Anda di halaman 1dari 71

Prinsip Pemenuhan Kebutuhan

Eliminasi

Kebutuhan eliminasi terdiri atas dua yakni


eliminasi urine ( kebutuhan buang air kecil) dan
eliminasi alvi (kebutuhan buang air besar).
Sistem Tubuh Yang Berperan dalam
Eliminasi Urine.

Sistem tubuh yg berperan dalam terjadinya eliminasi urine adalah


ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra, yang mempunyai peran
masing-masing.
1. Ginjal.
Merupakan organ retroperitoneal (
dibelakang rongga perut ) sebelah
kanan dan kiri tlg punggung. Ginjal berperan
sbg pengatur komposisi dan volume cairan
dalam tubuh. Ginjal juga menyaring bagian
dari darah untuk dibuang dalam bentuk
urine sbg zat sisa yang tidak diperlukan oleh
tubuh. Bagian ginjal terdiri atas nefron, yg
merupakan unit dari struktur yg berjumlah
kira-kira 1juta nefron. Melalui nefron urine
disalurkan melalui ureter ke kandung kemih.
2. Kandung kemih ( bladder / buli-buli ).
Merupakan sebuah kantong yg terdiri atas otot halus yg
berfungsi sbg penampung air seni (urine).
Dalam kandung kemih terdpt lapisan jaringan otot yg
memanjang ditengah dan melingkar disebut detrusor dan
berfungsi untuk mengeluarkan urine.
Pada dasar kandung kemih terdapat lapisan tengah jaringan
otot yg berbentuk lingkaran bagian dalam , disebut sbg otot
lingkar yg berfungsi menjaga saluran antara kandung kemih
dan uretra, shg uretra dpt mengalirkan urine dari kandung
kemih keluar tubuh.
Penyaluran rangsangan ke kandung kemih dan rangsangan
motoris ke otot lingkar bagian dalam diatur oleh sistem
simpatis.
Akibat dari rangsangan ini, otot lingkar menjadi kendor dan
terjadi kontraksi sfingter bagian dalam sehingga urine tetap
tinggal dalam kandung kemih.Sistem para simpatis
menyalurkan rangsangan motoris kandung kemih dan
rangsangan penghalang ke bagian dalam otot lingkar.
Rangsangan ini dapat menyebabkan terjadinya kontraksi otot
detrusor dan kendurnya sfingter.
3. Uretra.
Merupakan organ yg berfungsi untuk menyalurkan urine ke
bagian luar.
Fungsi uretra pada wanita mempunyai fungsi berbeda
dengan yg terdapat pada pria.
Pada pria, uretra digunakan tempat pengaliran urine dan
sebagai sistem reproduksi berukuran panjang 13,7-16,2 cm
dan terdiri atas tiga bagian yaitu prostat, selaput (membran)
dan bagian yg berongga (ruang).
Pada wanita, uretra memiliki panjang 3,7-6,2 cm
dan hanya berfungsi untuk menyalurkan urine
keluar tubuh.
Saluran perkemihan dilapisi membran mukosa,
dimulai dari meatus uretra hingga ginjal. Meskipun
mikroorganisme secara normal tdk ada yg bisa
melewati uretra bagian bawah, namun membran
mukosa ini pada keadaan patologis yg terus
menerus akan menjadikannya sbg media yg baik
untuk pertumbuhan beberapa patogen.
Proses Berkemih.
Merupakan proses pengosongan vesika urinaria (kandung kemih).
Vesika urinaria dapat menimbulkan rangsangan syaraf bila berisi urine
kurang lebih 250-450 cc (pd org dewasa) dan 200-250 cc (pd anak-
anak).
Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi urine yang
dapat menimbulkan rangsangan pada syaraf-syaraf di dinding vesika
urinaria.
Kemudian rangsangan tersebut diteruskan melalui medulla spinalis ke
pusat pengontrol berkemih yang terdapat di korteks serebral.
Selanjutnya otak memberikan impuls / rangsangan melalui
melalui medulla spinalis ke neuromotoris di daerah sakral,
kemudian terjadi koneksasi otot detrusor dan relaksasi otot
sfingter internal.
Urine dilepaskan dari vesika urinaria, tetapi masih tertahan
sfingter eksternal .
Jika waktu dan tempat memungkinkan akan menyebabkan
relaksasi sfingter eksternal dan kemungkinan dikeluarkan
(berkemih).
Komposisi Urine
1. Air ( 96 % ).
2. Larutan ( 4 % ).
a. Larutan organik :
Urea, ammonia, kreatin, dan asam
urat.
b. Larutan anorganik.
Natrium ( sodium ), klorida, kalium
( potasium ), sulfat, magnesium,
fosfor.
Natrium klorida merupakan garam
anorganik yang paling banyak.
Faktor yang mempengaruhi
Eliminasi urine
1. Diet dan Asupan ( intake )
Jumlah dan tipe makananmerupakan
merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine ( jumlah
urine ).
Protein dan natrium dapat menentukan
jumlah urine yang dibentuk.
Selain itu minum minuman yang
mengandung kafein juga dapat
meningkatkan pembentukan urine.
2. Respons Keinginan Awal Untuk
Berkemih.
Kebiasaan mengabaikan keinginan
awal untuk berkemih dapat
menyebabkan urine banyak tertahan
di dalam vesika urinaria sehingga
mempengaruhi ukuran vesika urinaria
dan jumlah pengeluaran urine.

3. Gaya Hidup.
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi
pemenuhan kebutuhan eliminasi dalam
kaitannya terhadap tersedianya fasilitas toilet.

Hal ini karena meningkatnya


sensisitivitas untuk keinginan berkemih
dan jumlah urine yang diproduksi.
5. Tingkat Aktifitas.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot
vesika urinaria yang baik untuk fungsi
sfingter.
Hilangnya tonus otot vesika urinaria
menyebabkan kemampuan
pengontrolan berkemih menurun dan
kemampuan tonus otot didapatkan dengan
beraktivitas.
6. Tingkat Perkembangan.
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan
juga dapat mempengaruhi pola berkemih.
Hal tersebut dapat ditemukan pada anak,
yang pada umumnya lebih memiliki
kesulitan untuk mengontrol b.a.k.
Namun dengan bertambahnya usia
kemampuan dalam mengontrol b.a.k
meningkat.

7. Kondisi Penyakit.
Kondisi penyakit dapat mempengaruhi
produksi urine, seperti DM.

8. Sosiokultural.
Budaya dapat mempengaruhi
kebutuhan eliminasi urine, seperti
adanya kultur pada masyarakattertentu
yang melarang untuk b. a. k di tempat
tertentu.
9. Kebiasaan seseorang .
Seseorang yang mempunyai kebiasaan
berkemih di toilet, biasanya mengalami
kesulitan untuk berkemih dengan
menggunakan urinal / pot urine bila
dalam keadaan sakit
10. Tonus Otot.
Tonus otot yang memiliki peran
penting dalam membantu proses
berkemih adalah otot kandung kemih,
otot abdomen dan pelvis.
Ketiganya sangat beperan dalam
kontraksi pengontrolan pengeluaran
urine.
11. Pembedahan.
Efek pembedahan dapat menurunkan
filtrasi glomerulus yang dapat
menyebabkan penurunan jumlah
produksi urine karena dampak dari
pemberian obat anastesi
12. Pengobatan.
Pemberian tindakan pengobatan dapat
berdampak pada terjadinya
peningkatan atau penurunan proses
perkemihan.
Misalnya pemberian diuretik dapat
meningkatkan jumlah urine,
sedangkan pemberian obat
antikolinergik dan antihipertensi dapat
menyebabkan retensi urine.
13. Pemeriksaan Diagnostik.
Pemeriksaan diagnostik juga dapat
mempengaruhi kebutuhan eliminasi
urine, khususnya prosedur-prosedur
yang berhubungan dengan tindakan
pemeriksaan saluran kemih seperti
IVP ( intra venus pyelogram ), yang
dapat membatasi jumlah asupan
sehingga mengurangi produksi urine.
Selain itu tindakan sistoskopi dapat
menimbulkan edema lokal pada uretra
yang dapat menganggu peneluaran
urine.
Gangguan / Masalah Kebutuhan Eliminasi
Urine
1. Retensi Urine.
Merupakan penumpukan urine dalam
kandung kemih akibat ketidakmampuan
kandung kemih untuk mengosongkan
kandung kemih, sehingga
menyebabkan distensi vesika urinaria,
atau merupakan keadaan ketika
seseorang mengalami pengosongan
kandung kemih yang tidak lengkap.
Dalam keadaan distensi ,vesika urinaria
dapat menampung urine sebanyak 3000-4000 ml urine.
Tanda Klinis Retensi :
a. Ketidaknyamanan daerah pubis.
b. Distensi vesika urinaria.
c. Ketidaksanggupan untuk berkemih.
d. Sering berkemih saat vesika urinaria
berisi sedikit urine ( 25-50 ml ).
e. Ketidakseimbangan jumlah urine yang
dikeluarkan dengan asupannya.
f. Meningkatnya keresahan dan keinginan
berkemih.
g. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml
dalam kandung kemih.
Penyebab :
a. Operasi pada daerah abdomen bawah,
pelvis vesika urinaria.
b. Trauma tulang belakang.
c. Tekanan uretra yang tinggi disebabkan
oleh otot detrusor yang lemah.
d. Sfingter yang kuat.
e. Sumbatan ( striktur uretra, pembesaran
kelenjar prostat ).
2. Inkontinensia Urine.
Adalah ketidakmampuan otot sfingter
eksternal sementara atau menetap
untuk mengontrol ekskresi urine.
Secara umum penyebab dari
inkontinensia urine adalah : proses
penuaan ( aging prosess ), pembesaran
kelenjar prostat, penurunan kesadaran,
penggunaan obat narkotik dan sedatif.
3. Enuresis :
Merupakan ketidaksanggupan
menahan kemih ( mengompol ) yang
diakibatkan tidak mampu mengontrol
sfingter eksterna.
Enuresis biasanya terjadi pada anak
atau orang jompo.
Umumnya terjadi pada malam hari
( nocturnal enuresis ).
Faktor menyebab enuresis
a. Kapasitas vesika urinaria lebih besar
dari normal.
b. Anak-anak yang tidurnya bersuara dan
tanda-tanda dari indikasi keinginan
berkemih tidak diketahui, yang
mengakibatkan terlambatnya bangun
tidur untuk ke kamar mandi.
c. Vesika urinaria peka rangsang dan
seterusnya tidak dapat menampung
urine dalm jumlah besar.
d. Suasana emosional yang tidak
menyenangkan di ( misalnya
persaingan dengan saudara kandung
atau cekcok dengan orang tua ).
e. Orang tua yang mempunyai pendapat
bahwa anaknya akan mengatasi
kebiasaannya tanpa dibantu untuk
mendidiknya.
f. Infeksi saluran kemih atau perubahan
fisik atau neurologis sistem perkemihan.
g. Makanan yang banyak mengandung
garam dan mineral.
h. Anak yang takut jalan gelap untuk ke kamar mandi.
4. Perubahan Pola Eliminasi Urine.
Perubahan pola eliminasi urine merupakan
keadaan seseorang yang mengalami
gangguan pada eliminasi urine yang
disebabkan oleh obstruksi anatomis,
kerusakan motorik sensorik, infeksi saluran
kemih.
Perubahan pola eliminasi terdiri atas :
a. Frekuensi.
Adalah banyaknya jumlah berkemih dalam
sehari.
Meningkatnya frekuensi berkemih
dikarenakan meningkatnya jumlah cairan
yang masuk.
Frekuensi yang tinggi tanpa suatu tekanan
asupan cairan dapat diakibatkan oleh sistitis.
Frekuensi tinggi dapat ditemukan juga pada
keadaan stres atau hamil.

b. Urgensi.
Adalah perasaan seseorang yang takut
mengalami inkontinensia jika tidak berkemih.
Pada umumnya, anak kecil memiliki
kemampuan yang buruk dalam mengontrol
sfingter eksternal.
Perasaan segera ingin berkemih biasanya
terjadi pada anak karena kemampuan
sfingter untuk mengontrol belum sempurna.
c. Disuria.
Disuria adalah rasa sakit dan kesulitan
dalam berkemih. Hal ini sering ditemukan pada penyakit infeksi
saluran kemih, trauma, dan striktur uretra.
d. Poliuria.
Poliuria merupakan produksi urine abnormal
dalam jumlah besar oleh ginjal, tanpa adanya peningkatan asupan
cairan.
Hal ini biasanya dapat ditemukan pada
penyakit diabetus melitus dan penyakitginjal
kronis.
e. Urinaria supresi.
Adalah berhentinya produksi urine secara
mendadak.
Dalam keadaan normal urine diproduksi oleh
ginjal secara terus menerus pada kecepatan
60-120 ml / jam.
Tindakan mengatasi masalah
elimiminasi urine

Mengingat tujuan pemeriksaan dengan bahan urine tersebut berbeda-


beda, maka dalam pengambilan atau pengumpulan urine juga dibedakan
sesuai dengan tujuannya.
Diantara cara pengambilan urine tersebut antara lain :
1. Pengambilan urine biasa merupakan
pengambilan urine dengan cara mengeluarkan urine secara
biasa yaitu b.a.k.
Pengambilan urine biasa ini biasanya
digunakan untuk pemeriksaan kadar gula
dalam urine, pemeriksaan kehamilan, dll.
2. Pengambilan urine steril merupakan
pengambilan urine dengan menggunakan
alat steril, dilakukan dengan cara kateterisasi
atau fungsi suprapubis yang bertujuan
mengetahui adanya infeksi pada uretra,
ginjal, atau saluran kemih lainnya.
3. Pengambilan urine selama 24 jam
merupakan pengambilan urine yang
dikumpulkan selama 24 jam, bertujuan untuk
mengetahui jumlah urine selama 24 jam dan
mengukur berat jenis, asupan dan output,
serta mengetahui fungsi ginjal.
Eliminasi Alvi ( Buang Air Besar )
Sistem yang berperan dalam Eliminasi Alvi.
Sistem tubuh yang memiliki peran dalam
proses eliminasi alvi ( b.a.b ) adalah sistem
gastrointestinal bawah yang meliputi usus
halus dan usus besar.
Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum,
dan ileum dengan panjang kurang lebih 6 m
dengan diameter 2,5 cm, serta berfungsi
absorbsi elektrolit Na+ , Cl- , K+, Mg2+,
HCO3, dan kalsium.
Usus besar dimulai dari rektum, kolon hingga anus yang memiliki
panjang kurang lebih 1,5 m atau 50-60 inci dengan diameter 6
cm.

Usus besar merupakan bagian bawah atau bagian ujung dari


saluran pencernaan, dimulai dari katup ileum caecum sampai ke
dubur ( anus ).
Pada batas antara usus besar dan ujung usus
halus terdapat katup ileocaecal.
Katup ini biasanya mencegah zat yang masuk
ke usus besar sebelum waktunya, dan
mencegah produk buangan untuk kembali ke
usus halus.

Produk buangan yang memasuki usus besar


isinya berupa cairan.
Setiap hari saluran anus menyerap sekitar
800-1000 ml cairan.
Penyerapan inilah yang menyebabkan faeses
mempunyai bentuk dan setengah padat.
Jika penyerapan tidak baik, produk buangan
cepat melalui usus besar, faeses itu lunak dan
berair.
Kalau faeses terlalu lama di usus besar, maka
terlalu banyak air yang diserap sehingga
faeses menjadi kering dan keras.
Kolon sigmoid mengandung faeses yang
sudah siap untuk dibuang dan diteruskan ke
dalam rektum.
Panjang rektum 12 cm ( 5 inci ), 2,5 cm
( 1 inci ) merupakan saluran anus.
Dalam rektum terdapat tiga lapisan jaringan
transversal.
Tiga lapisan tsb merupakan bagian yang
menahan faeses untuk sementara, dan setiap
lipatan lapisan tsb mempunyai arteri dan vena.
Gerakan peristaltik yang kuat dapat
mendorong faeses ke depan.
Gerakan ini terjadi 1-4 kali dalam waktu
24 jam.
Peristaltik sering terjadi sesudah makan.
Biasanya 1/2-1/3 dari produk buangan hasil
makanan dicerna dalam waktu 24 jam, dibuang
dalam faeses dan sisanya sesudah 24-48 jam.
Makanan yang diterima oleh usus halus dari
lambung dalam bentuk setengah padat, atau
dikenal dengan nama chyme, baik berupa air,
nutrien, maupun elektrolit yang kemudian akan
diabsorsi.
Usus akan mensekresi mukus, kalium,
bikarbonat dan enzim.
Secara umum, kolon berfungsi sebagai tempat
absobrsi, proteksi, sekresi, dan eliminasi.
Proses perjalanan makanan dari mulut sampai
rektum membutuhkan waktu 12 jam.
Proses perjalanan makanan khususnya pada
daerah kolon, memiliki beberapa gerakan,
diantaranya haustral saffing atau dikenal
sebagai gerakan mencampur zat makanan
dalam bentuk padat untuk mengabsorbsi air,
kemudian diikuti dengan kontraksi haustral
atau gerakan mendorong zat makanan / air
pada daerah kolon dan terakhir terjadi gerakan
peristaltik yaitu gerakan maju ke anus.
Otot lingkar ( sfingter ) bagian dalam dan luar
saluran anus menguasai pembuangan faeses
dan gas dari anus.
Rangsangan motorik disalurkan oleh sistem
syaraf simpatis dan rangsangan penghalang
oleh sistem parasimpatis ( kraniosakral ).
Bagian dari sistem syaraf otonom ini memiliki
sistem kerja yang berlawanan dalam
keseimbangan yang dinamis.
Sfingter luar anus merupakan otot bergaris
dan dibawah penguasaan parasimpatis.
Baik diwaktu sakit maupun sehat dapat terjadi
gangguan pada fungsi normal pembuangan
oleh usus yang dipengaruhi oleh jumlah, sifat
cairan, makanan yang masuk, taraf kegiatan,
dan keadaan emosi.
Proses Buang Air Besar
( Defekasi )

Defekasi adalah proses pengosongan usus


yang sering disebut b.a.b.
Terdapat dua pusat yang menguasai refleks
untuk defekasi, yang terletak di medula dan
sumsum tulang belakang.
Apabila terjadi rangsangan parasimpatis,
sfingter anus bagian dalam akan mengendor dan usus besar
menguncup.
Reflek defekasi dirangsang untuk b.a.b,
kemudian sfingter anus bagian luar yang
diawasi oleh sistem syaraf parasimpatis, setiap waktu menguncup
atau mengendor.
Selama defekasi berbagai otot lain membantu
proses itu, seperti otot dinding perut,
diafragma, dan otot-otot dasar pelvis.
Faeses terdiri dari sisa makanan seperti
selulosa yang tidak dicernak dan zat makanan
lain yang seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh,
berbagai macam mikroorganisme, sekresi
kelenjar usus, pigmen empedu, dan cairan
tubuh.
Faeses yang normal terdiri dari massa padat,berwarna coklat
disebabkan oleh mobilitas sebagai hasil reduksi pigmen empedu
dan usus kecil.
Secara umum, terdapat dua macam refleks
yang membantu proses defekasi :
1. Refleks defekasi intrinsik yang dimulai dari
adanya zat sisa makanan ( faeses ) dalam
rektum sehingga terjadi distensi, kemudian
flexus mesenterikus merangsang gerakan
peristaltik, dan akhirnya faeses sampai di
anus, lalu pada saat sfingter interna
relaksasi, maka terjadilah proses defekasi.
2. Refleks defekasi parasimpatis.
Adanya faeses dalam rektum yang
merangsang syaraf rektum, ke spinal cord,
dan merangsang kolon desenden, kemudian
ke sigmoid, lalu ke rektum dengan gerakan
peristaltik dan akhirnya terjadi relaksasi
sfingter interna, maka terjadilah proses
defekasi saat sfingter interna berelaksasi.
Gangguan / Masalah Eliminasi Alvi
Konstipasi
Merupakan keadaan individu yang mengalami
atau berisiko tinggi mengalami stasis usus
besar sehingga menimbulkan eliminasi yang
jarang atau keras, atau keluarnya tinja terlalu
kering dan keras.
Tanda Klinis :
1. Adanya faeses yang keras.
2. Defekasi kurang dari 3 kali / mg.
3. Menurunnya bising usus.
4. Adanya keluhan pada rektum.
5. Nyeri saat mengejan dan defekasi.
6. Adanya perasaan masih ada sisa faeses.
Kemungkinan Penyebab :
1. Defek persyarafan, kelemahan pelvis,
imobilitas karena cedera serebrospinalis,
CVA ( cerebro vaskular accident ) dll.
2. Pola defekasi yang tidak teratur.
3. Nyeri saat defekasi karena haemorrhoid.
4. Menurunnya peristaltik karena stress
psikologis.
5. Penggunaan obat seperti : antasida,
laksantif, atau anaestesi.
6. Proses menua ( usila ).
Diare.
Merupakan keadaan individu yang mengalami
atau beresiko sering mengalami pengeluaran
faeses dalam bentuk cair.
Diare sering disertai kejang usus, mungkin ada
rasa mual dan muntah.
Tanda Klinis :
1. Adanya pengeluaran faeses cair.
2. Frekuensi lebih dari 3 kali sehari.
3. Nyeri / kram abdomen.
4. Bising usus meningkat.
Kemungkinan Penyebab :
1. Malabsorbsi atau inflamasi,proses infeksi.
2. Peningkatan peristaltik karena peningkatan
metabolisme.
3. Efek tindakan pembedahan usus.
4. Efek penggunaan obat seperti : antasida,
laksansia, antibiotik, dll.
5. Stress psikologis.
Inkontinensia Usus.
Merupakan keadaan individu yang mengalami
perubahan kebiasaan dari proses defekasi
normal mengalami proses pengeluaran faeses
tak disadari.
Hal ini juga disebut sebagai inkontinsia alvi
yang merupakan hilangnya kemampuan otot
untuk mengontrol pengeluaran faeses dan gas
melalui sfingter akibat kerusakan sfingter.
Tanda Klinis.
Pengeluaran faeses yang tidak dikehendaki.
Kemungkinan Penyebab.
1. Gangguan sfingter rektal akibat cedera
anus, pembedahan, dll.
2. Distensi rektum berlebih.
3. Kurangnya kontrol sfingter akibat cedera
medula spinalis, CVA, dll.
4. Kerusakan kognitif.
Kembung.
Merupakan keadaan penuh udara dalam perut
karena pengumpulan gas secara berlebihan
dalam lambung atau usus.
Haemorrhoid.
Merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena
didaerah anus sebagai akibat peningkatan
tekanan didaerah anus yang dapat disebabkan
oleh konstipasi, perenggangan saat defekasi
dll.
Fecal Impaction
Merupakan massa faeses keras dilipatan
rektum yang diakibatkan oleh retensi dan
akumulasi materi faeses yang berkepanjangan.
Penyebab konstipasi :
Asupan kurang, aktivitas kurang, diet rendah
serat, dan kelemahan tonus otot.
Faktor yang mempengaruhi proses
defekasi.
1. Usia
Setiap tahap perkembangan / usia memiliki
kemampuan mengontrol proses defekasi
yang berbeda.
Bayi belum memiliki kemampuan
mengontrol b.a.b secara penuh, sedangkan
orang dewasa sudah memiliki kemampuan
secara penuh, kemudian pada usia lanjut
proses pengontrolan tsb mengalami
penurunan.
2. Diet.
Diet atau pola dan jenis makanan yang
dikonsumsi dapat mempengaruhi proses
defekasi.
Makanan yang kandungan seratnya tinggi
dapat membantu proses percepatan
defekasi dan jumlah yang dikonsumsi juga
dapat mempengaruhi defekasi.
3. Asupan Cairan.
Pemasukan cairan yang kurang dalam
tubuh membuat defekasi menjadi keras
oleh karena proses absorbsi air yang
kurang sehingga dapat mempengaruhi
kesulitan proses defekasi.
4. Aktivitas.
Aktivitas dapat mempengaruhi proses
defekasi karena melalui aktivitas tonus
otot abdomen, pelvis dan diafragma dapat
membantu kelancaran proses defekasi,
sehingga proses gerakan peristaltik pada
daerah kolon dapat bertambah baik, dan
memudahkan untuk membantu kelancaran
proses defekasi.
5. Pengobatan.
Pengobatan juga dapat mempengaruhi
proses defekasi seperti penggunaan
obat-obatan laksatif atau antasida yang
terlalu sering.
6. Gaya Hidup.
Kebiasaan atau gaya hidup dapat
mempengaruhi proses defekasi.
Hal ini dapat terlihat pada seseorang
yang memiliki gaya hidup sehat /
kebiasaan melakukan b.a.b ditempat
yang bersih atau toilet, maka ketika
seseorang b.a.b ditempat terbuka atau
tempat yang kotor maka ia akan
mengalami kesulitan dalam proses defekasi.
7. Penyakit.
Beberapa penyakit dapat mempengaruhi
proses defekasi, biasanya penyakit-
penyakit tsb berhubungan langsung dengan
sistem pencernaan seperti gastroenteritis
atau penyakit infeksi lainnya.
8. Nyeri.
Adanya nyeri dapat mempengaruhi
kemampuan / keinginan untuk defekasi
seperti nyeri pada kasus haemorrhoid, dan
episiotomi.
9. Kerusakan Sensoris dan Motoris.
Kerusakan pada sistem sensoris dan
motoris dapat mempengaruhi proses
defekasi karena dapat menimbulkan
proses penurunan stimulasi sensoris
dalam defekasi.
Hal tsb dapat diakibatkan oleh kerusakan
pada tulang belakang atau kerusakan
syaraf lainnya.

Anda mungkin juga menyukai