Pembatasan Usia Nikah Di Indonesia Dalam Perspektif Ushul Fiqih
Pembatasan Usia Nikah Di Indonesia Dalam Perspektif Ushul Fiqih
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengaturan usia merupakan hal penting dalam hukum. Indonesia sebagai negara
hukum hadir mengatur sedemikian ketat umur warganya, baik umur yang dianggap cakap
berindak hukum, umur yang dianggap dewasa, umur menikah dengan harus mendapat
izin dari kedua orang tua, dan umur seseorang yang dikatakan dapat menikah. Polarisasi
umur menikah di negara kita awalnya adalah berpatokan pada kebiasaan, budaya, adat
yang selama ini berjalan di tengah-tengah masyarakat.
Syariat Islam memiliki sudut pandang yang sangat luas melebihi fiqih. Syariat
memberikan semangat atau spirit kemaslahatan bagi umat manusia, sementara dalam fiqih
klasik tidak ada ketentuan umur dibolehkannya melangsungkan pernikahan. Bahkan
anak-anak yang belum mencapai usia baligh pun bisa nikahkan oleh walinya dengan
beberapa ketentuan.1
Secara fiqih, dasar seseorang melakukan pernikahan dibawah umur dan atau
menikah dengan wanita yang rentan masih mudah, bahkan belum juga khaid, karena
berdasarkan sejarah, Nabi perna menikah dengan putri sahabatnya Abu Bakar yang sangat
mudah, namun jika pendekatan sosologis dan agama masa itu, kemudian kita kaitkan
dengan waktu sekarang, sunggulah sangat jahu berbeda, pada masa sekarang hampir di
seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia sedang gencar untuk membatasi usia
dibolehkannya melakukan pernikahan.
Secara yuridis normative pembatasan usia nikah di Indonesia awalnya berdasarkan
kepada balighnya seseorang2, ketentuan tersebut mengikuti ketentuan fikih yang diajarkan
secara turun - temurun oleh para tokoh agama, kemudian dengan perkembangan
masyarakat yang sadar hukum, maka diaturlah usia yang dirasa dan dianggap sudah
dewasa.
Dalam peraturan perundang-undangan dianyatakan bahwa “Perkawinan hanya
diizinkan apabila pria telah mencapai umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai umur 16
1
Kadarisman Achmad dan Hamidah Tutik, Pembatasan Usia Pernikahan Dalam Sudut Pandang Maqashid
Syar’ah Al Syathibi, STAI Hasan Jufri Bawean dan Hakim PA Bawean, 1 UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang Email: 1achmadkadarisman@gmail.com, 2 tutikhamidah@uin-malang.ac.id
2
Romadhan Iwan Sitorus Usia Perkawinan dalam UU Nomor 16 tahun 2019 Perspektif Maslahah
Mursalah, Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu Email:
iwanramadhan@iainbengkulu.ac.id
BABA II
11
Pasal 15 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
12
Al-Suyuti, Al-Asybah wal al-Nazhair, (Beiru: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1983), hal. 83
13
Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jilid II, (Beirut : Dar al- Kutub al-
Alamiyah, tt.), hal. 4
14
Moh. Ali Wafa, “Telaah Kritis Terhadap Perkawinan Usia Muda Menurut Hukum Islam”, Jurnal Ilmu
Syariah, Vol. 17, No. 2, 2019, hal. 39.
15
https://www.alodokter.com/ini-alasan-pernikahan-dini-tidak-disarankan
16
Preeklampsia adalah salah satu komplikasi kehamilan yang terjadi karena tekanan darah terlalu tinggi
semasa mengandung bayi
17
Eklampsia adalah komplikasi lanjut dari preeklampsia berupa gejala kejang, sakit kepala, penurunan
produksi air seni, dan beberapa kondisi medis lain
18
https://jateng.kemenag.go.id/2022/03/batasan-umur-nikah-melindungi-kesehatan-catin/
3. Perspektif Sosiologis
Sedangkan dari segi sosial, bahwa fenomena sosial ini berkaitan dengan
faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang
menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap
pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran
agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan
(rahmatan li al- alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya
patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap
perempuan.
Pedofilia bisa juga terjadi pada perkawinan dibawa umur, prilaku seksual
menyimpang, yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak. Perbuatan
ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun
dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi ilegal.
Dari uraian tersebut jelas bahwa perkawinan dibawah umur (anak) lebih
banyak mudarat dari pada mafsadatnya. Oleh karena itu langkah pembatasan
umur menikah yang dilakukan oleh negara patut didukung , sebab di
samping dampak di atas, ternyata perkawinan mempunyai hubungan dengan
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Tujuan hukum atau tujuan syari’ah adalah untuk mewujudkan kebahagiaan dan
kesejahteraan yang hakiki bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Artinya
kemaslahatan manus ialah yang menjadi tujuan utama dari hukum Islam.
2. Dengan majunya zaman, Negara hadir melanjutkan tujuan dari syari’ah dengan
membuat regulasi dalam peraturan-peaturan dalam mengatur pembatasan umur
nikah.
3. Ketentuan batas minimal usia menikah dari dua perspektif hukum.
22
Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka al-Fikris, 2009), hal 51.
DAFTAR PUSTAKA