang penerbangan. Pada Pasal 118 ayat (2) UU Penerbangan dielaskan bahwa pelaku usaha
pesawat terbang (niaga) berjadwal wajib memiliki setidaknya 5 (lima) unit pesawat
terbang dan setidaknya mengusai 10 (Sepuluh) unit pesawat terbang. Namun semenjak
Undang-Undang Cipta Kerja telah disahkan, syarat kepemilikan pesawat terbang (niaga)
berjadwal telah diubah menjadi wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) pesawat terbang, dan
menguasai paling sedikit 2 (dua) pesawat terbang. Hal ini telah diatur lebih lanjut
melalui Pasal 65 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Bidang Penerbangan (selanjutnya disebut sebagai “PP 32/21”).2
Dijaminkannya pesawat udara dalam pemberian kredit oleh bank mengenai
pembebanan jaminan atas pesawat udara dalam praktiknya masih adanya suatu permasalahan,
yaitu dalam hal penggolongan kriteria pembebanan jaminan. Mengingat bahwa pesawat
udara merupakan kendaraan yang dapat berpindah/dipindahkan, maka seharusnya pesawat
udara digolongkan ke dalam benda bergerak yang dibebani dengan jaminan fidusia.

1
Moch. Isnaeni,Hipotek Pesawat Udara di Indonesia(Surabaya: Dharma Muda, 1996), hal. 10-11.
2
Katalog Badan Pusat Statistik, Statistik Transportasi Udara, (Jakarta: BPS RI, 2019), hal. 20.

1
2

Sedangkan, jika dilihat dari berat bobot total yang dimiliki oleh pesawat udara, pesawat udara
memiliki berat bobot yang lebih dari 20 m3, sehingga termasuk benda yang dikecualikan
dalam pembebanan jaminan fidusia (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia). Lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan,
pesawat terbang dan helikopter yang sudah memiliki tanda pendaftaran dan kebangsaan
Indonesia dapat dibebankan dengan jaminan hipotek dan harus didaftarkan sebagaimana
diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Seiring
dengan perkembangan zaman, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tersebut dicabut dan
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (selanjutnya
disingkat UU Penerbangan). Dalam UU Penerbangan tersebut tidak mengatur mengenai
pembeban jaminan kebendaan berupa pesawat udara namun, UU penerbangan hanya
mengatur pendaftaran kepemilikan atas pesawat udara dan helikopter. Akibatnya, kreditur
tidak memiliki hak preference untuk melaksanakan hak-haknya apabila debitur wanprestasi.
Pengaturan mengenai pembebanan jaminan kebendaan terhadap pesawat udara tidak
diatur dalam UU Penerbangan, dalam Pasal 71 UU Penerbangan menjelaskan bahwa “Objek
pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian
pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat, dan/atau perjanjian
sewa guna usaha”.
Sewa guna usaha erat kaitannya dengan fidusia, terutama dalam penjaminan
objek dari perjanjian sewa guna usaha tersebut. Secara umum,dalam perjanjian
pembiayaan sewa guna usaha biasanya pihak leasing mencantumkan kata-kata
dijaminkan secara fidusia, yang artinya bahwa dalam perjanjian sewa guna usaha tersebut
(sebagai perjanjian pokok) menimbulkan adanya penjaminan fidusia (sebagai perjanjian
assesoir) yang berarti hal tersebut membebani sewa sebagai jaminan pelunasan atas
hutang apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi. Secara umum, pesawat terbang yang
dijaminkan dengan jaminan fidusia dapat dieksekusi salah satunya dengan cara lelang
apabila kreditur melakukan wanprestasi, termasuk namun tidak terbatas pada kegagalan
pembayaran piutang, sama halnya dengan Hipotik. Tahapan eksekusi jaminan fidusia
dapat dilakukan secara pelaksanaan titel eksekutorial berdasarkan Pasal 15 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menjelaskan
bahwa sertifikat jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekusi eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.3

3
Baiq Chasima Yudistika dan Suatra Putrawan.Kajian Hukum Mengenai Eksekusi Jaminan Fidusia
oleh Pihak Lelang Secara Sepihak(Bali:Universitas Udayana, 2019), hal. 3.
3

Dalam setiap lembaga jaminan tersebut mempunyai ciri-ciri dan obyeknya masing-
masing, Lembaga jaminan dalam bentuk gadai apabila dikaitkan dengan pesawat udara
sebagai objek jaminan tidaklah cocok, dikarenakan objek pembebanan gadai yang berupa
benda bergerak yaitu berada di bawah kekuasaan kreditur yang tentunya merugikan bagi
pihak debitur sebab, debitur tentu membutuhkan suatu pesawat udara tersebut untuk
beroperasi agar mendapatkan penghasilan. Maka, lembaga jaminan gadai tidak cocok untuk
dijadikan sebagai objek pembebanan jaminan kebendaan atas pesawat udara. Begitu pula
dengan pembebanan jaminan hak tanggungan bahwa objek hak tanggungan adalah hak atas
tanah dan benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Maka, Pesawat udara tidak bisa
dijadikan objek lembaga jaminan hak tanggungan dikarenakan bukan merupakan objek
jaminan hak tanggungan. Mengenai jaminan fidusia, dalam Pasal 3 huruf c UU Jaminan
Fidusia dijelaskan secara tegas bahwa UU Jaminan Fidusia tidak berlaku bagi hipotik
pesawat udara serta dilihat dari berat bobot pesawat udara yang tentunya lebih dari 20 m3
membuat pesawat udara dikecualikan dalam jaminan fidusia, sebagaimana halnya dengan
kapal laut. Mengenai jaminan hipotik, hipotik adalah suatu hak jaminan kebendaan atas
benda-benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu
perikatan. Dari pengertian tersebut Objek dari hipotik adalah benda tidak bergerak serta
ditegaskan kembali dalam pasal 1167 KUHPerdata yang melarang hipotik pada benda
bergerak. Jaminan Hipotek merupakan jaminan yang paling relevan, dikarenakan pesawat
udara memiliki sifat kekhususan (sui generis).
Hal tersebut dikarenakan pesawat udara mempunyai tanda pendaftaran dan tanda
kebangsaan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU Penerbangan.6 Diwajibkannya
memiliki tanda pendaftaran dan kebangsaan menjadikan pesawat udara sebagai benda tidak
bergerak. Suatu pesawat udara jika dilihat dari segi sifatnya yang berpindah atau
dipindahkan memang dapat digolongkan sebagai suatu benda bergerak (Pasal 509 KUH
Perdata). Namun, apabila dilihat dari segi berat bobot total pesawat udara yang lebih dari 20
m3 yang memperkuat penjelasan bahwa pesawat udara dikategorikan menjadi benda tidak
bergerak sebagaimana halnya Kapal laut. Pasal 314 KUHD menjelaskan bahwa Kapal
Indonesia yang berukuran lebih dari 20 m3, dapat dibukukan dalam suatu register kapal
menurut ketentuan Undang-undang yang akan ditetapkan tersendiri. Dengan dilakukannya
pendaftaran kapal, akibat hukum yang penting adalah bahwa terhadap kapal yang terdaftar itu
4

status hukumnya dipersamakan dengan barang barang tak bergerak. Maka, dari penjelasan
tersebut pesawat udara dapat diikatkan dengan jaminan Hipotek. Hal tersebut dipertegas lagi
pada Pasal 1171 KUHPerdata lembaga jaminan hipotek harus dibebankan atas akta autentik
yang dibuat dihadapan pejabat berwenang dalam hal ini adalah notaris,untuk memperjelas hal
tersebut, jika dilihat dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris menjelaskan kewenangan lain Notaris yaitu salah satunya membuat
akta hipotek pesawat terbang. Dari penjelasan tersebut, Notaris secara tegas berwenang
membuat suatu akta hipotek pesawat terbang. Kewenangan notaris dalam membuat akta
hipotek pesawat terbang memberikan suatu perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi
para pihak. Oleh karena itu,lembaga jaminan yang paling relevan untuk pesawat udara adalah
jaminan hipotek.4
Kepentingan Internasional adalah suatu kepentingan yang didapat oleh kreditor yang
timbul dikarenakan Perjanjian Pemberian Hak Jaminan Kebendaan, Perjanjian Pengikatan
Hak Bersyarat dan/atau Perjanjian Hak Sewa Guna Usaha. Hal tersebut tunduk pada
Konvensi Cape Town 2001. Kemudian dalam pasal 72 UU Penerbangan ditegaskan bahwa,
“Perjanjian yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dapat dibuat berdasarkan
hukum yang dipilih oleh para pihak pada perjanjian tersebut.” Ketentuan ini memberikan
kemungkinan bagi para pihak untuk memilih hukum Indonesia dalam Perjanjian Pemberian
Hak Jaminan Kebendaannya. Mengenai hal tersebut maka, para pihak harus memilih lembaga
jaminan yang ada sesuai ketentuan hukum nasional. Dalam Buku II KUHPerdata tidak
mengatur mengenai penggolongan benda atas pesawat udara. Pasal 509 KUH Perdata
menjelaskan barang bergerak karena sifatnya adalah barang yang dapat berpindah atau
dipindahkan. Pesawat udara dapat berpindah atau dipindahkan sehingga tergolong benda
bergerak. Namun,dikarenakan suatu pesawat udara harus memiliki tanda pendaftaran dan
kebangsaan yang diatur dalam Pasal 24 UU Penerbangan seperti halnya kapal laut (314 KUH
Dagang) yang menjadikan pesawat udara sebagai benda tidak bergerak, oleh karena itu masih
menjadi problema mengenai penggolongan benda atas pesawat udara.
Ratifikasi Konvensi Cape Town dan pengaturannya dalam Undang-Undang
Penerbangan hanya memberikan jalan keluar bagi kreditur pemegang hak jaminan kebendaan
yang dibebankan atas pesawat udara yang dipasang berdasarkan hukum asing yang
pesawatnya didaftarkan dan dioperasikan di Indonesia. Perlindungan kreditur berdasarkan

4
Ashafa, Burhan.2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta.
5

Kovensi Cape Town salah satunya adalah penghapusan pendaftaran pesawat udara dan
melakukan ekspor pesawat udara dengan seketika dan tanpa putusan pengadilan melalui
Surat Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali untuk memohon penghapusan pendaftaran dan
ekspor (Irrevocable deregistration and export request authorization/ IDERA) atas pesawat
udara yang memiliki tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran Indonesia.
pemberian/penerbitan IDERA hanya dapat dilaksanakan di Indonesia apabila pesawat udara
yang di maksud telah didaftarkan/dicatat oleh Kementrian Perhubungan.5
Berkaitan dengan IDERA dan untuk dapat memperoleh perlindungan kepentingan
internasional (international interest) pesawat udara harus didaftarkan terlebih dahulu, secara
teoritis dalam pendaftaran hak, dikenal dua sitem yaitu pendaftaran akta (registration of
deeds) dan pendaftaran hak (registration of titles) yang pada masyarakat modern merupakan
tugas negara yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka memberikan jaminan
kepastian hukum. Demikian pula pendaftaran hak perdata pesawat udara seperti hak milik,
hak sewa, hak jaminan kebendaan (hipotik atau mortgage), dalam daftar umum (public
register) dimaksudkan untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum.6
Perlindungan kreditur berdasarkan Kovensi Cape Town salah satunya adalah
penghapusan pendaftaran pesawat udara dan melakukan ekspor pesawat udara dengan
seketika dan tanpa putusan pengadilan melalui Surat Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali
untuk memohon penghapusan pendaftaran dan ekspor, Surat Kuasa tersebut adalah
(Irrevocable deregistration and export request authorization/ IDERA) atas pesawat udara
yang memiliki tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran Indonesia. Dalam Putusan No.
453/Pdt/2018/PT.DKI j.o Putusan No. 262/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst ini, antara Unity Group Ltd
(Perusahaan Kanada) dengan PT Air Born Indonesia membuat perjanjian sewa pesawat. Pada
saat perjanjian itu masih berlangsung, PT Air Born Indonesia melakukan pelanggaran
sehingga Unity Group Ltd menggugat atas wanprestasi dan PMH. Untuk mengeksekusi
Jaminan tersebut terdapat kekosongan hukum dalam hal IDERA sehingga kelompok kami
mengangkat kasus dari (PUTUSAN NO. 262/PDT.G/2017/PN.JKT.PST (“PUTUSAN NO.
262”), PUTUSAN BANDING NO. 453/PDT/2018/PT.DKI (“PUTUSAN BANDING NO.
453”), PUTUSAN KASASI NO. 3071K/PDT/2019 (“PUTUSAN KASASI NO. 3071”)

1.2 Rumusan Masalah


5
Peter Thome, The Cape Town Convention Its Impact in Realtion to Interests in aircraft
Object, Norton Rose: 2006. hal.4.
6
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang pokok Agraria, lsi
dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2003, hal. 76.
6

Bagaimana praktik kekuatan IDERA sebagai metode eksekusi jaminan berupa


pesawat udara untuk melindungi kepentingan kreditur? (Studi Kasus Putusan No.
262/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst (“Putusan No. 262”), Putusan Banding No.
453/PDT/2018/PT.DKI (“Putusan Banding No. 453”), Putusan Kasasi No. 3071K/Pdt/2019
(“Putusan Kasasi No. 3071”) ?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui mekanisme pesawat udara sebagai

obyek jaminan, dan untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap Studi Kasus

Putusan No. 262/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst (“Putusan No. 262”), Putusan Banding No.

453/PDT/2018/PT.DKI (“Putusan Banding No. 453”), Putusan Kasasi No.

3071K/Pdt/2019 (“Putusan Kasasi No. 3071”)

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dan bermanfaat sebagai sumbangan pikiran baik secara

teoritis maupun praktis terhadap perkembangan Ilmu Hukum, khususnya di bidang

Kenotariatan.

1. Manfaat secara Teoritis Penelitian ini semoga memberi sumbangan pikiran

terhadap perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan khususnya Ilmu Hukum

Kenotariatan. Terutama di bidang pengetahuan Hukum jaminan.

2. Manfaat secara Praktis Menanambah Khasanah Ilmu Hukum Perdata khususnya

hukum Kenotariatan yang berlaku dan bagi masyarakat.

1.5 Metodologi Penelitian


Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif,

sehingga metode yang digunakan adalah metode perolehan data yuridis normatif, yaitu

metode yang menggabungkan kajian atas peraturan perundang-undangan, asas, norma

dan kaidah hukum serta aturan-aturan lain yang berlaku. Dikarenakan penelitian yang

penulis lakukan bersifat yuridis normatif, sehingga data yang digunakan serta diperoleh
7

oleh penulis dalam skripsi ini adalah data sekunder, yang terdiri atas bahan hukum

primer, sekunder, dan tersier. Adapun bahan hukum primer meliputi: peraturan

perundang-undangan terkait hukum perjanjian dan hukum perdata, bahan hukum

sekunder meliputi : kepustakaan yang berasal dari buku, jurnal ilmiah, karya tulis skripsi,

atau hasil penelitian berbentuk lainnya, dan dalam bahan hukum tersier penulis

menggunakan kamus hukum, serta pengertian ahli untuk membantu penulis menjelaskan

pengertian dalam bahan hukum primer dan sekunder tersebut.


BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsepsi Jaminan Pesawat


Pesawat udara sebagai benda bergerak mempunyai kebangsaan (national and
registration mark). Sebagai konsekuensi pendaftaran dan kebangsaan, maka negara wajib
membuat buku pencatatan (recordation) pesawat udara yang terbuka untuk umum. Masalah
pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara juga diatur dalam Konvensi Chicago 1944 dan
semua negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengakui status hukum
pesawat udara sebagai benda bergerak yang mempunyai kekhususan (sui generis).7

2.1.1 Lembaga Jaminan (Hipotik) dalam Perjanjian Kredit dengan Jaminan Pesawat
Udara
Pengikatan Jaminan atas pesawat terbang melalui pembebanan Hipotik sebagaimana
diamanatkan oleh UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan belum dapat dilaksanakan
sampai saat ini dan pembebanan melalui Fidusia bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat
(3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia yang secara tegas menyebutkan bahwa Fidusia
tidak berlaku terhadap Hipotik atas pesawat terbang.
Berdasarkan asas dan prinsip hukum perdata di Indonesia khususnya dan yang dianut
oleh mayoritas negara-negara di dunia, pesawat udara digolongkan sebagai benda tidak
bergerak. Prinsip hukum ini berpengaruh pada penetapan aturan hukum keperdataan yang
berlaku bagi pesawat udara sebagai obyek jaminan, yaitu antara lain dapat mempunyai
hubungan dengan lembaga jaminan berupa Hipotik (Hypotheek). Dibeberapa negara maju,
lembaga jaminan pesawat udara telah dilaksanakan melalui ketentuan Mortgage. Lembaga
jaminan hipotik di Indonesia diatur dalam Buku II KUHPerdata mulai dari Pasal 1162 sarnpai
dengan Pasal 1232.
Ketentuan mengenai lembaga jaminan pesawat udara diatur dalam UU No. 15 Tahun
1992 tentang Penerbangan mengenai pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara serta
lembaga jaminan pesawat udara. Pasal 9 UU Penerbangan diatur bahwa pesawat udara yang
akan dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran Indonesia.
Dalam hal ini, tidak semua pesawat udara dapat mempunyai tanda pendaftaran
Indonesia, kecuali pesawat udara Sipil yang tidak didaftarkan di negara lain dan memenuhi
salah satu ketentuan dan syarat dibawah ini :

7
J.P.Honig, The legal Status of Aircraft, (The Hague: Martinus Nijhofl; 1956), hal. 58.

8
9

1. Dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia;
2. Dimiliki oleh Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing dan dioperasikan oleh
Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia untuk jangka waktu
pemakaian minimal 2 (dua) tahun secara terus menerus berdasarkan suatu peijanjian
sewa beli, sewa guna usaha, atau bentuk peijanjian lainnya;
3. Dimiliki oleh instansi pemerintah;
4. Dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan pemerintah.
Secara khusus ketentuan mengenai pendaftaran pesawat udara Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dan pendaftaran pesawat udara sipil diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah. Selain tanda pendaftaran Indonesia, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU
Penerbangan, pesawat udara dan helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib pula
mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan
diberikan kepada pesawat udara dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran
Indonesia. Persyaratan dan tata cara memperoleh dan mencabut tanda kebangsaan Indonesia
bagi pesawat udara dan helikopter dan jenis-jenis tertentu dari pesawat udara dan helikopter
yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan Indonesia, akan diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Secara yuridis pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang dapat dijadikan
sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat terbang atau helikopter
tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Hal tersebut diatur
dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan yang secara
lengkap berbunyi sebagai berikut :
1. Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan
kebangsaan Indonesia dapat dibebani Hipotik.
2. Pembebanan Hipotik pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud
pada ayat (I) harus didaftarkan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran hipotik pesawat udara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengikatan pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan melalui pembebanan hipotik.
Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pembebanan hipotik atas pesawat
udara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 Ayat (3) UU No. 15 tahun 1992 tentang
Penerbangan sampai saat ini belum direalisasikan, sehingga pelaksanaan pembebanan
Hipotik atas Pesawat udara masih belum jelas dan belum bersifat nasional, yang artinya tidak
10

semua Dinas Perhubungan (yang nantinya diharapkan sebagai badan yang melakukan
registrasi terhadap pembebanan Hipotik atas pesawat udara dapat menerima atau bersedia
melakukan pencatatan terhadap pembebanan Hipotik atas pesawat udara, atau dengan kata
lain belum ada badan yang ditunjuk secara resmi sebagai badan yang berwenang melakukan
registrasi terhadap pembebanan Hipotik atas pesawat udara, sebagaimana Kantor Pendaftaran
Fidusia dalam hal pembebanan Fidusia, Kantor Pertanahan (BPN) dalam hal pembebanan
Hak Tanggungan atau Kantor Syahbandar dalam hal pembebanan Hipotik atas kapal.
Mengingat peraturan pemerintah belum ada, lalu apakah pengikatan pesawat udara
dapat diterobos dengan melakukan pengikatan Fidusia dan mendaftarkan ke Kantor
Pendaftaran Fidusia dan mengingat pengikatan fidusia dapat dilaksanakan terhadap benda-
benda jaminan yang tidak dapat diikat Hak Tanggungan maupun hipotik. Walapun dalam
ketentuan umum dalam Undang-Undang No 42 tahun 1999 tentang Fidusia, pada Pasal 1
Ayat 4 menyebutkan, bahwa yang dapat dibebani Fidusia salah satunya adalah benda yang
terhadapnya tidak dapat dibebani Hak Tanggungan atau Hipotik, namun pasal/klausul
tersebut tidak serta merta berlaku bagi pesawat udara, mengingat dalam ketentuan Pasal 3
ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia telah secara tegas menyebutkan bahwa UU
Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotik atas pesawat terbang.
Lembaga jaminan hipotik dalam kerangka Tatanan Hukum Jaminan di Indonesia telah
memperoleh dasar pijakan yang kuat. Akan tetapi harus diakui bahwa ada berbagai ketentuan
yang perlu dirubah agar sesuai dengan perkembangan zaman seperti ketentuan dalam Pasal
1162 KUHPerdata bahwa objek hipotik bukan lagi benda tidak bergerak tetapi harus dirubah
menjadi benda terdaftar dan terlebih dahulu merubah ketentuan dalam Pasal 1167
KUHPerdata yang menyatakan bahwa benda bergerak tidak dapat dijadikan obyek hipotik
sebaiknya dihapuskan.
Dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
dikatakan bahwa pesawat terbang dapat dijadikan jaminan setelah diikat dengan akta
pemberian hipotek. Namun, hingga saat ini ketentuan belum bisa diimplementasikan karena
ketiadaan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur hal tersebut.

2.1.2 Penjaminan Pesawat Udara menurut Cape Town Convention


Perjanjian Pesawat Udara telah diatur dalam Cape Town Convention, Kepemilikan
pesawat udara yang dikuasai maupun dirniliki memerlukan proses perjanjian dengan pihak
kedua sebagai penyedia pesawat udara atau penyedia dana yang banyak melibatkan
perusahaan luar negeri. Perjanjian antara maskapai penerbangan dan lessor sebagai pihak
11

yang memberikan pembiayaan dengan cara leasing kepada pihak yang membutuhkan dapat
dibebani dengan kepentingan Internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak
jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat dan/atau perjanjian sewa guna usaha.
Pengaturan tersebut mengacu pada Konvensi Internasional dalam peralatan bergerak
(Convention on international interest in mobile equipment) atau yang lebih dikenal
Convention Cape Town dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan
pesawat udara (Protocol to the convention on interest in mobile equipment on matters
specific to Aircraft equipment).
Konvensi tentang kepentingan internasional peralatan bergerak dan protokol pada
Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak mengenai masalah-
masalah khusus pada peralatan pesawat udara yang tercantum dalam Cape Town Treaty telah
diratifikasi oleh 49 negara termasuk Indonesia. "Kepentingan Intemasional" atas obyek
pesawat udara dalam Cape Town Treaty yang termasuk didalamnya adalah Airframes yang
disertifikasi untuk membawa paling sedikit 8 orang (termasuk kru) atau lebih dari 2750 kg
(6063lbs) kargo, helikopter yang disertifikasi untuk membawa paling sedikit 5 orang
(termasuk kru) atau lebih dari 450 kg (992 lbs) kargo, dan jet engines yang memiliki
setidaknya 1750 pounds thrust atau turbine/piston engines yang memi1iki setidaknya 550
rated takeoff shaft horsepower. The Cape Town Treaty telah diratifikasi oleh Indonesia
melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2007 dan UU No. I Tahun 2009 tentang
Penerbangan bab IX yang membahas Kepentingan Internasional atas Obyek Pesawat Udara.
Penyelesaian masalah internasional atas obyek pesawat udara berdampak positif
terhadap pengadaan jumlah pesawat udara dan pertumbuhan industri jasa angkutan udara di
Indonesia. Ratifikasi Cape Town Convention yang telah ditindaklanjuti dengan PP Nomor 8
tahun 2007 dan ditampung dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan berdampak
positif terhadap kelancaran penyelesaian sewa guna pesawat udara. Ratifikasi ini dapat
membantu pembiayaan murah dan memberikan kepastian hukum kepada kreditur karena
adanya jaminan pesawat udara. Malaysia, telah meratifikasi konvensi ini sehingga
mendapatkan perlakuan khusus dalam mengajukan pinjaman ke pihak kreditur asing. Sebab,

dengan ratifikasi ini, setiap kreditur mempunyai kepastian hukum dan hak atas jaminan kredit
yang diberikan yaitu apabila debitur yang bersangkutan wanprestasi. Oleh karenanya tidak
ada lagi yang bisa menahan pesawat yang dijaminkan jika sebuah maskapai ingkar terhadap
krediturnya. Ratifikasi ini disambut baik oleh perusahaan penerbangan nasional karena dapat
memperkuat posisi karena dukungan Pemerintah atas jaminan benda-benda bergerak dalam
12

proses pengajuan kredit ke pihak asing. Hal ini juga memperkecil biaya jaminan resiko
pesawat udara Kepercayaan investornya juga akan meningkat dan terlindungi haknya dalam
memberikan pinjaman kepada perusahaan penerbangan nasional. Industri penerbangan
nasional mengharapkan ratifikasi ini bisa selesai. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
2009, Pasal 71 menyatakan bahwa Obyek pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan
internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian
pengikatan hak bersyarat, dan/atau perjanjian sewa guna usaha.
Konvensi Cape Town dibuat dengan tujuan untuk memudahkan dalam memperoleh
dan menggunakan peralatan bergerak yang bernilai tinggi atau memiliki nilai ekonorni yang
sangat berarti serta untuk memfasilitasi pendanaan atas penguasaan dan penggunaan
peralatan tersebut secara efisien. Memanfaatkan asset-based financing dan sewa guna usaha
untuk tujuan memperoleh dan menggunakan peralatan bergerak yang bernilai tinggi serta
untuk memfasilitasi transaksi-transaksi tersebut dengan cara membuat aturan yang jelas.
Memastikan kepentingan atas peralatan bergerak yang bernilai tinggi diakui dan dilindungi
secara universal. Memberikan manfaat ekonomi secara timbal balik bagi para pihak yang
berkepentingan. Memastikan pengaturan-pengaturan tersebut mencerminkan prinsip-prinsip
umum yang mendasari asset-based financing dan sewa guna usaha serta meningkatkan
kebebasan berkontrak para pihak. Menciptakan suatu sistem pendaftaran internasional yang
melindungi peralatan bergerak tersebut. Membentuk unifikasi hukum (internasional) tentang
hak jaminan internasional. Memberikan kepastian hukum dan kepastian hak kepada kreditur
atau pemilik barang modal atas jaminan kredit atau pembiayaan yang diberikan dalam hal
debitur wanprestasi. Sehingga kreditur/ pemilik barang modal dapat merealisasikan hak-
haknya atas barang jaminan atau barang modal bergerak (termasuk pesawat) yang menjadi
jaminan sebagaimana diatur dalam Protocol.
Konvensi Cape Town pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan umum yang
berkaitan dengan hak kebendaan jaminan yang diakui secara internasional (international
interest) atas beberapa jenis barang bergerak diantaranya pesawat udara, kereta api dan
satelit. Atau dengan kata lain international interest adalah jaminan yang dipegang kreditur
berdasarkan Konvensi.8
Ratifikasi suatu konvensi internasional oleh suatu negara membawa kewajiban bagi
negara tersebut untuk mentransformasikan menerjemahkan perjanjian internasional tersebut

8
Hikmabanto Juwana, Kewajiban Negara Mentransformasikan Ketentuan Perjanjian \Internasional ke Dalam Peraturan
Perundang-undangan: Studi Kasus Pasca Keikutsertaan Dalam Cape Town Convention, Jurnal Hukum Bisnis: Volume 28
Nomor 24 Tabun 2009, hal. 51
13

ke dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya. UU Nomor 1 Tahun 2009 pada Bab IX


dari pasa1 71 sampai dengan pasal 82 berusaha mentransformasikan ketentuan dalam
Konvensi Cape Town tersebut. Hal yang paling penting dari pengaturan tersebut adalah
dengan menjadikan ketentuan dalam Konvensi Cape Town sebagai ketentuan hukum khusus
(lex specialis). Arti dari ketentuan hukum khusus (lex specialis) tersebut yaitu apabila teijadi
pertentangan atau perbedaan pengaturan antara ketentuan dalam Konvensi, Protoko1 atau
Deklarasi dengan peraturan perundang-undangan Indonesia maka ketentuan-ketentuan dalam
Konvensi, Protokol dan Deklarasi yang berlaku.
Sedangkan Kepentingan Internasional menurut Undang-undang Penerbangan adalah
suatu kepentingan (hak) yang diperoleh kreditur yang tirnbul akibat perjanjian pembeda hak
jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat dan/ atau perjanjian hak sewa guna
usaha yang tunduk pada Konvensi Cape Town dan Protokol CapeTown. Berdasarkan Pasal 2
ayat (2) Konvensi Cape Town maka dapat disimpulkan bahwa kaitan antara hak jaminan
kebendaan atas pesawat udara dan Konvensi Cape Town adalah perjanjian pemberian hak
jaminan kebendaan dari debitur kepada kreditur yang dibuat secara sah merupakan salah satu
cara untuk mendapatkan perlindungan sebagai kepentingan internasional berdasarkan
Konvensi Cape Town dan Protokol Cape Town. Konvensi Cape Town berlaku terhadap
debitur yang berkedudukan di Negara Peserta Konvensi pada saat disetujuinya perjanjian
yang menciptakan kepentingan internasional (international interest). Dalam hal ini, apabila
secara faktual kedudukan kreditur tidak di Negara Peserta Konvensi maka tidak
mempengaruhi penerapan Konvensi ini. Selanjutnya Konvensi juga menetapkan batasan
mengenai arti wanprestasi. Pada dasarnya para pihak bebas menentukan dalam perjanjian
yang telah disepakati tentang peristiwa-peristiwa yang menimbulkan wanprestasi atau
peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan timbulnya hak pihak lainnya untuk melaksanakan
hak-haknya sebagai akibat wanprestasi yang diberikan oleh Konvensi Cape Town. Namun
apabila terjadi ketidaksepakatan tentang peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai
wanprestasi, maka wanprestasi adalah peristiwa keadaan yang pada pokoknya menghilangkan
hak kreditur yang sepatutnya diharapkan berdasarkan perjanjian.

2.1.3 Permasalahan Pengikatan Jaminan Dengan Obyek Pesawat Udara di Indonesia


dikaitkan dengan IDERA (Irrevocable Deregistration and Export Request
Authorization)
14

UU No. 1 Tahun 2009 hanya mengatur secara implisit jenis pengikatan agunan
terhadap pesawat terbang, yaitu dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul
akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan. Ketentuan tersebut hanya menjelaskan
bahwa pesawat udara dapat diberikan dapat dengan hak jaminan kebendaan, tanpa menyebut
jenis jaminan kebendaan, apakah termasuk jaminan fidusia atau hipotek dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, untuk mendudukan pengikatan agunan atas pesawat terbang secara
tepat, harus memperhatikan pesawat terbang tersebut termasuk benda bergerak atau tidak
bergerak. Hal ini dapat mempermudah penggolongan dan konstruksi hukurn awal sehingga
dapat ditarik suatu kesimpulan yang utuh dan tepat mengenai pembebanan atas pesawat
udara. Dalam KUHPerdata pengklasifikasian atas suatu jenis benda antara lain ditentukan
karena sifatnya, sepanjang tidak secara tegas ditunjuk oleh undang-undang (seperti kapal laut
yang berbobot 7 ton ke atas, walaupun sifatnya benda tersebut bergerak, tetapi undang-
undang menyebutkan bahwa kapal laut demikian ditetapkan sebagai benda tidak bergerak)
maka pesawat udara yang karena sifatnya tersebut memang bergerak dan tidak terdapat
ketentuan yang menyebutkan bahwa pesawat udara sebagai benda tidak bergerak, maka dapat
dinyatakan maka pesawat udara adalah termasuk benda bergerak.
Memperhatikan bahwa pesawat udara adalah sebagai benda bergerak maka
berdasarkan ketentuan perundang-undangan, pesawat udara dapat dibebani dengan jaminan
fidusia atau gadai. Dengan memperhatikan sifat agunan berupa pesawat udara yang tidak
mungkin dikuasai oleh kreditor, maka lembaga yang tepat untuk mengikat pesawat udara
sebagai agunan kredit adalah menggunakan lembaga jaminan fidusia. Dengan demikian,
tepatlah bahwa dalam Pasal 3 UU No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia secara tegas
menyebutkan bahwa pesawat terbang dan helikopter sebagai objek dari jaminan fidusia.
Dasar Hukum dikeluarkannya Surat Kuasa untuk memohon penghapusan pendaftaran
dan ekspor yang tidak dapat dicabut kembali (IDERA) adalah:
1. Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2007 tanggal 20
Februari 2007 untuk meratifikasi Konvensi pada Kepentingan Internasional dalam
Peralatan Benda Bergerak (Konvensi Cape Town) dan Protokol pada Konvensi
Kepentingan Internasional dalam Peralatan Benda Bergerak Mengenai Masalah-
masalah Khusus pada Peralatan Pesawat Udara. Komponen dari konvensi dan
Protokol tersebut telah dimasukkan ke dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan.
15

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dalam Pasal 71


menjelaskan bahwa pesawat udara adalah suatu objek yang dapat diperlakukan oleh
kepentingan internasional sesuai suatu persetujuan jaminan, persetujuan pengikatan
hak atau persetujuan sewa guna usaha.
3. Undang-undang Nomor l Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 74 ayat (1)
menjelaskan bahwa Debitur dapat mengeluarkan "Kuasa untuk Memohon
Penghapusan Pendaftaran dan Ekspor yang Tidak Dapat Dicabut Kembali (IDERA)"
untuk pesawat udara yang memiliki Tanda Kebangsaan dan Pendaftaran Indonesia.
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 74 ayat (2)
menjelaskan bahwa "Kuasa untuk Memohon Penghapusan Pendaftaran dan Ekspor
yang Tidak Dapat Dicabut Kembali (IDERA)" seperti yang disebutkan pada Pasal 74
Ayat (1) harus diketahui dan dicatat oleh Menteri Perhubungan dan tidak dapat
dihapus tanpa izin dari Kreditur.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, tidak ada satu
pasalpun yang mengatur tentang lembaga apa yang digunakan untuk menjaminkan pesawat
udara sebagai jaminan dalam pemberian kredit. Satu-satunya pasal yang menyatakan bahwa
pesawat udara dapat dijadikan jaminan dalam pemberian kredit adalah Pasal 71 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2009 yang menyatakan babwa Objek pesawat udara dapat dibebani
dengan kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jarninan
kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat, dan/atau perjanjian sewa guna usaha.
Dalam isi Pasal 71 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tersebut diatas, tidak
menyebut 1embaga apa yang digunakan untuk pengikatan jaminan atas pesawat udara,
apakah itu menggunakan fidusia atau hipotik, sehingga akan menimbulkan keraguan
dikalangan dunia perbankan apabila menjadikan pesawat udara sebagai jaminan kebendaan
dalam pemberian kredit. Dalam Pasal 74 Undang-undang Nomor l Tahun 2009, penerima
jaminan kebendaan (kreditur) atas obyek pesawat udara diberi "Surat Kuasa" oleh debitur
untuk melakukan deregrestrasi atau penghapusan pendaftaran pada Departemen Perhubungan
Udara, atas kebangsaan pesawat udara apabila debitur cidera janji.
Dengan adanya "Surat Kuasa" yang diatur dengan IDERA (Irrevocable
Deregistration and Export Request Authorization) tersebut, apabila debitur cidera janji
kreditur dapat memohon kepada Menteri Perhubungan cq Departemen Perhubungan Udara
untuk melakukan penghapusan kebangsaan pesawat udara dan penghapusan kepemilikan
pesawat udara, sehingga debitur dapat memohon pendaftaran kembali kebangsaan pesawat
dan kepemilikan pesawat akan tetapi sekarang untuk dan atas nama debitur pemegang hak
16

jaminan, demikian penjabaran Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009. Adapun


sampai saat ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, belum dapat diberlakukan secara pasti
mengingat belum ada peraturan pelaksanaan khusus mengenai tata laksana dalam penjaminan
pesawat udara.
Debitur dapat menerbitkan kuasa memohon deregistrasi kepada kreditor untuk
memohon penghapusan pendaftaran dan ekspor atas pesawat udara atau helikopter yang telah
rnemperoleh tanda pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia Kuasa pemohon
diregistrasi tersebut harus diakui dan dicatat oleh menteri (perhubungan) dan tidak dapat
dibatalkan tanpa persetujuan kreditor. Pencatatan dernikian sedikit menyimpang dari
ketentuan yang diatur dalam jarninan fidusia, yaitu jika dalam jaminan fidusia, pendaftaran
tersebut wajib dilakukan pada kantor pendaftaran fidusia setempat, tetapi dalam hal jaminan
fidusia untuk pesawat terbang dan helikopter, wajib dilakukan pendaftaran dan dicatat oleh
kementerian perhubungan.
Pemegang hak jaminan kebendaan pesawat udara dalam hal ini kreditur atau "Pihak
yang diberi kuasa" mendapat "surat kuasa IDERA (Irrevocable Deregistration and Export
Request Authorization)" yang tidak dapat dicabut kembali tanpa izin kreditur dari Debitur,
sehingga pabila debitur tersebut wanprestasi, maka kreditur dapat memohon kepada
Departemen Perhubungan untuk menghapuskan tanda pendaftaran, tanda kebangsaan dan
permohonan Export, sehingga kreditur dapat menguasai barang jaminan dalam hal ini
Pesawat Udara. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa dalam dunia perbankan sekarang
ini masalah penjaminan pesawat udara masih belum jelas lembaga apa yang dapat digunakan
oleh Kreditur apabila menerima pesawat udara sebagai jaminan hutang. Apabila di kaitkan
dengan IDERA sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No 1 tahun 2009, bahwa
untuk dapat, dilaksanakannya "kepentingan internasional" dalam hal pesawat udara yang
dijadikan jarninan hutang, dapat digunakan sarana eksekutorial melalui IDERA.
Pernyataan diatas menimbulkan pertanyaan dalam dunia perbankan sejauh mana
IDERA dapat dilaksanakan di Indonesia rneskipun Indonesia telah meratifikasi Cape Town
Convention dan apakah ada kepastian hukum penggunaan IDERA jika para kreditur
menerima penjaminan pesawat udara sebagai jaminan hutang.
Agar IDERA dapat segera dilaksanakan di Indonesia maka Menteri Perhubungan
telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peraturan
Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 47 Tentang Pendaftaran Pesawat Udara (Pennen
Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil) dan kemudian untuk mengatur lebih lanjut
ketentuan tersebut maka Direktur/Jenderal Perhubungan Udara menerbitkan Staff Instruction
17

47-02 Tentang Kuasa Untuk Memohon Penghapusan Pendaftaran dan Ekspor yang Tidak
Dapat Dicabut Kembali (Irrevocable Deregistration and Export Request Authorization).
Tujuan dari adanya IDERA adalah mempermudah birokrasi penarikan pesawat dari
wilayah Indonesia dengan cara memberikan kewenangan kepada kreditur (penerima kuasa)
untuk melakukan penghapusan pendaftaran pesawat di Indonesia dan melakukan pemindahan
pesawat keluar dari wilayah Indonesia apabila debitur (pemberi kuasa) wanprestasi. Kuasa ini
secara langsung memberikan jaminan kepada kreditur bahwa pesawatnya masih dapat
beroperasi. Hal ini dilatarbelakangi keadaan dimana sebelum adanya ratifikasi terhadap
Konvensi Cape Town, kreditur selalu mengalami kesulitan untuk melakukan penarikan
pesawat dari wilayah Indonesia ketika debitur wanprestasi, diperlukan waktu berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun bagi kreditur untuk dapat memperoleh kembali pesawatnya. Dan
ketika mendapatkan pesawatnya, nilai pesawat tersebut telah sangat jatuh sehingga
menimbulkan kerugian bagi kreditur. Karena adanya resiko tersebut maka biasanya kreditur
membebankan biaya asuransi yang sangat besar kepada perusahaan penerbangan Indonesia
(debitur). Perlindungan dari IDERA terhadap kreditur hanya diberikan oleh pemerintah
apabila IDERA tersebut telah didaftarkan/dicatat oleh Menteri Perhubungan. Hal yang juga
harus diperhatikan adalah pencatatan IDERA hanya dapat diberikan atas pesawat udara yang
telah terdaftar dalarn Daftar Pesawat Udara Sipil Indonesia (Daftar Pesawat Udara).
Kementerian Perhubungan menentukan bahwa permohonan pencatatan IDERA harus
dibuat oleh debitur dalam bentuk formulir permohonan yang disebut "DAC Form 47-:XX"
(Aplikasi untuk Pencatatan Deegistrasi dan Otorisasi Permintaan Ekspor (IDERA)) yang
telah disediakan. Formulir tersebut berisi keterangan mengenai objek IDERA yaitu tipe
pesawat, nomor seri, tanda pendaftaran dan nomor registrasi, juga nama dan alarnat debitur
yang memberikan otorisasi, serta nama dan alarnat kreditur sebagai pihak yang menerima
otorisasi. Sebagai surat kuasa khusus, dalam IDERA harus disebutkan dengan jelas
kewenangan apa saja yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, seperti: mengupayakan
penghapusan pendaftaran pesawat udara; dan mengupayakan ekspor dan pemindahan fisik
pesawat udara dari wilayah dimana pesawat udara tersebut berada.
Formulir DAC Form 47-X::X yang telah diisi sebelum diserahkan harus dilengkapi
dengan dokumen-dokumen berupa:
1. Salinan Sertifikat Pendaftaran Pesawat
2. Salinan referensi IDERA, apabila:
a. Debitur adalah penyewa guna usaha maka buktinya berupa Persetujuan Sewa
Guna Usaha Pesawat; atau
18

b. Debitur adalah pihak-pihak yang menerirna hak tagihl mortgagee maka buktinya
berupa Salinan Persetujuan Jaminan Pesawat; atau
c. Debitur adalah pembeli bersyarat maka buktinya berupa salinan Persetujuan
Pengikatan Hak.
Formulir DAC Form 47-X::X tersebut harus ditanda-tangani oleh orang yang
berwenang untuk melakukan tindakan hukum itu. Setelah lengkap semua permohonan
tersebut diserahkan kepada Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan
Udara melalui Sub-Direktorat Produk Aeronautika. Setelah menerima permohonan
pencatatan IDERA, Inspektor akan melakukan penelaahan terhadap Aplikasi DAC Form 47-
X::X yang berkaitan dengan objek IDERA.
Kepentingan terhadap objek pesawat udara yang rnernbawa pada penerbitan IDERA
dapat muncul dari situasi dirnana dua atau lebih pihak yang terlibat dalarn Perjanjian Sewa
Guna Usaha, Perjanjian Jaminan atau Perjanjian Pengikatan Hak Pesawat. Apabila
pendaftaran IDERA ini terkait dengan Perjanjian Jaminan maka evaluasi harus dilakukan
untuk menentukan: Debitur yang rnernberikan otorisas/kuasa adalah badan yang bertindak
sebagai Pernberi Hak Tagih, dimana nama dan alamatnya adalah sama dengan yang tertera
pada form aplikasi. Kreditur sebagai pihak yang menerima otorisasi kuasa adalah Penerima
Hak Tagih, nama dan alamatnya adalah sama seperti yang tertera pada form aplikasi. Dan
apabila permohonan IDERA ada karena ada Perjanjian Pengikatan Hak maka:
a. Debitur yang memberi otoritas/kuasa adalah Pembeli Bersyarat atas pesawat,
dimana nama dan alamatnya adalah sama dengan yang tertera pada form aplikasi.
b. Kreditur sebagai pihak yang menerirna otoritas/kuasa adalah Penjual Bersyarat,
dimana nama dan alamatnya adalah sama dengan yang tertera pada form aplikasi.

Apabila dalam Daftar Pesawat Udara tidak ada catatan IDERA lain pada pesawat
udara tersebut maka permohonan pencatatan IDERA dapat dikabulkan. Namun apabila
ternyata terhadap pesawat udara tersebut telah ada pencatatan IDERA lain sebelurnnya maka
petugas tersebut harus melapor kepada atasannya untuk mendapatkan disposisi lebih lanjut.
Jika hasil evaluasi Inspector memberikan hasil yang tidak memuaskan maka harus
didiskusikan dengan tingkatan manajemen yang lebih tinggi untuk mengambil tindakan
selanjutnya. Apabila hasil evaluasi memutuskan untuk menyetujui maka Inspector tersebut
barus menyiapkan Pemberitahuan Pencatatan IDERA untuk ditandatangani oleb Direktur
Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara atas nama Direktorat Jenderal
19

Perbubungan Udara. Setelah penerbitan Pemberitahuan Pencatatan IDERA, Inspektor akan


mencatat dalam Kartu detail Pesawat, DAC Form 47-2B.
Atas pencatatan ini Pemobon akan menerima bukti berupa Pemberitahuan Pencatatan
IDERA yang asli. Dengan adanya pencatatan ini maka kreditur yang namanya tercatat akan
mendapatkan perlindungan berdasarkan Konvensi Cape Town dan Protokol Cape Town,
ketika debitur wanprestasi. Salah satu hak upaya pemulihan yang dimiliki oleh kreditur
adalah melakukan penghapusan terhadap pendaftaran pesawat udara tersebut dari Daftar
Pesawat Udara Sipil Indonesia dan kemudian membawanya keluar dari wilayah Indonesia
untuk didaftarkan di negara lain.

2.2 Konsepsi Perbuatan Melawan Hukum


Pengertian perbuatan melawan hukum terdapat pada Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie), “Tiap perbuatan yang
melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”.
Menurut Munir Faudy, perbuatan melawan hukum adalah sebagai suatu kumpulan
dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya,
untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan
untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.9
Menurut R. Wirjono Projodikoro, perbuatan melawan hukum diartikan sebagai
perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam
neraca keseimbangna dari masyarakat. Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa istilah
“onrechtmatige daad” ditafsirkan secara luas, sehingga meliputi juga suatu hubungan yang
bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang dianggap pantas dalam pergaulan hidup
masyarakat.10
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar
hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahannya tersebut.
Merujuk dari penjelasan ini, terdapat 4 (empat) unsur yang harus dibuktikan keberadaannya
jika ingin menggugat berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum, yaitu:

1. Perbuatan melawan hukum

9
Munir Faudi, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 3
10
R. Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung :Sumur1994, hlm. 13
20

Unsur ini menekankan pada tindakan seseorang yang dinilai melanggar kaidah hukum
yang berlaku di masyarakat. Sejak tahun 1919, pengertian dari kata “hukum”
diperluas yaitu bukan hanya perbuatan yang melanggar peraturan perundang-
undangan, tetapi juga setiap perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan
kesusilaan dalam hubungan antara sesama warga masyarakat dan terhadap benda
orang lain2. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang dianggap melawan
hukum bukan hanya didasarkan pada kaidah-kaidah hukum tertulis, tetapi juga kaidah
hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat, seperti asas kepatutan atau asas
kesusilaan.
2. Kesalahan
Menurut ahli hukum perdata Rutten menyatakan bahwa setiap akibat dari perbuatan
melawan hukum tidak bisa dimintai pertanggungjawaban jika tidak terdapat unsur
kesalahan. Unsur kesalahan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu
kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan dan kesalahan karena kekurang hati-
hatian atau kealpaan. Dalam hukum perdata, baik kesalahan atas dasar kesengajaan
ataupun kekurang hati-hatian memiliki akibat hukum yang sama. Hal ini dikarenakan
menurut Pasal 1365 KUHPerdata perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ataupun
dilakukan karena kurang hati-hati atau kealpaan memiliki akibat hukum yang sama,
yaitu pelaku tetap bertanggung jawab mengganti seluruh kerugian yang diakibatkan
dari Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukannya. Contohnya seorang pengendara
mobil menabrak pejalan kaki dan mengakibatkan pejalan kaki tersebut pingsan. Atas
hal tersebut baik terhadap pengendara yang memang sengaja menabrak pejalan kaki
tersebut ataupun lalai misalnya karena mengantuk, tetap harus bertanggung jawab atas
kerugian yang dialami pejalan kaki tersebut.
3. Kerugian
Kerugian dalam hukum perdata dapat dibagi menjadi 2 (dua) klasifikasi, yakni
kerugian materil dan/atau kerugian immateril. Kerugian materil adalah kerugian yang
secara nyata diderita. Adapun yang dimaksud dengan kerugian immateril adalah
kerugian atas manfaat atau keuntungan yang mungkin diterima di kemudian hari.
Pada praktiknya, pemenuhan tuntutan kerugian immateril diserahkan kepada hakim,
hal ini yang kemudian membuat kesulitan dalam menentukan besaran kerugian
immateril yang akan dikabulkan karena tolak ukurnya diserahkan kepada subjektifitas
Hakim yang memutus.
21

4. Hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum oleh pelaku dan kerugian yang
dialami korban.
Ajaran kausalitas dalam hukum perdata adalah untuk meneliti hubungan kausal antara
perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga si pelaku dapat
dimintakan pertanggungjawaban. Unsur ini ingin menegaskan bahwa sebelum
meminta pertanggungjawaban perlu dibuktikan terlebih dahulu hubungan sebab-
akibat dari pelaku kepada korban. Hubungan ini menyangkut pada kerugian yang
dialami oleh korban merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum yang
dilakukan pelaku.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila terdapat gugatan
perbuatan melawan hukum, maka gugatan tersebut harus dapat membuktikan keempat unsur
dari perbuatan melawan hukum tersebut. Apabila tidak dapat dibuktikan maka gugatan
tersebut akan ditolak oleh Majelis Hakim.11

2.3 Konsepsi Wanprestasi


Wanprestasi terdapat dalam pasal 1243 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa:
“penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai
diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan
atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya”. Kata lain wanprestasi juga dapat diartikan suatu perbuatan ingkar janji
yang dilakukan oleh salah satu pihak yang tidak melaksanakan isi perjanjian, isi ataupun
melaksanakan tetapi terlambat atau melakukan apa yang sesungguhnya tidak boleh
dilakukannya.12
Mengenai pengertian dari wanprestasi, menurut Ahmadi Miru wanprestasi itu dapat
berupa perbuatan :
1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi.
2. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna.
3. Terlambat memenuhi prestasi.
4. Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.
Sedangkan menurut A. Qirom Syamsudin Meliala wanprestasi itu dapat berupa:

11
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata (Jakarta: Rajawali Pers, 2015).
12
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 12
22

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali Sehubungan dengan debitur yang tidak
memenuhi prestasi maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama
sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih
dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi
tetapi tidak tepat waktu, sehingga dapat dikatakan wanprestasi.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi
prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki
lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.13
Menurut isi Pasal 1243 KUHPerdata, setidaknya ada 3 unsur wanprestasi, antara lain:
1. Ada perjanjian;
2. Ada pihak yang ingkar janji atau melanggar perjanjian; dan
3. Telah dinyatakan lalai, namun tetap tidak melaksanakan isi perjanjian.

Sehingga, hal yang menyebabkan timbulnya wanprestasi adalah karena adanya cidera
janji dalam perjanjian yang menyebabkan salah satu pihak ingkar akan janjinya atau
melanggar janji. Maka, pihak yang cidera janji harus bertanggung jawab terhadap pihak yang
dirugikan.

2.4 Jaminan Fidusia sebagai alternatif


Pasal 1 angka 2 UUJF yang menyatakan, bahwa : jaminan fidusia adalah hak jaminan
atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak
bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu,
yang menyatakan bahwa : jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia,
sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikankedudukan yang diutamakan
kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, maka
objek jaminan fidusia menjadi lebih luas. Benda-benda yang dapat dijadikan objek jaminan
fidusia antara lain:
13
A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Liberty, 1985), h.26
23

a. Benda bergerak berwujud, contohnya:


1. Kendaraan bermotor seperti mobil, truk, bus dan sepeda motor
2. Mesin-mesin pabrik yang tidak melekat pada tanah atau bangunan pabrik, alat-
alat inventaris kantor
3. Perhiasan
4. Persediaan barang atau inventori, stock barang, stock barang dagangandengan
daftar mutasi barang
5. Kapal laut berukuran dibawah 20 m
6. Perkakas rumah tangga seperti mebel, radio, televisi, almari es danmesin jahit
7. Alat-alat perhiasan seperti traktor pembajak sawah dan mesin penyedotair.
b. Benda bergerak tidak berwujud, contohnya:
1. Wesel
2. Sertifikat deposito
3. Saham
4. Obligasi
5. Konosemen
6. Piutang yang diperoleh pada saat jaminan diberikan atau yang diperoleh
kemudian
7. Deposito berjangka.
c. Hasil dari benda yang menjadi objek jaminan baik benda bergerakberwujud atau
benda bergerak tidak berwujud atau hasil dari benda tidakbergerak yang tidak
dapat dibebani hak tanggungan.
d. Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan.
e.Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan yaitu hak milik satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah
Negara (UU No. 16 Tahun 1985) dan bangunan rumah yangdibangun di atas tanah
orang lain sesuai pasal 15 UU No. 5 tahun 1992tentang Perumahan dan
Pemukiman.
f. Benda-benda termasuk piutang yang telah ada pada saat jaminan diberikanmaupun
piutang yang diperoleh kemudian hari
Disebutkan dalam pasal 3 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia bahwa Undang-
undang ini tidak berlaku terhadap :
24

1. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan
perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda benda tersebut
wajib didaftar;
2. Hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) m3 atau
lebih;
3. Hipotik atas pesawat terbang; dan
4. Gadai.
Sehingga pembebanan jaminan pada obyek pesawat udara yang dilakukan dengan
fidusia tidak dapat didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia, dikarenakan dalam UU No.
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak dapat diberlakukan untuk pesawat udara.
Namun, Pasal 3 UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 secara tegas mengatur pelarangan
untuk melaksanakan pengikatan jaminan pesawat udara secara keseluruhan. Sebagai
solusinya, pesawat udara tidak dibebankan dengan fidusia atas keseluruhan pesawat udara,
melainkan komponen-komponen pesawat udara secara terpisah. Dalam ketentuan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tidak ditemukan larangan untuk melakukan pembebanan
jaminan atas seluruh barang bergerak yang membentuk satu pesawat udara, artinya
komponen dalam suatu struktur pesawat udara dapat dijadikan objek jaminan hutang dengan
pembebanan fidusia. Dalam proses pengikatan jaminan fidusia, terdapat asas spesialitas yang
harus dipenuhi, yaitu adanya suatu barang yang jelas dan dapat diidentifikasikan bentuk dan
kepemilikannya. Dengan demikian, dalam praktik pengikatan komponen-komponen pesawat
udara sebagai objek jaminan yang dibebani jaminan fidusia harus dilengkapi dengan identitas
pada setiap komponen-komponen pesawat udara yang dimaksud beserta bukti
kepemilikannya, baik rangka dan badan pesawat udara maupun mesin-mesin dan peralatan
pendukung beserta seluruh faktur dan invoice yang menjadi bukti kepemilikan atas pesawat
udara tersebut.6 Adapun konsep fidusia secara yuridis pesawat terbang atau helikopter
merupakan benda yang dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan)
sepanjang pesawat terbang atau helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan
kebangsaan Indonesia (Pasal 13 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan),
sehingga dapat disimpulkan bahwa pengikatan pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan
melalui pembebanan hipotek14.
Berdasarkan Undang-undang Nomor I Tahun 2009 tentang Penerbangan telah
diundangkan pada tanggal 12 Januari 2009 dan Cape Town Convention 2001 telah
14
Duhita Pradnya Andhanaricwari, Lastuti Abubakar, and Tri Handayani, “Analisis Yuridis Terhadap Praktik
Jaminan Pesawat Udara Ditinjau Dari Hukum Jaminan Indonesia,” Delagalata: Jurnal Ilmu Hukum 6, no. 1
(2021): 65–80, http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/delegalata/article/view/4818.
25

diratifikasi dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2007 pada tanggal
20 Februari 2007, pada saat ini praktek perbankan di Indonesia masih menggunakan fidusia
sebagai pengikatan jaminan kebendaan dengan obyek pesawat udara. Hal ini disebabkan
dalam Undang-undang Nomor I Tahun 2009 tentang Penerbangan tidak menyebut tentang
lembaga jaminan untuk pesawat udara hanya menyebut "untuk kepentingan Nasional dan
Internasional pesawat udara dapat dijadikan jaminan hutang", tanpa menjelaskan memakai
lembaga apa objek jaminan pesawat udara dapat dijaminkan.
Dalam rangka eksekusi barang jaminan apabila debitur wanpestasi, maka dalam
Undang-undang Jaminan Fidusia telah memberikan kemudahan, yaitu dengan
dicantumkannya kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" pada
Bukti Pendaftaran Fidusia Dengan adanya title tersebut dimaksud, maka bukti pendaftaran
fidusia ini mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan demikian apabila debitur wanprestasi, maka
kreditur dapat menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut atas kekuasaannya
sendiri melalui pelelangan umum. Tetapi dalam pelaksanaannya, menurut sifatnya, pesawat
terbang merupakan barang bergerak (movable property). Pesawat udara tidak sama dengan
tanah yang tidak dapat berpindah atau dipindahkan letaknya. Adapun kapal atau pesawat
terbang, baik menurut sifat dan peruntukannya sendiri, bergerak dan berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lain. Berdasarkan sifat dan peruntukan yang melekat pada pesawat
terbang, sita eksekusi atas hipotik pesawat udara akan berhadapan dengan kendala yang
ditimbulka 2 (dua) asas sita eksekusi, yaitu:
1. Asas rijden beslag
Mengenai pengertian asas rijden beslag, dikemukakan secara singkat oleh R. Subekti:
"Sesungguhnya yang dimaksud adalah agar perusahaan tersebut tetap berjalan, jadi apabila
menyangkut penyitaan terhadap toko, hanya lemari-lemari toko dan inventarisnya saja yang
disita dan bukan barang-barang dagangannya". Selanjutnya dikatakan, apabila yang disita
menyangkut perusahaan pengangkutan harus dibiarkan agar mobil-mobil tetap bisa berjalan,
dengan lain perkataan harus dilakukan Rijden Beslag. Memperhatikan prinsip rijden beslag
yang dijelaskan di atas, sita eksekusi yang diletakkan Pada bab IV Bagian 7 Rv tentang
Penyitaan atas pesawat terbang (Pasal 763 ayat 1 dan Pasal 763 huruf k), tidak dijumpai
ketentuan yang tegas tentang Rijden Beslag seperti yang diatur dalam Pasal 59 Rv terhadap
kapal laut.
Namun demikian, jika diperhatikan pengertian asas Rijden Beslag yang dikemukakan
Subekti di atas sita eksekusi terhadap pesawat terbang guna pemenuhan pelaksanaan eksekusi
26

hipotik pesawat terbang, terbatas pada sarana pesawat udara saja, tetapi tidak boleh
menghentikan atau mematikan kegiatan operasional perusahaan penerbangan debitur. Dapat
dilihat, sesuai dengan prinsip Rijden Beslag terhadap pesawat terbang yang menjadi objek
hipotik pesawat terbang, dapat diletakkan sita eksekusi. Akan tetapi, kegiatan operasional
pesawat itu tidak boleh dihentikan.
Sita eksekusi tidak boleh menimbulkan akibat hukum berhentinya kegiatan
operasional penerbangannya dari satu tempat ke tempat yang lain baik di dalarn maupun di
luar negeri. Asas ini jelas menghambat kemulusan pelaksanaan penjualan lelang.
2. Asas kebebasan menguasai dan mengusahai pesawat udara yang di sita
Asas ini berkaitan juga dengan Rijden Beslag pada satu segi dan asas penjagaan
benda sitaan berdasarkan Pasal 197 ayat (9) HIR pada segi yang lain, yaitu: Sesuai dengan
asas Rijden Beslag, apabila objek sita eksekusi berbentuk benda yang dipergunakan untuk
melaksanakan kegiatan perusahaan seperti mobil, kapal, pabrik, pertambangan atau
pertokoan, pengoperasian kegiatan usaha oleh debitur tidak boleh dihentikan. Selanjutnya
berdasarkan Pasal 197 ayat (9) HIR penjagaan dan penguasaan atas objek barang sitaan,
terutama penyitaan perusahaan tetap diserahkan dan berada di tangan tersita (debitur). Jika
asas ini dikaitkan dengan sita eksekusi atas pesawat udara dalam rangka pelaksanaan
eksekusi hipotik pesawat udara, penjagaan dan penguasaannya harus diberikan kepada
pemberi hipotik (debitur), dan tidak boleh diserahkan penjagaannya kepada kreditur untuk
dikuasai dan diusahakan. Penegakan asas penguasaan dan mengusahai pesawat udara yang
dibebani dengan sita eksekusi dapat menimbulkan kendala penjualan lelang apabila pada
tanggal eksekusi yang ditentukan pesawat udara tersebut sedang dioperasikan debitur di luar
tempat pelaksanaan penjualan lelang yang ditentukan.
Jaminan fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut, yaitu:
1. karena hapusnya atau lunasnya hutang yang dijarnin dengan fidusia;
2. adanya pelepasan hak atas jaminan oleh penerima fidusia;
3. musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Dalam praktek perjanjian kredit yang dilakukan oleh perbankan dengan obyek
pesawat udara sebagai jaminan kredit, pada saat ini masih menggunakan lembaga jaminan
fidusia, hal ini disebabkan karena prosedur penjaminan pesawat udara dengan fidusia adalah
lebih mudah dan lebih murah, dibandingkan dengan bentuk jarninan yang lain. Dan alasan
yang utama ialah karena penjaminan dengan fidusia yang digunakan untuk benda bergerak,
debitur tetap berhak menguasai bendanya dan tujuannya memperoleh kredit tercapai serta
pihak bank pun tidak keberatan untuk menerimannya, cukup merasa aman dalam pemberian
27

kredit, meskipun secara teoritis masih ada kemungkinan-kemungkinan kerugian dan resiko
yang tidak menguntungkan bagi bank. Pelaksanaan penjarninan pesawat udara dalam praktek
melalui lembaga fidusia dilakukan oleh perbankan dikarenakan tidak ada pengaturan/ada
kekosongan hukum (recht vakum) terhadap perjanjian jaminan dalam perjanjian kredit
dengan obyek pesawat udara. Dunia perbankan rnelaksanakan penjarninan pesawat udara
dengan cara menerima jaminan atas bagian-bagian pesawat udara saja misalnya mesin-mesin,
sayap pesawat udara, ekor pesawat udara ataupun interior pesawat udara dan tidak melakukan
penjaminan pesawat udara secara keseluruhan badan pesawat udara. Hal ini dilakukan
perbankan dikarenakan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang
Fidusia telah secara tegas menyebutkan bahwa UU Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotik
atas pesawat terbang.15
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 Menyatakan Pasal 15 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa kekuatan eksekutorial dan frasa sama dengan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan
tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek
yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam
pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan
pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa cidera janji bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa adanya cidera janji tidak
ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur
dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.
Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168,
15
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Beberapa Masalah Pe/aksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia
didalam Praktek dan perkembanganrrya di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Bulaksumur,
Yogyakarta: 1977, hlm.76.
28

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa kekuatan
eksekutorial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai terhadap
jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan
menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme
dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan
dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.
Putusan MK No. 18/2019 sedikit atau banyak akan berimplikasi pada proses bisnis
Lelang yang dilakukan oleh KPKNL. Hal ini mengingat bahwa Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3)
UU Fidusia, menurut Putusan MK No. 18/2019, adalah norma yang bersifat fundamental.
Sebab, dari norma yang termuat dalam pasal tersebutlah terbit kekuatan eksekusi yang dapat
dilaksanakan sendiri oleh Pemegang Jaminan Fidusia (kreditur) yang kemudian banyak
menimbulkan permasalahan, baik terkait dengan konstitusionalitas norma maupun
implementasi.yang mengatur mengenai eksekusi barang jaminan fidusia. Sedangkan salah
satu cara eksekusi barang jaminan fidusia adalah melalui lelang yang pelaksanaannya hanya
dapat dilakukan oleh KPKNL. Sehingga, dapatlah dipahami relevansi berkaitan dengan
Putusan MK a quo dan implikasi yang (mungkin) ditimbulkannya bagi proses bisnis lelang
yang dilaksanakan oleh KPKNL.

2.5 Konsepsi Kompetensi Abosolut


Kompetensi dari peradilan yang berwenang untuk mengadili suatu perkara adalah hal
yang sangat penting dalam pengajuan gugatan atas suatu perkara, karena apabila gugatan atas
suatu perkara diajukan kepada peradilan yang tidak berwenang untuk itu, maka akan
mengakibatkan ditolaknya perkara tersebut oleh badan peradilan. Dalam hukum acara perdata
dikenal dua macam kewenangan yaitu:
a. Wewenang mutlak atau absolute competentie;
b. Wewenang relatif atau relative competentie.
Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan,
dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili
(attributie van rechts macht). Wewenang mutlak atau kompetensi absolut ini diatur dalam
Pasal 133 dan 134 HIR. Wewenang relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili.
29

Soedikno Mertokusumo16, Kompetensi absolut atau kewenangan mutlak pengadilan


adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara
mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan dalam lingkungan pengadilan lain.
Kompetensi absolut merupakan kewenangan suatu lembaga peradilan yang dalam memeriksa
dan mengadili perkara tertentu tidak dapat digantikan maupun diambil alih oleh lembaga
peradilan lainnya.

16
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta , 1988, hal. 79
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Putusan No. 262/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst (“Putusan No. 262”), Putusan Banding

No. 453/PDT/2018/PT.DKI (“Putusan Banding No. 453”), Putusan Kasasi No.

3071K/Pdt/2019 (“Putusan Kasasi No. 3071”)

1. Para Pihak

a. Unity Group Ltd (“Penggugat”);

b. PT Air Born Indonesia (“Tergugat I”);

c. Kepolisian Republik Indonesia (“Tergugat II”);

d. Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (“Tergugat III”); dan

e. Direktur Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara/DKUPPU

(“Turut Tergugat”)

2. Duduk Perkara:

a. Penggugat merupakan suatu Perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum

negara Canada.

b. Penggugat merupakan pemilik yang sah dari 1 (satu) unit Pesawat Udara

model De Haviland DHC6/300 Twin Otter dengan Nomor Seri Pembuatan

MSN 518, berikut 2 (dua) unit mesin-mesin model PT6A-34 dengan MSN

PCE57044 dan MSN PCE 38171, 2 (dua) unit baling-baling dengan MSN

BUA 32036 dan BUA 19906, roda-roda pendarat dan komponen-komponen

lainnya yang melekat/terpasang dipesawat (“Objek Sengketa”).

c. Penggugat merupakan lessor (pihak yang menyewakan) Objek Sengketa

kepada Terugat I (lessee), dengan syarat dan ketentuan yang ditentukan

berdasarkan Perjanjian Sewa Menyewa Objek Sengketa.

29
30

d. Berdasarkan Perjanjian Sewa Menyewa Objek Sengketa, Tergugat I

memiliki hak untuk membeli Objek Sengketa apabila pembayaran dari

Tergugat I kepada Penggugat berjalan lancar selama periode sewa.

e. Objek Sengketa telah diserahkan oleh Penggugat kepada Tergugat I dan

sudah diterima oleh Tergugat I berdasarkan Berita Acara Penerimaan

Teknis yang telah ditandatangani oleh wakil Tergugat I, diterbangkan ke

Indonesia, disertai dengan sertifikasi otoritas penerbangan Indonesia, serta

telah mendapatkan tanda pendaftaran/kebangsaan Republik Indonesia dan

sudah digunakan untuk kegiatan komersi Tergugat I.

f. Tergugat I juga telah menandatangani Formulir Kuasa untuk Memohon

Penghapusan Pendaftaran Pesawat dan Ekspor yang tidak dapat Dicabut

Kembali (“Irrevocable Deregistration and Re-export Request

Authorisation/IDERA”) yang ditujukan dan telah disetujui oleh Turut

Tergugat.

g. Pada tanggal 11 Mei 2015, Tergugat I melakukan wanprestasi, dan

Penggugat telah melakukan teguran-teguran kepada Tergugat I. Penggugat

dan Tergugat I kemudian melaksanakan mediasi dengan kesepakatan

bahwa: (i) Tergugat I harus melaksanakan kewajibannya; (ii) DKUPPU

memberikan kesempatan bagi para pihak untuk menunda proses deregistrasi

sampai dengan periode waktu tertentu, dan (iii) membuka kemungkinan

untuk mencabut permohonan apabila terjadi kesepakatan bersama antar

para pihak.

h. Tergugat I tidak kunjung melaksanakan kewajibannya berdasarkan

Perjanjian Sewa Menyewa Objek Sengketa sehingga Penggugat

memutuskan Perjanjian Sewa Menyewa Objek Sengketa tersebut, dan


31

memohonkan permohonan eksekusi IDERA dan menghapus tanda

pendaftaran/tanda kebangsaan pada Objek Sengketa kepada Turut Tergugat.

i. Tergugat I menyampaikan keberatan terhadap permohonan eksekusi dari

Penggugat, akan tetapi proses eksekusi tetap berjalan dan dilaksanakan oleh

Tergugat II yang diwakili oleh Turut Tergugat, dimana Turut Tergugat telah

mengumumkan/memerintahkan penghapusan tanda pendaftaran/tanda

kebangsaan pada Objek Sengketa.

j. Penggugat kemudian mengajukan permohonan mendaftarkan Objek

Sengketa kepada Kementerian Transportasi Canada dan telah mendapatkan

tanda kebangsaan/pendaftaran Canada (C-GSOZ) yang diberikan oleh

Pemerintah Negara Canada.

k. Meskipun permohonan eksekusi IDERA telah berlaku efektif terhadap

Objek Sengketa, Tergugat I kemudian secara melawan hukum, masih

mengoperasikan Objek Sengketa dan mempreteli Objek Sengketa (mesin,

roda, baling-baling, dan peralatan lainnya yang masih dapat digunakan)

sehingga menyisakan Objek Sengketa hanya meliputi rangka pesawatnya

saja (airframe).

l. Penggugat kemudian melaporkan Tergugat I kepada Tergugat II, dengan

membuat laporan polisi atas dugaan pencurian/penggelapan bagian dari

Objek Sengketa, dengan harapan bahwa Objek Sengketa dapat

diamankan/sita. Akan tetapi tidak kunjung di proses oleh Terugat II dengan

fakta bahwa telah dilakukan gelar perkara.

m. Penggugat kemudian melakukan gugatan perbuatan melawan hukum

terhadap tindakan yang dilakukan oleh Tergugat I kepada Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat, mengingat bahwa kondisi Objek Sengketa sudah tidak
32

dapat digunakan maupun dieksekusi, mengingat kondisi Objek Sengketa

menyisakan rangka pesawat dan tanpa mesin, dan mesin tersebut masih

digunakan oleh Tergugat I untuk berusaha secara komersil.

3. Ammar Putusan No. 262

MENGADILI:

- Mengabulkan Eksepsi Tergugat I;

- Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa

dan mengadili perkara ini;

- Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara.

4. Ammar Putusan Banding No. 453

MENGADILI:

- Menerima permohonan banding yang diajukan oleh Pembanding semula

Penggugat;

- Menguatkan Putusan No. 262 yang dimohonkan banding tersebut;

- Menghukum Pembanding semula Penggugat, untuk membayar biaya

perkara dalam kedua tingkat peradilan.

5. Ammar Putusan Kasasi No. 3071

MENGADILI:

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (semula Penggugat dan

Pembanding); dan

- Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat

kasasi ini.
33

3.2 Analisis Gugatan dan Pertimbangan Hakim dalam Putusan No. 262, Putusan No.

453, dan Putusan No. 3071

Berdasarkan pemaparan duduk perkara diatas, diketahui bahwa Penggugat

melakukan gugatan terkait Perbuatan Melawan Hukum. Perbuatan Melawan Hukum

berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata didefinisikan sebagai:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut.”

Berdasarkan pasal di atas, setidaknya ada lima unsur yang harus dipenuhi (i)

adanya perbuatan; (ii) perbuatan itu melawan hukum; (iii) adanya kerugian; (iv) adanya

kesalahan; dan adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan

melawanhukum dengan akibat yang ditimbulkan. Penggugat mendalilkan bahwa

Tergugat I, tanpa hak dan dengan melawan hukum telah:

1. Tidak menyerahkan Objek Sengketa milik Penggugat, padahal Objek Sengketa

telah dihapus tanda pendaftaran dan tanda kebangsannya oleh Turut Tergugat

(DKUPPU) berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan (“UU Penerbangan”);

2. Tidak menyerahkan Objek Sengketa dalam keadaan beroperasi dan laik udara;

3. Tidak menjaga Objek Sengketa dalam keadaan laik udara berdasarkan UU

Penerbangan;

4. Melepas/mencopot/mempreteli mesin-mesin, baling-baling dan komponen Objek

Sengketa milik Penggugat tanpa ijin dari Penggugat dan juga ijin dari otoritas

penerbangan Pemerintah Canada selaku pemilik tanda kebangsaan/pendaftaran;

5. Memasang bagian-bagian dari Objek Sengketa pada pesawat sejenis yang

dikuasai oleh Tergugat I;


34

6. Menggunakan/membiarkan digunakannya/tidak melarang penggunaan bagian

dari Objek Sengketa untuk diterbangkan oleh Tergugat.

Berdasarkan pemenuhan kelima unsur dalam suatu Perbuatan Melawan Hukum,

tentu dapat dilihat berdasarkan fakta-fakta hukum bahwa Objek Sengketa sudah

dieksekusi menggunakan IDERA yang mana menjadikan Objek Sengketa bukan lagi

teregistrasi baik milik Tergugat I maupun objek Indonesia, melainkan sudah menjadi

teritori Pemerintah Canada atau kepunyaan milik Penggugat, maka Objek Sengketa

seharusnya sudah tidak dapat dikuasasi, digunakan, maupun

dimonetisasi/komersialisasi oleh Tergugat I yang mana apabila dilakukan demikian,

maka unsur perbuatan melawan hukum sudah dapat terpenuhi. Pemenuhan unsur

Perbuatan Melawan Hukum dibuktikan dengan adanya:

1. Pencopotan komponen-komponen Objek Sengketa yang dilakukan oleh Tergugat

I tanpa persetujuan Penggugat;

2. Penguasaan Objek Sengketa yang padahal sudah bukan merupakan milik

Penggugat.

Tentu terhadap perbuatan menguasai Objek Sengketa seacara tidak sah dan tanpa

hak tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum, apalagi melakukan tindakan

terhadap Objek Sengketa dengan melakukan pembongkaran/pemretelan Objek

Sengketa dan menggunakan komponen-komponen Objek Sengketa untuk keuntungan

pribadi dan tanpa seizin Penggugat.

Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa dalam Putusan No. 262, sebagaimana

dikuatkan kembali berdasarkan Putusan Banding No. 453, dan Putusan Kasasi No.

3701, ketiganya menolak gugatan Penggugat dengan pertimbangan bahwa Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki wewenang untuk mengadili perkara atau tidak

sesuai dengan kompetensi absolut pengadilan yang mengadili. Sebagaimana mengenai


35

Kompetensi absolut dapat didefinisikan sebagai kewenangan mutlak pengadilan adalah

wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara

mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan dalam lingkungan pengadilan lain.

Selaras dengan pertimbangan dalam Putusan Banding No. 453 dan Putusan

Kasasi No. 3701 yang saling menguatkan, pertimbangan hakim yang digunakan untuk

menolak mengadili perkara ini terkait dengan relevansinya dengan kompetensi absolut

adalah sebagai berikut:

“Eksepsi Tergugat I dapat dibenarkan Pengadilan Negeri tidak berwenang

secara absolut memeriksa perkara a quo karena terdapat klausul arbitrase dalam

sengketa perkara a quo vide Pasal 3 Juncto Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pengadilan

Negeri”

Pertimbangan tersebut seakan membenarkan eksepsi Tergugat I dalam Putusan

No. 262 yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang

untuk mengadili karena latar belakang permasalahan dilatar belakangi oleh adanya

tindakan wanprestasi berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak yaitu

Perjanjian Sewa Menyewa Objek Sengketa yang memiliki mekanisme penyelesaian

sengketa bukan berdasarkan yurisdiksi hukum Indonesia melainkan melalui mekanisme

arbitrase. Pertimbangan hakim seperti demikian sungguh tidak tepat. Hal tersebut

mengingat pertimbangan yang kembali dikuatkan bahkan dalam Putusan Kasasi No.

3701 seharusnya hanya berlaku apabila gugatan yang dilayangkan oleh Penggugat

adalah terkait adanya wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Menyewa Objek Sengketa,

bukan dapat dipergunakan jika gugatan yang dilayangkan adalah perihal Perbuatan

Melawan Hukum seperti yang Penggugat lakukan dalam kasus ini.


36

Jika dianalisa lebih lanjut, gugatan dari Penggugat melandaskan adanya

Perbuatan Melawan Hukum, sehingga rasanya pertimbangan hakim untuk menolak

mengadili perkara ini karena terkait kompetensi absolut yang timbul akibat pendapat

hakim yang tidak memisahkan suatu tindakan wanprestasi berdasarkan perjanjian

dengan perbuatan melawan hukum akibat wanprestasi tersebut rasanya tidak dapat

dibenarkan. Mengingat IDERA merupakan suatu mekanisme eksekusi yang dapat

dilakukan langsung dalam hal terjadi wanprestasi, seharusnya perihal sengketa terkait

Perjanjian Sewa Menyewa Objek Sengketa yang memiliki penyelesaian sengketa

melalui arbitrase tidak dapat dijadikan sebagai justifikasi menolak perkara terkait

kompetensi absolut karena Perbuatan Melawan Hukum yang timbul akibat adanya

eksekusi wanprestasi bukan merupakan satu peristiwa hukum yang sama. Sehingga

seharusnya, gugatan Penggugat terkait Perbuatan Melawan Hukum akibat adanya

eksekusi Objek Sengketa karena wanprestasi dapat diterima dan diadili, bukan ditolak

untuk diadili karena adanya forum arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian sengketa,

mengingat gugatan yang diajukan oleh Penggugat juga bukan untuk membatalkan

perjanjian/terkait perjanjian, melainkan perihal eksekusi yang terhalang akibat adnaya

Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Tergugat

3.3 Praktik IDERA Sebagai Bentuk Eksekusi (Studi Kasus Putusan No. 262, Putusan

Banding No. 453, dan Putusan Kasasi No. 3701)

Duduk Perkara dalam Studi Kasus Studi Kasus Putusan No. 262, Putusan

Banding No. 453, dan Putusan Kasasi No. 3701 memberikan contoh bagaimana

perlindungan hukum terkait pihak yang beritikad baik masih belum dapat terpenuhi

dalam konteks jaminan terkait pesawat udara. Pada hakikatnya, mengingat bahwa UU

Penerbangan tidak memfasilitasi adanya metode pembebanan jaminan terhadap objek

berupa pesawat udara, mengingat bahw Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Cape
37

Town, tujuan dari adanya IDERA adalah mempermudah birokrasi penarikan pesawat

dari wilayah Indonesia dengan cara memberikan kewenangan kepada kreditur

(penerima kuasa) untuk melakukan penghapusan pendaftaran pesawat di Indonesia dan

melakukan pemindahan pesawat keluar dari wilayah Indonesia apabila debitur (pemberi

kuasa) wanprestasi. Kuasa ini secara langsung memberikan jarninan kepada kreditur

bahwa pesawatnya masih dapat beroperasi.

Akan tetapi, meskipun IDERA sudah memberikan kuasa yang cukup kuat bagi

pihak (lessor) untuk dapat melakukan deregistrasi terhadap tanda kebangsaan dan/atau

tanda kepemilikan suatu pesawat udara agar dapat dikembalikan kepada negara asal

lessor, pada praktinya seperti dalam duduk perkara, pesawat udara tersebut tidak dapat

dieksekusi secara langsung, melainkan hanya dapat dieksekusi secara sebagian/partial.

Hal tersebut dikarenakan IDERA hanya menjamin kepastian untuk dapat mengeksekusi

pesawat udara yang hanya mencakup tanda registrasi/kebangsaan dari pesawat udara,

akan tetapi tidak mencakup upaya untuk dapat mengeksekusi komponen-komponen

pesawat udara yang sifatnya esensial seperti mesin, baling-baling, maupun roda

pesawat yang mana hal-hal yang sifatnya esensial ini merupakan hal kunci suatu

pesawat udara dapat beroperasi. Dalam duduk perkara kasus ini, Tergugat I (lessee)

merupakan pihak yang beritikad buruk dalam melaksanakan suatu perbuatan hukum

antar para pihak. Terdapat celah hukum yang mana tidak dicakup oleh IDERA yaitu

meskipun tanda kebangsaan/tanda registrasi pesawat tersebut sudah dicabut dan

didaftarkan kembali menjadi milik lessor dalam hal terjadi wanprestasi sehingga

seharusnya menjadikan pesawat udara tersebut tidak dapat beroperasi, tidak menutup

kemungkinan bagi lessee yang beritikad buruk, untuk dapat mempreteli, membongkar,

maupun menggunakan komponen-komponen pesawat udara yang menjadi objek

sengketa, dan menggunakan komponen tersebut secara terpisah dan menjadikan


38

pesawat udara yang menjadi objek sengketa tersebut tidak dapat digunakan/tidak ada

harganya yang mana terbukti dalam duduk perkara kasus ini, Objek Sengketa hanya

mangkrak/diam di bandara tanpa dapat dieksekusi atau dikembalikan ke negara lessor

karena tidak memiliki mesin dan hanya berupa sebuah rangka/frame pesawat.

Pada praktiknya, untuk mencegah hal tersebut dapat terjadi seperti dalam duduk

perkara kasus ini, banyak lessor menggunakan metode jaminan fidusia untuk

menjaminkan secara terpisah komponen-komponen yang sifatnya esensial dalam

pesawat udara untuk mendapatkan jaminan hukum.

Pembebanan jaminan pada obyek pesawat udara yang dilakukan dengan fidusia

tidak dapat didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia, dikarenakan dalam UU No. 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak dapat diberlakukan untuk pesawat udara.

Akan tetapi, mengingat bahwa komponen-komponen pesawat yang juga tergolong

sebagai objek jaminan fidusia, maka pada praktiknya, banyak kreditur mengikatkan

komponen-komponen pesawat udara tersebut dengan menggunakan jaminan fidusia.

Lantas, apakah jaminan fidusia merupakan jawaban untuk pendamping tambahan

dari metode eksekusi IDERA guna melindungi kreditur? Tim penulis berpendapat

bahwa jaminan fidusia juga bukan merupakan jawaban untuk menambahkan

perlindungan hukum bagi kreditur selain dengan IDERA. Hal tersebut dilatar belakangi

oleh adanya kebutuhan akan kesepakatan terjadinya wanprestasi terlebih dahulu oleh

kreditur dan debitur untuk dapat mengeksekusi secara langsung objek sengekta, dalam

artian berdasarkan Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 debitur harus menyerahkan

objek sengekta secara sukarela dan apabila tidak, kreditur harus melakukan

permohonan ekseksui melalui pengadilan. Praktik penggunaan jaminan fidusia sebagai

pendamping dari metode ekseksui melalui IDERA juga akan menemukan hambatan

apabila digunakan, mengingat bahwa apabila kreditur sudah melaksanakan eksekusi


39

IDERA, maka objek sengketa pastinya akan kehilangan tanda kebangsaan/tanda

identifikasi Indonesia, yang menjadikan objek tersebut bukan lagi merupakan yurisdiksi

hukum Indonesia, sehingga putusan ekseksui melalui jaminan fidusia pun tidak akan

dapat dieksekusi mengingat objek berupa pesawat udara merupakan yurisdiksi negara

sesuai dengan negara mana pesawat tersebut didaftarkan/registrasi. Sehingga rasanya,

untuk melakukan ekseksui jaminan fidusia dengan memohonkan recognition putusan

eksekusi jaminan fidusia kepada negara yang bersangkutan bukanlah merupakan

alternatif yang efisien dan efektif.


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

Praktik IDERA sebagai metode eksekusi terhadap objek kebendaan berupa

pesawat udara tidak dapat sepenuhnya melindungi hak kreditur sebagai pemilik dari

pesawat udara dalam hal terjadi sengketa antara kreditur dan debitur. Hal tersebut

dilatarbelakangi oleh adanya kemungkinan terjadinya itikad buruk dari debitur yang

dapat membongkar, mempreteli, atau melepaskan bagian-bagian objek pesawat udara

karena tidak dilindungi haknya oleh IDERA yang terbatas pada permasalahan

registrasi tanda kebangsaan pesawat. Penggunaan jaminan fidusia sebagai pendamping

metode eksekusi IDERA juga kurang tepat mengingat efektifitas dan efisiensi dari

ekseusi jaminan fidusia yang tidak dapat dieksekusi apabila objek pesawat udara sudah

dieksekusi berdasarkan IDERA.

4.2 SARAN

Dengan adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009, Cape Town Convention

2001 dan IDERA, masalah pengikatan jaminan dengan obyek pesawat udara telah

diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan dan diharapkan dapat memenuhi

unsur kepastian hukum dalam pelaksanaannya dan tidak terjadi tumpang tindih dalam

penerapan hukum yang berlaku.

Hal tersebut membuat dibutuhkannya adanya Lembaga jaminan baru untuk dapat

mengakomodir kebutuhan perlindungan hukum (terutama bagi kreditur) dalam konteks

jaminan kebendaan berupa pesawat udara.

40
DAFTAR PUSTAKA

Buku
A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Liberty, 1985)

Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2003.

J.P.Honig, The legal Status of Aircraft, (The Hague: Martinus Nijhofl; 1956)

Moch. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara di Indonesia(Surabaya: Dharma Muda, 1996)

Munir Faudi, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002)

Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata (Jakarta: Rajawali Pers, 2015).

Peter Thome, The Cape Town Convention Its Impact in Realtion to Interests in aircraft Object, Norton
Rose: 2006.

R. Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung :Sumur 1994

Jurnal
Baiq Chasima Yudistika dan Suatra Putrawan.Kajian Hukum Mengenai Eksekusi Jaminan Fidusia
oleh Pihak Lelang Secara Sepihak(Bali:Universitas Udayana, 2019)

H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., MH., KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA, Artikel Pengadila Tata Usaha Negara

Hikmabanto Juwana, Kewajiban Negara Mentransformasikan Ketentuan Perjanjian Internasional ke


Dalam Peraturan Perundang-undangan: Studi Kasus Pasca Keikutsertaan Dalam Cape Town
Convention, Jurnal Hukum Bisnis: Volume 28 Nomor 24 Tabun 2009

Katalog Badan Pusat Statistik, Statistik Transportasi Udara, (Jakarta: BPS RI, 2019)

Maralutan Siregar,dkk, "Pemisahan Gugatan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum dalam
Perspektif Hukum Materiil dan Penerapan di Pengadilan", Locus Journal of Academic
Literature Review Volume 2 Issue 6, June 2023

Moh Mahfud MD, Lingkup Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dan Kapasitas Tuntutan atas
Satu Tuntutan Administrasi, dikutip dari SF Marbun

Phulipus M Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian
Administrative Law), Cetakan Keenam, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1999
Sri Soedewi Maschun Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusia
didalam Praktek dan perkembanganrya di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gajah
Mada, Bulaksumur, Yogyakarta: 1977

41

Anda mungkin juga menyukai