Anda di halaman 1dari 5

Tradisi Pionir Japfa Comfeed

Thursday, October 1st, 2009 oleh : admin

Nekat, itulah pendapat yang terlontar dari banyak kalangan kala dimintai tanggapan tentang langkah PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. melalui anak perusahaannya, PT Supra Sumber Cipta (SSC), yang merambah ke bisnis daging olahan atau nugget tahun 2000. Maklum, pada era itu, jenis makanan ini belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pendapat itu ada benarnya. Pasalnya, hingga saat ini awareness masyarakat terhadap produk nugget masih terbilang rendah. Jangankan pernah mengonsumsi, masyarakat yang tahu saja masih di bawah 50% dari total populasi. Tak heran, bisnis daging olahan ini pun sepertinya kurang diminati. Namun, kondisi tersebut tak membuat Japfa gentar. Jadilah tahun 2000 itu Japfa meluncurkan produk chicken nugget dengan merek So Good. Mereka rajin mengenalkan produknya pada setiap kesempatan. Kami selalu berusaha membuat produk yang belum ada di sini, dengan segala risikonya, ujar Denny Gamulya, VP Head of Marketing SSC. Masyarakat saat itu tidak ada yang paham apa itu nugget, tambahnya. Sebenarnya, menurut Denny, tidak hal yang istimewa dari upaya edukasi yang dilakukan SSC. Semuanya biasa saja. Malah, lanjutnya, strategi pemasarannya tergolong konvensional, seperti melakukan sampling dan mengedukasi langsung konsumen. Cara ini diakui lebih efektif untuk memperkenalkan langsung ke masyarakat tentang nugget. Timnya masuk ke sekolah dan playgroup, supermarket dan memberikan sponsor di beberapa kegiatan. Kami kenalkan apa itu nugget ke ibu-ibu yang sedang menunggu anaknya sekolah, katanya. Denny menyebutkan, dibutuhkan waktu hingga empat tahun untuk mengenalkan produk nugget ke konsumen Indonesia. Maklum, nugget merupakan kategori tergolong baru di Indonesia. Waktu pertama kali meluncurkan produk, masyarakat belum kenal nugget, kata Denny. Justru karena itu, So Good tidak lantas berdiam diri. Denny mengaku terus-terusan mengembangkan mereknya. Dengan menjadikan So Good sebagai umbrella Japfa terus merilis produk daging olahan dalam kemasan. Tak cukup dengan hanya chicken nugget, Japfa juga memproduksi bakso dalam kemasan dengan berbagai variannya. Ada bakso bakar dan bakso kuah. Untuk nugget, So Good memiliki beberapa varian. Namun varian ini lebih pada bentuk nugget-nya. Ada yang berbentuk alfabet, binatang, dan bentuk konvensional. Kami ingin melengkapi line up produk, Denny menjelaskan. Dengan varian yang kian lengkap, pasar nugget pun terus tumbuh. Walau tingkat pertumbuhan pasar nugget masih di bawah potensi pasarnya, Denny menyebutkan bahwa arah pertumbuhan pasar nugget di Indonesia sudah berada di jalur yang benar. Japfa sendiri menurutnya setiap tahun berhasil mengantongi pertumbuhan penjualan yang cukup signifikan.

Melihat pertumbuan penjualan So Good yang baik itu, Japfa pun tak ragu untuk lebih mendalami bisnis daging olahan ini. Tahun 2003, Japfa meluncurkan produk sosis siap makan dengan merek Sozzis. Denny menuturkan pihaknyalah pionir di produk ini. Kejelian dalam melihat peluang inilah yang patut diacungi jempol. Kala Sozzis meluncur, belum ada satu pun pemain yang menggarap ladang gembur ini. Kami lihat di sini ada peluang yang cukup besar, katanya. Toh, bukan mentang-mentang sendirian Sozzis langsung bisa diterima pasar. Untuk mengenalkan Sozzis ini butuh waktu, ujarnya. Masyarakat belum begitu tahu Sozzis. Jangankan sosis yang siap makan, sosis saja belum terlalu dikenal masyarakat. Yang cukup unik, Japfa mulai memasarkan Sozzis di wilayah Bandung dan Surabaya. Ini untuk membaca pasar, kata Denny seraya menambahkan, produk ini memang sengaja lebih dulu dipasarkan di luar Jakarta. Pasalnya, masyarakat Jakarta relatif sudah mengenal makanan sosis. Jadi, bila produk ini sukses di Jakarta, belum tentu sukses di daerah lain. Namun, dari Bandung dan Surabaya pihaknya mampu membukukan omset hingga Rp 2 miliar. Setelah yakin pasar cukup antusias, tahun 2005 Sozzis go national. Pertumbuhan Sozzis pun cukup menakjubkan. Tiap tahun mampu tumbuh setidaknya di kisaran 30%-40%. Dari 36 mesin yang tersebar di Surabaya, Jakarta dan Lampung, tiap bulan pihaknya memproduksi sampai 1.500 ton sosis tiap bulan. Omset kami saat ini mencapai Rp 600 miliar per tahun, katanya. Menurutnya, tak ada strategi khusus yang diterapkan sehingga Japfa bisa meraih prestasi tersebut. Kami hanya mendatangi sekolah-sekolah, katanya. Tiap bulan ditargetkan ada 20 sekolah yang menjadi sasaran pengenalan produk. Menurut catatannya, saat ini pihaknya sudah mendatangi 5.000-an sekolah di seluruh Indonesia. Selain itu, Japfa pun rajin berkampanye di media konvensional. Dengan slogan: Tinggal lheb iklan Sozzis cukup sering menghiasi layar kaca. Dulu, Japfa menggunakan (almarhum) Basuki sebagai endorser, sekarang menggunakan Deddy Mizwar untuk mengangkat popularitas mereknya. Kami harus pandai menentukan endorser, ucap Denny. Denny juga mengaku harus menempatkan lebih banyak spot iklan di televisi. Karena, beriklan di televisi persaingannya sangat keras. Tidak semata menghadapi lawan di kategori produk yang sama, melainkan, semua industri bisa berhadapan. Dari segi distribusi Sozzis juga unggul. Denny menerangkan, lantaran mempunyai distribusi sendiri, pihaknya bisa lebih leluasa mengontrol penyebaran produk. Selain itu juga untuk menjaga kepuasan pelanggan. Kami usahakan hingga warung penjual Sozzis bisa mengatasi problem, ucapnya. Katakanlah, ada kerusakan pada kemasan maka dengan segera pihaknya akan mengganti. Selain itu, untuk bertahan sebagai juara di sosis siap makan ini pihaknya juga membuat second brand yaitu So Nice. Bila Sozzis di pasaran dibanderol Rp 5.000/bungkus, So Nice hanya Rp 1.000/bungkus. Tetapi malah So Nice mampu berlipat hingga puluhan kali dibanding Sozzis, kata Denny. Saat ini, kontribusi So Good ke Grup Japfa mencapai 7% yang mana 70%-nya disumbang Sozzis dan So Nice. Menurut Denny, pangsa pasar Sozzis saat ini mencapai 80%.

Keberhasilan Japfa dalam mengembangkan So Good, Sozzis dan So Nice membuat perusahaan ini kian pede meluncurkan produk-produk baru. Akhir tahun 2005, Japfa pun masuk ke bisnis minuman, khususnya minuman susu dengan mengusung merek Real Good. Denny mengatakan, pasar produk susu cair di Indonesia sudah sangat riuh. Pasar ini juga sudah dikuasai oleh pemain besar seperti Ultra Jaya, Indomilk, dan Bendera. Memang para penguasanya sudah ada. Tapi kami tidak pernah merasa takut, ujar Denny. Awalnya, pihaknya agak kebingungan dalam menentukan value point untuk bersaing. Sebab, boleh dikatakan produk susu sama saja. Kami sempat kebingungan juga, apa diferensiasi kami, ujar Denny. Kebingungan ini maksudnya dalam memberikan sebutan. Misalnya, ada teh kotak dan susu botol. Nah, untuk Real Good ini cukup unik. Akhirnya dari berbagai ide yang muncul justru ide susu bantal yang digunakan. Kan kemasannya itu namanya pillow pack. Ya sudah kami terjemahkan saja. Mudah saja tinggal sebut susu bantal, ujarnya. Jadilah, Real Good menyasar pada segmen anak-anak. Kala itu, kami masih mengampanyekan susu cair yang affordable, timpal Nugroho Edi Sasongko, Manajer Pemasaran SSC. Strategi ini dipilih lebih untuk mematahkan anggapan bahwa susu merupakan konsumsi istimewa. Toh belakangan, tepatnya dalam tiga bulan ini, pihaknya melakukan repositioning Real Good. Dari susu yang terjangkau menjadi susu yang berkualitas, dengan slogan: Real Good real fresh. Slogan tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, ditinjau dari hulu, Japfa memang telah menyiapkan peternakan yang berdekatan dengan pabrik yang berada di Gunung Kawi, Malang. Menurut Agung Nugroho Susanto, Manajer Produk SSC, lokasi peternakan dari pabrik hanya beberapa puluh meter. Jadi, ketika selesai proses pemerahan langsung dilanjutkan ke proses pengemasan, katanya. Japfa memang tergolong sangat berani dalam berinvestasi. Tidak tanggung-tanggung, mereka langsung membuka peternakan dalam skala yang sangat besar. Dengan luas area mencapai 12 hektare, Japfa memelihara ribuan sapi yang langsung didatangkan dari Australia (3.600 ekor di antaranya merupakan sapi aktif). Per ekor bisa menghasilkan sampai 30-an liter, ujar Agung. Pabrik pengolahan susu sendiri berada di lokasi seluas 3 ha. Hanya sayangnya, Agung enggan membeberkan berapa investasi yang digunakan buat membangun peternakan dan pabrik susu dengan nama PT Greenfield Indonesia ini. Selain Real Good, pabrik ini juga memproduksi susu bermerek Greenfield. Tetapi istilahnya susu ini positioning-nya intelijen. Orang yang beli Greenfield berarti orang tahu akan kualitas susu kata Agung. Greenfield lebih banyak dipasarkan ke luar negeri, seperti Singapura, Hong Kong, Malaysia, Korea, Jepang, Uni Soviet dan Timur Tengah. Komposisi Greenfield saat ini 70% ekspor dan 30% dalam negeri. Pada tahap awal, menurut Denny, Real Good pun hanya dipasarkan di Malang dan Bandung. Hal ini, lagi-lagi untuk merayu pasar sembari mempersiapkan inventori. Yang pasti, saat ini pihaknya telah kewalahan melayani permintaan.

Kami sudah berada di posisi empat, timpal Nugroho. Untuk mengalahkan pemain-pemain besar, lanjutnya, membutuhkan dukungan yang lebih besar lagi. Kalau kami punya cukup anggaran, bisa saja langsung menggeser mereka, katanya. Menurut pakar pemasaran dari Octobrand, Sumardy, cara berpikir Japfa sebenarnya tergolong cukup sederhana, yakni meluncurkan So Good, Sozzis, So Nice, Real Good untuk kalangan menengah-bawah. Sebenarnya produk-produk itu hanya konsumsi kalangan menengah-atas, yang mana dari sisi pangsa pasar sangat terbatas. Yang dipikirkan kemudian, bagaimana membuat produk ini bisa dijangkau oleh kalangan menengah dan sedikit menengah-bawah. Pasalnya, pasarnya sangat besar di sini, kata Sumardy. Selain itu, Sumardy menyebutkan bahwa cara komunikasi Japfa juga sangat provokatif untuk menambah volume pasar. Caranya dengan membandingkan konsumsi daging orang Indonesia dengan negara lain. Di Indonesia masih sangat rendah. Jadi, dalam tanda kutip dia ingin bilang orang Indonesia masih kekurangan gizi dari segi daging, katanya. Nah, di sinilah ada kesempatan untuk memperbesar pasar. Sumardy mengakui, inovasi yang dilakukan Japfa sangat bagus dengan menyediakan produk yang biasa untuk kalangan menengah-atas ke menengah-bawah. Menurut Sumardy, So Good, So Nice akan tetap menjadi produk generik. Karenanya dalam berkomunikasi di iklan ada pelesetan. So Nice dibaca sesuai dengan ejaan Indonesia (bukan so nes) dan sama halnya dengan So Good. Ini adalah upaya mereka untuk menuju produk generik di kelas menengah-bawah. Pemelesetan ini, lanjut Sumardy, cukup membantu penetrasi ke kalangan menengah-bawah. Sebab, dari segi pendidikan kalangan ini memang agak rendah. Akan enak nanti penetrasinya, konsumen akan gampang menangkap maksudnya, kata dia. Selain itu, menurut Sumardy, kekuatan Japfa adalah sudah stabil di hulu. Sehingga saat penetrasi ke hilir akan sangat kuat. Karena, dari segi produk, kualitas, manufakturing, inovasi dan bisa memainkan harga. Paling enak perusahaan menguasai hulu lebih dulu baru terjun ke hilir. Tinggal memerlukan sentuhan pemasaran saja, kata Sumardy yang juga mengakui, jaringan distribusi Japfa sudah sangat kuat. Namun, lanjutnya, kekuatan utama Japfa terletak pada produknya. Sebab, bahan baku dari ternak hingga pakan ternaknya cukup bagus. Menanggapi repositioning Real Good, Sumardy mewanti-wanti agar jangan melupakan fokus utamanya. Real Good sejak awal bermain di segmen menengah-bawah. Kalau masih fokus, saya rasa tidak ada masalah, katanya. Cuma, kadang-kadang ada merek yang melupakan fokusnya. Ini bisa berakibat fatal bila fokus ini mulai dilupakan. Sebab, kepercayaan konsumen akan berkurang. Real Good harus fokus pada demand-nya. Kalau produk kan bisa menyesuaikan. Blunder yang harus dihindari adalah masuk ke banyak segmen dengan merek yang sama. Denny menambahkan, mengembangkan pasar daging olahan dan susu memiliki tantangan tersendiri. Masyarakat Indonesia kurang terdidik untuk mengonsumsi daging dan susu. Konsumsi susu per kapita di Indonesia masih 7 liter. Ini sangat rendah bila dibanding Vietnam yang sudah mencapai 30 liter per kapita. Karenanya, kami terus gencar melakukan edukasi, katanya.

Salah satu strategi edukasi yang kini tengah dijalankan adalah aneka propaganda makan daging dan minum susu digalakkan di sekolah-sekolah. Melalui program Japfa 4 Kids, pihaknya terus mengampanyekan gizi. Temanya, tidak jauh dari Anak Indonesia Peduli Gizi. Kegiatan ini lebih mengarah ke pemberian gizi pada anak-anak melalui berbagai permainan yang edukatif. Maka di situlah Japfa memberikan paket susu bantal Real Good, Sozzis, dan paket lainnya. Kegiatan dalam Japfa 4 Kids antara lain Training 5S (Seiri/pilah, Seiton/tata, Seiso/bersihkan, Seiketsu/mantapkan, Shitsuke/biasakan) yang diikuti kepala sekolah, guru dan juga penjaga sekolah. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai perlombaan pengelolaan manajemen sekolah yang baik. Kegiatan lainnya, kampanye gizi berupa pemeriksaan kesehatan gratis, penyuluhan kesehatan dan pembagian paket tambahan gizi. Japfa 4 Kids telah berlangsung sejak Februari 2008 sampai sekarang. Sudah dilaksanakan di 9 provinsi dan 19 kabupaten/kotamadya di seluruh Indonesia, melibatkan 70 Sekolah Dasar dengan total murid 13.891 dan 700 guru. Mereka adalah sasaran kami. Jadi, akan lebih mudah untuk meningkatkan awareness, kata Denny. Diakui Denny, memang, strategi produk konsumer Japfa dikenalkan secara terintegrasi. Sebab, antara produk satu dengan lainnya berkaitan erat, yakni masalah nutrisi. Bila kepedulian masyarakat akan nutrisi masih kurang, kemungkinan pengembangan pasar juga angot-angotan. Paling tidak lebih dari 5% per tahun. Apalagi, kalau kompetitor malas berkampanye. Kami susah kalau sendirian, katanya mengeluhkan. Denny yakin, dengan edukasi yang secara terus-menerus, produk Japfa akan terus bertumbuh. Kami sudah menyiapkan serangkaian strategi dan juga produk-produk baru, katanya tanpa bersedia menjelaskan lebih lanjut. Kami serius di bisnis ini, ia menegaskan. Kunci Sukses Japfa: Berani masuk ke kategori baru. Edukasi yang dilakukan langsung ke target pasar. Berani melakukan investasi pemasaran. Tidak langsung menggebrak secara nasional, melainkan bermain di daerah-daerah tertentu dulu sebelum masuk secara nasional.

Anda mungkin juga menyukai