Anda di halaman 1dari 3

Penatalaksanaan Dermatitis Kontak Iritan (DKI) pada Wanita dengan Riwayat Terpapar Abu Vulkanik

Dibuat oleh: Merita Arini,Modifikasi terakhir pada Wed 10 of Aug, 2011 [20:37] ABSTRAK DKI merupakan reaksi inflamasi lokal yang bersifat non-imunologik akibat substansi iritan yang berkontak dengan kulit dan menimbulkan kerusakan kulit secara langsung tanpa melalui proses sensitisasi. Berdasarkan anamnesis di mana di dapatkan riwayat kontak dengan abu vulkanik serta dan pemeriksaan fisik UKK khas DKI maka pada pasien ini ditegakkan diagnosis DKI. Pasien diterapi dengan antiinflamasi steroid oral (Methylprednisolone 4mg/ 12 jam), steroid & profilaksi infeksi sekunder topikal (Bethasone cr 2 dd ue), antihistamin (Cetirizin 10 mg/ 12jam p.o), dan cimetidin 2x 1 tab (profilaksi erosi lambung o.k. steroid). Keyword: abu vulkanik, dermatitis kontak iritan

KASUS Pasien wanita 32 tahun, datang ke poli KK dengan keluhan utama gatal pada lengan & tungkai. Keluhan gatal & kemerahan pada punggung lengan & tungkai kanan kirinya dirasakan setelah terkena hujan abu (sejak 1 bulan yang lalu). Awalnya pada area tsb mruntus-mruntus gatal yang kemudian seolah mengelupas tanpa digaruk. Rasa gatal timbul sewaktu-waktu/ tiap saat. Riw. berobat ke mendapat salep myconazole & obat minum, tapi belum membaik. RPD & RPK: Riw. penyakit serupa, atopi disangkal. Riw. DM disangkal, Riw. alergi disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan UKK berupa plak eritem dengan ekskoriasi & skuama tipis di tepi lesi yang berbatas tegas di medial punggung lengan hingga punggung tangan kanan & kiri, serta tungkai bawah hingga dorsal pedis kanan & kiri. DIAGNOSIS Dermatitis Kontak Iritan (DKI) TERAPI Pasien mendapat terapi antiinflamasi Metilprednisolone 4 mg/ 12 jam p.o., antihistamin Cetirizin 10 mg/ 12 jam p.o., profilaksis ulkus gaster o.k. steroid Cimetidin 2 x 1 tab, krim steroid+antibiotik Bethasone 2 dd ue. Pasien diedukasi untuk menghindari zat iritan; menghidari zat-zat yang bersifat iritan seperti sabun dengan TCC/ irgasan, dll; menjaga kulit tetap lembab; & jangan menggaruk.

PEMBAHASAN DKI adalah reaksi inflamasi kulit lokal non-imunologik akibat substansi iritan yg berkontak dg kulit yg menimbulkan kerusakan kulit langsung tanpa melalui proses sensitisasi (Sularsito & Djuanda, 2005). Adapun iritan adalah agen non-infektif bersifat fisik maupun kimia yg memiliki kemampuan menyebabkan kerusakan sel jika diaplikasikan pada kulit dlm waktu & konsentrasi yg cukup (HSE, 2004). Patogenesisnya meliputi disrupsi sawar kulit (stratum korneum) o.k. paparan iritan perubahan seluler epidermis terutama pada keratinosit pelepasan mediator inflamasi dermatitis (Hogan, 2009). Berdasarkan paparannya, DKI dibagi menjadi akut & kronis. Abu vulkanik dikenal mengandung berbagai macam zat seperti kromium, nikel, berillyum, dll yang dapat menyebabkan sensitisasi menjadi berbagai macam tipe alergi maupun iritasi karena adanya sulfur, melalui terjadinya mikrotrauma, erosi, terbakar, dll (ODHS, no year; Quernheim, 2005; Assem & Zhu, 2007). Penegakkan diagnosis lebih melalui pemeriksaan terhadap manifestasi klinis yang digali melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, dibandingkan menggunakan pemeriksaan penunjang. Anamnesis terhadap RPS, RPD, riw. Alergi, RPK, faktor pencetus/ predisposisi; pemeriksaan fisik dengan kriteria Dx primer (mayor) DKI (makula eritema, hiperkeratosis, fisur lebih menonjol drpd vesikulasi; nampak lapisan seperti kaca (glazed), parched, atau berskuama pada epidermis; proses penyembuhan dimulai tepat setelah penghentian paparan agen iritan; tes patch [-]) dan kriteria minor DKI (dermatitis dengan sirkumskrip tajam, bukti adanya pengaruh gravitasi seperti dripping effect, kecenderungan penyebaran/ perluasan lesi lebih rendah pada DKI daripada DKA; perubahan morfologik perbedaan kecil pada konsentrasi & waktu kontak yang menyebabkan luasnya kerusakan kulit) (Hogan, 2009). Diagnosis banding DKI pada pasien ini meliputi dermatitis kontak alergi (DKA), eritroderma psoriatika, dan infeksi tinea superfisialis. DKA disingkirkan dari UKK-nya, yaitu adanya kecenderungan batas yang tegas tanpa kecenderungan untuk menyebar/ meluas. Eritroderma psoriatika disingkirkan dari tidak adanya riawayat penyakit kulit sebelumnya, serta UKK berupa plak yang relatif lebih tipis. Infeksi Tinea superfisialis disingkirkan dari UKK-nya. Di mana pada infeksi Tinea superfisialis biasanya didapatkan makula hiperpigmentasi dengan batas tegas, aktif di tepi, serta kesan central healing, adapun pada pasien ini didapatkan plak eritem luas yang memiliki kesan warna lesi homogen. Prinsip utama terapi adalah menghindari/ menghentikan paparan serta mencegah timbulnya faktor-faktor yang mempermudah terjadinya DKI, mengatasi reaksi inflamasi/ kerusakan kulit yang timbul berdasarkan berat dan luasnya penyakit, ditambah terapi simptomatik, serta profilaksi terhadap infeksi sekunder/ komplikasi lain bila diperlukan. Prognosis DKI umumnya baik, tergantung pada faktor-faktor pencetus dan predisposisi serta terapi yang diberikan. Komplikasi berat jarang timbul. KESIMPULAN DKI merupakan reaksi inflamasi lokal yang bersifat non-imunologik akibat substansi iritan yang berkontak dengan kulit dan menimbulkan kerusakan kulit secara langsung tanpa melalui proses sensitisasi. Berdasarkan anamnesis di mana di dapatkan riwayat kontak dengan abu vulkanik serta dan pemeriksaan fisik UKK khas DKI maka pada pasien ini ditegakkan diagnosis DKI.

Pasien diterapi dengan antiinflamasi steroid oral (Methylprednisolone 4mg/ 12 jam), steroid & profilaksi infeksi sekunder topikal (Bethasone cr 2 dd ue), antihistamin (Cetirizin 10 mg/ 12jam p.o), dan cimetidin 2x1 (profilaksis erosi lambung o.k. steroid). Diagnosis & penatalaksanaan telah sesuai teori dalam tinjauan pustaka. REFERENSI Ale, Iris S.; Maibach, Howard A. 2010. Diagnostic Approach in Allergic and Irritant Contact Dermatitis. Expert Rev Clin Immunol. 2010;6(2):291-310. Health and Safety Enquiries (HSE). 2004. Medical Aspects of Occupational Skin Disease; Guidance Note MS 24 (Second Edition). Diakses dari www.hse.gov.uk pada 7 Desember 2010. Hogan, Daniel J. 2009. Contact Dermatitis, Irritant. Diakses dari www.emedicine.medscape.com pada 7 Desember 2009. Partogi, Donna. 2008. Dermatitis Kontak Iritan. Diakses dari www.repository.usu.ac.id pada 7 Desember 2010. Sularsito, S.A.; Djuanda, S. 2005. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Keempat. Djuanda, A. et al [Eds.]. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

PENULIS Merita Arini, Stase Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin, RSUD Panembahan Senopati, Kab. Bantul, DIY

Anda mungkin juga menyukai