2
Penalaran (Reasoning)
Telah disebutkan dalam Bab 1 bahwa pengertian teori akuntansi dalam buku ini
difokuskan pada pengertian teori sebagai suatu penalaran logis untuk menjelas-
kan bagaimana suatu standar akuntansi diturunkan, dikembangkan, atau dipilih.
Penalaran sangat penting perannya dalam belajar teori akuntansi karena teori
akuntansi menuntut kemampuan penalaran yang memadai. Teori akuntansi
banyak melibatkan proses penilaian kelayakan dan validitas suatu pernyataan dan
argumen. Penalaran memberi keyakinan bahwa suatu pernyataan atau argumen
layak untuk diterima atau ditolak. Penalaran logis merupakan salah satu sarana
untuk memverifikasi validitas suatu teori.
Penalaran merupakan pengetahuan tentang prinsip-prinsip berpikir logis
yang menjadi basis dalam diskusi ilmiah. Penalaran juga merupakan suatu ciri
sikap (attitude) ilmiah yang sangat menuntut kesungguhan (commitment) dalam
menemukan kebenaran ilmiah.1 Sikap ilmiah membentengi sikap untuk meme-
cahkan masalah secara serampangan, subjektif, pragmatik, dan emosional. Karena
pentingnya masalah penalaran ini, bab ini membahas secara khusus pengertian
penalaran dan berbagai aspeknya serta aplikasinya dalam akuntansi.
Pengertian
Sebagai titik tolak pembahasan, diajukan pengertian penalaran oleh Nickerson
(1986) sebagai berikut:2
Reasoning encompasses many of the processes we use to form and evaluate beliefs—
beliefs about the world, about peop le, about the truth or falsity of claims we
encounter or make. It involves the production and evaluation of arguments, the
making of inferences and the draw ing of conclusions, the generation and
1
Istilah kebenaran dalam pembahasan di sini tidak dimaksudkan dalam pengertian kebenaran
mutlak (absolute truth) tetapi lebih dalam pengertian kebenaran ilmiah yang dibatasi oleh kemampuan
penalaran manusia. Kebenaran mutlak adalah milik Tuhan. Oleh karena itu, walaupun digunakan isti-
lah kebenaran, kebenaran di sini harus lebih diartikan sebagai validitas. Lihat catatan kaki 16 di Bab 1.
2
Raymond S. Nickerson, Reflections on Reasoning (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates,
Publisher, 1986). Pembahasan di bab ini banyak didasarkan atas buku tersebut.
42 Bab 2
testing of hypotheses. It requires both deduction and induction, both analysis and
synthesis, and both criticality and creativity (hlm. 1-2).
Dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berpikir logis dan sistematis
untuk membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan (belief) terhadap suatu
pernyataan atau asersi (assertion). Pernyataan dapat berupa teori (penjelasan)
tentang suatu fenomena atau realitas alam, ekonomik, politik, atau sosial. Pena-
laran perlu diajukan dan dijabarkan untuk membentuk, mempertahankan, atau
mengubah keyakinan bahwa sesuatu (misalnya teori, pernyataan, atau penjelas-
an) adalah benar. Penalaran melibatkan inferensi (inference) yaitu proses penu-
runan konsekuensi logis dan melibatkan pula proses penarikan simpulan/konklusi
(conclusion) dari serangkaian pernyataan atau asersi. Proses penurunan simpulan
sebagai suatu konsekuensi logis dapat bersifat deduktif maupun induktif. Penalar-
an mempunyai peran penting dalam pengembangan, penciptaan, pengevaluasian,
dan pengujian suatu teori atau hipotesis.
Teori (pernyataan-pernyataan teoretis) merupakan sarana untuk menyata-
kan suatu keyakinan sedangkan penalaran merupakan proses untuk mendukung
keyakinan tersebut. Oleh karena itu, keyakinan (terhadap suatu teori atau per-
nyataan) berkisar antara lemah sampai kuat sekali atau memaksa (compelling)
bergantung pada kualitas atau keefektifan penalaran dalam menimbulkan daya
bujuk atau dukung yang dihasilkan.
Gambar 2.1
Proses atau Struktur Penalaran
Masukan Proses Keluaran
Asersi Asersi
Gambar 2.2
Arti Penting Argumen Sebagai Bukti
Keyakinan bahwa
Argumen
pernyataan benar
sebagai bukti
membentuk, sebagai bukti
memelihara,
Semua A adalah C mengubah
B bukan A B bukan C
B bukan C
Asersi
Asersi (pernyataan) memuat penegasan tentang sesuatu atau realitas. Pada
umumnya asersi dinyatakan dalam bentuk kalimat. Berikut ini adalah contoh
beberapa asersi (beberapa adalah asersi dalam akuntansi):
Semua A adalah B.
Tidak ada satupun A adalah B.
Beberapa A adalah B.
Dengan cara di atas, orang akan lebih memperhatikan validitas asersi daripa-
da isi asersi karena simbol A atau B dapat diganti dengan apapun sesuai dengan
topik yang dibahas. Misalnya A dapat berisi “badan usaha milik negara (BUMN)”
dan B berisi “perusahaan pencari laba (PPL).” Dalam contoh ini, badan usaha
disamakan dengan perusahaan. Dengan cara ini, asersi lebih dinilai atas dasar
strukturnya daripada atas dasar penerimaan atau kesetujuan terhadap isi asersi
yang diajukan. Dengan demikian, dapat terjadi bahwa suatu asersi valid (benar
secara struktural) tetapi tidak mempunyai kandungan empiris. Pernyataan
“Semua A adalah B” adalah valid secara struktural tetapi tidak berkaitan dengan
dunia nyata atau pengamatan empiris.
Struktur asersi dapat disajikan pula dalam bentuk diagram untuk memper-
oleh kejelasan mengenai hubungan antara kelas (himpunan) objek yang satu
dengan lainnya. Gambar 2.3 di halaman berikut merepresentasi asersi berstruk-
tur “semua A adalah B” yang berisi “Semua badan usaha milik negara adalah
perusahaan pencari laba” dalam bentuk diagram.
46 Bab 2
Gambar 2.3
Penyajian Asersi Dengan Diagram
Perusahaan
Perusahaan pencari laba
pencari laba
BUMN BUMN
Gambar 2.4
Non-BUMN
Non-BUMN
pencari laba
pencari laba
BUMN
BUMN
Non-pencari laba
Non-BUMN direpresentasi dalam Gambar 2.4 kiri dengan area abu-abu. Non-
perusahaan pencari laba di Gambar 2.4 kanan (area yang diarsir) meliputi segala
macam unit organisasi yang tidak terbatas pada unit organisasi yang disebut peru-
sahaan atau pencari laba. Jadi, area non-PPL sebenarnya merepresentasi universa
(universe) himpunan yang tak terbatas sehingga areanya tidak dapat dibatasi
menjadi empat persegi panjang seperti di atas. Penggambaran seperti itu semata-
mata merupakan konvensi untuk merepresentasi suatu universa.
Penalaran 47
Gambar 2.5
bah (sum), atau-inklusif (inclusive or), atau disjungsi (disjunction) . Kombinasi dua
himpunan tidak termasuk bagian yang saling-isi disebut dengan atau-eksklusif
(exclusive or) atau disjungsi eksklusif (exclusive disjunction) .
Gambar 2.6
A B
B
(1) (2)
Dalam menyatakan asersi, perlu dibedakan penggunaan kata non dan nir.6
Non (dari kata Inggris non) berarti bukan dan bersifat komplementer. Walaupun
demikian, dalam pemakaiannya kata non lebih bermakna sebagai suatu orientasi
daripada klasifikasi. Sebagai contoh, kata non-profit lebih bermakna “tidak
mementingkan profit” daripada tidak ada atau tanpa profit. Berbeda dengan non,
nir (dari kata Inggris -less) berarti tanpa dan tidak harus bersifat komplementer
dan juga tidak harus mengklasifikasi. Kata yang tepat menggunakan nir misalnya
sugarless (tanpa gula atau nirgula), useless (tanpa guna atau nirguna), riskless
(tanpa risiko atau nirrisiko), atau scripless (tanpa skrip). Jadi, non-profit jelas ber-
beda dengan nir-profit . Oleh karena itu, tidak tepat pulalah memadankatakan
non-profit dengan nirlaba.7
Interpretasi Asersi
Untuk menerima kebenaran suatu asersi, harus dipastikan lebih dahulu apa arti
atau maksud asersi. Sangat penting sekali untuk memahami arti asersi untuk
menentukan keyakinan terhadap kebenaran asersi tersebut. Untuk memahami
5
Bila benar bahwa semua A adalah B atau bila A dan B merupakan himpunan yang sama, benar
juga dikatakan bahwa beberapa A adalah B. Dalam hal ini, representasi dalam diagram akan menun-
jukkan area A ada di dalam area B atau area A berimpitan (saling isi penuh) dengan area B. Bila tidak
ada informasi tersebut, pada umumnya asersi “Beberapa A adalah B” diartikan sebagaimana direpre-
sentasi dalam diagram (1) atau (2) dalam Gambar 2.6.
6
Dalam tata bahasa, kata-kata semacam ini disebut pro-leksem. Penulisannya di depan dan mele-
kat pada kata yang diwatasi.
7
Istilah nirlaba digunakan oleh Ikatan Akuntan Indonesa (IAI) dalam Standar Akuntansi Keu-
angan 2002 (PSAK No. 45).
Penalaran 49
maksud asersi, orang juga harus mempunyai pengetahuan tentang subjek atau
topik yang dibahas. Kesalahan interpretasi dapat terjadi karena dua bentuk asersi
yang berbeda dapat berarti dua hal yang sama atau dua hal yang sangat berbeda.
Perhatikan beberapa contoh bentuk asersi berikut:
Asersi (1) jelas berbeda arti dan bentuknya dengan asersi (3). Demikian juga,
asersi (1) jelas berbeda dengan asersi (2). Kesalahan menginterpretasi asersi (1)
sama dengan asersi (2) disebut dengan kesalahan konversi premis (premise conver-
sion error).
Asersi (3) mempunyai makna yang sama dengan asersi (4) karena kalau asersi
yang satu benar, tidak mungkin asersi yang lain salah. Dalam hal ini, asersi yang
satu merupakan implikasi asersi yang lain. Bila asersi (3) benar, dengan sendiri-
nya asersi (4) juga benar.
Dalam percakapan sehari-hari, asersi (5) sering disamakan dengan asersi (6)
dan dapat disaling-tukar penggunaannya. Artinya, dianggap bahwa bila asersi (5)
benar dengan sendirinya asersi (6) juga benar. Interpretasi yang lebih teliti secara
logis dapat menunjukkan perbedaan makna kedua asersi tersebut. Asersi (5)
menegaskan bahwa terdapat beberapa A yang juga B tetapi tidak mementingkan
apakah terdapat beberapa A yang bukan B. Dapat saja beberapa A yang bukan B
tidak ada. Di lain pihak, asersi (6) mengandung penegasan bahwa terdapat bebera-
pa A yang bukan B tetapi tidak mementingkan informasi bahwa terdapat bebera-
pa B yang bukan A. Asersi ini biasanya merupakan penyangkalan terhadap asersi
“Semua A adalah B.” Kedua asersi dapat berbeda karena kalau asersi (5) benar
tidak dengan sendirinya asersi (6) juga benar. Jadi, makna beberapa dan tidak
semua dapat berarti dua hal yang sama atau berbeda bergantung pada konteks
yang dibahas atau informasi yang tersedia.
Gambar 2.7
Perbedaan Makna BAP dan APB
Bersertifikat
Akuntan
Akuntan Dukun
Publik
Akuntan Publik
8
Bersertifikat dapat dipandang sebagai komplemen himpunan takbersertifikat yang di dalamnya
terdapat subhimpunan akuntan publik, dukun, dan sebagainya. Oleh karena itu, akan didapatkan pula
subhimpunan takbersertifikat akuntan publik . Akan tetapi, untuk menyatakan makna certified public
accountant sebagai pusat perhatian, himpunan takbersertifikat akuntan publik sebagai komple-
mennya tidak relevan lagi.
Penalaran 51
9
Dalam penelitian empiris, hipotesis merupakan penjabaran suatu proposisi (proposition) .
52 Bab 2
Fungsi Asersi
Telah ditunjukkan dalam Gambar 2.1 bahwa asersi merupakan bahan olah dalam
argumen. Dalam argumen, asersi dapat berfungsi sebagai premis (premise) dan
konklusi (conclusion). Premis adalah asersi yang digunakan untuk mendukung
suatu konklusi. Konklusi adalah asersi yang diturunkan dari serangkaian asersi.
Suatu argumen paling tidak berisi satu premis dan satu konklusi. Karena premis
dan konklusi keduanya merupakan asersi, konklusi (berbentuk asersi) dalam suatu
argumen dapat menjadi premis dalam argumen yang lain.
Ketiga jenis asersi yang dibahas sebelum ini—asumsi, hipotesis, pernyataan
fakta—dapat berfungsi sebagai premis dalam suatu argumen. Dalam hal ini, prin-
sip yang harus dipegang adalah bahwa kredibilitas konklusi tidak dapat melebihi
kredibilitas terendah premis-premis yang digunakan untuk menurunkan konklu-
si. Artinya, kalau konklusi diturunkan dari serangkaian premis yang salah satu
merupakan pernyataan fakta dan yang lain asumsi, konklusi tidak dapat dipan-
dang sebagai pernyataan fakta. Dengan kata lain, keyakinan terhadap konklusi
dibatasi oleh keyakinan terhadap premis.
Keyakinan
Keyakinan terhadap asersi adalah tingkat kebersediaan untuk menerima bahwa
asersi tersebut benar. Keyakinan diperoleh karena kepercayaan (confidence) ten-
tang kebenaran yang dilekatkan pada suatu asersi. Suatu asersi dapat dipercaya
karena adanya bukti yang kuat untuk menerimanya sebagai hal yang benar. Orang
dikatakan yakin terhadap suatu asersi bila dia menunjukkan perbuatan, sikap,
dan pandangan seolah-olah asersi tersebut benar karena dia percaya bahwa asersi
tersebut benar.10 Kepercayaan diberikan kepada suatu asersi biasanya sete- lah
dilakukan evaluasi terhadap asersi atas dasar argumen yang digunakan untuk
menurunkan asersi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keyakinan merupa-
kan produk, hasil, atau tujuan suatu penalaran. Berbagai faktor mempengaruhi
tingkat keyakinan seseorang atas suatu asersi. Karakteristik (sifat) asersi menen-
tukan mudah-tidaknya keyakinan seseorang dapat diubah melalui penalaran.
Properitas Keyakinan
10
Istilah keyakinan sering digunakan sebagai padan kata belief dan confidence. Istilah confidence
sering diterjemahkan menjadi keyakinan atau kepercayaan. Dalam buku ini, keyakinan digunakan
untuk padan kata belief yang dibedakan dengan kepercayaan yang digunakan untuk padan kata confi-
dence. Keyakinan adalah hal yang diperoleh dan dianut dari asersi sedangkan kepercayaan adalah hal
yang diberikan kepada asersi. Dari segi subjek (pemegang keyakinan), keyakinan arahnya masuk
sedangkan kepercayaan arahnya keluar. Orang menjadi yakin akan sesuatu karena dia percaya pada
sesuatu tersebut. Tidak ada keyakinan tanpa adanya kepercayaan; keduanya tidak dapat dipisahkan.
Penalaran 53
dianggap berhasil kalau argumen tersebut dapat mengubah keyakinan. Berikut ini
dibahas properitas keyakinan yang perlu disadari dalam berargumen.
Keadaben a ra n
Bu ka n pen da p a t
Keyakinan adalah sesuatu yang harus dapat ditunjukkan atau dibuktikan secara
objektif apakah tia salah atau benar dan sesuatu yang diharapkan menghasilkan
kesepakatan (agreement) oleh setiap orang yang mengevaluasinya atas dasar fakta
objektif. Pendapat atau opini adalah asersi yang tidak dapat ditentukan benar atau
salah karena berkaitan dengan kesukaan (preferensi) atau selera. Berbeda dengan
keyakinan, plausibilitas pendapat tidak dapat ditentukan. Artinya, apa yang benar
bagi seseorang dapat salah bagi yang lain. Walaupun dalam kenyataan- nya kedua
konsep tersebut tidak dibedakan secara tegas, penalaran logis yang dibahas di sini
lebih ditujukan pada keyakinan daripada pendapat.
Bertingka t
Keyakinan yang didapat dari suatu asersi tidak bersifat mutlak tetapi bergradasi
mulai dari sangat maragukan sampai sangat meyakinkan (convincing). Tingkat
keyakinan ditentukan oleh kuantitas dan kualitas bukti untuk mendukung asersi.
Orang yang objektif dan berpikir logis tentunya akan bersedia untuk mengubah
11
Imbauan yang dimaksud di sini adalah pemanfaatan sesuatu sebagai pelarian atau taktik untuk
tidak mengajukan argumen yang valid. Pemanfaatan semacam ini sebenarnya merupakan suatu
kecohan atau salah nalar (fallacy) . Imbauan lain yang merupakan kecohan logika antara lain adalah
affirming the consequence , appeal to force, appeal to pity, dan attacking the person . Lihat kecohan lain
dalam Jerry Cederblom dan David W. Paulsen, Critical Reasoning (Belmont, CA: Wadsworth Publish- ing
Co., 1986), hlm. 101-109. Kecohan dan taktik tersebut dibahas lebih lanjut di bagian lain bab ini.
54 Bab 2
Berbi as
Selain kekuatan bukti objektif yang ada, keyakinan dipengaruhi oleh preferensi,
keinginan, dan kepentingan pribadi yang karena sesuatu hal perlu dipertahankan.
Idealnya, dalam menilai plausibilitas suatu asersi orang harus bersikap objektif
dengan pikiran terbuka (open mind). Pada umumnya, bila orang mempunyai
kepentingan, sangat sulit baginya untuk bersikap objektif. Dengan bukti objektif
yang sama, suatu asersi akan dianggap sangat meyakinkan oleh orang yang mem-
punyai kepentingan pribadi yang besar dan hanya dianggap agak atau kurang
meyakinkan oleh orang yang netral. Demikian pula sebaliknya.
Orang melekatkan nilai (value) terhadap suatu keyakinan. Nilai keyakinan adalah
tingkat penting-tidaknya suatu keyakinan perlu dipegang atau dipertahankan
seseorang. Nilai keyakinan bagi seseorang akan tinggi apabila perubahan keya-
kinan mempunyai implikasi serius terhadap filosofi, sistem nilai, martabat, penda-
patan potensial, dan perilaku orang tersebut.
Berkeku a tan
Veridi kal
Ber ketertem p aa n
Argumen
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah argumen sering digunakan secara keliru
untuk menunjuk ketidaksepakatan, perselisihan pendapat (dispute), atau bahkan
pertengkaran mulut (Jawa: padu ). Dalam pengertian ini, argumen mempunyai
konotasi negatif. Orang yang suka bertengkar dan ingin menangnya sendiri akan
menikmati dan memburunya tetapi orang yang ingin mencari solusi atau alterna-
tif pemecahan masalah yang terbaik akan menghindarinya. Dalam arti positif,
argumen dapat disamakan dengan penalaran logis untuk menjelaskan atau meng-
ajukan bukti rasional tentang suatu asersi. Bila seseorang mengajukan alasan
untuk mendukung suatu gagasan atau pandangan, dia biasanya menawarkan
suatu argumen. Argumen dalam arti positif selalu dijumpai dalam bacaan, per-
cakapan, dan dalam diskusi ilmiah. Argumen merupakan bagian penting dalam
pengembangan pengetahuan. Agar memberi keyakinan, argumen harus dievaluasi
kelayakan atau validitasnya.
Gambar 2.1 dan 2.2 menunjukkan arti argumen sebagai proses dan sebagai
suatu bukti tentang keyakinan. Pengertian argumen seperti itu didasarkan atas
definisi yang diajukan Nickerson (1986) sebagai berikut:
56 Bab 2
Anatomi Argumen
Dari definisi di atas dan Gambar 2.1 dapat dikatakan bahwa argumen terdiri atas
serangkaian asersi. Asersi berkaitan dengan yang lain dalam bentuk inferensi atau
penyimpulan. Asersi dapat berfungsi sebagai premis atau konklusi (atau asersi
kunci) yang merupakan komponen argumen. Berikut ini adalah beberapa contoh
argumen (beberapa merupakan argumen dalam akuntansi):
Sebagai suatu argumen, asersi yang satu harus mendukung asersi yang lain
yang menjadi konklusi. Kata-kata dengan huruf miring di atas merupakan kata
indikator argumen yang dapat digunakan untuk menunjuk mana premis dan
mana konklusi. Daftar di bagian atas halaman berikut ini memuat beberapa kata
yang biasanya menjadi indikator suatu argumen.13
Dalam suatu kalimat argumen, kata-kata dalam daftar tersebut secara umum
mengisyaratkan suatu makna “dengan alasan bahwa.” Di samping kata-kata di
atas, beberapa kata kerja (verba) dapat menjadi indikator argumen seperti:
menunjukkan bahwa, membuktikan bahwa, menegaskan bahwa, berimplikasi
bahwa, mengakibatkan bahwa, mempunyai konsekuensi bahwa, menjadi landasan
berpikir bahwa, dan semacamnya.
Dalam tata bahasa Indonesia, kata-kata tersebut berfungsi sebagai kata penghubung kalimat
13
majemuk (setara atau bertingkat) atau kata pengait kalimat dalam paragraf. Lihat kaidah penempatan
dan penggunaan kata-kata tersebut dalam kalimat atau paragraf dalam buku tata bahasa Indonesia.
Penalaran 57
Anda harus datang ke seminar itu. Anda berjanji kepada panitia bahwa
anda akan datang ke seminar itu. Jika anda berjanji untuk berbuat
sesuatu, anda harus mengerjakannya.
Interpretasi 1: Premis (1) Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya.
Premis (2) Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu.
14
Walaupun Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) menganjurkan untuk menulis
kata anda dengan huruf kapital, tia ditulis dengan huruf kecil dalam contoh ini (kecuali pada awal
kalimat) karena tia dianggap padan kata you dalam bahasa Inggris. Seperti you, kata anda merupakan
kata ganti orang kedua dan bukan kata sebutan seperti Bapak, Ibu, atau Saudara. Ciri kata sebutan
adalah tia dapat diikuti nama orang. Bila tidak, tia merupakan kata ganti. Sebagai kata ganti, kata
anda merupakan kata yang netral serta bebas gender dan kelas masyarakat sehingga sangat dianjur-
kan agar tia digunakan dalam pergaulan akademik dan ilmiah yang menghendaki kenetralan.
58 Bab 2
Konklusi: Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya.
Konklusi: Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu.
Pada interpretasi 1, jelas dapat dirasakan bahwa asersi “Anda harus datang ke
seminar itu” paling tepat didukung dalam argumen daripada dua asersi yang lain.
Interpretasi 1 adalah yang terbaik (paling valid) dibanding interpretasi yang lain
karena bila semua premis benar, maka konklusi juga benar (yang merupakan salah
satu syarat validitas argumen). Dalam hal ini, premis (1) menyatakan bahwa bila
anda memenuhi kondisi tertentu (berjanji) maka anda mempunyai kewajiban
(menepati janji). Premis (2) menegaskan bahwa anda memenuhi kondisi berjanji
(akan datang ke seminar). Kalau kedua premis benar, maka konklusi (Anda
seharusnya datang ke seminar) harus benar. Dengan demikian dapat dikatakan
konklusi mengikuti atau diturunkan secara logis dari (follow from) premis. Atas
dasar prinsip interpretasi terdukung dan syarat validitas argumen, interpretasi 2
dan 3 dapat dianalisis bahwa keduanya kurang valid dibanding interpretasi 1.
Je nis Argumen
15
Karena argumen selalu melibatkan penalaran, argumen itu sendiri sering disebut dengan
penalaran. Oleh karena itu, argumen deduktif atau induktif sering disebut juga penalaran deduktif atau
induktif (deductive or inductive reasoning) . Penalaran induktif sebenarnya hanyalah merupakan salah
satu jenis penalaran nondeduktif. Termasuk dalam penalaran nondeduktif adalah penalaran dengan
analogi, generalisasi empiris, dan generalisasi kausal. Lihat pembahasan lebih lanjut dalam Cederblom
dan Paulsen (1986), hlm. 171-205.
Penalaran 59
Argumen Deduktif
Telah disebutkan bahwa argumen atau penalaran deduktif adalah proses penyim-
pulan yang berawal dari suatu pernyataan umum yang disepakati (premis) ke
pernyataan khusus sebagai simpulan (konklusi). Argumen deduktif disebut juga
argumen logis (logical argument) sebagai pasangan argumen ada benarnya (plau-
sible argument). Argumen logis adalah argumen yang asersi konklusinya tersirat
(implied) atau dapat diturunkan/dideduksi dari (deduced from) asersi-asersi lain
(premis-premis) yang diajukan. Disebut argumen logis karena kalau premis-
premisnya benar konklusinya harus benar (valid). Kebenaran konklusi tidak sela-
lu berarti bahwa konklusi merefleksi realitas (truth). Hal inilah yang membedakan
argumen sebagai bukti rasional dan bukti fisis/langsung/empiris berupa fakta.16
Salah satu bentuk penalaran deduktif adalah suatu penalaran yang disebut
silogisma. Silogisma terdiri atas tiga komponen yaitu premis major (major premise)
, premis minor (minor premise) , dan konklusi (conclusion). Dalam silogis- ma,
konklusi diturunkan dari premis yang diajukan seperti contoh berikut:
16
Dalam sistem pengadilan di Amerika, dikenal apa yang disebut bukti situasional (circumstantial
evidence) dan bukti langsung (direct evidence). Bukti langsung misalnya adalah orang tertangkap basah
pada saat melakukan kejahatan dan ada saksi. Bukti situasional adalah bukti-bukti yang menghubung-
kan tertuduh dengan kejahatan meskipun pada saat kejadian tertuduh tidak ada di tempat atau tidak
ada saksi mata. Orang dapat dinyatakan salah (misalnya membunuh orang) atas dasar bukti situa-
sional dan penalaran logis yang meyakinkan walaupun sebenarnya dia tidak bersalah (membunuh).
60 Bab 2
bahwa semua burung bertelur tetapi tidak berarti bahwa binatang lain tidak ada
yang bertelur. Konklusi akan benar kalau premis minor menyangkal konsekuen
dan silogisma di atas dimodifikasi seperti berikut:
Penalaran deduktif berlangsung dalam tiga tahap yaitu: (1) penentuan per-
nyataan umum (premis major) yang menjadi basis penalaran, (2) penerapan kon-
sep umum ke dalam situasi khusus yang dihadapi (proses deduksi), (3) penarikan
simpulan secara logis yang berlaku untuk situasi khusus tersebut. Penalaran
deduktif lebih dari sekadar silogisma karena penalaran deduktif dan unsur-
unsurnya (asersi-asersi) akan membentuk argumen untuk mengubah suatu
keyakinan. Misalnya, keyakinan bahwa penilaian aset atas dasar kos sekarang
lebih relevan daripada kos historis. Contoh lain adalah keyakinan bahwa istilah
biaya lebih tepat daripada beban sebagai padan kata expense.
Penalaran deduktif dalam akuntansi digunakan untuk memberi keyakinan
tentang simpulan-simpulan yang diturunkan dari premis yang dianut. Dalam teori
akuntansi, premis major sering disebut sebagai postulat (postulate) . Sebagai
penalaran logis, argumen-argumen yang dihasilkan dengan pendekatan deduktif
dalam akuntansi akan membentuk teori akuntansi. Gambar 2.8 di halaman
berikut ini menunjukkan salah satu contoh penalaran deduktif dalam akuntansi.
Dalam gambar tersebut, premis 1 merupakan premis major yang berfungsi
sebagai postulat dalam penalaran logis akuntansi. Semua premis dan konklusi
berbentuk suatu pernyataan atau penegasan yang semuanya merupakan asersi.
Dalam akuntansi, premis major dapat berasal dari konklusi penalaran deduk-
tif. Penalaran deduktif untuk suatu masalah menghasilkan argumen untuk
masalah tersebut. Oleh karena itu, penalaran dalam akuntansi dapat menjadi pan-
jang dan terdiri atas beberapa argumen. Apakah suatu argumen cukup meyakin-
kan? Dengan kata lain, bersediakah orang menerima kebenaran konklusi. Untuk
menjawab ini, perlu dinilai apakah struktur penalaran logis dan premis-premisnya
dapat diterima (dapat dipercaya sebagai benar).
Gambar 2.8
Penalaran Deduktif Dalam Akuntansi
nya dalam karya tulis. Arti penting kemampuan berbahasa dan kaitannya dengan
argumen untuk tujuan ilmiah dinyatakan Suriasumantri (1999) seperti berikut:17
Gambar 2.9
Hubungan Kebenaran Premis dan Kebenaran Logis Konklusi
dalam Penalaran Deduktif
Konklusi
Benar Takbenar
17
Jujun S. Suriasumantri, “Hakikat Dasar Keilmuan,” dalam M. Thoyibi (editor), Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999). Penebalan kata argumen- tasi
oleh penulis. Kata “di mana” seharusnya diganti dengan “yang di dalamnya.”
18
Kata takbenar digunakan sebagai padan kata false. Falsity dipadankan dengan ketakbenaran.
Penalaran 63
(1) Semua premis benar (lepas dari apakah orang setuju atau tidak).
(2) Konklusi mengikuti (follow from) semua premis.
(3) Semua premis dapat diterima. Artinya, orang percaya atau setuju
dengan semua premis yang diajukan.
Kriteria (1) dan (2) diperlukan untuk memenuhi validitas logis argumen. Kri-
teria (3) diperlukan untuk memenuhi kebenaran empiris asersi untuk melengkapi
argumen agar konklusi meyakinkan kebenarannya. Contoh argumen yang hanya
memenuhi kriteria (1) dan (2) diberikan berikut ini.
Argumen Induktif
Penalaran ini berawal dari suatu pernyataan atau keadaan yang khusus dan bera-
khir dengan pernyataan umum yang merupakan generalisasi dari keadaan khusus
tersebut. Berbeda dengan argumen deduktif yang merupakan argumen logis (logi-
cal argument) , argumen induktif lebih bersifat sebagai argumen ada benarnya
(plausible argument). Dalam argumen logis, konklusi merupakan implikasi dari
premis. Dalam argumen ada benarnya (plausible) , konklusi merupakan generalisa-
si dari premis sehingga tujuan argumen adalah untuk meyakinkan bahwa proba-
bilitas atau kebolehjadian (likelihood) kebenaran konklusi cukup tinggi atau
sebaliknya, ketakbenaran konklusi cukup rendah kebolehjadiannya (unlikely).
Berikut ini adalah contoh struktur suatu penalaran induktif:
Premis (1): Semua burung mempunyai Premis (1): Kebanyakan burung dapat
bulu. terbang.
Premis (2): Bebek adalah burung. Premis (2): Bebek adalah burung.
Contoh di atas menunjukkan bahwa dalam argumen deduktif bila semua pre-
mis benar maka konklusi pasti atau harus benar. Akan tetapi, dalam argumen
induktif, konklusi tidak selalu benar meskipun kedua premis benar. Perbedaan
tersebut menjadi dasar untuk menilai perbedaan keefektifan atau keberhasilan
kedua jenis argumen. Argumen deduktif dengan premis benar dapat dikatakan
berhasil jika kebenaran premis menjadikan konklusi tidak mungkin (impossible)
takbenar. Di lain pihak, argumen induktif dengan premis benar dapat dikatakan
berhasil jika kebenaran premis menjadikan konklusi kecil kemungkinan atau kecil
kebolehjadian takbenarnya. Karena ada kebolehjadian takbenar, asersi ilmiah yang
bersandar pada penalaran induktif diperlakukan sebagai hipotesis bukan
pernyataan fakta.
19
Dalam percakapan sehari-hari, kata bulu (feather) sering dirancukan dengan rambut atau ram-
but kulit (fur). Orang sering mengatakan “bulu kucing” padahal yang dimaksud sebenarnya adalah
“rambut kucing.” Kera, anjing, dan kelinci tidak mempunyai bulu tetapi mempunyai rambut sehingga
meretia tidak termasuk dalam kelas burung.
66 Bab 2
Premis (1) Negara adalah ibarat sebuah kapal pesiar dengan presiden sebagai
nahkoda.
Premis (2) Dalam keadaan darurat, semua penumpang harus tunduk pada
perintah nahkoda tanpa kecuali.
Konklusi: Dalam keadaan krisis, presiden harus diberi kekuasaan khusus untuk
mengeluarkan undang-undang darurat yang harus diikuti semua warga
tanpa kecuali.
Dalam contoh di atas, hubungan kemiripan negara dan kapal dapat diinter-
pretasi bahwa keduanya sama-sama merupakan suatu wilayah (teritori) yang di
dalamnya hidup sekelompok warga yang menyerahkan sebagian kedaulatannya
kepada seorang pemimpin. Penalar dapat juga menginterpretasi bahwa kemiripan
tersebut berkaitan dengan pemerintahan atau manajemen. Karena kemiripan
tersebut, disimpulkan bahwa kekuasaan (karakteristik, fungsi, atau sistem peme-
rintahan) presiden sama dengan kekuasaan nahkoda. Kesamaan kekuasaan meru-
pakan argumen untuk mendukung konklusi bahwa presiden dapat mengeluarkan
undang-undang darurat dalam situasi krisis.
Walaupun analogi banyak digunakan dalam argumen, argumen semacam ini
banyak mengandung kelemahan. Perbedaan-perbedaan penting yang mempe-
ngaruhi (melemahkan) konklusi sering tersembunyi atau disembunyikan. Perbe-
daan sering lebih dominan daripada kemiripan. Dalam analogi nahkoda misalnya,
warga dalam kapal jumlahnya lebih kecil dan tidak terdapat lembaga perwakilan
seperti dalam negara. Karena bukan merupakan pembuktian, analogi sering
disalahgunakan untuk pembuktian sebagai cara untuk mengecoh orang.
Argumen Sebab-Akibat
Menyatakan konklusi sebagai akibat dari asersi tertentu merupakan salah satu
bentuk argumen yang disebut argumen dengan penyebaban (argument by causa-
tion) atau generalisasi kausal (causal generalization) . Hubungan penyebaban
biasanya dinyatakan dalam struktur “ X menghasilkan Y ” atau “ X memaksa Y ter-
jadi” atau “ X menyebabkan Y terjadi” atau “ Y terjadi akibat X ” atau “ Y berubah
karena X berubah.” Akan tetapi, pernyataan tersebut sebenarnya hanyalah cara
memverbalkan bahwa A bervariasi atau berasosiasi dengan B tetapi tidak menun-
jukkan bahwa apa yang sebenarnya terjadi merupakan hubungan kausal.
Untuk dapat menyatakan adanya hubungan kausal perlu diadakan pengujian
tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kaidah untuk menguji adanya hubungan
kausal adalah apa yang disebut kaidah kecocokan (method of agreement), kaidah
kecocokan negatif (negative canon of agreement) dan kaidah perbedaan (method of
Penalaran 67
difference) yang dikemukakan oleh John Stuart Mill (sehingga seluruh kaidah
disebut dengan kaidah Mill).20
Kaidah kecocokan menyatakan bahwa jika dua kasus (atau lebih) dalam suatu
fenomena mempunyai satu dan hanya satu kondisi atau faktor yang sama (C), maka
kondisi tersebut dapat menjadi penyebab timbulnya gejala (Z).
Kaidah kecocokan negatif menyatakan bahwa jika tiadanya suatu faktor (C)
berkaitan dengan tiadanya gejala (Z), maka ada bukti bahwa hubungan faktor dan
gejala tersebut bersifat kausal.
Kaidah perbedaan menyatakan bahwa jika terdapat dua kasus atau lebih
dalam suatu fenomena, dan dalam salah satu kasus suatu gejala (Z) muncul
sementara dalam kasus lainnya gejala tersebut (Z) tidak muncul; dan jika faktor
tertentu (C) terjadi ketika gejala tersebut (Z) muncul, dan faktor tersebut (C) tidak
terjadi ketika gejala tersebut (Z) tidak muncul; maka dapat dikatakan bahwa ter-
dapat hubungan kausal antara faktor (C) dan gejala (Z) tersebut.
Dalam argumen, kasus-kasus dalam ketiga kaidah di atas dapat diperlakukan
sebagai premis. Kaidah ketiga sebenarnya merupakan gabungan antara kaidah
pertama dan kedua. Kaidah Mill didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada faktor
lain (selain C) yang mempengaruhi gejala Z. Kaidah Mill digunakan untuk
meyakinkan apakah hubungan dua faktor bersifat korelasional atau kausal. Kai-
dah Mill ini didiagramkan dalam Gambar 2.10 di halaman berikut.
Kriteria Penyebaba n
Kriteria (1) harus dipenuhi karena hubungan sebab-akibat hanya terjadi jika
ada perubahan baik faktor sebab maupun faktor akibat. Bila salah satu faktor
berubah sementara yang lain tetap, maka jelas bahwa kedua faktor tersebut tidak
berhubungan sama sekali. Perubahan di sini harus diartikan secara luas sebagai
perbedaan keadaan (status/klasifikasi/gejala) atau nilai (skor/peringkat). Misalnya
keadaan kena kanker dan tidak kena kanker, merokok dan tidak merokok, diberi
obat dan tidak diberi obat, muncul dan tidak muncul, serta sembuh dan tidak sem-
buh merupakan suatu perbedaan keadaan yang menggambarkan perubahan.
Demikian juga, perbedaan skor hasil pengukuran dua kasus atau lebih menunjuk-
kan adanya perubahan. Misalnya perbedaan skor rata-rata tes potensi akademik
(TPA) sebelum dan sesudah mengikuti kursus, perbedaan tingkat kecerdasan yang
diukur pada waktu yang berbeda, perbedaan kinerja sekelompok karyawan yang
diukur pada waktu yang berbeda atau, dan perbedaan kinerja dua kelompok sete-
lah adanya suatu percobaan merupakan indikasi adanya perubahan.
Gambar 2.10
Kaidah Penyebaban Mill
Kaidah Kecocokan
Faktor Penjelas Gejala
Kasus 1 A B C Z
Kasus 2 E C D Z
Kasus 3 C F G Z
menyebabkan
Konklusi C Z
Kaidah Perbedaan
Faktor Penjelas Gejala
Kasus 1 A B C Z
menyebabkan
Konklusi C Z
21
Dalam suatu percobaan atau penelitian eksperimental, tingkat keyakinan bahwa faktor tertentu
benar-benar merupakan penyebab faktor yang lain disebut dengan validitas internal.
70 Bab 2
menjadi suatu variabel yang dapat diamati dalam dunia nyata sehingga konsep
abstrak dapat diukur. Dalam contoh ini, aset (dapat juga penjualan) dijadikan defi-
nisi operasional (proksi) ukuran perusahaan sedangkan banyaknya butir peng-
ungkapan yang tidak diatur oleh standar akuntansi merupakan definisi
pengungkapan sukarela. Dalam pengujian statistis, hubungan teoretis antarvaria-
bel sering dinyatakan dalam bentuk hipotesis.22
Gambar 2.11
Contoh Penalaran Induktif dalam Akuntansi
Tataran abstrak
Rerangka/landasan
teoretis
Hubungan teoretis
Konsep:
Konsep:
Tingkat pengungkapan
Ukuran perusahaan Proposisi sukarela
Pengukuran Pengukuran
sampel sampel
Sampel X Y
Pengujian hubungan secara statistis
(dengan regresi, korelasi, atau lainnya)
22
Proposisi sering disebut dengan hipotesis. Istilah proposisi biasanya digunakan dalam tataran
(level) teoretis atau abstrak sedangkan istilah hipotesis biasanya digunakan dalam tataran empiris
atau pengujian. Dalam penelitian akuntansi, kedua istilah sering tidak dibedakan dan digunakan
secara saling tukar.
Penalaran 71
antara variabel diuji dengan alat statistis tertentu (misalnya regresi). Bila
pengujian secara statistis menunjukkan bahwa hubungan antara variabel secara
statistis signifikan, berarti ada keyakinan tinggi (misalnya tingkat keyakinan 95%)
bahwa teori yang diajukan didukung secara empiris sehingga dapat dilaku- kan
generalisasi. Dari contoh di atas, generalisasi secara formal dapat dinyatakan
dalam penalaran induktif sebagaimana tampak pada argumen di bawah ini.
Kecohan (Fallacy)
Dalam kehidupan sehari-hari (baik akademik maupun nonakademik), acapkali
dijumpai bahwa argumen yang jelek, lemah, tidak sehat, atau bahkan tidak masuk
akal ternyata mampu meyakinkan banyak orang sehingga mereka terbujuk oleh
argumen tersebut padahal seharusnya tidak. Bila hal ini terjadi, akan banyak
praktik, perbuatan, atau tindakan dalam masyarakat yang dilandasi oleh teori
atau alasan yang tidak sehat. Akibatnya praktik itu sendiri menjadi tidak sehat.
Cederblom dan Paulsen (1986) membahas hal ini dengan mengajukan pertanyaan:
“Why are bad arguments sometimes convincing?” Pertanyaan tentang adanya
kecohan penalaran dalam akuntansi misalnya adalah “Mengapa istilah yang salah
banyak dipakai orang?”
Telah dibahas sebelumnya bahwa keyakinan mempunyai beberapa sifat yang
menjadikan perubahan atau pemertahanan keyakinan tidak semata-mata dilan-
dasi oleh validitas dan kekuatan argumen tetapi juga oleh faktor manusia. Dalam
72 Bab 2
kasus tertentu (bahkan dalam konteks ilmiah atau akademik), manusia lebih ter-
bujuk atau terkecoh oleh emosi atau kepentingan pribadi daripada logika. Dengan
kata lain, keyakinan tidak selalu diperoleh melalui argumen logis atau akal sehat.
Apapun faktor yang menyebabkan, bila terdapat suatu asersi yang nyatanya mem-
bujuk dan dianut banyak orang padahal seharusnya tidak lantaran argumen yang
diajukan mengandung cacat (faulty) , maka pasti terjadi kesalahan yang disebut
kecohan atau salah nalar (fallacy) . Cederblom dan Paulsen (1986) mendefinisi
pengertian kecohan sebagai berikut:
A fallacy is a kind of argument or appeal that tends to persuade us, even though it is
faulty. ... Fallacies are arguments that tend to persuade but should not per- suade
(hlm. 102).
Kita harus mengenal berbagai kecohan agar kita waspada bahwa hal semacam
itu memang ada sehingga kita tidak terkecoh atau mengecoh orang lain secara tak
sengaja. Orang dapat terkecoh oleh dirinya sendiri sehingga dia berpikir bahwa dia
mengajukan argumen yang valid padahal sebenarnya tidak valid. Sebaliknya,
orang dapat mengecoh orang lain dengan sengaja semata-mata karena ingin
memaksakan kehendak atau ingin menangnya sendiri sehingga dia akan meng-
gunakan segala taktik untuk meyakinkan orang lain tentang keyakinan atau
pendapatnya dengan menyampingkan masalah pokok atau menyembunyikan
argumen yang valid. Oleh karena itu, perlu dibedakan kecohan lantaran taktik
atau akal bulus (yang oleh Nickerson disebut dengan stratagem ) dan kecohan lan-
taran salah logika atau nalar dalam argumen (reasoning fallacy) .23 Ciri yang mem-
bedakan keduanya adalah maksud atau niat (intention) untuk berargumen.
Stratagem
Stratagem banyak dijumpai dalam arena politik walaupun tidak tertutup kemung-
kinan bahwa hal tersebut dijumpai dalam diskusi ilmiah. Pakar atau ilmuwan
kadang kala lebih menunjukkan stratagem daripada argumen yang valid. Berikut
ini dibahas beberapa stratagem yang sering dijumpai dalam diskusi atau perde-
batan baik politis maupun akademik.
Membidik Or angnya
Stratagem ini digunakan untuk melemahkan atau menjatuhkan suatu posisi atau
pernyataan dengan cara menghubungan pernyataan atau argumen yang diajukan
seseorang dengan pribadi orang tersebut.24 Alih-alih mengajukan kontra-argumen
(counter-argument) yang lebih valid, pembicara mengajukan kejelekan atau sifat
yang kurang menguntungkan dari lawan berargumen. Jadi, yang dilawan orang-
nya bukan argumennya. Dengan cara ini diharapkan bahwa daya bujuk argumen
akan menjadi turun atau jatuh. Taktik ini sering disebut argumentum ad hom-
inem . Berikut ini adalah beberapa contoh stratagem ini.
• Dia tidak mungkin menjadi pemimpin yang andal karena dia bekas
militer (atau tahanan politik yang pernah dihukum).
• Praktisi akuntansi yang tidak mengikuti standar akuntansi seperti apa
adanya adalah orang yang tidak loyal dan tidak profesional.
• Jangan menggunakan istilah tersebut karena yang mengusulkan orang
Yogya. (Saya tidak setuju istilah itu karena itu istilah Yogya.)
• Program tersebut tidak valid didukung karena yang mengajukan
adalah partai politik A.
• Kurikulum ini harus diganti total karena yang mengembangkan adalah
pengelola lama (rezim orde baru).
24
Posisi yang dimaksud di sini adalah posisi setuju (mendukung) atau tidak sejutu (menolak) ter-
hadap suatu gagasan, ide, usul, konsep, atau kebijakan.
74 Bab 2
Menyam pingka n Ma sa la h
Stratagem ini dilakukan dengan cara mengajukan argumen yang tidak bertumpu
pada masalah pokok atau dengan cara mengalihkan masalah ke masalah yang lain
yang tidak bertautan. Hal ini sering dilakukan orang jika dia (karena sesuatu hal)
tidak bersedia menerima argumen yang dia tahu lebih valid dari argumen yang
dipegangnya. Penyampingan masalah ini juga merupakan salah satu contoh salah
nalar karena penyampingan dilakukan dengan memberi penjelasan yang tidak
menjawab masalah. Berikut ini adalah beberapa contoh stratagem ini.
Dari contoh di atas, penyampingan masalah terjadi karena orang tidak lagi
menyajikan argumen tandingan yang valid terhadap pernyataan yang ingin
disanggahnya (yaitu perlunya pemberantasan korupsi). Dalam contoh kedua,
misalnya, orang tidak lagi membahas arti pentingnya pembenahan melainkan
mematikan atau memotong diskusi dengan mengajukan alasan yang menyimpang
dari masalah pokok. Dalam contoh ketiga, penyanggah tidak bertanya secara ilmi-
ah atau akademik mengapa demikian tetapi malahan mengolok-olok penggagas
atau gagasan untuk menyampingkan masalah pokok. Bila hal semacam ini terjadi
dalam forum ilmiah atau akademik, hal tersebut sebenarnya merefleksi kepicikan
penyanggah yang justru pantas untuk diolok-olok.
Stratagem penyampingan masalah (avoiding the issue) sering digunakan oleh
politikus untuk menghidari pertanyaan yang dapat memalukannya dalam suatu
jumpa pers dengan cara menyalahartikan pertanyaan dan menjawab pertanyaan
yang disalahartikan tersebut. Hal ini sama dengan taktik mahasiswa yang tidak
dapat menjawab pertanyaan dalam ujian tetapi kemudian sengaja menyalaharti-
kan maksud pertanyaan dan menjawab pertanyaan yang disalahartikan tersebut
Penalaran 75
dengan baik. Kemudian dia datang ke dosennya, setelah tahu nilainya jelek, untuk
memprotes dan berargumen bahwa itulah yang dipahami tentang pertanyaan
ujian (meskipun dia tahu benar maksud sebenarnya pertanyaan).
Penyampingan masalah pokok sering disebut dengan taktik red herring dalam
perdebatan politik untuk menutupi atau menghindari kekalahan dalam argumen.
Red herring adalah praktik dalam perburuan untuk menghalangi anjing pelacak
membaui sasaran dengan cara memasang ikan herring melintang pada jalan seta-
pak atau jejak (trail) .
Misrepresent asi
Im bau an Cacah
Stratagem ini biasanya digunakan untuk mendukung suatu posisi dengan menun-
jukkan bahwa banyak orang melakukan apa yang dikandung posisi tersebut.
Sebagai contoh, suatu kelompok memegang posisi untuk membolehkan penaikan
harga (mark-up) kontrak atau tender karena banyak rekanan melakukan hal
tersebut. Dalam promosi produk, pengiklan membuat klaim “Sembilan dari sepu-
luh bintang film menggunakan sabun merek X” untuk membujuk konsumer agar
76 Bab 2
Im ba u a n Autorit as
Stratagem ini mirip dengan imbauan cacah kecuali bahwa banyaknya orang atau
popularitas diganti dengan autoritas. Stratagem ini dapat juga dianggap sebagai
salah satu jenis argumen ad hominem (membidik orangnya). Argumen membidik
orangnya yang dibahas sebelumnya berusaha menjatuhkan daya bujuk argumen
dengan menjatuhkan kredibilitas penggagasnya. Dengan imbauan autoritas, orang
berusaha meningkatkan daya bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bah- wa
posisi tersebut dipegang oleh orang yang mempunyai autoritas dalam masalah
bersangkutan tanpa menunjukkan bagaimana autoritas bernalar. Apakah strata-
gem ini dapat dianggap sebagai kecohan bergantung pada situasi nyata yang mela-
tarbelakangi karena kalau autoritas dan penalarannya memang layak orang akan
terbujuk ke arah yang benar. Akan tetapi, kalau autoritas semata-mata dijadikan
alat untuk membujuk maka kecohanlah yang terjadi. Lebih-lebih dalam hal aka-
demik atau pengembangan ilmu pengetahuan, kalau autoritas akademik diganti
dengan autoritas politis (kekuasaan/jabatan) dalam mengevaluasi suatu gagasan
atau idea, kemungkinan terjadinya kecohan akan semakin besar. Memang selayak-
nyalah bahwa pernyataan orang autoritatif akan lebih mendapat bobot dibanding
orang awam. Akan tetapi, penalaran di balik pernyataan harus tetap menjadi per-
timbangan utama.
Sebagai contoh, seorang akademisi ditanya mengapa dia memakai istilah
beban bukan biaya untuk padan kata expense. Akademisi tersebut dapat menga-
Penalaran 77
jukan stratagem bahwa dia menggunakan istilah beban karena autoritas (Ikatan
Akuntan Indonesia) menggunakan istilah tersebut tanpa mempersoalkan apakah
istilah tersebut layak atau tidak padahal dia tahu bahwa istilah beban tidak valid
(tidak dapat didukung secara argumentatif).25
Agar kita tidak terkecoh atau terperangkap ke stratagem, beberapa prinsip
yang diajukan Nickerson (1986, hlm. 114-115) berikut dapat dijadikan dasar untuk
mengembangkan argumen atau penalaran:
• The fact that an authoritative pers on holds a particular view does not
make that view correct.
• The fact that a highly knowledgeabl e individual holds a certain belief
with respect to his particular area of knowledge should carry some
weight.
• A belief is not necessarily right because it is held by an expert.
Berkaitan dengan stratagem ini adalah imbauan autoritas yang tidak tepat
(appeal to inappropriate authority) . Dengan taktik ini, penalar berusaha untuk
meningkatkan kredibilitas dan daya bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bah-
wa posisi tersebut juga dipegang oleh orang yang diakui sebagai ahli di bidang yang
tidak berpautan dengan masalah yang dibahas. Memang orang yang telah
menyandang julukan ahli atau pakar pada umumnya mempunyai kemampuan
yang baik juga dalam menalar suatu gagasan di luar bidang keahliannya. Akan
tetapi, tidak selayaknyalah dalam berargumen kita berasumsi bahwa orang yang
memenuhi kualifikasi untuk berbicara dengan penuh autoritas dalam suatu
bidang ilmu (karena telah menekuninya cukup lama) juga dengan sendirinya
memenuhi kualifikasi untuk berbicara dengan penuh autoritas dalam bidang ilmu
lain yang tidak berkaitan. Untuk tujuan sensasional, jurnalis media masa atau
televisi sering mengundang pakar atau penguasa untuk berbicara tentang masalah
yang tidak dikuasainya atau yang keahliannya tidak bersangkutan sama sekali
dengan masalah yang diberitakan.
Im bau an Tr adisi
Dalam beberapa hal, orang sering mengerjakan sesuatu dengan cara tertentu
semata-mata karena memang begitulah cara yang telah lama dikerjakan orang.
Dalam dunia ilmiah atau akademik, orang sering memegang suatu keyakinan
dengan mengajukan argumen bahwa memang demikianlah orang-orang mempu-
nyai keyakinan. Namun, kenyataan bahwa sesuatu telah lama dikerjakan dengan
cara tertentu di masa lampau tidak dengan sendirinya menjadi argumen untuk
25
Stratagem yang lebih parah adalah bilamana ada seorang akademisi yang memilih istilah aka-
demik yang menyimpang dengan alasan enak didengar bukan dengan alasan kaidah bahasa. Di sini,
suatu istilah yang sifatnya akademik dinilai atas dasar telinga bukan atas dasar apa yang ada di balik
telinga. Alasan enak didengar saja tidak cukup untuk membentuk istilah. Bila alasan ini digunakan
padahal terdapat alternatif istilah yang lebih baik maka alasan tersebut dapat dikatakan sebagai strat-
agem menyampingkan masalah.
78 Bab 2
meneruskan cara tersebut khususnya kalau terdapat cara lain yang terbukti lebih
valid atau baik (secara rasional dan praktis).
Misalnya seorang dosen berargumen bahwa skripsi mahasiswa harus ditulis
dengan mesin ketik (bukan komputer) karena tradisi penulisan jaman dulu atau,
bila boleh menggunakan komputer, dosen melarang mahasiswa mencetak kata
yang biasanya diberi garis bawah dengan huruf miring karena mempertahankan
tradisi penulisan ilmiah jaman sebelum datangnya komputer. Di sini, dosen terse-
but tidak lagi berkepentingan untuk mengevaluasi argumen bahwa jaman dulu
suatu kata diberi garis bawah karena mesin ketik tidak dapat menghasilkan huruf
miring sementara itu secara tipografis penekanan kata akan lebih baik tampilan-
nya kalau kata dicetak dengan huruf miring (garis bawah merupakan distraksi).
Imbauan terhadap tradisi juga mempunyai justifikasi sehingga tradisi tidak
dapat ditinggalkan begitu saja. Akan tetapi, justifikasi tersebut dapat menjadi
kecohan kalau tia dipaksakan secara membabi buta. Hal yang perlu dicatat dalam
kaitannya dengan argumen ini adalah bahwa maksud baik tradisi tidak merupa-
kan alasan yang kuat untuk mempertahankannya atau untuk menolak memper-
timbangkan bukti baru kalau memang terdapat bukti kuat baru bahwa maksud
tersebut tidak lagi valid. Prinsip ini sering disebut the purpose defeats the law.
Dilema Sem u
Dilema semu (false dilemma) adalah taktik seseorang untuk mengaburkan argu-
men dengan cara menyajikan gagasannya dan satu alternatif lain kemudian
mengkarakterisasi alternatif lain sangat jelek, merugikan, atau mengerikan
sehingga tidak ada cara lain kecuali menerima apa yang diusulkan penggagas.
Misalnya, dalam suatu perdebatan tentang amandemen udang-undang dasar, seo-
rang anggota fraksi mengatakan (untuk meyakinkan anggota dewan yang lain):
“Kita harus menyetujui amandemen ini atau negara kita akan hancur.”
Dasar pikiran argumen di atas adalah bahwa negara kita tidak boleh hancur
dan karenanya simpulannya adalah kita harus menyetujui amandemen. Kecohan
terjadi karena pengargumen mengklaim bahwa hanya ada dua alternatif dan yang
satu jelas tidak diinginkan sehingga hanya alternatif yang diusulkannya yang
harus diterima. Akan tetapi, dia mengecoh seakan-akan hanya ada dua alternatif
padahal kenyataannya ada beberapa alternatif lain yang lebih valid. Sayangnya,
dalam banyak hal, orang tidak cukup kritis untuk menanyakan apakah ada alter-
natif lain yang lebih masuk akal. Struktur dilema semu (sering disebut inapprori-
ate dichotomizing) dapat dinyatakan secara umum sebagai berikut:
Kalau kita tidak memilih alternatif A, maka kita akan mengalami penderitaan atau kerugian
akibat dipilihnya alternatif B.
Konklusi: A.
Im bau an Emosi
pendapat dalam artikel dosen anda. Anda tidak setuju dengan pendapat tersebut
karena memang pendapat itu tidak valid secara akademik tetapi anda mendukung
secara penuh pendapat tersebut karena dosen tersebut akan keras terhadap anda.
Konklusi di sini adalah pendapat dosen tersebut valid meskipun bukti akademik
tidak mendukung.
Dari dua contoh di atas, faktor yang membuat argumen menjadi persuasif
adalah motif bukan validitas argumen. Kedua stratagem tersebut menempatkan
orang menjadi tidak enak kalau tidak menerima (meyakini) konklusi meskipun
keduanya tidak mengajukan bukti pendukung untuk meyakinkan bahwa konklusi
adalah benar (valid). Cederblom dan Paulsen (1986) mendeskripsi karakteristik
kedua stratagem ini sebagai berikut:
When a person gets you to agree to something because he w ill be hurt if you don’t
agree, this is an appeal to pity. If someone gets you to agree because he w ill hurt
you if you don’t agree, this is an appeal to force (hlm. 115).
Suatu argumen boleh jadi tidak meyakinkan atau persuasif karena argumen terse-
but tidak didukung dengan penalaran yang valid. Dengan kata lain, argumen men-
jadi tidak efektif karena tia mengandung kesalahan struktur logika atau karena tia
tidak masuk akal (unreasonable) . Salah nalar terjadi apabila penyimpulan tidak
didasarkan pada kaidah-kaidah penalaran yang valid. Jadi, salah nalar adalah
kesalahan struktur atau proses formal penalaran dalam menurunkan sim- pulan
sehingga simpulan menjadi salah atau tidak valid.
Berbeda dengan stratagem yang lebih merupakan taktik atau pendekatan
yang sengaja digunakan untuk meyakinkan kebenaran suatu asersi, salah nalar
merupakan suatu bentuk kesalahan penyimpulan lantaran penalarannya mengan-
dung cacat sehingga simpulan tidak valid atau tidak dapat diterima. Demikian
juga, salah nalar biasanya bukan kesengajaan (intentional) dan tidak dimaksud-
kan untuk mengecoh atau mengelabuhi (to deceive) . Kalau toh kecohan atau
pengelabuhan terjadi, hal tersebut semata-mata karena penalar tidak menyadari
bahwa proses atau struktur penalarannya keliru sehingga dia sendiri terkecoh.
Jadi, kecohan atau salah nalar terjadi lantaran penalar salah dalam mengaplikasi
kaidah penalaran.
Walaupun salah nalar dapat dipakai sebagai suatu stratagem atau penalaran
yang layak sering didukung dengan stratagem, tidak selayaknyalah kaidah pena-
laran yang sangat baik ditolak semata-mata karena tia sering disalahgunakan.
Penalaran juga bersifat kontekstual. Artinya, penalaran valid yang efektif dalam
konteks yang satu belum tentu efektif dalam konteks yang lain. Demikian juga,
stratagem yang efektif dalam suatu situasi belum tentu efektif dalam situasi yang
lain. Berikut ini dibahas beberapa salah nalar yang banyak dijumpai dalam diskusi
atau karya tulis profesional, akademik, atau ilmiah.
Penalaran 81
Telah disinggung sebelumnya bahwa agar argumen valid maka tia harus mengiku-
ti kaidah menegaskan anteseden (affirming the antecedent atau modus ponens).
Bila simpulan diambil dengan pola premis yang menegaskan konsekuen, akan ter-
jadi salah nalar. Berikut struktur dan contoh argumen yang valid dan salah nalar.
Valid: Takvalid:
Menegaskan anteseden (modus ponens) Menegaskan konsekuen
Konklusi: B. Konklusi: A.
Contoh:
Premis (1): Jika saya di Semarang, Premis (1): Jika saya di Semarang,
maka saya di Jawa Tengah. maka saya di Jawa Tengah.
Premis (2): Saya di Semarang. Premis (2): Saya di Jawa Tengah.
26
Walaupun demikian, makna kedua pernyataan tersebut berbeda. “Jika saya di Semarang, maka
saya di Jawa Tengah” merupakan pernyataan fakta sedangkan “Jika saya di Jawa Tengah, maka saya di
Semarang” merupakan pernyataan empiris atau sekadar janji.
82 Bab 2
Valid: Takvalid:
Menyangkal konsekuen (modus tollens) Menyangkal anteseden
Contoh:
Premis (1): Jika saya di Semarang, Premis (1): Jika saya di Semarang,
maka saya di Jawa Tengah. maka saya di Jawa Tengah.
Premis (2): Saya tidak di Jawa Tengah. Premis (2): Saya tidak di Semarang.
Konklusi di sebelah kanan tidak valid karena premis (2) menyangkal antese-
den (“Jika saya di Semarang”). Konklusi akan valid bila premis (1) diubah menjadi
“Jika saya di Jawa Tengah, maka saya di Semarang” sehingga argumen mengikuti
pola modus tollens . Akan tetapi, makna premis ini tidak lagi sama dengan makna
premis semula. Jadi, salah nalar akibat menegaskan konsekuen atau menyangkal
anteseden dapat terjadi karena makna “jika A, maka B” disamakan atau dikacau-
kan dengan “jika B, maka A.”
Pentaksaa n (Equivocation)
Salah nalar dapat terjadi apabila ungkapan dalam premis yang satu mempunyai
makna yang berbeda dengan makna ungkapan yang sama dalam premis lainnya.
Dapat juga, salah nalar terjadi karena konteks premis yang satu berbeda dengan
konteks premis lainnya. Argumen dalam bahasa Inggris berikut memberi ilustrasi
salah nalar ini (Nickerson, 1986, hlm. 4).
Secara struktural, argumen di atas menjadi salah nalar karena kata nothing
dalam premis major berbeda maknanya dengan kata nothing dalam premis minor.
Dalam premis major, nothing bermakna tidak ada satupun dari himpunan objek
yang memenuhi syarat sehingga kebahagiaan abadi adalah satu-satunya yang ter-
baik.27 Sementara itu, nothing dalam premis minor bermakna tidak tersedianya
anggota lain dalam himpunan yang di dalamnya ham sandwhich merupakan salah
satu anggota sehingga ham sandwhich bukan satu-satunya yang terbaik.28 Jadi,
nothing dalam premis major mensyiratkan kebahagiaan abadi sebagai sesuatu
yang terbaik sedangkan nothing dalam premis minor mensyiratkan ham sand-
which sebagai sesuatu yang terjelek sehingga konklusi tidak masuk akal atau tidak
valid. Salah nalar seperti ini terjadi karena penalar bermaksud menerapkan
kaidah transitivitas (transitivity) tetapi tidak memenuhi syarat. Transitivitas dan
contoh dapat dinyatakan sebagai berikut:
Kaidah: Contoh:
Premis (1): B > C. Premis (1): Baroto lebih rajin daripada Candra.
Premis (2): A > B. Premis (2): Anton lebih rajin daripada Baroto.
Argumen dalam contoh di atas valid apabila unsur B atau Baroto mengacu
pada makna atau objek yang sama sehingga tidak terjadi pentaksaan.
29
Perampatan-lebih (Overgeneralization)
Salah nalar yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah melekat-
kan (mengimputasi) karakteristik sebagian kecil anggota ke seluruh anggota him-
punan, kelas, atau kelompok secara berlebihan. Bila seseorang menyimpulkan
bahwa warga Kampung X adalah pencuri karena dia mendapati bahwa dua pen-
curi yang baru saja ditangkap berasal dari Kampung X maka dia telah melakukan
salah nalar.
Perampatan atau generalisasi itu sendiri bukan merupakan salah nalar.
Kemampuan merampatkan merupakan suatu kemampuan intelektual yang sangat
penting dalam pengembangan ilmu. Masalahnya adalah bila derajat peram- patan
begitu ekstrem (atas dasar sampel atau pengamatan terbatas) sehingga
mengabaikan kemungkinan bahwa apa yang diamati merupakan peluar (outlier)
atau pengecualian (exceptions to the rule). Dalam penelitian empiris, ukuran
27
Dalam bahasa statistika atau matematika, nothing di sini bermakna himpunan kosong (tidak
mempunyai anggota).
28
Ham sandwhich merupakan salah satu anggota himpunan sandwhich yang dapat terdiri atas beef,
cheese, chicken, ham, peanut-butter, dan tuna sandwhich . Dalam hal ini, dapat saja beef atau cheese
sandwhich lebih baik daripada ham sandwhich .
29
Istilah perampatan digunakan oleh Anton M. Moeliono dalam Kembara Bahasa: Kumpulan
Karangan Tersebar (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hlm. 125.
84 Bab 2
sampel yang terlalu kecil dan kurangnya kerepresentatifan sampel dapat meng-
hasilkan konklusi yang keliru.
Salah nalar yang bartalian dengan perampatan lebih adalah apa yang dikenal
dengan istilah penstereotipaan (stereotyping) . Salah nalar ini terjadi bila penalar
mengkategori seseorang sebagai anggota suatu kelompok kemudian melekatkan
semua sifat atau kualitas kelompok kepada orang tersebut. Misalnya, orang
mengetahui bahwa para akuntan publik umumnya adalah kaya (sifat kelompok).
Salah nalar dapat terjadi kalau penalar menyimpulkan bahwa Hariman pasti kaya
karena dia adalah akuntan publik.
Parsialit as ( Partiality)
Penalar kadang-kadang terkecoh karena dia menarik konklusi hanya atas dasar
sebagian dari bukti yang tersedia yang kebetulan mendukung konklusi. Hal ini
mirip dengan perampatan lebih lantaran sampel kecil atau ketakrepresentatifan
bukti. Kadang-kadang kita sengaja memilih dan melekatkan bobot yang tinggi
pada bukti (argumen) yang cenderung mendukung konklusi atau keyakinan yang
kita sukai dengan mengabaikan bukti yang menentang konklusi tersebut. Kesa-
lahan semacam ini tidak harus merupakan suatu stratagem karena penalar tidak
bermaksud mengecoh atau menjatuhkan lawan tetapi karena semata-mata dia
tidak objektif (bias) dalam penggunaan atau pengumpulan bukti.
Dalam penelitian, peneliti sering bias dalam pengumpulan data dengan mem-
buat pertanyaan yang mengarahkan responden (disebut leading questions ). Bila
peneliti berupaya untuk mendukung teori yang disukainya dengan mengarahkan
bukti secara bias, hal tersebut disebut membangun kasus (building the case).
Telah dibahas sebelumnya bahwa analogi bukan merupakan cara untuk membuk-
tikan (to prove) validitas atau kebenaran suatu asersi. Analogi lebih merupakan
suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi mempunyai kebolehjadian
(likelihood) untuk benar. Dengan kata lain, bila premis benar, konklusi atas dasar
analogi belum tentu benar. Jadi, analogi dapat menghasilkan salah nalar.
Menyatakan bahwa dua objek sama atau serupa dalam beberapa aspek (misal-
nya a, b, dan c) lebih dimaksudkan untuk menunjukkan kemiripan kedua objek
tersebut. Namun demikian, mengetahui bahwa dua objek sama dalam aspek a, b,
dan c tidak menjadi bukti bahwa kedua objek tersebut juga sama dalam aspek d.
Bila diketahui bahwa kedua objek tersebut serupa dalam aspek d maka analogi
tidak diperlukan untuk membuktikannya.
Bila tidak diketahui bahwa dua objek sama dalam aspek d, salah nalar dapat
terjadi bila orang mengatakan bahwa karena X analogus dengan Y dalam aspek a,
b, dan c, X juga pasti punya d karena Y punya d. Jadi, Y punya d bukan merupa-
kan bukti bahwa X punya d meskipun X dan Y analogus. Kesalahan semacam ini
dapat dicontohkan sebagai berikut:
Penalaran 85
Premis (1): Real number diterjemahkan atau diserap menjadi bilangan real.
Premis (2): Real asset diterjemahkan atau diserap menjadi aset real.
Premis (3): Round table diterjemahkan atau diserap menjadi meja bundar.
Konklusi atas dasar analogi di atas valid karena konklusi mengikuti kaidah
(struktur) yang melekat pada tiap premis. Bahasa Indonesia mengikuti kaidah DM
(diterangkan-menerangkan) sedangkan bahasa Inggris mengikuti kaidah MD
(menerangkan-diterangkan). Salah nalar terjadi justru kalau real estate diserap
menjadi real estat sebagaimana terlihat dalam Standar Akuntansi Keuangan ,
PSAK No. 44. Salah nalar terjadi karena kaidah penalaran pembentukan istilah
dilanggar yaitu menggunakan kaidah MD untuk istilah bahasa Indonesia.30
30
Penerjemahan atau penyerapan estate menjadi estat sudah sangat tepat mengikuti analogi
penyerapan accurate, senate, candidate, carbonate, atau variate menjadi akurat, senat, kandidat,
karbonat, atau variat sebagaimana ditentukan dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah (PUPI) .
86 Bab 2
Premis (1): Jika seseorang dapat menyajikan suatu argumen yang meyakinkan,
maka konklusinya benar (valid).
Premis (2): Pak Antoni menyajikan argumennya dengan tidak meyakinkan.
Konklusi: Konklusi atau posisinya takb enar. Posisi pasangannya yang benar.
refutation) . Semangat ini dilandasi oleh pikiran bahwa suatu teori ilmiah tidak
harus dapat dibuktikan benar tetapi harus dapat disanggah (dibuktikan salah)
kalau tia memang salah; misalnya dengan pengajuan teori baru yang lebih baik.
Dasar pikiran ini sering disebut dengan prinsip ketersalahan atau keterbuktisa-
lahan (principle of falsifiability) . Bila ilmuwan tidak dapat menunjukkan dengan
meyakinkan bahwa teori barunya lebih valid, maka ilmuwan terpaksa “meneri-
ma” teori yang disanggahnya.32 Prosedur penyimpulan semacam ini bukan meru-
pakan salah nalar tetapi lebih merupakan usaha untuk mencapai ketegaran ilmiah
(scientific rigor) . Hal ini penting agar orang tidak dengan mudah menggan- ti teori
dengan teori yang belum teruji secara meyakinkan. Namun, prosedur ini
mengandung risiko yaitu ilmuwan tidak menolak teori yang disangkalnya padahal
teori tersebut sebenarnya salah. Jadi, ilmuwan “menerima” teori yang salah. Risi-
ko ini disebut kesalahan penyimpulan (error of inference) dan harus dihindari.
Dalam penelitian ilmiah (empiris), konklusi atau teori biasanya dinyatakan
dalam bentuk hipotesis. Konklusi pasangan yang dibahas di atas sering ditempat-
kan sebagai hipotesis nol (null atau default hypothesis ) sedangkan hipotesis (teori
baru) yang diajukan dan akan diuji ditempatkan sebagai hipotesis alternatif (alter-
native hypothesis) . Kalau peneliti tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang
sangat kuat untuk mendukung teorinya (bukti-bukti empiris yang diajukan tidak
mendukung secara statistis hipotesis alternatif), maka peneliti terpaksa menyim-
pulkan (tidak menolak) hipotesis nol. Jadi, bila bukti empiris tidak cukup
meyakinkan untuk menyimpulkan hipotesis alternatif, maka dikatakan bahwa
peneliti gagal menolak hipotesis nol (to fail to reject the nu ll or default hypothesis) .
Dalam hal ini, peneliti menghadapi dua jenis risiko kesalahan penyimpulan yaitu
menyimpulkan hipotesis nol padahal sebenarnya tia salah atau menyimpulkan
hipotesis alternatif padahal sebenarnya tia salah.
Dalam bahasa statistika, kesalahan menyimpulkan hipotesis alternatif (atau
menolak hipotesis nol) padahal kenyataannya hipotesis alternatif adalah salah
disebut dengan kesalahan Tipa I atau . Sebaliknya, kesalahan menyimpulkan
hipotesis nol (tidak menolak hipotesis nol) padahal kenyataannya hipotesis nol
adalah salah disebut dengan kesalahan Tipa II atau.
Prosedur refutasi ilmiah juga diterapkan dalam sistem pengadilan dengan
dianutnya asas praduga takbersalah (presumption of innocence). Pengadilan harus
memutuskan (menyimpulkan) bahwa seorang terdakwa bersalah (guilty) atau tak-
bersalah (innocent atau not guilty ). Penyimpulan ini sejalan dengan pengujian
hipotesis yang dibahas di atas. Dengan asas praduga takbersalah, terdakwa harus
dianggap takbersalah sampai terbukti memang bersalah (until proven guilty)
sehingga posisi takbersalah ditempatkan sebagai hipotesis nol dan posisi bersalah
sebagai hipotesis alternatif. Tugas jaksalah atau penuntutlah untuk menunjukkan
bukti-bukti yang meyakinkan bahwa terdakwa bersalah. Dengan kata lain, beban
32
Bahwa ilmuwan menerima teori yang disangkal tidak berarti bahwa teori tersebut benar. Makna
menerima di sini harus diinterpretasi bahwa ilmuwan tidak dapat menolak teori tersebut karena tidak
dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan untuk menyanggahnya. Jadi, masih ada kemungkinan
teori yang disanggahnya tersebut salah. Itulah sebabnya buku-buku statistika menganjurkan meng-
gunakan ungkapan “tidak menolak H0” untuk menyimpulkan H0 bukan “menerima H0.”
88 Bab 2
pembuktian (burden of proof) ada di tangan penuntut. Bila penuntut tidak dapat
mengajukan bukti-bukti yang sangat meyakinkan, maka hakim atau juri harus
memutuskan bahwa terdakwa takbersalah dengan risiko kesalahan bahwa terdak-
wa sebenarnya memang bersalah (benar-benar melakukan kejahatan yang ditu-
duhkan). Kesalahan ini dapat dipadankan dengan kesalahan Tipa II. Dapat juga
terjadi risiko kesalahan bahwa terdakwa yang memang tidak bersalah dinyatakan
salah. Risiko ini merupakan kesalahan Tipa I. Hal yang perlu diingat adalah
bahwa, dengan bukti yang sama, mengecilkan risiko yang satu akan berakibat
memperbesar risiko yang lain. Masalah bagi pengadilan atau negara adalah mana-
kah risiko yang akan ditekan sekecil-kecilnya. Asas praduga takbersalah pada
umumnya diterapkan dengan harapan bahwa risiko kesalahan Tipa I adalah
sekecil-kecilnya atau bahkan mendekati nol.33
Penjelasan Sederh a n a
Untuk melindungi hak sipil warga negara, pengadilan di Amerika menetapkan bahwa risiko
33
yang sekecil-kecilnya dinyatakan dalam ungkapan beyond reasonable doubt . Artinya, juri sangat dian-
jurkan untuk tidak membuat keputusan (verdict) bahwa terdakwa bersalah kalau terdapat keraguan
sedikit pun akan bukti-bukti yang diajukan penuntut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terja-
dinya orang yang tidak bersalah masuk penjara. Namun akibatnya, akan sering terjadi bahwa orang
yang bersalah dibebaskan (dinyatakan tak bersalah) dan berkeliaran di masyarakat.
Penalaran 89
ditawarkan sehingga dia tidak lagi berupaya untuk mengevaluasi secara saksama
kelayakan penjelasan dan membadingkannya dengan penjelasan alternatif.
Dengan kata lain, orang menjadi tidak kritis dalam menerima penjelasan. Akibat-
nya, argumen dan pencarian kebenaran akan terhenti sehingga pengembangan
ilmu pengetahuan akan terhambat.
34
Pakar atau akademisi dapat dianggap mempunyai kemampuan penalaran yang baik karena
pengetahuan ilmiah atau akademiknya umumnya harus dipahami dengan proses penalaran yang baik
dan objektif.
90 Bab 2
Sindroma ini menggambarkan seseorang yang merasa (bahkan yakin) bahwa ter-
dapat ketidakberesan dalam tubuhnya dan dia juga tahu benar apa yang terjadi
karena pengetahuannya tentang suatu penyakit. Akan tetapi, dia tidak berani
untuk memeriksakan diri dan menjalani tes klinis karena takut bahwa dugaan
tentang penyakitnya tersebut benar. Akhirnya orang ini tidak memeriksakan diri
ke dokter dan mengatakan pada orang lain bahwa dirinya sehat. Jadi, orang ini
takut mengetahui kebenaran gagasan sehingga menghindarinya secara semu.
Dalam dunia akademik, sindroma semacam ini dapat terjadi kalau seseorang
mempunyai pandangan yang menurut dirinya sebenarnya keliru atau tidak valid
lagi karena adanya pandangan atau gagasan baru. Gagasan baru dia peroleh kare-
na dia sering mendengar dari kolega atau mahasiswa. Orang lain memperoleh
gagasan baru tersebut dari artikel atau hasil penelitian ilmiah. Dalam kondisi
35
Jack Hirshleifer, Price Theory and Applications (Englewoods Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1988), hlm.
4. Penebalan oleh penulis. Konon pada suatu petang, para lawan (para kolega senior) Galileo datang ke
apartemen Galileo untuk mengejek dan mengancam Galileo agar tidak menyebarkan dan mengajarkan
teorinya. Pada saat para senior akan meninggalkan apartemen Galileo, mereka bertanya tentang sikap
Galileo. Galileo mengatakan bahwa dia tidak dapat mengatakan lain daripada apa yang telah dipikir
dan ditulisnya dan kemudian meminta kepada para seniornya untuk membuktikan sendiri apa yang
diteorikannya dengan melihat teleskop di apartemennya. Ternyata tidak seorang kolega seniorpun
bersedia melakukan hal itu.
Penalaran 91
seperti ini, akademisi sering tidak berani untuk membaca sumber gagasan karena
takut jangan-jangan pendapatnya yang telah telanjur disebarkan kepada maha-
siswa benar-benar keliru. Dapat juga, akademisi tersebut memang berani mem-
baca dan benar-benar dapat menerima argumen tetapi di muka umum (kelas) dia
bersikap seolah-olah tidak pernah tahu gagasan baru tersebut (bersikap tak pedu-
li) apalagi membahasnya di kelas dengan cukup dalam. Manifestasi lain dari sin-
droma ini adalah akademisi (dosen) mengisolasi gagasan baru agar mahasiswa
tidak pernah tahu semata-mata untuk menutupi kelemahan suatu gagasan lama
yang dianutnya.
Bila sindroma semacam ini banyak diindap oleh akademisi, dapat dipastikan
kemajuan pengetahuan dan profesi akan terhambat dan rugilah dunia pendidikan.
mengakuinya. Agar argumen berjalan dengan baik, para penalar paling tidak
harus mempunyai pengetahuan yang cukup dalam topik yang dibahas. Kurangnya
pengetahuan (topical knowledge) dapat menjebak orang untuk lari ke stratagem
daripada argumen yang layak.
Sikap merasionalkan dalam diskusi dapat menimbulkan pertengkaran mulut,
perselisihan pendapat (dispute) , atau debat kusir. Dalam situasi ini, pihak yang
terlibat dalam diskusi biasanya tidak lagi mengajukan argumen yang sehat untuk
mendukung posisi tetapi mengajukan argumen kusir (pedestrian argument) untuk
menyalahkan pihak lain dan memenangi perselisihan. Jadi, tujuan diskusi bukan
lagi mencari solusi tetapi mencari kemenangan (kadang-kadang menangnya sendi-
ri). Memenangi debat (selisih pendapat) dan meyakinkan suatu gagasan adalah
dua hal yang sangat berbeda. Untuk memenangi selisih pendapat, faktor emosio-
nal lebih banyak berperan daripada faktor rasional atau penalaran. Pakarpun
kadang-kadang lebih suka berdebat daripada berargumen. Hal ini dikemukakan
Nickerson (1986, hlm. 97) sebagai berikut:36
Disputes often arise when each of the two people builds a case favoring the oppo-
site conclusion and tries to convince the other person that he or she is wrong.
Disputes can be very frustrating. Even highly intelligent people someti mes act
chil d ishly w hen engaged in them .
... “winning” a dispute and persuading someone to believe something are not
necessarily the same things. Indeed, winning a dispute may be the least like-
ly way of winning an opponent over your point of view. Disputes are rarely resolved
by reason, because the disputing parties typically are not seeking resolu- tion;
rather each is seeking to win.
Persistensi
Karena kepentingan tertentu harus dipertahankan atau karena telah lama mele-
kat dalam rerangka pikir, seseorang kadang-kadang sulit melepaskan suatu keya-
kinan dan menggantinya dengan yang baru. Dengan kata lain, orang sering
berteguh atau persisten terhadap keyakinannya meskipun terdapat argumen yang
kuat bahwa keyakinan tersebut sebenarnya salah sehingga dia seharusnya
melepaskan keyakinan tersebut.
Sampai tingkat tertentu persistensi merupakan sikap yang penting agar orang
tidak dengan mudahnya pindah dari keyakinan atau paradigma yang satu ke yang
lain. Paradigma adalah satu atau beberapa capaian ilmu pengetahuan pada masa
lalu (past scientific achievements) yang diakui oleh masyarakat ilmiah pada masa
tertentu sebagai basis atau tradisi untuk mengembangkan ilmu penge- tahuan dan
praktik selanjutnya. Capaian (achievements) dalam ilmu pengetahuan (sciences)
dapat berupa filosofi, postulat, konsep, teori, prosedur ilmiah, atau pendekatan
ilmiah. Untuk menjadi paradigma, suatu capaian harus mempunyai penganut
yang cukup teguh dan capaian tersebut bersaing dengan capaian atau kegiatan
ilmiah lain yang juga mempunyai sekelompok penganut. Paradigma
harus terbuka untuk diperbaiki atau diganti oleh capaian pesaing atau baru
sehingga dimungkinkan terjadi pergeseran atau pergantian paradigma dari masa
ke masa (conversion of paradigm) . Konversi dapat terjadi pada diri ilmuwan secara
individual pada masa hidupnya atau pada generasi ilmuwan ke generasi ilmuwan
berikutnya. Riwayat terjadinya konversi paradigma antargenerasi disebut oleh
Thomas Kuhn sebagai revolusi ilmiah (scientific revolution) .37
Dalam dunia ilmiah, persistensi untuk tidak melepaskan suatu keyakinan
dapat dimaklumi kalau tujuannya adalah untuk memperoleh argumen atau bukti
yang kuat untuk menunjukkan bahwa keyakinan yang dianut memang salah.
Tidak selayaknyalah suatu keyakinan atau paradigma dipertahankan kalau
memang terdapat bukti yang sangat meyakinkan bahwa tia salah. Namun, manu-
sia tidak selalu dapat bersikap objektif dan tidak memihak (impartial) . Karena
kepentingan tertentu yang perlu dipertahankan, ilmuwan atau pakar pun sering
bersikap demikian sehingga konversi keyakinan sulit terjadi. Thomas Kuhn (1970)
menunjukkan contoh sebagai berikut:
Priestley never accepted the oxygen theory, nor Lord Kelvin the electromagnetic
theory, and so on. The diffic ulties of conversion have often been noted by scien- tists
themselves. Darwin, in a particulary perceptive passage at the end of his Origin of
Species, wrote: “Although I am fully convinced of the truth of the views given in this
volume..., I by no means expect to convince experienced naturalists whose mind are
stocked with a multitud e of facts all viewed, during a long course of years, from a
point of view directly opposite to mine. ... [B]ut I look with confidence to the future,
—to young and ri sing naturalists, who will be able to view both sides of the question
with impartiality.” And Max Planck, ..., sadly remarked that “a new scientific truth
does not triumph by convincing its oppo- nents and making them see the light, but
rather because its opponents eventually die, and a new generation grows up that is
familiar with it” (hlm. 151).
Memang menyedihkan apa yang dikatakan Planck bahwa gagasan baru yang
benar (a new scientific truth) mengungguli atau menang atas gagasan yang keliru
bukan lantaran pemegang gagasan lama sadar dan melihat sinar kebenaran
melainkan lantaran generasi baru telah menggantinya. Mengapa hal ini terjadi?
Kuhn menjelaskan hal ini dengan menyatakan (penebalan oleh penulis):
... scientists, being only hu man , cannot always admit their errors, even when
confronted with strict proof. I would argue, rather, that in these matters neither proof
nor error is at issue. The transfer of allegience from paradigm to paradigm is a
conversion experience th a t ca nnot be forced (hlm. 151).
Sebagai manusia, ilmuwan atau pakar tidak selalu dapat mengakui kesalah-
annya meskipun dihadapkan pada bukti yang sangat telak (strict proof) . Lagi pula,
37
Lihat pembahasan selanjutnya dalam Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: The University of Chicago Press, 1970). Thomas Kuhn menyebut tradisi kegiatan ilmuwan
yang mendasarkan diri pada capaian-capaian ilmiah pada masanya disebut ilmu normal (normal sci-
ences). Ilmu ini biasanya terefleksi dalam buku-buku teks pada masa dianutnya paradigma.
94 Bab 2
konversi paradigma (atau keyakinan) bukanlah hal yang dapat dipaksakan sehing-
ga resistensi adalah takterhindarkan dan sah-sah saja (legitimate) .
Berkaitan dengan persistensi adalah gejala psikologis atau perilaku manusia
untuk terpaku pada makna suatu simbol atau objek dan kemudian menjadikan
orang tidak mampu melihat makna alternatif atau objek alternatif. Orang secara
intuitif melekatkan makna pada suatu objek melalui pengalamannya dan sering
tidak menyadari bahwa makna tersebut bersifat kontekstual di masa lalu dan
tidak lagi relevan dengan situasi yang baru. Perilaku semacam ini dikenal dengan
istilah keterpakuan atau fiksasi fungsional (functional fixation) . Dalam akuntansi,
keterpakuan ini digunakan untuk menjelaskan mengapa investor tidak mampu
untuk mengubah keputusannya sebagai tanggapan atas perubahan proses akun-
tansi dalam menyediakan data laba. Orang hanya melihat angka laba (bottom line)
dalam statemen laba-rugi tanpa memperhatikan bagaimana laba tersebut ditentu-
kan atau terpengaruh oleh perubahan metoda (proses) akuntansi. Keterpakuan
fungsional juga merupakan penghambat terjadinya argumen yang sehat.38 Orang
yang sudah terpaku dengan istilah “harga pokok penjualan” akan sangat sulit
untuk dapat menerima istilah “kos barang terjual” yang sebenarnya lebih tepat
menggambarkan makna istilah aslinya yaitu cost of goods sold .
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek manusia sangat berperan
dalam argumen yang bertujuan mencari kebenaran. Rasionalitas merupakan
unsur penting dalam argumen. Walaupun demikian, faktor-faktor psikologis dan
emosional, kekuasaan, dan kepentingan pribadi atau kelompok juga berperan dan
dapat menghalangi terjadinya argumen yang sehat.
Rangkuman
Praktik yang sehat harus dilandasi oleh teori yang sehat pula. Teori yang sehat
harus dilandasi oleh penalaran yang sehat karena teori akuntansi menuntut
kemampuan penalaran yang memadai. Penalaran merupakan proses berpikir logis
dan sistematis untuk membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan akan asersi.
Unsur-unsur penalaran adalah asersi, keyakinan, dan argumen. Interaksi antara
ketiganya merupakan bukti rasional untuk mengevaluasi kebenaran suatu
pernyataan teori. Asersi merupakan pernyataan bahwa sesuatu adalah benar atau
penegasan tentang suatu realitas. Keyakinan merupakan kebersediaan untuk
menerima kebenaran suatu pernyataan. Argumen adalah proses penurunan sim-
pulan atau konklusi atas dasar beberapa asersi yang berkaitan secara logis.
Asersi dapat dinyatakan secara verbal atau struktural. Asumsi, hipotesis, dan
pernyataan fakta merupakan jenis tingkatan asersi. Jenis tingkatan konklusi tidak
dapat melebihi jenis tingkatan asersi yang terendah.
Keyakinan merupakan hal yang dituju oleh penalaran. Keyakinan mengan-
dung beberapa sifat penting yaitu: keadabenaran, bukan pendapat, bertingkat,
mengandung bias, memuat nilai, berkekuatan, veridikal, dan tertempa.
Diskusi
1. Jelaskan pengertian penalaran serta sebutkan unsur-unsur penalaran.
2. Berilah beberapa contoh asersi.
3. Jelaskan pengertian argumen dan apa bedanya dengan perselisihan pendapat (dispute).
4. Apa yang dimaksud bahwa penalaran merupakan suatu bentuk bukti? Berilah suatu
contoh situasi yang menunjukkan bahwa penalaran merupakan suatu bukti.
5. Apakah suatu pernyataan atau asersi selalu benar apabila didukung oleh argumen yang
kuat? Berilah suatu contoh.
6. Dapatkah seseorang memegang keyakinan yang kuat terhadap suatu asersi yang salah
atau sebaliknya menyangkal suatu asersi yang benar? Berilah contoh.
7. Interpretasilah berbagai makna asersi yang berbunyi “Manajer perusahaan swasta
lebih profesional daripada manajer perusahaan negara (BUMN).”
8. Berilah beberapa contoh cara menyatakan asersi dalam strukturnya bukan maknanya.
9. Bedakan antara asersi universal dan asersi spesifik serta berilah beberapa contoh
untuk masing-masing sifat asersi.
10. Berilah contoh-contoh asersi yang menunjukkan hubungan inklusi, eksklusi, dan
saling-isi dan gambarkan dengan diagram asersi-asersi tersebut.
11. Gambarkan dengan diagram asersi “Beberapa burung adalah karnivor.”
12. Bedakan makna nir dan non sebagai proleksem serta berilah beberapa contoh peng-
gunaan kedua proleksem tersebut secara benar dalam istilah akuntansi.
13. Dapatkah rumah sakit dikatakan sebagai organisasi nirlaba?
14. Jelaskan apakah makna asersi-asersi berikut sama atau berbeda antara satu dan lain-
nya. Bila perlu gambarkan secara diagramatik asersi tersebut.
15. Berilah suatu contoh situasi untuk menunjukkkan bahwa pernyataan “Beberapa A
adalah B” berbeda dengan “Tidak semua A adalah B.”
16. Sebut dan jelaskan jenis tingkatan asersi dan berilah contoh untuk masing-masing.
17. Jelaskan pengertian keyakinan (belief) terhadap suatu asersi.
18. Sebut dan jelaskan sifat-sifat keyakinan. Mengapa mengubah suatu keyakinan melalui
argumen merupakan suatu proses yang tidak mudah dan kompleks?
19. Apakah perbedaan karakteristik antara keyakinan dan opini?
20. Jelaskan apakah pernyataan berikut merupakan keyakinan atau pendapat:
37. Sebut dan jelaskan serta berilah contoh berbagai jenis salah nalar (sedapat-dapatnya
dalam bidang akuntansi).
38. Evaluasilah penyimpulan deduktif berikut ini:
39. Aspek-aspek apa saja yang harus anda perhatikan agar anda tidak terjebak dalam
stratagem?
40. Bagaimana pendapat anda tentang prisip penilaian plausibilitas asersi yang berbunyi:
“Serahkan saja pada ahlinya.” Apa kelemahan prinsip ini?
41. Seseorang yang cukup terpandang di bidang profesi dan penyusunan standar akuntansi
membuat pernyataan dalam suatu seminar nasional di bawah ini. Evaluasilah apakah
pernyataan tersebut merupakan stratagem atau salah nalar?
“Kita tidak perlu macam-macam tentang istilah beban. Istilah beban untuk expense adalah
benar karena nyatanya semua kantor akuntan publik menggunakan istilah tersebut.”
“Karena saya berada di Amerika, daging ayam yang disembelih tanpa mengikuti rukun
agama adalah halal.”
“Dia pasti kaya karena dia seorang pejabat.”
“Dia pasti rajin belajar Akuntansi Pengantar karena dia mendapat nilai A untuk mata kuliah
tersebut.”
“Dalam pembentukan istilah tidak perlu kita memperhatikan kaidah bahasa karena dalam
komunikasi yang penting adalah orang tahu maksudnya.”
“Sekarang ini adalah jaman globalisasi. Oleh karena itu, kita harus mampu berbahasa Ing-
gris. Tanpa kemampuan berbahasa Inggri s kita tidak akan mampu mengglobal.”
“Walaupun dia telah terbukti sebagai koruptor, dia tetap dapat menjadi presiden karena
tidak ada seorangpun yang sempurna.”
43. Jelaskan pengertian beberapa konsep berikut ini dan bila perlu berilah contoh situasi
nyata untuk lebih menjelaskan konsep tersebut.
44. Sebut dan jelaskan berbagai aspek manusia yang dapat menjadi penghalang terjadinya
argumen yang sehat.
Penalaran 99
Teori Akuntansi
Perekayasaan Pelaporan Keuangan
Suwardjono
Fakultas Ekonomika dan Busines
Universitas Gadjah Mada
Penerbit:
BPFE
Yogyakarta
2005
Daftar Isi
Kontak: suwardjono@ugm.ac.id
Penalaran 101
Penalaran
dan
Sikap Ilmiah
Suwardjono
Fakultas Ekonomika dan Busines
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta