1. PENGERTIAN
Menurut Nickerson, penalaran adalah suatu proses berpikir logis dan sistematis untuk
membentuk dan mengavaluasi suatu keyakinan (belief) terhadap suatu pernyataan atau asersi.
Pernyataan tersebut dapat berupa teori (penjelasan) tentang suatu fenomena atau realitas alam,
ekonomik, politik atau sosial. Penalaran perlu diajukan dan dijabarkan untuk membentuk,
mempertahankan, atau mengubah keyakinan bahwa sesuatu (misalnya teori, pernyataan atau
penjelasan) adalah benar. Penalaran melibatkan inferensi (inference), yakni proses penurunan
konsekuensi logis dan melibatkan pula proses penarikan simpulan, konklusi dari serangkaian
pernyataan atau asersi. Proses ini dapat bersifat deduktif maupun induktif.1
Terdapat tiga konsep penting yang saling berhubungan sebagai dasar proses penalaran, yaitu:
1. Asersi, yakni suatu pernyataan (biasanya positif) yang menegaskan bahwa sesuatu
(misalnya teori) adalah benar. Asersi merupakan elemen pembetuk (ingredient) argumen
dan elemen keyakinan yang dihasilkan oleh penalaran (berupa simpulan).
2. Keyakinan, yakni tingkat kebersediaan (willingness) untuk menerima bahwa suatu
pernyataan atau teori (penjelasan) mengenai suatu fenomena atau gejala (alam atau sosial)
adalah benar. Keyakinan merupakan unsur penting penalaran karena keyakinan menjadi
objek atau sasaran penalaran dan karena keyakninan menentukan posisi (paham) dan sikap
seseorang terhadap suatu masalah yang menjadi topik bahasan.
3. Argumen, yaitu serangkaian asersi beserta keterkaitan (artikulasi) dan inferensi atau
penyimpulan yang digunakan untuk mendukung suatu keyakinan. Argumen digunakan
untuk membentuk, memelihara atau mengubah suatu keyakinan.
Gambar 1 menunjukkan bahwa argumen dalam proses penalaran merupakan salah satu
bentuk bukti. Bukti ini disebut sebagai argumentasi rasional oleh Mautz dan Sharaf dalam The
Philosophy of Auditing (1964). Bukti lainnya adalah bukti natural dan bukti ciptaan. Bukti
merupakan sesuatu yang memberi dasar rasional dalam pertimbangan untuk menetapkan
kebanaran suatu pernyataan. Dalam teori akuntansi, pertimbangan diperlukan untuk menetapkan
relevansi atau keefektifan suatu perlakuan akuntansi untuk mencapai tujuan akuntansi.
1
Raymon S. Nickerson dalam Suwardjono, Perekayasaan Laporan Keuangan, hal. 41-42.
1
Gambar 1. Proses dan Struktur Penalaran
3. ASERSI
a. Interpretasi
Asersi adalah suatu pernyataan yang menegaskan bahwa sesuatu adalah benar. Asersi
memuat penegasan tentang sesuatu hal atau realitas dan pada umumnya asersi dinyatakan
dalam bentuk kalimat.
Contoh:
1) Semua mahasiswa D4 STAN pandai akuntansi.
2) Bunga mawar memiliki duri
3) Tidak ada ayam jantan yang bisa bertelur
Beberapa asersi mengandung pengkuantifikasi yaitu semua (all), tidak ada (no), dan
beberapa (some). Asersi yang memuat pengkuantifikasi semua dan tidak ada merupakan asersi
universal sedangkan yang memuat penguantifikasi beberapa merupakan asersi spesifik.
Pengkuantifikasi diperlukan untuk menentukan ketermasukan (inclusiveness) atau
keuniversalan asersi.
Sebagai contoh, pernyataan “Gubernur di Indonesia dipilih secara langsung” tidak dapat
diinterpretasi sebagai asersi universal karena kita tahu pengecualian terhadap asersi tersebut
yaitu adanya gubernur yang tidak dipilih secara langsung, yaitu di DIY. Tanpa pengkuantifikasi
ketermasukan akan sangat sulit ditentukan.
Asersi dapat disajikan secara:
1. Makna/arti
Penyajian asersi secara makna sering menimbulkan salah interpretasi karena keterbatasan
bahasa atau karena kesalahan bahasa.
2
Contoh: asersi “Laki-laki lebih banyak makan daripada perempuan” bersifat ambigu karena
sulit diinterpretasi apa sesungguhnya maksud dari asersi tersebut.
2. Struktur/bentuk
Penyajian struktur umum asersi adalah
Semua A adalah B.
Tidak ada satupun A adalah B.
Beberapa A adalah B.
Penyajian asersi dalam struktur menyebabkan orang akan lebih memperhatikan validitas
asersi daripada isi asersi karena symbol A dan B dapat diganti dengan apapun sesuai dengan
topic yang dibahas. Dengan cara ini, asersi lebih dinilai atas dasar strukturnya daripada atas
dasar penerimaan atau kesetujuan terhadap isi asersi yang diajukan.
Struktur asersi dapat pula disajikan dalam bentuk diagram untuk memperoleh kejelasan
hubungan antara kelas (himpunan) objek yang satu dengan yang lainnya. Hubungan tersebut
dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: hubungan eksklusi, hubungan inklusi, hubungan
saling isi.
1) Hubungan inklusi
o Semua A adalah B
o Tidak semua B adalah A
2) Hubungan eksklusi
Tidak satupun A adalah B
Tidak satupun B adalah A
3
b. Asersi untuk Evaluasi Istilah
Penyajian asersi dalam bentuk diagram dapat digunakan untuk mengevaluasi ketepatan
makna dari suatu istilah. Sebagai contoh, istilah manakah yang lebih tepat sebagai padan kata
certified public accountant, apakah “Bersertifikat Akuntan Publik” atau “Akuntan Publik
Bersertifikat”? Berikut diagram yang menjelaskan arti dari masing-masing istilah tersebut.
c. Jenis Asersi
Asersi dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:
1. Asumsi
Asumsi adalah asersi yang diyakini benar meskipun orang tidak dapat mengajukan atau
menunjukkan bukti tentang kebenarannya secara meyakinkan atau asersi yang orang
bersedia untuk menerima sebagai benar untuk keperluan diskusi atau debat.
2. Hipotesis
Hipotesis adalah asersi yang kebenarannya belum atau tidak diketahui tetapi diyakini
bahwa asersi tersebut dapat diuji kebenarannya.
3. Pernyataan Fakta
Pernyataan fakta adalah asersi yang bukti tentang kebenarannya diyakini sangat kuat atau
bahkan tidak dapat dibantah.
d. Fungsi Asersi
Asersi memegang fungsi yang sangat penting dalam pembentukan argumen, yaitu dapat
berfungsi sebagai premis dan konklusi. Premis adalah asersi yang digunakan untuk mendukung
4
konklusi. Konklusi adalah asersi yang diturunkan dari serangkaian asersi. Konklusi dari suatu
argumen dapat menjadi premis dalam argumen yang lainnya.
Prinsip yang dipakai adalah suatu kredibilitas konklusi tidak dapat melebihi kredibilitas
terendah premis-premis yang digunakan untuk menurunkan konklusi. Artinya, kalau konklusi
diturunkan dari serangkaian premis yang salah satu merupakan pernyataan fakta dan yang lain
asumsi, konklusi tidak dapat dipandang sebagai pernyataan fakta.
4. KEYAKINAN
Keyakinan adalah tingkat kebersediaan (willingness) untuk menerima bahwa suatu
pernyataan atau teori (penjelasan) mengenai suatu fenomena atau gejala (alam atau sosial) adalah
benar. Dengan kata lain, keyakinan terhadap asersi adalah tingkat kebersediaan untuk menerima
bahwa asersi tersebut benar. Keyakinan diperoleh karena kepercayaan (confidence) tentang
kebenaran yang dilekatkan pada suatu asersi. Suatu asersi dapat dipercaya karena adanya bukti
yang kuat untuk menerimanya sebagai hal yang benar. Seseorang dikatakan yakin terhadap suatu
asersi bila dia menunjukkan perbuatan, sikap, dan pandangan seolah-olah asersi tersebut benar
karena dia percaya bahwa asersi tersebut benar.
Kepercayaan diberikan kepada suatu asersi biasanya setelah dilakukan evaluasi terhadap
asersi atas dasar argumen yang digunakan untuk menurunkan asersi. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa keyakinan merupakan produk, hasil, atau tujuan suatu penalaran. Berbagai faktor
mempengaruhi tingkat keyakinan seseorang atas suatu asersi. Karakteristik (sifat) asersi
menentukan mudah-tidaknya keyakinan seseorang dapat diubah melalui penalaran.
Properitas Keyakinan
Semua penalaran bertujuan untuk menghasilkan keyakinan terhadap asersi yang menjadi konklusi
penalaran. Pemahaman terhadap beberapa properitas (sifat) keyakinan sangat penting dalam
mencapai keberhasilan berargumen. Argumen dianggap berhasil kalau argumen tersebut dapat
mengubah keyakinan. Berikut ini dibahas properitas keyakinan yang perlu disadari dalam
berargumen.
a. Keadabenaran
Keadabenaran atau plaisibilitas (plausibility) suatu asersi bergantung pada apa yang
diketahui tentang isi asersi atau pengetahuan yang mendasari (the uderlying knowledge)
dan pada sumber asersi (the source). Pengetahuan yang mendasari (termasuk pengalaman)
biasanya menjamin kebenaran asersi. Oleh karena itu, konsistensi suatu asersi dengan
pengetahuan yang mendasari akan menentukan plausibilitas asersi.
b. Bukan Pendapat
Keyakinan adalah sesuatu yang harus dapat ditunjukkan atau dibuktikan secara objektif
apakah tia salah atau benar dan sesuatu yang diharapkan menghasilkan kesepakatan
(agreement) oleh setiap orang yang mengevaluasinya atas dasar fakta objektif. Pendapat
atau opini adalah asersi yang tidak dapat ditentukan benar atau salah karena berkaitan
dengan kesukaan (preferensi) atau selera. Berbeda dengan keyakinan, plausibilitas
pendapat tidak dapat ditentukan.
5
c. Bermuatan nilai
Nilai keyakinan adalah tingkat penting tidaknya suatu ketyakinan perlu dipegang atau
dipertahankan seseorang. Nilai keyakinan bagi seseorang akan tinggi apabila perubahan
keyakinan mempunyai implikasi serius terhadap filosofi, sistem nilai, martabat, perdapatan
potensial, dan perilaku orang tersebut.
d. Bertingkat
Keyakinan didapat dari suatu asersi tidak bersifat mutlak tetapi bergradasi mulai dari
sangat meragukan sampai sangat meyakinkan. Tingkat keyakinan ditentukan oleh kuantitas
dan kualitas bukti untuk mendukung asersi. Orang yang objektif dan berpikir logis tentunya
akan bersedia untuk mengubah tingkat keyakinannya manakala bukti baru mengenai
plausibilitas suatu asersi diperoleh.
e. Berbias
Selain kekuatan bukti objektif yang ada, keyakinan dipengaruhi oleh preferensi, keinginan,
dan kepentingan pribadi yang karena sesuatu hal perlu dipertahankan. Idealnya, dalam
menilai plausibilitas suatu asersi orang harus bersikap objektif dengan pikiran terbuka.
Pada umumnya, bila orang mempunyai kepentingan, sangat sulit baginya untuk bersikap
objektif.
f. Berkekuatan
Kekuatan keyakinan adalah tingkat kepercayaan yang diletakkan seseorang pada
kebenaran suatu asersi. Dapat dikatakan bahwa semua properitas keyakinan merupakan
faktor yang menentukan tingkat kekuatan keyakinan seseorang.
g. Veridikal
Veridikalitas (veridicality) adalah tingkat kesesuaian keyakinan dengan realias. Realitas
yang dimaksud di sini adalah apa yang sungguh-sungguh benar tentang asersi yang
diyakini. Dengan kata lain, veridikalitas adalah mudah tidaknya fakta ditemukan dan
ditunjukkan untuk mendukung keyakinan.
h. Berketertempaan
Ketertempaan (malleability) atau kelentukan keyakinan berkaitan dengan mudah tidaknya
keyakinan tersebut diubah dengan adanya informasi yang relevan. Berbeda dengan
veridikalitas, ketertempaan tidak memasalahkan apakah suatu asersi sesuai atau tidak
dengan realitas tetapi lebih memasalahkan apakah keyakinan terhadap suatu asersi dapat
diubah oleh bukti.
5. ARGUMEN
Dalam arti positif argumen dapat disamakan dengan penalaran logis untuk menjelaskan
atau mengajukan bukti rasional tentang suatu asersi. Agar memberi keyakinan, argumen harus
dievaluasi kelayakan atau validitasnya. Definisi argumen menurut Nickerson (1986) yaitu:
6
a. Anatomi Argumen
Argumen terdiri atas serangkaian asersi. Asersi berkaitan dengan yang lain dalam bentuk
inferensi atau penyimpulan. Asersi dapat berfungsi sebagai premis atau konklusi (asersi kunci)
yang merupakan komponen argumen. Sebagai suatu argumen, asersi yang satu harus
mendukung asersi yang lain yang menjadi konklusi. Ada beberapa indikator yang bisa
membedakan apakah suatu asersi termasuk asersi konklusi atau asersi premis. Indikator
konklusi antara lain apabila terdapat kata-kata karena itu, jadi, maka, dengan demikian, oleh
karena itu, disimpulkan bahwa, sebagai akibatnya dll. Sedangkan indikator premis antara lain
oleh karena, karena, mengingat, dangan asumsi bahwa, dengan alasan bahwa, dll. Namun dalam
banyak hal, argumen tidak menunjukkan secara eksplisit kata-kata indikator sehingga tidak
dapat diidentifikasi mana premis dan mana konklusi. Bila hal ini terjadi, maka premis dan
konklusi dapat diidentifikasi dengan kaidah yang oleh Cederblom dan Paulsen (1986) disebut
principle of charitable interpretation (prinsip interpretasi terdukung) yang menyatakan bahwa
bila terdapat lebih dari satu interpretasi terhadap suatu argumen, argumen harus diinterpretasi
sehingga premis-premis yang terbentuk memberi dukungan yang paling kuat terhadap konklusi
yang dihasilkan. Contoh terdapat serangkaian asersi berikut ini:
Anda harus datang ke seminar itu. Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke
seminar itu. Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya.
Ada berbagai interpretasi atas asersi tersebut, premis yang memberikan dukungan yang
kuat terhadap konklusi adalah.
Premis 1 : Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya
Premis 2 : Anda akan berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu
Konklusi : Anda harus datang ke seminar itu
b. Jenis Argumen
Argumen deduktif adalah proses penyimpulan yang berawal dari suatu pernyataan
umum yang disepakati (premis) ke pernyataan khusus sebagai simpulan (konklusi). Argumen
deduktif disebut juga argumen logis(logical argumen) yaitu argumen yang asersi konklusinya
tersirat (implied) atau dapat diturunkan/dideduksi dari asersi-asersi yang lain (premis-
premis) yang diajukan. Disebut argumen logis karena kalau premis-premisnya benar maka
konklusinya harus benar.
Salah satu bentuk penalaran deduktif adalah silogisma. Silogisma terdiri dari tiga
komponen yaitu premis major (major premise), premis minor (minor premise), dan konklusi
(conclusion). Contoh silogisma adalah sebagai berikut:
7
Premis major : semua binatang menyusui mempunyai paru-paru
Premis minor : kucing binatang menyusui
Konklusi : kucing mempunyai paru-paru
Dalam hal ini “semua binatang menyusui” disebut anteseden (antecedent) sedangkan
“mempunyai paru-paru” disebut konsekuen (consequent). Dalam silogisma, konklusi benar
bila kedua premis benar dan premis minor menegaskan antiseden (disebut modus ponens)
atau premis minor menyangkal konsekuen (disebut modus tollens). Jadi walaupun kedua
premis benar, konklusi bisa saja salah, seperti contoh berikut:
Konklusi di atas salah karena premis minor menegaskan konsekuen bukan antisenden.
Konklusi akan benar apabila premis minor menyangkal konsekuen. Seperti contoh berikut;
1. Kelengkapan, merupakan kriteria yang penting karena validitas konklusi menjadi kurang
meyakinan bila premis-premis yang diajukan tidak lengkap. Konklusi tidak dapat ditarik
karena tidak lengkapnya premis.bila dipaksakan maka argumen menjadi tidak logis.
2. Kejelasan arti diperlukan karena keyakinan merupakan fungsi kejelasan makna.
Keterbatasan bahasa, kesalahan bahasa dan keterbatasan pengetahuan tentang topik
yang dibahas merupakan faktor yang menentukan kejelasan dan bahkan pemahaman
argumen.
3. Kesahihan (validitas) berkaitan dengan struktur formal argumen. Validitas adalah sifat
yg yg melekat pada argumen sedangkan kebenaran adalah sifat yang melekat pada
asersi. Artinya argumen dikatakan valid kalau konklusi diturunkan secara logis dari
premis tanpa memperhatikan apakah premis itu sendiri benar atau salah.
8
4. Keterpercayaan, meyakinkan sehingga orang bersedia menerima
Penalaran induktif berawal dari suatu pernyataan atau keadaan khusus dan
berakhir dengan pernyataan umum yang merupakan generalisasi dari keadaan khusus
tersebut. Argumen induktif lebih bersifat sebagai argumen ada benarnya (plausible
argument). Dalam argumen ada benarnya (plausible), konklusi merupakan generalisasi dari
premis sehingga tujuan argumen adalah untuk meyakinkan bahwa probabilitas atau
kebolehjadian kebenaran konklusi cukup tinggi atau sebaliknya, ketidakbenaran konklusi
cukup rendah kebolehjadiannya.
Contoh :
Argumen mengalir dari informasi atas pengamatan khusus atau tertetu (sampel)
menuju ke konklusi yang diterapkan untuk seluruh pengamatan yang mungkin dilakukan
(populasi). Karena konklusi (generalisasi) didasarkan pada pengamatan atau pengalaman
yang nyatanya terjadi, penalaran induktif disebut juga generalisasi empiris (empirical
generalization). Karena menggunakan generalisasi, hubungan antara premis dan konklusi
dalam penalaran induksi tidak sekuat hubungan dalam penalaran deduktif.
Penalaran dengan analogi adalah penalaran yang menurunkan konklusi atas dasar
kesamaan atau kemiripan karakteristik, pola, fungsi, atau hubungan unsur (sistem) suatu
objek yang disebutkan dalam suatu asersi. Analogi bukan merupakan suatu bentuk
pembuktian tetapi merupakan suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi
mempunyai kebolehjadian untuk benar.
Contoh :
Premis 1 : Negara adalah ibarat sebuah kapal pesiar dengan presiden sebagai nahkoda
Premis 2 : Dalam keadaan darurat, semua penumpang harus tunduk pada perintah
nahkoda tanpa kecuali
Konklusi : Dalam keadaan krisis, presiden harus diberi kekuasaan khusus untuk
mengeluarkan undang-undang darurat yang harus diikuti semua warga tanpa kecuali.
9
b.2.3 Argumen Sebab-Akibat
6. FALLACY (KECOHAN)
Seringkali dijumpai argumen yang jelek, lemah, tidak sehat, atau bahkan tidak masuk akal
mampu meyakinkan orang. Yang kemudian terjadi, banyak praktik yang dilandasi teori yang tidak
sehat akibatnya praktik itu sendiri menjadi tidak sehat. Keyakinan tidak semata dilandasi validitas
argumen, namun juga faktor emosi manusia. Keyakinan tidak selalu diperoleh melalui argumen
logis atau akal sehat. Hal semacam ini disebut fallacy yang oleh Cederblom & Paulsen (1986)
didefinisikan sebagi berikut: “A Fallacy is a kind of argument or appeal that tends to persuade us,
even though it is faulty. ...Fallacies are argument that tend to persuade us but should not persuade”
a. Stratagem
10
a.2. Membidik orang (Ad Hominem)
Digunakan untuk melemahkan atau menjatuhkan suatu posisi atau pernyataan dengan
cara menghubungkan pernyataan atau argumen yang diajukan seseorang dengan pribadi
orang tersebut (Shoot The messenger not the message). Alih-alih mengajukan kontra-
argumen yang lebih valid, pembicara mengajukan kejelekan atau sifat yang kurang
menguntungkan dari lawan berargumen. Jadi yang dilawan orangnya bukan argumennya.
Taktik ini sering disebut argumentum ad hominem. Contohnya: anda masih berani
mengkritik program kerja saya? Sewaktu anda menjabat saja keadaan lebih parah dari
sekarang.
Dilakukan dengan cara mengajukan argumen yang tidak bertumpu pada masalah pokok
atau dengan cara mengalihkan masalah ke masalah yang lain yang tidak bertautan. Hal ini
sering dilakukan orang jika dia (karena sesuatu hal) tidak bersedia menerima argumen yang
dia tahu lebih valid dari argumen yang dipegangnya. Contoh: A: kecepatan internet di
Indonesia masih lambat dibanding negara lain. B: internet cepat buat apa? Masih banyak kok
aktivitas menyenangkan lain tanpa memakai internet
Biasanya digunakan untuk menyanggah atau menjatuhkan posisi lawan dengan cara
memutarbalikkan atau menyembunyikan fakta baik secara halus maupun terang-terangan.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara misalnya: mengekstremkan posisi lawan,
menyalahartikan maksud baik posisi lawan, atau menonjolkan kelemahan dan
menyembunyikan keunggulan lawan. Contoh: Saya ini orangnya sederhana, tidak suka hidup
bermewah-mewahan. Tetapi diceritakan jikalau memang tidak mampu.
11
a.7. Imbauan tradisi
Dalam beberapa hal, orang sering mengerjakan sesuatu dengan cara tertentu semata-
mata karena memang begitulah cara yang telah lama dikerjakan orang. Namun, kenyataan
bahwa sesuatu telah lama dikerjakan dengan cara tertentu di masa lampau tidak dengan
sendirinya menjadi argument untuk meneruskan cara tersebut khususnya kalau terdapat
cara lain yang terbukti lebih valid atau baik. Contoh: untuk membuat kertas kerja konsolidasi,
tidak perlu melakukan penjurnalan, karena dari dulu saya tidak melakukannya.
Salah Nalar adalah kesalahan struktur atau proses formal penalaran dalam menurunkan
simpulan sehingga simpulan menjadi salah atau tidak valid. Salah nalar terjadi apabila
penyimpulan tidak didasarkan pada kaidah-kaidah penalaran yang valid.
12
Bentuk-bentuk salah nalar
Menegaskan
Konsekuen
Menarik
Simpulan Menyangkal
Pasangan Antesenden
Merancukan
Urutan Kejadian Salah Pentaksaan
dengan Nalar (Equivocation)
Penyebaban
Pembuktian Perampatan
dengan Lebih
(Overgeneralization)
Analogi
Parsialitas
Argumen yang valid harus mengikuti kaidah menegaskan anteseden (affirming the
antecedent atau modus ponens). Apabila simpulan diambil dengan pola premis yang
menegaskan konsekuen maka akan terjadi salah nalar.
Contoh:
Valid Tidak Valid
Menegaskan anteseden Menegaskan konsekuen
Premis (1): Jika Zain jomblo, maka Pevita Premis (1): Jika Zain jomblo, maka Pevita
merasa bahagia. merasa bahagia.
Premis (2): Zain Jomblo. Premis (2): Pevita merasa bahagia.
Konklusi : Pevita merasa bahagia Konklusi Zain Jomblo
Pada contoh sebelah kiri, premis (2) “Zain Jomblo” menegaskan antesenden “Jika Zain
jomblo” sehingga konklusi pasti benarnya.
Sementara contoh sebelah kanan, premis (2) “Pevita merasa bahagia” menegaskan
konsekuen sehingga konlusinya tidak valid. Kenyataan bahwa “Pevita merasa
bahagia” belum tentu disebabkan “Zain jomblo”, bisa saja kebahagiaan Pevita
disebabkan oleh hal lain misalnya mendapat tawaran main film.
13
Salah nalar terjadi apabila premis “jika A, maka B” disamakan dengan premis “Jika B,
maka A” padahal kenyataannya tidak selalu demikian.
Argumen yang valid harus mengikuti kaidah menyangkal konsekuen (denying the
consequent atau modus tollens) dan apabila simpulan diambil dengan pola premis yang
menyangkal anteseden maka akan terjadi salah nalar dan simpulan tidak valid.
Contoh:
Valid Tidak Valid
Menyangkal konsekuen Menyangkal antesenden
Premis (1): Jika Zain pemain bola, maka Zain Premis (1): Jika Zain pemain bola, maka
terkenal. Zain terkenal.
Premis (2): Zain tidak terkenal. Premis (2): Zain bukan pemain bola
Konklusi : Zain bukan pemain bola Konklusi : Zain tidak terkenal
Pada contoh sebelah kiri, premis (2) “Zain tidak terkenal” menyangkal konsekuen
sehingga konklusi “Zain bukan pemain bola” pasti benarnya.
Sementara contoh sebelah kanan, premis (2) “Zain bukan pemain bola” menyangkal
antesenden sehingga konlusinya tidak valid. Kenyataan bahwa “Zain bukan pemain
bola” belum tentu menyebabkan Zain tidak terkenal, bisa saja Zain adalah seorang
aktor (meski bukan pemain bola) namun ia tetap terkenal.
Jadi, salah nalar akibat menegaskan konsekuen atau menyangkal anteseden dapat terjadi
karena makna “jika A, maka B” disamakan atau dikacaukandengan “jika B, maka A”.
Equivocation dapat terjadi apabila satu ungkapan dalam 2 premis memiliki makna yang
berbeda atau konteks premis yang satu berbeda dengan konteks premis lainnya.
Contoh:
Premis Mayor : Bulan itu bersinar di langit
Premis Minor : Januari adalah bulan
Konklusi : Januari bersinar di langit
Dalam contoh tersebut diterapkan kaidah transitivitas namun terjadi salah nalar karena
Bulan pada premis minor adalah nama dari ukuran waktu yang panjangnya 31 hari,
sedangkan pada premis mayor berarti planet yang mengelilingi bumi)
14
Mengkategorikan sesorang sebagai anggota kelompok kemudian melekatkan semua
sifat atau kualitas kelompok kepada orang tersebut
Perampatan sendiri sebenarnya bukan merupakan salah nalar dan bahkan sangat penting
dalam pengembangan ilmu. Akan tetapi, apabila derajad perampatan begitu ekstrim maka
dapat menyebabkan salah nalar (misalnya apabila ukuran sampel terlalu kecil dan kurang
kerepresentatifan sampel)
Contoh:
Dengan ditangkapnya Gayus, masyarakat mengatakan bahwa semua orang pajak
berperilaku korup
Orang mengetahui bahwa kebanyakan orang pajak pada umumnya kaya. Zain
pegawai pajak. Salah nalar terjadi jika penalar menganggap Zain kaya karena
dilekatkannya sifat kelompok kepadanya.
karena menghadapi fakta bahwa yang lulus ujian bahasa Indonesia hanya sedikit,
orang berpikir bahwa kurikulum harus dirombak
Parsialitas terjadi apabila penalar tidak objektif dalam penggunaan dan pengumpulan
bukti sehingga cenderung memilih bukti (argumen) yang mendukung konklusi dan
mengabaikan argumen yang menentang konklusi.
Contoh:
Dari 100 orang yang disurvey, 100% menyatakan MMM bukan penipuan. Survey
dilakukan di komunitas MMM
Salah nalar bisa terjadi apabila urutan kejadian (temporal succession) disimpulkan
sebagai penyebaban (causation), contoh siang dan malam merupakan urutan kejadian dan
bukan berarti siang menyebabkan malam. Kesalahan ini sering disebut post hoc ergo propter
hoc (setelah ini, maka karena ini)
Urutan kejadian merupakan “syarat yang perlu” untuk penyebaban, akan tetapi belum
merupakan “syarat yang cukup”. Syarat penyebaban agar tidak menjadi salah nalar adalah:
Urutan kejadian atau B selalu mengikuti kejadian A;
15
A selalu medahului B;
B bervariasi dengan A; dan
Tidak ada faktor lain selain A yang menyebabkan B berubah.
Contoh:
Orang itu meninggal dalam tahanan. Ia meninggal karena ditahan.
Kurang meyakinkannya suatu konklusi tidak dengan sendirinya membenarkan konklusi yang
lain (pasangan).
Dalam pengembangan ilmu dikenal suatu pendekatan untuk menguji teori yang disebut
penyanggahan atau refutasi ilmiah (scientific refutation) dengan prinsip ketersalahan atau
keterbutktisalahan (principle of falsifiability). Artinya, teori tidak harus dapat dibuktikan
benar tetapi harus dapat disanggah (dibuktikan salah) misalnya dengan pengajuan teori yang
lebih baik.
Dalam penelitian ilmiah, peneliti mengahadapi dua risiko kesalahan penyimpulan, yaitu:
a. Menyimpulkan hipotesis alternatif padahal sebenarnya dia salah (disebut kesalahan Tipe
I atau α);
b. Menyimpulkan hipotesis nol padahal sebenarnya dia salah (disebut kesalahan Tipe II
atau β).
Mengubah keyakinan melalui argumen dapat menjadi suatu proses yang kompleks sebab
pengubahan tersebut menyangkut dua hal yang berkaitan, yaitu manusia yang meyakini dan asersi
yang menjadi objek keyakinan. Manusia tidak selalu rasional dan bersedia berargumen sementara
itu tidak semua asersi dapat ditentukan kebenarannya secara objektif dan tuntas. Berikut ini akan
dibahas beberapa aspek manusia yang dapat menjadi penghalang (impediments) penalaran dan
pengembangan ilmu, khususnya dalam dunia akademik atau ilmiah.
16
c.1 Puas Dengan Penjelasan Sederhana
Rasionalitas menuntut penjelasan yang sesuai dengan fakta. Namun, keinginan yang kuat
untuk memperoleh penjelasan tersebut sering menjadikan orang puas dengan penjelasan
sederhana yang pertama ditawarkan sehingga dia tidak lagi berupaya untuk mengevaluasi
secara seksama kelayakan penjelasan dan membandingkannya dengan penjelasan alternatif.
Dengan kata lain, orang tidak kritis dalam menerima penjelasan.
Hambatan untuk bernalar muncul akibat orang memiliki kepentingan tertentu (vesited
interest) yang harus dipertahankan. Kepentingan sering memaksa orang untuk memihak
suatu posisi (keputusan) meskipun posisi tersebut sangat lemah dari segi argumen.
Kebebasan akademik harus diartikan sebagai kebebasan untuk berbeda pendapat secara
akademik dalam suatu forum yang memungkinkan akademisi berargumen secara terbuka.
Sikap ilmiah menuntut akademisi untuk berani membaca dan memahami gagasan alternatif
dan jika gagasan tersebut valid dan menuju ke arah perbaikan, bersedia membawa gagasan
tersebut ke kelas atau diskusi ilmiah dan bukan malahan mengisolasinya. Ketidakberanian
dan ketidakbersediaan membawa gagasan tersebut merupakan sikap tidak ilmiah, yang
sering disebut sebagai sikap insulting the intelligence. Contoh sikap tidak terpuji ini adalah
sikap kolega senior Galileo yang menjadikan perbedaan pandangan tidak akan terbuka untuk
didiskusi dan kebenaran ilmiah tidak akan dicapai.
17
c.5. Merasionalkan Daripada Menalar
c.6. Persistensi
Seseorang kadang sulit melepaskan suatu keyakinan atau menggantinya dengan yang
baru. Orang sering berteguh atau persisten terhadap keyakinannya meskipun terdapat
argumen yang kuat bahwa keyakinan tersebut sebenarnya salah sehingga dia seyogyanya
melepaskan keyakinan tersebut.
Sampai tingkat tertentu persistensi merupakan sikap yang penting agar orang tidak
dengan mudahnya pindah dari keyakinan atau paradigma yang satu ke yang lain. Dalam
dunia ilmiah, persistensi untuk tidak melepaskan suatu keyakinan dapat dimaklumi kalau
tujuannya adalah untuk memperoleh argumen atau bukti yang kuat untuk menunjukkan
bahwa keyakinan yang dianut memang salah. Tidak selayaknyalah suatu keyakinan atau
paradigma dipertahankan kalau memang terdapat bukti yang sangat meyakinkan bahwa
tidak salah. Namun, manusia tidak selalu dapat bersikap objektif dan tidak memihak
(impartial).
Memang menyedihkan apa yang dikatakan Planck bahwa gagasan baru yang benar (a
new scientific truth) mengungguli atau menang atas gagasan yang keliru bukan lantaran
pemegang gagasan lama sadar dan melihat sinar kebenaran melainkan lantaran generasi
baru telah menggantinya. Mengapa hal ini terjadi? Kuhn menjelaskan hal ini dengan
menyatakan (penebalan oleh penulis):
... scientists, being only human, cannot always admit their errors, even when confronted
with strict proof. I would argue, rather, that in these matters neither
proof nor error is at issue. The transfer of allegience from paradigm to paradigm is a
conversion experience that cannot be forced (hlm. 151).
Sebagai manusia, ilmuwan atau pakar tidak selalu dapat mengakui kesalah-annya
meskipun dihadapkan pada bukti yang sangat telak (strict proof). Lagi pula, konversi
paradigma (atau keyakinan) bukanlah hal yang dapat dipaksakan sehingga resistensi adalah
takterhindarkan dan sah-sah saja (legitimate).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek manusia sangat berperan dalam
argumen yang bertujuan mencari kebenaran. Rasionalitas merupakan unsur penting dalam
argumen. Walaupun demikian, faktor-faktor psikologis dan emosional, kekuasaan, dan
kepentingan pribadi atau kelompok juga berperan dan dapat menghalangi terjadinya
argumen yang sehat.
18