b. Teori Mekkah : menurut teori ini, pengaruh Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7,
dibawa langsung oleh para pedagang Arab. Buktinya adalah adanya
permukiman Islam tahun 674 di Baros, pantai sebelah barat Sumatra.
c. Teori Persia : menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang
Persia sekitar abad ke-13. Bukti untuk mendukung teori ini adalah adanya
upacara Tabot, yaitu upacara memperingati meninggalnya Imam Husain bin
Ali (cucu Nabi Muhammad SAW), di Bengkulu dan Sumatra Barat (Tabuik)
setiap tanggal 10 Muharram atau 1 Syura. Upacara ini juga merupakan
ritual tahunan di Persia. Selain itu, ada kesamaan antara ajaran sufi yang
dianut Syekh Siti Jenar dan sufi Iran beraliran Al-Hallaj.
Pada umumnya, orang menerima bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-7, namun
baru berkembang pesat pada abad ke-13 sejalan dengan kemunduran kerajaan-kerajaan bercorak
Hindu-Buddha di Indonesia, serta makin ramainya pedagang-pedagang Arab, Persia, dan Gujarat di
Indonesia.
B. Saluran-Saluran Penyebaran Islam di Indonesia
Proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam ke Indonesia pada umumnya
berjalan dengan damai dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, baik dari kalangan raja,
bangsawan, maupun rakyat biasa. Hal ini didukung oleh faktor-faktor berikut.
1. Perdagangan
Perdagangan merupakan metode penyebaran Islam yang pertama dan paling utama. Menurut
Tome Pires, sekitar abad ke-7 sampai abad ke-16 lalu lintas perdagangan yang melalui Indonesia
sangat ramai. Dalam proses ini, pedagang Nusantara dan pedagang asing (Islam) dari Gujarat dan
Timur Tengah (Arab dan Persia) bertemu dan saling bertukar pengaruh. Sebagian dari para pedagang
asing ini tinggal di wilayah dekat pantai, yang disebut Pekojan. Lama-kelamaan jumlah mereka
semakin banyak, demikian juga dengan pengaruh Islam di daerah tempat tinggal mereka.
Para pedagang ini menjalin kontak dengan para adipati wilayah pesisir, dan perlahan-lahan
masuk ke lingkaran pusat istana. Ketika raja dan para bangsawan memeluk Islam, rakyatnya dengan
mudah akan mengikuti. Setelah masuk Islam, baik rakyat biasa, pedagang Nusantara, maupun
anggota keluarga istana ikut menyebarkan Islam ke kota-kota pelabuhan dan pesisir lain.
2. Perkawinan
Pedagang-pedagang itu dan juga keluarganya menikah dengan perempuan pribumi, putra-putri
para bangsawan, dan bahkan dengan anggota keluarga kerajaan. Hal ini berdampak positif terhadap
perkembangan Islam karena pedagang atau ulama itu mensyaratkan perempuan idamannya untuk
mengucapkan kalimat Syahadat terlebih dahulu. Anak-anak hasil perkawinan itu pun akan mengikuti
agama Islam yang dianut kedua orang tuanya.
Perkawinan anak-anak kaum bangsawan ataupun anak raja mempunyai dampak yang lebih besar.
Mereka lebih mudah memengaruhi istana untuk mendukung penyebaran Islam. Lama-kelamaan
seluruh anggota keluarga istana akan memeluk Islam. Selanjutnya, kerajaan yang awalnya
bercorak Hindu-Buddha perlahan-lahan menjadi bercorak Islam.
3. Pendidikan
Perkembangan Islam yang semakin meluas mendorong munculnya para ulama dan mubaligh.
Para ulama dan mubaligh ini menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-
pondok pesantren di berbagai daerah. Saluran pendidikan sangat efektif untuk mempercepat
dan memperluas penyebaran Islam hingga ke daerah-daerah yang terpencil. Pesantren-pesantren
pada masa awal penyebaran Islam di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Pesantren Ampel Denta (Surabaya) yang didirikan oleh Sunan Ampel.
b. Pesantren Sunan Giri (Surabaya).
4. Tasawuf
Tasawuf adalah ajaran ketuhanan yang telah bercampur dengan mistik atau hal-hal yang
bersifat magis. Kata “tasawuf” sebenarnya berasal dari kata “sufi” yang berarti kain wol yang
terbuat dari bulu domba. Istilah ini muncul karena para ahli tasawuf biasanya memakai jubah
yang terbuat dari wol. Ajaran tasawuf diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13, tetapi
baru berkembang pesat sekitar abad ke-17. Melalui tasawuf, bentuk Islam yang diperkenalkan
menunjukkan kesamaan dengan alam pikiran orang-orang Jawa-Hindu, Siwa, dan Buddha. Tokoh-
tokoh tasawuf yang terkenal adalah Hamzah Fansuri, Nurrudin ar-Raniri, dan Syekh Siti Jenar.
5. Dakwah
Penyebaran Islam tidak dapat dilepaskan dari peranan para wali. Ada sembilan wali yang
menyebarkan Islam dengan cara berdakwah. Sembilan wali ini dikenal dengan nama Walisongo,
terdiri atas sebagai berikut.
• Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
• Sunan Gunung Jati
• Sunan Ampel
• Sunan Giri
• Sunan Bonang
• Sunan Kudus
• Sunan Kalijaga
• Sunan Muria
• Sunan Drajad
5. Kesenian
Agama Islam juga disebarkan melalui kesenian, seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga
melalui kesenian wayang, Sunan Bonang dengan kesenian gamelan, serta melalui gending (lagu-
lagu) yang berisi syair-syair nasihat dan dasar-dasar ajaran Islam. Kesenian yang telah berkembang
Sebelumnya tidak musnah, tetapi diperkaya dengan seni Islam melalui akulturasi. Seni sastra juga
berkembang pesat dengan banyaknya buku tentang tasawuf, hikayat, dan babad yang disadur ke
dalam bahasa Melayu.
C. Kehidupan Politik dan Sosial-Budaya Indonesia pada Masa Perkembangan Islam
1. Bidang Politik
Konsep dewa raja yang bercorak Hindu-Buddha (di mana raja dianggap sebagai titisan dewa)
diganti dengan konsep khalifah. Sebutan “raja” diganti dengan “sultan”. Selain itu, saat meninggal
sang sultan tidak di-dharma-kan di dalam candi, melainkan dimakamkan secara Islam.
2. Bidang Sosial-Budaya
Dalam bidang sosial-budaya, pengaruh Islam tampak dalam beberapa hal. Pertama, tidak dikenal
lagi sistem kasta atau pelapisan sosial seperti yang berlaku dalam agama Hindu. Kedua, dari segi
bahasa, banyak kosakata Arab yang dipakai dan/atau diserap ke dalam bahasa Melayu dan bahasa
Indonesia. Selain itu, juga terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam bahasa Arab, yang
kemudian dikenal sebagai huruf Jawi. Ketiga, pengaruh yang sangat nyata adalah dalam bidang
pendidikan, terutama pesantren. Melalui pesantren, agama dan kebudayaan Islam dikembangkan dan
beradaptasi dengan budaya lokal yang berkembang di sekitarnya. Keempat, dalam hal busana, ada
jenis pakaian pakaian tertentu yang menunjukkan identitas Islam seperti sarung, baju koko, kopiah,
dan jilbab.
3. Seni Bangunan
Bangunan makam, masjid, dan keraton menunjukkan adanya akulturasi dengan bangunan pada
masa Hindu-Buddha, yaitu sebagai berikut.
• Atapnya atap tumpang atau bertingkat yang jumlahnya selalu ganjil.
• Posisi masjid agak tinggi dari permukaan tanah dan berundak.
• Ada serambi yang terdapat di depan atau samping masjid sebagai tempat mencuci kaki.
• Adanya pewestren, yaitu ruang khusus bagi perempuan yang terletak di sebelah kanan masjid
untuk mengikuti salat berjamaah.
• Memiliki denah berbentuk bujur sangkar.
• Makam-makam kuno diletakkan di atas bukit.
• Bangunan keraton digunakan oleh keluarga sultan sebagai tempat tinggalnya, biasanya
didirikan di dekat alun-alun ibu kota dan menghadap ke utara.
4. Seni Sastra
Dalam seni sastra, pengaruh Arab dan Persia sangat kuat, namun tetap disesuaikan dengan
tradisi setempat. Pengaruh Arab biasanya berbentuk syair yang terdiri atas empat baris dalam tiap
baitnya. Sedangkan pengaruh Persia berbentuk hikayat, yaitu kisah perseorangan yang diangkat
dari tokoh-tokoh terkenal yang hidup pada masa itu. Jenis sastra lainnya adalah babad, yakni suatu
karya sastra yang hidup dalam masyarakat tradisional dan lingkungan kebudayaan Jawa. Ada juga
suluk, yaitu kitab-kitab yang berisi ajaran tasawuf.
5. Seni Rupa
Para seniman pada masa itu adakalanya membuat ukiran binatang atau makhluk hidup lainnya
yang bentuknya disamarkan, dengan sebuah teknik yang disebut stilisasi (deformasi). Teknik stilisasi
digunakan karena ajaran Islam melarang melukis makhluk bernyawa.
6. Seni Kaligrafi
Seni kaligrafi adalah seni menulis indah yang memadukan seni lukis dan seni ukir, yang
distilisasi dan menggunakan tulisan dalam bahasa Arab. Isi penulisan dalam kaligrafi umumnya
bersumber dari ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hadist. Kaligrafi juga berfungsi sebagai hiasan. Pada
umumnya menampilkan pola daun, bunga, bukit karang, pemandangan, dan garis-garis geometris.
8. Sistem Kalender
Pada masa Islama digunakan sistem kalender Hijriah. Kalender Hijriah diawali dengan bulan
Muharram dan diakhiri bulan Zulhijah. Perhitungan satu tahun adalah dua belas kali siklus bulan.
D. Kerajaan-Kerajaan Tradisional Bercorak Islam di Indonesia
5. Kesultanan Mataram
Tahun 1586 dianggap sebagai tahun berdirinya Kesultanan Mataram. Pusat Kesultanan Mataram
adalah disebelah tenggara Kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Kesultanan Mataram didirikan oleh
Senopati. Penggantinya adalah Mas Jolang, yang kemudia digantikan oleh Mas Rangsang alias Sultan
Agung (1613). Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai masa kejayaan.
Dengan prajurit-prajuritnya yang tangguh, Mataram menjadi negara yang kuat dan disegani. Pada
tahun 1615, Sultan Agung memulai ekspansinya dengan menyerang para bupati pesisir yang belum
takluk kepada Mataram seperti Lasem, Tuban dan Madura.
Pasukan Sultan Agung lalu menguasai Surabaya, Madiun, Ponorogo, Blora dan Bojonegoro.
Penaklukan baru berakhir pada tahun 1625 setelah hampir seluruh Pulau Jawa berada di bawah
kekuasaan Mataram (kecuali Banten, Cirebon, Blambangan, dan Batavia). Sultan Agung membagi
sistem pemerintahan Mataram menjadi sebagai berikut.
• Kutanegara, daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh patih lebet (patih
dalam) yang dibantu oleh wedana dalam.
• Negara Agung, daerah di sekitar Kutanegara. Pelaksanaan pemerintahan dipegang patih jawi
(patih luar) yang dibantu wedana luar.
• Mancanegara, daerah diluar Negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para bupati.
• Pesisir, daerah pesisir. Pemerintahan dipegang oleh bupati atau syahbandar.
Sultan Agung juga dikenal sebagai ahli politik, sastra, filsafat serta agama. Ia menyusun sebuah
karya sastra berjudul Sastra Gending, dan kitab undang-undang yang merupakan perpaduan adat
istiadat Jawa dan hukum Islam berjudul Surya Alam. Sultan Agung juga menciptakan kalender Jawa
yang menggunakan perhitungan tahun yang sama dengan tahun Hijriah. Pada masa kekuasaannya,
tumbuh kebudayaan kejawen, yaitu akulturasi antara kebudayaan Jawa asli, Hindu, Buddha, dan
Islam. Kegiatan perekonomian yang diterapkan Sultan Agung bercorak agraris dan maritim. Di bawah
kekuasaannya, Mataram menjadi negara pengekspor beras.
Pengganti Sultan Agung adalah Amangkurat I. Amangkurat I memerintah dengan sangat kejam
dan lalim, sehingga Mataram mengalami kemunduran. Ia juga menjalin hubungan yang dekat dengan
Belanda, bahkan mengizinkan Belanda membangun benteng di Mataram. Hal ini membuat negara-
negara taklukan Mataram menjadi memberontak. Sultan selanjutnya adalah Amangkurat II, yang
sangat patuh pada VOC. Pada masa pemerintahannya, Belanda menguasai hampir sebagian besar
wilayah Mataram. Pengganti Amungkurat II secara berturut-turut adalah Amungkurat III, Pakubuwana I,
Amungkurat IV, dan Pakubuwana II. Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa
Pakubuwana III setelah membagi wilayah Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta
dan Kasuhunan Surakarta. Pembagian ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti. Pada tahun 1757 dengan
intervensi Belanda dan berdasarkan Perjanjian Salatiga, Kesultanan Mataram dipecah lagi menjadi
tiga, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasuhunan Surakarta, dan Mangkunegaran.
6. Kesultanan Banten
kesultanan Banten terletak di wilayah barat Pulau Jawa sampai ke Lampung di Sumatra. Karena
letaknya yang strategis, Banten menjadi pusat pelayaran dan perdagangan yang melalui Samudra
Hindia. Banten bahkan sudah berinteraksi dengan dunia luar sejak awal abad pertama Masehi.
Kemungkinan pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan internasional. Kesultanan Banten
berdiri sekitar tahun 1526 ketika Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau
Jawa dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan dan menjadikannya pangkalan militer serta
kawasan perdagangan. Pasukan Demak dipimpin oleh Fatahillah, menantu Syarif Hidayatullah (Sultan
Gunung Jati).
Fatahillah mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kelak menjadi pusat
pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang mandiri.
Atas penunjukan Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat menjadi
adipati Banten. Pada tahun 1552, Banten menjadi kerajaan bawahan dari Demak, dengan Maulana
Hasanuddin sebagai pemimpinnya. Seiring kemunduran Demak, terutama setelah meninggalnya
Sultan Trenggana, Banten melepaskan diri dan menjadi kesultanan yang mandiri. Kota Surosowan
didirikan sebagai ibu kota atas petunjuk Syarif Hidayatullah, dan Maulana Hasanuddin menjadi
sultan pertama Banten. Walaupun demikian, Fatahillah tetap dianggap sebagai peletak dasar
Kesultanan Banten.
Pengganti Maulana Hasanuddin adalah Maulana Yusuf yang naik takhta pada tahun 1570. Ia
melanjutkan ekspansi Banten ke pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun
1579. Ia digantikan oleh Maulana Muhammad. Pada masa akhir pemerintahan Maulana Muhammad
kapal dagang berbendera Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk pertama kali
tiba di Banten. Maulana Muhammad digantikan oleh Pangeran Ratu. Sultan ini dikenal karena
melakukan hubungan diplomasi dengan negara-negara lain termasuk dengan Raja Inggris.
Pengganti Pangeran Ratu adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahannya, Banten
mencapai masa kejayaan.
Sebagai kesultanan maritim, perdagangan Banten semakin berkembang. Monopoli atas lada di
Lampung menempatkan Banten sebagai pedagang perantara dan salah satu pusat niaga yang
penting. Banten memiliki armada laut yang kuat, yang dibangun mengikuti contoh armada laut di
Eropa. Banten juga memperkenalkan pembukaan sawah di daerah pedalaman seperti di Lebak.
Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian mengisahkan adanya istilah pahuma (peladang),
panggerek (pemburu), dan penyadap (penyadap). Ketiga istilah ini mengacu pada sistem ladang, begitu
juga dengan nama peralatannya seperti kujang, patik, baliung, kored, dan sadap. Pada masa Sultan
Ageng dilakukan pekerjaan pengairan besar untuk menunjang pertanian.
Pengganti Sultan Ageng Tirtayasa adalah Sultan Haji. Sultan Haji cenderung berhubungan baik
dengan Belanda, sehingga Belanda dengan leluasa menanamkan pengaruhnya dalam pemerintahan.
Dukungan Belanda harus dibayar mahal karena Banten harus menyerahkan wilayah Lampung kepada
Belanda dan Sultan Haji diwajibkan membayar ganti rugi perang. Pasca wafatnya Sultan Haji, Belanda
semakin berkuasa di Banten, karena pengangkatan sultan Banten harus mendapat persetujuan dari
gubernur jenderal di Batavia. Perang saudara pun tidak dapat dihindari, dan meletus secara sporadis,
sehingga membuat Banten semakin mengalami kemunduran. Kesultanan Banten secara resmi masuk
menjadi wilayah Hindia Belanda pada tahun 1808. Kesultanan Banten akhirnya dihapuskan oleh
pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1813, yakni dengan penurunan paksa Sultan Muhammad bin
Muhammad Muhyiddin Zainussalihin oleh Thomas Stamford Raffles.