Anda di halaman 1dari 15

Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

PERTEMUAN 3
SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT BAHASA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mendapatkan perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memahami
perkembangan filsafat bahasa dari masa ke masa yaitu dari masa sebelum abad
modern, pada saat abad 20, hingga sampai perkembangan filsafat bahasa pada abad
21.

B. URAIAN MATERI

Pada pertemuan ketiga ini materi berlanjut kepada perkembangan filsafat pada
beberapa decade, seperti fisafat sebelum abad modern, perkembangan filsafat pada
abad ke-20, perkembangan filsafat pada abad ke-21, dan perkembangan filsafat pada
abad ke-22.

1. Perkembangan Filsafat Bahasa Sebelum Abad Modern

Perkembangan filsafat bahasa sebelum abad modern memang tidak terlalu


signifikan terlihat, karena pada masa sebelum itu, filsafat bahasa banyak terpusat
pada yang memiliki konsep filsafat kosmologis, budaya, logosentris dan
teosentris. Tetapi meskipun tidak terlalu signifikan, filsafat bahasa tetap hadir
pada tataran tertentu. Oleh karena itu beberapa pemikiran filsafat bahasa yang
muncul pada zaman modern dan sebelum zaman modern dibagi ke dalam
beberapa masa yaitu.

a. Masa pra-Sokrates

Perkembangan filsafat pada masa ini adalah lebih kepada penggunaan


bahasa secara khusus, pada zaman ini, bahasa belum dijadikan sebuah
fenomena aneh yang harus diamati, tetapi pada zaman ini bahasa dijadikan
sebuah alat untuk berkomunikasi dengan para dewa. Bahasa digunkan
sebagai alat magis yang orang-orang pada masa ini pikir bahasa merupakan
sebuah alat penggerak kehendak dewa jika digunakan dengan benar. Akan
tetapi, seiring berjalannya waktu orang-orang ini menyadari bahwa

Filsafat Bahasa 22
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

sebenarnya bahasa tidak dapat digunakan sebagai alat ajaib untuk mengubah
kehendak dewa untuk mengubah sesuatu di dunia, tetapi pada akhirnya
orang-orang ini berfikir bahwa bahasa pastilah memiliki potensi yang lain.
Pada awalnya bahwa dianggap hanya sebagai bunyi-bunyi yang keluar dari
alat ucap dan berfungsi hanya sebagai alat komunikasi saja, tetapi pada
akhirnya mulai disadari bahwa bahasa memiliki makna dan sifat logis yang
jika diamati memiliki struktur tertentu dan bahasa lebih dari itu dapat diangkat
menjadi sebuah fenomena yang sangat penting.

Sikap logis tersebut muncul pada bentuk pemikiran yang berupa


spekulasi yang memikirkan tentang asal usul bahasa yang ada di dunia. Oleh
karena itu muncul lah sebuah hipotesis tentang teori bahasa yang diawali oleh
pemikiran Darwin (1809-1882) yang menyatakan bahwa bahasa merupakan
sebuah bentuk lisan dan terjadi evolusi yang mengakibatkan adanya
perubahan, hal tersebut diawali oleh pantomime yang dihasilkan oleh alat-alat
suara seperti lidah, pita suara, tenggorokan, hidung, dan lain sebagainya yang
secara kejut berusaha menirukan gerakan-gerakan tangan dan menimbulkan
suara.

Selanjutnya hipotesis tersebut berkembang dengan pemikiran bahwa


suara ini kemudian disusun untuk menjadi sebuah kesatuan ujaran atau
sekarang dikenal dengan istilah speech yang pasti mempunyai makna. Darwin
pun menjelaskan bahwa kualitas bahasa manusia dengan suara binatang
apabila dibandingkan hanya berbeda dalam tingkatannya saja. Darwin
menyimpulkan bahwa perbedaan antara bahasa manusia dan suara binatang
itu sangatlah tipis, sehingga ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa
hewan pun dapat berbahasa selayaknya seperti manusia. “All social animals
communicate with each other, from bees and ants to whales and apes, but only
humans have developed a language which is more than a set of prearranged
signals”.

Pada masa ini pun pendapat tentang bahasa muncul apabila dikaitkan
dengan tinggi rendahnya nada atau intonasi. Intonasi dikaitkan dengan bentuk
bahasa yang sangat awal yaitu sebagai sarana ekspresi emosi saja. Misal
seperti bunyi yang dihasilkan dengan cara mengeluarkan udara dari mulut atau
hidung. Hal ini sejalan dengan pendapat Max Miller (1823-1900), seorang ahli

Filsafat Bahasa
23
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

filologi dari Inggris kelahiran Jerman, teori ini disebut poo-pooh theory, kendati
Miller sendiri tidak setuju dengan pendapat Darwin (Alwasilah, 1990: 3).

Selain itu hal yang serupa muncul pada masa ini, yaitu terlihat pada
bentuk-bentuk teori anomatope, seperti teori bow bow yang menyatakan
bahwa bahasa merupakan hasil rekaman dari bunyi-bunyi alam, seperti
nyanyian burung, anjing yang menyalak, serigala yang mengaung, atau suara
guruh yang dihasillkan oleh angin dan ombak. Pemikiran ini mematahkan
pemikiran Darwin tentang bahasa yang berefolusi atau juga sering disebut
dengan istilah echoic theory

b. Masa Sofis

Pada abad ke-5 pada zaman pertengahan Yunani, dikenal dengan


adanya kaum yang disebut sebagai kaum sofisme. Kaum sofisme adalah
kaum filsuf yang terkenal dengan gaya dan keahliannya di bidang reorika.
Mereka menyebarkan ide dan pemikirannya dengan beretorika. Karnea
keahliannya dalam beretorika khususnya ketika berpidato, kaoum sofis sangat
terkenal dan gagasan- gagasannya diterima oleh masyrakat luas. Seperti
salah satu filsuf sofis Protagoras, ia dapat membedakan tipe-tipe kalimat untuk
melakukan pidato, seperti kalimat narasi, kalimat tanya, kalimat jawaban,
kalimat perintah, kalimat laporan dan kalimat laporan. Kemudian Georgias,
salah seorang filsuf sofis juga yang mampu membedakan gaya bahasa secara
luas sehingga kalimat-kalimat retorika yang digunakan bervariasi.

Meskipun tidak terkait dengan pengamatan bahasa, kegiatan yang


dilakukan oleh kaum sofis ini sudah berkenaan dengan filsafat bahasa, karena
pada masa ini tanpa disadari bahwa bahasa telah digunakan sebagai salah
satu alat yang sangat penting dalam berbagi ide dan pemikiran. Kaum sofisme
iniberfikir bahwa bahasa memiliki tugas sebagai pembangkit emosi manusia,
bukan hanya sebagai alat untuk melukiskan benda-benda, dengan berbahasa
seseorang dapat menyampaikan gagasan-gagasan untuk mendorong orang-
orang untuk melakukan tindakan tertentu.

Filsafat Bahasa 24
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

c. Sokrates

Gambar 3.1 Gambar sokrates


Sumber: https://record-of-ragnarok.fandom.com/wiki/Socrates

Beberapa hal yang muncul sebagai salah satu bukti filsafat bahasa
mulai digalakan adalah ketika munculnya metode dialektika yang diusung oleh
Sokrates. Menggunakan metode ini untuk mengumpulkan data atau bahkan
melakukan argumentasi terhadap sebuah pemikiran yang muncul pada filsuf-
filsuf zaman Yunani. Dengan menggunakan metode ini dapat ditarik
kesimpulan mengenai sebuah argumentasi dengan melihat pola jawaban dan
pola bahasa yang digunakan oleh filsuf dalam menjawab pertayaan atau
merespon argumentasi yang digunakan oleh Sokrates. Dari sinilah mulai
adanya sedikit kemunculan filsafat bahasa sebelum abad modern.

Metode dialektika yang dilakukan oleh sokrates ini adalah sebenarnya


untuk melakukan perlawanan terhadap pemikiran dan retorika yang dilakukan
oleh kaum sofisme, karena terjadi perbedaan pendapat antara kaum sofisme
dan juga sokrates. Sokrates menganggap terjadi sebuah kekacauan makna
yang dilakukan oleh kaum sofisme sehingga perlu dilakukan sebuah kajian
diaklektis-kritis. Meskipun kaum sofis dan sokrates meiliki sebuah pemikiran
yang berbeda tetap saja jika kita lihat bahwa keduanya telah mengajarkan
konsep kefilsafatan dengan bahasa sehingga bahasa memang merupakan
alat utama dalam penyebaran filsafat itu sendiri.

Berbicara tentang kaum sofis yang muncul pada zaman ini, kaum sofis
idealnya harus memiliki tiga keterampilan antara lain, yaitu keterampilan
retorika, keterampilan skeptisisme dan keterampilan relativisme. Ketika
seseorang ingin dapat beretorika, orang tersebut harus dapat melatih diri

Filsafat Bahasa
25
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

sungguh-sungguh misalnya, dengan mempelajari keilmuan bahasa dalam


konsep keterampilan berbicara dan juga keilmuan kesusastraan. Ketika kedua
konsep keilmuan ini dikuasai seseorang sudah pasti seseorang tersebut akan
dapat beretrorika dengan keahlian persuasifnya.

Selanjutnya kaum ini juga tidak lepas dan berpegang pada pandangan
bahwa pikiran manusia tidak dapat mencapai pengetahuan yang definitif,
itulah yang dimaksud dengan skeptisisme. Pengetahuan yang dimiliki
manusia bukanlah yang berlaku universal. Karenanya relativisme moral
menjadi mungkin. Sebab, tidak ada kebenaran yang berlaku umum. Semua
kebenaran harus dibuktikan dengan pola-pola kebahasaan yang bersifat
argumentasi dan persuasi.

d. Plato

Pada masa Plato ini, teori mengenai kebahasaan mulai berkembang


dan tersebar.

Perkembangan kebahasaan ini dimulai dengan munculnya pemikiran-


pemikiran teori kebahasaan seperti yang dilakukan oleh Plato. Plato memiliki
teori mengenai kebahasaan, teorinya yakni bahwa semua bahasa berasal dari
onomatope atau peniruan bunyi, tetapi teori ini mendapat banyak kritik karena
teori yang dibuat plato ini tidak bisa diterima, bahkan teorinya banyak
mendapatkan ejekan dari para filsuf lain. Berikut adalah gambaran wajah dari
filsuf plato tersebut.

Gambar 3.2 Gambar plato

Filsafat Bahasa 26
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

Sumber : https://fithrotulkamilia.wordpress.com/2016/05/23/pemikiran-plato-
tentang-dunia-ide-dan-dunia-pengalaman/

Teori Plato dianggap tidak relevan karena jika menunjuk pada bunyi-
bunyi yang dihasilkan oleh manusia malah sering tidak ditemukan peniruan
bunyi dari satu kata terhadap kata lain. Padahal jika dilihat lebih dalam, teori
mengenai peniruan bunyi tersbut dapat disebut sebagai sebuah teori yang
mungkin dapat terjadi karena bahasa manusia akan selalu berubah dan
dinamis, sehingga sangat memungkinkan jika ada peniruan bunyi yang
muncul disana.

Berkaitan dengan hal tersebut Plato di dalam satu artikel percakapannya


yang berjudul Cratylos menyatakan bahwa proses pelambang itu adalah
sebuah kajian kata di dalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah objek
yang dihayati di dunia nyata berupa rujukan, acuan, atau sesuatu yang
ditunjuk oleh lambang itu. Oleh karena itu, lambang-lambang atau kata-kata
itu tidak lain daripada nama atau label dari yang dilambangkannya, mungkin
berupa benda, konsep, aktivitas, atau peristiwa.

Selain itu, dalam kelimuan bahasa secara struktur, Plato menyatakan


bahwa pada hakikatnya ada dua jenis kelas kata dalam bahasa, yag pertama
adalah Onoma atau bisa disebut sebagai kata benda atau nomina dan rhema
atau memiliki makna verba. Onoma dan rhema merupakan anggota dari
segmen bahasa yang dapat dibentuk ke dalam frasa, klausa dan kalimat.
Meskipun ditertawakan klasifikasi yang dilakukan oleh Plato terhadap sebuah
bahasa menunjukkan mengenai konsep-konsep yang menjadi dasar
perkembangan ilmu linguistik.

e. Aristoteles

Aristoteles merupakan murid dari Plato yang cukup memberikan


kontribusi trhadap perkembangan filsafat secra umum. Pada perkembangan
filsafat bahasa, aristoteles memberikan pemikirannya seperti yang dilakukan
oleh Plato. Pemikiran Aristoteles memang sangat terpengaruh oleh gurunya
Plato. Aristoteles membagi kelompok kata menajdi tiga jenis, mengikuti
konsep yang dilakukan oleh gurunya kata dalam sebuah bahasa dibagi

Filsafat Bahasa
27
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

menjadi Onoma dan Rhema tetapi ia menambahkan satu jenis lagi yaitu
disebut sebgai Syndesmoi. Onoma pada konsep Aristoteles memiliki makna
yang berbeda, Onoma merupakan bunyi yang secara konseptual memiliki
makna. Kemudian Rhema merupakan kata dasar dari Onoma, dan Syndesmoi
adalah kata penghubung. Adapun gambaran aristoteles terlihat seperti di
bawah ini.

Gambar 3.3 Wajah aristoteles

f. Kaum Stoa

Kaum stoa merupakan salah satu kaum filsuf yang cukup berhasil dalam
mengembangkan prinsip-prinsip dan pemikiran tentang kebahasaan.
Kontribusi kaum stoa terhadap teori kebahsaaan muncul karena kaum ini telah
melakukan studi mengenai bahasa secara logika dan grmatika kemudian
mereka telah berhasil membuat istilah-istilah teknis yang digunakan dalam
teori kebahasaan. Meskipun teori kaum stoa ini masih dipengaruhi oleh logika
pemikiran saja.

Beberapa hal yang telah dilakukan oleh kaum stoa antara lain
membedakan tiga aspek utama dari bahasa, aspek utama dalam bahasa itu
adalah (1) Tanda atau Simbol (2) makna dan (3) situasi. Jika dilihat ketiga
aspek utama ini sangat mendekati istilah-istilah yang muncul di dunia linguistik
selain itu, kaum stoa mulai membagi istilah jenis kata dalam bahasa ke dalam
beberapa istilah seperti nomina, verba, syndesmoi dan athron. Nomina
merupakan kata benda, verba merupakan kata kerja, syndesmoi kata hubung
dan athron merupakan kata yang digunakan untuk menunjukkan jenis
kelamin.

Filsafat Bahasa 28
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

Kaum stoa terus mengembangan teori kebahsaan sampai ke tahap


bentuk kalimat, mereka dapat mengklasifikasikan kalimat tergantung dengan
verbanya apakah kalimat tersebut berbentuk transitif atau intransitif.
Kemudian mereka dapat membuat jenis kalimat yang bersifat aktif atau pasif.
Hal ini menunjukkan semakin berkembangnya pemikiran kebahsaan yang
dilakukan oleh para filsuf.

Aspek terpenting pada kehidupan manusia adalah bahasanya dan tanpa


bahasa maka manusia dapat dikatakan kehilangan budayanya.

g. Kaum Alexandrian

Kaum alexandrian merupakan kaum yang melanjutkan hasil dari


pemikiran kaum stoa. Hasil pemikiran kaum alexandrian ini menghasilkan
karya-karya tulisan yang dapa digunakan sebagai bahan acuan dalam
penggunaan bahasa. kaum alexandrian menyusun hukum-hukum kebahsaan
dan menyusun pola kebahasaan sebagaimana yang telah dilakukan oleh
kaum Stoa. Pada akhir abad ke-2 sebelum masehi, kaum alexandria telah
membuat sebuah buku yang menjadi sumber tata bahasa, buku yang berjudul
Diansyus Thrax tersebut merupakan sebuah buku yang bersifat komprehensif
dan sistematis, sehingga buku tersebut berkembang di lingkungan dunia
barat.

Buku ini berisi mengenai bentuk morfologi dan fonologi dari sebuah
bahasa. beberapa istilah morfologi yang diklasisifikasin dalam buku ini adalah
delapan jenis kata, seperti Onoma yaang merupakan istilah dari kata benda
atau orang yang sudah mengalami infleksi, rhema yang merupakan jenis
katayang dipengaruhi tensen atau kala waktu, metoche, kata partisipel, arthon
yang merupakan istilah untuk kata yang berartikulasi, antonymia yang
merupakan jenis kata ganti, prothesis yang merupakan istilah preosisi,
epirrhema yang merupakan istilah dari kata adverbial dan syndesmoi yang
merupakan istilah dari kata hubung.

2. Perkembangan Filsafat Bahasa Pada Abad 20

Setelah berkembang pada masa sebelum abad modern, filsafat bahasa


terus berkembang seiring dengan kemauan zaman. Tidak bisa dipungkiri bahwa

Filsafat Bahasa
29
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

perkebangan filsafat pun dipengaruhi oleh beberapa aliran yang muncul pada
saat itu. Pada abad 19 dan awal abad 20, filsa fat pada saat itu memiliki dua
aliran yang sangat mendominasi pemikiran para filsuf yaitu aliran idealisme dan
aliran empirisme. Pada saat itu kedua aliran tersebut tersebat di dunia filsafat
barat, seperti aliran filsafat idealisme yang sangat berkembang di Jerman dan
filsafat Empirisme yang sangat berkembang di Inggris. Aliran idealisme
mengambil beberapa pemikiran dari beberapa tokoh filsafat seperti, Plato, Elea,
Hegel, David Hume, dan Al – Ghazali, sedangkan aliran empiris mengambil
beberapa pemikiran dari tokoh-tokoh filsafat seperti ain Francis Bacon, Thomas
Hobbes, John Locke, dan David Hume. Perbedaan yang sangat menonjol pada
aliran empirisme adalah berkutat pada sesuatu yang dapat dibuktikan dengan
nyata, sehingga pada aliran ini tidak memberikan ruang pada aspek metafisis
seperti agama. Kemudian, filsafat idealisme berpusat pada ide yang dimana
doktrin-doktrin mengenai agama itu dapat diterima. Bahasa yang merupakan
sesuatu yang dianggap sebagai empiris akhirnya lebh berkembang di Inggris,
dan akhirnya bermunculan filsuf-filsuf yang berfokus dan mengamati bahasa
sebagai fenomena yang menarik. Salah satu yang terkenal dan berpengaruh
terhadap filsafat yang berkenaan dengan bahasa dan berpengaruh terhadap
corak filsafat abad 20 adalah Filsafat analitik bahasa.

Filsafat analitik bahasa merupakan sebuah ranah filsafat yang memiliki


corak yang kental sekai dengan kebahasan. Filsafat ini dikatakn sebagai filsafat
analitika bahasa karena filsafat analitik memilii tujuan untuk menjelaskan,
mendeskripsikan, menguraikan dan menguji kebenaran istilah-istilah atau
ungkapan-ungkapan dalam filsafat. Tokoh yang sangat penting dalam
perkembangan filsafat analitika bahasa ini adalah Ludwig Wattgenstein, seorang
guru besar di Universitas Cambridge. Sebelum perkembangan yang cukup
panjang ini sebenarnya filsafat analitik ini sudah mucul sejak mulainya kegiatan
filsafat kuno. Pada awal mulanya filsafat yang berpendapat secara kosmologis
hanya berfikir mengenai substansi material saja seperti pemikiran mengenai
bahwa segala sesuatu itu terbuat dari air yang merupakan pendapat dari Thales,
kemudian Anaximenes beranggapan bahwa segala sesuatu itu berasal dari
udara, kemudian pemikiran Phytagoras yang menganggap bahwa semua hal
yang ada didunia itu terhubung oleh bilangan. Semua pmikiran filsafat yang
dikemukakkan oleh para filsuf tersebut harus bisa dicerna oleh orang-orang

Filsafat Bahasa 30
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

dengan memahami konsep dan memahami penjelasan yang dikemukakan oleh


filsuf-filsuf tersebut, alat untuk memahami penjelsan tersbut adalah Bahasa.

Bahasa digunakan sebagai alat untuk menguraikan problematika filsafat


yang sering terjadi di masyarakat pada zaman itu. Namun tidak juga sedikit yang
menganggapbahsa hanya sebagai sebuah hal yang wajar, bahasa dianggap
setara dengan beberapa aspek kebutuhan manusia seperti bernafas, makan,
berjalan dan sebagainya padahal lebih dari itu bahasa merupakan sebuah alat
yang berfungsi sangat besar untuk sebuah peradaban manusia. Beberapa pakar
dalam bidang filsafat mengemukakan teorinya mengenai Filsafat analitik secara
terminologi. Beberapa terminologi filsafat menurut pakar filsafat yang pertama
adalah filsfafat analitik merupakan sebuah pengungkapan secara sistematis
tentang sebuah struktur sintaksis serta aturan-aturan atau konsep-konsep dalam
sebuah bahasa, khususnya bahasa yang sifatnya digunakan secara formal.
Kemudian termnologi yang kedua adalah filsafat analitik merupakan sebuah
tindakan yang dilakukan untuk menganalisis atau memecah sesuatu ke dalam
bagian-bagian. Terminologi yang ketiga dari filsafat analitik adalah filsafat yang
menolak sikap bentuk filsafat yang memiliki bau metafisik dan menolak adanya
analogi, tetapi berpegang pada sesuatu yang empiris.

Pada perkembangannya di abad 20 ini, filsafat bahsa mengalami


puncaknya dengan munculnya keilmuan-keilmuan yang lebih spesifik dan
beragam. Seperti munculnya tokoh-tokoh ilmuan bahasa yang memperkenalkan
keilmuan bahasa yang lebih beragam. Beberapa ilmuan yang sangat terkenal
pada perkembangan keilmuan bahasa adalah seperti Noam Chomsky yang
memperkenalkan tata bahasa generatif, kemudian ada Grice dan Quine yang
memperkenalkan teori makna dalam kebahsaan dan ada Davidson yang
memperkenalkan struktur semantik dalam bahasa. pada abad inilah filsafat
bahasa yang tadinya hanya berkutat pada bagaimana bahasa digunakan
sebagai alat untuk menggambarkan filsafat menjadi bahasa yang berubah
sebagai sebuah rnah ilmu khusus yang jika diamati ternyata banyak sekali
fenomena yang dapat digali dari bahasa itu sendiri.

Filsafat Bahasa
31
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

3. Perkembangan Filsafat Bahasa Pada Abad 21

Filsafat bahasa setelah zaman modern mulai mengalami perkembangan


yang sangat signifikan, Dengan bergantinya kejayaan zaman pertengahan pada
zaman modern ini muncul sebagai zaman pencerahan filsafat. Hal ini tentu saja
karena sebuah peradaban yang ada selalu berubah dengan berkmbangnya
zaman. Zaman modern dalam filsafat ini ditandai dengan munculnya Renaisance
atau disebut sebagai masa kelahiran kembali. Tentu perubahan ini juga sangat
berpengaruh terhadap perkembangan filsafat secara khusus. Perkembangan
filsfat bahasa dimulai dengan adanya komentar negati dari para sarjana
renaisance seperti Petrach yang menganggap bahwa bahasa yang digunakan
cendekiawan pada peradaban zaman pertengahan itu merupakan zaman
dimana pemakaian bahasanya sangat barbaris, artinya perkembangan bahasa
yang digunakan oleh cendekiawan pada zaman pertengahan dianggap sebagai
sebuah perkembangan bahasa yang tidak baik, itu merupakan anggapan dari
para sarjana Renaisance. Para Sarjana renaisance beranggapan bahwa bahasa
yang sangat baik dan cocok digunakan adalah bahsa latin Cicero yang dianggap
sebagai sebuah bahasa yang humanis.

Suatu perkembangan yng lain pada zaman modern ini adalah munculnya
ilmu-ilmu pengetahuan dan banyaknya terbitan-terbitan naskah-naskah klasik
yang menjadi awalnya muncul mesin cetak sehingga pada zaman ini literasi
sudah mulai berkembang. Banyak sekali tokoh-tokoh pemikir pada zaman
modern ini yang mulai sadar akan berkembangnya filsafat bahasa seperti Rene
Descartes yang disebut sebagai bapak filsafat modern. Dengan ini juga muncul
pemikiran- pemikiran di ranah filsafat bahasa yang berkonsentrasi terhadap
perkembangan filsafat analitik.

Bakker menyatakan dalam (Kaelan, 2004: 133), bahwa yang menjadi


penyebab lahirnya filsafat analitik salah satunya dikarenakan adanya kekacauan
bahasa filsafat. Banyak pemaparan tentang teori atau konsep filsafat disajikan
dengan menggunakan bahasa yang membingungkan, bahkan pemaparan dalam
bentuk definisi semakin jauh dari bahasa yang digunakan dalam proses
cakapani. Selanjutnya, menurut Kaelan (1998:84) Filsafat analitis merupakan
sebuah metode yang khas untuk menjelaskan, menguraikan, dan menguji
kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis. Upaya menguraikan dan menguji

Filsafat Bahasa 32
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

kebenaran itu, menurut (Alwasilah, 2008: 24) hanya bisa dilakukan lewat sebuah
objek, yaitu bahasa . Mengaoa seperti itu dikarenakan bahasa memiliki fungsi
kognitif, yaitu dengan sebuah bahasalah manusia dapat menjelaskan sebuah
pemikiran yang proposisi- proposisi yang dipikirkannya, apakah benar atau
salah, sehingga ia menerima atau menolaknya secara rasional.

Tokoh - tokoh yang termasuk ke dalam aliran filsafat analitik berperan dan
berpengaruh besar dalam mengukuhkan aliran ini antara lain George Edward
Moore (1873-1958), Bertrand Russell (1872-1972), dan Ludwig Wittgenstein
(1899 – 1951), serta John Langshaw Austin (1911 – 1960). Adapun gambaran
wajah dari para tokoh-tokoh tersebut sebagai berikut.

Gambar 3.4
Wajah George Edward Moore (1873-1958)
Sumber : https://www.pewartanusantara.com/biografi-george-edward-
moore-dengan-teori-etikanya/

George Edward Moore (1873 – 1958) adalah seorang tokoh filsafat yang
berasal dari Inggris. Beliau dijuluki sebagai pelopor filsafat analitika bahasa dan
juga mengabadikan hasil pemikirannya dalam sebuah buku yang berjudul
Principia Ethica. Pemikiran beliau pada dasar bermula dari sebuah reaksi balik
terhadap keadaan berfilsafat di Inggris pada saat itu yang sangat dibatasi karena
didominasi oleh paham idealisme yang masuk ke Inggris sekitar abad ke 19.

Aliran yang George Edward Moore usung sering disebut sebagai neo-
hegelianisme. Istilah Neo-hegelianisme ini muncul sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Plato, selain itu neo Platonisme yang memberi ruang cukup luas pada
gagasan-gagasan metafisika, dan terutama sangat dekat dengan pandangan-

Filsafat Bahasa
33
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

pandangan metafisis agama. Salah satu pemikiran dasar neohegelianisme yang


sangat terkenal adalah pernyataan bahwa realitas itu merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan, itulah roh absolut

George Edward Moore dalam (Hidayat, 2006:42) menyatakan pemikiran


bahwa beliau tidak menolak gagasan-gagasan yang berkonsep metafisika,
namun dalam berbagai uraiannya dia tidak mempraktikan metafisika sebagai
pembuktian pemikirannya. Ia bahkan lebih banyak bersikap kritis terhadap
pandangan metafisika, sehingga secara tidak langsung telah membangun
tumbuhnya sikap kritis dan skeptis terhadap metafisika.

Sejalan dengan pemaparan tersebut Bertens (dalam Kaelan, 1998:91),


menyatakan bahwa George Edward Moore memberikan sumbangan tumbuhnya
aliran baru di Inggris yaitu atomisme logis yang mengkritik dan bahkan menolak
metafisika. Menurut Moore, banyak filsuf dalam membuat sebuat definisi dalam
proses berfilsafat kadang tidak sulit dipahami oleh akal sehat common sense, hal
itu dikarenakan dalam proses tersebut para filsuf banyak menggunakan
ungkapan-ungkapan yang metafisis, seperti misalnya ungkapan waktu adalah
tidak real, jiwa itu adalah abadi. Berdasarkan contoh tersebut para penganut
atomisme logis berpendapat bahwa analisa dan penjabaran definisi harus
menggunakan bahasa yang berdasarkan pada logika, sehingga ungkapan-
ungkapan bahasa yang melukiskan suatu realitas terwujud dalam bentuk
proposisi yang urutannya logis.

Formulasi pemikiran filsafat yang mendasarkan pada suatu analisis melalui


bahasa dan didasarkan atas logika inilah yang merupakan sumbangan terbesar
Moore terhadap atomisme logis. Menurut George Edward Moore (Hidayat,
2006:46) tugas filsafat yang utama adalah memberikan penjelasan terhadap
suatu konsep yang siap untuk diketahui melalui kegiatan analisa bahasa
berdasarkan akal sehat. Kegiatan analisis dapat diartikan sebagai kegiatan
menjelaskan suatu pikiran, suatu konsep yang diungkapkan, mengeksplisitikan
semua yang tersimpul di dalamnya, merumuskan dengan kata lain, memecahkan
suatu persoalan ke dalam detail-detail kecil. Dalam kaitannya dengan upaya
menjelaskan tersebut terdapat istilah analysandum yang berarti pangkal yang
harus diuraikan dan analysant atau bagian yang menguraikan. Kedua bagian
tersebut , menurut Langford (dalam Kaelan 1998:93) tidak harus sama identik,

Filsafat Bahasa 34
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

melainkan harus sama dalam arti mempunyai kondisi-kondisi kebenaran yang


sama. Atau dengan kata lain bagian analysant harus (bisa) berisi kalimat-kalimat
lain yang mempunyai arti sama tetapi mempunyai bentuk yang lebih jelas.

Gambar 3.5
Wajah Bertrand Russell (1872-1972)
Sumber : https://www.pewartanusantara.com/biografi-bertrand-russell-
filsuf-dan-ahli-matematika-dari-britania-raya/

Bertrand Russell adalah seorang filsuf bahasa yang memiliki aliran yang
sama dengan George Edward Moore yang berada dalam aliran Filsafat analitis.
Aliran ini banyak membahas tentang struktur kebahasaan, misal dalam analisis
struktur fungsi kata dalam kalimat, aliran ini menyatakan bahwa terdapat Predikat
yang sudah memuat di dalam Subjek. Misal dalam contoh kalimat Semua sudut
segitiga adalah 180 derajat atau lingkaran tidak mempunyai sudut. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Kant Analytic (of) a sentence or truth) demonstrably true (and
necessasarily true) by virtue of the logical form or the meanings of the
components words. The concept was introduced by Kant, who defined it in terms
of a sentence (he called it a judgment) in which the predicate was contained in
the subject and added nothing to it‖ (Solomon, 1992: 329).

Pembahasan selanjutnya tentang kajian sturktural oleh aliran ini


menyatakan bahwa hubungan antara subjek dan predikat dinyatakan oleh
pengalaman pancaindra. Predikat akan muncul ketika hal tersebut telah dialami,
misal pada kalimat jalan itu gelap sekali atau lotek itu pedas sekali. Salomon
menguraikan kajian ini dengan kutipan priori knowledge is always necessary, for
there can be no imaginable instances that would refute it and no intelligible

Filsafat Bahasa
35
Universitas Pamulang Sastra Indonesia S-1

doubting of it. Knowledge is a priori if it can be proven independently of


experience‖ (Solomon, 1992: 330).

Gambar 3.6
wajah Ludwig Wittgenstein (1899 – 1951)

Tokoh selanjutnya dalah Ludwig Wittgenstein yang sangat dikenal dengan


teorinya dengan ungkapan permainan bahasa. Pemikiran beliau nanti akan
penulis bahasa pada satu bab khusus yang membahas tentang karakteristik teori
yang diusung oleh beliau language game. Pemikiran masing-masing tokoh ini
memiliki sedikit kontradiktif antara satu teori dengan teori yang lainnya, meskipun
demikian tetap saja para peneliti bahasa berdasarkan pespektif filsafat dapat
menggunakan berbagai pendekatan agar dapat bisa saling melengkapi satu
dengan yang lainnya. Misal dalam proses penelitian psikolinguistik atau linguistik
klinis, teori Chomsky dengan behaviorismenya bersifat kontradiktif dengan teori
piagiet dengan naturalistiknya. Namun demikian para peneliti dapat
menggunakan keduanya sebagai bahan perbandingan penjelasan.

Penjelasan dari pemikiran masing-masing tokoh tersebut akan dibahas


pada subbab berikutnya berdasarkan karakteristik pemikirannya tentang bahasa,
baik itu secara teoretis maupun empiris.

Filsafat Bahasa 36

Anda mungkin juga menyukai