Anda di halaman 1dari 11

Hiperinflasi Indonesia 1963-1965 adalah sebuah hiperinflasi yang terjadi di Indonesia pada akhir masa Orde Lama, tepatnya

pada
era Demokrasi Terpimpin. Dengan latar belakang ambisi proyek mercusuarnya, Presiden Indonesia Sukarno mencetak Rupiah hingga
inflasi pada saat itu mencapai 600% sehingga pada tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan penyederhanaan nilai rupiah
(Redenominasi) dari 1000 Rupiah menjadi 1 Rupiah.

Selama masa kolonialisme Belanda, terdiri dari beberapa kekuatan politik yakni militer, nasionalis, Islamis, dan komunis. Namun,
mereka mengkesampingkan perbedaan-perbedaan mereka untuk melawan satu musuh bersama yakni pemerintah Hindia Belanda.
Setelah kemerdekaan Indonesia, perpecahan kembali muncul. Melalui konsep Pancasila, Sukarno mencoba menyatukan kelompok-
kelompok yang berbeda ini di dalam sebuah bangsa yang baru.
Setelah Revolusi Nasional Indonesia, negara tersebut mengalami kesulitan untuk membangun pemerintahan dan kebangsaan
melalui sistem parlementer karena berbagai kelompok saling bersaing merebut kekuatan politik dan ingin memaksakan pandangan
mereka pada negara tersebut.
Ketika kondisi politik negara ditandai oleh ketidakjelasan dan ketidakstabilan yang besar, ini menjadi masalah berat yang menghambat
pertumbuhan ekonomi karena sektor swasta ragu untuk berinvestasi. Sekalipun pada tahun-tahun awalnya setelah kemerdekaan Indonesia
mengalami sedikit perkembangan ekonomi, perkembangan ini segera hilang karena ketidakstabilan situasi politik (terutama setelah
pemberontakan-pemberontakan wilayah dan nasionalisasi aset-aset Belanda pada 1957-1958).

Pemerintahan Sukarno menerbitkan Rencana Delapan Tahun 1960 sebagai usaha untuk membuat negara ini memiliki swasembada
makanan (terutama beras), pakaian dan kebutuhan-kebutuhan dasar dalam periode 3 tahun. Lima tahun setelah itu direncanakan menjadi
periode pertumbuhan mandiri.
Pada tahun 1960an, ekonomi Indonesia dengan cepat hancur karena hutang dan inflasi, sementara ekspor menurun. Pendapatan devisa
dari sektor perkebunan jatuh dari 442 juta dolar Amerika Serikat pada tahun 1958 ke 330 juta dollar AS pada tahun 1966. Puncak inflasi
berada di atas 100% (year-on-year) pada tahun 1962-1965 karena pemerintah dengan mudahnya mencetak uang untuk membayar hutang
dan mendanai proyek-proyek megah (seperti pembangunan Monas). Pendapatan per kapita Indonesia menurun secara signifikan
(terutama pada tahun 1962-1963). Sementara itu, bantuan asing yang sangat dibutuhkan berhenti mengalir setelah Sukarno menolak
bantuan dari AS dan mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena masuknya Malaysia sebagai
negara anggota PBB (Indonesia menentang pendirian Malaysia pada tahun 1963). Sebaliknya, Sukarno menjalin hubungan lebih erat
dengan Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Utara.
Namun, Rencana Delapan Tahun 1960 ditinggalkan pada tahun 1964 karena ekonomi yang menurun dan target-target yang tidak bisa
tercapai. Faktanya, perekonomian jatuh bebas karena hiperinflasi, pengurangan sumber pajak, dan juga larinya dari aset keuangan
menjadi aset real. Politik Konfrontasi yang mahal terhadap Malaysia juga menyerap porsi signifikan dari pengeluaran pemerintah.

Namun hiperinflasi tetap tidak dapat dihindari akibat pencetakaan uang yang terus menerus, sehingga pada tanggal 13
Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai uang dari 1000 rupiah menjadi 1 rupiah. Kebijakan ini memberikan pukulan
besar bagi perbankan nasional, terutama yang telah menyetor modal tambahan karena tergerus drastis dalam sekejab. Dana simpanan para
nasabah perbankan juga menciut 1/1000. Segala usaha pemotongan nilai uang ini ternyata tidak berhasil meredam inflasi, dan harga tetap
naik membumbung tinggi maka terjadilah hiperinflasi.
Campuran politik ciptaan Sukarno (menyatukan nasionalis, agama dan komunis; NASAKOM) terbukti menjadi sebuah bom waktu.
Kekacauan total terjadi setelah Peristiwa 1 Oktober 1965. Perlahan, Jenderal Suharto mengambil alih kekuasaan dari Sukarno pada
periode 1965-1967. Pada tahun 1967 Suharto secara resmi dilantik menjadi Presiden Indonesia).

Salah satu prioritas utama Suharto adalah meningkatkan kondisi perekonomian Indonesia. Dia mengandalkan sebuah tim ahli ekonomi
yang belajar di AS untuk memulai periode rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Pada tahun 1966-1970, pemerintah berhasil mengontrol
inflasi, membangun kembali hubungan-hubungan internasional sehingga bantuan asing yang sangat dibutuhkan bisa masuk ke Indonesia,
memulai rehabilitasi infrastruktur, dan memperkenalkan peraturan baru yang menarik pihak asing untuk berinvestasi di Indonesia. Ini
akan menandai era Orde Baru.

ORDE LAMA (1945-1966)

Masa Orde Lama (1951-1966)


Keadaan ekonomi dan keuangan pada masa orde lama amat buruk, yang disebabkan oleh :
Inflasi yang sangat tinggi dikarenakan beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali.

Di tahun 1958 diberlakukannya UU No. 78/1958 tentang investasi asing, jadi memperburuk perekonomian, ditahun 1965 mendirikan
Bank Berjuang, perbankan berfungsi sebagai pemasok dana proyek pemerintah.

Penurunan angkatan kerja (pengangguran) sebanyak 1,8 juta dari 34,5 juta. Disektor pertanian 72%, sektor jasa 9,5%, perdagangan dan
keuangan 6,7%, industri 5,7%. Tahun 1953 di jakarta pekerja menerima upah Rp 5-6 per hari.
Dan di anggaran pemerintah pada tahun 1955-1965 mengalami defisit sebesar 137% dari pendapatan sehingga negara melakukan
pinjaman luar negeri.

ORDE BARU (1966-1998)

Masa Orde Baru melakukan 4 tahapan pelaksanaan: tahap penyelamatan, rehabilitasi, konsolidasi, stabilisasi. lalu adanya pemberlakuan
kebijakan terhadap tiga UU baru tentang Perbankan, kebijakan anggaran berimbang.

Melakukan pembangunan jangka panjang (pelita) pemerintah:

Pelita I (1969-1974)

Titik berat pada pemeliharaan stabilitas perekonomian dan pertumbuhan ekonomi sebesar 8,56% per tahun.

Pelita II (1974-1979)

Era orde baru berkuasa selama 32 tahun, yakni mulai 1967 hingga Mei 1998 yang diakhiri dengan mundurnya Presiden Soeharto. Selama
periode tersebut, ekonomi Indonesia rata-rata tumbuh 5,98%. Bahkan perekonomian Indonesia pernah mencatat level tertingginya hingga
10,92% pada 1968. Namun, di penghujung kekuasaan orde baru, ekonomi nasional terpuruk dengan mencatat pertumbuhan negatif
(kontraksi) sedalam 13,13%. Capaian ini merupakan yang terburuk dalam sejarah Indonesia.

Lengsernya Presiden Soeharto yang diwarnai dengan demo mahasiswa, kerusuhan yang berlangsung secara sistematis di seluruh
Indonesia serta terjadinya krisis finansial Asia membuat perekonomian domestik lumpuh. Harga-harga barang melambung dimana inflasi
mencapai lebih dari 70% dan nilai tukar rupiah melemah hingga berada di atas Rp 15.000/dolar Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya
hanya sekitar Rp 2.500/dolar AS.

Akibat kerusuhan tersebut, sentra-sentra perekonomian tidak berfungsi akibat banyak yang di jarah dan dibakar.
Dampaknya pengangguran meningkat menjadi 5,46% dari sebelumnya 4,96% dan angka kemiskinan kembali melambung menjadi 24,2%
dari total populasi.

Keajaiban Orde Baru Suharto di Indonesia


Pada pertengahan tahun 1960an, kondisi ekonomi Indonesia telah mencapai keadaan yang sangat buruk. Perekonomian Indonesia
menderita karena kekacauan politik yang dipicu oleh Presiden Soekarno, presiden pertama Indonesia. Masalah-masalah ekonomi tidak
menjadi perhatian utama bagi Soekarno yang menghabiskan masa hidupnya untuk berjuang di arena politik. Beberapa contoh dari
kebijakan-kebijakannya yang memberikan dampak negatif pada perekonomian adalah pemutusan hubungan dengan negara-negara Barat
(dan karenanya mengisolir Indonesia dari ekonomi dunia dan mencegah negara ini dari menerima bantuan-bantuan asing yang sangat
dibutuhkan) dan deficit spending melalui pencetakan uang, yang menyebabkan hiperinflasi yang berada di luar kendali. Namun, setelah
Suharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno di pertengahan 1960an, kebijakan-kebijakan ekonomi mengalami perubahan arah yang
radikal.

Pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Orde Baru Suharto bisa dibagi dalam tiga periode, setiap periode dikenali dengan
kebijakan-kebijakan spesifiknya yang ditujukan untuk konteks ekonomi spesifik. Periode-periode ini adalah:

• Pemulihan ekonomi (1966-1973)


• Pertumbuhan ekonomi secara cepat dan intervensi Pemerintah yang semakin kuat (1974-1982)
• Pertumbuhan didorong oleh ekspor dan deregulasi (1983-1996)

Pemulihan Ekonomi (1966-1973)

Yang menjadi misi dasar pemerintahan Orde Baru Suharto adalah pembangunan ekonomi; langkah pertama adalah reintegrasi Indonesia
ke dalam ekonomi dunia dengan cara bergabung kembali dengan International Monetary Fund (IMF), Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
dan Bank Dunia dalam pertengahan akhir tahun 1960an. Ini memulai aliran bantuan keuangan dan bantuan asing dari negara-negara
Barat dan Jepang masuk ke Indonesia. Permusuhan dengan Malaysia (politik konfrontansi Soekarno) juga dihentikan. Langkah kedua
adalah memerangi hiperinflasi. Suharto mengandalkan sekelompok teknokrat ekonomi (sebagian besar dididik di Amerika Serikat) untuk
membuat sebuah rencana pemulihan ekonomi. Di akhir 1960an stabilitas harga diciptakan melalui sebuah kebijakan yang melarang
pendanaan domestik dalam bentuk hutang domestik ataupun pencetakan uang. Kemudian sebuah mekanisme pasar bebas dipulihkan
dengan tindakan-tindakan membebaskan kontrol pasar, diikuti dengan implementasi Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing
(1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (1968). Kedua udang-undang ini mengandung insentif-insentif yang menarik bagi para
investor untuk berinvestasi di negara ini dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% di tahun 1968.

Pertumbuhan Ekonomi Cepat dan Intervensi Pemerintah yang Makin Kuat (1974-1982)

Sampai tahun 1982, pertumbuhan ekonomi tahunan yang cepat di atas minimum 5% dijaga. Fakta lain yang juga penting adalah
Indonesia diuntungkan secara siginifikan dari dua oil boom yang terjadi di tahun 1970an. Oil boom yang pertama terjadi di tahun
1973/1974 ketika Organization of Petroleum-Exporting Countries (OPEC), yang anggotanya termasuk Indonesia, memotong ekspornya
dengan drastis dan menyebabkan kenaikan harga minyak yang besar. Oil boom kedua terjadi di tahun 1978/1979 ketika Revolusi Iran
mengganggu produksi minyak dan kembali terjadi kenaikan harga yang besar. Karena kedua oil boom ini, pendapatan ekspor Orde Baru
dan pendapatan Pemerintah meningkat tajam. Ini memungkinkan sektor publik untuk memainkan peran yang lebih besar dalam
perekonomian dengan melakukan investasi-investasi publik yang penting dalam pembangunan daerah, pembangunan sosial, infrastruktur
dan pendirian industri-industri (dasar skala besar), diantaranya termasuk industri-industri substitusi impor. Barang-barang modal dan
bahan-bahan mentah bisa diimpor karena pendapatan devisa yang makin membesar. Hal ini membangkitkan sektor manufaktur yang
berkembang. Namun, kemudian terjadi kerusuhan besar saat kunjungan Perdana Menteri Jepang di tahun 1974 karena anggapan bahwa
ada terlalu banyak proyek-proyek investasi asing di negara ini. Masyarakat Indonesia merasa frustasi karena orang-orang pribumi
tampaknya diabaikan dari menikmati buah-buah perekonomian. Pemerintah merasa terguncang karena kerusuhan ini (yang dikenal
sebagai Peristiwa Malari) dan memperkenalkan aturan-aturan yang lebih ketat mengenai investasi asing dan menggantinya dengan
kebijakan-kebijakan yang memberikan perlakukan khusus yang menguntungkan penduduk pribumi. Meningkatnya pendapatan
pemerintah yang didapat dari oil boom pertama berarti Pemerintah tidak lagi bergantung pada investasi-investasi asing, dan karenanya
pendekatan intervensionis bisa dimulai.

Pertumbuhan Ekonomi Didorong Ekspor dan Deregulasi (1983-1996)

Pada awal 1980an, harga minyak mulai jatuh lagi dan reposisi mata uang di tahun 1985 menambah hutang luar negeri Indonesia.
Pemerintah harus melakukan usaha-usaha baru untuk memulihkan stabilitas makroekonomi. Nilai rupiah didevaluasi di tahun 1983 untuk
mengurangi defisi transaksi berjalan yang bertumbuh, UU pajak yang baru diterapkan untuk menambah pendapatan dari pajak non
minyak dan tindakan-tindakan deregulasi perbankan dilakukan (credit ceilings untuk suku bunga dihapuskan dan bank diizinkan untuk
menentukan tingkat suku bunga dengan bebas). Terlebih lagi, perekonomian telah diarahkan ulang dari perekonomian yang tergantung
kepada minyak kepada sebuah perekonomian yang memiliki sektor swasta yang kompetitif yang berorientsi pada pasar ekspor. Ini
menyebabkan adanya tindakan-tindakan deregulasi baru untuk memperbaiki iklim investasi bagi para investor swasta. Waktu harga
minyak jatuh lagi di pertengahan 1980an, Pemerintah meningkatkan tindakan-tindakan untuk mendukung pertumbuhan yang didorong
oleh ekspor (seperti pembebasan bea cukai-bea cukai impor dan pengulangan devaluasi rupiah). Perubahan kebijakan-kebijakan ini
(dikombinasi dengan paket deregulasi di tahun 1990an) juga mempengaruhi investasi asing di Indonesia. Investasi asing yang
berorientasi pada ekspor disambut secara khusus.

Sektor lain yang juga terpengaruh oleh tindakan-tindakan deregulasi yang mendalam adalah sektor keuangan Indonesia. Bank-bank
swasta baru diizinkan untuk didirikan, bank-bank yang sudah ada bisa membuka cabang-cabang di seluruh negeri dan bank-bank asing
bebas beroperasi di luar Jakarta. Reformasi finansial ini kemudian akan menjadi masalah yang memperkuat krisis di Indonesia pada akhir
1990an. Namun sebelumnya, tindakan-tindakan ketat ini memiliki dampak positif pada perekonomian Indonesia. Ekspor produk-produk
manufaktur mulai menjadi mesin perekonomian Indonesia. Antara 1988 dan 1991 produk domestik bruto (PDB) Indonesia bertumbuh
rata-rata 9% setiap tahunnya, melambat menjadi 'hanya' rata-rata 7,3% pada periode 1991-1994 dan meningkat lagi di dua tahun
selanjutnya.

Masalah-masalah di Horison

Penjelasan di atas memberikan gambaran positif tentang perekonomian pada masa Orde Baru. Memang betul bahwa perekonomian
berkembang dengan cepat dan bersama dengan itu ada perbaikan-perbaikan dalam pembangunan sosial (walapun dalam kecepatan yang
lebih lambat). Secara khusus, pengurangan kemiskinan absolut adalah pencapaian Pemerintah yang luar biasa. Di pertengahan 1960an
setengah dari populasi Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan namun pada tahun 1996, angka ini telah berkurang menjadi 11% dari
total populasi Indonesia. Kendati begitu, gaya pemerintahan Pemerintah Orde Baru mengimplikasikan konsekuensi-konsekuensi
berbahaya yang akan memuncak pada Krisis Finansial Asia pada akhir 1990an.

Yang menjadi isu pertama adalah inti dari karakteristik pemerintahan Orde Baru. Orde Baru adalah rezim otoriter yang didukung militer
dan tidak menghormati hak asasi manusia. Selama periodenya yang lebih dari 3 dekade, Pemerintah tampaknya semakin tidak selaras
dengan warganegaranya. Pembuatan keputusan-keputusan politik dan ekonomi pada dasarnya direbut dari masyarakat umum dan
diberikan kepada sekelompok kecil elit pendukung Suharto. Namun, karena masyarakat Indonesia menjadi lebih berpendidikan berkat
perkembangan-perkembangan sosial, kalangan-kalangan berpendidikan secara natural ingin suara mereka didengar dan berpartisipasi
baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Meskipun begitu, Suharto tidak mendukung hal ini dan menempatkan lebih banyak batasan
dalam masyarakat Indonesia (contohnya dengan pembatasan demonstrasi mahasiswa yang hanya bisa dilaksankan di dalam universitas-
universitas saja). Kemacetan politik ini menimbulkan frustasi berat dalam sebagian besar dari populasi Indonesia.

Kedua - dan terkait dengan paragraf-paragraf sebelumnya - Orde Baru baru berdasarkan pada sistem nepotisme dan korupsi membuat
sekelompok kecil elit pendukung Suharto luar biasa diuntungkan dalam menikmati manisnya buah-buah perekonomian negara.
Kelompok ini terutama terdiri dari mitra-mitra bisnis keturunan Tionghoa (mendorong sentimen etnis) dan kemudian anak-anak Suharto
juga ikut di dalamya. Janji-janji keterbukaan dan transparansi kebijakan Pemerintah tak pernah dipenuhi. Terlebih lagi, korupsi membuat
ekonomi tidak bisa berfungsi efektif. Hal ini akan terungkap ketika Krisis Asia terjadi di tahun 1997.

Ketiga - juga berhubungan dengan paragraf-paragraf sebelumnya - sistem finansial sudah mulai kehilangan kontrol setelah tindakan-
tindakan deregulasi di sektor perbankan di akhir 1980an. Dengan sedikit batasan-batasan untuk membuka bank dan cabang-cabangnya,
menjadi semakin sulit untuk memonitor aliran uang dalam sistem perbankan Indonesia. Kekurangan data finansial yang serius, peraturan
dan kerangka hukum yang lemah dan aliran uang ilegal berkontribusi pada fakta bahwa Indonesia mengalami pukulan paling keras saat
Krisis Keuangan Asia melanda Indonesia.

Pada masa awal kemerdekaan, segera setelah penyerahan kedaulatan secara efektif pada 27 Desember 1949, negara menghadapi
tantangan yang sangat berat. Pendudukan Jepang dan perjuangan bersenjata melawan Belanda, telah sangat memiskinkan Indonesia.
Pemerintah menghadapi tantangan ekonomi yang berat, terutama untuk meningkatkan taraf hidup rakyat, meningkatkan produksi, serta
mendorong perdagangan dan industri. Tantangan terbesar adalah membiayai perbaikan dan pembangunan infrastruktur di penjuru negeri.

Sejak awal 1950-an, terutama setelah berakhirnya era pendapatan ekspor tinggi dari “Korea Boom”, anggaran negara selalu mengalami
defisit dikarenakan terbatasnya pendapatan perpajakan dan tingginya tekanan belanja terutama untuk gaji tentara dan pegawai negeri
akibat membengkaknya birokrasi. Implikasi ekonomi dari Konferensi Meja Bundar semakin menambah berat kondisi keuangan negara,
terutama terkait jaminan terus beroperasinya bisnis Belanda secara luas di Indonesia dan pengambilalihan utang pemerintah Belanda
sebelum perang sekitar 4,3 miliar gulden. Saat bersamaan, kondisi politik dalam negeri Indonesia kemudian menjadi semakin tidak stabil,
terutama karena berbagai pemberontakan di daerah dan pengambil alihan aset Belanda pada 1957-1958, dimana kedua hal tersebut sangat
membebani keuangan pemerintah.
Pada 1959, Presiden Soekarno meluncurkan “Demokrasi Terpimpin” dan “Ekonomi Terpimpin”, mengadopsi “sosialisme ala Indonesia”
dan menekankan pembangunan kepribadian Indonesia. Namun arah baru pembangunan ini justru membawa negara lebih banyak
bergelimang dalam agenda politik, kampanye militer, dan berbagai proyek mercusuar yang semakin memperparah defisit anggaran.
Defisit anggaran melonjak drastis dari 17% dari belanja pada 1960, menjadi 63% dari belanja pada 1965.
Penerimaan utama negara pada periode 1950-an adalah pajak perdagangan luar negeri. Sejak awal 1960-an, penerimaan pajak ini jatuh
karena melemahnya pasar komoditas ekspor dan meningkatnya penyelundupan akibat nilai tukar Rupiah yang overvalued. Di saat yang
sama, pemerintah tidak mampu menekan pengeluarannya yang terus meningkat, terutama untuk membiayai kampanye politik, operasi
militer pembebasan Irian Barat dan ganyang Malaysia, impor beras dan subsidi, serta pembangunan proyek-proyek mercusuar seperti
stadion Senayan dan Monas.

Dengan stagnasi, bahkan erosi, penerimaan perpajakan, lonjakan defisit anggaran ini secara sederhana hanya dibiayai dengan pencetakan
uang baru. Implikasi hal ini adalah langsung: ekspansi moneter meningkat pesat yang dideteksi dari pertumbuhan uang beredar (M1)
yang dengan cepat menanjak dari 37% pada 1960 menjadi 302% pada 1965. Inflasi-pun meledak, dari 19% pada 1960 menjadi 594%
pada 1965. Pada periode ini, anggaran negara merupakan penyumbang terbesar, dan secara langsung, pada inflasi. Hal ini semakin
memperburuk kondisi perekonomian. Sejak awal hingga pertengahan 1960-an, perekonomian mengalami kontraksi setelah mengalami
stagnasi sejak akhir 1950-an.

Setelah kejatuhan rezim orde lama, pemerintahan baru mewarisi perekonomian yang nyaris hancur. Indonesia saat itu gagal membayar
utang luar negeri $ 2,4 milyar, inflasi meroket 600%, produksi industri hanya dibawah 20% dari kapasitas, birokrasi yang lemah dan
korupsi yang merajalela, serta infrastruktur transportasi air, kereta dan jalan sudah usang. Segera setelah naik ke puncak kekuasaan pada
1966, Presiden Soeharto memerintahkan Tim Ekonomi-nya yang didominasi kelompok teknokrat dari Universitas Indonesia, menyusun
Program Stabilisasi dan Program Rehabilitasi.

Program Stabilisasi memiliki tujuan utama menghentikan laju hiperinflasi, dengan instrumen kebijakan utama adalah adopsi prinsip
“anggaran berimbang” (balanced budget). Dengan adopsi prinsip “anggaran berimbang”, laju defisit anggaran ditekan secara drastis dan
tidak ada lagi pencetakan uang untuk menutup defisit. Namun langkah ini menyisakan masalah besar di kemudian hari, yaitu
ketergantungan terhadap utang luar negeri. Defisit anggaran yang tersisa ditutup dengan utang luar negeri, yang secara tidak lazim
diperlakukan sebagai bagian dari penerimaan negara.
Terlepas dari kekurangannya, adopsi prinsip “anggaran berimbang” ini secara efektif menekan inflasi, dari 636% pada 1966 menjadi
hanya 9% pada 1970. Bahkan menurut data World Bank, inflasi berdasarkan indeks harga konsumen menembus 1.130% pada 1966 dan
berhasil turun menjadi 12% pada 1970. Stabilitas harga-harga ini pada gilirannya kemudian berkontribusi besar dalam stabilitas
makroekonomi di sepanjang era orde baru. Pengelolaan keuangan negara pasca 1966 ditandai dengan berakhirnya pemerintah sebagai
penyumbang utama inflasi. Pada gambar 1.1. juga terlihat bahwa peran pemerintah dalam perekonomian terus menurun sejak 1961,
seiring kejatuhan perekonomian, dan kemudian meningkat pasca 1966, seiring pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Sementara itu Program Rehabilitasi berfokus pada perbaikan infrastruktur fisik dan fasilitas produksi. Fokus utama pembangunan
infrastruktur fisik diletakkan pada infrastruktur pertanian, khususnya yang terkait dengan produksi dan distribusi pangan, seperti irigasi,
jalan dan jembatan. Politik anggaran secara jelas memprioritaskan sektor pertanian, khususnya sub-sektor tanaman pangan, dibandingkan
dengan sektor industri manufaktur.

Pengelolaan keuangan negara pasca 1966, sebagaimana pada gambar 1.2, terlihat secara ketat mengadopsi prinsip “anggaran berimbang”,
dimana sisi penerimaan dan sisi pengeluaran negara selalu dijaga berimbang. Dengan menjamin bahwa pengeluaran ditentukan oleh
penerimaan, pemerintah mampu mengkontrol tekanan politik yang mendorong pengeluaran ke tingkat yang tidak berkelanjutan. Dengan
terjaganya pengeluaran, maka tidak ada defisit anggaran, dan karenanya tidak ada kebutuhan untuk mencetak uang untuk membiayainya.
Dengan demikian, inflasi dan stabilitas makroekonomi dapat terjaga dengan baik.

Perkembangan sisi belanja negara juga merepresentasikan ukuran dari pemerintah (size of the government). Ukuran pemerintah
meningkat drastis dari kisaran 11% dari PDB pada 1969 menjadi di kisaran 24% dari PDB pada 1983. Meningkatnya ukuran pemerintah
secara drastis sejak 1974 ini banyak disumbang oleh oil boom akibat krisis di Timur Tengah. Seiring jatuhnya harga internasional
minyak, ukuran pemerintah kemudian menyusut menjadi hanya di kisaran 17% dari PDB pada 1995.
Namun, ukuran pemerintah era orde baru ditengarai jauh lebih tinggi dari angka resmi diatas dikarenakan besarnya dana non-bujeter (off-
budget expenditure), seperti bisnis kalangan militer, termasuk pembangunan industri-industri strategis yang besar, bisnis kroni dan
keluarga Presiden Suharto serta bisnis BUMN, khususnya BUMN perbankan yang merupakan pemain dominan dalam penyaluran kredit
nasional, yang seringkali aktivitasnya merupakan operasi kuasi-fiskal. Contoh paling terkenal disini adalah kasus Pertamina, dimana pada
era oil boom, pajak penghasilan minyak milik pemerintah secara sederhana dialokasikan langsung untuk membiayai berbagai proyek
mercusuar Pertamina.

Terlepas dari kinerja yang mengesankan, namun secara mudah dapat dilihat bahwa disiplin anggaran yang berkontribusi besar dalam
stabilitas makroekonomi era orde baru ini diraih dengan “manipulasi akuntansi” keuangan negara, dimana sebagian penerimaan negara
sebenarnya bersumber dari utang luar negeri, yang dalam APBN diperlakukan sebagai bagian dari penerimaan negara dan disebut dengan
istilah “penerimaan pembangunan”. Dengan kata lain, anggaran menjadi “berimbang” hanya karena komponen defisit anggaran
diperlakukan sebagai “penerimaan”. Meski menggunakan jargon utang luar negeri hanyalah pelengkap pembiayaan pembangunan,
namun jelas terlihat di sepanjang periode kekuasaannya, rezim orde baru terus bergantung pada utang luar negeri, yang mencapai
puncaknya pada 1986 dan 1988, masing-masing mencapai 5,4% dan 6,8% dari PDB seiring krisis jatuhnya harga minyak dunia, serta
pada krisis ekonomi 1998 dimana utang luar negeri mencapai 5.3% dari PDB.

Kebijakan outward looking yang dijalankan rezim orde baru sejak awal kekuasaannya, secara mudah dapat dilacak dari motif mencari
bantuan luar negeri ini. Kombinasi dari diplomasi ke Barat dan liberalisasi investasi, telah menarik utang luar negeri dan investasi asing
dalam jumlah signifikan yang berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi yang cepat. Peran kunci utang luar negeri dalam
pembangunan nasional terlihat dari fleksibilitas yang diberikan komunitas internasional terhadap rezim orde baru. Utang luar negeri
terlihat signifikan pada awal pembangunan, kemudian menurun seiring oil boom, meningkat drastis pada saat krisis akibat jatuhnya harga
minyak internasional pada 1984, kembali menurun seiring keberhasilan deregulasi dan transformasi struktural ke strategi promosi ekspor,
dan kembali meningkat drastis saat krisis mata uang 1998 menerpa.
Pengelolaan keuangan negara era orde baru memunculkan sejumlah jargon lain, yaitu tabungan pemerintah dan dana pembangunan. Sisi
penerimaan berasal dari sumber internal, yaitu Penerimaan Dalam Negeri, dan sumber eksternal, yaitu “Penerimaan Pembangunan”.
Sedangkan sisi pengeluaran secara umum diklasifikasikan menjadi Pengeluaran Rutin, yaitu belanja operasional pemerintah, dan
Pengeluaran Pembangunan, yaitu belanja modal. “Tabungan Pemerintah” adalah selisih antara penerimaan “asli” pemerintah, yaitu
penerimaan dalam negeri, dan pengeluaran rutin. Tabungan Pemerintah ditambah bantuan luar negeri sebagai “pelengkap”, yaitu
penerimaan pembangunan, merupakan “Dana Pembangunan”: dana yang akan menjadi sumber pembiayaan pembangunan. Semakin
besar dana pembangunan, semakin besar pengeluaran pembangunan.

Dalam gambar 1.4. terlihat bahwa tabungan pemerintah berfluktuasi seiring turun-naiknya penerimaan dalam negeri. Fluktuasi tabungan
pemerintah ini kemudian secara efektif diredam oleh fleksibilitas “penerimaan pembangunan”, sehingga menjamin stabilitas pengeluaran
pembangunan. Dengan demikian, utang luar negeri di era orde baru bukanlah sekedar pelengkap pembiayaan pembangunan, namun telah
menjadi instrumen utama pembiayaan anggaran negara, khususnya di masa krisis.

Secara umum, arah kebijakan fiskal di era orde baru ditujukan untuk meraih 3 tujuan utama: yaitu, menjamin stabilitas makroekonomi,
menurunkan ketergantungan pada bantuan luar negeri, dan memperbaiki distribusi pendapatan. Dengan tiga indikator utama ini, kinerja
pengelolaan keuangan negara era orde baru menunjukkan hasil yang ambigu.

Dengan adopsi prinsip “anggaran berimbang”, dimana total pengeluaran dijaga selalu identik dengan total penerimaan, tujuan stabilitas
makroekonomi secara umum dapat dicapai yang ditandai dengan turunnya hiperinflasi secara cepat dan dijaga di tingkat yang rendah.
Namun ketergantungan pada utang luar negeri secara umum gagal diturunkan, meski Indonesia mendapat penerimaan sangat besar
dari oil boom dan memiliki peluang meningkatkan penerimaan pajak dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Sedangkan tujuan distribusi pendapatan sebagian tercapai melalui sisi belanja negara yang cukup berpihak ke kelompok miskin,
khususnya melalui pengeluaran pembangunan. Indonesia mampu mencapai swasembada pangan pada 1984, di saat yang sama penduduk
miskin mampu diturunkan secara signifikan dan pertumbuhan penduduk ditekan pada tingkat yang moderat. Di era orde baru, Indonesia
tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat penurunan kemiskinan tercepat di dunia. Pendapatan per kapita meningkat pesat dari
dibawah US$ 100 pada 1970 menembus diatas US$ 1.100 pada 1996, dan angka kemiskinan menurun drastis dari sekitar 60% dari
jumlah penduduk pada 1970 menjadi sekitar 11% pada 1996. Namun di sisi penerimaan negara, tujuan pemerataan relatif tidak tercapai
mengingat rendahnya kinerja penerimaan perpajakan, khususnya dari kelompok kaya. Besarnya penerimaan migas telah menciptakan
rezim fiskal yang pemalas: penerimaan perpajakan tidak pernah tumbuh selaras dengan pertumbuhan ekonomi kecuali setelah peran
penerimaan migas menurun signifikan.

Gambar 1.6. secara jelas memperlihatkan ketergantungan Indonesia terhadap penerimaan minyak dan gas bumi (migas), khususnya pada
periode 1974-1985. Pada periode 1974-1978, penerimaan migas rata-rata merupakan 54,3% dari total penerimaan dalam negeri. Pada
periode 1979-1985, angka ini bahkan melonjak hingga 66,4%. Pemerintah secara jelas gagal meningkatkan kinerja penerimaan
perpajakan pada periode oil boom ini dimana pada periode 1974-1985 ini pertumbuhan ekonomi rata-rata berada di atas 7% per tahun.
Pada periode ini, kinerja penerimaan perpajakan mengalami stagnasi di kisaran 6,4% dari PDB. Rendahnya kinerja rezim perpajakan di
tengah pertumbuhan ekonomi tinggi mengindikasikan rendahnya kesadaran membayar pajak dan besarnya tingkat ketidakpatuhan
membayar pajak. Dengan maraknya crony capitalism di periode ini, rezim fiskal era orde baru mungkin sekali bersifat regresif: beban
pajak kelompok miskin jauh lebih tinggi dari beban pajak kelompok kaya.

Kinerja rezim perpajakan meningkat pesat hanya setelah jatuhnya harga minyak dunia dan karenanya penerimaan migas. Pasca reformasi
perpajakan 1984, kinerja penerimaan perpajakan meningkat hingga berlipat lebih dari dua kali, dari hanya 5,3% dari PDB pada 1984
menjadi 11,6% dari PDB pada 1994. Jika kinerja penerimaan perpajakan pasca reformasi ini dijadikan benchmark, maka kerugian fiskal
akibat tidak tergalinya potensi pajak di periode lost decade antara 1974-1984 ini berkisar 5% dari PDB per tahun, lebih dari cukup untuk
menghapuskan ketergantungan terhadap utang luar negeri yang di kisaran 3% dari PDB per tahunnya.
Dari sudut pandang ekonomi, fitur utama pengelolaan keuangan negara era orde baru, “anggaran berimbang”, jelas tidak memiliki
makna, sebagaimana terlihat dalam gambar 1.7. Bila “penerimaan pembangunan” dikeluarkan dari penerimaan negara, dengan mudah
kita melihat bahwa anggaran negara selalu mengalami defisit dalam rentang 3 dekade. Anggaran berimbang adalah ilusi yang diciptakan
rezim.

Namun memang harus diakui bahwa defisit yang tercipta selalu dijaga di tingkat yang aman, yaitu di kisaran 3% dari PDB setiap
tahunnya. Disiplin ini hanya dilanggar di saat krisis, yaitu seiring jatuhnya harga minyak defisit melejit di kisaran 5,2% dari PDB pada
periode 1986-1989, dan saat krisis finansial defisit berada di kisaran 4,6% dari PDB pada 1998- 1999.

Yang dilakukan rezim orde baru sebenarnya hanyalah memindahkan sumber pembiayaan defisit dari pencetakan uang baru ke utang luar
negeri. Dengan defisit dijaga pada tingkat yang aman dan tidak ada lagi pencetakan uang untuk menutup defisit, inflasi dapat dijaga
secara efektif. Namun terjaganya inflasi harus dibayar dengan akumulasi utang yang terus meningkat dan beban pembayaran bunga uang
yang semakin memberatkan. Bibit-bibit krisis telah ditabur sejak awal, yang kemudian akhirnya meledak saat guncangan eksternal
menerpa perekonomian pada 1997-1998. Jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar melonjakkan nilai utang dan beban bunga
pemerintah. Krisis nilai tukar dengan segera menjelma menjadi krisis utang pemerintah. Kegagalan membayar utang kemudian
memunculkan kebutuhan berutang yang lebih besar lagi. Pada tahun 1998/99, utang luar negeri mencapai 5,2% dari PDB, belum
termasuk utang yang ditangguhkan pembayarannya. Utang lama ditutup secara sederhana dengan membuat utang baru.

Masa Pemerintahan BJ Habibie: Reformasi Ekonomi Atasi Krisis

Maju menggantikan Presiden Soeharto yang lengser pada 20 Mei 1998, Bacharuddin Jusuf Habibie yang kala itu menjabat sebagai Wakil
Presiden menghadapi pekerjaan rumah yang besar: Salah satunya adalah keadaan ekonomi yang porak poranda yang berdampak pada
hilangnya kepercayaan publik pada pemerintah.

Untuk mengatasi krisis ekonomi, pemerintahan BJ Habibie mengambil beberapa kebijakan penting. Di bidang moneter, dimulai dengan
mengendalikan jumlah uang yang beredar, menaikkan suku bunga Sertifikat BI menjadi 70% dan menerapkan bank sentral independen.
Di bidang perbankan, diterbitkan obligasi senilai Rp. 650 triliun untuk menalangi perbankan, menutup 38 bank dan mengambil alih tujuh
bank. Di bidang fiskal, sejumlah proyek infrastruktur dibatalkan, juga perlakuan khusus bagi mobil nasional, dan membiayai program
Jaring Pengaman Sosial. Sedangkan di bidang korporasi, utang swasta direstrukturisasi melalui skema Indonesian Debt Restructuring
Agency (INDRA) dan Prakarsa Jakarta, serta menghentikan praktek monopoli yang selama ini dilakukan Bulog dan Pertamina.

Di tengah gonjang ganjingnya situasi polhukam saat itu, pemerintah harus dengan cepat mengambil keputusan walau berisiko tinggi.
"Situasinya unpredictable. Waktu itu, keadaan Indonesia tidak menentu," kenang Habibie. "Bisa plus bisa minus. Risiko tinggi, cost
tinggi. Cara berpikir saya itu harus berlaku untuk umum. Dalam hal ini saya mencari approximately (rata-rata)," ujarnya.

Terbukti, gerakan cepat pemerintah saat itu membawa hasil. Satu tahun kemudian, reformasi ekonomi yang diterapkan saat itu memiliki
beberapa dampak antara lain jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS dari semula Rp. 7.000 menjadi Rp. 17.000. Namun di sisi
lain pertumbuhan ekonomi tampak menunjukkan perbaikan dari yang sebelumnya -13% menjadi 2%, angka inflasi pun sukses diturunkan
dari 77,6% menjadi 2%.

Contoh Kebijakan dan Perkembangan Ekonomi pada Masa Reformasi

Kebijakan Ekonomi masa Reformasi

1. Kerja sama dengan IMF

IMF (International Moneter Fund) adalah lembaga dari PBB yang bertanggung jawab untuk membuat dan menjaga sistem moneter
internasional.

Presiden B.J. Habibie menjalin kerja sama antara pemerintahan Indonesia dengan IMF untuk membantu proses pemulihan ekonomi
negera.

Sebab, IMF menawarkan bantuan atau pinjaman dana untuk negara-negara yang butuh untuk memperbaiki neraca pembayarannya.

2. Independensi Bank Indonesia

Independensi Bank Indonesia berarti Bank Indonesia bebas dan campur tangan pemerintah atau pihak tertentu dalam mengatasi krisis.

Presiden B.J. Habibie menerapkan independensi BI agar hanya memfokuskan tugasnya untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah.

3. Melikuidasi Beberapa Bank

Dikutip dari UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, terdapat pengertian likuidasi
bank.

Pada UU Nomor 25 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (4), likuidasi bank adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai
akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank Presiden B.J. Habibie melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
pada saat krisis, agar nilai rupiah dapat stabil kembali.

4. Meningkatkan Nilai Tukar Rupiah

Tidak hanya itu, Presiden B.J. Habibie juga menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga di bawah Rp10 juta.

Hasilnya, mulai 20 Mei 1998, tercatat nilai rupiah menguat dari Rp 11.200/US$ menjadi Rp 7.385/US$ sampai 20 Oktober 1999.

Di bulan Juni 1999, diketahui nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika pernah menyentuh level terkuatnya, yaitu Rp 6.550/US$ AS.

Sayangnya, pada akhir masa kepemimpinan Habibie, nilai Rupiah kembali hingga mencapai Rp 8.000 per dolar Amerika.

5. Membentuk Lembaga Ekonomi

Presiden B.J. Habibie juga membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri.

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 menjadi puncak praktik korupsi yang merugikan negara.

Dilansir dari Kompas.id, Presiden B.J. Habibie akhirnya mengeluarkan UU Anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Dengan adanya dua undang-undang tersebut, kemudian lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk pada era kepemimpinan
Presiden Megawati tahun 2022.
Banyak sudah capaian pembangunan di era pemerintahan SBY. Peningkatannya cukup signifkan dibandingkan dengan presiden presiden
di era sebelumnya , agar masyarakat Indonesia lebih mengetahui, berikut saya paparkan dengan data data pendukung dari era Soekarno
hingga SBY:

A.Besaran APBN

1.Zaman Soeharto – Bj habibie

·Pendapatan : Rp 42,58 triliun

·Belanja : Rp 44,58 triliun

2.Zaman Gus dur – megawati

·Pendapatn : Rp 205,3 triliun – Rp 403,3 triliun

·Belanja : Rp 427,17 triliun – Rp 445, 81 triliun

3.Zaman SBY

·Pendapatan : Rp 403,3 trilun – Rp 1.529,67 triliun

·Belanja : Rp 427,17 triliun – Rp 1,683 triliun

B.Pendapatan perkapita

1.Zaman Soeharto – Bj habibie

·Pendapatan : Rp 0,7 juta s.d Rp 5,39 juta

2.Zaman Gus dur – megawati

·Pendapatn : Rp 5,39 juta s.d Rp 10,55 juta

3.Zaman SBY

·Pendapatan : Rp 10,55 juta s.d Rp 33,75 juta

C.Pertumbuhan ekonomi

1.Zaman Soekarno : -2,24 % - 5,74 %

2.Zaman Soeharto – BJ habibie : -13,13 % - 10,92 %

3.Zaman Gus dur – Megawati : 0,79 % - 5,03 %

4.Zaman SBY : 4,63 % - 6,49 %

D.Rasio Hutang luar negeri

1.Zaman Soekarno : nilai hutang US$ 6,3 Miliar

2.Zaman Soeharto – BJ habibie : 80% PDB – Nilai hutang US$ 132,3 Miliar

3.Zaman Gus dur – Megawati : 56,6 % PDB – Nilai Hutang US$ 139,8 Miliar

4.Zaman SBY : 23,4 % PDB – Nilai hutang US$ 213,61 Miliar

E.Cadangan Devisa

1.Zaman Soeharto – Bj habibie

·US$ 24,3 Miliar

2.Zaman Gus dur – megawati

·US$ 36,3 Miliar


3.Zaman SBY

·US$ 97 Miliar ( pada agustus 2011, cadangan devisa tertinggi US$ 124,6 Miliar)

F.Tingkat kemiskinan

1.Zaman Soeharto – Bj Habibie : 11,30% - 40,10% (rata rata kemiskinan 22,75 %)

2.Zaman Gusdur – Megawati : 16,66% - 9,86% (rata rata kemiskinan 17,96%)

3.Zaman SBY : 11,37% - 17,75% (rata rata kemiskinan 14,28%)

G.Inflasi

1.Zaman Soekarno : -1,7 % - 635, 4 %

2.Zaman Soeharto – Bj Habibie : 2,5% - 77,6%

3.Zaman Gusdur – Megawati : 2,0% - 12,6%

4.Zaman SBY : 2,8% - 17,1% (tahun 2013 inflasi 7,7%)

Memisahkan TNI dengan Polri. Membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial karena tak bekerja dengan baik.
Mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua. Mengakui Kong Hu Cu dan menjadikan Imlek hari nasional. Mencabut larangan terhadap
PKI dan penyebaran Marxisme dan Leninisme. Menerapkan Otonomi Daerah.

Di Aceh dan Papua misalnya, pendekatan Gus Dur berhasil menahan gelombang separatisme tanpa kekerasan militer. Gus Dur lah
presiden yang berperan membubarkan praktik dwifungsi ABRI. Ia mengembalikan tentara ke barak. Ia juga yang memisahkan angkatan
bersenjata menjadi TNI dan Polri. Aspek sosial menjadi perhatian kiai Nahdlatul Ulama ini. Berkat Gus Dur, tahun baru Imlek yang
dilarang pada masa kolonial Belanda dan dipersulit di era Soeharto, kembali menjadi hari libur nasional yang dirayakan. Ia juga yang
mengakui Kong Hu Cu sebagai tambahan agama yang diakui di Indonesia.

Lain pemimpin, lain pula rintangannya. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), perekonomian Indonesia kembali
menghadapi tantangan berat. Kebijakan-kebijakan ekonomi Gus Dur yang mengundang kerutan di dahi para pakar, juga perseteruannya
dengan DPR dan IMF mempengaruhi iklim perekonomian Indonesia saat itu.

Sejumlah kebijakan seperti upaya mengubah independensi BI lewat amandemen UU BI, bea masuk impor mobil mewah untuk KTT G-
15 yang jauh lebih rendah dari yang seharusnya (hanya 5% sementara seharusnya 75%), dan otonomi daerah yang membebaskan daerah
untuk mengajukan pinjaman luar negeri tidak populer di masyarakat dan menuai protes.

Kondisi perekonomian yang tampak memburuk setelah sebelumnya menunjukkan gejala-gejala kepulihan di masa pemerintahan BJ
Habibie meresahkan publik dan para investor. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS yang semula Rp. 7.500 (1999) menjadi Rp. 9.800
(2001), Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun dari 580 menjadi 458, begitu pun tingkat pertumbuhan ekonomi yang
semula 5% (2000) menjadi 3,6% (2001). Sebaliknya, tingkat inflasi pun meningkat drastis, dari 2% (1999) menjadi 12,6% (2001).

Di luar itu, pemerintahan Gus Dur bukannya tanpa capaian. Melalui desentralisasi fiskal, pemerintah berama-sama dengan Bank Dunia
brupaya menurunkan tingkat kemiskinan melalui program pengembangan kecamatan. Selain itu, juga ada proyek pedesaan, mulai dari
pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan dan saluran irigasi dan sanitasi, juga memberikan bantuan Kredit Usaha Mikro

Setelah Gus Dur lengser, Megawati Soekarnoputri pun dilantik untuk menggantikannya. Salah satu kebijakan ekonomi Megawati yang
dinilai berani adalah mengakhiri program reformasi kerjasama dengan IMF pada Desember 2003 yang lalu dilanjutkan dengan privatisasi
perusahaan negara dan divestasi bank guna menutup defisit anggaran negara.

"Semua opsi yang ditawarkan IMF sifatnya 'mencekik leher' bagi Indonesia. Sifatnya menggantung Indonesia supaya terus bergantung
pada IMF," ujar Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas saat itu, Kwik Kian Gie.

Setelah mengakhiri kerjasama dengan IMF, Megawati menerbitkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan
Ekonomi Sesudah Berakhirnya Program IMF untuk menjaga stabilitas ekonomi makro.

Ada beberapa poin penting dalam kebijakan tersebut. Di sektor fiskal misalnya, ditandai dengan reformasi kebijakan perpajakan, efisiensi
belanja negara dan privatisasi BUMN. Di sektor keuangan, dilakukan perancangan Jaring Pengaman Sektor Keuangan, divestasi bank-
bank di BPPN, memperkuat struktur governance bank negara, dan restrukturisasi sektor pasar modal, asuransi dan dana pensiun. Lalu di
sektor investasi, dilakukan peninjauan Daftar Negatif Investasi, menyederhanakan perizinan, restrukturisasi sektor telekomunikasi dan
energi serta pemberantasan korupsi.
Dampaknya dinilai cukup baik. Kurs Rupiah yang semula Rp. 9.800 (2001) menjadi Rp. 9.100 (2004), tingkat inflasi menurun dari
13,1% menjadi 6,5% sedangkan pertumbuhan ekonomi naik 2%, begitu pun poin IHSG dari 459 (2001) menajdi 852 (2004).

Kenaikan harga komoditas di awal masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat Indonesia berada di atas angin,
walau hanya sementara sebelum ditempa krisis global di 2008. Harga minyak, batu bara dan CPO (minyak sawit mentah) dunia
mengalami kenaikan yang cukup signifikan.

Minyak yang semula USD 29,32/barel di 2004 dihargai USD 142,03/barel di 2008, begitu juga batu bara, yang tadinya USD 56,68/metrik
ton di 2004 menjadi USD 192,86/metrik ton di 2008. Lalu CPO yang semula RM 1411 di 2006 naik menjadi RM 4298 di 2008.

Kenaikan harga ini membawa angin sejuk bagi Indonesia. Proses pemulihan ekonomi sebagai dampak krisis 2008 lebih cepat,
pendapatan dari pajak juga meningkat, sedangkan defisit APBN justru menurun. Bahkan transaksi sempat mengalami surplus sebesar dua
persen di 2009.

Jakarta, CNBC Indonesia - Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)
bergerak lebih lambat dibandingkan pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Perlambatan PDB per kapita sejalan dengan semakin besarnya jumlah penduduk sementara sebaliknya pertumbuhan PDB tidak
sekencang pada era sebelumnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat PDB per kapita Indonesia pada 2022 mencapai US$ 4.783,9 per tahun atau jika dirupiahkan
menjadi Rp 71 juta.
Artinya, rata-rata penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 275 juta ini memiliki pendapatan sekitar Rp 71 juta per tahun atau sekitar
Rp 5,9 juta per bulan.
Pendapatan PDB per kapita penduduk Indonesia pada 2022 meningkat sekitar Rp 8,7 juta dibandingkan 2021 atau sekitar 14%.
Lonjakan PDB per kapita terjadi seiring dengan kenaikan PDB nasional atas harga konstan yang sangat signifikan dari Rp 11.120,1
triliun pada 2021 menjadi Rp 11.710,4 triliun pada 2022.
Namun, jika dihitung dari awal pemerintahan hingga tahun ini, pertumbuhan PDB per kapita pada era Presiden Jokowi tidak mencapai
50%.

Berdasarkan data Bank Dunia, PDB per kapita Indonesia pada 2015 tercatat US$ 3.322,58 per tahun sementara data BPS menunjukkan
angka tersebut naik menjadi US$ 4.783,9 pada 2022.
Artinya, selama delapan tahun pemerintahan Jokowi, PDB per kapita naik sebesar US$ 1.307,28 atau 37,6%.
Sebagai catatan, 2015 merupakan tahun pertama di mana Presiden Jokowi memimpin Indonesia secara penuh. Jokowi hanya menjabat
presiden selama tiga bulan pada 2014 setelah dilantik pada Oktober 2014.
Pada tahun pertama Presiden SBY memimpin secara penuh yakni pada 2005, PDB per kapita Indonesia tercatat US$ 1.249,39 per tahun.
Angkanya kemudian naik menjadi US$ 3.668,22 per tahun pada 2012.
Dengan demikian, selama delapan tahun pertama pemerintahan SBY, PDB per kapita Indonesia naik sebesar US$ 2.418,81 atau 193,6%.
Data BPS menunjukkan jumlah penduduk pada 2005 mencapai 218,69 juta sementara pada 2012 tercatat 245,42 juta. Artinya, ada
pertambahan penduduk sebanyak 26,73 juta atau 12,22% selama delapan tahun pertama era Presiden SBY.
Pada 2015, jumlah penduduk berkisar 255,46 juta jiwa sementara pada 2022 sekitar 275,77 juta. Dengan demikian, ada tambahan jumlah
penduduk sekitar 20,31 juta atau 7,95% pada delapan tahun pertama Presiden Jokowi.
Namun, kenaikan nilai PDB pada delapan tahun pertama Presiden SBY juga lebih cepat yakni naik 49,6% dari Rp 1.749,5 triliun pada
2005 menjadi Rp 2.618,1pada 2012.
Perhitungan nilai PDB dengan menggunakan dasar harga konstan tahun 2000.
Nilai PDB pada delapan tahun era Presiden Jokowi meningkat 30,5% dari Rp 8. 976,9 triliun pada 2015 menjadi Rp 11.710,4
triliun. Perhitungan nilai PDB dengan menggunakan dasar harga konstan tahun 2010.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi pada delapan tahun pertama pemerintahan SBY dan Jokowi juga terbilang jauh yakni 5,89% pada era
SBY sementara Jokowi sebesar 4%.

Namun hal ini tidak berlangsung lama. Krisis finansial yang melanda dunia di 2008 ternyata juga berimbas ke perekonomian Indonesia.
Belum pulih benar, kini Indonesia harus jatuh sekali lagi karena pasar keuangan dan sektor riil yang ikut ambruk.

Hal ini dapat dilihat dari gejolak yang terjadi di pasar modal, dimana IHSG terus meluncur dari 2,165 di September 2008 menjadi 1,111
di bulan berikutnya. Kurs Rupiah terhadap Dollar AS terus melemah, dari Rp. 9.478 di Oktober 2006 menjadi Rp. 12.650 di November
2008 hingga akhirnya bisa turun sedikit menjadi Rp. 10.925 di bulan berikutnya. Cadangan devisa negara pun ikut merasakan
dampaknya. Pada Juli 2008, Indonesia memiliki USD 60,6 miliar namun turun menjadi USD 51,6 miliar di Desember. Begitu juga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dalam satu tahun mengalami penurunan hingga mencapai Rp. 64,9 triliun.

Pemerintah tidak berdiam diri. Untuk menjaga laju inflasi, pemerintahan SBY memperbesar alokasi subsidi energi. Pada 2004, besar
subsidi energi adalah 13,7% dari APBN dengan tingkat inflasi 6,4%. Ketika inflasi meningkat hingga 17,11% di 2005, alokasi subsidi
diperbesar menjadi 22,7% di 2008. Hasilnya inflasi berhasil drop ke angka 2,78% di 2009. Begitu inflasi naik lagi menjadi 8,36% di
2014, pemerintah pun kembali menaikkan persentasi subsidi energi menjadi 19,20% di 2014.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tampaknya akan sulit mencapai 6% dalam waktu dekat. Selama masa kepemimpinan Presiden Joko
Widodo, pertumbuhan Ekonomi Indonesia ‘terjebak’ di kisaran 5%.
Pada tahun ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,2%, dan 5,3% pada tahun depan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia
akan sulit menembus 6% dalam waktu dekat.
Menurutnya terdapat beberapa indikator yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi RI masih ‘terjebak’ di kisaran 5%.
Diantaranya, angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) nasional yang masih di atas angka pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan
industri manufaktur di bawah pertumbuhan ekonomi, dan nilai kurs rupiah terhadap dolar AS juga semakin terdepresiasi.
Termasuk juga angka inflasi dan penyerapan tenaga kerja yang selalu menekan besaran target capaian pertumbuhan ekonomi.
“ICOR kita masih di atas pertumbuhan ekonomi 5%, yakni kisaran 6,3%. Artinya investasi masih belum efisien dalam membentuk
Produk Domestik Bruto (PDB),” ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Selasa (1/11).
Dia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2022 akan lebih rendah dari rentang target pertumbuhan ekonomi dalam
APBN 2022 yang sebesar 5,2%. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan asumsi indikator makro lainnya, seperti laju inflasi yang lebih
tinggi dari 3 plus minus 1%.
Faktor lain, masih tergerusnya nilai tukar rupiah yang akan di atas Rp 15.000 per dolar AS, dan harga minyak mentah di atas US$ 63 per
barel. Termasuk juga konsumsi masyarakat yang semakin tertekan oleh kenaikan harga akibat dorongan inflasi yang kian tidak mudah
dikendalikan.
Ia menjelaskan, sulitnya pengendalian stabilitas ekonomi tersebut karena saat ini adalah masa di mana ekonomi sedang proses
penyembuhan setelah melewati badai pandemi Covid-19.
Menurutnya, kondisi tersebut membutuhkan iklim dan stabilitas ekonomi yang kuat agar kembali jatuh seperti saat pandemi. Meskipun
kondisi ekonomi sedang meningkat perbaikannya dengan pertumbuhan ekonomi per kuartal tahun ini kian membaik di kisaran 5,1%-
5,44%.
“Sehingga perekonomian sedang menuju normal kembali ke titik keseimbangan baru mendekati sebelum pandemi. Bahkan melebihi
angka pra pandemi Covid-19,” jelasnya.
Sebagai gambaran, dalam masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia
memang belum pernah mencapai 6%. Pada 2017 pertumbuhan ekonomi sebesar 5,07%, 2018 sebesar 5,17%, 2019 sebesar 5,02%, pada
2020 mengalami kontraksi akibat pandemi Covid-19 sebesar 12,07%, dan pada 2021 kembali tumbuh 3,70%.

4 Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah


17 Mar 2015 05:57
Jakarta - Pemerintah mengeluarkan 4 Paket Kebijakan Untuk Memperkuat transaksi Berjalan, berikut 4 paket tersebut:
1. Kebijakan Insentif Pajak
a).Fasilitas pajak tax allowance untuk perusahaan yang menciptakan lapangan kerja, menggunakan kandungan lokal, berorientasi ekspor
30% dari produksi dan melakukan research and development.
b).Tambahan insentif, khususnya kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan reinvestasi laba yang didapatkan dari dividen.
c).Pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk mendorong sektor logistik salah satunya untuk galangan kapal, peralatan berkaitan
dengan industri kereta api, angkutan udara, dan sejenisnya.
2.Perlindungan Produk Dalam Negeri
a).Pengenaan bea masuk antidumping sementara dan bea masuk tindak pengamanan sementara terhadap produk industri impor yang
unfair trade.
b).Penerapan letter of credit untuk produk sumber daya alam yakni tambang, batu bara, migas, CPO.
c).Restrukturisasi dan revitalisasi industri reasuransi domestik. Pemerintah memperkenalkan perusahaan reasuransi BUMN
penggabungan dua perusahaan reasuransi yang selama ini kecil-kecil menjadi sebuah perusahaan reasuransi nasional.
3.Bebas visa kunjungan singkat wisatawan kepada 30 negara.
4.Kewajiban penggunaan biofuel sampai dengan 15%

Anda mungkin juga menyukai