Anda di halaman 1dari 22

BAB 4

PENGARUH AGAMA DAN KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA

A. Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia


1. Sekilas tentang Agama Islam
Agama Islam lahir di Mekkah, Arab Saudi. Agama Islam diyakini sebagai agama yang
diwahyukan oleh Allah SWT kepada umat manusia melalui utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Pada bulan Ramadhan tahun 610 M, Muhammad yang tepat berusia 40 tahun didatangi oleh
Malaikat Jibril di Gua Hira. Terjadilah dialog yang panjang antara Muhammad dan Malaikat Jibril.
Melalui dialog ini, Muhammad diangkat menjadi rasul Allah dan mulailah proses turunnya Al-Qu’ran
sebagai kitab suci agama Islam.
Sekitar tahun 613 M, Nabi Muhammad mulai menyebarkan agama Islam secara terbuka.
Tantangan terbesar datang dari suku Quraisy dan penduduk Mekkah. Nabi Muhammad dan
pengikutnya kemudian memutuskan pindah ke Madinah. Peristiwa ini dikenal dengan nama Hijrah,
yang kemudian digunakan sebagai awal penanggalan Islam. Pada tahun 630 M, Nabi Muhammad
berhasil membebaskan Kota Mekkah dari kekuasaan kaum kafir. Pascaperang, kaum Quraisy dan
penduduk Mekkah mulai memeluk agama Islam, dan Ka’bah menjadi kiblat ibadah umat Islam.
2. Teori-Teori Masuknya Agama Islam ke Indonesia
Ada tiga teori mengenai proses masuknya agama Islam ke Indonesia, yaitu sebagai berikut.
a. Teori Gujarat : menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13, dibawa oleh para
pedagang Islam dari Gujarat, India. Ada dua bukti yang mendukung teori ini.
Pertama, batu nisan Sultan Malik Al-Saleh, sultan Samudra Pasai, yang
bercorak Gujarat (India). Kedua, tulisan Marco Polo yang menyatakan
pernah singgah di Perlak (Peureula) pada tahun 1292 dan mendapati
banyak penduduk beragama Islam serta peran pedagang India dalam
penyebaran agama tersebut.

b. Teori Mekkah : menurut teori ini, pengaruh Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7,
dibawa langsung oleh para pedagang Arab. Buktinya adalah adanya
permukiman Islam tahun 674 di Baros, pantai sebelah barat Sumatra.

c. Teori Persia : menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang
Persia sekitar abad ke-13. Bukti untuk mendukung teori ini adalah adanya
upacara Tabot, yaitu upacara memperingati meninggalnya Imam Husain bin
Ali (cucu Nabi Muhammad SAW), di Bengkulu dan Sumatra Barat (Tabuik)
setiap tanggal 10 Muharram atau 1 Syura. Upacara ini juga merupakan
ritual tahunan di Persia. Selain itu, ada kesamaan antara ajaran sufi yang
dianut Syekh Siti Jenar dan sufi Iran beraliran Al-Hallaj.

Pada umumnya, orang menerima bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-7, namun
baru berkembang pesat pada abad ke-13 sejalan dengan kemunduran kerajaan-kerajaan bercorak
Hindu-Buddha di Indonesia, serta makin ramainya pedagang-pedagang Arab, Persia, dan Gujarat di
Indonesia.
B. Saluran-Saluran Penyebaran Islam di Indonesia
Proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam ke Indonesia pada umumnya
berjalan dengan damai dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat, baik dari kalangan raja,
bangsawan, maupun rakyat biasa. Hal ini didukung oleh faktor-faktor berikut.
1. Perdagangan
Perdagangan merupakan metode penyebaran Islam yang pertama dan paling utama. Menurut
Tome Pires, sekitar abad ke-7 sampai abad ke-16 lalu lintas perdagangan yang melalui Indonesia
sangat ramai. Dalam proses ini, pedagang Nusantara dan pedagang asing (Islam) dari Gujarat dan
Timur Tengah (Arab dan Persia) bertemu dan saling bertukar pengaruh. Sebagian dari para pedagang
asing ini tinggal di wilayah dekat pantai, yang disebut Pekojan. Lama-kelamaan jumlah mereka
semakin banyak, demikian juga dengan pengaruh Islam di daerah tempat tinggal mereka.
Para pedagang ini menjalin kontak dengan para adipati wilayah pesisir, dan perlahan-lahan
masuk ke lingkaran pusat istana. Ketika raja dan para bangsawan memeluk Islam, rakyatnya dengan
mudah akan mengikuti. Setelah masuk Islam, baik rakyat biasa, pedagang Nusantara, maupun
anggota keluarga istana ikut menyebarkan Islam ke kota-kota pelabuhan dan pesisir lain.
2. Perkawinan
Pedagang-pedagang itu dan juga keluarganya menikah dengan perempuan pribumi, putra-putri
para bangsawan, dan bahkan dengan anggota keluarga kerajaan. Hal ini berdampak positif terhadap
perkembangan Islam karena pedagang atau ulama itu mensyaratkan perempuan idamannya untuk
mengucapkan kalimat Syahadat terlebih dahulu. Anak-anak hasil perkawinan itu pun akan mengikuti
agama Islam yang dianut kedua orang tuanya.
Perkawinan anak-anak kaum bangsawan ataupun anak raja mempunyai dampak yang lebih besar.
Mereka lebih mudah memengaruhi istana untuk mendukung penyebaran Islam. Lama-kelamaan
seluruh anggota keluarga istana akan memeluk Islam. Selanjutnya, kerajaan yang awalnya
bercorak Hindu-Buddha perlahan-lahan menjadi bercorak Islam.
3. Pendidikan
Perkembangan Islam yang semakin meluas mendorong munculnya para ulama dan mubaligh.
Para ulama dan mubaligh ini menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-
pondok pesantren di berbagai daerah. Saluran pendidikan sangat efektif untuk mempercepat
dan memperluas penyebaran Islam hingga ke daerah-daerah yang terpencil. Pesantren-pesantren
pada masa awal penyebaran Islam di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Pesantren Ampel Denta (Surabaya) yang didirikan oleh Sunan Ampel.
b. Pesantren Sunan Giri (Surabaya).
4. Tasawuf
Tasawuf adalah ajaran ketuhanan yang telah bercampur dengan mistik atau hal-hal yang
bersifat magis. Kata “tasawuf” sebenarnya berasal dari kata “sufi” yang berarti kain wol yang
terbuat dari bulu domba. Istilah ini muncul karena para ahli tasawuf biasanya memakai jubah
yang terbuat dari wol. Ajaran tasawuf diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13, tetapi
baru berkembang pesat sekitar abad ke-17. Melalui tasawuf, bentuk Islam yang diperkenalkan
menunjukkan kesamaan dengan alam pikiran orang-orang Jawa-Hindu, Siwa, dan Buddha. Tokoh-
tokoh tasawuf yang terkenal adalah Hamzah Fansuri, Nurrudin ar-Raniri, dan Syekh Siti Jenar.
5. Dakwah
Penyebaran Islam tidak dapat dilepaskan dari peranan para wali. Ada sembilan wali yang
menyebarkan Islam dengan cara berdakwah. Sembilan wali ini dikenal dengan nama Walisongo,
terdiri atas sebagai berikut.
• Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
• Sunan Gunung Jati
• Sunan Ampel
• Sunan Giri
• Sunan Bonang
• Sunan Kudus
• Sunan Kalijaga
• Sunan Muria
• Sunan Drajad

5. Kesenian
Agama Islam juga disebarkan melalui kesenian, seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga
melalui kesenian wayang, Sunan Bonang dengan kesenian gamelan, serta melalui gending (lagu-
lagu) yang berisi syair-syair nasihat dan dasar-dasar ajaran Islam. Kesenian yang telah berkembang
Sebelumnya tidak musnah, tetapi diperkaya dengan seni Islam melalui akulturasi. Seni sastra juga
berkembang pesat dengan banyaknya buku tentang tasawuf, hikayat, dan babad yang disadur ke
dalam bahasa Melayu.
C. Kehidupan Politik dan Sosial-Budaya Indonesia pada Masa Perkembangan Islam
1. Bidang Politik
Konsep dewa raja yang bercorak Hindu-Buddha (di mana raja dianggap sebagai titisan dewa)
diganti dengan konsep khalifah. Sebutan “raja” diganti dengan “sultan”. Selain itu, saat meninggal
sang sultan tidak di-dharma-kan di dalam candi, melainkan dimakamkan secara Islam.

2. Bidang Sosial-Budaya
Dalam bidang sosial-budaya, pengaruh Islam tampak dalam beberapa hal. Pertama, tidak dikenal
lagi sistem kasta atau pelapisan sosial seperti yang berlaku dalam agama Hindu. Kedua, dari segi
bahasa, banyak kosakata Arab yang dipakai dan/atau diserap ke dalam bahasa Melayu dan bahasa
Indonesia. Selain itu, juga terjadi modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam bahasa Arab, yang
kemudian dikenal sebagai huruf Jawi. Ketiga, pengaruh yang sangat nyata adalah dalam bidang
pendidikan, terutama pesantren. Melalui pesantren, agama dan kebudayaan Islam dikembangkan dan
beradaptasi dengan budaya lokal yang berkembang di sekitarnya. Keempat, dalam hal busana, ada
jenis pakaian pakaian tertentu yang menunjukkan identitas Islam seperti sarung, baju koko, kopiah,
dan jilbab.

3. Seni Bangunan
Bangunan makam, masjid, dan keraton menunjukkan adanya akulturasi dengan bangunan pada
masa Hindu-Buddha, yaitu sebagai berikut.
• Atapnya atap tumpang atau bertingkat yang jumlahnya selalu ganjil.
• Posisi masjid agak tinggi dari permukaan tanah dan berundak.
• Ada serambi yang terdapat di depan atau samping masjid sebagai tempat mencuci kaki.
• Adanya pewestren, yaitu ruang khusus bagi perempuan yang terletak di sebelah kanan masjid
untuk mengikuti salat berjamaah.
• Memiliki denah berbentuk bujur sangkar.
• Makam-makam kuno diletakkan di atas bukit.
• Bangunan keraton digunakan oleh keluarga sultan sebagai tempat tinggalnya, biasanya
didirikan di dekat alun-alun ibu kota dan menghadap ke utara.

4. Seni Sastra
Dalam seni sastra, pengaruh Arab dan Persia sangat kuat, namun tetap disesuaikan dengan
tradisi setempat. Pengaruh Arab biasanya berbentuk syair yang terdiri atas empat baris dalam tiap
baitnya. Sedangkan pengaruh Persia berbentuk hikayat, yaitu kisah perseorangan yang diangkat
dari tokoh-tokoh terkenal yang hidup pada masa itu. Jenis sastra lainnya adalah babad, yakni suatu
karya sastra yang hidup dalam masyarakat tradisional dan lingkungan kebudayaan Jawa. Ada juga
suluk, yaitu kitab-kitab yang berisi ajaran tasawuf.

5. Seni Rupa
Para seniman pada masa itu adakalanya membuat ukiran binatang atau makhluk hidup lainnya
yang bentuknya disamarkan, dengan sebuah teknik yang disebut stilisasi (deformasi). Teknik stilisasi
digunakan karena ajaran Islam melarang melukis makhluk bernyawa.
6. Seni Kaligrafi
Seni kaligrafi adalah seni menulis indah yang memadukan seni lukis dan seni ukir, yang
distilisasi dan menggunakan tulisan dalam bahasa Arab. Isi penulisan dalam kaligrafi umumnya
bersumber dari ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hadist. Kaligrafi juga berfungsi sebagai hiasan. Pada
umumnya menampilkan pola daun, bunga, bukit karang, pemandangan, dan garis-garis geometris.

7. Seni Tari dan Musik


Pengaruh Islam tampak dalam tiga bentuk kesenian, yaitu Debus, tari Seudati, dan Zapin. Pada
pertunjukan Debus diawali oleh nyanyian dan pembacaan ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an, serta
salam (salawat) kepada Nabi Muhammad. Tari Seudati adalah nama tarian yang berasal dari Aceh.
Seudati berasal dari kata Syahadat, yang artinya bersaksi/saksi/pengakuan terhadap tiada Tuhan
selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Dalam tari Seudati, para penari
menyanyikan lagu yang isinya salawat kepada Nabi Muhammad. Sementara Zapin merupakan
khazanah tarian rumpun Melayu yang mendapat pengaruh Arab, Persia, dan India sejak abad ke-13.
Tarian tradisional ini bersifat edukatif sekaligus menghibur, digunakan juga sebagai media dakwah
Islam melalui syair lagu-lagu Zapin yang didendangkan.

8. Sistem Kalender
Pada masa Islama digunakan sistem kalender Hijriah. Kalender Hijriah diawali dengan bulan
Muharram dan diakhiri bulan Zulhijah. Perhitungan satu tahun adalah dua belas kali siklus bulan.
D. Kerajaan-Kerajaan Tradisional Bercorak Islam di Indonesia

1. Kesultanan Samudra Pasai (1267-1521)


Samudra Pasai (Samudra Darussalam) adalah kerajaan pertama di Indonesia yang menganut
agama Islam. Letaknya di pantai utara Sumatra (Aceh), dekat Perlak (Malaysia). Kesultanan ini
didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267. Awalnya kesultanan
ini berada di bawah kekuasaan Dinasti Meurah Khair. Meurah Khair adalah pendiri dan sultan pertama
Samudra Pasai yang bergelar Maharaja Mahmud Syah. Penggantinya adalah Maharaja Mansyur Syah.
Menurut Hikayat Raja-Raja Pasai dan Hikayat Raja-Raja Melayu, penguasa Pasai berikutnya adalah
keturunan Dinasti Meurah Silu, dengan sultan pertama Malik al-Saleh.
Malik al-Saleh digantikan oleh Muhammad Malik az-Zahir. Az-Zahir digantikan oleh anaknya
Mahmud Malik az-Zahir, yang pada masa pemerintahannya Pasai mencapai masa kejayaan. Pasai
menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai benua
seperti Asia (Cina, India, dan Malaka), Afrika, dan Eropa. Kehidupan sosial masyarakat Pasai telah
diatur menurut aturan dan hukum Islam. Pasai juga memiliki peran besar dalam penyebaran agama
Islam di Nusantara. Pasai banyak mengirimkan ulama dan mubaligh untuk menyebarkan Islam di Jawa.
Pada masa pemerintahan Ahmad Malik az-Zahir, sekitar tahun 1345 dan 1350 datang serangan
dari Majapahit. Hikayat Raja-Raja Pasai mengisahkan setelah perang tiga hari tiga malam Pasai kalah
dan rakyat Pasai tercerai-berai. Kesultanan ini bangkit kembali pada masa kekuasaan Zain al-Abidin
Malik az-Zahir tahun 1383. Pada awal abad ke-16, terjadi beberapa pemeberontakan internal di Pasai
yang mengakibatkan perang saudara. Pasai akhirnya runtuh setelah ditaklukkan bangsa Portugis pada
tahun 1521. Pasai kemudian menjadi daerah kekuasaan Kesultanan Aceh sejak tahun 1524.
2. Kesultanan Malaka
Kesultanan Malaka berdiri di akhir abad ke-14, pusatnya di daerah Malaka, suatu wilayah yang
sekarang menjadi bagian dari Malaysia. Wilayah kekuasaan dan pengaruh Kesultanan Malaka tidak
hanya meliputi Semenanjung Malaya, tetapi sampai juga ke Riau (Indonesia). Kesultanan Malaka
didirikan oleh Parameswara sekitar tahun 1390-1403. Parameswara adalah pangeran dari Sriwijaya,
yaitu putra Raja Sam Agi, yang berhasil meloloskan diri ketika Sriwijaya diserang Majapahit tahun
1377. Parameswara yang semula menganut agama Hindu, kemudian memeluk Islam dan mengganti
namanya menjadi Iskandar Syah. Dialah peletak dasar Kesultanan Malaka.
Iskandar Syah digantikan oleh putranya Megat Iskandar Syah. Ia berhasil memajukan kegiatan
perdagangan dan menguasai perairan Selat Malaka yang semula dikuasai oleh Pasai. Sultan
berikutnya adalah Ibrahim, yang tidak lama memerintah. Ibrahim digantikan oleh Mudzaffar Syah. Pada
masa pemerintahan Mudzaffar Syah, Malaka mencapai kemajuan. Malaka berhasil memperluas
daerah kekuasaan hingga ke Pahang, Indragiri, dan Kampar. Kejayaan Malaka berlanjut pada masa
kekuasaan Mansyur Syah. Pada masa pemerintahan Mansyur Syah, Malaka berhasil menaklukkan
Pahang dan Kedah. Panglima kesultanan sekaligus pahlawan legendaris Melayu, Hang Tuah, hidup
pada masa pemerintahan Mansyur Syah. Di bawah kekuasaan Mansyur Syah, Malaka sepenuhnya
menguasai Selat Malaka, baik Semenanjung Malaya maupun pantai timur Sumatra.
Pengganti Mansyur Syah adalah Alauddin Syah. Pengganti Alauddin adalah Mahmud Syah. Pada
masa Mahmud Syah, Malaka mengalami kemunduran dalam bidang ekonomi maupun politis. Banyak
negara taklukan melepaskan diri karena lemahnya pemerintahan. Akhirnya, bangsa Portugis berhasil
menanamkan kekuasaannya dan menguasai Malaka pada tahun 1511.
3. Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh terletak di Aceh Rayeuk (sekarang Aceh Besar), didirikan oleh Ali Mughayat
Syah pada tahun 1496. Aceh berkembang pesat ketika Pasai berada di ambang keruntuhan karena
serangan Majapahit dan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Kejatuhan Pasai dan Malaka membuat
kapal-kapal yang melewati Selat Malaka akan singgah di Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak kejayaan. Wilayah kekuasaan Aceh meluas dari Deli sampai
ke Semenanjung Malaya, Aceh dengan cepat tumbuh menjadi pelabuhan perdagangan yang besar,
Aceh memiliki tata pemerintahan yang rapi, memiliki kekuatan militer yang disegani, dan telah
menjalin hubungan dengan negara-negara lain.
Pada masa pemerintahan Iskandar Muda, disusun sebuah undang-undang tentang tata
pemerintahan yang diberi nama Adat Makuta Alam. Iskandar Muda juga sangat memerhatikan
kestabilan dan ketahanan kerajaannya sehingga ia membentuk militer yang kuat. Meskipun Aceh
adalah kerajaan Islam, namun kehidupan masyarakatnya bersifat feodal. Dalam tatanan masyarakat
Aceh terdapat golongan bangsawan yang bergelar Teuku, dan golongan ulama yang bergelar
Teungku. Kedua golongan ini sering bersaing untuk berebut pengaruh dalam masyarakat. Dalam
bidang kesusastraan dan agama, Aceh melahirkan beberapa ulama ternama. Mereka adalah Hamzah
Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Syekh Abdul Rauf Singkili.
Iskandar Muda digantikan oleh Iskandar Tsani. Sepeninggal Iskandar Tsani, Aceh mengalami
kemunduran. Faktor utamanya adalah makin kuatnya kekuasaan Belanda di Pulau Sumatra dan
Selat Malaka. Selain itu, tidak ada sultan yang semampu dan sekuat Iskandar Muda. Akhirnya,
Belanda berhasil menguasai Aceh pada tahun 1904.
4. Kesultanan Demak
Kesultanan Demak (1500-1568), berlokasi di Demak (Jawa Tengah), adalah kesultanan
Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa. Sebelum menjadi kesultanan, Demak merupakan
Kadipaten dari Kerajaan Majapahit, dengan Raden Patah sebagai adipatinya sejak tahun 1478.
Pendiri kesultanan ini adalah Raden Patah, putra Kertabhumi (Brawijaya V) dari perkawinannya
dengan putri Champa. Usaha Raden Patah mengembangkan Demak dibantu putranya, Pati Unus,
yang saat itu menjadi adipati Jepara. Ketika Malaka dikuasai bangsa Portugis, Raden Patah
mengutus Pati Unus untuk menyerang Malaka. Selain sebagai wujud solidaritas terhadap sesama
kesultanan Islam, serangan itu juga dilakukan untuk membendung invasi bangsa Portugis
terhadap Jawa.
Pati Unus kemudian menjadi sultan dan memerintah sejak tahun 1518-1521. Karena ia tidak
berputra, maka digantikan oleh saudaranya yang bernama Raden Trenggana (memerintah 1521-1546).
Pada masa sultan Trenggana, Demak berkembang pesat. Wilayah kekuasaannya meluas sampai ke
Jawa Barat dan Jawa Timur. Dalam perkembangan selanjutnya, Demak merasa terancam dengan
adanya persekutuan Pajajaran dan Portugis. Sebelum bangsa Portugis membangun benteng,
Demak dibawah pimpinan Fatahillah terlebih dahulu menyerang Sunda Kelapa pada tahun1526.
Pada tahun 1527, datang ekspedisi Portugis ke Sunda Kelapa. Demak berhasil memukul mundur
pasukan Portugis tepatnya tanggal 22 Juni 1527. Atas kemenangan ini, Fatahillah mengganti nama
Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti kemenangan yang gemilang.
Sepeninggal Sultan Trenggana, terjadi konflik perebutan takhta di antara anggota keluarga
kesultanan. Penggantinya bernama Pangeran Sedo Lepen yang kemudian dibunuh oleh anak
Sultan Trenggana, Pangeran Prawoto. Konflik dan perebutan kekuasaan terus berlanjut, bahkan
berkembang menjadi perang saudara. Akhirnya, Jaka Tingkir (Hadiwijaya) menjadi sultan Demak
pada tahun 1568, dan memindahkan ibu kota dari Demak ke Pajang. Dengan ini, dapat dikatakan
masa Kesultanan Demak berakhir.

Masjid Agung Demak merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Demak.

5. Kesultanan Mataram
Tahun 1586 dianggap sebagai tahun berdirinya Kesultanan Mataram. Pusat Kesultanan Mataram
adalah disebelah tenggara Kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Kesultanan Mataram didirikan oleh
Senopati. Penggantinya adalah Mas Jolang, yang kemudia digantikan oleh Mas Rangsang alias Sultan
Agung (1613). Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai masa kejayaan.
Dengan prajurit-prajuritnya yang tangguh, Mataram menjadi negara yang kuat dan disegani. Pada
tahun 1615, Sultan Agung memulai ekspansinya dengan menyerang para bupati pesisir yang belum
takluk kepada Mataram seperti Lasem, Tuban dan Madura.
Pasukan Sultan Agung lalu menguasai Surabaya, Madiun, Ponorogo, Blora dan Bojonegoro.
Penaklukan baru berakhir pada tahun 1625 setelah hampir seluruh Pulau Jawa berada di bawah
kekuasaan Mataram (kecuali Banten, Cirebon, Blambangan, dan Batavia). Sultan Agung membagi
sistem pemerintahan Mataram menjadi sebagai berikut.
• Kutanegara, daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh patih lebet (patih
dalam) yang dibantu oleh wedana dalam.
• Negara Agung, daerah di sekitar Kutanegara. Pelaksanaan pemerintahan dipegang patih jawi
(patih luar) yang dibantu wedana luar.
• Mancanegara, daerah diluar Negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh para bupati.
• Pesisir, daerah pesisir. Pemerintahan dipegang oleh bupati atau syahbandar.
Sultan Agung juga dikenal sebagai ahli politik, sastra, filsafat serta agama. Ia menyusun sebuah
karya sastra berjudul Sastra Gending, dan kitab undang-undang yang merupakan perpaduan adat
istiadat Jawa dan hukum Islam berjudul Surya Alam. Sultan Agung juga menciptakan kalender Jawa
yang menggunakan perhitungan tahun yang sama dengan tahun Hijriah. Pada masa kekuasaannya,
tumbuh kebudayaan kejawen, yaitu akulturasi antara kebudayaan Jawa asli, Hindu, Buddha, dan
Islam. Kegiatan perekonomian yang diterapkan Sultan Agung bercorak agraris dan maritim. Di bawah
kekuasaannya, Mataram menjadi negara pengekspor beras.
Pengganti Sultan Agung adalah Amangkurat I. Amangkurat I memerintah dengan sangat kejam
dan lalim, sehingga Mataram mengalami kemunduran. Ia juga menjalin hubungan yang dekat dengan
Belanda, bahkan mengizinkan Belanda membangun benteng di Mataram. Hal ini membuat negara-
negara taklukan Mataram menjadi memberontak. Sultan selanjutnya adalah Amangkurat II, yang
sangat patuh pada VOC. Pada masa pemerintahannya, Belanda menguasai hampir sebagian besar
wilayah Mataram. Pengganti Amungkurat II secara berturut-turut adalah Amungkurat III, Pakubuwana I,
Amungkurat IV, dan Pakubuwana II. Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa
Pakubuwana III setelah membagi wilayah Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta
dan Kasuhunan Surakarta. Pembagian ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti. Pada tahun 1757 dengan
intervensi Belanda dan berdasarkan Perjanjian Salatiga, Kesultanan Mataram dipecah lagi menjadi
tiga, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasuhunan Surakarta, dan Mangkunegaran.

6. Kesultanan Banten
kesultanan Banten terletak di wilayah barat Pulau Jawa sampai ke Lampung di Sumatra. Karena
letaknya yang strategis, Banten menjadi pusat pelayaran dan perdagangan yang melalui Samudra
Hindia. Banten bahkan sudah berinteraksi dengan dunia luar sejak awal abad pertama Masehi.
Kemungkinan pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan internasional. Kesultanan Banten
berdiri sekitar tahun 1526 ketika Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau
Jawa dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan dan menjadikannya pangkalan militer serta
kawasan perdagangan. Pasukan Demak dipimpin oleh Fatahillah, menantu Syarif Hidayatullah (Sultan
Gunung Jati).
Fatahillah mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kelak menjadi pusat
pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang mandiri.
Atas penunjukan Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat menjadi
adipati Banten. Pada tahun 1552, Banten menjadi kerajaan bawahan dari Demak, dengan Maulana
Hasanuddin sebagai pemimpinnya. Seiring kemunduran Demak, terutama setelah meninggalnya
Sultan Trenggana, Banten melepaskan diri dan menjadi kesultanan yang mandiri. Kota Surosowan
didirikan sebagai ibu kota atas petunjuk Syarif Hidayatullah, dan Maulana Hasanuddin menjadi
sultan pertama Banten. Walaupun demikian, Fatahillah tetap dianggap sebagai peletak dasar
Kesultanan Banten.
Pengganti Maulana Hasanuddin adalah Maulana Yusuf yang naik takhta pada tahun 1570. Ia
melanjutkan ekspansi Banten ke pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun
1579. Ia digantikan oleh Maulana Muhammad. Pada masa akhir pemerintahan Maulana Muhammad
kapal dagang berbendera Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk pertama kali
tiba di Banten. Maulana Muhammad digantikan oleh Pangeran Ratu. Sultan ini dikenal karena
melakukan hubungan diplomasi dengan negara-negara lain termasuk dengan Raja Inggris.
Pengganti Pangeran Ratu adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahannya, Banten
mencapai masa kejayaan.
Sebagai kesultanan maritim, perdagangan Banten semakin berkembang. Monopoli atas lada di
Lampung menempatkan Banten sebagai pedagang perantara dan salah satu pusat niaga yang
penting. Banten memiliki armada laut yang kuat, yang dibangun mengikuti contoh armada laut di
Eropa. Banten juga memperkenalkan pembukaan sawah di daerah pedalaman seperti di Lebak.
Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian mengisahkan adanya istilah pahuma (peladang),
panggerek (pemburu), dan penyadap (penyadap). Ketiga istilah ini mengacu pada sistem ladang, begitu
juga dengan nama peralatannya seperti kujang, patik, baliung, kored, dan sadap. Pada masa Sultan
Ageng dilakukan pekerjaan pengairan besar untuk menunjang pertanian.
Pengganti Sultan Ageng Tirtayasa adalah Sultan Haji. Sultan Haji cenderung berhubungan baik
dengan Belanda, sehingga Belanda dengan leluasa menanamkan pengaruhnya dalam pemerintahan.
Dukungan Belanda harus dibayar mahal karena Banten harus menyerahkan wilayah Lampung kepada
Belanda dan Sultan Haji diwajibkan membayar ganti rugi perang. Pasca wafatnya Sultan Haji, Belanda
semakin berkuasa di Banten, karena pengangkatan sultan Banten harus mendapat persetujuan dari
gubernur jenderal di Batavia. Perang saudara pun tidak dapat dihindari, dan meletus secara sporadis,
sehingga membuat Banten semakin mengalami kemunduran. Kesultanan Banten secara resmi masuk
menjadi wilayah Hindia Belanda pada tahun 1808. Kesultanan Banten akhirnya dihapuskan oleh
pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1813, yakni dengan penurunan paksa Sultan Muhammad bin
Muhammad Muhyiddin Zainussalihin oleh Thomas Stamford Raffles.

Masjid Agung Banten


Salah satu peninggalan Kesultanan Banten
7. Kesultanan Gowa-Tallo
Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan Kerajaan Gowa-
Tallo atau Kerajaan Makassar. Raja Gowa, Daeng Manrabia menjadi raja bergelar Sultan Alauddin,
dan Raja Tallo, Karaeng Mantoaya menjadi perdana menteri bergelar Sultan Abdullah. Pusat
pemerintahannya terdapat di Makassar. Karena posisinya yang strategis di antara wilayah barat
(Malaka) dan timur Nusantara (Maluku), Makassar menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia
Timur yang kaya rempah-rempah. Kerajaan ini memiliki pelaut-pelaut tangguh, yang memperkuat
barisan pertahanan laut Makassar.
Pada awal abad ke-16, datanglah Dato’ Ri Bandang, ulama Islam dari Sumatra Barat. Ia
menyebarkan ajaran Islam di Makassar. Raja Makassar, Daeng Manrabia memeluk agama Islam, dan
namanya diubah menjadi Sultan Alauddin. Kerajaan Makassar mencapai masa kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Said dan Sultan Hasanuddin. Kedua sultan ini membawa
Makassar sebagai daerah dagang yang maju. Wilayah kekuasaannya meluas sampai ke Flores dan
Pulau Solor di Nusa Tenggara Timur. Secara khusus di bawah Hasanuddin, kerajaan-kerajaan
kecil di sekitar Makassar seperti Kerajaan Wajo, Bone, Luwu, dan Sopeng berhasih dikuasai. Pada
masa pemerintahan Hasanuddin, Kesultanan Gowa-Tallo terlibat perang besar dengan VOC, yang
terkenal dengan nama Perang Makassar (1666-1669). Perang ini termasuk perang terbesar yang
pernah dialami oleh VOC pada abad ke-17.
Perang Makassar dilatarbelakangi cita-cita Hasanuddin menjadikan Makassar sebagai pusat
kegiatan perdagangan di Indonesia bagian timur. Hal ini mengancam aktivitas ekonomi Belanda
diawali dengan pelucutan dan perampasan terhadap armada Belanda di Maluku oleh pasukan
Hasanuddin, Belanda kemudian menyerang Makassar setelah sebelumnya mendapat kepastian
bantuan dari Sultan Bone, Aru Palaka. Belanda sempat terdesak, namun akhirnya berhasil memaksa
Hasanuddin menyepakati Perjanjian Bongaya (1667), yang isinya adalah sebagai berikut.
• VOC (Serikat Dagang Belanda) memperoleh monopoli perdagangan di Makassar.
• Belanda mendirikan benteng di Makassar (kelak bernama Benteng Rotterdam).
• Makassar melepaskan daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di sekitar Makassar.
• Makassar mengakui Aru Palaka sebagai Raja Bone.
Keberanian Hasanuddin dalam perjuangan melawan Belanda membuatnya dikenal sebagai “Ayam
Jantan dari Timur”. Sepeninggal Hasanuddin, Makassar dipimpin oleh putranya bernama Mapasomba.
Sikapnya yang keras dan tidak mau bekerja sama menjadi alasan Belanda mengerahkan pasukan
secara besar-besaran. Belanda pun berkuasa sepenuhnya atas Kesultanan Makassar.
Makassar mengalami kemajuan ekonomi yang amat pesat, terutama di bidang perdagangan.
Kemajuan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor berikut.
 Banyak pedagang hijrah ke Makassar setelah Malaka dikuasai Portugis pada tahun 1511.
 Orang-orang Makassar dan Bugis terkenal sebagai pelaut ulung yang dapat mengamankan
wilayah lautnya.
 Tersedia banyak rempah-rempah (dari Maluku).
Makassar berkembang sebagai pelabuhan internasional. Banyak pedagang asing seperti
Portugis, Inggris, dan Denmark datang berdagang di Makassar. Dengan tipe perahunya seperti pinisi
dan lambo, pedagang-pedagang Makassar memegang peran penting dalam perdagangan di
Nusantara.
8. Kesultanan Ternate dan Tidore
Secara geografis, kedua kesultanan ini terletak di Kepulauan Maluku, antara Sulawesi dan Papua.
Posisinya sebagai penghasil rempah-rempah terbesar (terutama cengkih dan pala), sehingga dijuluki
The Spice Islands (Kepulauan Rempah-Rempah). Rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam
perdagangan dunia saat itu, sehingga minat bangsa-bangsa lain entah dari Nusantara sendiri ataupun
dari Eropa seperti Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris untuk datang ke Maluku. Kesultanan
Ternate didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257, Malamo kemudian menjadi raja pertama
Ternate. Di masa jayanya, wilayah kekuasaannya membentang mencakup Maluku, Sulawesi Utara,
Sulawesi Timur dan Tengah , bagian selatan Kepulauan Filipina, hingga Kepulauan Marshall di Pasifik.
Kesultanan Tidore berpusat di Tidore, Maluku Utara. Berdiri pada tahun1322, pada masa jayanya
menguasai sebagian besar Halmahera Selatan, Pulau Buru, Ambon, dan pulau-pulau di pesisir Papua
Barat. Raja pertama yang menggunakan gelar sultan adalah Jamaluddin. Pada tahun 1334 Tidore
dipimpin oleh Sultan Hasan Syah. Kesultanan Ternate resmi memeluk Islam pada pertengahan abad
ke-15 ketika masa pemerintahan Raja Marhum. Islam berkembang pesat pada masa pemerintahan
Sultan Zainal Abidin, putra Sultan Marhum. Para santri dari Maluku banyak yang belajar agama Islam
pada Sunan Giri di Pulau Jawa. Pada masa Sultan Zainal Abidin, Islam menjadi agama resmi, syariat
Islam diberlakukan, dan lembaga kerajaan sesuai dengan hukum Islam. Secara berurutan sultan-sultan
yang memerintah Ternate adalah Sirullah (Bayanullah), Khairun, dan Baabullah.
Untuk kepentingan perdagangan, Kesultanan Ternate membentuk Uli Lima atau Persekutuan Lima
Saudara yang terdiri atas Bacan, Obi, Seram, Ambon, dan Ternate. Kesultanan Tidore membentuk Uli
Siwa yang terdiri atas Makyan, Jailolo atau Halmahera, Kepulauan Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pada
awalnya, Ternate dan Tidore hidup berdampingan secara damai. Konflik mulai muncul ketika para
pedagang Eropa datang. Pada tahun 1512, Portugis dan Spanyol masuk ke Ternate. Portugis
memilih bekerja sama dengan Ternate, sebaliknya Spanyol bekerja sama dengan Tidore. Lama-
kelamaan hubungan Portugis denganTernate mulai memburuk, terutama karena Portugis
melakukan hal-hal berikut.
• Portugis melakukan monopoli perdagangan.
• Portugis mencampuri urusan internal Kesultanan Ternate.
Sultan Baabullah (Ternate) kemudian melakukan perlawanan pada tahun 1570 dan berhasil
mengusir bangsa Portugis dari Ternate pada tahun 1575. Di bawah pemerintahan Sultan
Baabullah, Kesultanan Ternate mengalami kemajuan yang pesat. Ia memperluas wilayahnya
hingga ke Sulawesi, Bima, dan Mindanau (Filipina). Wilayahnya yang semakin luas dan ditunjang
dengan kegiatan perdagangan dan pelayaran yang maju membuat Sultan Baabullah mendapat
julukan “Yang Dipertuan di Tujuhpuluhdua Pulau”.
Kekalahan Portugis malah menjadi pintu masuk bagi Belanda untuk menguasai perdagangan
rempah-rempah. Pada tahun 1580, Spanyol yang telah bersatu dengan Portugis mencoba
menguasai kembali Maluku dengan cara menyerang Ternate. Kekalahan demi kekalahan memaksa
Ternate meminta bantuan Belanda pada tahun 1603. Dengan bantuan Belanda, Ternate akhirnya
berhasil menahan Spanyol. Akan tetapi, akibatnya Belanda secara perlahan-lahan menguasai
Ternate. Di bawah pimpinan Sultan Saifuddin, Kesultanan Tidore menolak penguasaan VOC
terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
Kesultanan Tidore mencapai masa kejayaan pada masa Sultan Nuku. Sama halnya dengan Sultan
Baabullah di Ternate, Sultan Nuku anti-imperialis. Karena sikapnya ini, pengaruh budaya Portugis dan
Belanda (VOC) lebih berpusat di luar Kesultanan Ternate dan Tidore. Ternate juga memiliki peran yang
besar dalam upaya penyebaran agama Islam dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur
Nusantara dan bagian selatan Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam
yang diperkenalkan pertama kali oleh Sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua
kesultanan di Maluku.

Keraton Kesultanan Ternate

Anda mungkin juga menyukai