Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

QIRAAT AL QUR’AN
Disusun guna memenuhi salah satu tugas terstruktur Mata Kuliah
Al Qur’an dan Ilmu Tafsir
Dosen Pengampu : Aan Aliyudin, M. Ag

Di Susun Oleh Kelompok 3:


• Gunawan Bader Alamsyah 1230124478
• Cucu Rohaeni 1230124457
• Qurotul Aini 1230124479
• Ros rosita
• Fery Irawan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) ATTAQWA
BANDUNG
2024
KATA PENGANTAR

‫السالم عليكم ورحمةهلال وبركا ته‬


Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami ucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah selain untuk memenuhi tugas mata kuliah “Al
Qur’an dan Ilmu Tafsir” juga untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada para
pembaca yang senantiasa membaca makalah yang telah kami susun sedemikian rupa.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca, untuk
dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi
di masa yang akan datang.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
‫والسالم عليكم ورحمةهلال وبركا ته‬

Bandung, 21 Februari 2024


Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Qira’at ........................................................................................... 2
B. Syarat-syarat Qira’at Dikatakan Sahih ............................................................ 2
C. Macam-macam Qira’at .................................................................................... 3
D. Tokoh-tokoh Qira’at Sab’ah ........................................................................... 5
E. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at ................................................ 6
F. Contoh Perbedaan Qira’at ............................................................................... 6
G. Pengaruh Perbedaan Qiraat dalam Istinbath Hukum....................................... 9
H. Urgensi Mempelajari Qiraat ............................................................................ 10
BAB III PENUTUP 11
A. Kesimpulan… .................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
Sejumlah ulama’ ahli Al-Qur’an ada yang menganggap bahwa qiraat
merupakan kajian yang kurang menarik, karena kajian ini tidak bersentuhan
langsung dengan kehidupan umat islam sehari-hari. Namun demikian, justru yang
diperhatikan adalah sejauh mana wacana qiraat mampu memberi kita manfaat.
Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus
diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-
Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari
ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini;
pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga
merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam
qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal
inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali,
menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai
dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qiraat telah mencurahkan
segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian
mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan
penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian
al-Qur’an.
Oleh karena itu kita perlu pemahaman, pengetahuan dan hal-hal yang
menyangkut perkara benar dan batilnya mengenai qiraat.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiraat

˝ََ ََ‫َ َقَ ََرَآ‬-‫َ َيََََقَ ََرَأ‬-َ‫َقَ ََ َرأ‬


Qiraat secara etimologi merupakan isim mashdar dari kata ‫َءة‬
yang artinya baca, membaca.1

Sedangkan secara terminologi telah dikemukakan oleh para pakar Al-


Qur’an, diantaranya:
1. Menurut az-Zarqani dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an
sebagaimana yang dikutip oleh Hasanuddin AF, qiraat adalah perbedaan
lafal-lafal Al-Qur’an baik menyangkut penyebutan huruf maupun cara
pengucapan huruf-huruf tersebut.2
2. Menurut Imam Syihabbuddin al-Qatalani dalam kitab Lataif al-Isyarat
fi Funun al-Qiraat sebagaimana yang dikutip oleh Nur Faizah,
menjelaskan bahwa qiraat adalah suatu ilmu untuk mengetahui
kesepakatan serta perbedaan para ahli qiraat (cara pengucapan lafad Al-
Qur’an) yang menyangkut aspek lughat, i’rab, hadzf, isbat, fasl, wasl
yang diperoleh dengan cara periwayatan.3
3. Menurut Ali as-Sabuni dalam kitab at-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an qiraat
adalah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur’an yang dipakai
oleh salah satu imam qura’ ang berbeda dengan lainnya dalam hal
ucapan berdasarkan sanad-sand sampai kepada Rasul.4
Jadi penulis dapat menyimpulkan dari beberapa pendapat diatas bahwa
qiraat adalah ilmu yang membahas tentang perbedaan cara pengucapan lafadz-
lafadz, metode dan riwayat Al-Qur’an yang disandarkan oleh tujuh imam qurra’
sebagai suatu madzab yang berbeda-beda dengan yang lainnya.
B. Syarat-syarat Qiraat Dikatakan Sahih

1
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Indonesia-Arab Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2007), hlm. 75.
2
Hasanuddin Af, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam
Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.111-112.
3
Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta Barat: CV Artha Rivera, 2008), hlm. 133.
4
Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia,
1991), hlm. 374.
2
Untuk menangkal penyelewengan qiraat yang sudah muncul, para imam
dari kalangan salaf maupun khalaf telah menetapkan syarat qiraat dapat
dikatakan shahih. Menurut Al-Jaziri dalam kitabnya An-Nasyr sebagaimana
yang dikutip oleh Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasni, sebagai berikut:
1. Qiraat harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab
2. Qiraat tidak menyalahi rasm utsmani
3. Memiliki sanad yang sahih (diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit)
serta diriwayatkan secara mutawatir).5
Jadi apabila ketiga persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka qiraah itu
kualitasnya dhaif (lemah), walaupun berasal dari tujuh imam. Inilah aturan
shahih yang telah ditetapkan oleh imam-imam, baik dari kalangan salaf maupun
khalaf.
C. Macam-Macam Qiraat
Macam-macam tingkatan qiraat menurut Ibnu Al-Jaziri sebagaimana yang
dikutip oleh Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i itu ada enam macam, yaitu
sebagai berikut:
1. ‫َر‬
ََ ‫وات‬
َ َ َ ‫مت‬
َ ‫ ا َل‬adalah qiraat yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayatan
yang banyak dari periwayatan yang banyak pula sehingga mereka tidak
mungkin sepakat untuk berdusta. Qiraat yang tergolong mutawatir, yaitu
qiraat sab’ah. Qiraah mutawatir ini adalah qiraat yang sah dan resmi
sebagai Al-Qur’an dan dapat dijadikan hujjah.

2. ‫ر‬
َ ‫َو‬ َََ َ‫ ا َل ََم‬adalah qiraat yang sanad-nya sahih yang diriwayatkan oleh orang
َ ‫شه‬
banyak, akan tetapi tidak sampai tingkatan mutawatir. Disamping itu sesuai
dengan kaidah bahasa Arab dan rasm utsmani. Qiraat ini dinisbatkan
kepada 3 Imam terkenal yaitu: Abu Ja’far ibn Qa’qa al- Madani, Ya’qub al-
Hadrami, Khalaf al-Bazzar.
ََ َ‫ََحَاد‬ ‫ اآل‬adalah qiraat yang tidak mencapai derajat masyhur, sanad-nya
3.

sahih, akan tetapi menyalahi rasm utsmani atau pun kaidah bahasa Arab.
Qiraat ini tidak sah dibaca sebagai riwayat yang dikeluarkan oleh hakim

5
Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasni, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bandung:
CV Pustaka setia, 1983), hlm. 45-46.

3
dari jalur Ashil Al-Jahdari dari Abi Bakrah yang menyebutkan bahwa Nabi
SAW, membaca ayat:
‫ض َََو َعَب َاقَ 'َ„يَََحَََاََس„َن‬ َ ََ„َ َ‫ى‬
‫فَخ َ َ„ََر‬ َ ‫ََل‬
َ ‫ََع‬
َ َ‫َ َمتَ َََكئَََيَََن‬
‫َََر‬ َ ‫َََفرََا‬
‫َََر‬

‫„ف‬
Lafadz َ ََ‫َََرفا‬ dan‫ََعب َاقَ '„َي‬ ‫„ف‬
pada qiraat mutawatir dibaca َ ‫َََر‬
َ dan‫َََعَََبقََرَ '„َي‬.
‫َََر‬ ‫َََر‬ َ‫ََف‬
َ
‫َََر‬

4.ََ َ‫( ال ََاشذ‬menyimpang) adalah qiraat yang sanadnya tidak sahih. Seperti

qiraat ibnu Al-Sumaifi’:


˝‫كَة‬ ‫َفَاَ ََليَََوَََمَنََنَ ََ'ََجي َ ََا‬
‫َََي‬

ََ ‫'جَي‬
Lafadz‫َك‬ َ َ ََ َ‫ نن‬itu dibaca dengan ha’ bukan dengan jim. Qiraat ini tidak

dapat dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan termasuk Al-Qur’an.


َََ‫ضَوع‬
ََََََ ‫َم‬
ََ َ ‫( ا َل‬palsu) yaitu qiraat yang hanya dinisbatkan kepada orang
5. ‫َو‬
ََ

seseorang tanpa asal usul yang pati atau tidak sama sekali. Misalnya qiraat
yang dikumpulkan oleh Muhammad Jafar Al-Khuza’i dan ia
mengatakannya bersumber dari Abu Hanifah yang berbunyi:

َ‫ََ َإنَ ََمَاَ َيََََخ ََشَىللََ ََََم ََعَباََدَََهَََاَ َََلعََََلَ َََمآَََء‬


‫ََن‬

Pada ayat diatas sebenarnya pada lafadz ‫ لل‬itu berharakat fathah dan

َ ‫ َا ََل َع َََل‬itu berharakat dhommah. Lafad ‫َمآ َء‬


‫َمآ َء‬ َ ‫ َا ََل َع َََل‬itu seharusnya
menjadi fa’il (subjek) bukan maf’ul (obyek).6
Menurut Imam As-Suyuthi yang dikutip oleh Muhammad bin Alawi Al-
Maliki Al-Hasni, beliau menambahkan satu macam qiraat yaitu:
6. ‫ج‬
ََََ‫َالَ َمد‬ adalah adanya sispan pada bacaan yang berfungsi sebagai tafsir
‫َََر‬

4
atau penjelas terhadap suatu ayat. Contoh qiraat Abi Waqqash yaitu:
َ:4/‫َََتَََمَََنأََ„ََ'ََم(اَل َنساء‬
َ َََ‫َََاخ‬ َ َ‫ََََو ََا َََنكاَََََن َََرَََجَََليَ َََوََََرََ ََكَالَ َََ˝لةََاَ ََ َواَ َََو َََله‬
)12 ‫َََم ََ َرأَة َا َََوَاَََََخ‬ ‫َث‬

Tambahan kalimat‫أ„'َم‬ sebagai penjelasan terhadap ayat tersebut.7


‫َََم َََن‬

Jadi penjelasan diatas menjelaskan macam-macam tingkatan qiraat


berdasarkan jumlah sanad dalam periwayatan qiraat dari Nabi SAW.

6
Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I, (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 1997),
hlm. 228-230.
7
Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasni, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hlm. 48.

5
D. Tokoh-tokoh Qiraat Sab’ah
Nama-nama tujuh imam qiraat dan dikenal dua orang perawinya, yaitu
sebagai berikut:
1. Imam Ibnu Amir di Damaskus (Syam)
Nama lengkapnya: Abdullah bin Amir al-Yahshabi (8-118 H). Beliau
membaca Al-Qur’an dari Mughirah bin Abi Syihab (dari Utsman bin Affan)
dan Abu al-Darda’.
2. Imam Katsir di Makkah
Nama lengkapnya: Abu Muhammad Abdullah bin Katsir (45-120 H).
Beliau membaca Al-Qur’an dari Abdullah ibn al-Sa’ib (dari Ubay bin Ka’ab
dan Umar bin Khattab), Mujahid ibn Jabar dan Dirbas (dari Ibnu Abbas dari
Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit).
3. Imam Ashim di Kufah
Nama lengkapnya: Abu Bakar Ashim bin Abi Najud al-Asadi (w. 129
H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Abu Abd al-Rahman al-Simi (dari
Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan
Zaid bin Tsabit).
4. Imam Abu Amr di Bashrah
Nama lengkapnya: Abu Amir Zabban bin al-Ala’ bin Ammar (68-154
H). Beliau membaca Al-Qur’an dari Hasan al-Bashri dari Abu al-Aliyah dari
Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab.
5. Imam Hamzah di Kufah
Nama lengkap: Hamzah ibn Hubayb ibn al-Ziyyat al-Kufti (80-156 H).
Beliau membaca Al-Qur’an dari Ali Sulaiman al- A’masy, Said Ja’far As-
Shadiq, Hamran ibn A’yan, Manhal ibn Amr dan lain-lain.
6. Imam Nafi’ di Madinah
Nama lengkap: Nafi ibn Abd al-Rahman ibn Abi Nu’aym al-Laysi (w.
169 H). Beliau membaca dari Ali ibn Ja’far, Abd al-Rahman ibn Hurmuz
Muhammad ibn Muslim al-Zuhri dan lain-lain.
7. Imam Al-Kisa’i di Kufah

6
Nama lengkapnya: Abu Hasan Ali bin Hamzah Al-Kisa’i (w. 187 H).
Beliau membaca dari Hamzah bin Hubaib, Syu’bah, Ismail ibn Ja’far dan
lain-lainnya.8
Tujuh Imam tersebut itulah yang masyhur, kemudian ahli qiraat tersebut
terkenal dengan “Qiraat Sab’ah”, karena masing-masing Imam memang teliti
dalam meriwayatkan qiraat yang berasal dari sahabat Nabi SAW.
E. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qiraat
Beberapa faktor yang melatar belakangi timbulnya perbedaan qiraat Al-
Qur’an menurut Abdul Hadi al-Fadli dalam kitab Al-Qira’ah Al-Qur’aniyah
sebagaimana yang dikutip oleh Nur Faizah, perbedaan qiraat disebabkan oleh
beberapa hal.
1. Karena perbedaan qiraat Nabi Muhammad dalam membaca dan
mengajarkan Al-Qur’an dengan beberapa versi.
2. Karena adanya taqrir (pengakuan) Nabi Muhammad terhadap berbagai
macam qiraat.
3. Karena berbedanya qiraat yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad melalui perantara malaikat Jibril.
4. Karena adanya riwayat dari sahabat menyangkut berbagai versi qiraat
yang ada.
5. Karena adanya perbedaan lahjah atau dialek kebahasan masyarakat Arab
pada masa turunnya Al-Qur’an.9
Jadi dari kelima penyebab berbedaan qiraat diatas, pada prinsipnya sama
yaitu bahwa sumber penyebab adanya perbedaan qiraat Al-Qur’an adalah
bermuara kepada Nabi SAW.
F. Contoh Perbedaan Qiraat
1. Contoh perbedaan qiraat sebagai penggabungan dua ketentuan hukum yang
berbeda. Seperti firman Allah:

. . . .‫ََََطََن‬
ََ َ‫حتَى‬
'َ ََ ‫ََواَل˝َ َتََََقَ َََن‬ ...
‫َي ََه‬ َ‫ََر َبَََوََه‬
‫َََر‬

8
Hasanuddin Af, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam

7
Al-Qur’an, hlm. 146-149.
9
Nur Faizah, Sejarah Al-Qur’an, hlm. 140-141.

8
222. “...dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
apabila mereka Telah suci ... ” (Qs. Al-Baqarah: 222)
Ayat tersebut merupakan larangan larangan bagi seorang suami, dari
melakukan hubungan seksual dengan isterinya dalam kedaan haid.
Lafadz ‫ يطهرن‬menurut beberapa Imam ada 2 qiraah, yaitu:
a. Menurut Imam Nafi’, Imam Abu ‘Amrin, Imam Ibnu Katsir, Imam
Ibnu Amir, Imam ‘Ashim dalam riwayat Imam Hafsh dibaca ‫َر‬ ََ ََََ‫َي‬
ََ‫طَه‬
‫ََن‬

yang berarti “darah mereka berhenti”. Jadi isteri yang haid tidak boleh
di-jima’ sampai berenti darah haidnya, meskipun belum mandi jinabah.
b. Menurut Imam Hamzah, Imam Kisai, Imam ‘Ashim dalam riwayat
Abu Bakar dibaca َ
َ َ‫( ي‬yathahharna) yang berarti “darah mereka
‫ََن‬ ‫ََط‬ََ
ََ
‫َََه‬
‫َََر‬

berhenti dan sudah mandi jinabah”. Jadi isteri yang haid tidah boleh
di-jima’ sampai berhenti darah haidnya dan harus sudah mandi.10
Jadi menurut Jumhur Ulama’ Lafadz yang dibaca tasydid ‫َر‬
َََ
‫ََه‬ََ َََ‫َي‬
َ‫ط‬
‫ََن‬

(yathahharna) itu menjelasakan maknanya lafadz yang dibaca takhfif


ََََََ ‫( َي‬yathhurna).
‫طهَ َََرََ ََن‬

2. Contoh perbedaan qiraat sebagai hujjah bagi sementara ulama’ untuk


memperkuat pendapatnya mengenai sesuatu masalah hukum. Seperti firman
Allah:

.َ.َ.َ‫̋با‬ 'َ ََ ‫ََص‬


َ ‫طي‬ َ ‫˝ََء‬ ََ َ‫ََل‬
َ َََ‫ََءف‬ َ َ‫َاََََوَلَ ََمَََََسَتََمَالنَ'سَا‬.َ.َ.
‫ََََع‬ ‫َََمتََ َ َم فََتََ َي‬
َ َ‫َا ََ ََََ َم‬
‫ََي̋دا‬
‫جََََاَو‬
‫ََََد‬
‫ََمَََاَو‬

“. . . atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka


bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). . .” (Qs. al-Maidah: 6)
9
Ayat diatas menjelaskan, bahwa salah satu penyebab yang
mengharuskan seseorang bertayamum dan dalam kondisi tidak ada air,
yaitu apabila telah menyentuh wanita َ‫لََََم َسََتََمَا َلن' َاس‬
َ ).
‫َََ(ء‬

10
Hasanuddin Af, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam
Al-Qur’an, hlm. 203.

10
Sementara itu Imam Ibn Katsir, Nafi, ‘Ashim, Abu Amr dan Ibnu
Amir, membaca َ‫)الَ ََم َسَََتَم ا َلن' َاس‬. Sedangkan Imam Hamzah dan al-Kisa’i,
‫َََ(ء‬

membaca َ‫)َََلََمَ َسََتََمَا َلن' َاس‬.


‫َ(ء‬
ََ

Qiraat ‫ ) َََل ََم َسَََتَم ا َلن' َاسَ َََ(ء‬ada tiga versi pendapat para ulama’ mengenai

makna (‫ ) َََلَمَ َََست َََم‬yaitu bersetubuh, bersentuh, dan bersentuh serta


bersetubuh. Demikian pula makna (‫َم‬
َ ‫َ ََسَت‬
‫ )الَ َم‬menurut kebanyakan ulama’.
Sehubung dengan ini, para ulama’ berbeda pendapat mengenai makna
(‫ََلَََم ََسَتَ َََم‬
‫َ)َ َا‬yaitu:

a. Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid,Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat


bahwa yang dimaksud adalah “bersetubuh”.
b. Ibn Mas’ud, Ibn Umar, al-Nakha’i dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa
yang dimaksud adalah “bersentuhan kulit” (baik dalam bentuk
persetubuhan maupun dalam bentuk yang lainnya).
Dalam kaitan ini al-Razi berkomentar yang dikutip oleh Hasanuddin,
bahwa pendapat terakhir lebih kuat, karena kata al-lums dalam qiraat
‫َول ََم َسَََتَم ا َلن' َاسَ َََ(ء‬
َ َ‫)ا‬, makna hakikinya adalah “menyentuh dengan tangan”.

Sementara itu, kata al-mulamasat َ َ َ ‫َ)ال‬dalamَqiraatَ‫َ(ء‬


‫َم‬ ََ َ‫َ َسََتََمَ َالن' َاس‬
‫)َاَ ََوا َلََم‬
‫سة‬
(َ ََ ‫ََاَلَََم‬

makna hakikinya adalah “saling menyentuh”, dan bukan bersetubuh.


Dari uraian diatas bahwa perbedaan qiraat diatas hanya berpengaruh
terhadap cara istinbath hukum dimana menurut sebagian ulama’, versi
qiraat َ‫ )َا ََوَل َمَ َسَََتَم ا َلن' َاس‬sedikit lebih mempertegas pendapat, yang
(
‫َء‬
ََ

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan َ‫ل َََم َسَََتَم ا َلن' َاس‬
َ ‫َوا‬
َ َ‫ َ)َا‬dalamَ ayat
‫َََ(ء‬

11
tersebut adalah al-Lums dalam arti hakikinya yaitu “bersentuhan kulit”. Hal
ini karena kata al-lums tidak sepopuler kata al-mulamasat dalam
kepemilikan arti “bersetubuh”.11
Dalam hal ini batal wudhu orang yang menyentuh atau bersentuhan
dengan sengaja anggota tubuh laki-laki dan wanita. Hal ini mengingat arti

11
Ibid., hlm. 206-209.

12
hakiki dari kata (‫ ) َََل ََم َسَت َم‬yaitu “menyentuh” dan arti hakiki dari kata (‫َ م‬
‫)َ َََالََم‬
‫َسَت‬

yaitu “bersentuhan”.
G. Pengaruh Perbedaan Qiraat dalam Istinbath Hukum
Adapun perbedan qiraat Al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat
hukum dan berpengaruh terhadap istinbath hukum, yaitu
1. Mengukuhkan atau menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati
dan di-ijma’-kan para ulama’.
2. Men-tarjih-kan hukum yang di-ikhtilaf-kan oelh para ulama’.
3. Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda.
4. Menunjukkan adanya dua ketentuan hukum yang berbeda, dalam kondisi
yang berbeda pula.
5. Menjadi hujjah bagi sementara ulama’ untuk memperkuat pendapatnya
mengenai sesuatu masalah hukum.
6. Menjelaskan suatu hukum dalam suatu ayat, yang berbeda dengan makna
menurut dhahir-nya.
7. Merupakan penjelas terhadap suatu lafadz dalam Al-Quran, yang mungkin
sulit untuk dipahami maknanya.12
Dibawah ini salah satu contoh dalam mengukuhkan atau menguatkan
ketentuan hukum yang telah disepakati dan di-ijma’-kan para ulama’,
menyangkut firman Allah berikut.
‫ََنََََََََسدَََس‬
َ ‫حد َََم‬ َ‫َََاخَََ َََتَ'ََلَا‬
„ََََ‫َو‬ َ َ‫ََََو ََا َََنكاَََََن َََرَََجَََليََ ََََوَََرََ ََكَالَ َََ˝لةََاَ ََ َواَ َََو َََله‬
‫َهَماَََال‬ َََ‫ََوَاَََََخ ف‬
َ ‫َََم ََ َرأَة َا‬ ‫َث‬
‫َََلََََك‬

“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak


meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.” (Qs.
Al-Nisa’/4: 12)
Berdasarkan ayat diatas, para ulama’ telah ber-ijma’, bahwa yang dimaksud
dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan (‫ت‬
َ ‫ )اخ او اخ‬dalam ayat

13
tersebut yaitu saudara laki-laki dan perempuan seibu saja.

12
Ibid., hlm. 247-253.

14
Ayat diatas diperkuat dengan qiraat yang lain,yaitu:
َ ََ
‫هماَ ََََسَد َََس‬ َ ‫حد‬ َ‫َََاخَََ َََتَََمَََنأََ„ََ'ََم َ'ََلَا‬
„ََََ‫َو‬ َ َ‫ََََو ََا َََنكاَََََن َََرَََجَََليَ َََوََََرََ ََكَالَ َََ˝لةََاَ ََ َواَ َََو َََله‬
َ‫ََم ال‬ ‫ََوَاَََََخ فََََََلََََك‬ َ ‫َََم ََ َرأَة َا‬ ‫َث‬
َ
َ
‫َن‬

Qira’at Syazzat diatas adalah qiraat Said ibn Abi Waqash, terdapat
tambahan (‫ )من أم‬untuk menjelaskan ayat tersebut dan mengukuhkan ketetapan
hukum.13
Dengan demikian, qiraat Sa’ad ibn Abi Waqash tersebut dapat memperkuat
dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah di-ijma’-kan para ulama’
sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
H. Urgensi Mempelajari Qiraat
Menurut Syekh Manna’ Al-Qaththan dalam kitab Mabahits fi ‘Ulumil
Qur’an mempelajari ilmu qiraat mengandung banyak faedah sebagai berikut.
1. Dapat mengetahui betapa terjaganya dan terpeliharanya Kitab Allah dari
perubahan dan penyimpangan.
2. Dapat mempermudah dalam membaca Al-Qur’an.
3. Dapat mengetahui bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan
makna.
4. Penjelasan terhadap sesuatu yang kemungkinan masih global dalam qiraat
yang lain.14
Dengan demikian mempelajari qiraat sangatlah penting, terutama dalam
memudahkan untuk membaca Al-Qur’an dan juga dapat mengetahui keragaman
bacaan Al-Qur’an.

13
Ibid., hlm. 248.
15
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, (Riyadh: Mansyurat al-Ashri al- Hadits,
14

1973), hlm. 180.

16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Qiraat adalah perbedaan cara pengucapan lafadz, metode dan riwayat Al-
Qur’an yang disandarkan oleh tujuh imam qurra. Syarat qiraah shahih yaitu harus
sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sesuai dengan rasm utsmani, dan memiliki sanad
shahih. Macam-macam tingkatan qiraat yaitu mutawatir, masyhur, ahad, syadz,
maudhu’ dan mudraj. Tokoh qiraat sab’ah ada tujuh yaitu Ibnu ‘Amir, Ibn Katsir,
‘Ashim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’ dan al-Kisa’i.
Timbulnya perbedaan qiraat disebabkan karena perbedaan qiraat dan taqrir
Nabi Muhammad terhadap berbagai qiraat, berbedanya qiraat yang diturunkan
Allah SWT, adanya perbedaan lahjah atau dialek bahasa. Mempelajari perbedaan
qiraat sangatlah penting dan sangat berpengaruh terhadap pengambilan istinbath
hukum dari Al-Qur’an.

17
DAFTAR PUSTAKA
AF, Hasanuddin. Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum
Dalam Al-Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1995.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terjemahan
Rosihon Anwar. Bandung: CV Pustaka Setia. 1983.
Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an. Riyadh: Mansyurat al-Ashri
al-Hadits. 1973.
Ash-Shaabuuniy, Muhammad Ali. Studi Ilmu Al-Qur’an. Terjemahan Aminuddin.
Bandung: CV Pustaka Setia. 1991.
Faizah, Nur. Sejarah Al-Qur’an. Jakarta Barat: CV Arta Rivera. 2008.
Munawwir, A W. Kamus Al-Munawwir Indonesia-Arab Terlengkap. Surabaya:
Pustaka Progressif. 2007.

18

Anda mungkin juga menyukai