Anda di halaman 1dari 36

1.

Pengertian
Sebagai titik tolak pembahasan, diajukan pengertian penalaran oleh Nickerson (1986)
sebagai berikut:
Reasoning encompasses many of the processes we use to form and evaluate beliefs, beliefs
about the world, about people, about the truth or falsity of claims we encounter or make. It
involves the production and evaluation of arguments, the making of inferences and the
drawing of conclusions. Istilah kebenaran dalam pembahasan di sini tidak dimaksudkan
dalam pengertian kebenaran mutlak (absolute truth) tetapi lebih dalam pengertian kebenaran
ilmiah yang dibatasi oleh kemampuan penalaran manusia. Kebenaran mutlak adalah milik
Tuhan. Oleh karena itu, walaupun digunakan istilah kebenaran, kebenaran di sini harus lebih
diartikan sebagai validitas.

Dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berpikir logis dan sistematis untuk
membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan (belief) terhadap suatu pernyataan atau asersi
(assertion). Pernyataan dapat berupa teori (penjelasan) tentang suatu fenomena atau realitas
alam, ekonomik, politik, atau sosial. Pena-laran perlu diajukan dan dijabarkan untuk
membentuk, mempertahankan, atau mengubah keyakinan bahwa sesuatu (misalnya teori,
pernyataan, atau penjelas-an) adalah benar. Penalaran melibatkan inferensi (inference) yaitu
proses penu-runan konsekuensi logis dan melibatkan pula proses penarikan
simpulan/konklusi (conclusion) dari serangkaian pernyataan atau asersi. Proses penurunan
simpulan sebagai suatu konsekuensi logis dapat bersifat deduktif maupun induktif. Penalar-an
mempunyai peran penting dalam pengembangan, penciptaan, pengevaluasian, dan pengujian
suatu teori atau hipotesis.

Teori (pernyataan-pernyataan teoretis) merupakan sarana untuk menyatakan suatu


keyakinan sedangkan penalaran merupakan proses untuk mendukung keyakinan tersebut.
Oleh karena itu, keyakinan (terhadap suatu teori atau per-nyataan) berkisar antara lemah
sampai kuat sekali atau memaksa (compelling) bergantung pada kualitas atau keefektifan
penalaran dalam menimbulkan daya bujuk atau dukung yang dihasilkan.

A. Unsur dan Struktur Penalaran

Struktur dan proses penalaran dibangun atas dasar tiga konsep penting yaitu: asersi
(assertion), keyakinan (belief), dan argumen (argument). Struktur penalaran menggambarkan
hubungan ketiga konsep tersebut dalam menghasilkan daya dukung atau bukti rasional
terhadap keyakinan tentang suatu pernyataan.

Asersi adalah suatu pernyataan (biasanya positif) yang menegaskan bahwa sesuatu
(misalnya teori) adalah benar. Bila seseorang mempunyai kepercayaan (confidence) bahwa
statemen keuangan itu bermanfaat bagi investor adalah benar, maka pernyataan “statemen
keuangan itu bermanfaat bagi investor” merupakan keyakinannya. Asersi mempunyai fungsi
ganda dalam penalaran yaitu sebagai ele-men pembentuk (ingredient) argumen dan sebagai
keyakinan yang dihasilkan oleh penalran (berupa simpulan). Artinya, keyakinan yang
dihasilkan dinyatakan dalam bentuk asersi pula. Dengan demikian, asersi merupakan unsur
penting dalam penalaran karena asersi menjadi komponen argumen (sebagai masukan
penalaran) dan merupakan cara untuk merepresentasi atau mengungkapkan keyakinan
(sebagai keluaran penalaran).
Keyakinan adalah tingkat kebersediaan (willingness) untuk menerima bahwa suatu
pernyataan atau teori (penjelasan) mengenai suatu fenomena atau gejala (alam atau sosial)
adalah benar. Orang mendapatkan keyakinan akan suatu per-nyataan karena dia melekatkan
kepercayaan terhadap pernyataan tersebut. Orang dapat dikatakan mempunyai keyakinan
yang kuat kalau dia bersedia bertindak (berpikir, berperilaku, berpendapat, atau berasumsi)
seakan-akan keyakinan tersebut benar. Keyakinan merupakan unsur penting penalaran karena
keyakinan menjadi objek atau sasaran penalaran dan karena keyakinan menentu-kan posisi
(paham) dan sikap seseorang terhadap suatu masalah yang menjadi topik bahasan.

Argumen adalah serangkaian asersi beserta keterkaitan (artikulasi) dan inferensi atau
penyimpulan yang digunakan untuk mendukung suatu keyakinan. Bila dihubungkan dengan
argumen, keyakinan adalah tingkat kepercayaan yang dilekatkan pada suatu pernyataan
konklusi atas dasar pemahaman dan penilaian suatu argumen sebagai bukti yang masuk akal.
Oleh karena itu, argumen menjadi unsur penting dalam penalaran karena digunakan untuk
membentuk, meme-lihara, atau mengubah suatu keyakinan. Gambar 2.1 menunjukkan secara
diagra-matik proses penalaran secara umum.

Gambar 2.1
Proses atau Struktur Penalaran
Masukan Proses Keluaran

Asersi sebagai Keyakinan


elemen Argumen bahwa asersi
argumen konklusi benar

Asersi Asersi

inferensi inferensi Asersi


Asersi konklusi
Asersi Asersi
Asersi inferensi

Gambar di atas menunjukkan bahwa argumen dalam proses penalaran


meru-pakan salah satu bentuk bukti yang oleh Mautz dan Sharaf (1964)
disebut sebagai argumentasi rasional (rational argumentation). Dua jenis
bukti yang lain adalah bukti natural (natural evidence) dan bukti ciptaan
(created evidence). Bukti dalam bentuk argumen rasional akan banyak
diperlukan dalam teori akuntansi yang membahas masalah konseptual
khususnya bila akuntansi dipandang sebagai teknologi dan teori akuntansi
diartikan sebagai penalaran logis. Bukti adalah

Sesuatu yang memberi dasar rasional dalam pertimbangan (judgment)


untuk menetapkan kebenaran suatu pernyataan (to establish the truth). Dalam
hal teori akuntansi, pertimbangan diperlukan untuk menetapkan relevansi
atau keefek-tifan suatu perlakuan akuntansi untuk mencapai tujuan akuntansi.
Gambar 2.2 di bawah ini menunjukkan peran argumen sebagai bukti.
Gambar 2.2
Arti Penting Argumen Sebagai Bukti

Keyakinan bahwa
Argumen
pernyataan benar
sebagai bukti
membentuk, sebagai bukti
memelihara,
Semua A adalah C mengubah
B bukan A B bukan C
B bukan C

Perlu dicatat bahwa keyakinan yang diperoleh seseorang karena kekuatan atau kelemahan
argumentasi adalah terpisah dengan masalah apakah pernyataan yang diyakini itu sendiri
benar (true) atau takbenar (false). Dapat saja seseorang memegang keyakinan yang kuat
terhadap sesuatu yang salah atau sebaliknya menolak suatu pernyataan yang benar (valid).
Berikut ini dibahas lebih lanjut konsep atau komponen penalaran.

2. Asersi
Asersi (pernyataan) memuat penegasan tentang sesuatu atau realitas. Pada umumnya
asersi dinyatakan dalam bentuk kalimat. Berikut ini adalah contoh beberapa asersi (beberapa
adalah asersi dalam akuntansi):

1. Manusia adalah makhluk sosial.


2. Semua binatang menyusui mempunyai paru-paru.
3. Beberapa obat batuk menyebabkan kantuk.
4. Tidak ada ikan hias yang melahirkan.
5. Partisipasi mempengaruhi kinerja.
6. Statemen aliran kas bermanfaat bagi investor dan kreditor.
7. Perusahaan besar akan memilih metoda MPKP.
8. Informasi sumber daya manusia harus dicantumkan di neraca.
9. Dalam sektor publik, anggaran merupakan alat pengendalian dan pengawasan yang
paling andal.

Beberapa asersi mengandung pengkuantifikasi yaitu semua (all), tidak ada (no), dan
beberapa (some). Asersi yang memuat pengkuantifikasi semua dan tidak ada merupakan
asersi universal sedangkan yang memuat penguantifikasi bebera-pa merupakan asersi
spesifik. Asersi spesifik dapat disusun dengan pengkuanti fikasi sedikit, banyak, sebagian
besar, atau bilangan tertentu. Pengkuantifikasi diperlukan untuk menentukan ketermasukan
(inclusiveness) atau keuniversalan asersi. “Burung dapat terbang” tidak dapat diinterpretasi
sebagai asersi universal karena kita tahu kecualian terhadap asersi tersebut yaitu misalnya
burung unta (yang tidak dapat terbang). Tanpa pengkuantifikasi ketermasukan akan sangat
sulit ditentukan. Misalnya seseorang mengajukan asersi “Pria lebih berat badannya daripada
wanita.” Asersi tersebut meragukan (ambigus) karena sulit untuk diinterpretasi apa maksud
sesungguhnya asersi tersebut. Asersi tersebut dapat berarti:

 Semua pria lebih berat badannya daripada semua wanita?


 Beberapa pria lebih berat badannya daripada semua wanita?
 Beberapa pria lebih berat badannya daripada beberapa wanita?
 Sebagian besar pria lebih berat badannya daripada sebagian besar wanita?
 Berat badan rata-rata pria lebih besar daripada berat rata-rata wanita?

Asersi-asersi yang dicontohkan di atas lebih menyatakan makna atau arti (meaning)
daripada struktur atau bentuk (form). Menyajikan asersi berdasar arti sering menimbulkan
salah interpretasi karena keterbatasan bahasa atau karena kesalahan bahasa. Bila digunakan
sebagai unsur argumen, penyajian makna dapat mengacaukan evaluasi argumen. Dalam
mengevaluasi argumen harus dipisahkan antara validitas penalaran dan kesetujuan terhadap
(kebersediaan menerima) kebenaran isi asersi. Oleh karena itu, asersi sering disajikan dalam
struktur atau diagram tanpa menunjukkan arti. Penyajian struktur umum asersi adalah:

 Semua A adalah B.
 Tidak ada satupun A adalah B.
 Beberapa A adalah B.

Dengan cara di atas, orang akan lebih memperhatikan validitas asersi daripa-da isi asersi
karena simbol A atau B dapat diganti dengan apapun sesuai dengan topik yang dibahas.
Misalnya A dapat berisi “badan usaha milik negara (BUMN)” dan B berisi “perusahaan
pencari laba (PPL).” Dalam contoh ini, badan usaha disamakan dengan perusahaan. Dengan
cara ini, asersi lebih dinilai atas dasar strukturnya daripada atas dasar penerimaan atau
kesetujuan terhadap isi asersi yang diajukan. Dengan demikian, dapat terjadi bahwa suatu
asersi valid (benar secara struktural) tetapi tidak mempunyai kandungan empiris. Pernyataan
“Semua A adalah B” adalah valid secara struktural tetapi tidak berkaitan dengan dunia nyata
atau pengamatan empiris.

Struktur asersi dapat disajikan pula dalam bentuk diagram untuk memper-oleh kejelasan
mengenai hubungan antara kelas (himpunan) objek yang satu dengan lainnya. Gambar 2.3 di
halaman berikut merepresentasi asersi berstruk-tur “semua A adalah B” yang berisi “Semua
badan usaha milik negara adalah perusahaan pencari laba” dalam bentuk diagram.
Gambar 2.3
Penyajian Asersi Dengan Diagram

Perusahaan
Perusahaan pencari laba
pencari laba

BUMN BUMN

Himpunan semua perusahaan Himpunan semua perusahaan Asersi:


milik negara pencari laba Semua BUMN adalah PPL

Dalam representasi di atas, semua kelas objek di luar lingkaran BUMN


merepresentasi himpunan perusahaan non-BUMN. Demikian juga, semua kelas objek di luar
lingkaran PPL merepresentasi himpunan non-PPL. Dalam hal ini, himpunan yang
merepresentasi PPL juga termasuk himpunan yang merepresen-tasi BUMN. Gambar 2.4 di
bawah ini menunjukkan dalam bentuk diagram cara untuk merepresentasi himpunan non-
BUMN pencari laba (gambar kiri) dan non-perusahaan pencari laba (gambar kanan).

Gambar 2.4

Non-BUMN
Non-BUMN
pencari laba
pencari laba

BUMN
BUMN

Non-pencari laba

Non-pencari laba
Non-BUMN direpresentasi dalam Gambar 2.4 kiri dengan area abu-abu. Non-
perusahaan pencari laba di Gambar 2.4 kanan (area yang diarsir) meliputi segala macam unit
organisasi yang tidak terbatas pada unit organisasi yang disebut peru-sahaan atau pencari
laba. Jadi, area non-PPL sebenarnya merepresentasi universa (universe) himpunan yang tak
terbatas sehingga areanya tidak dapat dibatasi menjadi empat persegi panjang seperti di atas.
Penggambaran seperti itu semata-mata merupakan konvensi untuk merepresentasi suatu
universa.

Universa non-BUMN dapat direpresentasi seperti pada Gambar 2.4 kanan dengan
mengarsir pula area pencari laba non-BUMN. Pada contoh di atas, BUMN termasuk dalam
himpunan perusahaan pencari laba. Hubungan semacam ini merupakan hubungan inklusi
(inclusion) dengan struktur “Semua A adalah B.” Hubungan dapat pula bersifat peniadaan
atau eksklusi (exclusion) atau bersifat tumpang-tindih atau saling-isi (overlap) seperti dalam
struktur berikut:

 Tidak ada satupun A adalah B (eksklusi).


 Beberapa A adalah B (saling-isi).

Hubungan di atas digunakan untuk merepresentasi kenyataan bahwa tidak satu pun
BUMN adalah perusahan non-pencari laba (NPL) atau kenyataan bahwa beberapa BUMN
adalah perusahaan pencari laba (PL). Hubungan ini dilukiskan dengan diagram di bawah ini:
Gambar 2.5

BUMN NPL BUMN PL

Representasi asersi dengan diagram bertujuan untuk menjelaskan asersi ver-bal yang
meragukan maksudnya. Asersi verbal berbunyi “Beberapa A adalah B” hanya memberitahu
bahwa beberapa A adalah B tetapi tidak menunjukkan hubungan antara himpunan A dan
himpunan B secara lengkap. Jadi, tidak dike-tahui apakah himpunan B termasuk di dalam
himpunan A atau tidak (saling-isi). Gambar 2.6 di halaman berikut menunjukkan cara
merepresentasi asersi verbal “Beberapa A adalah B” atas dasar informasi tentang hubungan
himpunan.

Bila diketahui bahwa terdapat A yang bukan B dan terdapat B yang bukan A, diagram
(1) merupakan representasi yang tepat. Akan tetapi, bila area B yang bukan A tidak
mempunyai anggota (kosong), representasi dalam diagram (2) lebih tepat. Bila tidak ada
informasi tambahan apapun, kedua diagram tersebut dapat merepresentasi asersi “Beberapa A
adalah B.”

Dalam bahasa matematika, area yang diarsir pada diagram (1) dalam Gambar 2.6
disebut dengan interseksi (intersection), produk (product), atau konjungsi (con-junction).
Kombinasi dua kelas atau himpunan disebut dengan uni (union), tambah (sum), atau inklusif
(inclusive or), atau disjungsi (disjunction). Kombinasi dua himpunan tidak termasuk bagian
yang saling-isi disebut dengan atau-eksklusif (exclusive or) atau disjungsi eksklusif
(exclusive disjunction).

Gambar 2.6

A B
B

(1) (2)

Dalam menyatakan asersi, perlu dibedakan penggunaan kata non dan nir.6 Non (dari kata
Inggris non) berarti bukan dan bersifat komplementer. Walaupun demikian, dalam
pemakaiannya kata non lebih bermakna sebagai suatu orientasi daripada klasifikasi. Sebagai
contoh, kata non-profit lebih bermakna “tidak mementingkan profit” daripada tidak ada atau
tanpa profit. Berbeda dengan non, nir (dari kata Inggris -less) berarti tanpa dan tidak harus
bersifat komplementer dan juga tidak harus mengklasifikasi. Kata yang tepat menggunakan
nir misalnya sugarless (tanpa gula atau nirgula), useless (tanpa guna atau nirguna), riskless
(tanpa risiko atau nirrisiko), atau scripless (tanpa skrip). Jadi, non-profit jelas ber-beda
dengan nir-profit. Oleh karena itu, tidak tepat pulalah memadankatakan non-profit dengan
nirlaba.

A. Interpretasi Asersi

Untuk menerima kebenaran suatu asersi, harus dipastikan lebih dahulu apa arti atau
maksud asersi. Sangat penting sekali untuk memahami arti asersi untuk menentukan
keyakinan terhadap kebenaran asersi tersebut. untuk memahami maksud asersi, orang juga
harus mempunyai pengetahuan tentang subjek atau topik yang dibahas. Kesalahan
interpretasi dapat terjadi karena dua bentuk asersi yang berbeda dapat berarti dua hal yang
sama atau dua hal yang sangat berbeda. Perhatikan beberapa contoh bentuk asersi berikut:

1. Semua A adalah B.
2. Semua B adalah A.
3. Tidak satu pun A adalah B.
4. Tidak satu pun B adalah A.
5. Beberapa A adalah B.
6. Tidak semua A adalah B.

Asersi (1) jelas berbeda arti dan bentuknya dengan asersi (3). Demikian juga, asersi (1)
jelas berbeda dengan asersi (2). Kesalahan menginterpretasi asersi (1) sama dengan asersi (2)
disebut dengan kesalahan konversi premis (premise conver-sion error). Asersi (3) mempunyai
makna yang sama dengan asersi (4) karena kalau asersi yang satu benar, tidak mungkin asersi
yang lain salah. Dalam hal ini, asersi yang satu merupakan implikasi asersi yang lain. Bila
asersi (3) benar, dengan sendiri-nya asersi (4) juga benar. Dalam percakapan sehari-hari,
asersi (5) sering disamakan dengan asersi (6) dan dapat disaling-tukar penggunaannya.
Artinya, dianggap bahwa bila asersi (5) benar dengan sendirinya asersi (6) juga benar.
Interpretasi yang lebih teliti secara logis dapat menunjukkan perbedaan makna kedua asersi
tersebut. Asersi (5) menegaskan bahwa terdapat beberapa A yang juga B tetapi tidak
mementingkan apakah terdapat beberapa A yang bukan B. Dapat saja beberapa A yang bukan
B tidak ada. Di lain pihak, asersi (6) mengandung penegasan bahwa terdapat bebera-pa A
yang bukan B tetapi tidak mementingkan informasi bahwa terdapat bebera-pa B yang bukan
A. Asersi ini biasanya merupakan penyangkalan terhadap asersi “Semua A adalah B.” Kedua
asersi dapat berbeda karena kalau asersi (5) benar tidak dengan sendirinya asersi (6) juga
benar. Jadi, makna beberapa dan tidak semua dapat berarti dua hal yang sama atau berbeda
bergantung pada konteks yang dibahas atau informasi yang tersedia.

B. Asersi untuk Evaluasi

Representasi asersi dalam bentuk diagram dapat digunakan untuk mengevaluasi ketepatan
makna suatu istilah. Sebagai contoh, manakah istilah yang tepat antara bersertifikat akuntan
publik (BAP) dan akuntan publik bersertifikat (APB) sebagai padan kata certified public
accountant (CPA). Bersertifikat akuntan publik bermakna himpunan (set) orang-orang yang
bersertifikat dan salah satu subhimpunannya adalah akuntan publik. Sesuai dengan makna
aslinya, akuntan publik bersertifikat bermakna sebagai subhimpunan akuntan publik dan
akuntan publik merupakan subhimpunan akuntan. Diagram berikut menjelaskan perbedaan
makna kedua istilah tersebut.
Gambar 2.7
Perbedaan Makna BAP dan APB

Makna Bersertifikat Akuntan Publik Makna Akuntan Publik Bersertifikat

Bersertifikat
Akuntan

Akuntan Dukun
Publik
Akuntan Publik

Ahli Ahli Akuntan Publik

Pijat Kaca Mata Bersertifikat

Gambar di atas menunjukkan bahwa penggunaan istilah bersertifikat akun-tan publik


alih-alih (instead of) akuntan publik bersertifikat merupakan suatu kesalahan fatal. Kesalahan
tersebut disebabkan oleh tidak dipahaminya makna istilah aslinya, tidak dipahaminya teori
himpunan, dan tidak ditaatinya kaidah diterangkan-menerangkan (DM) dalam bahasa
Indonesia. Bahasa Inggris meng-gunakan kaidah menerangkan-diterangkan (MD). Kesalahan
paling telak dalam istilah BAP adalah penyimpangan kaidah DM. Sebagai analogi, blue
round table jelas tidak dapat diterjemahkan menjadi biru meja bundar atau meja biru bundar
karena menyalahi kaidah DM sehingga maknanya menyimpang.

Pada dasarnya, istilah merefleksi suatu asersi. Diagram sebelah kiri mengi-syaratkan
aser\si-asersi antara lain sebagai berikut:

 Semua akuntan publik adalah bersertifikat.


 Semua ahli kaca mata adalah bersertifikat.
 Yang tidak bersertifikat akuntan publik adalah bersertifikat dukun, ahli pijat, dan ahli
kacamata.

Di lain pihak, diagram sebelah kanan menggambarkan secara tepat makna yang dimaksud
oleh istilah aslinya dalam bentuk asersi-asersi berikut:

 Semua akuntan publik adalah akuntan.


 Semua akuntan publik bersertifikat adalah akuntan publik.
 Akuntan merupakan suatu himpunan dalam universa profesi.

Uraian di atas menunjukkan bahwa makna bersertifikat akuntan publik jelas sangat
berbeda dengan makna akuntan publik bersertifikat. Penyimpangan mak-na tersebut
sebenarnya mengisyaratkan bahwa argumen atau penalaran di balik pembentukan istilah tidak
valid. Orang mestinya malu menyandang sebutan BAP yang tidak bernalar tersebut. Kriteria
validitas argumen dibahas lebih lanjut dalam bagian lain bab ini.
C. Jenis Asersi (Pernyataan)

Untuk menimbulkan keyakinan terhadap kebenaran suatu asersi, asersi harus didukung
oleh bukti atau fakta. Untuk keperluan argumen, suatu asersi sering dianggap benar atau
diterima tanpa harus diuji dahulu kebenarannya. Bila dikait-kan dengan fakta pendukung,
asersi dapat diklasifikasi menjadi asumsi (assump-tion), hipotesis (hypothesis), dan
pernyataan fakta (statement of fact).

Asumsi adalah asersi yang diyakini benar meskipun orang tidak dapat menga-jukan atau
menunjukkan bukti tentang kebenarannya secara meyakinkan atau asersi yang orang bersedia
untuk menerima sebagai benar untuk keperluan disku-si atau debat.

Hipotesis adalah asersi yang kebenarannya belum atau tidak diketahui tetapi diyakini
bahwa asersi tersebut dapat diuji kebenarannya. Untuk disebut sebagai hipotesis, suatu asersi
juga harus mengandung kemungkinan salah. Bila tidak ada kemungkinan salah, suatu asersi
akan menjadi pernyataan fakta. Hipotesis biasanya diajukan dalam rangka pengujian teori.9
Dalam pengujian ilmiah suatu teori (hipotesis), terdapat prinsip yang disebut prinsip
keterbuktisalahan (princi-ple of falsifiability) yang berbunyi bahwa untuk diperlakukan
sebagai teori yang serius dan ilmiah, tia harus dapat dibuktikan salah kalau memang
kenyataannya tia salah. Teori yang kuat atau yang meyakinkan adalah teori yang tidak hanya
dapat dibuktikan salah tetapi juga yang tegar atau bertahan terhadap segala upaya untuk
membuktikan salah (to disprove). Prinsip ini didasari oleh pemikiran bahwa teori itu tidak
dapat dibuktikan benar tetapi yang dapat dibuktikan adalah bahwa itu salah. Oleh karena itu,
pengujian suatu teori baru (hipotesis) biasanya diarahkan untuk menyanggah teori lawan.
Pendekatan atau strategi semacam ini dikenal sebagai pendekatan penyanggahan ilmiah
(scientific refutation).

Pernyataan fakta adalah asersi yang bukti tentang kebenarannya diyakini sangat kuat atau
bahkan tidak dapat dibantah. Contoh asersi sebagai pernyataan fakta adalah: semua orang
akan meninggal, satu hari sama dengan 24 jam, matahari merupakan pusat orbit tata surya,
dan penduduk kota Jakarta lebih padat daripada penduduk kota Solo.

D. Fungsi Asersi

Asersi merupakan bahan olah dalam argumen. Dalam argumen, asersi dapat berfungsi
sebagai premis (premise) dan konklusi (conclusion). Premis adalah asersi yang digunakan
untuk mendukung suatu konklusi. Konklusi adalah asersi yang diturunkan dari serangkaian
asersi. Suatu argumen paling tidak berisi satu premis dan satu konklusi. Karena premis dan
konklusi keduanya merupakan asersi, konklusi (berbentuk asersi) dalam suatu argumen dapat
menjadi premis dalam argumen yang lain.

Ketiga jenis asersi yang dibahas sebelum ini asumsi, hipotesis, pernyataan fakta dapat
berfungsi sebagai premis dalam suatu argumen. Dalam hal ini, prinsip yang harus dipegang
adalah bahwa kredibilitas konklusi tidak dapat melebihi kredibilitas terendah premis-premis
yang digunakan untuk menurunkan konklu-si. Artinya, kalau konklusi diturunkan dari
serangkaian premis yang salah satu merupakan pernyataan fakta dan yang lain asumsi,
konklusi tidak dapat dipan-dang sebagai pernyataan fakta. Dengan kata lain, keyakinan
terhadap konklusi dibatasi oleh keyakinan terhadap premis.
3. Keyakinan
Keyakinan terhadap asersi adalah tingkat kebersediaan untuk menerima bahwa asersi
tersebut benar. Keyakinan diperoleh karena kepercayaan (confidence) ten-tang kebenaran
yang dilekatkan pada suatu asersi. Suatu asersi dapat dipercaya karena adanya bukti yang
kuat untuk menerimanya sebagai hal yang benar. Orang dikatakan yakin terhadap suatu asersi
bila dia menunjukkan perbuatan, sikap, dan pandangan seolah-olah asersi tersebut benar
karena dia percaya bahwa asersi tersebut benar.10 Kepercayaan diberikan kepada suatu asersi
biasanya sete-lah dilakukan evaluasi terhadap asersi atas dasar argumen yang digunakan
untuk menurunkan asersi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keyakinan merupa-kan
produk, hasil, atau tujuan suatu penalaran. Berbagai faktor mempengaruhi tingkat keyakinan
seseorang atas suatu asersi. Karakteristik (sifat) asersi menen-tukan mudah-tidaknya
keyakinan seseorang dapat diubah melalui penalaran.

A. Properitas Keyakinan

Semua penalaran bertujuan untuk menghasilkan keyakinan terhadap asersi yang menjadi
konklusi penalaran. Pemahaman terhadap beberapa properitas (sifat) keyakinan sangat
penting dalam mencapai keberhasilan berargumen. Argumen dianggap berhasil kalau
argumen tersebut dapat mengubah keyakinan. Berikut ini dibahas properitas keyakinan yang
perlu disadari dalam berargumen.

 Keadabenaran

Sebagai produk penalaran, untuk dapat menimbulkan keyakinan, suatu asersi harus ada
benarnya (plausible). Keadabenaran atau plausibilitas (plausibility) suatu asersi bergantung
pada apa yang diketahui tentang isi asersi atau penge-tahuan yang mendasari (the underlying
knowledge) dan pada sumber asersi (the source). Pengetahuan yang mendasari (termasuk
pengalaman) biasanya menjamin kebenaran asersi. Oleh karena itu, konsistensi suatu asersi
dengan pengetahuan yang mendasari akan menentukan plausibilitas asersi. Dalam hal
sumber, autori-tas sumber menentukan plausibilitas asersi. Artinya, kalau sumber asersi
diyakini dapat dipercaya dan ahli di bidangnya (knowledgeable) tentang topik asersi, orang
akan lebih bersedia meyakini asersi daripada kalau sumbernya tidak dapat diper-caya dan
tidak ahli. Oleh karena itu, kadang-kadang orang menyerahkan penilaian plausibilitas asersi
kepada ahli dengan pemeo “serahkan saja pada ahli-nya.” Dengan pikiran ini, keyakinan
diperoleh karena keautoritatifan sumber. Mengacu argumen pada autoritas sumber untuk
mendukung kebenaran asersi disebut dengan imbauan autoritas (appeal to authority).

 Bukan pendapat

Keyakinan adalah sesuatu yang harus dapat ditunjukkan atau dibuktikan secara objektif
apakah tia salah atau benar dan sesuatu yang diharapkan menghasilkan kesepakatan
(agreement) oleh setiap orang yang mengevaluasinya atas dasar fakta objektif. Pendapat atau
opini adalah asersi yang tidak dapat ditentukan benar atau salah karena berkaitan dengan
kesukaan (preferensi) atau selera. Berbeda dengan keyakinan, plausibilitas pendapat tidak
dapat ditentukan. Artinya, apa yang benar bagi seseorang dapat salah bagi yang lain.
Walaupun dalam kenyataan-nya kedua konsep tersebut tidak dibedakan secara tegas,
penalaran logis yang dibahas di sini lebih ditujukan pada keyakinan daripada pendapat.
 Bertingkat

Keyakinan yang didapat dari suatu asersi tidak bersifat mutlak tetapi bergradasi mulai
dari sangat maragukan sampai sangat meyakinkan (convincing). Tingkat keyakinan
ditentukan oleh kuantitas dan kualitas bukti untuk mendukung asersi. Orang yang objektif
dan berpikir logis tentunya akan bersedia untuk mengubahtingkat keyakinannya manakala
bukti baru mengenai plausibilitas suatu asersi diperoleh.

 Berbias

Selain kekuatan bukti objektif yang ada, keyakinan dipengaruhi oleh preferensi,
keinginan, dan kepentingan pribadi yang karena sesuatu hal perlu dipertahankan. Idealnya,
dalam menilai plausibilitas suatu asersi orang harus bersikap objektif dengan pikiran terbuka
(open mind). Pada umumnya, bila orang mempunyai kepentingan, sangat sulit baginya untuk
bersikap objektif. Dengan bukti objektif yang sama, suatu asersi akan dianggap sangat
meyakinkan oleh orang yang mem-punyai kepentingan pribadi yang besar dan hanya
dianggap agak atau kurang meyakinkan oleh orang yang netral. Demikian pula sebaliknya.

 Bermuatan nilai

Orang melekatkan nilai (value) terhadap suatu keyakinan. Nilai keyakinan adalah tingkat
penting-tidaknya suatu keyakinan perlu dipegang atau dipertahankan seseorang. Nilai
keyakinan bagi seseorang akan tinggi apabila perubahan keya-kinan mempunyai implikasi
serius terhadap filosofi, sistem nilai, martabat, penda-patan potensial, dan perilaku orang
tersebut.

 Berkekuatan

Kekuatan keyakinan adalah tingkat kepercayaan yang dilekatkan seseorang pada


kebenaran suatu asersi. Orang yang nyatanya tidak mengerjakan apa yang ter-kandung dalam
asersi menandakan bahwa keyakinannya terhadap kebenaran asersi lemah. Dapat dikatakan
bahwa semua properitas keyakinan merupakan faktor yang menentukan tingkat kekuatan
keyakinan seseorang.

 Veridikal

Veridikalitas (veridicality) adalah tingkat kesesuaian keyakinan dengan realitas. Realitas


yang dimaksud di sini adalah apa yang sungguh-sungguh benar tentang asersi yang
diyakini.12 Dengan kata lain, veridikalitas adalah mudah tidaknya fak-ta ditemukan dan
ditunjukkan untuk mendukung keyakinan. Misalnya keyakinan bahwa besi yang dipanasi
akan memuai lebih mudah ditunjukkan (lebih veridikal) daripada keyakinan bahwa sistem
sosialis dapat mengurangi kemiskinan. Dalam banyak hal, penilaian apakah benar suatu
asersi sesuai dengan realitas merupa-kan hal yang sangat pelik dan bersifat subjektif. Oleh
karena itu, untuk tujuan ilmiah tingkat veridikalitas keyakinan dievaluasi berdasarkan kaidah
pengujian ilmiah (scientific rules of evidence).
 Berketertempaan

Ketertempaan (malleability) atau kelentukan keyakinan berkaitan dengan mudah-tidaknya


keyakinan tersebut diubah dengan adanya informasi yang rele-van. Berbeda dengan
veridikalitas, ketertempaan tidak memasalahkan apakah suatu asersi sesuai atau tidak dengan
realitas tetapi lebih memasalahkan apakah keyakinan terhadap suatu asersi dapat diubah oleh
bukti. Kelentukan ini biasanya ditentukan oleh kesungguhan pemegang keyakinan, lamanya
keyakinan telah dipegang (baik secara pribadi maupun secara sosial/umum), dan konsekuensi
perubahan keyakinan bagi diri pemegang. Tujuan suatu argumen adalah untuk mengubah
keyakinan kalau memang keyakinan tersebut lentuk untuk berubah.

Beberapa sifat keyakinan di atas perlu disadari mengingat bahwa tujuan argumen adalah
dalam rangka mencari kebenaran (the search of truth) dan bukan untuk menyembunyikan
kebenaran dengan cara pengelabuhan (deception) dan pengecohan. Jadi, tujuan argumen
adalah untuk merekonsiliasi ketidaksepakatan (disagreement) untuk menemukan kebenaran.
Hal inilah yang mendasari pemi-kiran ilmiah untuk mengembangkan pengetahuan. Sifat-sifat
keyakinan di atas menunjukkan bahwa mengubah keyakinan melalui argumen dapat
merupakan proses yang kompleks karena pengubahan tersebut menyangkut dua hal yang ber-
kaitan yaitu manusia yang meyakini dan asersi yang menjadi objek keyakinan. Manusia tidak
selalu rasional dan bersedia berargumen sementara itu tidak semua asersi dapat ditentukan
kebenarannya secara objektif dan tuntas.

4. Argumen
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah argumen sering digunakan secara keliru untuk
menunjuk ketidaksepakatan, perselisihan pendapat (dispute), atau bahkan pertengkaran mulut
(Jawa: padu). Dalam pengertian ini, argumen mempunyai konotasi negatif. Orang yang suka
bertengkar dan ingin menangnya sendiri akan menikmati dan memburunya tetapi orang yang
ingin mencari solusi atau alterna-tif pemecahan masalah yang terbaik akan menghindarinya.
Dalam arti positif, argumen dapat disamakan dengan penalaran logis untuk menjelaskan atau
meng-ajukan bukti rasional tentang suatu asersi. Bila seseorang mengajukan alasan untuk
mendukung suatu gagasan atau pandangan, dia biasanya menawarkan suatu argumen.
Argumen dalam arti positif selalu dijumpai dalam bacaan, per-cakapan, dan dalam diskusi
ilmiah. Argumen merupakan bagian penting dalam pengembangan pengetahuan. Agar
memberi keyakinan, argumen harus dievaluasi kelayakan atau validitasnya.

 Anatomi Argumen

Dari definisi di atas dan Gambar 2.1 dapat dikatakan bahwa argumen terdiri atas
serangkaian asersi. Asersi berkaitan dengan yang lain dalam bentuk inferensi atau
penyimpulan. Asersi dapat berfungsi sebagai premis atau konklusi (atau asersi kunci) yang
merupakan komponen argumen. Berikut ini adalah beberapa contoh argumen (beberapa
merupakan argumen dalam akuntansi):

 Merokok adalah penyebab kanker karena kebanyakan penderita kanker adalah


perokok.
 Jika suatu binatang menyusui, maka binatang tersebut mempunyai paru-paru karena
semua binatang menyusui mempunyai paru-paru.
 Kreditor adalah pihak yang dituju oleh pelaporan keuangan sehingga statemen
keuangan harus memuat informasi tentang kemampuan membayar utang.
 Karena akuntansi menekankan substansi daripada bentuk, statemen keuangan
beberapa perusahaan yang secara yuridis terpisah tetapi secara ekonomik merupakan
satu perusahaan harus dikonsolidasi.
 Karena akuntansi menganut kesatuan usaha ekonomik, beberapa perusahaan yang
secara yuridis terpisah harus dianggap sebagai satu kesatuan ekonomik kalau
perusahaan-perusahaan tersebut ada di bawah satu kendali. Oleh karena itu, laporan
konsolidasian harus disusun oleh perusahaan pengendali.

Sebagai suatu argumen, asersi yang satu harus mendukung asersi yang lain yang menjadi
konklusi. Kata-kata di atas merupakan kata indikator argumen yang dapat digunakan untuk
menunjuk mana premis dan mana konklusi. Dalam suatu kalimat argumen, kata-kata dalam
daftar tersebut secara umum mengisyaratkan suatu makna “dengan alasan bahwa.” Di
samping kata-kata di atas, beberapa kata kerja (verba) dapat menjadi indikator argumen
seperti: menunjukkan bahwa, membuktikan bahwa, menegaskan bahwa, berimplikasi bahwa,
mengakibatkan bahwa, mempunyai konsekuensi bahwa, menjadi landasan berpikir bahwa,
dan semacamnya.

Dalam banyak hal, argumen tidak menunjukkan secara eksplisit kata-kata indikator
sehingga tidak dapat segera diidentifikasi mana premis dan mana kon-klusi. Akibatnya, sulit
untuk menentukan mana asersi yang mendukung dan mana asersi yang didukung sehingga
dapat timbul berbagai interpretasi terhadap argumen. Bila hal ini terjadi, premis dan konklusi
dapat diidentifikasi dengan kaidah yang oleh Cederblom dan Paulsen (1986) disebut principle
of charitable interpretation (prinsip interpretasi terdukung). Prinsip ini menyatakan bahwa
bila terdapat lebih dari satu interpretasi terhadap suatu argumen, argumen harus diinterpretasi
sehingga premis-premis yang terbentuk memberi dukungan yang paling kuat terhadap
konklusi yang dihasilkan. Dengan kata lain, argumen yang dipilih adalah argumen yang
plausibilitasnya paling tinggi atau yang paling masuk akal (valid) dalam konteks yang
dibahas. Cederblom dan Paulsen memberi contoh sebagai berikut:

Anda harus datang ke seminar itu. Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke
seminar itu. Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya.

Serangkaian asersi di atas tidak mengandung indikator premis atau konklusi sehingga
argumen yang terbentuk dapat diinterpretasi sebagai berikut:

Interpretasi 1:
Premis (1): Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya.
Premis (2): Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu.
Konklusi: Anda harus datang ke seminar itu

Interpretasi 2:
Premis (1): Anda harus datang ke seminar itu
Premis (2): Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu.
Konklusi: Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya

Interpretasi 3:
Premis (1): Anda harus datang ke seminar itu
Premis (2): Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya.
Konklusi: Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu
Pada interpretasi 1, jelas dapat dirasakan bahwa asersi “Anda harus datang ke seminar
itu” paling tepat didukung dalam argumen daripada dua asersi yang lain. Interpretasi 1 adalah
yang terbaik (paling valid) dibanding interpretasi yang lain karena bila semua premis benar,
maka konklusi juga benar (yang merupakan salah satu syarat validitas argumen). Dalam hal
ini, premis (1) menyatakan bahwa bila anda memenuhi kondisi tertentu (berjanji) maka anda
mempunyai kewajiban (menepati janji). Premis (2) menegaskan bahwa anda memenuhi
kondisi berjanji (akan datang ke seminar). Kalau kedua premis benar, maka konklusi (Anda
seharusnya datang ke seminar) harus benar. Dengan demikian dapat dikatakan konklusi
mengikuti atau diturunkan secara logis dari (follow from) premis. Atas dasar prinsip
interpretasi terdukung dan syarat validitas argumen, interpretasi 2 dan 3 dapat dianalisis
bahwa keduanya kurang valid dibanding interpretasi 1.

 Jenis Argumen

Berbagai karakteristik dapat digunakan sebagai basis untuk mengklasifikasi argu-men.


Misalnya argumen dibedakan menjadi argumen langsung dan taklangsung, formal dan
informal, serta meragukan dan meyakinkan. Klasifikasi yang ditinjau dari bagaimana
penalaran (reasoning) diterapkan untuk menurunkan konklusi merupakan klasifikasi yang
sangat penting dalam pembahasan buku ini. Dalam hal ini, argumen dapat diklasifikasi
menjadi argumen deduktif dan induktif. Contoh argumen yang diberikan dalam interpretasi 1,
2, dan 3 di atas sebenarnya merupakan contoh argumen deduktif. Salah satu jenis argumen
yang lain adalah argumen dengan analogi (argument by analogy). Berikut ini dibahas
berbagai jenis argumen tersebut.

A. Argumen Deduktif

Telah disebutkan bahwa argumen atau penalaran deduktif adalah proses penyim-pulan
yang berawal dari suatu pernyataan umum yang disepakati (premis) ke pernyataan khusus
sebagai simpulan (konklusi). Argumen deduktif disebut juga argumen logis (logical
argument) sebagai pasangan argumen ada benarnya (plau-sible argument). Argumen logis
adalah argumen yang asersi konklusinya tersirat (implied) atau dapat diturunkan/dideduksi
dari (deduced from) asersi-asersi lain (premis-premis) yang diajukan. Disebut argumen logis
karena kalau premis-premisnya benar konklusinya harus benar (valid). Kebenaran konklusi
tidak sela-lu berarti bahwa konklusi merefleksi realitas (truth). Hal inilah yang membedakan
argumen sebagai bukti rasional dan bukti fisis/langsung/empiris berupa fakta.16

Salah satu bentuk penalaran deduktif adalah suatu penalaran yang disebut silogisma.
Silogisma terdiri atas tiga komponen yaitu premis major (major premise), premis minor
(minor premise), dan konklusi (conclusion). Dalam silogis-ma, konklusi diturunkan dari
premis yang diajukan seperti contoh berikut:

Premis major: Semua binatang menyusui mempunyai paru-paru.


Premis minor: Kucing binatang menyusui.
Konklusi: Kucing mempunyai paru-paru

“Semua binatang menyusui” dalam contoh di atas disebut anteseden (anteced-ent)


sedangkan “mempunyai paru-paru” merupakan konsekuen (consequent). Dalam silogisma,
konklusi akan benar bila kedua premis benar dan premis minor menegaskan anteseden
(disebut pola modus ponens) atau premis minor menyangkal konsekuen (disebut pola modus
tollens). Konklusi di atas benar kare-na “kucing binatang menyusui” menegaskan “semua
binatang menyusui” sebagai anteseden. Jadi, konklusi mengikuti kedua premis secara logis.

Penalaran deduktif berlangsung dalam tiga tahap yaitu: (1) penentuan per-nyataan
umum (premis major) yang menjadi basis penalaran, (2) penerapan kon-sep umum ke dalam
situasi khusus yang dihadapi (proses deduksi), (3) penarikan simpulan secara logis yang
berlaku untuk situasi khusus tersebut. Penalaran deduktif lebih dari sekadar silogisma karena
penalaran deduktif dan unsur-unsurnya (asersi-asersi) akan membentuk argumen untuk
mengubah suatu keyakinan. Misalnya, keyakinan bahwa penilaian aset atas dasar kos
sekarang lebih relevan daripada kos historis. Contoh lain adalah keyakinan bahwa istilah
biaya lebih tepat daripada beban sebagai padan kata expense.

Penalaran deduktif dalam akuntansi digunakan untuk memberi keyakinan tentang


simpulan-simpulan yang diturunkan dari premis yang dianut. Dalam teori akuntansi, premis
major sering disebut sebagai postulat (postulate). Sebagai penalaran logis, argumen-argumen
yang dihasilkan dengan pendekatan deduktif dalam akuntansi akan membentuk teori
akuntansi.

Dalam akuntansi, premis major dapat berasal dari konklusi penalaran deduk-tif. Penalaran
deduktif untuk suatu masalah menghasilkan argumen untuk masalah tersebut. Oleh karena
itu, penalaran dalam akuntansi dapat menjadi pan-jang dan terdiri atas beberapa argumen.
Apakah suatu argumen cukup meyakin-kan? Dengan kata lain, bersediakah orang menerima
kebenaran konklusi. Untuk menjawab ini, perlu dinilai apakah struktur penalaran logis dan
premis-premisnya dapat diterima (dapat dipercaya sebagai benar).

 Evaluasi Penalaran Deduktif

Tujuan utama mengevaluasi argumen adalah untuk menentukan apakah konklusi argumen
benar dan meyakinkan. Untuk menilai suatu argumen deduktif (logis), Nickerson (1986)
mengajukan empat pertanyaan yang harus dijawab, yaitu:

 Apakah itu lengkap?


 Apakah artinya jelas?
 Apakah itu valid? (Apakah konklusi mengikuti premis?)
 Apakah premis dapat dipercaya (diterima)?

Keempat pertanyaan di atas merupakan kriteria evaluasi yang terdiri atas kelengkapan,
kejelasan, kesahihan, dan kepercayaian. Apabila jawaban untuk keempat pertanyaan di atas
adalah positif (ya), maka konklusi memberi keyakinan tentang kebenarannya.

Kelengkapan merupakan kriteria yang penting karena validitas konklusi menjadi kurang
meyakinkan bila premis-premis yang diajukan tidak lengkap. Dalam hal tertentu, konklusi
tidak dapat ditarik karena tidak lengkapnya premis. Bila konklusi dipaksakan, jelas argumen
menjadi tidak logis.

Kejelasan arti diperlukan karena keyakinan merupakan fungsi kejelasan makna. Kejelasan
tidak hanya diterapkan untuk makna premis tetapi juga untuk hubungan antarpremis
(inferensi dan penyimpulan). Keterbatasan bahasa, kesa-lahan bahasa, dan keterbatasan
pengetahuan tentang topik yang dibahas merupa-kan faktor yang menentukan kejelasan dan
bahkan pemahaman argumen.
Kesahihan (validitas) merupakan kriteria utama untuk menilai penalaran logis. Validitas
berkaitan dengan struktur formal argumen. Perlu dibedakan di sini antara validitas dan
kebenaran (truth). Validitas adalah sifat yang melekat pada argumen sedangkan kebenaran
adalah sifat yang melekat pada asersi. Secara struktural, validitas argumen tidak bergantung
pada kebenaran asersi. Artinya, argumen dikatakan valid kalau konklusi diturunkan secara
logis dari premis tan-pa memperhatikan apakah premis itu sendiri benar atau salah. Oleh
karena itu, dapat saja terjadi suatu argumen yang valid dengan premis yang salah. Tentu saja,
kalau premis benar dan penalarannya valid, konklusi juga akan benar. Secara dia-gramatik,
pengaruh benar tidaknya premis terhadap konklusi dalam argumen yang logis dilukiskan
Nickerson (1986)

Keterpercayaan melengkapi ketiga kriteria sebelumnya agar konklusi meyakinkan


sehingga orang bersedia menerima. Orang bersedia menerima suatu asersi kalau dia percaya
pada asersi tersebut. Orang dapat percaya pada suatu asersi kalau asersi tersebut ada benarnya
(plausible). Telah disebutkan sebelum-nya bahwa plausibilitas suatu asersi bergantung pada
pemahaman pengetahuan yang mendasari dan pada sumber asersi. Pengetahuan yang
mendasari (termasuk pengalaman) biasanya diyakini kebenarannya. Kesesuaian suatu asersi
dengan pengetahuan yang mendasari akan menentukan plausibilitas asersi. Dalam hal inilah
kriteria ketiga berbeda dengan kriteria keempat. Kriteria kesahihan ber-kaitan dengan
validitas logis (logical validity) suatu argumen sedangkan kriteria kepercayaan berkaitan
dengan kebenaran empiris (empirical truth) suatu asersi (premis). Gabungan antara keduanya
menentukan kebenaran konklusi. Gabungan kriteria kelengkapan dan kejelasan sebenarnya
digunakan untuk meyakinkan bahwa semua premis benar atau masuk akal secara struktural.
Keempat kriteria di atas dapat diringkas menjadi:

 Semua premis benar (lepas dari apakah orang setuju atau tidak).
 Konklusi mengikuti (follow from) semua premis.
 Semua premis dapat diterima. Artinya, orang percaya atau setuju dengan semua
premis yang diajukan.

Kriteria (1) dan (2) diperlukan untuk memenuhi validitas logis argumen. Kri-teria (3)
diperlukan untuk memenuhi kebenaran empiris asersi untuk melengkapi argumen agar
konklusi meyakinkan kebenarannya. Contoh argumen yang hanya memenuhi kriteria (1) dan
(2) diberikan berikut ini.

Premis major: Semua aset mempunyai manfaat ekonomik bagi perusahaan.


Premis minor: Rugi selisih kurs tidak mempunyai manfaat ekonomik bagi perusahaan.
Konklusi: Rugi selisih kurs tidak dapat menjadi aset.

Secara struktural konklusi di atas akan selalu benar tanpa memperhatikan makna
empiris kata aset. Kata aset dapat diganti dengan kata apapun dan konklu-si akan tetap valid.
Jadi, validitas konklusi independen terhadap makna aset. Akan tetapi, secara empiris atau
observasi dunia nyata, konklusi tersebut salah sehingga tidak dapat diterima. Dengan kata
lain, dapat dikatakan bahwa konklusi di atas valid tetapi tidak mempunyai makna empiris
(empirical content). Dunia praktik (observasi) menunjukkan bahwa rugi selisih kurs dapat
dikapitalisasi sehingga menjadi bagian dari aset.
B. Argumen Induktif

Penalaran ini berawal dari suatu pernyataan atau keadaan yang khusus dan bera-khir
dengan pernyataan umum yang merupakan generalisasi dari keadaan khusus tersebut.
Berbeda dengan argumen deduktif yang merupakan argumen logis (logi-cal argument),
argumen induktif lebih bersifat sebagai argumen ada benarnya (plausible argument). Dalam
argumen logis, konklusi merupakan implikasi dari premis. Dalam argumen ada benarnya
(plausible), konklusi merupakan generalisa-si dari premis sehingga tujuan argumen adalah
untuk meyakinkan bahwa proba-bilitas atau kebolehjadian (likelihood) kebenaran konklusi
cukup tinggi atau sebaliknya, ketakbenaran konklusi cukup rendah kebolehjadiannya
(unlikely). Berikut ini adalah contoh struktur suatu penalaran induktif:

Contoh 1: Premis Satu jeruk dari karung A manis rasanya.


Premis Satu jeruk berikutnya manis rasanya.
Konklusi: Semua jeruk dalam karung A manis rasanya.

Contoh 2: Premis Sekelompok penderita kanker semuanya perokok.


Konklusi: Merokok menyebabkan kanker.

Dalam contoh di atas, argumen mengalir dari informasi atas pengamatan khusus atau
tertentu (sampel) menuju ke konklusi yang diterapkan untuk seluruh pengamatan yang
mungkin dilakukan (populasi). Konklusi melewati (mencakupi lebih dari) apa yang dapat
ditunjukkan oleh fakta/bukti empiris (manisnya bebera-pa jeruk yang telah dicicipi) atau
meliputi pula apa yang tidak diamati (seluruh jeruk dalam karung). Dengan demikian
konklusi atau generalisasi akan bersifat prediktif. Dalam Contoh 1, misalnya, kalau sebuah
jeruk diambil dari karung A, dapat diprediksi bahwa jeruk tersebut akan manis. Demikian
pula dalam Contoh 2, bila konklusi benar maka dapat diprediksi bahwa seorang perokok
kemung-kinan besar terkena kanker. Karena konklusi (generalisasi) didasarkan pada peng-
amatan atau pengalaman yang nyatanya terjadi, penalaran induktif disebut pula generalisasi
empiris (empirical generalization).

Akibat generalisasi, hubungan antara premis dan konklusi dalam penalaran induktif
tidak langsung dan tidak sekuat hubungan dalam penalaran deduktif. Dalam penalaran
deduktif, kebenaran premis menjamin sepenuhnya kebenaran konklusi asal penalarannya
logis. Artinya, jika semua premis benar dan penalarannya logis, konklusi harus benar (disebut
necessary implication dan oleh karenanya necessarily true). Dalam penalaran induktif,
kebenaran premis tidak selalu menjamin sepenuhnya kebenaran konklusi. Kebenaran
konklusi hanya dijamin dengan tingkat keyakinan (probabilitas) tertentu. Artinya, jika premis
benar, konklusi tidak selalu benar (not necessarily true). Perbedaan struktural antara argumen
deduktif dan induktif dapat ditujukkan dalam contoh berikut.
Argumen Deduktif
Premis (1): Semua burung mempunyai bulu.
Premis (2): Bebek adalah burung.
Konklusi: Bebek mempunyai bulu. (pasti)

Argumen Induktif
Premis (1): Kebanyakan burung dapat terbang.
Premis (2): Bebek adalah burung.
Konklusi: Bebek dapat terbang. (boleh jadi)
Contoh di atas menunjukkan bahwa dalam argumen deduktif bila semua premis benar
maka konklusi pasti atau harus benar. Akan tetapi, dalam argumen induktif, konklusi tidak
selalu benar meskipun kedua premis benar. Perbedaan tersebut menjadi dasar untuk menilai
perbedaan keefektifan atau keberhasilan kedua jenis argumen. Argumen deduktif dengan
premis benar dapat dikatakan berhasil jika kebenaran premis menjadikan konklusi tidak
mungkin (impossible) tak benar. Di lain pihak, argumen induktif dengan premis benar dapat
dikatakan berhasil jika kebenaran premis menjadikan konklusi kecil kemungkinan atau kecil
kebolehjadian takbenarnya. Karena ada kebolehjadian takbenar, asersi ilmiah yang bersandar
pada penalaran induktif diperlakukan sebagai hipotesis bukan pernyataan fakta.

 Argumen dengan Analogi

Argumen induktif sebenarnya merupakan salah satu jenis penalaran nondeduktif. Salah
satu penalaran nondeduktif lainnya adalah argumen dengan analogi (argu-ment by analogy).
Penalaran dengan analogi adalah penalaran yang menurunkan konklusi atas dasar kesamaan
atau kemiripan (likeness) karakteristik, pola, fung-si, atau hubungan unsur (sistem) suatu
objek yang disebutkan dalam suatu asersi. Analogi bukan merupakan suatu bentuk
pembuktian tetapi merupakan suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi
mempunyai kebolehjadian untuk benar. Dengan kata lain, bila premis benar, konklusi atas
dasar analogi belum tentu benar. Struktur argumen ini digambarkan sebagai berikut:
Premis (1): X dan Y mempunyai kemiripan dalam hal a, b, c, ...
Premis (2): X mempunyai karakteristik z.
Konklusi: Y mempunyai karakteristik z.
Kemiripan dalam suatu analogi merupakan suatu hubungan konseptual dan bukan
hubungan fisis atau keidentikan. Hubungan analogis bersifat implisit dan kompleks. Dalam
banyak hal, penalar harus mengidentifikasi dan menyimpulkan sendiri hubungan kemiripan
tersebut dalam analogi. Berikut adalah suatu contoh argumen dengan analogi.

Premis (1): Negara adalah ibarat sebuah kapal pesiar dengan presiden sebagai nahkoda.
Premis (2): Dalam keadaan darurat, semua penumpang harus tunduk pada perintah
nahkoda tanpa kecuali.
Konklusi: Dalam keadaan krisis, presiden harus diberi kekuasaan khusus untuk
mengeluarkan undang-undang darurat yang harus diikuti semua warga tanpa
kecuali.

Dalam contoh di atas, hubungan kemiripan negara dan kapal dapat diinterpretasi
bahwa keduanya sama-sama merupakan suatu wilayah (teritori) yang di dalamnya hidup
sekelompok warga yang menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada seorang pemimpin.
Penalar dapat juga menginterpretasi bahwa kemiripan tersebut berkaitan dengan
pemerintahan atau manajemen. Karena kemiripan tersebut, disimpulkan bahwa kekuasaan
(karakteristik, fungsi, atau sistem peme-rintahan) presiden sama dengan kekuasaan nahkoda.
Kesamaan kekuasaan meru-pakan argumen untuk mendukung konklusi bahwa presiden dapat
mengeluarkan undang-undang darurat dalam situasi krisis.

Walaupun analogi banyak digunakan dalam argumen, argumen semacam ini banyak
mengandung kelemahan. Perbedaan-perbedaan penting yang mempe-ngaruhi (melemahkan)
konklusi sering tersembunyi atau disembunyikan. Perbedaan sering lebih dominan daripada
kemiripan.
 Argumen Sebab-Akibat

Menyatakan konklusi sebagai akibat dari asersi tertentu merupakan salah satu bentuk
argumen yang disebut argumen dengan penyebaban (argument by causa-tion) atau
generalisasi kausal (causal generalization). Hubungan penyebaban biasanya dinyatakan
dalam struktur “X menghasilkan Y” atau “X memaksa Y ter-jadi” atau “X menyebabkan Y
terjadi” atau “Y terjadi akibat X” atau “Y berubah karena X berubah.” Akan tetapi,
pernyataan tersebut sebenarnya hanyalah cara memverbalkan bahwa A bervariasi atau
berasosiasi dengan B tetapi tidak menun-jukkan bahwa apa yang sebenarnya terjadi
merupakan hubungan kausal.

Untuk dapat menyatakan adanya hubungan kausal perlu diadakan pengujian tentang apa
yang sebenarnya terjadi. Kaidah untuk menguji adanya hubungan kausal adalah apa yang
disebut kaidah kecocokan (method of agreement), kaidah kecocokan negatif (negative canon
of agreement) dan kaidah perbedaan (method of difference) yang dikemukakan oleh John
Stuart Mill (sehingga seluruh kaidah disebut dengan kaidah Mill).

Kaidah kecocokan menyatakan bahwa jika dua kasus (atau lebih) dalam suatu fenomena
mempunyai satu dan hanya satu kondisi atau faktor yang sama (C), maka kondisi tersebut
dapat menjadi penyebab timbulnya gejala (Z). Kaidah kecocokan negatif menyatakan bahwa
jika tiadanya suatu faktor (C) berkaitan dengan tiadanya gejala (Z), maka ada bukti bahwa
hubungan faktor dan gejala tersebut bersifat kausal.

Kaidah perbedaan menyatakan bahwa jika terdapat dua kasus atau lebih dalam suatu
fenomena, dan dalam salah satu kasus suatu gejala (Z) muncul sementara dalam kasus
lainnya gejala tersebut (Z) tidak muncul; dan jika faktor tertentu (C) terjadi ketika gejala
tersebut (Z) muncul, dan faktor tersebut (C) tidak terjadi ketika gejala tersebut (Z) tidak
muncul; maka dapat dikatakan bahwa ter-dapat hubungan kausal antara faktor (C) dan gejala
(Z) tersebut.

Dalam argumen, kasus-kasus dalam ketiga kaidah di atas dapat diperlakukan sebagai
premis. Kaidah ketiga sebenarnya merupakan gabungan antara kaidah pertama dan kedua.
Kaidah Mill didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada faktor lain (selain C) yang
mempengaruhi gejala Z.

 Kriteria Penyebaban

Kaidah perbedaan Mill sebenarnya merupakan suatu rancangan untuk menguji secara
ekperimental apakah memang terdapat hubungan kausal. Akan tetapi, kaidah tersebut belum
dapat sepenuhnya meyakinkan karena mungkin ada faktor lain (selain C) yang menyebabkan
gejala Z terjadi. Oleh karena itu, untuk menguji dan menyatakan bahwa suatu faktor atau
variabel (C) menyebabkan suatu gejala atau variabel lain (Z) terjadi, tiga kriteria berikut
harus dipenuhi:
 C dan Z bervariasi bersama. Bila C berubah, Z juga berubah.
 Perubahan C terjadi sebelum atau mendahului perubahan Z terjadi.
 Tidak ada faktor lain selain C yang mempengaruhi perubahan Z.
Kriteria (1) harus dipenuhi karena hubungan sebab-akibat hanya terjadi jika ada
perubahan baik faktor sebab maupun faktor akibat. Bila salah satu faktor berubah sementara
yang lain tetap, maka jelas bahwa kedua faktor tersebut tidak berhubungan sama sekali.
Perubahan di sini harus diartikan secara luas sebagai perbedaan keadaan
(status/klasifikasi/gejala) atau nilai (skor/peringkat). Misalnya keadaan kena kanker dan tidak
kena kanker, merokok dan tidak merokok, diberi obat dan tidak diberi obat, muncul dan tidak
muncul, serta sembuh dan tidak sem-buh merupakan suatu perbedaan keadaan yang
menggambarkan perubahan. Misalnya perbedaan skor rata-rata tes potensi akademik (TPA)
sebelum dan sesudah mengikuti kursus, perbedaan kinerja sekelompok karyawan yang diukur
pada waktu yang berbeda atau, dan perbedaan kinerja dua kelompok sete-lah adanya suatu
percobaan merupakan indikasi adanya perubahan.

Kriteria (2) harus dipenuhi karena penyebaban menuntut adanya pengaruh satu faktor
terhadap faktor yang lain dalam selang waktu tertentu. Jadi, harus ada selang waktu antara
terjadinya perubahaan faktor sebab dan faktor akibat. Oleh karena itu, perubahan faktor sebab
harus terjadi dahulu sebelum perubahan faktor akibat terjadi. Dengan kata lain, harus ada
semacam ketergantungan atau dependensi faktor akibat pada faktor sebab. Selang waktu
tersebut dapat sekejap atau lama bergantung pada masalah yang dibahas.

Untuk meyakinkan bahwa faktor sebab benar-benar menyebabkan faktor aki-bat, kriteria
(3) harus dipenuhi. Tidak adanya faktor-faktor lain selain faktor sebab yang diteorikan harus
diartikan bahwa faktor-faktor lain tersebut memang tidak ada atau kalau ada, pengaruh
faktor-faktor lain tersebut dapat dikendalikan, diukur, atau diisolasi sehingga diperoleh
keyakinan yang tinggi bahwa perubahan

 Penalaran Induktif dalam Akuntansi

Penalaran induktif dalam akuntansi pada umumnya digunakan untuk menghasilkan


pernyataan umum yang menjadi penjelasan (teori) terhadap gejala akuntansi tertentu.
Pernyataan-pernyataan umum tersebut biasanya berasal dari hipotesis yang diajukan dan diuji
dalam suatu penelitian empiris. Hipotesis merupakan generalisasi yang dituju oleh penelitian
akuntansi. Bila bukti empiris konsisten dengan (mendukung) generalisasi tersebut maka
generalisasi tersebut menjadi teori yang valid dan mempunyai daya prediksi yang tinggi.
Contoh pernyataan umum sebagai hasil penalaran induktif (generalisasi) antara lain adalah:

 Perusahaan besar memilih metoda akuntansi yang menurunkan laba.


 Tingkat likuiditas perusahaan perdagangan lebih tinggi daripada tingkat likuiditas
perusahaan pemanufakturan.
 Tingkat solvensi berasosiasi positif dengan probabilitas kebankrutan perusahaan.
 Partisipasi manajer divisi dalam penyusunan anggaran mempunyai pengaruh positif
terhadap kinerja divisi.
 Ambang persepsi etis wanita lebih tinggi dibanding ambang persepsi etis pria dalam
menilai kasus pelanggaran etika atau hukum.
 Ukuran atau besar-kecilnya (size) perusahaan berasosiasi positif dengan tingkat
pengungkapan sukarela (voluntary disclosures) dalam statemen keuangan.

Secara statistis, generalisasi berarti menyimpulkan karakteristik populasi atas dasar


karakteristik sampel melalui pengujian statistis. Misalnya, suatu teori harus diajukan untuk
menjelaskan mengapa terjadi perbedaan luas atau banyak-nya pengungkapan dalam statemen
keuangan antarperusahaan. Teori tersebut misalnya dinyatakan dalam pernyataan umum
(proposisi) terakhir dalam daftar di atas yaitu ukuran perusahaan berasosiasi positif dengan
tingkat pengungkapan sukarela.
Dalam praktiknya, penalaran induktif tidak dapat dilaksanakan terpisah dengan penalaran
deduktif atau sebaliknya. Kedua penalaran tersebut saling ber-kaitan. Premis dalam penalaran
deduktif, misalnya, dapat merupakan hasil dari suatu penalaran induktif. Demikian juga,
proposisi-proposisi akuntansi yang dia-jukan dalam penelitian biasanya diturunkan dengan
penalaran deduktif.

Bila dikaitkan dengan perspektif teori yang lain, teori akuntansi normatif biasanya
berbasis penalaran deduktif sedangkan teori akuntansi positif biasanya berbasis penalaran
induktif. Secara umum dapat dikatakan bahwa teori akuntansi sebagai penalaran logis bersifat
normatif, sintaktik, semantik, dan deduktif sementara teori akuntansi sebagai sains bersifat
positif, pragmatik, dan induktif. Buku ini memandang teori akuntansi sebagai penalaran logis
dalam bentuk perekayasaan pelaporan keuangan.

5. Kecohan (Fallacy)

Dalam kehidupan sehari-hari (baik akademik maupun nonakademik), acapkali dijumpai


bahwa argumen yang jelek, lemah, tidak sehat, atau bahkan tidak masuk akal ternyata mampu
meyakinkan banyak orang sehingga mereka terbujuk oleh argumen tersebut padahal
seharusnya tidak. Bila hal ini terjadi, akan banyak praktik, perbuatan, atau tindakan dalam
masyarakat yang dilandasi oleh teori atau alasan yang tidak sehat. Akibatnya praktik itu
sendiri menjadi tidak sehat. Cederblom dan Paulsen (1986) membahas hal ini dengan
mengajukan pertanyaan: “Why are bad arguments sometimes convincing?” Pertanyaan
tentang adanya kecohan penalaran dalam akuntansi misalnya adalah “Mengapa istilah yang
salah banyak dipakai orang?”

Telah dibahas sebelumnya bahwa keyakinan mempunyai beberapa sifat yang menjadikan
perubahan atau pemertahanan keyakinan tidak semata-mata dilan-dasi oleh validitas dan
kekuatan argumen tetapi juga oleh faktor manusia. Dalam kasus tertentu (bahkan dalam
konteks ilmiah atau akademik), manusia lebih ter-bujuk atau terkecoh oleh emosi atau
kepentingan pribadi daripada logika. Dengan kata lain, keyakinan tidak selalu diperoleh
melalui argumen logis atau akal sehat. Apapun faktor yang menyebabkan, bila terdapat suatu
asersi yang nyatanya membujuk dan dianut banyak orang padahal seharusnya tidak lantaran
argumen yang diajukan mengandung cacat (faulty), maka pasti terjadi kesalahan yang disebut
kecohan atau salah nalar (fallacy). Cederblom dan Paulsen (1986) mendefinisi pengertian
kecohan sebagai berikut:

A fallacy is a kind of argument or appeal that tends to persuade us, even though it is faulty. ...
Fallacies are arguments that tend to persuade but should not per-suade

Kita harus mengenal berbagai kecohan agar kita waspada bahwa hal semacam itu
memang ada sehingga kita tidak terkecoh atau mengecoh orang lain secara tak sengaja. Orang
dapat terkecoh oleh dirinya sendiri sehingga dia berpikir bahwa dia mengajukan argumen
yang valid padahal sebenarnya tidak valid. Sebaliknya, orang dapat mengecoh orang lain
dengan sengaja semata-mata karena ingin memaksakan kehendak atau ingin menangnya
sendiri sehingga dia akan meng-gunakan segala taktik untuk meyakinkan orang lain tentang
keyakinan atau pendapatnya dengan menyampingkan masalah pokok atau menyembunyikan
argumen yang valid. Oleh karena itu, perlu dibedakan kecohan lantaran taktik atau akal bulus
(yang oleh Nickerson disebut dengan stratagem) dan kecohan lantaran salah logika atau nalar
dalam argumen (reasoning fallacy). Ciri yang membedakan keduanya adalah maksud atau
niat (intention) untuk berargumen.
A. Stratagem

Stratagem adalah pendekatan atau cara-cara untuk mempengaruhi keyakinan orang


dengan cara selain mengajukan argumen yang valid atau masuk akal (rea-sonable argument).
Stratagem merupakan salah satu bentuk argumen karena merupakan upaya untuk
menyakinkan seseorang agar dia percaya atau bersedia mengerjakan sesuatu. Berbeda dengan
argumen yang valid, stratagem biasanya digunakan untuk membela pendapat yang
sebenarnya keliru atau lemah dan tidak dapat dipertahankan secara logis. Karenanya,
stratagem dapat mengandung kebo-hongan (deceit) dan muslihat (trick). Biasanya, stratagem
digunakan dengan niat semata-mata untuk memaksakan kehendak, membujuk orang agar
meyakini sesuatu, menjadikan hal yang tidak baik/benar kelihatan baik/benar, atau menja-
tuhkan lawan bicara dalam debat atau perselisihan. Stratagem dapat melibatkan salah nalar
walaupun tidak harus selalu demikian. Artinya, argumen yang logis tidak selalu dapat
membujuk. Oleh karena itu, keyakinan kadang-kadang dianut bukan karena kekuatan
argumen semata-mata tetapi juga karena stratagem.
bahwa hal tersebut dijumpai dalam diskusi ilmiah. Pakar atau ilmuwan kadang kala lebih
menunjukkan stratagem daripada argumen yang valid. Berikut ini dibahas beberapa stratagem
yang sering dijumpai dalam diskusi atau perde-batan baik politis maupun akademik.

 Persuasi Tak Langsung

Persuasi tak langsung merupakan stratagem untuk menyakinkan seseorang akan


kebenaran suatu pernyataan bukan langsung melalui argumen atau penalaran melainkan
melalui cara-cara yang sama sekali tidak berkaitan dengan validitas argumen. Contoh
persuasi taklangsung banyak dijumpai dalam periklanan (adver-tising). Untuk membujuk
agar orang mau membeli produk, orang tidak disuguhi argumen tentang mengapa produk
tersebut berkualitas melainkan ditunjuki pemandangan bahwa seorang selebritis
menggunakan produk tersebut. Harapan-nya adalah orang yang tidak menggunakan produk
akan merasa bahwa dia tidak termasuk dalam golongan yang bergaya hidup selebritis.

 Membidik Orangnya

Stratagem ini digunakan untuk melemahkan atau menjatuhkan suatu posisi atau
pernyataan dengan cara menghubungan pernyataan atau argumen yang diajukan seseorang
dengan pribadi orang tersebut.24 Alih-alih mengajukan kontra-argumen (counter-argument)
yang lebih valid, pembicara mengajukan kejelekan atau sifat yang kurang menguntungkan
dari lawan berargumen. Jadi, yang dilawan orang-nya bukan argumennya. Dengan cara ini
diharapkan bahwa daya bujuk argumen akan menjadi turun atau jatuh. Taktik ini sering
disebut argumentum ad hom-inem. Berikut ini adalah beberapa contoh stratagem ini.

 Dia tidak mungkin menjadi pemimpin yang andal karena dia bekas militer (atau
tahanan politik yang pernah dihukum).
 Praktisi akuntansi yang tidak mengikuti standar akuntansi seperti apa adanya adalah
orang yang tidak loyal dan tidak profesional.
 Jangan menggunakan istilah tersebut karena yang mengusulkan orang Yogya. (Saya
tidak setuju istilah itu karena itu istilah Yogya.)
 Program tersebut tidak valid didukung karena yang mengajukan adalah partai politik
A.
 Kurikulum ini harus diganti total karena yang mengembangkan adalah pengelola lama
(rezim orde baru).
Stratagem banyak dijumpai dalam arena politik walaupun tidak tertutup kemung-kinan
Berkaitan dengan stratagem ini, orang sering menggunakan taktik ungkapan merendahkan
(put-downs) untuk menyanggah/menghindari argumen dengan ungkapan-ungkapan berikut
(diucapkan dengan nada meninggi):

 “Semua orang tahu itu!”


 “Saya tidak percaya anda dapat mengatakan hal itu!”
 “Yang anda katakan itu adalah lelucon baru yang belum pernah saya dengar!”
 “Apa itu kok aneh-aneh, seperti kurang pekerjaan saja!” (Sebagai reaksi terhadap
istilah akuntansi baru yang baru saja didengarnya.)

 Menyampingkan Masalah

Stratagem ini dilakukan dengan cara mengajukan argumen yang tidak bertumpu pada
masalah pokok atau dengan cara mengalihkan masalah ke masalah yang lain yang tidak
bertautan. Hal ini sering dilakukan orang jika dia (karena sesuatu hal) tidak bersedia
menerima argumen yang dia tahu lebih valid dari argumen yang dipegangnya. Penyampingan
masalah ini juga merupakan salah satu contoh salah nalar karena penyampingan dilakukan
dengan memberi penjelasan yang tidak menjawab masalah. Berikut ini adalah beberapa
contoh stratagem ini.

 Gerakan antikorupsi tidak perlu digalakkan lagi karena nyatanya banyak orang yang
melakukan korupsi tidak mendapatkan sanksi hukum.
 Pembenahan istilah akuntansi tidak perlu dilakukan karena dalam komunikasi yang
penting kita tahu maksudnya.
 Mengapa istilah kos seharusnya digunakan alih-alih biaya? Stratagem: Apa bedanya
dengan kos-kosan (tempat mondok)?

Dari contoh di atas, penyampingan masalah terjadi karena orang tidak lagi menyajikan
argumen tandingan yang valid terhadap pernyataan yang ingin disanggahnya (yaitu perlunya
pemberantasan korupsi). Dalam contoh kedua, misalnya, orang tidak lagi membahas arti
pentingnya pembenahan melainkan mematikan atau memotong diskusi dengan mengajukan
alasan yang menyimpang dari masalah pokok. Dalam contoh ketiga, penyanggah tidak
bertanya secara ilmi-ah atau akademik mengapa demikian tetapi malahan mengolok-olok
penggagas atau gagasan untuk menyampingkan masalah pokok. Bila hal semacam ini terjadi
dalam forum ilmiah atau akademik, hal tersebut sebenarnya merefleksi kepicikan penyanggah
yang justru pantas untuk diolok-olok.

Stratagem penyampingan masalah (avoiding the issue) sering digunakan oleh politikus
untuk menghidari pertanyaan yang dapat memalukannya dalam suatu jumpa pers dengan cara
menyalahartikan pertanyaan dan menjawab pertanyaan yang disalahartikan tersebut. Hal ini
sama dengan taktik mahasiswa yang tidak dapat menjawab pertanyaan dalam ujian tetapi
kemudian sengaja menyalahartikan maksud pertanyaan dan menjawab pertanyaan yang
disalahartikan tersebut utuh atau hanya sebagian. Pengiklan obat menunjukkan khasiat obat
tanpa menunjukkan efek samping.
 Misrepresentasi

Stratagem ini digunakan biasanya untuk menyanggah atau menjatuhkan posisi lawan
dengan cara memutarbalikkan atau menyembunyikan fakta baik secara halus maupun terang-
terangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara misalnya: mengekstremkan posisi lawan,
menyalahartikan maksud baik posisi lawan, atau menonjolkan kelemahan dan
menyembunyikan keunggulan argumen lawan.

Sebagai contoh adalah seorang mahasiswa, Amin, meminta dosennya untuk


mengomentari tulisan atau proposal skripsinya. Dosennya menyarankan perbaikan-perbaikan
yang rinci dan jelas. Amin, yang mengharapkan untuk mendapat pujian dari dosennya,
mengeluh dengan mengatakan kepada teman-temannya bahwa dosen tersebut sangat rewel
padahal tulisan atau proposalnya memang amburadul.

Berkaitan dengan strategi ini adalah apa yang dikenal dengan istilah the deceptive use of
truth. Dengan taktik ini, penalar menunjukkan fakta atau kebenaran (truth) tetapi tidak secara
membujuk maka kecohanlah yang terjadi. Lebih-lebih dalam hal akademik atau
pengembangan ilmu pengetahuan, kalau autoritas akademik diganti dengan autoritas politis
(kekuasaan/jabatan) dalam mengevaluasi suatu gagasan atau idea, kemungkinan terjadinya
kecohan akan semakin besar. Memang selayak-nyalah bahwa pernyataan orang autoritatif
akan lebih mendapat bobot dibanding orang awam. Akan tetapi, penalaran di balik
pernyataan harus tetap menjadi per-timbangan utama.

Agar tidak terkecoh, orang harus memegang prinsip bahwa suatu hal tidak menjadi benar
lantaran banyak orang yang melakukannya atau popular sebagai-mana pepatah yang berbunyi
the fact that many people do thing does not make it right. Misalnya, kenyataan bahwa banyak
orang melakukan korupsi tidak membuat korupsi menjadi benar. Penalar (reasoner) yang
bijak, lebih-lebih akademisi, akan mempertimbangkan suatu gagasan atas dasar bukti
pendukung (argumen) yang valid dan bukan atas dasar banyaknya orang yang memegang
gagasan itu.

 Imbauan Cacah

Stratagem ini biasanya digunakan untuk mendukung suatu posisi dengan menun-jukkan
bahwa banyak orang melakukan apa yang dikandung posisi tersebut. Sebagai contoh, suatu
kelompok memegang posisi untuk membolehkan penaikan harga (mark-up) kontrak atau
tender karena banyak rekanan melakukan hal tersebut. Dalam promosi produk, pengiklan
membuat klaim “Sembilan dari sepu-luh bintang film menggunakan sabun merek X” untuk
membujuk konsumer agar
dengan baik. Kemudian dia datang ke dosennya, setelah tahu nilainya jelek, untuk memprotes
dan berargumen bahwa itulah yang dipahami tentang pertanyaan ujian (meskipun dia tahu
benar maksud sebenarnya pertanyaan).

Penyampingan masalah pokok sering disebut dengan taktik red herring dalam perdebatan
politik untuk menutupi atau menghindari kekalahan dalam argumen. Red herring adalah
praktik dalam perburuan untuk menghalangi anjing pelacak membaui sasaran dengan cara
memasang ikan herring melintang pada jalan seta-pak atau jejak (trail).
 Imbauan Autoritas

Stratagem ini mirip dengan imbauan cacah kecuali bahwa banyaknya orang atau
popularitas diganti dengan autoritas. Stratagem ini dapat juga dianggap sebagai salah satu
jenis argumen ad hominem (membidik orangnya). Argumen membidik orangnya yang
dibahas sebelumnya berusaha menjatuhkan daya bujuk argumen dengan menjatuhkan
kredibilitas penggagasnya. Dengan imbauan autoritas, orang berusaha meningkatkan daya
bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bahwa posisi tersebut dipegang oleh orang yang
mempunyai autoritas dalam masalah bersangkutan tanpa menunjukkan bagaimana autoritas
bernalar. Akan tetapi, kalau autoritas semata-mata dijadikan alat untuk menunjukan stratagem
bahwa dia menggunakan istilah beban karena autoritas (Ikatan Akuntan Indonesia)
menggunakan istilah tersebut tanpa mempersoalkan apakah istilah tersebut layak atau tidak
padahal dia tahu bahwa istilah beban tidak valid (tidak dapat didukung secara
argumentatif).25

Agar kita tidak terkecoh atau terperangkap ke stratagem, beberapa prinsip yang diajukan
Nickerson (1986, hlm. 114-115) berikut dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan
argumen atau penalaran:

 The fact that an authoritative person holds a particular view does not make that view
correct.
 The fact that a highly knowledgeable individual holds a certain belief with respect to
his particular area of knowledge should carry some weight.
 A belief is not necessarily right because it is held by an expert.

Berkaitan dengan stratagem ini adalah imbauan autoritas yang tidak tepat (appeal to
inappropriate authority). Dengan taktik ini, penalar berusaha untuk meningkatkan kredibilitas
dan daya bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bahwa posisi tersebut juga dipegang oleh
orang yang diakui sebagai ahli di bidang yang tidak berpautan dengan masalah yang dibahas.
Memang orang yang telah menyandang julukan ahli atau pakar pada umumnya mempunyai
kemampuan yang baik juga dalam menalar suatu gagasan di luar bidang keahliannya. Akan
tetapi, tidak selayaknyalah dalam berargumen kita berasumsi bahwa orang yang memenuhi
kualifikasi untuk berbicara dengan penuh autoritas dalam suatu bidang ilmu (karena telah
menekuninya cukup lama) juga dengan sendirinya memenuhi kualifikasi untuk berbicara
dengan penuh autoritas dalam bidang ilmu lain yang tidak berkaitan. Untuk tujuan
sensasional, jurnalis media masa atau televisi sering mengundang pakar atau penguasa untuk
berbicara tentang masalah yang tidak dikuasainya atau yang keahliannya tidak bersangkutan
sama sekali dengan masalah yang diberitakan.

 Imbauan Tradisi

Dalam beberapa hal, orang sering mengerjakan sesuatu dengan cara tertentu semata-mata
karena memang begitulah cara yang telah lama dikerjakan orang. Dalam dunia ilmiah atau
akademik, orang sering memegang suatu keyakinan dengan mengajukan argumen bahwa
memang demikianlah orang-orang mempu-nyai keyakinan. Namun, kenyataan bahwa sesuatu
telah lama dikerjakan dengan cara tertentu di masa lampau tidak dengan sendirinya menjadi
argumen untuk meneruskan cara tersebut khususnya kalau terdapat cara lain yang terbukti
lebih valid atau baik (secara rasional dan praktis).
Misalnya seorang dosen berargumen bahwa skripsi mahasiswa harus ditulis dengan mesin
ketik (bukan komputer) karena tradisi penulisan jaman dulu atau, bila boleh menggunakan
komputer, dosen melarang mahasiswa mencetak kata yang biasanya diberi garis bawah
dengan huruf miring karena mempertahankan tradisi penulisan ilmiah jaman sebelum
datangnya komputer. Di sini, dosen terse-but tidak lagi berkepentingan untuk mengevaluasi
argumen bahwa jaman dulu suatu kata diberi garis bawah karena mesin ketik tidak dapat
menghasilkan huruf miring sementara itu secara tipografis penekanan kata akan lebih baik
tampilan-nya kalau kata dicetak dengan huruf miring (garis bawah merupakan distraksi).

 Dilema Semu

Dilema semu (false dilemma) adalah taktik seseorang untuk mengaburkan argu-men
dengan cara menyajikan gagasannya dan satu alternatif lain kemudian mengkarakterisasi
alternatif lain sangat jelek, merugikan, atau mengerikan sehingga tidak ada cara lain kecuali
menerima apa yang diusulkan penggagas. Misalnya, dalam suatu perdebatan tentang
amandemen udang-undang dasar, seo-rang anggota fraksi mengatakan (untuk meyakinkan
anggota dewan yang lain): “Kita harus menyetujui amandemen ini atau negara kita akan
hancur.”

Dasar pikiran argumen di atas adalah bahwa negara kita tidak boleh hancur dan
karenanya simpulannya adalah kita harus menyetujui amandemen. Kecohan terjadi karena
pengargumen mengklaim bahwa hanya ada dua alternatif dan yang satu jelas tidak diinginkan
sehingga hanya alternatif yang diusulkannya yang harus diterima. Akan tetapi, dia mengecoh
seakan-akan hanya ada dua alternatif padahal kenyataannya ada beberapa alternatif lain yang
lebih valid. Sayangnya, dalam banyak hal, orang tidak cukup kritis untuk menanyakan
apakah ada alter-natif lain yang lebih masuk akal.

Pendapat dalam artikel dosen anda. Anda tidak setuju dengan pendapat tersebut karena
memang pendapat itu tidak valid secara akademik tetapi anda mendukung secara penuh
pendapat tersebut karena dosen tersebut akan keras terhadap anda. Konklusi di sini adalah
pendapat dosen tersebut valid meskipun bukti akademik tidak mendukung.

Dari dua contoh di atas, faktor yang membuat argumen menjadi persuasif adalah motif
bukan validitas argumen. Kedua stratagem tersebut menempatkan orang menjadi tidak enak
kalau tidak menerima (meyakini) konklusi meskipun keduanya tidak mengajukan bukti
pendukung untuk meyakinkan bahwa konklusi adalah benar (valid).

 Imbauan Emosi

Apa yang dibahas sebelumnya adalah stratagem yang semata-mata menggunakan


muslihat (trick) yang oleh Cederblom dan Paulsen (1986) disebut tipu daya (kecekatan)
tangan pesulap (sleight of hand) tanpa melibatkan emosi pihak yang dituju. Daya bujuk
argumen sering dicapai dengan cara membaurkan emosi dengan nalar (disebut confusing
emotion with reason atau motive in place of sup-port). Pendeknya, daya nalar orang
dimatikan dengan cara menggugah emosinya. Membidik orangnya (argumen ad hominem)
atau imbauan autoritas sebenarnya merupakan salah satu bentuk imbauan emosi.

Dengan menggugah emosi, pengargumen sebenarnya berusaha menggeser dukungan


nalar (support) validitas argumennya dengan motif (motive). Dengan taktik ini, emosi orang
yang dituju diagitasi sehingga dia merasa tidak enak untuk tidak menerima alasan yang
diajukan. Dua stratagem yang dapat digunakan untuk mencapai hal ini adalah imbauan belas
kasih (appeal to pity) dan imbauan tekanan/kekuasaan (appeal to force).

Orang dikatakan telah memanfaatkan imbauan belas kasih ke anda bilamana dia
memaksa anda menyetujui sesuatu karena kalau anda tidak setuju dia akan menderita.
Misalnya, seorang mahasiswa yang telah dikeluarkan dari universitas (memang secara
akademik tidak mampu menyelesaikan kuliahnya dalam waktu yang ditentukan) datang ke
anda (kebetulan menjabat rektor) dan mengajukan pencabutan keputusan tersebut dan
mengajukan argumen bahwa keputusan pengeluarannya akan menyebabkan dia dalam
kesulitan dan penderitaan. Hal itu diajukan karena dia tahu benar bahwa memang dia pantas
dikeluarkan atas dasar argumen akademik dan rasional. Anda tidak jadi mengeluarkannya
karena anda tahu bahwa orang tersebut akan makin menderita kalau permohonan tidak dika-
bulkan. Akhirnya anda mengeluarkan surat untuk membolehkan mahasiswa tersebut
meneruskan kuliah dengan menyatakan bahwa mahasiswa tersebut mampu secara akademik.
Konklusi di sini adalah mahasiswa mampu menyelesaikan kuliah meskipun bukti tidak
mendukung.

B. Salah Nalar (Reasoning Fallacy)

Suatu argumen boleh jadi tidak meyakinkan atau persuasif karena argumen terse-but tidak
didukung dengan penalaran yang valid. Dengan kata lain, argumen men-jadi tidak efektif
karena tia mengandung kesalahan struktur logika atau karena tia tidak masuk akal
(unreasonable). Salah nalar terjadi apabila penyimpulan tidak didasarkan pada kaidah-kaidah
penalaran yang valid. Jadi, salah nalar adalah kesalahan struktur atau proses formal penalaran
dalam menurunkan sim-pulan sehingga simpulan menjadi salah atau tidak valid.

Berbeda dengan stratagem yang lebih merupakan taktik atau pendekatan yang sengaja
digunakan untuk meyakinkan kebenaran suatu asersi, salah nalar merupakan suatu bentuk
kesalahan penyimpulan lantaran penalarannya mengan-dung cacat sehingga simpulan tidak
valid atau tidak dapat diterima. Demikian juga, salah nalar biasanya bukan kesengajaan
(intentional) dan tidak dimaksud-kan untuk mengecoh atau mengelabuhi (to deceive). Kalau
toh kecohan atau pengelabuhan terjadi, hal tersebut semata-mata karena penalar tidak
menyadari bahwa proses atau struktur penalarannya keliru sehingga dia sendiri terkecoh.
Jadi, kecohan atau salah nalar terjadi lantaran penalar salah dalam mengaplikasi kaidah
penalaran.

Walaupun salah nalar dapat dipakai sebagai suatu stratagem atau penalaran yang layak
sering didukung dengan stratagem, tidak selayaknyalah kaidah penalaran yang sangat baik
ditolak semata-mata karena itu sering disalahgunakan. Penalaran juga bersifat kontekstual.
Artinya, penalaran valid yang efektif dalam konteks yang satu belum tentu efektif dalam
konteks yang lain. Demikian juga, stratagem yang efektif dalam suatu situasi belum tentu
efektif dalam situasi yang lain. Berikut ini dibahas beberapa salah nalar yang banyak
dijumpai dalam diskusi atau karya tulis profesional, akademik, atau ilmiah.

 Menegaskan Konsekuen

Telah disinggung sebelumnya bahwa agar argumen valid maka tia harus mengiku-ti
kaidah menegaskan anteseden (affirming the antecedent atau modus ponens). Bila simpulan
diambil dengan pola premis yang menegaskan konsekuen, akan terjadi salah nalar. Berikut
struktur dan contoh argumen yang valid dan salah nalar.
Contoh 1:
Premis (1): Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah.
Premis (2): Saya tidak di Jawa Tengah.
Konklusi: Saya tidak di Semarang
Contoh 2
Premis (1): Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah.
Premis (2): Saya tidak di Semarang.
Konklusi: Saya tidak di Jawatengah

Dalam contoh di atas, premis (2) “Saya di Semarang” menegaskan anteseden “Jika saya
di Semarang” sehingga konklusi pasti benarnya secara umum sedang-kan premis (2) “Saya di
Jawa Tengah” di sebelah kanan menegaskan konsekuen sehingga konklusinya tidak valid
secara umum. Jadi, untuk contoh sebelah kanan, simpulan “Saya di Semarang” adalah tidak
valid karena simpulan tidak mengikuti premis (does not follow from the premises).
Kenyataan bahwa seseorang ada di Jawa Tengah tidak dengan sendirinya dia ada di
Semarang.

Dalam hal ini, penalar terkecoh karena menyamakan atau merancukan per-nyataan atau
premis (1) “Jika saya di Semarang, maka saya di Jawa Tengah” dengan premis “Jika saya di
Jawa Tengah, maka saya di Semarang.” Premis tera-khir ini menjadikan konklusi di sebelah
kanan (“Saya di Semarang”) valid.26 Salah nalar terjadi karena premis “Jika A, maka B”
disamakan dengan premis “Jika B, maka A” padahal kenyataannya tidak selalu demikian.
Kecohan ini sering terjadi karena dalam beberapa hal memang benar bahwa kalau B
mengikuti A maka benar pula bahwa A mengikuti B. Misalnya pernyataan “bila ada api,
maka ada asap” dapat dinyatakan pula “bila ada asap, maka ada api” karena memang
demikian adanya. Kedua pernyataan tersebut merupakan pernyataan fakta yang tidak dapat
disangkal.

 Menyangkal Anteseden

Kebalikan dari salah nalar menegaskan konsekuen adalah menyangkal anteseden. Suatu
argumen yang mengandung penyangkalan akan valid apabila konklusi ditarik mengikuti
kaidah menyangkal konsekuen (denying the consequent atau modus tollens). Bila simpulan
diambil dengan struktur premis yang menyangkal anteseden, simpulan akan menjadi tidak
valid. Berikut struktur dan contoh argu-men yang valid dan salah nalar.

Konklusi di sebelah kanan tidak valid karena premis (2) menyangkal antese-den (“Jika
saya di Semarang”). Konklusi akan valid bila premis (1) diubah menjadi “Jika saya di Jawa
Tengah, maka saya di Semarang” sehingga argumen mengikuti pola modus tollens. Akan
tetapi, makna premis ini tidak lagi sama dengan makna premis semula. Jadi, salah nalar
akibat menegaskan konsekuen atau menyangkal anteseden dapat terjadi karena makna “jika
A, maka B” disamakan atau dikacau-kan dengan “jika B, maka A.

 Pentaksaan (Equivocation)

Salah nalar dapat terjadi apabila ungkapan dalam premis yang satu mempunyai makna
yang berbeda dengan makna ungkapan yang sama dalam premis lainnya. Dapat juga, salah
nalar terjadi karena konteks premis yang satu berbeda dengan konteks premis lainnya.
Argumen dalam bahasa Inggris berikut memberi ilustrasi salah nalar ini (Nickerson, 1986,
hlm. 4). Secara struktural, argumen di atas menjadi salah nalar karena kata nothing dalam
premis major berbeda maknanya dengan kata nothing dalam premis minor. Dalam premis
major, nothing bermakna tidak ada satupun dari himpunan objek yang memenuhi syarat
sehingga kebahagiaan abadi adalah satu-satunya yang ter-baik. Sementara itu, nothing dalam
premis minor bermakna tidak tersedianya anggota lain dalam himpunan yang di dalamnya
ham sandwhich merupakan salah satu anggota sehingga ham sandwhich bukan satu-satunya
yang terbaik.28 Jadi, nothing dalam premis major mensyiratkan kebahagiaan abadi sebagai
sesuatu yang terbaik sedangkan nothing dalam premis minor mensyiratkan ham sand-which
sebagai sesuatu yang terjelek sehingga konklusi tidak masuk akal atau tidak valid. Salah nalar
seperti ini terjadi karena penalar bermaksud menerapkan kaidah transitivitas (transitivity)
tetapi tidak memenuhi syarat. Transitivitas dan contoh dapat dinyatakan sebagai berikut:

Kaidah: Contoh:

Premis (1): B > C. Premis (1): Baroto lebih rajin daripada Candra.
Premis (2): A > B. Premis (2): Anton lebih rajin daripada Baroto.
Konklusi: A > C. Konklusi: Anton lebih rajin daripada Candra.

Argumen dalam contoh di atas valid apabila unsur B atau Baroto mengacu pada makna atau
objek yang sama sehingga tidak terjadi pentaksaan.

 Perampatan-lebih (Overgeneralization)

Salah nalar yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah melekat-kan
(mengimputasi) karakteristik sebagian kecil anggota ke seluruh anggota him-punan, kelas,
atau kelompok secara berlebihan. Bila seseorang menyimpulkan bahwa warga Kampung X
adalah pencuri karena dia mendapati bahwa dua pen-curi yang baru saja ditangkap berasal
dari Kampung X maka dia telah melakukan salah nalar.

Perampatan atau generalisasi itu sendiri bukan merupakan salah nalar. Kemampuan
merampatkan merupakan suatu kemampuan intelektual yang sangat penting dalam
pengembangan ilmu. Masalahnya adalah bila derajat peram-patan begitu ekstrem (atas dasar
sampel atau pengamatan terbatas) sehingga mengabaikan kemungkinan bahwa apa yang
diamati merupakan peluar (outlier) atau pengecualian (exceptions to the rule). Dalam
penelitian empiris, ukuran sampel yang terlalu kecil dan kurangnya kerepresentatifan sampel
dapat menghasilkan konklusi yang keliru.

Salah nalar yang bartalian dengan perampatan lebih adalah apa yang dikenal dengan
istilah penstereotipaan (stereotyping). Salah nalar ini terjadi bila penalar mengkategori
seseorang sebagai anggota suatu kelompok kemudian melekatkan semua sifat atau kualitas
kelompok kepada orang tersebut. Misalnya, orang mengetahui bahwa para akuntan publik
umumnya adalah kaya (sifat kelompok). Salah nalar dapat terjadi kalau penalar
menyimpulkan bahwa Hariman pasti kaya karena dia adalah akuntan publik.

 Parsialitas (Partiality)

Penalar kadang-kadang terkecoh karena dia menarik konklusi hanya atas dasar sebagian
dari bukti yang tersedia yang kebetulan mendukung konklusi. Hal ini mirip dengan
perampatan lebih lantaran sampel kecil atau ketakrepresentatifan bukti. Kadang-kadang kita
sengaja memilih dan melekatkan bobot yang tinggi pada bukti (argumen) yang cenderung
mendukung konklusi atau keyakinan yang kita sukai dengan mengabaikan bukti yang
menentang konklusi tersebut. Kesa-lahan semacam ini tidak harus merupakan suatu
stratagem karena penalar tidak bermaksud mengecoh atau menjatuhkan lawan tetapi karena
semata-mata dia tidak objektif (bias) dalam penggunaan atau pengumpulan bukti.

Dalam penelitian, peneliti sering bias dalam pengumpulan data dengan mem-buat
pertanyaan yang mengarahkan responden (disebut leading questions). Bila peneliti berupaya
untuk mendukung teori yang disukainya dengan mengarahkan bukti secara bias, hal tersebut
disebut membangun kasus (building the case).

 Pembuktian dengan Analogi

Telah dibahas sebelumnya bahwa analogi bukan merupakan cara untuk membuk-tikan (to
prove) validitas atau kebenaran suatu asersi. Analogi lebih merupakan suatu sarana untuk
meyakinkan bahwa asersi konklusi mempunyai kebolehjadian (likelihood) untuk benar.
Dengan kata lain, bila premis benar, konklusi atas dasar analogi belum tentu benar. Jadi,
analogi dapat menghasilkan salah nalar.

Menyatakan bahwa dua objek sama atau serupa dalam beberapa aspek (misal-nya a, b,
dan c) lebih dimaksudkan untuk menunjukkan kemiripan kedua objek tersebut. Namun
demikian, mengetahui bahwa dua objek sama dalam aspek a, b, dan c tidak menjadi bukti
bahwa kedua objek tersebut juga sama dalam aspek d. Bila diketahui bahwa kedua objek
tersebut serupa dalam aspek d maka analogi tidak diperlukan untuk membuktikannya.

Bila tidak diketahui bahwa dua objek sama dalam aspek d, salah nalar dapat terjadi bila
orang mengatakan bahwa karena X analogus dengan Y dalam aspek a, b, dan c, X juga pasti
punya d karena Y punya d. Jadi, Y punya d bukan merupa-kan bukti bahwa X punya d
meskipun X dan Y analogus. Kesalahan semacam ini dapat dicontohkan sebagai berikut:

Premis (1): Komputer mempunyai CPU yang bekerja seperti otak.


Premis (2): Otak berpikir.
Konklusi: Komputer berpikir.

Dalam pengembangan istilah, analogi sering diartikan sebagai mengikuti kaidah atau
struktur ungkapan yang sama. Dengan makna ini, menggunakan analogi untuk menurunkan
istilah bukan merupakan salah nalar tetapi merupa-kan sarana untuk mengaplikasi kaidah
secara taat asas.
Salah nalar justru akan terjadi kalau kaidah tidak diikuti. Berikut ini adalah contoh
penurunan istilah (padan kata) Indonesia atas dasar penerjemahan istilah Inggris dengan
analogi.
Premis (1): Real number diterjemahkan atau diserap menjadi bilangan real.
Premis (2): Real asset diterjemahkan atau diserap menjadi aset real.
Premis (3): Round table diterjemahkan atau diserap menjadi meja bundar.
Konklusi: Real estate diterjemahkan atau diserap menjadi estat real.

Konklusi atas dasar analogi di atas valid karena konklusi mengikuti kaidah (struktur)
yang melekat pada tiap premis. Bahasa Indonesia mengikuti kaidah DM (diterangkan-
menerangkan) sedangkan bahasa Inggris mengikuti kaidah MD (menerangkan-diterangkan).
Salah nalar terjadi justru kalau real estate diserap menjadi real estat sebagaimana terlihat
dalam Standar Akuntansi Keuangan, PSAK No. 44. Salah nalar terjadi karena kaidah
penalaran pembentukan istilah dilanggar yaitu menggunakan kaidah MD untuk istilah bahasa
Indonesia.

 Merancukan Urutan Kejadian dengan Penyebaban

Dalam percakapan sehari-hari atau diskusi, kesalahan yang sering dilakukan orang adalah
merancukan urutan kejadian (temporal succession) dengan penye-baban (causation). Bila
kejadian B selalu mengikuti kejadian A, orang cenderung menyimpulkan bahwa B
disebabkan oleh A. Karena malam selalu mengikuti siang, tidak berarti bahwa siang
menyebabkan malam. Salah nalar terjadi bila urutan kejadian disimpulkan sebagai
penyebaban. Kesalahan ini sering disebut dalam bahasa Latin post hoc ergo propter hoc
(setelah ini, maka karena ini).

Telah dibahas sebelumnya bahwa urutan kejadian hanyalah merupakan salah satu syarat
untuk menyatakan adanya penyebaban (lihat kembali subbahasan Argumen Sebab-Akibat di
halaman 60). Syarat ini merupakan syarat perlu (neces-sary condition) untuk penyebaban
tetapi bukan syarat cukup (sufficient condi-tion). Kalau A memang menyebabkan B maka
perlu dipenuhi syarat bahwa A selalu mendahului B. Syarat ini makin kuat mendukung
penyebaban bilamana hubungan A dan B adalah asimetri. Artinya, kejadian “A mendahului
B” tidak sama atau tidak berpasangan dengan kejadian “B mendahului A” (kejadian “B
mendahului A” tidak ada). Dua syarat lain yang harus dipenuhi agar cukup untuk menyatakan
adanya penyebaban adalah B bervariasi dengan A dan tidak ada fak-tor lain selain A yang
menyebabkan B berubah.

 Menarik Simpulan Pasangan

Kemampuan seseorang untuk menyajikan argumen sering menjadikan argumen yang


valid atau benar menjadi kurang meyakinkan. Akibatnya, orang sering lalu menyimpulkan
bahwa konklusinya tidak benar atau valid. Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa
kemampuan seseorang untuk menyajikan argumen yang mendukung atau menyangkal suatu
posisi tidak menentukan kebenaran (truth) atau ketakbenaran (falsity) konklusi (posisi).
Kebenaran konklusi atau posisi memang harus didukung oleh argumen yang meyakinkan.

Salah nalar terjadi kalau orang menyimpulkan bahwa suatu konklusi salah lantaran
argumen tidak disajikan dengan meyakinkan (tidak konklusif) sehingga dia lalu
menyimpulkan bahwa konklusi atau posisi pasanganlah yang benar. Kecohan ini mirip
dengan bentuk salah nalar menyangkal anteseden yang telah dibahas sebelumnya. Kecohan
ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

Premis (1): Jika seseorang dapat menyajikan suatu argumen yang meyakinkan, maka
konklusinya benar (valid).
Premis (2): Pak Antoni menyajikan argumennya dengan tidak meyakinkan.
Konklusi: Konklusi atau posisinya takbenar. Posisi pasangannya yang benar.

Jadi, mengambil konklusi pasangan lantaran konklusi yang diajukan tidak disajikan
secara meyakinkan merupakan suatu salah nalar. Kalau suatu per-nyataan yang memang valid
disajikan dengan argumen yang kurang efektif, maka hal terbaik yang dapat disimpulkan
adalah bahwa validitas atau kebenaran per-nyataan tersebut belum terungkap atau
ditunjukkan tetapi tidak berarti bahwa pernyataan tersebut tak benar.
Dalam pengembangan ilmu dikenal suatu pendekatan atau semangat untuk menguji
suatu teori yang disebut penyanggahan atau refutasi ilmiah (scientificrefutation). Semangat
ini dilandasi oleh pikiran bahwa suatu teori ilmiah tidak harus dapat dibuktikan benar tetapi
harus dapat disanggah (dibuktikan salah) kalau tia memang salah; misalnya dengan
pengajuan teori baru yang lebih baik. Dasar pikiran ini sering disebut dengan prinsip
ketersalahan atau keterbuktisa-lahan (principle of falsifiability). Bila ilmuwan tidak dapat
menunjukkan dengan meyakinkan bahwa teori barunya lebih valid, maka ilmuwan terpaksa
“meneri-ma” teori yang disanggahnya. Prosedur penyimpulan semacam ini bukan meru-
pakan salah nalar tetapi lebih merupakan usaha untuk mencapai ketegaran ilmiah (scientific
rigor). Hal ini penting agar orang tidak dengan mudah mengganti teori dengan teori yang
belum teruji secara meyakinkan. Namun, prosedur ini mengandung risiko yaitu ilmuwan
tidak menolak teori yang disangkalnya padahal teori tersebut sebenarnya salah. Jadi, ilmuwan
“menerima” teori yang salah. Risiko ini disebut kesalahan penyimpulan (error of inference)
dan harus dihindari.

6. Aspek Manusia Dalam Penalaran

Stratagem dan salah nalar yang dibahas di atas belum mencakup semua stratagem dan
kecohan yang mungkin terjadi. Masih banyak cara atau proses yang mengaki-batkan
kecohan. Uraian di atas juga belum menyinggung aspek manusia dalam penalaran. Namun,
pembahasan di atas memberi gambaran bahwa penalaran untuk meyakinkan kebenaran atau
validitas suatu pernyataan bukan merupakan proses yang sederhana.

Telah disinggung sebelumnya bahwa mengubah keyakinan melalui argumen dapat


merupakan proses yang kompleks karena pengubahan tersebut menyangkut dua hal yang
berkaitan yaitu manusia yang meyakini dan asersi yang menjadi objek keyakinan. Manusia
tidak selalu rasional dan bersedia berargumen sementa-ra itu tidak semua asersi dapat
ditentukan kebenarannya secara objektif dan tun-tas. Hal ini tidak hanya terjadi dalam
kehidupan umum sehari-hari tetapi juga dalam dunia ilmiah dan akademik yang menuntut
keobjektifan tinggi. Yang mem-prihatikan dunia akademik adalah kalau para pakar pun lebih
suka berstratagem daripada berargumen secara ilmiah. Berikut ini dibahas beberapa aspek
manusia yang dapat menjadi penghalang (impediments) penalaran dan pengembangan ilmu,
khususnya dalam dunia akademik atau ilmiah.

A. Penjelasan Sederhana

Rasionalitas menuntut penjelasan yang sesuai dengan fakta. Kebutuhan akan penjelasan
terhadap apa yang mengusik pikiran merupakan fundasi berkembang-nya ilmu pengetahuan.
Namun, keingingan yang kuat untuk memperoleh penje-lasan sering menjadikan orang puas
dengan penjelasan sederhana yang pertama ditawarkan sehingga dia tidak lagi berupaya
untuk mengevaluasi secara saksama kelayakan penjelasan dan membadingkannya dengan
penjelasan alternatif. Dengan kata lain, orang menjadi tidak kritis dalam menerima
penjelasan. Akibat-nya, argumen dan pencarian kebenaran akan terhenti sehingga
pengembangan ilmu pengetahuan akan terhambat.

B. Kepentingan Mengalahkan Nalar

Hambatan untuk bernalar sering muncul akibat orang mempunyai kepentingan tertentu
(vested interest) yang harus dipertahankan. Kepentingan sering memaksa orang untuk
memihak suatu posisi (keputusan) meskipun posisi tersebut sangat lemah dari segi argumen.
Dalam dunia akademik dan ilmiah, kepentingan untuk menjaga harga diri individual atau
kelompok (walaupun semu) dapat menyebabkan orang (akademisi atau ilmuwan) berbuat
yang tidak masuk akal. Hal ini terjadi umumnya pada mereka yang sudah mendapat julukan
pakar atau ilmuwan yang kebetulan mem-punyai kekuasaan politis (baik formal atau
informal). Nickerson (1986) menggam-barkan hal ini dengan mengatakan bahwa people with
good reasoning ability may find themselves behaving in an unreasonable way.34

Kebebasan akademik merupakan suatu ciri penting lingkungan akademik yang kondusif
untuk pengembangan pengetahuan dan profesi (khususnya akun-tansi). Kebebasan akademik
harus diartikan sebagai kebebasan untuk berbeda pendapat secara akademik dalam suatu
forum yang memungkinkan akademisi berargumen secara terbuka. Sikap akademisi yang
patut dihargai adalah keberse-diaan untuk berargumen.

Sikap ilmiah menuntut akademisi (termasuk pengelola suatu institusi) untuk berani
membaca dan memahami gagasan alternatif dan, kalau gagasan tersebut valid dan menuju ke
perbaikan, bersedia membawa gagasan tersebut ke kelas atau diskusi ilmiah dan bukan
malahan mengisolasinya. Keberanian dan keberse-diaan seperti itu merupakan suatu ciri
sikap ilmiah dan akademik yang sangat ter-puji (respected). Ini tidak berarti bahwa
ilmuwan/akademisi harus selalu setuju dengan suatu gagasan. Ketidaksetujuan dengan suatu
gagasan itu sendiri (setelah berani membaca) merupakan suatu sikap ilmiah asal dilandasi
dengan argumen yang bernalar dan valid. Ketidakberanian dan ketidakbersediaan itulah yang
merupakan sikap tidak ilmiah (akademik) dan justru hal ini sering terjadi dalam dunia
akademik tidak hanya pada masa sekarang tetapi juga masa lalu.

Sikap pakar dan akademisi yang tidak masuk akal tersebut, yang sering dise-but sebagai
sikap yang insulting the intelligence. Sikap kolega senior Galileo untuk tidak bersedia
mempertimbangkan bukti yang diajukan Galileo melalui teleskopnya sebenarnya merupakan
sikap tidak ilmiah. Apapun motifnya, sikap tersebut menjadi tidak masuk akal mengingat
kolega Galileo tersebut adalah para pakar dan ilmuwan (bahkan juga merupakan pemuka
masyarakat dan penguasa). Sikap kurang terpuji ini akan menjadikan perbedaan pandangan
(disagreement) tidak akan terbuka untuk didiskusi dan kebenaran ilmiah tidak akan dicapai.
Keadaan ini dapat membingungkan masyarakat akademik dan menghambat pengembangan
pengetahuan. Lingkungan akademik seperti di atas biasanya berkembang akibat sikap
akademisi itu sendiri yang membentuk budaya akademik. Budaya akademik yang dapat
menghambat kemajuan pengetahuan adalah apa yang penulis sebut sebagai sindroma tes
klinis (kalau diinggriskan menjadi clinical test syndrom) dan mentalitas Djoko Tingkir
(Djoko Tingkir mentality).

C. Sindroma Tes Klinis

Sindroma ini menggambarkan seseorang yang merasa (bahkan yakin) bahwa terdapat
ketidakberesan dalam tubuhnya dan dia juga tahu benar apa yang terjadi karena
pengetahuannya tentang suatu penyakit. Akan tetapi, dia tidak berani untuk memeriksakan
diri dan menjalani tes klinis karena takut bahwa dugaan tentang penyakitnya tersebut benar.
Akhirnya orang ini tidak memeriksakan diri ke dokter dan mengatakan pada orang lain
bahwa dirinya sehat. Jadi, orang ini takut mengetahui kebenaran gagasan sehingga
menghindarinya secara semu.
Dalam dunia akademik, sindroma semacam ini dapat terjadi kalau seseorang mempunyai
pandangan yang menurut dirinya sebenarnya keliru atau tidak valid lagi karena adanya
pandangan atau gagasan baru. Gagasan baru dia peroleh karena dia sering mendengar dari
kolega atau mahasiswa. Orang lain memperoleh gagasan baru tersebut dari artikel atau hasil
penelitian ilmiah. Dalam kondisi seperti ini, akademisi sering tidak berani untuk membaca
sumber gagasan karena takut jangan-jangan pendapatnya yang telah telanjur disebarkan
kepada mahasiswa benar-benar keliru. Dapat juga, akademisi tersebut memang berani
membaca dan benar-benar dapat menerima argumen tetapi di muka umum (kelas) dia
bersikap seolah-olah tidak pernah tahu gagasan baru tersebut (bersikap tak peduli) apalagi
membahasnya di kelas dengan cukup dalam. Manifestasi lain dari sindroma ini adalah
akademisi (dosen) mengisolasi gagasan baru agar mahasiswa tidak pernah tahu semata-mata
untuk menutupi kelemahan suatu gagasan lama yang dianutnya. Bila sindroma semacam ini
banyak diindap oleh akademisi, dapat dipastikan kemajuan pengetahuan dan profesi akan
terhambat dan rugilah dunia pendidikan.

D. Mentalitas Djoko Tingkir

Bila kepentingan mengalahkan nalar sebagaimana digambarkan dalam kasus Galileo di


atas, maka pengembangan ilmu pengetahuan dapat terhambat dan pada gilirannya praktik
kehidupan yang lebih baik juga ikut terhambat. Sayangnya, ilmuwan atau akademisi yang
merasa ada di bawah kekuasaan kolega senior sering memihak seniornya dan mengajarkan
apa yang sebenarnya salah dengan menyembunyikan apa yang sebenarnya valid semata-mata
untuk menghormati kolega senior (atau kelompoknya) atau untuk melindungi diri dari
tekanan senior. Akibatnya, timbul situasi yang di dalamnya argumen yang lemah harus
dimenang-kan dan dilestarikan semata-mata karena kekuasaan. Ini berarti kekuasaan lebih
unggul dari penalaran.

Budaya Djoko Tingkir digunakan untuk menggambarkan lingkungan aka-demik atau


profesi seperti ini karena konon perbuatan Djoko Tingkir yang tidak terpuji harus dibuat
menjadi terpuji dengan cara mengubah skenario yang sebe-narnya terjadi semata-mata untuk
menghormatinya karena dia bakal menjadi raja (kekuasaan). Dalam dunia akademik, status
pakar merupakan kekuasaan atau autoritas akademik. Kepakaran merupakan kekuasaan
karena orang dapat mem-peroleh kekuasaan dan kedudukan (baik politik, struktural, atau
institusional) lantaran pengetahuan atau ilmunya. Namun, tidak semestinya kalau kekuasaan
tersebut lalu menentukan ilmu. Dunia akademik harus mengembangkan ilmu atas dasar
validitas argumen dan bukan atas dasar kekuasaan politik/jabatan.

E. Merasionalkan Daripada Menalar

Bila karena keberpihakan, kepentingan, atau ketakkritisan, orang telanjur meng-ambil


posisi dan ternyata posisi tersebut salah atau lemah, orang ada kalanya berusaha untuk
mencari-cari justifikasi untuk membenarkan posisinya. Dalam hal ini, tujuan diskusi bukan
lagi untuk mencari kebenaran atau validitas tetapi untuk membela diri atau menutupi rasa
malu. Bila hal ini terjadi, orang tersebut sebenarnya tidak lagi menalar (to reason) tetapi
merasionalkan (to rationalize).

Sikap merasionalkan posisi dapat terjadi karena keterbatasan pengetahuan orang


bersangkutan dalam topik yang dibahas tetapi orang tersebut tidak mau mengakuinya. Agar
argumen berjalan dengan baik, para penalar paling tidak harus mempunyai pengetahuan yang
cukup dalam topik yang dibahas. Kurangnya pengetahuan (topical knowledge) dapat
menjebak orang untuk lari ke stratagem daripada argumen yang layak.

Sikap merasionalkan dalam diskusi dapat menimbulkan pertengkaran mulut, perselisihan


pendapat (dispute), atau debat kusir. Dalam situasi ini, pihak yang terlibat dalam diskusi
biasanya tidak lagi mengajukan argumen yang sehat untuk mendukung posisi tetapi
mengajukan argumen kusir (pedestrian argument) untuk menyalahkan pihak lain dan
memenangi perselisihan. Jadi, tujuan diskusi bukan lagi mencari solusi tetapi mencari
kemenangan (kadang-kadang menangnya sendi-ri). Memenangi debat (selisih pendapat) dan
meyakinkan suatu gagasan adalah dua hal yang sangat berbeda. Untuk memenangi selisih
pendapat, faktor emosio-nal lebih banyak berperan daripada faktor rasional atau penalaran.
Pakarpun kadang-kadang lebih suka berdebat daripada berargumen.

F. Persistensi

Karena kepentingan tertentu harus dipertahankan atau karena telah lama mele-kat dalam
rerangka pikir, seseorang kadang-kadang sulit melepaskan suatu keya-kinan dan
menggantinya dengan yang baru. Dengan kata lain, orang sering berteguh atau persisten
terhadap keyakinannya meskipun terdapat argumen yang kuat bahwa keyakinan tersebut
sebenarnya salah sehingga dia seharusnya melepaskan keyakinan tersebut.

Sampai tingkat tertentu persistensi merupakan sikap yang penting agar orang tidak
dengan mudahnya pindah dari keyakinan atau paradigma yang satu ke yang lain. Paradigma
adalah satu atau beberapa capaian ilmu pengetahuan pada masa lalu (past scientific
achievements) yang diakui oleh masyarakat ilmiah pada masa tertentu sebagai basis atau
tradisi untuk mengembangkan ilmu penge-tahuan dan praktik selanjutnya. Capaian
(achievements) dalam ilmu pengetahuan (sciences) dapat berupa filosofi, postulat, konsep,
teori, prosedur ilmiah, atau pendekatan ilmiah. Untuk menjadi paradigma, suatu capaian
harus mempunyai penganut yang cukup teguh dan capaian tersebut bersaing dengan capaian
atau kegiatan ilmiah lain yang juga mempunyai sekelompok penganut. Paradigma
harus terbuka untuk diperbaiki atau diganti oleh capaian pesaing atau baru sehingga
dimungkinkan terjadi pergeseran atau pergantian paradigma dari masa ke masa (conversion
of paradigm). Konversi dapat terjadi pada diri ilmuwan secara individual pada masa hidupnya
atau pada generasi ilmuwan ke generasi ilmuwan berikutnya. Riwayat terjadinya konversi
paradigma antargenerasi disebut oleh Thomas Kuhn sebagai revolusi ilmiah (scientific
revolution).

Dalam dunia ilmiah, persistensi untuk tidak melepaskan suatu keyakinan dapat
dimaklumi kalau tujuannya adalah untuk memperoleh argumen atau bukti yang kuat untuk
menunjukkan bahwa keyakinan yang dianut memang salah. Tidak selayaknyalah suatu
keyakinan atau paradigma dipertahankan kalau memang terdapat bukti yang sangat
meyakinkan bahwa tia salah. Namun, manu-sia tidak selalu dapat bersikap objektif dan tidak
memihak (impartial). Karena kepentingan tertentu yang perlu dipertahankan, ilmuwan atau
pakar pun sering bersikap demikian sehingga konversi keyakinan sulit terjadi.

Memang menyedihkan apa yang dikatakan Planck bahwa gagasan baru yang benar (a
new scientific truth) mengungguli atau menang atas gagasan yang keliru bukan lantaran
pemegang gagasan lama sadar dan melihat sinar kebenaran melainkan lantaran generasi baru
telah menggantinya.
Sebagai manusia, ilmuwan atau pakar tidak selalu dapat mengakui kesalah-annya
meskipun dihadapkan pada bukti yang sangat telak (strict proof). Lagi pula,
konversi paradigma (atau keyakinan) bukanlah hal yang dapat dipaksakan sehing-ga
resistensi adalah takterhindarkan dan sah-sah saja (legitimate).

Berkaitan dengan persistensi adalah gejala psikologis atau perilaku manusia untuk
terpaku pada makna suatu simbol atau objek dan kemudian menjadikan orang tidak mampu
melihat makna alternatif atau objek alternatif. Orang secara intuitif melekatkan makna pada
suatu objek melalui pengalamannya dan sering tidak menyadari bahwa makna tersebut
bersifat kontekstual di masa lalu dan tidak lagi relevan dengan situasi yang baru. Perilaku
semacam ini dikenal dengan istilah keterpakuan atau fiksasi fungsional (functional fixation).
Dalam akuntansi, keterpakuan ini digunakan untuk menjelaskan mengapa investor tidak
mampu untuk mengubah keputusannya sebagai tanggapan atas perubahan proses akun-tansi
dalam menyediakan data laba. Orang hanya melihat angka laba (bottom line) dalam statemen
laba-rugi tanpa memperhatikan bagaimana laba tersebut ditentu-kan atau terpengaruh oleh
perubahan metoda (proses) akuntansi. Keterpakuan fungsional juga merupakan penghambat
terjadinya argumen yang sehat.38 Orang yang sudah terpaku dengan istilah “harga pokok
penjualan” akan sangat sulit untuk dapat menerima istilah “kos barang terjual” yang
sebenarnya lebih tepat menggambarkan makna istilah aslinya yaitu cost of goods sold.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek manusia sangat berperan dalam
argumen yang bertujuan mencari kebenaran. Rasionalitas merupakan unsur penting dalam
argumen. Walaupun demikian, faktor-faktor psikologis dan emosional, kekuasaan, dan
kepentingan pribadi atau kelompok juga berperan dan dapat menghalangi terjadinya argumen
yang sehat.

Anda mungkin juga menyukai