Anda di halaman 1dari 20

ISSN 2088-3153

TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN


MENSINERGIKAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Volume 1 Nomor 12 Desember 2011 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

SINERGI PELAKSANAAN APBN 2012


Observasi Kebijakan Fiskal Tahun 2012 Mitigasi Dampak Krisis Global Dalam APBN 2012

TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN


KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN VOLUME 1 NOMOR 12 - DESEMBER 2011 DAFTAR ISI
Editorial Perkembangan Ekonomi Makro
Perkembangan Ekspor Impor Perkembangan Inflasi Fitch Rating Indonesia Investment Grade 2 3 4 1 REDAKSI Pembina
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

Pengarah
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan

Perkembangan Ekonomi Internasional


Laporan Sidang PBB Komisi Ekonomi dan Sosial di Asia Pacific (United Nations and Social Commision for Asia and Pacific) Dampak Banjir Thailand 5 6

Koordinator
Bobby H. Rafinus

Perkembangan APBN
Observasi Kebijakan Fiskal Tahun 2012 Mitigasi Dampak Krisis Global dalam APBN 2012 7 8

Kontributor Tetap
Edi Prio Pambudi M. Edy Yusuf Mamay Sukaesih Tri Kurnia Ayu Rista Amallia Windy Pradipta Arin Puspa Nugrahani Ruth Nikijuluw Akbar Suwardi Ahmad Fikri Aulia Alexcius Winang Andi Komite Kebijakan KUR

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi


Sekilas Tentang Potensi dan Tantangan Pembangunan Sumber Daya Mineral Implementasi Indonesia National Single Window Laporan Bank Dunia: East Asia and Pacific Economic Update: Navigating Turbulence, Sustaining Growth Harapan dan Permasalahan dari Sosialisasi KUR TKI Tahun 2011 9 10 11 12

Perkembangan Sektor Keuangan

Liputan LKM: Lembaga Perkreditan Desa Bali

14

Perkembangan Penyaluran KUR

Kontributor Edisi Ini 15 16


A. Heri Susanto Kedeputian ESDM dan Kehutanan Kedeputian Industri dan Perdagangan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id

Realisasi Penyaluran KUR per 30 Nopember 2011 Evaluasi Realisasi APBD Triwulan II-2011

Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah

Daftar Istilah

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan diterbitkan dalam rangka meningkatkan pemahaman pimpinan daerah terhadap perkembangan indikator ekonomi makro dan APBN, sebagai salah satu Direktif Presiden pada retreat di Bogor, Agustus 2010

EDITORIAL
Selamat! Setelah 14 tahun berjuang memperbaiki iklim investasi, Indonesia akhirnya memperoleh kembali posisi investment grade untuk pinjaman dalam mata uang asing maupun lokal dari pemeringkat Fitch pada tanggal 15 Desember 2011. Posisi ini diraih bersamaan dengan pengumuman penurunan rating Perancis dan beberapa bank terkemuka Amerika Serikat serta kemungkinan merosotnya peringkat beberapa negara Eropa lain. Pemberian peringkat seyogyanya merupakan sasaran antara, bukan tujuan, dari upaya peningkatan investasi di sektor riil yang penting bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Sisa waktu menuju 2015 semakin pendek untuk menunjukan kesanggupan mencapai Millenium Development Goals dan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN. Keduanya menjadi tolok ukur penting kinerja Indonesia dalam percaturan ekonomi internasional. Penilaian pemeringkat Fitch dan lembaga pemeringkat lain terhadap kinerja ekonomi suatu negara sejatinya berpangkal dari dua indikator ekonomi, yaitu defisit anggaran negara dan rasio utang terhadap PDB. Kedua indikator ini menunjukkan kondisi perekonomian yang sehat apabila rasio utang terhadap PDB kurang dari 60% dan defisit anggaran tidak melebihi -3% GDP. Bagi negara maju yang memiliki cadangan devisa besar, rasio utang terhadap PDB dapat ditoleransi menjadi maksimal 90%. Kondisi beberapa negara maju tersebut mengajarkan pentingnya Indonesia mengendalikan pinjaman luar negeri melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) meskipun peringkat investasi membaik. Peran pembiayaan defisit APBN melalui penerbitan SBN semakin meningkat. Defisit APBN-P 2011 yang mencapai Rp. 150,8 triliun dibiayai dari penerbitan SBN sebesar Rp. 126,6 triliun. Kepemilikan SBN domestik oleh pihak asing mencapai sekitar 31% pada akhir September 2011. Hal yang melegakan adalah sekitar 65% SBN yang dimiliki asing bertenor jangka panjang (lebih dari 5 tahun). Meskipun hal tersebut menunjukkan tingginya kepercayaan asing terhadap prospek ekonomi Indonesia , kiranya peran investor domestik perlu ditingkatkan dalam penyediaan dana jangka panjang. Kedisiplinan menjaga defisit anggaran bukanlah penghambat akselerasi pertumbuhan. Komposisi anggaran yang lebih memberikan ruang bagi belanja modal kiranya menjadi kunci. Penggunaan anggaran yang condong kepada belanja pegawai dan operasional hanya meningkatkan permintaan domestik. Penguatan investasi sebagai sumber pertumbuhan yang terjadi selama dua tahun terakhir ini perlu terus dijaga agar pertumbuhan ekonomi mencapai 7% pada tahun 2014. Untuk itu sinergi anggaran belanja APBN 2012 dan APBD 2012 yang mendorong pembangunan infrastruktur sudah merupakan keharusan. Mari mulai laksanakan MP3EI di tahun 2012, jangan tunda ! (BHR)

Indikator Ekonomi
Indikator
Inflasi (% yoy) Indeks Harga Saham Gabungan Harga Minyak ICP (USD per barel) Indeks Harga Perdagangan Besar Cadangan Devisa* (USD milyar) Nilai Tukar Petani

Nov 2011
4,15% 3.715,08 112,94 184,94
$114,503

Okt 2011
4,42% 3.569,78 109,25 184,64 $113,96 105,51 8835

Indikator
Utang Pemerintah* (USD milyar) Ekspor (USD miliar) Impor (USD miliar) Wisatawan Mancanegara (ribu orang) Suku Bunga Kredit Modal Kerja Bank (%) Belanja Negara APBN 2012 (Rp. Tr)* Pendapatan Negara dan Hibah APBN 2012 (Rp. Tr)* PDB Nominal Tw III-2011 (Rp. Triliun) Defisit NPI Tw III-2011 (USD miliar)

Okt 2011
200,12

Sept 2011
198,90

$16,80 $15,65
656,0 12,36 1.435,4 1.311,4 1.923,6 3,96

$17,54 $15,17
650,1 12,39

Nilai Tukar (Rp/USD) Pertumbuhan Ekonomi Tw.III-2011 (%) Tingkat Pengangguran (Aug. 2011) (%) *kumulatif, NPI : Neraca Pembayaran Indonesia,

105,64 9.170
6,50 6,56

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

Perkembangan Ekonomi Makro

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR


Neraca perdagangan Indonesia Oktober 2011 mencapai nilai terendah sepanjang tahun 2011 yaitu US$ 1,2 miliar. Selama periode Januari-Oktober 2011 surplus perdagangan Indonesia mencapai US$ 23,3 miliar dengan surplus nonmigas sebesar US$ 22,6 miliar dan surplus migas sebesar US$0,7 miliar. Kinerja ekspor Indonesia hingga Oktober 2011 masih menguat. Kurun waktu Januari-Oktober 2011 ekspor mencapai US$ 169 miliar atau tumbuh 34,9% (yoy) yang terdiri dari ekspor nonmigas sebesar 30,4% (yoy) dan migas sebesar 56,2% (yoy). Namun demikian, secara bulanan, total ekspor kembali turun sebesar 4,2% (mtm) setelah pada bulan sebelumnya turun 4,5% (mtm). Penurunan ekspor terjadi pada komoditas migas sebesar 26,3% (mtm) dengan penurunan terbesar terjadi pada komoditas gas sebesar 29,2% (mtm). Barang-barang industri mendominasi ekspor nonmigas Indonesia selama periode Januari-Oktober 2011. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor pertambangan sebesar 36,1% (yoy) diikuti oleh industri 30,3% (yoy) dan pertanian 2,6% (yoy). Sektor pertambangan menunjukkan kinerja yang baik dilihat dari pertumbuhan ekspor hingga Oktober 2011 yang lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sebaliknya, pertumbuhan ekspor sektor pertanian jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2010 (grafik 1). Berdasarkan jenis komoditas, nilai ekspor 10 komoditas utama nonmigas mengalami peningkatan. Komoditas yang mengalami pertumbuhan nilai ekspor terbesar adalah karet dan barang dari karet sebesar 66,6% (yoy) untuk periode Januari-Oktober 2011. Secara bulanan, peningkatan ekspor terbesar Oktober 2011 terjadi pada mesin-mesin atau pesawat mekanik yaitu 65,4% (mtm). Dilihat dari nilai ekspor, nilai ekspor terbesar komoditas nonmigas antara lain bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan/nabati, serta karet dan barang dari karet. Impor selama Januari-Oktober 2011 telah mencapai US$145,7 miliar atau naik 33% (yoy). Kenaikan tertinggi adalah impor migas sebesar 54% (yoy) diikuti impor nonmigas sebesar 27,8% (yoy). Bahan baku/penolong masih mendominasi impor Indonesia (grafik 2). Selama Januari-Oktober 2011, impor bahan baku/penolong mencapai US$108,2 miliar atau naik 36,1% (yoy). Impor barang modal dan konsumsi juga mengalami peningkatan masing-masing 19,5% dan 39,8% (yoy). Namun demikian, bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2010, kenaikan impor ketiga barang tersebut pada tahun 2011 ternyata lebih rendah. Pertumbuhan terendah terjadi pada impor barang modal. Selama Januari-Oktober 2011, Cina menjadi negara utama tujuan ekspor nonmigas dengan pangsa pasar 12,7% dan mengalami peningkatan 61,4% (yoy). Jepang

dan Amerika masih menjadi negara tujuan ekspor nonmigas dengan pangsa pasar 11,3% dan 9,8%. Diversifikasi pasar tujuan ekspor nonmigas Indonesia terus berlangsung. Ekspor nonmigas Indonesia ke India berada pada posisi keempat dengan pangsa pasar 8,28% dan meningkat 44% (yoy). Meskipun bukan merupakan negara utama tujuan ekspor, selama JanuariOktober 2011, ekspor ke Taiwan dan Australia meningkat cukup signifikan masing-masing 33,4% (yoy) dan 40,1% (yoy). Dari sisi impor, telah terjadi pergeseran negara asal impor non migas Indonesia dimana terjadi lonjakan impor dari India 65,4%, Perancis 45,9%, dan Thailand 42,8% (yoy). Sementara China tetap merupakan negara asal impor utama dengan pangsa sebesar 18,5% yang meningkat 30,2% (yoy). Dalam menghadapi krisis keuangan global, salah satu upaya pokok yang harus dimasukkan dalam garis besar kebijakan perekonomian yaitu meningkatkan daya saing ekspor. Kementerian Perdagangan telah mempersiapkan empat pilar utama arah kebijakan perdagangan, diantaranya (1) Penguatan Pasar Dalam Negeri , salah satunya melalui menjadikan pasar domestik sebagai guaranteed market bagi produk dalam negeri (2) Menjaga pertumbuhan ekspor, melalui strategi diversifikasi pasar eskpor, optimalisasi peran perwakilan perdagangan di luar dan kemampuan komunikasi aparat (3) Stabilisasi Pasokan dan Harga Barang Pokok (4) Penguatan Organisasi. (TKA)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

Perkembangan Ekonomi Makro

PERKEMBANGAN INFLASI
Secara umum tekanan inflasi masih mengikuti tren menurun, meskipun pada November 2011 meningkat dibanding bulan sebelumnya. Inflasi IHK tercatat 0,34% (mtm) atau 4,15% (yoy), setelah bulan sebelumnya mengalami deflasi sebesar -0,12% (mtm) atau 4,42% (yoy). Setelah mengalami deflasi dalam dua bulan terakhir, kelompok volatile food mulai memberikan tekanan inflasi seiring kenaikan harga yang signifikan terutama beras dan cabai merah. Inflasi kelompok volatile food pada bulan November 2011 tercatat sebesar 0,72% (mtm) atau 4,76% (yoy). Kendati di akhir tahun produksi domestik beberapa komoditas pangan utama mengalami penurunan, pasokan komditas pangan dari impor secara umum membantu menahan tekanan harga pangan lebih lanjut. Secara spasial, inflasi bahan pangan cukup tinggi terutama terjadi di Jawa dan Jakarta. Kenaikan harga tersebut dipicu oleh produksi di beberapa daerah penghasil di Jawa yang mulai berkurang karena kondisi cuaca dan siklus musiman (memasuki musim tanam beras). Tambahan pasokan impor beras yang cukup besar ini membantu pelaksanaan kebijakan penyaluran RASKIN dan Operasi Pasar (OP) dan dapat menahan akselerasi kenaikan harga beras lebih lanjut. Kenaikan harga beras mencapai sekitar 1,1% (mtm) dengan sumbangan pada inflasi sebesar 0,06% (mtm). Dengan mempertimbangkan bahwa bobot inflasi Jawa yang cukup besar, perkembangan inflasi sub-kelompok padi-padian khususnya komoditas beras di Jawa yang cenderung lebih tinggi dan berpotensi berlanjut di bulan Desember perlu mendapat perhatian khusus. Oleh karena itulah upaya stabilisasi harga pangan perlu difokuskan di wilayah Jawa. Inflasi volatile food bulan November juga bersumber dari komoditas perishable yaitu cabai seiring musim penghujan yang mengalami penurunan produksi, sehingga memberikan sumbangan inflasi cukup tinggi Disagregasi Inflasi (0,09%, mtm). 3

sehingga memberikan sumbangan inflasi cukup tinggi (0,09%, mtm). Beberapa komoditas bumbu terutama bawang merah dan bawang putih masih terus mengalami penurunan harga, sehingga dapat menahan tekanan inflasi kelompok volatile food. Penurunan harga bawang merah dan bawang putih menyumbang deflasi masing-masing sebesar 0,01% karena pasokan yang melimpah baik dari panen di daerah sentra produksi dan tambahan pasokan impor. Penurunan harga komoditas tersebut diperkirakan semakin terbatas karena level harganya sudah cukup rendah. Tekanan inflasi inti masih cukup moderat karena ditopang oleh kondisi supply-demand domestik yang kondusif dan ekspektasi yang membaik, walaupun tekanan dari eksternal seperti harga emas yang meningkat dan nilai tukar yang sedikit terdepresiasi. Inflasi inti mencapai 0,31% (mtm) atau 4,44% (yoy), setelah bulan lalu tercatat 0,12% (mtm) atau 4,43% (yoy). Sampai saat ini, sisi penawaran komoditas inti diperkirakan masih memadai untuk merespon dinamika permintaan. Hal ini terindikasi dari kapasitas utilisasi industri manufaktur yang masih dalam level yang moderat yaitu dibawah 75%. Ekspektasi inflasi juga menunjukkan tren yang membaik seperti yang dirilis oleh Hasil Consensus Forecast November menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi tahun 2011 dan 2012 cenderung turun masing-masing turun dari 5,50% menjadi 5,40% dan dari 5,70% menjadi 5,30%. Ekspektasi inflasi yang membaik juga terlihat di pasar keuangan sebagaimana tercermin pada yield spread obligasi yang terpantau menurun. Namun, ekspektasi inflasi di sektor riil khususnya pada level pedagang masih menunjukkan adanya sedikit peningkatan. Tekanan eksternal inflasi bulan November sedikit meningkat, meskipun masih terbatas pada kenaikan harga emas. Kenaikan harga emas global sekitar 4,1% (mtm), sementara emas perhiasan domestik naik lebih tinggi mencapai 5,1% (mtm). Consensus Forecast 4

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

Resiko
Inflasi Inti, Emas Perhiasan & Inti Kecuali Emas

Perkembangan Ekonomi Makro


5

Fitch Rating: Indonesia Investment Grade


Setelah penantian panjang selama 14 tahun, ekonomi Indonesia kembali meraih peringkat layak investasi menurut penilaian Fitch. Fitch Rating menaikkan peringkat surat utang Indonesia dari BB+ menjadi BBBatau investment grade level. Kinerja perekonomian Indonesia yang tinggi dan tahan terhadap krisis menjadi alasan Fitch menaikkan peringkat, tetapi masih terdapat sejumlah permasalahan struktural yang disoroti. Eropa dan AS justru mengalami penurunan peringkat utang. Dengan kenaikan ini, Indonesia dianggap mampu untuk melunasi utang dan memberi dampak positif kepada perekonomian melalui aliran dana yang masuk ke Indonesia. Beberapa alasan peningkatan peringkat versi Fitch. Pertumbuhan PDB Indonesia melebihi proyeksi Fitch yang memperkirakan rata-rata PDB Indonesia tumbuh tidak lebih dari 6% hingga tahun 2013. Indonesia dapat mempertahankan keseimbangan eksternal dan tidak bergantung pada pendanaan eksternal jangka pendek sehingga membuat likuiditas eksternal lebih kuat. Selain itu, tren rasio utang terus turun dari 26% pada tahun 2010 menjadi 25% pada tahun 2011. Namun, kondisi struktural di Indonesia saat ini jauh di bawah rata-rata negara Investment Grade yaitu: pendapatan perkapita sebesar USD 3,600 dari rata-rata USD 9,800; penerimaan fiskal terhadap PDB 17% dari rata-rata 33%; pasar keuangan yang dangkal sehingga jika terjadi sentimen negatif membuat pasar modal kering secara cepat; infrastruktur yang belum cukup memadai untuk menunjang sektor riil; dan masalah korupsi dimana IPK masih 3 dari rata-rata 5,8. Investment Grade diperkirakan akan meningkatkan FDI sebesar 1% terhadap PDB atau sekitar USD 9 miliar. Aliran dana ini akan meningkatkan likuiditas, sehingga membuka peluang bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga. Cost of borrowing menjadi lebih rendah dan dapat dimanfaatkan sektor riil melalui pengembangan infrastruktur dengan tujuan pertumbuhan di sektor manufaktur. Selain itu, Investment Grade membuat volatilitas Rupiah lebih mudah untuk dikendalikan karena sifat capital inflow berubah dari jangka pendek menjadi spekulatif jangka panjang. (AFA)

Respon kenaikan harga domestik yang lebih besar tersebut ditengarai selain disebabkan oleh kecenderungan nilai tukar Rupiah yang melemah (1,50%, mtm) juga karena permintaan yang masih tinggi. Jika komoditas emas tidak diperhitungan, inflasi inti (kecuali emas) tercatat cukup rendah yakni 0,14% (mtm) atau secara tahunan 3,75% (yoy). Kelompok administered prices mencatat inflasi yang rendah karena tidak ada pemicu berupa kebijakan administered prices strategis. Inflasi administered prices cukup rendah, yaitu 0,15% (mtm) atau 2,83% (yoy), relatif stabil dibandingkan dengan bulan sebelumnya (0,16%, mtm dan 2,91%, yoy). Sumbangan inflasi terutama berasal dari komoditas rokok kretek dan bahan bakar rumah tangga yang masing-masing menyumbang minimal sebesar 0,01%. Sumbangan inflasi dari komoditas rokok tersebut lebih rendah dibanding rata-rata historisnya yaitu sekitar 0,03%. Mencermati perkembangan inflasi sampai dengan November yang cenderung rendah dan kemungkinan berlanjut pada Desember, maka inflasi IHK untuk keseluruhan tahun 2011 diperkirakan bisa ke bawah dari rentang sasaran inflasi 5% 1%. Pada sisi eksternal, perekonomian dunia yang melambat berdampak pada tren penurunan harga global, sehingga menurunkan tekanan imported inflation. Selain itu, tekanan inflasi yang rendah juga disebabkan oleh pasokan pangan yang memadai, pertama pasokan impor diperkirakan meningkat dan kedua, pasokan domestik meningkat terutama sub-kelompok aneka daging serta tekanan inflasi administered prices masih minimal. Namun demikian, terdapat beberapa risiko yang berpotensi meningkatkan tekanan inflasi di Desember seperti tekanan depresiasi nilai tukar Rupiah, potensi lebih buruknya cuaca yang dapat menurunkan produksi terutama bahan pangan dan menghambat arus distribusi, serta kelangkaan BBM di sejumlah daerah terutama di luar Jawa karena kuota BBM bersubsidi yang sudah habis. (Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

Perkembangan Ekonomi Internasional

LAPORAN SIDANG PBB KOMISI EKONOMI DAN SOSIAL DI ASIA PASIFIC (UNITED NATION ECONOMIC AND SOCIAL COMMISION FOR ASIA AND PACIFIC)
Awal Desember 2011, salah satu komite UNESCAP (United Nation Economic and Social Commision for Asia and Pacific), lembaga PBB yang fokus pada isu kebijakan makroekonomi, pengentasan kemiskinan dan pembangunan inklusif di kawasan Asia-Pasifik menggelar sidang 2-tahunan kedua (second session) di United Nation Conference Center (UNCC) Bangkok, Thailand. Beberapa isu krusial dibahas dalam 2 hari sidang meliputi (1) tantangan kebijakan merespon dinamika kondisi ekonomi global yang melambat dan bencana alam di kawasan Asia Tenggara, (2) kebijakan pengentasan kemiskinan dan pembangunan inklusif untuk mengatasi inflasi, (3) mempercepat pencapaian MDG di kawasan, dan (4) isu sesuai kebutuhan negara anggota seperti kawasan tak berpantai (landlocked) yang memerlukan akses logistik. Sidang dihadiri oleh 43 perwakilan negara dan berbagai lembaga internasional seperti IMF, ADB, WorldBank, dan sebagainya menekankan spirit korporasi dalam mengadopsi respon kebijakan dan pandangan dari negara-negara anggota yang akan diteruskan pada sidang-sidang PBB level di atasnya tahun depan. Sidang pun menyepakati 7 bahasan termasuk agenda sidang ketiga yang akan digelar 2 tahun mendatang. Dalam sidang tersebut, tim delegasi Indonesia yang diwakili oleh Kementeriaan Koordinator Bidang Perekonomian dan perwakilan tetap pada UNESCAP dari Kantor Kedubes RI di Bangkok terpilih sebagai vice-chair. Intervensi pemerintah Indonesia dalam sidang kedua UNESCAP ada dua hal. Pertama, memperluas cakupan pembangunan sektor pertanian yang disepakati menjadi salah satu program utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik melalui keseimbangan antar daerah. Indonesia mengusulkan pembangunan sektor pertanian mencakup pula perikanan, hortikultura dan peternakan karena ketiga hal tersebut termasuk sektor menjadi mata pencaharian negara-negara kawasan tropis dan kepulauan seperti di Asia-Pasifik. Nelayan, petani dan peternak Indonesia juga perlu mendapat perhatian karena sumber kemiskinan seringkali terjadi di kawasan tersebut karena berlaku pola kerja musiman. Seperti misalnya gangguan cuaca ekstrim yang menghalangi nelayan melaut menghambat kesempatan memperoleh penghasilan, sehingga perlu memberikan tambahan ketrampilan. Intervensi kedua dari Indonesia adalah menjadikan isu pekerja migran sebagai agenda pembahasan di sidang ketiga UNESCAP tahun 2013. Alasan dari intervensi ini adalah menarik perhatian negara anggota yang memperoleh manfaat dari pekerja migran secara mutualisme

memperoleh manfaat dari pekerja migran secara mutualisme. Pekerja migran bagi negara pengirim memberikan manfaat remitansi dan mengentaskan kemiskinan secara mutualisme, sedangkan bagi negara penerima memperoleh manfaat tenaga kerja untuk turut menggerakan perekonomian. Dengan masuknya pembahasan pekerja migran di tingkat PBB diharapkan perlindungan hak-hak bagi pekerja migran dapat diperjuangkan secara lebih intensif. Intervensi Indonesia terkait pekerja migran ini mendapat tentangan dari delegasi India karena dianggap sebagi isu yang tidak terlalu relevan dan penting bagi semua negara anggota UNESCAP. Sementara dukungan mengalir dari Iran dan Pakistan. China pun turut memberikan jalan tengah agar isu pekerja migran tetap dapat diakomodasi dalam agenda pembahasan sidang UNESCAP. Secara keseluruhan, sidang kedua UNESCAP sepakat untuk memberi fasilitas pada koordinasi antar wilayah dalam rangka menciptakan keseimbangan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan permintaan domestik dan daya tahan terhadap gejolak ekonomi baik akibat krisis di kawasan utara maupun bencana alam di kawasan selatan. Dampak banjir di Thailand dan Phillippine yang signifikan pada perlambatan ekonomi pun diungkap dalam sidang memancing empati dari semua negara anggota. Di tengah sidang kedua, UNESCAP mengundang ekonom AS pemenang Nobel 1999, Prof. Robert Mundell yang terkenal dengan karya keseimbangan agregat dan observasi mendalam pada dinamika nilai tukar. Prof. Mundell menjelaskan dalam sesi distinguished lecture bahwa dinamika ekonomi telah mengubah polarisasi mata uang yang menjadi rujukan nilai tukar. Nilai emas di pasar yang berlipat dari nilai rujukan untuk nilai tukar memicu gejolak ekonomi dan saat ini kekuatan ekonomi Asia seperti China akan menambah polarisasi nilai tukar dunia, tidak hanya Dollar dan Euro tetapi juga Renmimbi. (EP2)

DAMPAK BANJIR THAILAND


Sejak Juli 2011, Thailand menghadapi banjir terbesar selama 70 tahun terakhir. Angin topan dan hujan yang terus menerus dalam triwulan III dan IV-2011 telah menyebabkan banjir tidak hanya melanda sebagian besar kawasan di Thailand tetapi juga negara ASEAN lainnya seperti Kamboja, Laos, Filipina dan Vietnam. Namun, volume dan dampak banjir terbesar dirasakan oleh Thailand. Temuan awal kerugian yang dialami Thailand akibat banjir US $ 45,7 miliar. Sekitar 90% kerugian dialami oleh sektor swasta.

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

Perkembangan Ekonomi Internasional


UNESCAP memperkirakan banjir Thailand menyebabkan penurunan PDB 2011 sekitar -1,3%, penurunan keseimbangan transfer berjalan -0,8% terhadap PDB dan mendorong inflasi 0,1% pada negara tersebut. Sedangkan Bank Dunia memperkirakan penurunan PDB 2011 sebesar -1,1%. Selain itu, Bank Dunia juga memperkirakan proses pemulihan membutuhkan waktu sekitar 2 tahun. Sehingga, pemulihan paska banjir pada tahun 2012 dan 2013 akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi masing-masing 0,2% dan 0,9%. Tabel 1. Proyeksi Dampak Ekonomi dari Banjir 2011 Negara Thailand Laos Filipina Myanmar Kamboja Vietnam PDB -1,3 -0,3 -0,3 -0,3 -0,2 TS Transfer Berjalan (% PDB) -0,8 Tidak signifikan (TS) TS TS -0,1 TS Inflasi 0,1 0,3 0,2 TS 0,2 0,1 rumah tangga dan biaya kebersihan dan perbaikan banjir. Kerugian material yang dirasakan rumah tangga diperkirakan sekitar US $2,7 miliar. Banjir juga mempengaruhi iklim investasi Thailand. Selama ini, Thailand merupakan salah satu negara dengan iklim investasi yang menjanjikan. Berdasarkan Survei Doing Business 2012, Thailand menempati posisi 17 dari 183 negara. Namun, kerusakan akibat banjir khususnya kerusakan infrastruktur dapat mengganggu iklim investasi. Selain itu, risiko banjir di masa depan dapat menurunkan minat investasi terutama investasi asing. Luapan banjir tampak mulai surut sejak November 2011. Namun proses rekonstruksi dari kerusakan banjir baru dimulai. Bank Dunia memperkirakan proses rekonstruksi Thailand membutuhkan waktu sekitar 36 bulan. Bank Dunia juga memperkirakan sektor swasta dan pemerintah membutuhkan sekitar THB 798 miliar mencakup konsumsi pemerintah sebesar THB 389 miliar selama tahun fiskal 2012-2014. Sehingga diperkirakan pada tahun fiskal 2013, konsumsi pemerintah untuk rekonstruksi banjir sekitar 8,8% dari total pendapatan pemerintah. Besarnya biaya rekonstruksi tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan ketahanan terhadap risiko banjir di masa depan. Sebagai upaya pemulihan ekonomi paska banjir, pada akhir bulan November 2011 Bank Sentral Thailand memangkas suku bunga. Penurunan suku bunga sebanyak 25 basis poin menjadi 3,25%. Menurut Bank Sentral Thailand, penurunan suku bunga merupakan upaya mengembalikan kepercayaan pelaku usaha. Selain itu, penurunan suku bunga juga bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kredit. Sebagai upaya membantu pemulihan ekonomi Thailand, Bank Dunia dan GFDRR (Global Facility for Disaster Reduction and Recovery) bekerjasama dengan pihak pemerintah dan swasta di Thailand melakukan proses rekonstruksi sejak 25 November 2011. Upaya pemulihan jangka pendek diantaranya berupa transfer uang tunai kepada pihak yang paling membutuhkan seperti petani serta peningkatan akses kredit bagi sektor manufaktur. Sedangkan dalam jangka panjang, rekonstruksi mencakup pembangunan infrastruktur termasuk perencanaan kota, sistem antisipasi banjir dan sistem peringatan awal bencana banjir. (RA)

Sumber: Proyeksi ESCAP

Banjir yang melanda Thailand diantaranya mempengaruhi sektor pertanian, manufaktur, pariwisata, rumah tangga dan investasi. Asia Tenggara terutama Thailand merupakan produsen beras terbesar yaitu 20% produksi global dan 60% ekspor global. Banjir di kawasan tersebut diperkirakan menyebabkan penurunan produksi beras regional 7% dan global 1,4%. Bank Dunia memperkirakan sektor pertanian Thailand mengalami kerugian sekitar US $ 1,3 miliar. Sektor manufaktur merupakan sektor yang mengalami kerugian terbesar. Bank Dunia memperkirakan kerugian sektor ini sebesar US $ 32 miliar. Hal ini disebabkan banjir yang melanda kawasan Timur Thailand, Provinsi Rayong tepatnya kawasan industri Ayutthaya. Banjir Thailand diantaranya diperkirakan mempengaruhi harga komputer dan otomotif. Karena Thailand merupakan negara produser hard disk drive terbesar kedua di dunia dan memproduksi sekitar 1,8 juta unit kendaraan dan auto parts per tahun. Dampak banjir juga menimpa sektor pariwisata karena belum teratasi sepenuhnya pada triwulan IV yang merupakan puncak kunjungan wisatawan. Selain itu, banjir juga melanda kawasan tujuan pariwisata utama seperti Bangkok dan Ayutthaya. Jumlah wisatawan pada triwulan IV 2011 diperkirakan turun sebesar 15-20%. Kerugian sektor pariwisata Thailand menurut perkirakan Bank Dunia sekitar US $ 3 miliar. Biaya banjir juga dirasakan oleh unit rumah tangga. Selain korban jiwa dan luka, kerugian material juga tidak sedikit. Kerugian material mencakup biaya kerusakan perabot rumah tangga dan biaya kebersihan

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

Perkembangan APBN

OBSERVASI KEBIJAKAN FISKAL TAHUN 2012


Pada dasarnya, sama seperti kebijakan lainnya, kebijakan fiskal juga bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam pengimplementasiannya, kebijakan fiskal juga berfungsi sebagai stabilisator dengan keputusannya apakah akan menerapkan kebijakan yang ekspansif atau kontraktif. Di tengah ancaman timbulnya dampak rambatan krisis global, maka kebijakan fiskal di tahun 2012 akan cenderung bersifat ekspansif dengan cara mengoptimalkan belanja sehingga dapat menstimulus permintaan agregat. Arah APBN 2012 Arah kebijakan fiskal yang dicanangkan oleh Kementerian Keuangan untuk tahun 2012 adalah memberikan dorongan terhadap perekonomian seraya memelihara stabilitas ekonomi, dengan tetap menjaga keberlangsungan fiskal. Visi ini kemudian didukung dengan strategi utama yaitu meningkatkan kualitas belanja negara dengan cara mendorong efisiensi belanja pemerintah pusat serta transfer ke daerah dan dengan pengendalian defisit APBN yang ditargetkan akan berada pada kisaran 1,5% dari PDB. Strategi lainnya yang juga dilakukan adalah mengoptimalkan pendapatan negara dengan tetap mempertimbangkan iklim dunia usaha serta mengusahakan pengurangan utang secara bertahap dan mencari sumber pembiayaan yang berisiko rendah. Di sisi penerimaan, pemerintah menargetkan akan mendapatkan penerimaan sebesar Rp. 1.300 triliun dimana 80%-nya (Rp. 1.302) berasal dari penerimaan perpajakan. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah merencanakan sejumlah kebijakan perpajakan diantaranya melakukan esktensifikasi perpajakan (melalui sensus pajak nasional) dan intensifikasi melalui law enforcement. Untuk sisi belanja negara, pada tahun 2012 belanja negara meningkat sekitar 10% (Rp. 114,6 triliun) dengan proporsi belanja pusat sebesar 67,2% dan transfer daerah sebesar 32,8%. Kegiatan belanja secara umum akan diarahkan kepada pembangunan infrastruktur untuk mendukung program MP3EI, peningkatan kemampuan pertahanan serta perluasan program perlindungan sosial. Kenaikan belanja secara total ini pun diikuti pos belanja pemerintah pusat, belanja kementerian/lembaga serta belanja modal yang naik cukup signifikan yaitu sebanyak Rp. 28,2 triliun yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, belanja subsidi di tahun depan direncanakan akan menurun dari angka Rp. 237 triliun menjadi Rp. 208,9 triliun. Penurunan alokasi belanja subsidi ini dicapai melalui rencana pembatasan konsumsi BBM bersubsidi serta peningkatan pasokan gas dan

pemakaian batubara sebagai input pembangkit listrik. Sedangkan untuk pos transfer ke daerah juga mengalami peningkatan, khususnya untuk Dana Alokasi Khusus yang sebelumnya hanya 3,2% dari total transfer ke daerah menjadi 5,6% di tahun 2012.Selanjutnya, dalam rangka membiayai defisit anggaran, kebijakan umum pembiayaan yang akan ditempuh ialah mengutamakan pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri, mencari sumber pembiayaan yang berisiko rendah, mengurangi rasio utang terhadap PDB, serta memanfaatkan utang untuk kegiatan produktif. Tantangan serta Upaya Mitigasi Krisis Salah satu permasalahan fiskal yang dihadapi Indonesia ialah daya serap anggaran yang masih belum optimal, yaitu berkisar rata rata hanya 87,7% untuk belanja kementerian/lembaga. Oleh sebab itu, berbagai faktor penyebab seperti masalah internal kementerian serta rumitnya mekanisme pengadaan akan segera diatasi.
Tabel 2. Ringkasan Postur APBN 2012
2011 2012
RAPBN APBN Selisih thd RAPBN Selisih thd APBN-P 2011

URAIAN
A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH
I. PENERIMAAN DALAM NEGERI 1. PENERIMAAN PERPAJAKAN Tax Ratio (% thd PDB IHK) 2. PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK II. PENERIMAAN HIBAH

APBN-P

1.169,9 1.165,3 878,7 12,2 286,6 4,7 1.320,8 908,2 461,5 446,7 0,0 0,0 0,0 412,5 347,5 96,8 225,5 65,0 (150,8) (2,1) 150,8 153,6 (2,8) 56,2 19,2 (47,2)

1.292,9 1.292,1 1.019,3 12,55 272,7 0,8 1.418,5 954,1 476,6 477,5 0,0 0,0 0,0 464,4 394,1 98,5 269,5 70,2 (125,6) (1,55) 125,6 125,9 (0,3) 56,0 16,9 (47,3)

1.311,4 1.310,6 1.032,6 12,72 278,0 0,8 1.435,4 965,0 508,4 456,6 12,5 9,1 3,4 470,4 400,0 100,1 273,8 70,4 (124,0) (1,53) 124,0 125,9 (1,9) 54,3 15,3 (47,3)

18,5 18,5 13,2 0,16 5,3 0,0 16,9 10,9 31,7 (20,9) 12,5 9,1 3,4 6,0 5,8 1,6 4,3 0,2 1,6 0,02 (1,6) 0,0 (1,6) (1,7) (1,6) 0,0

141,5 145,3 153,9 0,56 (8,6) (3,8) 114,7 56,8 46,9 9,9 12,5 9,1 3,4 57,9 52,4 3,3 48,3 5,5 26,8 0,56 (26,8) (27,7) 0,9 (1,9) (3,9) (0,0)

B. BELANJA NEGARA
I BELANJA PEMERINTAH PUSAT (K/L & Non K/L) A. Belanja K/L B. Belanja Non K/L Tambahan Anggaran - Non Pendidikan - Pendidikan untuk K/L II. TRANSFER KE DAERAH 1. Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

C. DEFISIT ANGGARAN (A - B)
% Defisit Terhadap PDB - IHK

D. PEMBIAYAAN (I + II)
I. PEMBIAYAAN DALAM NEGERI II. PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (neto) 1. Penarikan Pinjaman LN (bruto) a.l Pinjaman Program 2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN

KELEBIHAN/(KEKURANGAN) PEMBIAYAAN

0,0

0,0

(0,0)

(0,0)

(0,0)

Tabel 3. Asumsi Makro APBN 2012 dan Proyeksi APBN 2012

Asumsi makro APBN 2012 - Pertumbuhan ekonomi 6,5 - 6,7 persen - Inflasi 5,3 persen

Proyeksi APBN 2012 Pendapatan Negara Rp 1300 triliun Defisit 1,53 persen dari PDB atau Rp 124 triliun

Bunga SPN 6,5 persen 6 persen Nilai tukar Rp 8,800 per dollar Harga minyak USD 90 per barrel Lifting 950 ribu barrel per hari Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

pemakaian

Perkembangan APBN
Selain itu, dari postur APBN 2012, terlihat alokasi belanja didominasi oleh jenis belanja mengikat. Hal ini menyebabkan ruang gerak fiskal Indonesia menjadi terbatas sehingga sulit untuk melakukan perubahan alokasi pengeluaran dalam merespon kondisi ekonomi global. Namun di samping tantangan yang dihadapi, pemerintah melalui APBN juga telah mempersiapkan upaya mitigasi krisis melalui suatu sistem yang disebut crisis management protocol (CMP) serta kerangka kerja stabilisasi obligasi negara (bond stabilization framework). Langkah antisipasi juga tampak dari beberapa pos belanja di APBN 2012, yaitu tersedianya dana cadangan risiko fiskal yang akan digunakan jika terjadi perubahan asumsi makro dan stabilisasi harga sebesar Rp.15,8 triliun, peningkatan anggaran bantuan sosial serta anggaran subsidi pangan, dan alokasi belanja lain-lain untuk keperluan mendesak sebesar Rp. 5,5 triliun. (RN dan AS) dalam mengambil keputusan ketika terjadi krisis keuangan. Protokol ini nantinya akan ditetapkan sebagai Keputusan Kementerian Keuangan 2. Bond Stabilization Framework Saat ini pemerintah telah menyediakan suatu kerangka penstabilan pasar obligasi pemerintah ketika terjadi pembalikan arah aliran modal. Dalam kerangka tersebut juga terdapat mekanisme pembelian kembali obligasi pada pasar sekunder dengan menggunakan alokasi dana anggaran atau sumber sumber lain seperti saldo fiskal 3. Rencana Kontingensi UU APBN memungkinkan pemerintah menyertakan upaya yang memungkinkan pemerintah menanggapi krisis keuangan secara cepat dengan persetujuan DPR yang harus diberikan dalam waktu 24 jam, misalnya tindakan mengeluarkan belanja yang belum dianggarkan ataupun melampaui anggaran yang telah ditetapkan, mengalokasikan kembali dana dan belanja untuk mencapai efisiensi, menggunakan saldo fiskal yang belum digunakan (SAL) untuk menutup celah pembiayaan, dan meningkatkan penerbitan obligasi melampaui tingkat yangs udah direncanakan. Bentuk lain upaya mitigasi krisis dalam APBN 2012 tampak dari tersedianya dana cadangan risiko fiskal sebesar Rp. 15,8 Triliun yang dapat digunakan jika terjadi perubahan asumsi makro ataupun diperlukan suatu upaya ekstra dalam menjaga stabilisasi harga. Selain itu, untuk mencegah dampak rambatan krisis global terhadap kondisi ekonomi dan sosial masyarakat, dalam APBN 2012, pemerintah juga telah meningkatkan alokasi anggaran Bantuan Sosial serta anggaran subsidi pangan. Seperti yang telah dituangkan dalam arah APBN 2012, maka sustainabilitas menjadi salah satu pendukung bagi stabilisasi pertumbuhan ekonomi di tengah ancama krisis finansial ini. Oleh karena itu, pemerintah telah memformulasikan beberapa strategi yang akan ditempuh dalam menjaga stabilitas fiskal tersebut, yaitu 1) optimalisasi pendapatan negara dengan mempertimbangkan iklim dunia usaha, 2) meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja negara melalui quality spending yang berfokus pada peningkatan belanja infrastruktur yang dapat mendukung MP3EI, 3)mengendalikan defisit dalam batas aman di bawah 3% PDB yaitu pada kisaran 1,5% serta 4) mengurangi rasio utang terhadap PDB secara konsisten sembari mencari sumber pembiayaan dengan risiko yang rendah dan mengutamakan pembiayaan yang berasal dari luar negeri. (RN)

MITIGASI DAMPAK KRISIS GLOBAL DALAM APBN 2012


Secara keseluruhan, tema APBN adalah percepatan dan perluasan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, inklusif dan berkeadilan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan visi tersebut, APBN 2012 disusun dengan fokus memberikan dorongan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi seraya terus menjaga stabilitas ekonomi dan keberlanjutan fiskal. Tujuan pokok dari suatu kebijakan fiskal ialah mencapai kondisi kesejahteraan nasional, maka APBN sebagai instrumen kebijakan fiskal bersifat adaptif terhadap kondisi perekonomian terkini serta berfungsi sebagai stabilisator. Memburuknya situasi internasional di akhir tahun yang juga turut mempengaruhi gejolak harga beberapa komoditas mendorong pemerintah melalui APBN 2012 menyusun upaya yang dapat memberikan fleksibilitas kepada pemerintah dalam mengelola dan memitigasi risiko dampak rambatan krisis global. Hingga akhir tahun ini, aliran modal masuk ke Indonesia masih cukup stabil, terutama dari pembiayaan surat surat berharga negara. Akan tetapi, kebergantungan terhadap sumber pembiayaan internasional tersebut dapat menimbulkan risiko fiskal karena akan sangat dipengaruhi oleh sentimen pasar. Oleh sebab itu, pemerintah telah menetapkan suatu kerangka stabilisasi obligasi dan prosedur pengelolaan krisis lainnnya dalam Undang Undang mengenai APBN 2012 sebagai berikut: 4. Crisis Management Protocol Kementerian Keuangan menyusun suatu protocol pengendalian krisis yang digunakan sebagai panduan

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi

SEKILAS TENTANG POTENSI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MINERAL


Sumber daya mineral Indonesia walaupun prospektif tetapi sebenarnya jumlahnya terbatas. Eksplorasi Sumber daya mineral terus diusahakan untuk mengetahui dan menambah jumlah cadangannya. Begitu juga dengan produksi terutama tembaga, emas, perak, timah, nikel, besi, bauksit terus meningkat. Produksi mineral terutama dilakukan oleh perusahaan Kontrak Karya (KK) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Untuk sumber daya (potensi) batubara Indonesia saat ini 105,2 miliar ton (MT) dengan cadangannya sendiri mencapai 21,13 MT. Untuk tahun 2011 direncanakan produksi batubara Indonesia sebesar 327 juta ton dan terus meningkat setiap tahun. Kebutuhan batubara dalam negeri saat ini sebesar 24% dari produksi, selebihnya sebesar 76% untuk ekspor. Produksi batubara berasal dari BUMN sebesar 4%, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebesar 77%, dan KP/IUP sebesar 19%. Mineral pembawa aluminium, antara lain bauksit menyebar di Kalimantan Barat, Bangka, Belitung dan Bintan dan cadangannya menduduki nomor tujuh didunia. Sedangkan untuk endapan kaya nikel dan magnesium oksida terdapat di sebagian kepulauan Sulawesi, Maluku (Pulau Gag, Buton, dan Gebe). Potensi Nikel Indonesia merupakan 12% cadangan dunia. Sementara itu endapan emas tersebar dari pegunungan di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Halmahera dan Papua. Untuk endapan tembaga terdapat di Nusa Tenggara dan Papua. Cadangan potensi beberapa sumber daya mineral Indonesia dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 4. Sumber Daya dan Cadangan Mineral Indonesia

tidak banyak, yaitu dibawah 20% dilakukan di smelter Gresik. Bijih besi (IUP) dan Nikel (IUP) sebagian besar diekspor berupa bijih, sedangkan bauksit seluruhnya diekspor berupa bijih.
Sumber Daya dan Cadangan Batubara Indonesia Tahun 2010

Total Sumberdaya = 105,187 Miliar Ton Total Cadangan = 21,131 Miliar Ton ( 20,09% dari sumberdaya) Sumber Data: Badan Geologi, 2010

Penerimaan negara dari mineral terdiri dari penerimaan negara bukan pajak dan penerimaan dari pajak. Besarnya royalti mineral tergantung pada Peraturan Pemerintah No.45 tahun 2003 dan untuk Kontrak Karya sesuai dengan yang tertera di kontrak. Untuk pajak badan besarnya 35% dari keuntungan perusahaan. Penerimaan negara dari batubara yaitu, berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (royalti/dana hasil produksi batubara-DHPB dan iuran tetap) dan Penerimaan Pajak. Royalti/DHPB untuk perusahaan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) besarnya 13,5% dari hasil produksi batubara, sedangkan untuk IUP lebih kecil yaitu 3-7% (sesuai kualitas) dari hasil produksi. Untuk pajak badan besarnya 35 45% dari keuntungan perusahaan. 7

Produksi mineral dalam hal ini tembaga sebagian besar berupa konsentrat untuk tujuan ekspor. Sedangkan konsentrat yang pengolahan dan pemurnian dalam negeri

Sumber: DJMB 2011

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi


Tantangan Pembangunan sumber daya mineral dan batubara menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan. Tumpang tindih pertambangan dengan perkebunan masih sulit untuk penyelesaiannya, meskipun wilayah pertambangan lebih dahulu melakukan perjanjian PKP2B. Beberapa tantangan antara lain pengolahan batu bara masih kurang berkembang dan pelaksanaan good mining practice dan pengawasan pengusahaan pertambangan di daerah belum optimal. Selain itu, infrastruktur untuk pertambangan masih belum memadai. Perusahaan tambang yang letaknya ditengah (jauh dari pantai) akan terkendala transportasi. Ada beberapa perusahaan tambang masih menggunakan jalan umum, sehingga kegiatan transportasi sering terganggu. Permasalahan utama pembuatan jalan dan fasilitas lain untuk pertambangan, selain jauh dari pantai, juga sulitnya melakukan pembebasan lahan karena tumpang tindih dengan perkebunan dan peruntukan lainnya. Terbatasnya jumlah dan kapasitas infrastruktur untuk kegiatan pertambangan akibat tidak adanya grand plan antar daerah untuk suatu kawasan, sehingga beberapa perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan pertambangan karena sulit untuk membangun infrastruktur. (Kedeputian ESDM dan Kehutanan, Kemenko Perekonomian) mengoperasikan ASW. Layanan Single Window, secara fisik adalah layanan OSS/One Stop Service, yang dalam hal ini sudah ditambah dengan fasilitas layanan virtual yang bisa dijalankan melalui internet. Untuk melaksanakan layanan single window, diperlukan kegiatan sistem layanan yang harus memenuhi syarat minimal "3 single". Pertama, Single Submission of data, yang artinya dalam proses internal harus dipergunakan data akurat sejak dimasukkan dan diproses berkesinambungan tanpa ada proses yang tidak dapat dijejaki dengan jejak audit, dan juga data yang sudah ada didalam sistem informasi pemerintah harus dapat dipergunakan dalam layanan bersama tanpa harus mengulang proses pendataannya. Hal ini berdampak harus ada interrelasi penggunaan data bersama antar semua lembaga negara, mulai dari data KTP hingga data perijinan dari semua, sehingga tidak diperlukan lagi penyerahan dokumen atau entry data yang sudah dimiliki oleh Pemerintah tanpa batasan entitas kementerian lembaga. Dengan penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi TIK), maka masalah kerahasiaan data pelaku usaha yang dengan proses manual biasa menjadi issue, maka dengan terapan standar NSW dapat dilakukan pengamanan akses data yang lebih sempurna, karena data antar kementerian lembaga dapat di verifikasi antar sistem hanya oleh mereka yang berhak, tanpa isinya dapat diketahui atau dibocorkan secara mudah tanpa jejak oleh pejabat pelaksana proses. Dengan pendekatan tata kelola TIK maka peraturan tentang kerahasiaan informasi yang membatasi akses antar kementerian lembaga sebenarnya tidak lagi layak guna. Kedua, Single & synchronous processing, yaitu proses yang terjadi tanpa memandang batasan antar kementerian/ lembaga (harus sinkron) sehingga tidak terjadi duplikasi proses dan layanan karena proses hanya dijalankan oleh masing-masing kementerian/lembaga sesuai tupoksinya. Ketiga, Single Decision Making, diartikan dengan dalam proses layanan semua pembuatan keputusan memiliki kewenangan yang tunggal, sehingga duplikasi dalam tupoksi, kewenangan, aturan harus dihindarkan dan ditiadakan sehingga keputusan mudah dibuat, baik oleh sistem maupun pejabat pelaksana dalam menjalankan proses layanan single window. Dalam melaksanakan NSW, beberapa negara punya pendekatan berbeda, bagi mereka yang system informasi layanan publiknya sudah baik, maka NSW dapat dilaksanakan sendiri oleh Customs yang mendapat hak akses untuk memperoleh semua informasi yang diperlukan dari sistem layanan yang ada di kementerian/ lembaga non customs. Namun bagi Indonesia, yang secara fisik layanan komputer dilaksanakan dengan prosedur manual, dan masih belum memiliki kesatuan standar data dan sistem informasi pemerintahan, maka untu Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011 10

IMPLEMENTASI INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW


National Single Window (NSW) semua negara dimulai dari inisiatif Customs antar negara dalam forum WCO, ditujukan untuk memperbaiki proses customs release dan clearance of cargoes di semua negara. Untuk memenuhi kesepakatan tersebut beberapa negara menindak lanjuti dengan mengembangkan layanan NSW di negaranya. Dalam menindaklanjuti NSW di ASEAN, maka disepakati pengembangan ASEAN Single Window (ASW), dengan basis semua negara ASEAN akan mengembangkan NSW di masing-masing negara untuk bisa bergabung mengopera

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi


untuk menjalankan NSW diperlukan perbaikan dua kelompok informasi pendukung utama untuk terlaksananya layanan customs clearance & Cargo release yaitu sistem informasi perijinan perdagangan, sistem informasi peredaran dan perlindungan (BPOM dan Karantina), dan system informasi logistik /pergerakan barang di area pelabuhan. Kedua kelompok informasi tersebut dikenal sebagai Trade Net yang berupa informasi perijinan atas barangbarang import & export, dan PortNet yaitu informasi pergerakan barang di Bandar Udara dan Pelabuhan. Untuk menjalankan TradeNet adalah tidak mudah, karena pada awal NSW banyak yang tidak memenuhi syarat karena duplikasi aturan dll, yang membutuhkan harmonisasi data dan proses antar kementerian/lembaga, dan harmonisasi merupakan hal rutin yang harus dijalankan setiap terjadi pembuatan aturan perijinan karena akan mempengaruhi proses layanan TradeNet dan NSW. Untuk menjalankan PortNet juga tidak mudah, karena sebagian besar informasi tidak berada dalam kendali kementerian/lembaga, namun banyak diproses dan disimpan oleh para operator di Bandara dan Pelabuhan, sehingga untuk konsolidasi informasi perlu kemitraan komunitas pelabuhan. Indonesia pada tahun 2008 menjadi Negara pertama yang menjalankan NSW sekaligus bersama dengan TradeNet dan PortNet agar NSW bisa jalan, yang kemudian menjadi model reformasi layanan publik di beberapa negara lain yang memiliki kondisi yang sama. Perkembangan lanjut NSW di beberapa negara termasuk Indonesia, meluas bukan hanya custom facilitation tapi berkembang menjadi Trade facilitation, sehingga tidak lagi dibatasi atas kegiatan customs, namun semua kegiatan terkait dengan kemudahan proses layanan perdagangan termasuk didalamnya layanan logistik. Sejak diberlakukannya NSW yang menjadi key success factor adalah melaksanakan reformasi birokrasi secara nyata berbasis teknologi informasi. (Kedeputian Industri dan Perdagangan, Kemenko Perekonomian)

LAPORAN BANK DUNIA:


East Asia and Pacific Economic Update: Navigating Turbulence, Sustaining Growth
Pada tanggal 1 Desember 2011, Kedeputian Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kemenko Perekonomian mengadakan Forum Diagnosa Ekonomi (FDE). FDE kali ini membahas Laporan Bank Dunia East Asia and Pacific Economic Update: Navigating Turbulence, Sustaining Growth dengan pembicara Ekaterina Vostroknutova (Senior Economist East Asia and Pacific Region). Laporan tersebut menjelaskan perkembangan ekonomi selama enam bulan terakhir, respon kebijakan, dan kerentanan ekonomi negaranegara di kawasan Asia Timur dan Pasifik (ATP) serta prioritas ekonomi jangka panjang. Pertumbuhan perekonomian negara-negara kawasan ATP diperkirakan sekitar 8,2% pada tahun 2011 dan menurun hingga 7,8% pada tahun 2012. Angka pertumbuhan tersebut terutama dipengaruhi oleh perkiraan pertumbuhan Cina 9,1% untuk 2011 dan 8,4% untuk 2012. Sedangkan pertumbuhan ekonomi kawasan ATP tanpa Cina diperkirakan tumbuh 4,7% pada tahun 2011 dan 5,3% pada tahun 2012. Perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh lebih cepat dari rata-rata perekonomian kawasan yaitu 6,4% pada tahun 2011 dan 6,3% pada tahun 2012. 8

Perlambatan pertumbuhan ekonomi berbagai negara kawasan ATP diakibatkan melemahnya permintaan dari dalam dan luar negeri. Permintaan domestik menurun seiring dengan kebijakan normalisasi bidang fiskal dan moneter.. Kondisi ini sejalan dengan produksi sektor industri yang menurun di negara-negara dengan tingkat PDB menengah. Gejolak ekonomi di Eropa dan Amerika serta sentimen negatif atas perekonomian global menyebabkan permintaan eksternal kawasan ATP menurun. Ekspansi ekspor Cina, khususnya sejak bergabung dengan WTO, mulai menurun. Sebaliknya, tingkat impor Cina terus meningkat hingga mengejar tingkat impor Eropa sebagai importir terbesar kedua. Bahkan pemerintah Cina berjanji untuk menjaga tingkat impor untuk menoooo Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011 11

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi


mendorong perekonomian global tahun 2012. Hal tersebut memberikan dampak positif khususnya bagi negara-negara kawasan ATP. Namun, porsi impor Cina dari Indonesia relatif kecil dibandingkan negara kawasan ATP lainnya. Impor barang konsumsi dari Indonesia hanya 1,2% dari total impor barang konsumsi Cina. Risiko dampak langsung gejolak ekonomi Amerika dan Eropa terhadap tingkat ekspor negara-negara kawasan ATP relatif rendah. Karena sebagian besar perdagangan terjadi antar negara kawasan ATP. Tingkat ekspor barang-barang manufaktur khususnya elektronik, otomotif dan garmen relatif terjaga. Hal tersebut berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi negaranegara eksportir manufaktur kawasan ATP. Meskipun demikian, berdasarkan data historis, gejolak ekonomi global berisiko menurunkan tingkat ekspor kawasa ATP hingga 20%. Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya tingkat interdependensi negara-negara dengan pasar global. Di saat yang bersamaan, negaranegara eksportir komoditas energi dan tambang tumbuh lebih cepat dari negara lainnya. Namun demikian perlu melakukan antisipasi mengingat harga komoditas di pasar internasional mulai menurun (meskipun harganya masih tinggi). Gejolak ekonomi dan sentimen negatif tidak hanya mempengaruhi perdagangan tetapi juga pasar finansial internasional. Sebagian negara mencanangkan kebijakan normalisasi bidang moneter. Namun Indonesia merupakan negara pertama yang memangkas suku bunga acuan pada September 2011 dari 6,5% menjadi 6%. Sedangkan otoritas moneter pada umumnya menahan laju pertumbuhan kredit untuk mengendalikan inflasi. Karena inflasi negara-negara kawasan ATP masih rendah namun tampak mengalami tren meningkat. Pada September 2011, cadangan devisa semua negara menurun akibat penarikan kembali investasi luar negeri dalam bentuk portofolio. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah harus mendorong minat penduduk terhadap portofolio domestik untuk menekan dominasi asing. Sehingga risiko capital outflow saat terjadi gejolak ekonomi dapat diminimalisasi. Dalam menghadapi tantangan gejolak perekonomian global, saran kebijakan Bank Dunia bagi pemerintah mencakup jangka pendek dan panjang. Kebijakan jangka pendek pemerintah terutama berupa stimulus fiskal untuk mengatasi penurunan permintaan eksternal sekaligus mendorong konsumsi sebagai komponen PDB. Sedangkan dalam jangka panjang, agenda pemerintah khususnya diarahkan untuk mendorong tingkat produktivitas dan investasi. Produktivitas faktor produksi khususnya tenaga kerja diantaranya dipengaruhi oleh kebijakan bidang ketenagakerjaan seper seperti tingkat upah dan hubungan industrial. Sedangkan tingkat investasi dipengaruhi oleh belanja modal pemerintah dan perbaikan iklim investasi untuk mendorong investasi swasta. Khusus di Indonesia, tingkat investasi terhadap PDB masih dapat ditingkatkan. Bersamaan dengan hal tersebut, reformasi birokrasi dibutuhkan untuk menarik minat investasi sektor swasta. (RA)

HARAPAN DAN PERMASALAHAN DARI SOSIALISASI KUR TKI TAHUN 2011


Akhirnya selesai sudah rangkaian pelaksanaan sosialisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tahun 2011 yang diselenggarakan di empat wilayah di tanah air (Flores Timur- lihat tulisan sebelumnya di Volume 1 Nomor 8 Agustus 2011- ; Indramayu; Banyuwangi; dan Banyumas) dan lima negara tujuan TKI yaitu Korea Selatan, Malaysia (Penang), Macau, Hongkong dan Singapura (penutup sosialisasi). Untuk pelaksanaan di dalam negeri, Kemenko Perekonomian bekerjasama dengan Bank BNI, Bank BRI, dan Bank Mandiri dalam penyelenggaraan sosialisasi dimaksud. Sedangkan untuk pelaksanaan sosialisasi di luar negeri, dilakukan lewat kerjasama antara Kemenko Perekonomian, perwakilan Indonesia di luar negeri dan perbankan nasional (BNI, Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri). Seperti telah disampaikan dalam tulisan sebelumnya, KUR TKI adalah skema KUR yang disalurkan kepada TKI untuk memenuhi pembiayaan yang menjadi tanggung jawabnya dalam proses penempatan ke luar negeri. Tujuan utama KUR TKI diantaranya adalah mengurangi beban jumlah hutang yang harus dibayar oleh TKI serta membantu keuangan keluarganya sebelum mendapatkan remitansi. Hal ini mengingat suku bunga yang dibebankan kepada TKI relatif rendah yaitu maksimal 22 persen effektif per tahun (setara dengan sekitar 12% flat per tahun) untuk pinjaman sampai dengan Rp 20 juta dan maksimal 14 persen effektif per tahun (setara dengan sekitar 7% flat per tahun) untuk pinjaman di atas Rp 20 juta sampai dengan Rp 500 juta. Meskpiun tema besar dalam sosialisasi ini adalah KUR TKI, namun dalam pelaksanaan sosialisasi itu sendiri, disampaikan juga materi mengenai pelayanan perbankan dan produk lainnya untuk TKI serta ketentuan penempatan dan perlindungan TKI. Narasumber sosialisasi terdiri dari para pejabat Kemenko Perekonomian, BI dan perbankan nasional (Bank BNI, Bank BRI dan Bank Mandiri), serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI. Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

12

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi


-

Jika TKI belum mendapatkan KTKLN sementara yang bersangkutan berada di luar negeri maka untuk memudahkan mereka pulang ke tanah air seyogyanya dapat dibuatkan KTKLN di negara TKI bekerja. Hal ini bisa dilakukan dengan mengirim petugas dari BNP2TKI untuk membantu dalam penerbitan KTKLN dimaksud; Pada umumnya TKI menginginkan kemudahan dalam menabung sehingga diharapkan perbankan nasional dapat membuka cabangnya di negara TKI bekerja yang lokasinya mudah dijangkau TKI; Perlu penghapusan sponsor/calo dalam perekrutan TKI karena jika tidak maka biaya perekrutan masih tetap akan mahal.

Suasana sosialisasi KUR TKI yang dilakukan di Singapura pada tanggal pada tanggal 27-28 November 2011

Dari pemantauan selama sosialisasi di sembilan lokasi tersebut, nampak sekali antusiasme dari para peserta baik dari kalangan calon TKI dan purna TKI (saat sosialisasi di dalam negeri), maupun TKI kita yang sedang berada diperantauan (saat sosialisasi di negara tujuan TKI). Disamping itu dukungan dari pimpinan daerah setempat (Bupati Flores Timur, Bupati Indramayu, Bupati Banyuwangi dan Bupati Banyumas) sangat membantu sehingga sosialisasi dapat berlangsung dengan lancar. Dukungan yang sama juga didapatkan dari perwakilan Republik Indonesia (KBRI di Seoul, KJRI di Johor, KJRI di Hongkong dan KBRI Singapura). Dari pelaksanaan sosialisasi terjaring beberapa permasalahan dan harapan dari TKI dan pemangku kepentingan terkait yang perlu segera ditindak lanjuti diantaranya adalah : Sampai saat ini masih ada pihak yang mengirimkan TKI dengan data diri TKI yang tidak sebenarnya; KUR TKI harus benar-benar dapat membantu pembiayaan penempatan TKI apalagi dengan direlaksasikannya beberapa aturan KUR TKI (SOP KUR TKI yang baru sudah diluncurkan pada tanggal 5 Oktober 2011) dimana diantaranya bank tidak lagi menggunakan struktur biaya penempatan sebagai acuan dalam pemberian kredit kepada TKI; Produk perbankan bagi TKI masih belum banyak yang tahu; Gaji Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) seharusnya dibayarkan melalui perbankan; Program penempatan lewat G to P (government to private) yang saat ini dirintis di Penang, Malaysia, seyogyanya dapat menjadi contoh program penempatan TKI lainnya dan dapat diberikan KUR TKI;

Permasalahan dan harapan tersebut perlu mendapat perhatian dan segera ditindaklanjuti oleh instansiinstansi terkait sehingga tujuan mulia meningkatkan harkat dan martabat TKI dapat terwujud. (MEY)

Sambungan halaman 14 Liputan LKM: Lembaga Perkreditan Desa Bali Selanjutnya perbedaan LPD dengan BUMDes adalah pada wilayah kerja. BUMDes didirikan oleh Pemerintah Desa sedangkan LPD didirikan oleh komunitas desa adat. Disamping adanya alasan perbedaan dengan LKM formal, banyak pihak yang mengira bahwa keengganan untuk bertransformasi menjadi LKM formal adalah untuk menghindari pajak. Menanggapi hal tersebut, ahli ekonomi Prof. Dr. I Wayan Ramantha menegaskan bahwa LPD bukan lembaga ekonomi berorientasi keuntungan finansial semata. LPD sudah seharusnya tidak dikenakan pajak karena fungsi sosial-keagamaan. Masyarakat desa adat tidak pernah menerima keuntungan finansial langsung dari LPD. Semua infrastruktur yang dimiliki LPD telah diupayakan sendiri dan tidak ada dana dari Pemerintah. Selain itu, muncul kekhawatiran berkurangnya kontribusi LPD pada desa adat. Apa yang diharapkan oleh LPD dalam pengembangan ke depan adalah pengakuan LPD sebagai lembaga keuangan formal khusus yang tidak dapat disamakan dengan LKM. LPD mengharapkan adanya sinkronisasi peraturan Pemerintah Pusat dengan Peraturan Daerah. Selain itu, LPD juga mengharapkan adanya aturan dan mekanisme yang dapat dijadikan pegangan pada saat krisis. (TKA/AHS/MS) Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

13

Perkembangan Sektor Keuangan

LIPUTAN LKM: LEMBAGA PERKREDITAN DESA BALI


Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia sejak lama berperan aktif dalam melayani kebutuhan keuangan masyarakat berpendapatan rendah baik dalam sektor formal maupun informal. LKM juga berperan dalam pembiayaan kewirausahaan mikro, kecil dan menengah agar dapat memberikan kontribusi semakin besar pada perekonomian. Namun demikian, ada banyak faktor yang menghambat pengembangan LKM diantaranya ketidakpastian hukum dan peraturan, biaya dan risiko yang tinggi untuk menjangkau konsumen kecil, serta kurangnya kecukupan akses modal untuk memenuhi permintaan pembiayaan usaha masyarakat berpendapatan rendah. Banyak LKM saat ini belum mempunyai status hukum sesuai ketentuan yang ada. Hal tersebut menyebabkan kegiatannya menghimpun dana masyarakat melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Dalam rangka perlindungan dana masyarakat dan penguatan keuangan mikro maka diterbitkan Surat Keputusan Bersama tahun 2009 yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan, Menteri Koperasi dan UMKM, Menteri Dalam Negeri dan Bank Indonesia tentang Strategi Pengembangan LKM. Melalui SKB ini LKM didorong memenuhi status badan hukum yang jelas, dengan pilihan menjadi Bank Perkreditan Rakyat, Koperasi, Badan Usaha Milik Desa, dan Perusahaan Modal Ventura. Dengan badan hukum yang jelas, LKM dapat dibina sesuai ketentuan yang ada dan meningkatkan akses keuangan masyarakat pada sektor keuangan.

Memang tidak mudah melakukan transformasi LKM non formal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia menjadi LKM formal berbadan hukum. Keberadaan sebagian LKM berkembang sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat. Sebagai contoh adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bali. LPD di Bali sudah didirikan sejak tahun 1984. Pendirian LPD didasari oleh kesadaran untuk memperkokoh budaya Bali melalui penguatan aspek ekonomi masyarakat adat. Dan salah satu caranya adalah pendirian lembaga keuangan berbasis adat dan budaya. Sejak tahun 1984 hingga 2011, telah berdiri 1.405 unit LPD di seluruh Provinsi Bali. Dari total desa adat sebanyak 1.473, masih ada 68 desa adat yang belum memiliki LPD. Modal awal pendirian LPD bersumber dari Desa Adat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Untuk dapat berkembang selama 27 tahun bukanlah yang mudah. Tidak sedikit LPD yang ditutup karena kualitas dan pengetahuan pengurus yang kurang. Namun demikian sebagian besar LPD terus berkembang. Salah satunya adalah LPD Kuta yang berdiri dengan modal awal Rp.31,6 juta. Pada tahun 2010, LPD ini telah memiliki aset sebesar Rp. 222,9 miliar dengan keuntungan Rp. 9,3 miliar. LPD Kuta dibina oleh Pemerintah Daerah, Bank Pembagunan Daerah Bali, Pembina Lembaga Perkreditan Desa Kecamatan (PLPDK), dan Badan Kerja Sama (BKS) LPD. Bagi masyarakat Bali, LPD ini merupakan lembaga keuangan yang bersifat khusus karena dimiliki oleh komunitas adat dengan jiwa sosio-religious. LPD berperan sebagai penyokong pembiayaan adat dan budaya di tingkat desa adat karena disadari kebutuhan dana yang besar untuk kegiatan adat dan budaya. Dari hasil pertemuan dengan Nyoman Arnaya (Ketua PLPDK) dan beberapa pengurus LPD Bali disampaikan sejumlah aspek yang menunjukkan kekhususan LPD. Kekhususan tersebut yang menjadi penyebab kesulitan LPD bertransformasi menjadi LKM sesuai SKB di atas. Perbedaan LPD dengan BPR adalah pada aspek pemilikannya. Bank dapat dimiliki oleh perorangan, sedangkan LPD merupakan lembaga keuangan milik seluruh masyarakat desa adat. Dari segi tata kelola, bank mengutamakan keuntungan financial, sementara target utama LPD adalah terpenuhinya pembiayaan adat dan budaya di desa adat. Perbedaan LPD dengan koperasi adalah pada aspek keanggotaan. Koperasi dibentuk oleh kumpulan anggota dengan kewajiban membayar simpanan wajib dan simpanan sukarela. Sementara LPD tidak dibangun dari dasar keanggotaan serta tidak ada kewajiban bagi masyarakat desa adat untuk membayar simpanan.
(bersambung ke halaman 13 TKA/AHS/MS)

Tinjauan lapangan ke LPD Kuta pada tanggal 8 Desember 2011

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

14

Perkembangan Penyaluran KUR

REALISASI PENYALURAN KUR PER 30 NOPEMBER 2011


Akselerasi penyaluran KUR masih terus berlangsung hingga November 2011. Total realisasi penyaluran KUR sejak diluncurkannya KUR tahun 2007 hingga November 2011 tercatat Rp 60,8 trilliun. Dana KUR tersebut disalurkan kepada 5.575.370 debitur dengan rata-rata kredit Rp 10,9 juta/debitur. Sedangkan tingkat NPL tercatat 2,50%. Enam bank pelaksana yang terdiri atas BRI, BNI, Bank Mandiri, BTN, BUKOPIN, dan Bank Syariah Mandiri telah menyalurkan Rp 55,2 trilliun. Dana tersebut telah disalurkan ke 5.504.051 debitur, dengan rata-rata kredit Rp 10 juta/debitur dan NPL sebesar 2,33%. Sedangkan 13 BPD menyalurkan KUR Rp 5,6 trilliun, dengan jumlah debitur sebanyak 71.319. Rata-rata kredit tersebut sebesar Rp 79 juta dengan tingkat NPL lebih tinggi yaitu sebesar 3,47%. Sebagian besar skema KUR melalui BPD merupakan KUR ritel. Di sisi lain, sebagian besar skema KUR melalui enam Bank Pelaksana khususnya BRI merupakan KUR mikro. 9

10

Sumber : Komite Kebijakan KUR

Sektor pertanian, perburuan dan kehutanan merupakan sektor terbesar kedua dengan total plafon Rp 9,6 trilliun dan debitur sebanyak 739.530. Penyaluran KUR secara geografis terkonsentrasi di pulau Jawa. Realisasi penyaluran KUR pada lima provinsi di Pulau Jawa mencapai Rp 30,2 trilliun dengan jumlah debitur sebanyak 3.313.175. Dari 33 provinsi, Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah plafon tertinggi yaitu Rp 9,4 trilliun dan jumlah debitur 969.174. Namun jumlah debitur tertinggi berada pada provinsi Jawa Tengah sebanyak 1.273.886 debitur. Panyaluran plafon KUR diluar pulau Jawa masih belum optimal. Bangka Belitung dan Maluku Utara merupakan provinsi dengan penyaluran KUR masing-masing sebesar Rp 158 milliar dan Rp 268 milliar. BPD diharapkan lebih aktif menyalurkan KUR pada tahun 2012 agar terjadi pemerataan penyaluran KUR sesuai dengan potensi daerah. (WP)

Sumber : Komite Kebijakan KUR

Dari keenam Bank Pelaksana, BRI merupakan bank penyalur KUR terbesar. BRI telah menyalurkan hingga Rp 38 trilliun dana kepada sekitar 5.247.946 debitur. Sebagian besar dana KUR tersebut merupakan KUR mikro senilai Rp 28,7 trilliun. KUR mikro BRI disalurkan kepada 5.184.896 debitur. Sehingga rata-rata KUR mikro sebesar Rp 5,6 juta dengan nilai NPL 2.19%. Sedangkan KUR ritel BRI sebesar Rp 9,2 trilliun dengan rata-rata Rp 147,2 juta dan NPL sebesar 3,2%. Secara sektoral , sebagian besar dana KUR diserap sektor hilir seperti perdagangan besar dan eceran. Total plafon sektor tersebut mencapai Rp 37 trilliun dengan jumlah debitur sebanyak 4.050.317 orang. Sedangkan rata-rata kredit sektor tersebut adalah sebesar Rp 9,1 juta/debitur. Sebagian besar KUR pada sektor perdagangan merupakan KUR mikro.

Sambungan halaman 16 Evaluasi Realisasi APBD Triwulan II-2011 Hal ini karena belanja modal sendiri bila ditambahkan dengan komponen belanja barang dan jasa, akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, selain kontribusi dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri. Ini berarti, semakin tinggi realisasi rasio belanja modal terhadap total belanja daerah, akan semakin baik pengaruhnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah penyerapan belanja modal maka semakin kecil perannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

15

Perkembangan Ekonomi & Keuangan Daerah

EVALUASI REALISASI APBD TRIWULAN II-2011


Data realisasi APBD hingga Triwulan II/2011 menunjukkan bahwa secara nasional (gabungan provinsi, kabupaten, dan kota) realisasi pendapatan masih lebih tinggi (50,75%) dibandingkan dengan realisasi belanja (29,98%). Sejalan dengan itu, realisasi pendapatan provinsi dan kabupaten juga masih jauh melampaui realisasi belanjanya. Bahkan realisasi pendapatan provinsi pada periode yang sama (50,76%) hampir mencapai 2 kali lipat dari realisasi belanjanya (28,08%). Dari 367 daerah yang menyampaikan data realisasi APBD Triwulan II/2011 ke Kemendagri, daerah yang berhasil mencapai realisasi pendapatan tertinggi ialah Kabupaten Bengkalis dengan realisasi sebesar 77,8%. Sedangkan daerah yang realisasi pendapatan terendah adalah Kabupaten Nias Utara dengan tingkat realisasi sebesar 8,98%. Dari sisi belanja, provinsi Gorontalo merupakan unit daerah dengan tingkat realisasi belanja paling tinggi dan Kabupaten Supriori ialah daerah dengan penyerapan belanja paling rendah. Secara agregat, realisasi pendapatan daerah kabupaten/kota yang tertinggi berasal dari Pendapatan Asli Daerah (53,87%), diikuti oleh Dana Perimbangan (53,18%), dan lain-lain pendapatan yang sah (32,10%). Tren yang sama juga terjadi di tingkat provinsi, dimana Pendapatan Asli Daerah menjadi sumber pendapatan tertinggi, yang kemudian diikuti oleh Dana Perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Berbeda halnya dengan realisasi pendapatan di level agregat maupun level provinsi, komponen pendapatan yang realisasinya mencapai tertinggi untuk kabupaten/kota adalah Dana Perimbangan (53,93%), diikuti oleh Pendapatan Asli Daerah (51,31%), dan yang terendah adalah lain-lain pendapatan yang sah (32,85%). Pada periode yang sama, realisasi belanja daerah (secara agregat) yang terbesar digunakan untuk belanja pegawai (39,97%), diikuti oleh belanja barang dan jasa (28,25%). Realisasi belanja yang terendah adalah realisasi belanja modal (9,99%). Kondisi yang sama terjadi pada provinsi dan kabupaten/kota, dimana belanja pegawai masih menjadi komponen tertinggi dalam realisasi belanja daerah. Sebaliknya belanja modal justru baru mencapai realisasi terendah dalam komponen belanja daerah. Jika melihat data triwulan I/2011, memang sudah tampak rendahnya realisasi belanja modal. Pada periode tersebut, belanja modal hanya terealisasi 2,34%. Lambatnya perkembangan penggunaan belanja modal pada Triwulan I dan II tahun 2011 tersebut kemungkinan terjadi karena beberapa faktor, antara lain: 1) keterlambatan penetapan APBD; 2) proses lelang yang belum selesai; 3) permasalahan teknis lain yang mengakibatkan belanja daerah baru dapat direalisasikan setelah adanya peruuuuuu

perubahan APBD (perubahan APBD rata-rata dilakukan pada bulan Agustus-September).


Tabel 5. Realisasi APBD
Realisasi APBD (%) PENDAPATAN Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Lain-lain BELANJA Pegawai Barang & Jasa Modal Lain-Lain Triwulan II/2010 Nas 52,08 55,29 51,29 49,64 32,72 44,42 28,05 12,99 30,58 Prop 51,34 56,56 45,09 48,40 26,88 37,81 29,12 12,73 33,87 Kab 52,38 52,31 52,57 49,99 35,08 45,87 27,32 13,13 28,26 Triwulan II/2011 Nas 50,57 53,87 53,18 32,10 29,98 39,97 28,25 9,99 30,58 Prop 50,76 56,05 48,67 28,44 28,08 39,05 27,89 10,81 30,03 Kab 50,69 51,31 53,93 32,85 30,60 40,12 28,44 9,75 31,14

Sumber : Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu

Selanjutnya jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2010 (lihat tabel), secara nasional, terjadi penurunan dalam realisasi pendapatan dan belanja. Realisasi pendapatan triwulan II/2011 turun 1,52% dari triwulan II/2010. Penurunan realisasi belanja daerah secara agregat ini dapat dikatakan karena realisasi pendapatan propinsi, dan juga realisasi pendapatan kabupaten/kota memang relatif lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2010. Relatif turunnya realisasi pendapatan daerah, baik secara agregat, di provinsi, maupun di kabupaten tersebut dikarenakan utamanya karena penurunan realisasi Pendapatan Asli Daerah dan realisasi lain-lain pendapatan yang sah. Secara agregat, realisasi Pendapatan Asli Daerah triwulan II/2011 turun 1,42% dibandingkan periode yang sama tahun 2010. Berbeda halnya dengan komponen PAD dan lain-lain pendapatan yang sah, komponen pendapatan berupa Dana Perimbangan meningkat, baik secara agregat (dari 51,29% ke 53,18%), maupun realisasi di provinsi (dari 45,09% ke 48,67%) dan realisasi kabupaten/kota (dari 52,57% ke 53,93%). Demikian halnya dengan realisasi belanja triwulan II/2011 yang juga turun 2,74% dari periode yang sama tahun 2010. Realisasi belanja pegawai, secara agregat turun dari 44,42% ke 39,97%. Dari 3 komponen belanja daerah yang utama, realisasi belanja modal menunjukkan tren menurun dalam kedua periode, baik secara agregat (dari 12,99% ke 9,99%), maupun realisasi di provinsi (dari 12,73% ke 10,81%) dan kabupaten/kota (dari 13,13% ke 9,75%). Dengan mencermati perkembangan realisasi pendapatan dan belanja daerah Triwulan II/2011, maka percepatan realisasi belanja modal Triwulan selanjutnya hendaknya menjadi fokus pemerintah. (bersambung ke halaman 15 APN) Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | Desember 2011

16

DAFTAR ISTILAH
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola atau mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau yang diinginkan dengan cara mengendalikan penerimaan dan pengeluaran pemerintah Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar dari pada pengeluarannya Kebijakan Fiskal Ekspansif adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan guna member stimulus pada perekonomian Kebijakan Moneter adalah kebijakan dengan mengendalikan perekonomian dengan mengatur jumlah uang beredar Moral persuasion adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberikan imbauan kepada pelaku ekonomi Reserve Requirement Ratio adalah penetapan rasio cadangan wajib juga dapat mengubah jumlah uang beredar. Jika rasio cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil dibandingkan sebelumnya

SELAMAT TAHUN BARU 2012

Redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan

Untuk informasi lebih lanjut hubungi : Redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 10710 Telepon. 021-3521843, Fax. 021-3521836 Email : tinjauan.ekon@gmail.com
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id

ISSN 2088-3153

Anda mungkin juga menyukai