Anda di halaman 1dari 14

Konsumsi daging di Indonesia masih terhitung kecil bila

dibandingkan negara lain. Kendati demikian, Ishana Mahisa


mengatakan, secara pelan namun pasti konsumsi daging unggas
di dalam negeri terus bertambah. Dari 4,99 kg/kapita/tahun
pada 2010, berturut-turut meningkat menjadi 6,28 kg, 6,97 kg,
8,08 kg, dan diprediksi menjadi 9,15 kg/kapita/tahun pada
2014. Sedangkan konsumsi daging sapi saat ini sebesar 2,1
kg/kapita/tahun. Tren peningkatan ini pun turut mengerek
pertumbuhan industri pengolahannya.
Peluang Besar
Industri pengolahan ayam mulai berkembang di Indonesia pada
1976. Sebelum tahun itu, industri pengolahan lebih didominasi
olahan dengan bahan baku daging sapi dan babi. Namun, lanjut
Ketua National Meat Processor Association (Aosiasi Industri
Pengolahan Daging Indonesia/Nampa), “Perkembangan
belakangan ini, 65% perusahaan (anggota Nampa 30
perusahaan) sudah mengolah ayam.” Beberapa nama yang
sering kita dengar adalah So Nice, Sozzis, Champ, Fiesta, Kimbo,
Farm House, Cimory, Vida, Bulaf, Fiva, Shiva, dan Bernadi.
Bahkan komposisi bahan baku sosis yang beredar saat ini, 43%
dari daging ayam dan 40,8% dari daging sapi. Sedangkan porsi
nugget 86,5% terdiri dari daging ayam dan 7,2%-nya dari daging
ikan. Memang, masih menurut Ishana, olahan berbahan dasar
daging sapi produk utamanya adalah bakso dan sosis.
Sedangkan untuk yang berbahan daging ayam, produk
utamanya adalah sosis dan nugget.
Baik untuk daging sapi dan daging ayam, olahan sosis menjadi
produk yang umum ditemukan di pasaran. Berdasarkan studi
tentang industri dan pasar sosis dan nugget 2012 yang
dilakukan Corinthian Infopharma Corpora, sejak 2007 sampai
2012 pertumbuhan pasar sosis sebesar 32,7% dengan
pertumbuhan nilai rupiah 39,1%. Bila dirupiahkan, pada 2012
sosis menembus angka Rp4,6526 triliun dengan total produksi
83,4 ribu ton sosis.
Besar memang, tetapi bila dibagi populasi penduduk Indonesia
yang sangat wah, maka angka tersebut menjadi kecil. Rata-rata
konsumsi per kapita sosis sebesar 349 gr dan nugget 201 gr per
tahun pada 2012. Jadi, bila ditotal konsumsi rata-rata sebesar
550 gr. Bila dibandingkan dengan konsumsi daging ayam dan
sapi perkapita, maka angka tersebut hanya mengambil bagian
6,1%. Sangat kecil bukan?
Maka tak menutup kemungkinan pertumbuhan industri ini akan
sangat besar. Pertumbuhan industri pengolahan pada 2014,
kata Gun Affandy, AVP Marketing PT PrimaFood International,
produsen sosis merek Fiesta dan Champ, “Industri pengolahan
pasti bagus, dan pasti tumbuh.”
Senada dengan Gun, Denny Gumulya, Vice President Head of
Marketing PT So Good Food, pun sepakat, “Potensinya besar
karena orang belum semua makan daging.” Bahkan, lanjut
produsen Sozzis dan So Nice ini optimistis, “Persentase growth
sosis naik 20% dari tahun sebelumnya, pasarnya nambah
besar.”
Prediksi Amalia Nafitri Hasanuddin, Direktur dan Owner (Saham
Terbesar) PT Sumber Pangan Jaya, produsen sosis Bulaf malah
lebih tinggi lagi. “Peluang pasar ini masih sangat luas karena
perkembangannya tiap tahun tumbuh. Khusus pengolahan
daging sampai 20-25%,” ujarnya kepada AGRINA.
Dibandingkan produk olahan lain, timpal Denny, kontribusi
olahan sosis terhadap seluruh produk olahan 2014 akan
mencapai 30%-40%, bahkan lebih. Saat ini ada dua jenis sosis
yang dipasarkan di Indonesia, yaitu sosis ready to eat atau siap
santap dan ready to cook atau siap masak.
Keduanya tentu punya penggemar masing-masing. Bagi penjaja
makanan, tentu pilihan jatuh pada sosis yang siap masak.
Pasalnya, selain harga yang terjangkau, sosis siap santap ini
berkulit sehingga potongannya bila dimasak tetap cantik.
Sebaliknya yang siap masak tidak berkulit, jadi bentuknya tidak
bagus karena memang peruntukannya langsung disantap.
Namun sayangnya peluang pasar sosis terkendala pasokan
listrik di pelosok Tanah Air. Banyak daerah yang masih minim
fasilitas listrik. Keberadaan listrik sangat berpengaruh terhadap
penyebaran sosis siap masak lantaran sosis ini sangat
tergantung dengan suhu penyimpanan produk -18°C, karena
kondisi produknya beku.
Walhasil, sosis siap masak ini hanya mampu bertahan selama
empat sampai enam jam dalam suhu ruang. “Penyebaran sosis
siap masak, semua daerah sudah masuk, tetapi memang belum
rata. Pemasaran ini ‘kan perlu dalam keadaan frozen. Ada
beberapa daerah yang listriknya sering mati,” beber Gun
prihatin.
Perkembangan Sosis
Menjawab permasalahan itu, maka hadirlah sosis siap santap.
Tanpa perlu pengolahan, sosis siap santap menjadi unggul di
kelasnya. Namun pemasaran sosis siap santap tak semudah
dibayangkan. “Promosinya sampai berdarah-darah dulu,” beber
Denny. Kondisi ini terjadi karena masyarakat telanjur terbiasa
memasak sosis.
Tak hanya konsumen, cuaca pun turut memberikan tantangan
bagi perusahaan yang memproduksi sosis siap santap. Nugroho
Edi Sasongko mencontohkan kondisi di China.
Marketing Manager PT So Good Food ini mengatakan, suhu
udara di Negeri Panda itu cenderung nyaman, sangat berbeda
dengan suhu tropis Indonesia. “Kita mulai Sozzis itu tahun 2001,
ada problem quality. Suhu di sana ‘kan bagus, dingin, di sini
‘kan ekstrem. Jebol! Minyaknya keluarlah, yang asemlah,”
beber Nes, sapaannya.
Belajar dari kasus itu, pioner sosis santap ini akhirnya
menemukan solusi tepat. Sosis siap santapnya pun beredar
secara meluas. Buktinya? Longok saja warung-warung kecil pun
menyediakan berbagai jenis sosis. Tak hanya satu merek,
berbagai jenis merek tersedia sekaligus.
Tak hanya itu, minat masyarakat terhadap sosis pun
mendorong munculnya industri rumahan, industri skala kecil
dan menengah. Mereka ikut memproduksi sosis dan
mengkreasikan olahan lanjutannya. Sebut saja sosis bakar,
rumah sosis, bulaf dan banyak lainnya, mereka berbondong-
bondong terjun di bisnis sosis.
Sebenarnya, menurut Susanto Dwianggoro, pemilik Sosis Bakar
Bandung, “Sosis bakar pada 2011-2012 sudah booming . Tapi
hanya untuk wilayah Bandung. Baru 2013 mulai booming di
daerah lain seperti Jakarta dan Bekasi.”
Tak sebatas berkonsep restoran, produksi sosis pun dijadikan
obyek wisata masyarakat. Contohnya Rumah Sosis, yang kini
membuka cabang di Bandarlampung. “Meski baru setahun,
Rumah Sosis mulai menjadi obyek wisata kuliner bagi warga
kota dan daerah sekitar Provinsi Lampung,” tutur Cepi
Apriatno, Manajer Rumah Sosis Cabang Bandarlampung
Peningkatan produk olahan pun dirasakan oleh PT Sumber
Pangan Jaya, produsen sosis Bulaf di Cilandak, Jakarta Selatan.
Semenjak berdiri 2009, omzet mereka terus tumbuh. Mereka
mulai dengan produksi hanya 11,65 ton, lalu meningkat
menjadi 223,86 ton tahun lalu. “Kami lihat, pada umumnya
sosis yang beredar di pasar itu untuk kelas menengah dan pasar
becek, yang berwarna merah, menggunakan pengawet, dan
MSG (vetsin). Saya ambil peluang di sini. Saya produksi sosis
sehat tanpa pengawet, pewarna dan MSG, kemudian pasarnya
adalah kelas menengah karena orangnya lebih peduli terhadap
pangan yang sehat,” ungkap Amalia.
Pasar Bebas
Dalam menghadapi pasar bebas ASEAN, menurut Denny, kita
tidak perlu takut. Pasalnya, dari segi harga, sosis di luar negeri
seperti Singapura dan China jauh lebih mahal daripada di
Indonesia. “Di Singapura harganya Rp15 ribu per batang, bila
dibandingkan dengan harga di Indonesia, kita bisa masuk ke
sana.” Selidik punya selidik, dulu So Good sudah pernah ekspor
ke Myanmar, sayangnya masih ada beberapa hambatan yang
membuat ekspor ini terhenti.
Karena itulah industri olahan ini harus berbenah. Pasalnya,
ancaman dari berbagai penjuru dapat merebut pasar yang
dikuasai industri domestik. Bila berkaca pada kondisi saat ini,
orang Indonesia itu life style-nya mulai ke arah Korea dan
Jepang. Tapi Gun berpendapat, kita harus membuat style
sendiri dengan mengangkat masakan khas daerah. Apalagi, saat
ini orang Indonesia banyak yang bersekolah ke luar negeri, jadi
saat pulang mau tak mau, akan ada perubahan life style,
sehingga, menurut Gun. kita harus mempersiapkan diri untuk
menghadapi permintaan pasar.
Strategi pun telah diterapkan oleh Susanto memperkuat olahan
dengan cita rasa lokal. “Walaupun gempuran dari luar banyak,
sekarang kami perkuat jaringan, perkuat produktivitas, dan
trust masyarakat.” Ingin berbisnis sosis?
Sosis Olahan Sehat Kaya Manfaat
Rasa yang enak dan mudah dibawa menjadikan sosis pilihan
jajanan sehat bagi anak-anak.
Pakar gizi Institut Pertanian Bogor, Prof. Ali Khomsan sangat
setuju bila sosis dijadikan jajanan bagi anak sekolah. “Itu lebih
bagus. Karena jajanan kita banyak yang nggak bermutu. Di
kampung-kampug itu ada cireng, aci (tepung tapioka) yang
hanya digoreng dan diberi saus, ada cilok aci yang dicolok. Itu
makan-makanan yang tidak bermutu, banyak sekali makanan
sampah yang beredar di sekolah. Belum kita bicara aspek
ketidakamanan, penggunaan formalin, dan pewarna yang tidak
terkontrol oleh pemerintah,” ujarnya ketika berbincang via
telepon.
Akibatnya, tentu anak-anak yang jadi korban. Karena itu, lanjut
Ali, “Produk sosis yang dibuat oleh industri besar pasti telah
memikirkan keamanan pangan. Mereka tidak mungkin
membohongi konsumen, kalau membohongi ‘kan nanti
pabriknya ditutup oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM),” imbuhnya.
Selain dari segi keamanan bahan makanan, sosis pun menjadi
sumber protein bagi mereka. Ali menambahkan, “Daging itu
diketahui kaya akan kadar gizi. Sekarang fenomena anemia
karena kekurangan zat besi itu ‘kan banyak terjadi pada anak-
anak dan juga pada ibu hamil sehingga anemia menjadi salah
satu masalah gizi berat yang dihadapi oleh bangsa kita.
Parahnya, sampai sekarang belum teratasi dengan baik. Jadi
konsumsi makan hewani seperti daging yang kaya zat besi, itu
sangat baik untuk masyarakat.”
Kekhawatiran akan rusaknya kandungan gizi akibat pengolahan
ditepis Ali. “Tentu saja proses pengolahan (menjadi sosis) itu
berpengaruh, tetapi tidak terlalu signifikan. Penurunan
proteinnya nggak terlalu banyak karena pada dasarnya waktu
kita masak daging juga melalui proses pemasakan,” ulasnya.
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia IPB itu menilai, dengan proses pengolahan citarasa
justru bisa bertambah dan bervariasi. Tak hanya itu,
pengolahan pun dapat menampung surplus produksi dari suatu
bahan baku. Saat ini ada dua tipe pengolahan, yaitu ready to
cook dan ready to eat.
Dari segi pemanasannya, memang ready to cook tidak
seoptimal ready to eat sehingga kandungan protein dan gizi
yang hilang pun jauh lebih sedikit. Tetapi karena masih harus
dimasak tentunya akan menjadi sama saja.
Dalam memilih pangan olahan, ibu-ibu harus cermat.
Perhatikan komposisi dan kewajaran dari produk olahan.
Menurutnya, sebelum membeli konsumen harus mencermati
label kemasan. “Ketika orang membeli sesuatu, label bisa
menjadi bahan pertimbangan. Jadi sosis itu perlu label,” saran
Ali.
Walaupun begitu, bukan berarti anak hanya boleh makan sosis
saja. Ali berpesan, “Intinya, utamakan keragaman pangan
dalam proses masak sehari-hari sehingga kekurangan dari satu
bahan makanan bisa ditutupi oleh bahan makanan yang lain.”
Dengan kata lain, selain makan sosis, anak pun sebaiknya
makan berbagai sayuran mulai dari yang berwarna merah,
hijau, ungu, dan sumber protein pun harus bervariasi daging
ikan, ayam, sapi, juga tempe, dan tahu.
Meski dalam beberapa tahun terakhir Indonesia masih
mengandalkan daging impor dari Australia dan Selandia Baru
untuk memenuhi permintaan, akan tetapi Wakil Menteri
Perdagangan Bayu Krisnamurthi meyakini bahwa Indonesia
mampu menjadi eksportir daging sapi dengan status halal.
Menurut Bayu, upaya ini bisa dilakukan dengan
mendayagunakan masyarakat di wilayah Aceh.
\"Sebenarnya kita memiliki potensi untuk melakukan ekspor
daging sapi, khususnya dengan berlabel halal. Ini bisa dilakukan
dengan mendayagunakan masyarakat kita yang berada di
Serambi Mekkah,\" kata Bayu di Jakarta, Selasa (25/6).
Bayu mengatakan, setiap tahunnya, kebutuhan daging sapi
halal di Mekkah mencapai 4 juta ton. Ini adalah peluang
sekaligus potensi pasar yang cukup menjanjikan apabila digali
dan dikembangkan. \"Selain itu, untuk produk olahan juga bisa
diekspor ke Bangladesh, India, ataupun Myanmar. Ini
merupakan peluang yang sangat besar,\" ujar Bayu.
Meskipun peluang pasar ekspor untuk daging sapi berstatus
halal sangat besar, pada kenyataannya, beberapa waktu lalu
harga daging sapi di pasar tradisional melonjak hingga
mencapai Rp 95.000 per kilo gram dan pemerintah terus
berupaya untuk menambah pasokan agar harga menjadi stabil
di kisaran Rp 75.000 per kilogram.
Pemerintah telah menugaskan Perum Badan Urusan Logistik
(Bulog) untuk ikut berperan dalam menjaga stabilitas harga
daging sapi menjelang datangnya bulan Ramadan. Salah satu
langkahnya dengan pemberian kuota importasi daging sebesar
3.000 ton. Kuota impor daging sapi untuk 2013 sebanyak
80.000 ton yang terbagi dari 32.000 ton daging sapi beku, dan
267.000 ekor sapi bakalan atau setara dengan 48.000 ton
daging sapi.
Sementara itu, Indonesia masih ketergantungan terhadap
impor daging sapi. Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS),
tahun lalu Indonesia mengimpor daging mencapai 40.338 ton
atau senila dengan US$156,05 juta. Berikut ini adalah lima
negara yang rajin menjual dagingnya ke Indonesia.
Australia dengan nilai impor daging mencapai US$ 113,8 juta
atau setara dengan 29,4 ribu ton. Selandia Baru dengan nilai
impor daging mencapai US$ 35,5 juta atau setara dengan 9,61
ribu ton. Amerika Serikat dengan nilai impor daging mencapai
US$ 6,6 juta atau mencapai 1,3 ribu ton. Kyrgyzstan dengan
nilai impor daging mencapai US$ 9.671 atau 1,075 ton. Dan
Singapura dengan nilai impor mencapai US$ 1.553 atau 227 kg.
Tidak hanya mengekspor daging sapi, namun pemerintah juga
berambisi mengekspor unggas khususnya ayam. \"Saat ini
produksi ayam nasional sedang meningkan dan bisa berpotensi
untuk ekspor,\" ungkap Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro.
Ia menyatakan bahwa Indonesia pernah menjadi eksportir
ayam sebelum tahun 1980-an. Namun, pada rentang itu
Indonesia diserang wabah flu burung (avian influenza/AI).
Akibatnya, sejak tahun 1980, negara-negara lain menutup pintu
impor ayam dari Indonesia karena takut tertular wabah
AI. \"Karena itulah kami sedang berupaya keras meyakinkan
masyarakat internasional bahwa tidak semua wilayah di
Indonesia terancam virus flu burung,\" kata Syukur.
Terbebas Virus
Menurut Syukur, pemerintah akan meyakinkan negara lain
bahwa beberapa wilayah di Indonesia benar-benar terbebas
dari virus AI, seperti Provinsi Maluku Utara dan Gorontalo.
Pemerintah juga tengah mendorong beberapa wilayah lain bisa
terbebas dari flu burung seperti di Kalimantan Barat.
Pemerintah, lanjutnya, sangat ingin mendorong ekspor ayam
dalam bentuk daging ayam beku. Pasar ekspor ayam beku yang
diincar pemerintah diantaranya Singapura, Jepang, Hongkong,
Brunei Darussalam, dan negara-negara Timur Tengah. Sebagai
tahap awal, pemerintah akan menjadikan Kepulauan Riau
sebagai wilayah yang terbebas dari flu burung.
Alasan lain dipilih Kepulauan Riau ini, kata Syukur, Singapura
telah menginvestasikan alat laboratorium unggas sejak tiga
tahun terakhir. \"Ini bisa menjadi cara untuk meyakinkan
bahwa Kepulauan Riau bisa menjadi pintu gerbang ekspor
unggas ke Singapura,\" katanya.
Syukur menambahkan, pembukaan pasar ekspor ini akan
memiliki efek berganda. Selain menambah devisa negara,
ekspor ayam juga bisa menstabilkan harga di tingkat peternak
karena terjadi keseimbangan pasokan dan kebutuhan. \"Salah
satu upaya meyakinkan negara lain adalah kami membiarkan
mereka melakukan audit sendiri di Indonesia, lalu kami juga
terus lakukan surveillance dan biosecurity,\" ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produksi daging
nasional pada 2012 sebesar 2,7 juta ton. Jumlah ini terdiri dari
daging unggas (ayam dan itik) 1.818.000 ton (67%), daging sapi
505.000 ton (18%), daging babi 235.000 ton (8%), daging
kambing dan domba 115.500 ton (4%), daging kerbau 35.000
ton (1%), dan daging lainnya 54.000 ton (2%).

Mince beef
Membeli daging cincang terlihat praktis dan gampang. Padahal
kualitas dagingnya tak bisa ditebak. Kalau mau, membuat
daging cincang sendiri juga gampang. Ikuti tips praktis ini saja!
Pertama siapkan daging sapi segar yang tak terlalu banyak
lemak. Pisahkan lemak dan dagingnya. Buang selaput lemak
yang keras. Kemudian potong daging melintang serat. Pisahkan
dengan lemaknya. Simpanlah dalam freezer selama 1-2 jam
hingga setengah beku.
Daging perlu dibekukan sebentar agar kesegaran terjaga dan
daging lebih mudah digiling dalam keadaan setengah beku.
Untuk mencincang bisa memakai cara manual dengan pisau
daging dan talenan. Memakai gilingan daging manual atau
listrik atau food processor. Masukkan iirsan daging bertahap
dan proses hingga halus.
Pada tahap terakhir masukkan daging bersama lemak dan
proses hingga halus. Jika akan dibuat patty burger atau bola-
bola daging bisa ditambahkan bumbunya seperti bawang putih,
merica, pala, garam dan rempah lainnya.
Tambahkan bumbu di gilingan terkahir kemudian aduk dengan
semua daging giling hingga rata. Adonan daging siap dibentuk
sesuai selera.

Anda mungkin juga menyukai