Anda di halaman 1dari 42

Budaya Kedokteran

sebagai Kerangka
Teoritis
Budaya mengacu pada pola-pola
yang terintegrasi dari perilaku
manusia yang mencakup bahasa,
pikiran, komunikasi, tindakan,
kebiasaan, keyakinan, nilai, dan
lembaga-lembaga ras, kelompok
etnis, agama, atau sosial.
Budaya bangunan pada definisi ini,
budaya profesional Obat dapat dilihat
sebagai bahasa, proses berpikir, gaya
komunikasi, kebiasaan, dan keyakinan
yang sering menjadi ciri profesi
kedokteran. Hal ini mungkin merupakan
konsep yang sulit bagi mahasiswa untuk
memahami awalnya karena mereka tidak
dapat melihat obat sebagai budaya
Mahasiswa dapat menemukan
kesulitan dalam melihat kedokteran
sebagai sebuah budaya karena
budaya kedokteran bukan topik yang
dibahas dalam pendidikan formal
sekolah kedokteran. Budaya obat
yang paling sering dipelajari melalui
kurikulum tersembunyi dan melalui
peran-pemodelan.
Meskipun bukan merupakan
bagian dari kurikulum formal,
kurikulum tersembunyi sering
menentukan adat istiadat
tertentu, ritual, dan aturan
perilaku demikian, mendefinisikan
lingkungan budaya kedokteran
Secara tradisional, ketika
membahas obat-obatan sebagai
sebuah budaya, fokus cenderung
pada kebajikan memperkuat obat,
seperti kejujuran, empati,
altruisme, kehormatan, dan rasa
hormat.
Menerapkan budaya profesional
kedokteran sebagai kerangka kerja
untuk mengajar tentang budaya
dapat menyoroti unsur-unsur dalam
budaya obat-obatan yang lebih jelas
dan nyata untuk mahasiswa
kedokteran yang berada dalam tahap
awal pendidikan mereka.
Contoh unsur-unsur ini meliputi
mantel putih, kode gaun bergaya
bersama antara dokter, dokter
berbicara, sebuah bahasa
bersama atau pola yang unik
komunikasi antara dokter, dan
dokter model jelas, sebuah sistem
berbagi keyakinan tentang
kesehatan.
Arti Lambang Putih

Lapisan putih adalah simbol dari


profesi medis dan profesi kesehatan
lain yang dapat digunakan sebagai
alat dalam mengajar tentang
budaya.
Secara tradisional, melambangkan
sterilitas, ilmu pengetahuan, dan
penyembuhan, dan kini telah menjadi
tradisi waktu terhormat di kalangan
dokter. Bahkan, sekolah kedokteran
banyak yang mulai tahun pertama
dengan Upacara Lambang Putih, sebuah
ritual yang memperkuat kebajikan
kedokteran sebagai profesi.
Dokter itu mengenakan dari mantel putih
dapat memberikan rasa otoritas dalam
hubungan dokter-pasien . Penelitian telah
menunjukkan bahwa mengenakan jas putih
dikaitkan dengan kepercayaan pasien dan
dokter kepercayaan mereka serta kesediaan
mereka untuk mengungkapkan hal-hal pribadi
kepada dokter mereka. Satu studi
menemukan bahwa dokter yang mengenakan
jas putih digambarkan oleh pasien mereka
sebagai menjadi lebih higienis,
profesional, berwibawa, dan ilmiah.
Para jas putih juga dapat menimbulkan
respon fisiologis tertentu, sebagaimana
dibuktikan oleh fenomena terdokumentasi
dengan baik dalam hipertensi jas putih.
Mahasiswa harus didorong untuk membahas
makna dari mantel putih dan untuk
mempertimbangkan apa yang melambangkan
kepada mereka dan pasien mereka dan
pengaruh hal itu mungkin karena pada
interaksi dokter-pasien
Dokter Bicara

Secara verbal, berbicara dokter adalah


unsur lain dari budaya kedokteran yang
jarang diajarkan secara eksplisit.
Leksikon dokter ditandai oleh fakta-fakta
statistik, disajikan dalam bentuk
probabilitas, gradasi keparahan, dan
penggunaan akronim dan istilah medis
yang sering asing bagi pasien.
Penggunaan bicara Dokter dapat
berdampak interaksi penyedia-pasien.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan
bahwa istilah medis yang digunakan oleh
penyedia layanan kesehatan sering
disalahpahami oleh pasien. Menunjukkan
penggunaan sembarangan kadang istilah
medis dapat membantu untuk
memperkuat pentingnya kompetensi
linguistik dan keterampilan komunikasi
untuk mahasiswa.
Kompetensi linguistik memastikan
bahwa informasi kesehatan yang
disampaikan baik secara lisan atau
secara tertulis dalam cara yang
dimengerti oleh pasien. Dalam
kurikulum kompetensi budaya,
konsep ini sering diterapkan ketika
membahas bahasa sumbang antara
dokter dan pasien.
Namun, hal itu dapat diperluas untuk
mencakup situasi ketika istilah medis
digunakan dengan pasien. Mahasiswa
kedokteran harus menghargai bahwa
pola berbicara adalah bagian dari
budaya medis yang mungkin
menghambat efektif komunikasi
dokter-pasien.
Selain kebiasaan bersama berpakaian dan
pola bicara, cara dimana dokter konsep
kesehatan adalah contoh lain dari budaya
dokter. Hal ini disebut sebagai model
jelas, sebuah istilah yang paling Ketika
digunakan dalam referensi untuk pasien,
Ketika digunakan dalam referensi untuk
pasien, model jelas menggambarkan
bagaimana pasien menginterpretasikan arti
dari suatu penyakit dan dampak yang telah
pada kemampuan mereka untuk berfungsi
Model penjelasan dokter 'mencerminkan
persepsi mereka tentang etiologi, onset,
patofisiologi, kursus, dan pengobatan dari
proses penyakit. Sedangkan model
penjelasan pasien 'mungkin berasal dari
pengalaman jaringan sosial, model jelas
dokter yang mungkin diturunkan dari isi
dari kurikulum sekolah kedokteran,
lingkungan sekolah medis itu sendiri, dan
interaksi dengan rekan-rekan dan mentor.
Sama seperti model yang jelas,
pasien dapat menentukan
presentasi nya klinis atau
keputusan untuk mencari
pengobatan, model jelas dokter
adalah sebuah penentu penting
dari perilaku klinis dan keputusan
medis dokter.
Perbandingan model dokter dengan
pasien dapat memungkinkan dokter
untuk mengidentifikasi perbedaan utama
yang dapat mempengaruhi manajemen
klinis. kerangka kerja ini juga penting
bagi mahasiswa untuk mengenali
pengaruh bahwa budaya masing-masing
memiliki pada sikap mereka terhadap
kesehatan.
Hal ini sama pentingnya untuk
menekankan perbedaan lintas-
budaya yang ada dalam profesi
kedokteran dan bahwa mereka
pandangan kedokteran terlihat
melalui lensa dari budaya
Amerika dan Barat.
Nextpertemuan selanjutnya
Dokter Dan Budaya

Seringkali kita merasa miris dengan


berita yang menyebutkan pasien
miskin tidak bisa tertangani akibat
ketidaktersediaan biaya.
Kasus bayi yang mengalami
hidrocephalus namun
mengalami penolakan oleh
rumah sakit rujukan pemerintah
di Jakarta semakin menunjukkan
betapa sistem kesehatan di
Indonesia seakan tidak lagi
berpihak kepada seluruh
warganegara.
Akan tetapi sistem yang
dikondisikan hanya untuk
segelintir pihak yang sanggup
membayar. Mulai dari membayar
calo untuk mendapatkan kamar
hingga biaya perawatan ketika
pasien pulang.
Kemudian stigma kita makin
mengerucut tatkala mendengar
kabar-kabar mengenaskan tentang
kerja buruk profesi dokter. Dokter
menjadi biang kesalahan dalam
sistem kesehatan di negeri ini,
mungkin kalimat senada ini yang
tertancap di benak kita.
Filosofi Pendidikan Dokter Berbeda
Dengan Pendidikan Lain

filosofi pendidikan dokter


berbeda dengan profesi lain
seperti pengacara, akuntan
atau politisi.
Filosofi pendidikan dokter itu
seperti pendidikan antara kyai dan
santri. Kapan pun akan selalu
seiring sejalan untuk memperbaiki
umat. Berbeda dengan pendidikan
lain. Kalau hanya sekedar
dipandang sebagai barter ilmu,
kenapa juga mesti repot-repot
mendidik dokter?!
Sejak awal adanya pendidikan dokter
dalam peradaban manusia,
pendidikan dokter tidak diarahkan
menjadi jurusan profit oriented.
Namun lebih menitik beratkan pada
kemanusiaan. Jika memang bertujuan
mencari untung maka orang paling
kaya tentu saja Hippocrates dan
anak turunnya.
Karena Hippocrates lah
selebritis dalam dunia
kedokteran. Mulai dari awal
hingga menjadi seorang dokter,
nama Hippocrates tak akan
bisa dilepaskan. Bayangkan
setiap kali namanya dicatut
maka si pencatut harus
membayar sekian sen untuk
royalti.
Namun sebagaimana budaya yang
terus mengalami perubahan dan
perkembangan dari masa ke masa,
pendidikan untuk menjadi seorang
dokter pun mengalami perubahan.
Institusi pendidikan yang terbentuk
mengharuskan bukan hanya
kedokteran yang menjadi satu mata
pendidikan.
Percampuran dan subordinasi menjadikan
bidang ini kadang tidak terasa taste-nya
sebagai motor dalam bidang kemanusiaan.
Terlebih lagi di Indonesia dimana
pendidikan tinggi milik pemerintah sebagai
tulang punggung utama pembentukan
tenaga dokter akhirnya akibat kebijakan
menteri pendidikan-yang tidak mempunyai
latar belakang seorang pendidik-menjadi
sebuah Badan Hukum Milik Negara.
Eksesnya langsung terasa.
Biaya pendidikan sepenuhnya
dibebankan kepada universitas
dan universitas akirnya
membebankan kepada
mahasiswa. Biaya pendidikan
pun melonjak.
Seringkali bahkan mungkin sudah
menjadi stigma di masyarakat bahwa
dokter identik dengan kekayaan,
celengan semar berjalan, sehingga jika
berani menjadi dokter tentu backing
finansial nya adalah besar. Di satu sisi
mungkin benar mengingat lama waktu
belajar dan banyaknya literatur yang
harus dibaca untuk menjadi seorang
dokter. Namun akan berbeda 180 derajat
manakala mahasiswa kedokteran adalah
kalangan berada secara keseluruhan.
Ada juga mahasiswa yang berasal ari
Kalau hanya sekedar
dipandang sebagai
barter ilmu, kenapa
juga mesti repot-repot
mendidik dokter?! Toh
jika lulus akan menjadi
saingan kok
Hal ini lah yang seringkali terlewat dari
pandangan masyarakat dan para
petinggi di lembaga pendidikan.
Menggebyah uyah, menggeneralisir
segalanya seakan semua adalah orang
beada di negeri ini dengan
menerapkan cost pendidikan yang
begitu mahal.
Baiklah, mungkin untuk menjadi dokter cost
yang keluar dianggap sebagai investasi.
Akan tetapi bagaimana jika paradigma
berpikir seperti ini terus berlanjut hingga
lulus?? Sebagaimana hukum dagang, segala
investasi yang keluar harus kembali
secepatnya ditambah laba dandengan cara
paling mudah. Bukankah ini semua
merupakan konsekuensi dari penerapan
hukum dagang dalam dunia pendidikan
dokter?
Secepatnya berarti dengan mengenakan tarif
yang besar meski mengharuskan pemiskinan
pasien, laba yang bermakna segala dana
yang keluar untuk menjadi seorang dokter
harus kembali dengan keuntungan dan cara
paling mudah yang menimbukan
malkompetensi karena harus mengejar break
even poin.
Begitulah kira-kira gambaran saat ini ketika
pendidikan dokter di negeri ini yang
disubordinasi oleh hukum-hukum pasar.
Para petinggi yang menggariskan kebijakan
pembentukan seorang dokter di negeri ini
tidak mengeri tentang filosofi pendidikan
dokter. Penyamarataan dengan profesi lain
yang sejak awal adalah menggariskan
adanya keuntungan, profit margin yang
jelas.
Jadi saya tidak akan menyalahkan
sekiranya ada dokter yang mengenakan
tarif yang lumayan mahal. Meski saya juga
tidak bisa mengatakan bahwa hal itu
seratus persen benar. Mereka juga
merupakan produk budaya yang
berkembang di masyarakat. Tatkala budaya
di masyarakat memandang segalanya dari
sudut pandang hukum pasar maka tentu
saja sedikit banyak hal itu juga akan
berpengaruh pada profesi dokter.
Namun yang seharusnya disalahkan
adalah ketidakmengertian atau lebih parah
ketidakmautahuan para pengambil dan
penentu kebijakan dalam dunia pendidikan
medis yang saat ini cenderung diserobot
oleh oknum-oknum yang tidak mengerti
filosofi pendidikan dokter sejak awal.
Mereka ini lah yang seharusnya
disalahakan.
Jika yang mengajar dokter adalah
pedagang maka ia akan menjadi dokter
yang bedagangjika yang mendidik
dokter adalah pengacara maka ia akan
terbentuk menjadi dokter yang suka
berperkarabegitu juga jika ia dokter yang
dididik oleh politisi maka ia akan lahir
menjadi seorang dokter yang pintar
bersilat lidah

Anda mungkin juga menyukai