Anda di halaman 1dari 11

Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

PERTEMUAN 1
PENGERTIAN FILSAFAT BAHASA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari materi pada pertemuan pertama ini diharapkan
mahasiswa mampu untuk memahami definisi dari filsafat, deinisi dari bahasa dan
mahasiswa dapat menggambarkan keterkaitan antara filsafat dan bahasa.

B. URAIAN MATERI

1. Pengertian Filsafat

Mencari pemaknaan filsafat secara umum memang terbilang cukup sulit,


karena mendefiniskan filsafat perlu dengan melakukan kajian yang cukup lama
dan serius. Mempelajari filsafat bagi beberapa orang dianggap sebagai sebuah
pembelajaran yang mengawang-awang. Untuk mengerti sebuah konsep filsafat
seseorang harus dapat mnedalami konsep tersebut bahkan ada yang meyakini
ketika mengkaji sebuah konsep filsafat akan bertentangan dengan konsep
keagamaan. Mengapa demikian? Hal ini tentu saja karena kurangnya
pemahaman mengenai filsafat itu sendiri, filsafat dianggap sebagai sebuah
keilmuan yang tidak dasarkan pada kitab suci penganut agama karena dianggap
sebagai buatan manusia yang mengada-ada. Apalagi, konsep filsafat yang
sangat jelas terlihat adalah ketika para pengkajinya harus bertanya-tanya tentang
semua hal yang ada di muka bumi apalagi ketika pertanyaan itu mengacu
terhadap konsep keagamaan maka orang-orang akan berfikir bahwa mereka
yang berfilsafat adalah kafir atau orang yang tak beragama. Terlalu cepat
menyimpulkan bahwa seseorang yang mengkaji filsafat akan terjebak ke dalam
kekafiran, padahal jika ditelaah lebih jauh konsep kefilsafatan ini akan mengacu
terhadap konsep penciptaan dan konsep- konsep ketuhanan yang bahkan dapat
membuat para pengkajinya lebih dekat lagi dengan bukti-bukti keberadaan tuhan
(Hidayat, 2004)

Secara etimologi filsafat itu merupakan sebuah bahasa yang asal-usulnya


diambil dari bahasa arab yakni falsafah yang notabene bahasa aslinya diadopsi
dari bahasa yunani yaitu philoshopia. Kata philoshopia ini terdiri dari dua inti kata

Filsafat Bahasa
1
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

yakni Philos/Philein yang memiliki arti cinta, dalam hal ini cinta didefiniskan
seluas- luasnya, yaitu cinta yang berkaitan dengan rasa “ingin”, sedangkan
shopia memiliki makna kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan. Sehingga
secara harfiah filsafat memiliki makna rasa cinta atau rasa ingin terhadap sebuah
kebijaksanaan. Jika ditilik secara mendalam, sebenarnya pemaknaan secara
harfiah berdasarkan arti dari sebuah kata tidak dapat mendefiniskan filsafat
secara mendalam bahkan hal tersebut malah akan membingungkan. Secara
garis besar pendekatan etimologis dalam mendefiniskan sebuah konsep
dilakukan hanya untuk melihat ciri luarannya saja tetapi tidak dapat
mendefinisikan konsep esensial yang ada di dalamnya.

Dalam filsafat untuk mendifiniskan sesuatu secara mendalam diperlukan


sebuah proses yang disebut sebagai proses berfikir dimana proses ini memacu
kita untuk melakukan perjalanan atau penjelajahan fikiran yang harus dilakukan
secara mendalam (radikal). Aristoteles pernah mengungkapkan ide
pemikirannya yang berkenaan dengan proses berfikir seorang filsuf. “Apabila
kamu ingin menjadi seorang filsuf maka berfilsafatlah, dan apabila kamu tidak
mau menjadi seorang filsuf maka kamu juga harus berfilsafat”. Dari ungkapan
yang disebutkan oleh aristoteles tersebut kita dapat simpulkan bahwa setiap
manusia yang memiliki akal dan pemikiran dalam hidupnya tidak akan pernah
jauh dari sebuah proses filsafat, karena pada dasarnya setiap manusia akan
bertanya-tanya tentang segala aspek yang ada dan muncul di dunia ini. Sebagai
contoh, ketika seseorang setuju dengan kehadiran filsafat sebagai sebuah ilmu
maka ia akan memiliki alasan dan dasar pemikiran yang kuat tentang
kesetujuannya, begitupun sebaliknya ketika seseorang tidak setuju dengan
kehadiran filsafat sebagai sebuah ilmu, maka ia harus memiliki dasar pemikiran
yang kuat mengapa ia tidak setuju. Hal ini menunjukkan bahwa manusia akan
selalu berfikir dan berfilsafat setiap saat karna manusia dilahirkan dengan akal
dan ide.

Proses berfikir seorang filsuf biasanya didasari oleh empat hal dasar, yaitu
kekaguman terhadap alam, ketidakpuasaan terhadap mitos dan dongeng,
keraguan tentang sesuatu dan kebingungan tentang berbagai hal. Ada dua cara
berfikir seorang filsuf, yang pertama adalah berfikir secara rasional. Berfikir
secara rasional artinya berfikir secara logis, sistematis dan juga kritis. Berfikir
logis dilakukan tidak hanya untuk mencapai sebuah penjelasan yang dapat

Filsafat Bahasa 2
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

diterima oleh akal sehat tetapi agar dapat membuat sebuah kesimpulan yang
tepat dari argumen dan premis yang digunakan. Kemudian berfikir sistematis
merupakan sekumpulan rangkaian pemikiran yang logis yang dihubungkan dan
dikaitkan. Sedangkan pemikiran kritis merupakan pemikiran dimana setiap
argumen yang ada harus terus dievaluasi dan diuji untuk mencapai sebuah
kebenaran. Yang kedua adalah berfikir secara radikal, artinya seorang filsuf
harus tidak terpaku terhadap satu fenmena saja dan tidak berhenti pada satu
pemahaman sehingga permasalahan dapat dipecahkan secara mendalam.
Sejalan dengan penjelasan tersebut, untuk berfilsafat, seorang filsuf harus
memiliki ciri berfikir yang baik.

Menurut Achmadi (2014) berikut ciri-ciri berfikir filsafat;


a Radikal, menurut KBBI (2008: 1246) memiliki makna secara menyeluruh atau
habis-habisan. Dari makna tersebut, seorang filsuf harus memiliki pemikiran
yang mendalam dan menyeluruh (radikal). Hal ini dikarenakan dalam
berfilsafat seseorang harus mampu berfikir sampai menemukan titik awal
(akar) sebuah permasalahan. Sehingga jika mengmabil sebuah kesimpulan
akan mendapatkan sebuah kesimpulan yang baik dan dapat dipertanggung
jawabkan.
b Kritis, dalam berfilsafat, seseorang dituntut untuk dapat menagnggapi semua
peristiwa yang ada disekitarnya. Kritis berarti berani mengemukakan
pendapat atau memberikan tanggapan terhadap sebuah peristiwa yang tidak
sesuai dengan pemikiran kita.
c Konseptual, maksud dari konseptual dalam berfikir adalah keterkaitan antara
akal mausia atau ide pemikiran yang ada dalam intelektual. Dimana
keterkaitan itu akan menghasilkan sebuah pemikiran yang sistematis dan
terkonsepsi secara jelas.
d Rasional, maksud dari rasional sendiri merupakan sebuah unsur atau bentuk
hubungan yang secara logis dapat diuraikan dan dijelaska ke dalam sebuah
bentuk kebenaran.
e Reflektif, reflektif sendiri memiliki makna mencerminkan terhadap pengalaman
pribadi yang artinya pemikiran filsafat ini harus mendukung terhadap realitas
pandangan hidup manusia dan dunia.
f Koheren dan konsisten, maksud dari koheren dan konsiten sendiri adalah cara
berfikir seorang filsuf tidak boleh bertentangan dengan suatu kebenaran yang
logis.

Filsafat Bahasa
3
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

g komprehensif dan sistematis, sistematis merupakan unsur yang saling


berkaitan satu dengan lainnya secara teratur dalam suatu keseluruhan.
Biasanya unsur sistematis dalam pikiran filsuf ini dipengaruhi oleh keadaan
dirinya, lingkungan, zaman dan pendidikannya. Metodis, untuk mencari
sebuah kebenaran, perlu adanya penggunaan metode-metode dalam upaya
mengurangi penyimpangan dalam pencarian kebenaran tersebut. Cara
berfikir seorang filsuf harus didasari oleh metode yang ilmiah agar temuan dari
kebenaran tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Filsafat secara garis besar bukan merupakan sebuah sarana untuk mencari
jawaban dengan pasti tetapi filsafat membawa kita kepada pemahaman dan
tindakan, tujuan utama filsafat adalah mengumpulkan pengalaman dan
pengetahuan manusia sebanyak mungkin dan merangkainya dalam sebuah
rangkaian yang sistematis, kemudian, filsafat membawa kita terhadap sebuah
pemahaman yang akan membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Filsafat
merupakan sebuah bentuk analisa yang hati-hati terhadap sebuah penalaran
sebuah masalah, filsafat merupakan perenungan yang mengusahakan
kejelasan, keruntutan pada sebuah fenomena.

2. Pengertian Bahasa

Berbicara mengenai bahasa, banyak sekali definisi yang muncul sebagai


penjelas tentang pengertian dari bahasa. jika dilihat dari fungsi dasarnya bahasa
merupakan sebuah alat komunikasi dan alat berinteraksi antar manusia. Secara
teoritis bahasa merupakan sebuah sistem lambang yang saling menghubungkan
dunia makna dengan dunia bunyi yang berkaitan erat dengan dunia pragmatik
(Chaer, 2009). Jika bahasa disebut sebagai sebuah sistem maka sistem tersebut
akan memiliki subsistem. Di dalam bahasa subsistem tersebut dibagi ke dalam
tigasub sistem, yaitu subsistem fonologi, subsistem leksikon dan subsistem
gramatikal.ketiga subsistem tersbut terkait dengan subsistem pragmatik dimana
bahasa itu memiliki konteks tergantung dengan bagaimana bahasa tersebut
digunakan.

Bahasa itu memiliki komponen makna yang dimana komponennya memiliki


konsep dan ide yang dibentuk dari pemikiran manusia. Ide dan konsep makna
tersbut memiliki sifat abstrak dan tidak bisa diamati secara empiris. Tetapi,

Filsafat Bahasa 4
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

konsep dan ide tersbut dapat dikeluarkan melalui alat ucap manusia dan
dikeluarkan melalui bunyi yang merupakan realisasi fisik yang dari dunia makna
atau setelah melaui sistem bahasa yang bersifat konkret sehingga dapat
dianalisis secara empiris. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar
berikut ini.

Gambar 1.1. Komponen Bahasa (Chaer, 2015 16)

Jika dilihat pada gambar skema di atas, ada tiga komponen penting yang
menjadi subsistem pada sebuah bahasa. Seperti yang sudah dijelaskan pada
penjelasan sebelumnya bahwa komponen penting yang meliputi sistem bahasa
adalah komponen leksikon, komponen gramatika dan komponen fonologi.
Komponen leksikon yang memiliki satuan yang disebut dengan leksem
merupakan sebuah bejana yang menampung berbagai makna dalam sebuah
bahasa. Makna yang muncul dari leksikon tersebut disebut sebagai makna
leksikal. Komponen leksikon ini kemudian diolah menjadi satu kesatuan yang
dimana kesatuan tersebut tidak lagi memiliki makna leksikal tetapi memiliki
makna gramatikal.

Dalam subsistem gramatikal, ada dua komponen utama yang meliputinya


yakni morfologi dan sintaksis. Subsistem atau komponen morfologi merupakan
komponen dalam sebuah bahasa dimana ia memiliki fungsi sebagai pengolah
komponen leksikon menjadi sebuah “kata”, yang dimana kata tersebut memiliki
sifat gramatikal dan subssitem sintaksis merupakan komponen yang bertugas
mengolah kata yang sudah disusun oleh morfologi menjadi satu kesatuan yang
lebih kompleks seperti dirubah menjadi sebuah frasa, klausa dan kalimat.
Satuan- satuan yang telah terbentuk secara sintaksis ini akan diolah oleh
subsistem fonologi dan dikeluarkan menjadi sebuah bunyi yang dikeluarkan

Filsafat Bahasa
5
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

melalu alat ucap manusia dan dikonversi menjadi sebuah bunyi yang pada
akhirnya akan diterima oleh sistem pendengaran sebagai sebuah ujaran.

Ujaran-ujaran yang muncul dari alat ucap manusia tersebut akan memiliki
makna. Makna yang muncul itu akan dimengerti oleh pendengar ketika ujaran
tersebut memiliki konteks yang jelas sehingga sebuah bahasa tidak hanya
sampai pada subsistem fonologi saja tetapi lebih kompleks lagi sampai kepada
pragmatik. Sebagai contoh, ketika ada ujaran “ Sudah pukul Sembilan malam”
jika dijelaskan hanya menggunakan subsistem gramatikal saja maka makna yang
muncul adalah menyatakan mengenai waktu saja; tetapi jika diujarkan oleh
seorang ibu kepada anaknya yang masih berusia 7 tahun artinya ujaran tersebut
memiliki makna bahwa ibu tersebut menyuruh anaknya untuk tidur karena sudah
larut malam.

Ujaran dalam sebuah bahasa memang dapat dimaknai tergantung dengan


konteks yang ada. Sehingga ketika ingin mengartikan atau memaknai sebuah
ujaran dalam sebuah bahasa itu memang sangat luas. Dalam kajian ilmu bahasa
(linguistik) yang bersifat struktural, bahasa didefinisikan sebagai sebuah sistem
lambang bunyi yang memiliki sifat arbitrer. Sedangkan dalam kajian ilmu bahasa
yang bersifat fungsional menyebutkan bahwa bahasa merupakan sebuah alat
komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dan berinterksi
(Chaer, 2015, hal. 17).

Keterkaitan bahasa secara luas menimbulkan berbagai konsep


pemahaman kosakata yang beragam. Hal ini juga terlihat dari turunan-turunan
bahasa yang ada di dunia. Konsep bahasa sebagai kesemestaan tergambar dari
beragamnya bahasa yang ada di dunia ini. Sejarah tentang asal mula bahasa
pun muncul. Para ahli mengambil berbagai spekulasi untuk menggambarkan
bahasa pertama yang ada di dunia itu seperti apa. Pada bab ini tidak dulu dibahas
tentang bahasa pertama yang muncul di dunia itu bahasa yang seperti apa, tetapi
pada bab ini hanya dibahas bahwa bahasa itu bersifat kesemestaan. Hal ini
terlihat pada beragamnya bahasa yang digambarkan sebagai berikut.

Filsafat Bahasa 6
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

Gambar 1.2 Ragam Bahasa Dunia 1


Sumber : https://hi.umy.ac.id/pentingkah-menguasai-bahasa-asing-bagi-

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa dalam


kajian filsafat dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan
empiris. Mengapa sebuah bahasa dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang
abstrak? Tentu pernyataan ini didasari dari definisi bahasa yang disebut sebagai
bentuk yang “arbitrer” atau manasuka. Setiap penutur bahasa di dunia memiliki
bahasa untuk mendeskripsikan sebuah objek yang tentu saja jika kita telaah tidak
ada hubungan antara bunyi, struktur kata dan bentuk katanya dengan objek yang
dijadikan lambang kata tersebut. Hal ini dalam filsafat dianggap sebagai sebuah
keabstrakan dari bahasa itu sendiri. di sisi lain, bahasa dianggap sebagai sesuatu
yang bersifat empiris dengan adanya bukti-bukti ilmiah yang konkret dalam
mendeskripskiakn bahasa secara keilmuan.

Bahasa seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya memiliki sebuah


konsturksi bunyi, kata, tata bahasa dan pemaknaan yang konkret dan dapat
dilihat eksistensinya. Hal ini memberikan ruang kepada filsafat untuk menyatakan
ke konkretan bahasa sebagai sebuah objek kajian yang dapat ditelaah dan
digambarkan secara radikal. Dengan bukti-bxsjjkukti konkret bahasa ini filsafat
membuka pemikiran filsuf dan ilmuan dalam menggambarkan bahasa dan
mendeskripsikan bahasa ke ruang yang lebih luas lagi. Dulu bahasa hanya
dianggap sebagai sebuah fenomena yang terjadi begitu saja tetapi saaat ini
bahasa sudah sangat dipercayais sebagai sebuah kemampuan manusia yang
kompleks dan sangat perlu diperhatikan keberadaannya. Bahasa tidak hanya

Filsafat Bahasa
7
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

dianggap sebagai sebuah fenomena yang terjadi begitu saja tetapi ada misteri
yang masih ada dibalik keberadaan bahasa tersebut.

3. Hubungan Filsafat Dan Bahasa

Terdapat berbagai pertanyaan mengapa ilmu bahasa atau linguistik dapat


diartikan sebagai sebuah ilmu yang dikaji secara ilmiah? Hal ini dijawab oleh
Lyons 1995:1 bahwa dapat dikatakan ilmiah karena semua kegiatan studi ini
dilakukan melalui pengamatan-pengamatan yang memiliki keteraturan dan
dibuktikan secara empiris tentang kebenaran dan ketidakbenarannya.
Selanjutnya pengamatan ini tidak hanya berdasar pada suatu teori bahasa
secara umum mengenai sturuktur bahasa, tetapi lebih khusus tergantung kepada
kajian keilmuan itu lebih dekat didekati oleh ilmu yang seperti apa, linguistik
tradisional, lingustik struktural atau bahkan linguistik transformasional.

Seperti yang telah disinggung dan dibahas sebelumnya bahwa secara


fungsional bahasa merupakan sebuah alat yang digunakan oleh manusia untuk
berkomunikasi dan berinterkasi dengan manusia lainnya. Dengan bahasa
manusia dapat mengkomunikasikan ide dan gagasannya sehingga ide dan
pemikirannya akan diketahui oleh orang banyak. Kemudian, jika ditinjau lebih
dalam lagi ternyata bahasa merupakan salah satu aspek yang penting dalam
kehidupan manusia. Dengan bahasa, perubahan pada kehidupan manusia pun
dapat berubah, dari segi budaya, perekonomian bahkan secara sosial kehidupan
manusia pun tergantung pada penggunaan bahasa. Jika dalam sekelompok
manusia tidak ada alat yang dinamakan bahasa maka keberlangsungan
kelompok tersebut akan ada pada titik kepunahan karna dengan adanya bahasa
menunjukkan sebuah kebudayaan bangsa dan jika tidak ada bahasa maka
hilanglah bangsa tersebut. Dengan demikian siapapun orangnya maka mereka
akan selalu berkutat danmelakukan relasi denga bahasa begitupun dengan filsuf,
sehingga bahasa dan filsafat akan memiliki kaitan yang erat karena pemikiran
dan ide yang muncul pada zaman filsafar kuno sampai sekarang pun semua ide
dan pemikirannya akan disampaikan dan gambarakan melalui bahasa.

Fakta-fakta telah menujukkan bahwa pemikiran dan perenungan filsuf


mengenai sebuah ide akan selalu dilakukan degan menggunakan bahasa
sehingga bagaimanapun alat komunikasi yang baik sebagai pembagi informasi

Filsafat Bahasa 8
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

adalah bahasa. Suatu sistem filsafat sebenarnya dalam arti tertentu dapat
dipandang sebagai sebuah bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat
dipandang sebagai suatu upaya penyusuan bahasa tersebut (Katsooff dalam
Hidayat, 2014, hal. 31). Dengan kata lain, dalam memahami sebuah pemikiran
filsuf atau memahami filsafat kita harus memperlajari bahasa yang digunakan
dalam menguraikan filsafat. Selain itu, kita akan menjumpai istilah-itilah yang
muncul di dalam filsafat yang tidak akan pernah kita megerti jika kita tidak pernah
berbahasa.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka bahasa dan filsafat
memiliki hubungan dan relasi yang sangat erat. Bahkan, hubungan antara filsafat
dan bahasa merupakan sebuah hubungan yang kausalitas (sebab-akibat) yang
kehadirannnya tidak dapat kita tolak. Bagi para filsuf bahasa dianggap sebagai
sahabatnya dalam setiap kegiatan filsafatnya dan tidak akan terpisahkan oleh
apapun. Sehingga lambat laun bahasa menjadi sebuah objek perenungan yang
menarik bagi para filsuf dan menjadi bahan peneltian dunia filsafat.

Keterkaitan tersebut dapat terlihat dari bukti-bukti pemikiran filsafat yang


dituangkan dalam bentuk pola-pola kebahasaan dan kesusastraan. Hal tersebut
terlihat dari gambar berikut.

Gambar 1.3 Logika Aristoteles 1


Sumber : https://ardisatrianugroho.wordpress.com/2013/11/19/bahasa-antara-
filsafat-sastra/

Filsafat Bahasa
9
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

Pada gambar tersebut terlihat bentuk realitas yang dibentuk oleh seorang
pengarang yang menyangkut moral, etika, religi budaya dan faktor-faktor sosial
ekonomi. Terbukti bahwa bahasa dan sastra merupakan bagian yang pasti ada
di dalam sebuah kurun waktu dan proses pemikiran yang menceritakan
penghayatan dan pengalaman batin.

Beberapa kesulitan ketika mencoba mempelajari bahasa berdasarkan


perspektif filsafat adalah mengenai sikap subjektif yang muncul kepada
pembelajar ilmu ini. Hal ini dikarenakan masing-masing individu memiliki
anggapan yang benar dan semestinya tentang sebuah bahasa berdasarkan
perspektif yang terbangun dimulai pada saat kecil mereka belajar dan
memperoleh bahasa tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Lyons (1995:
3) bahwa kesulitan dasar yang dihadapi orang-orang awan yang belajar linguistik
adalah kesiapan mereka untuk melihat bahasa sebagai unsur yang objektif ,
banyak pebaharuan tentang keilmuan bahasa yang dulu tata bahasa tradisional
yang diajarkan di sekolah dianggap benar, lalu sekarang banyak yang dianggap
keliru dan diganti oleh kemuktahiran perkembangan bahasa itu sendiri. Inti dari
hubungan filsafat dan bahasa dalam proses penerimaan stuktur bahasa adalah
sikap yang dinamis dan menerima pengertian dan konsep yang selama ini
dianggap benar menjadi keliru.

Kemuktahiran perkembangan bahasa tersebut terlihat pada proses bukan


menyalahkan stuktur bahasa tradisional yang sudah ada, tetapi mengarah
kepada mengembangkan dan merumuskan tata bahasa tersebut berdasarkan
perkembangan linguistik itu sendiri, atau yang lebih kita kenal dengan kajian
lingutik modern. Pusat dialawainya pengembangan dan perumusan tata bahasa
tersebut diawali oleh pendirian perpustakaan yunani di iskandaria yang
didalamnya menjadi pusat penelitian kesusastraan dan kebahasan. Perubahan-
perubahan pengembangan itu paling tampak berbentuk keaslian tulisn atau hasil
plagiat karya yang lain.

Hal ini pun digambarkan serupa oleh Lyons (1995:15) yang


menggambarkan bahwa pada abad ke-13 tampak sekali perkembangan ilmu
pengetahuan dalam semua cabang. Hal itu menandai awal munculnya zaman
skolastik, pada zaman itu pemikiran aristoteles beserta para filsuf yang ikut
meyumbangkan pemikirannya kembali bermunculan. Salah satu pemikiran yang

Filsafat Bahasa 10
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

muncul adalah teori-teori tata bahasa tentang proposisi atau dapat dikatakan dalil
yang muncul dari proses pembuktian pembenaran dengan proses penarikan
simpulan dari asas-asas yang serupa. Pada zaman ini tata bahasa lebih
digunakan sebagai alat praktis yaitu untuk mengungkapkan sebuah kebenaran
yang dirancang menjadi sebuah kenyataan oleh seorang pemikir. Buku atau
essay yang berdul de modis signifiacandi pada zaman terbut lebih banyak
berbicara tentang pelambangan dan penandaan.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa


keilmuan bahasa apabila dilihat dari perspektif filsafat adalah sebuah kelimuan
yang berupaya menemukan aturan atau dasar sebuah hubungan, yaitu kata yang
diarahkan sebagai tanda dengan perspektif manusia sebagai individu yang satu
memaknai wujud yang dimaknai oleh kata tersebut / yang ditandainya. Oleh
karena itu kadang-kadang aturan dan dasar ini dapat dikatakan sebagai sebagai
sebuah yang universal atau kadang-kadang dikatakan sebagai sesuatu yang
tidak universal atau tetap, segala hal tersebut bergantung kepada subtansi tanda
tersebut pada saat dikeluarkan.

C. SOAL LATIHAN

1. Berdasarkan penjelasan bisa anda uraikan pengertian Filsafat secara


etimologi?
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………....
2. Mengapa pengertian filsafat secara etimologi tidak terlalu mewakili pengertian
filsafat?
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………...
3. Bahasa adalah susunan konsep yang berupa sistem. Jelaskan maksud
pernyataan tersebut !
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………

Filsafat Bahasa
11

Anda mungkin juga menyukai