Anda di halaman 1dari 4

Nama: Ketut Larasdana Adiputra

NIM: 047986353

Pertanyaan:
1.Pada saat ini banyak lembaga keuangan yang menyediakan fasilitas kredit. Kredit
tersebut diberikan kepada nasabah internal dan juga masyarakat luas. Salah satu
lembaga tersebut adalah PT Adira Finance. Saat sekarang ini sudah banyak produk
yang diluncurkan oleh PT Adira dalam pelayanan terhadap masyarakat. Salah satu
diantaranya adalah produk Multiguna Maxi yang merupakan jenis pembiayaan
kebutuhan Konsumen atas Barang dan Jasa dengan menjaminkan BPKB kendaraan
Motor/Mobil.

Pertanyaan:

Berdasarkan informasi di atas, apa yang Anda ketahui tentang jaminan fidusia dan
permasalahan hukum apa saja yang terjadi dalam penerapan jaminan fidusia? uraikan
berdasarkan hukum UU Jaminan Fidusia !

2. Anda adalah salah satu orang terkaya di Papua. Anda memiliki harta sebagai
berikut:

 Tanah SHM Nomor 20 senilai Rp. 10.000.000.000,-,

 Bisnis usaha Ruko senilai Rp. 5.000.000.000,-

 Mobil Toyota Alphard dan Pajero Sport senilai Rp. 1.900.000.000,-

Anda memiliki 1 anak laki-laki bernama Ariel 22 Tahun dari hasil perkawinan SAH
dengan seorang wanita bernama Vanesa serta seorang anak perempuan bernama
Lucinta 20 Tahun anak yang diakuinya lahir di luar nikah.

Pertanyaan:
Berdasarkan kasus di atas, menurut analisis Anda apakah Lucinta berhak
mendapatkan warisan? Jelaskan berdasarkan hukum!

Jawaban:
1. Jaminan fidusia merupakan salah satu jenis jaminan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ("UUJF"). Dalam
praktiknya, PT Adira Finance sering menggunakan jaminan fidusia untuk produk
Multiguna Maxi, di mana BPKB kendaraan bermotor/mobil dijaminkan sebagai
agunan atas kredit yang diberikan.

A、 Ketentuan Dasar Jaminan Fidusia dalam UUJF:


 Pasal 1 UUJF: Jaminan fidusia adalah hak jaminan yang bersifat kebendaan atas
benda bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, benda yang dapat
dialihkan haknya, dan/atau benda yang masih dalam proses pembuatan,
konstruksi, atau perakitan.
 Pasal 2 UUJF: Benda yang dapat dijadikan objek jaminan fidusia meliputi:
 Benda bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud;
 Benda yang dapat dialihkan haknya;
 Benda yang masih dalam proses pembuatan, konstruksi, atau perakitan.
 Pasal 3 UUJF: Pemberi fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur) harus
membuat perjanjian fidusia secara tertulis.
 Pasal 15 UUJF: Penerima fidusia berhak menjual benda yang menjadi objek
jaminan fidusia secara lelang jika pemberi fidusia wanprestasi.

B. salahan Hukum dalam Penerapan Jaminan Fidusia:

 Pelanggaran Hak Debitur: Sering terjadi praktik penarikan BPKB secara


sewenang-wenang oleh kreditur tanpa melalui proses hukum yang sah, sehingga
hak debitur atas kendaraannya dilanggar.
 Ketidakjelasan Perjanjian Fidusia: Perjanjian fidusia yang dibuat oleh kreditur
seringkali tidak dipahami dengan baik oleh debitur, sehingga debitur dirugikan
karena tidak mengetahui hak dan kewajibannya.
 Lemahnya Penegakan Hukum: Kurangnya penegakan hukum yang tegas terhadap
pelanggaran jaminan fidusia, sehingga kreditur dan debitur sama-sama dirugikan.

C. Kasus Terkait Jaminan Fidusia di PT Adira Finance:

 Kasus Penarikan Paksa BPKB: Pada tahun 2023, terjadi beberapa kasus penarikan
paksa BPKB kendaraan oleh debt collector PT Adira Finance yang dilakukan
secara sewenang-wenang dan tanpa melalui proses hukum yang sah. Hal ini
menimbulkan keresahan di masyarakat dan memicu protes dari berbagai pihak.
 Kasus Perjanjian Fidusia yang Tidak Jelas: Banyak debitur PT Adira Finance
yang mengaku tidak memahami isi perjanjian fidusia yang mereka tandatangani.
Hal ini dikarenakan perjanjian fidusia yang dibuat oleh PT Adira Finance
seringkali menggunakan bahasa yang rumit dan tidak mudah dipahami oleh
masyarakat awam.

D. Upaya Penyelesaian Permasalahan:

 Peningkatan Edukasi Masyarakat: Diperlukan upaya edukasi yang lebih gencar


kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka dalam jaminan fidusia. Hal
ini dapat dilakukan melalui sosialisasi, penyebaran informasi, dan pelatihan
hukum.
 Penguatan Penegakan Hukum: Aparat penegak hukum perlu meningkatkan
pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran jaminan fidusia. Hal ini
penting untuk menciptakan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
 Perbaikan Perjanjian Fidusia: Perjanjian fidusia yang dibuat oleh kreditur harus
dibuat dengan bahasa yang jelas, ringkas, dan mudah dipahami oleh debitur.
Debitur juga harus diberikan kesempatan untuk membaca dan memahami isi
perjanjian fidusia sebelum menandatanganinya.
2. Di Indonesia, hukum warisan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan ("UU Perkawinan") dan Kompilasi Hukum Islam ("KHI").

Berdasarkan UU Perkawinan:

Hukum waris hanya berlaku bagi anak yang sah. Anak sah adalah anak yang lahir dari
perkawinan yang sah (Pasal 833 ayat (1) UU Perkawinan).
Anak luar nikah tidak berhak atas warisan dari orang tua kandungnya yang menikah
secara sah. Hal ini diatur dalam Pasal 852 ayat (1) UU Perkawinan.
Namun, KHI memberikan peluang bagi anak luar nikah untuk mendapatkan warisan.

Menurut KHI:

Anak luar nikah berhak mendapatkan warisan dari orang tua kandungnya yang tidak
menikah secara sah. Hal ini diatur dalam Pasal 171 ayat (1) KHI.
Anak luar nikah berhak mendapatkan setengah dari bagian warisan yang seharusnya
diterima oleh anak sah. Hal ini diatur dalam Pasal 171 ayat (2) KHI.

Kompilasi Hukum Islam (KHI):


Pasal 171 ayat (1) KHI: "Anak-anak yang lahir di luar nikah, baik dari zina maupun
sumbang, berhak mendapat warisan dari bapaknya yang tidak menikah secara sah
dengan ibunya."
Pasal 171 ayat (2) KHI: "Anak-anak yang lahir di luar nikah, baik dari zina maupun
sumbang, berhak atas setengah dari bagian yang seharusnya diterima oleh anak sah."
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XX/2021: Putusan ini menyatakan
bahwa anak-anak di luar nikah yang diakui oleh ayah dan/atau ibunya berhak atas
warisan dari orang tua yang mengakuinya, dengan porsi yang sama dengan anak sah.
Penting untuk dicatat bahwa:

Pengakuan anak luar nikah harus dilakukan secara resmi melalui akta pengakuan anak
di hadapan pejabat berwenang, seperti Pejabat Pencatat Nikah (PPN) atau Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).
Pengakuan anak luar nikah tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh ayah. Ibu dari
anak tersebut juga harus memberikan persetujuannya.
Jika ayah dari anak luar nikah meninggal dunia sebelum melakukan pengakuan resmi,
anak tersebut tidak berhak atas warisan dari ayahnya.
Berikut beberapa contoh dasar hukum yang mendukung hak waris anak luar nikah
yang diakui ayahnya:
Kasus Mawardi vs. Dini Marlina (No. 151/Pdt.G/2018/PA.Mdn): Dalam kasus ini,
Mahkamah Agung Republik Indonesia memutuskan bahwa anak luar nikah yang
diakui ayahnya berhak atas warisan dari ayahnya, dengan porsi yang sama dengan
anak sah.
Kasus Siti Nurhayati vs. H. Agus Salim (No. 147/Pdt.G/2020/PA.Mdn): Dalam kasus
ini, Pengadilan Agama Medan memutuskan bahwa anak luar nikah yang diakui
ayahnya berhak atas warisan dari ayahnya, meskipun ayah tersebut telah menikah
dengan perempuan lain dan memiliki anak sah.

Anda mungkin juga menyukai