Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH TEORI AKUNTANSI

PENALARAN (REASONING)

Dosen Pembimbing:
Puji Nurhayati, S.E., M.Si

Disusun Oleh Kelompok 2 Kelas 6A:


1. Fitri Nur Hayaty (1703101005)
2. Wisnul Antony (1703101006)
3. Agysta Rahma Pradana (1703101020)
4. Dela Puspa Ambar Wangi (1703101027)
5. Destin Widiati (1703101030)

PROGAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PGRI MADIUN
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah kan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhir nanti.

Kami selaku penulis mengucapkan syukur kepada ALLAH SWT atas limpahan
nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Teori Akuntansi
“Penalaran (Reasoning)”

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
kami selaku penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Dosen
Teori Akuntansi yang telah membimbing dalam penyusunan makalah ini.

Madiun, 19 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
C. Tujuan Makalah....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ............................................................................................................... 2
B. Unsur Dan Struktur Penalaran ................................................................................ 2
C. Asersi ...................................................................................................................... 2
D. Keyakinan ............................................................................................................... 3
E. Argumen ........................................................................................................................... 4
F. Kecohan .................................................................................................................. 9
G. Salah Nalar ............................................................................................................. 12
H. Aspek Manusia dalam Penalaran ............................................................................ 17
BAB III
Kesimpulan.......................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Praktik yang sehat harus dilandasi oleh teori yang sehat pula. Teori yang sehat
harus dilandasi oleh penalaran yang sehat karena teori akuntansi menuntut
kemampuan penalaran yang memadai. Penalaran merupakan proses berpikir logis dan
sistematis untuk membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan akan asersi. Unsur-
unsur penalaran adalah asersi, keyakinan, dan argumen. Interaksi antara ketiganya
merupakan bukti rasional untuk mengevaluasi kebenaran suatu pernyataan teori.
Asersi merupakan pernyataan bahwa sesuatu adalah benar atau penegasan tentang
suatu realitas. Keyakinan merupakan kebersediaan untuk menerima kebenaran suatu
pernyataan. Argumen adalah proses penurunan sim-pulan atau konklusi atas dasar
beberapa asersi yang berkaitan secara logis. Asersi dapat dinyatakan secara verbal
atau struktural. Asumsi, hipotesis, dan pernyataan fakta merupakan jenis tingkatan
asersi. Jenis tingkatan konklusi tidak dapat melebihi jenis tingkatan asersi yang
terendah. Keyakinan merupakan hal yang dituju oleh penalaran. Keyakinan mengan-
dung beberapa sifat penting yaitu: keadabenaran, bukan pendapat, bertingkat,
mengandung bias, memuat nilai, berkekuatan, veridikal, dan tertempa.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan definisi dari penalaran (Reasoning)
2. Menjelaskan unsur dan struktur penalaran
3. Menjelaskan asersi (assertion), keyakinan (belief), dan argumen (argument)
4. Menjelaskan tentang kecohan (Fallacy)
5. Menjelaskan tentang salah nalar (ReasoningFallacy)
6. Menjelaskan aspek manusia dalam penalaran

C. TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui dan menambah wawasan
pembaca dalam memahami penalaran didalam teori akuntansi berdasarkan:
1. Pengertian penalaran (reasoning).
2. Unsur dan struktur penalaran.
3. Asersi, keyakinan, argumen, kecohan.
4. Salah nalar serta aspek manusia dalam penalaran.

D.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Menurut Nickerson : "Reasoning encompasses many of the processes we use to form and
evaluate beliefs – beliefs about the world, about people, about the truth or falsity of
claims we encounter or make. It involves the production and evaluation of arguments, the
making of inferences and the drawing of conclusions, the generation and testing of
hypotheses. It requires both deduction and induction , both analysis and synthesis, and
both criticality and creativity Menurut Suwarjono: "Penalaran adalah proses berpikir logis
dan sistematis untuk membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan (beliefs) terhadap
suatu pernyataan atau asersi.

B. UNSUR DAN STRUKTUR PENALARAN


Struktur dan proses penalaran dibangun atas dasar 3 konsep penting yaitu :
1. Asersi, adalah suatu pernyataan (biasanya positif) yang menegaskan bahwa sesuatu
adalah benar    
2. Keyakinan (beliefs), adalah tingkat kebersediaan(willingness) untuk menerima bahwa
suatu pernyataan atau teori mengenai suatu fenomena adalah benar.
3. Argumen, adalah serangkaian asersi beserta keterkaitan (artikulasi) dan inferensi atau
penyimpulan yang digunakan untuk mendukung suatu keyakinan

C. ASERSI
Asersi (pernyataan) memuat penegasan tentang sesuatu atau realitas, biasanya dalam
bentuk kalimat. Beberapa asersi mengandung pengkuantifikasi yaitu semua (all), tidak
ada (no) dan beberapa (some). Berdasar kuantifikasinya asersi dibagi dua, yaitu :
1. Asersi universal (semua dan tidak ada)
2. Asersi spesifik (beberapa, sedikit, banyak, sebagian besar atau bilangan tertentu)

Interpretasi Asersi
Untuk menerima kebenaran asersi harus dipastikan dulu apa arti atau maksud asersi.
Untuk memahami maksud asersi orang harus mempunyai pengetahuan tentang
subjek/topi yang sedang dibahas. Kesalahan intrepretasi dapat terjadi karena dua bentuk
asersi yang berbeda dapat berarti dua hal yang sama atau dua hal yang sanagat berbeda.

Asersi Untuk Evaluasi Istilah


Representasi asersi dalam bentuk diagram dapat digunakan untuk mengevaluasi ketepatan
makna suatu istilah. Sebagai contoh manakah istilah yang tepat antara bersertifikat
akuntan publik (BAP) dan akuntan publik bersertifikat (APB) sebagai padan kata
certified public accountant (CPA).

2
Jenis Asersi
Bila dikaitkan dengan fakta pendukung asersi dapat dibagi 3 yaitu :
1. Asumsi, adalah asersi yang diyakini benar meskipun orang tidak dapat mengajukan
atau menunjukkan bukti tentang kebenarannya secara meyakinkan atau asersi yang
orang bersedia menerima sebagian besar untuk keperluan diskusi atau debat.
2. Hipotesis, adlaah asersi yang belum/tidak diketahui kebenarannya namun diyakini
bahwa asersi tersebut dapat diuji kebenarannya
3. Pernyataan fakta adalah asersi yang bukti kebenarannya diyakini sangat kuat atau
bahkan tidak dapat dibantah.

Fungsi Asersi
Dalam argumen asersi dapat berfungsi sebagai premis atau konklusi. Premis adalah asersi
yang digunakan untuk mendukung suatu konklusi. Konklusi adalah asersi yang
diturunkan dari serangkaian asersi.

D. KEYAKINAN (BELIEFS)
Keyakinan terhadap asersi adalah tingkat kebersediaan untuk menerima bahwa asersi
tersebut benar.

Properitas Keyakinan
Semua penalaran bertujuan untuk menghasilkan keyakinan terhadap asersi yang menjadi
konklusi penalaran. Pemahaman terhadap properitas(sifat) keyakinan sangat penting
dalam mencapai keberhasilan argumen. Berikut beberapa properitas keyakinan yang perlu
disadari dalam berargumen.
1. Keadabenaran(plausibility) Keadabenearan suatu asersi bergantung pada apa yang
diketahui tentang isi asersi atau pengetahuan yang mendasari (the underlying
knowledge) dan pada sum,ber asersi (the source).
2. Bukan Pendapat keyakinan adalah sesuatu yang harus dapat ditunjukkan atau
dibuktikan secara objektif apakah salah atau benar dan sesuatu yang diharapkan
menghasilkan kesepakatan oleh setiap orang yang mengevaluasinya atas dasar fakta
objektif.
3. Bertingkat keyakinan yang didapat dari suatu asersi tidak bersifat mutlak tapi
bergradasi mulai dari sangat meragukan sampai sangat meyakinkan (convincing).
4. Berbias keyakinan dipengaruhi oleh preferensi, keinginan atau kepentingan pribadi
yang karena suatu hal perlu dipertahankan.
5. Bermuatan Nilai adalah tingkat penting-tidaknya sesuatu keyakinan perlu dipegang
atau dipertahankan seseorang.
6. Berkekuatan adalah tingkat kepercayaan yang dilekatkan seseorang pada kebenaran
suatu asersi.
7. Veridikal adalah tingkat kesesuaian keyakinan dengan realitas.
8. Berketertempaan(malleability) berkaitan dengan mudah-tidaknya keyakinan tersebut
berubah dengan adanya informasi yang relevan.

3
Berketempaan
Ketertempaan (malleabillity) atau kelentukan keyakinan berkaitan dengan mudah
tidaknya keyakinan tersebut diubah dengan adanya informasi yang relevan. Berbeda dengan
veridikalitas, ketertempaan tidak memasalahkan apakah suatu asersi sesuai atau tidak dengan
realitas teteapi lebih memasalahkan apakah keyakinan terhadap suatu asersi dapat diubah
oleh bukti. Kelentukan ini biasanya ditentukan oleh kesungguhan pemegang
keyakinan,lamanya keyakinan telah dipegang (baik secara pribadi maupun secara
sosial/umum), dan konsenkuensi perubahan keyakinan bagi diri pemegang. Tujuan suatu
argumen adalah untuk mengubah keyakinan kalau memang keyakinan tersebut lentuk untuk
berubah.

E. ARGUMEN
Istilah argumen sering digunakan secara keliru untuk menunjuk ketidakdepakatan,
perselisihan pendapat (dispute), atau bahkan pertengkaran mulut (Jawa:padu). Dalam
pengertian ini, argumen mempunyai konotasi negatif. Orang yang suka bertengkar dan ingin
menangnya sendiri akan menikmati dan memburuknya tetapi orang yang ingin mencari solusi
atau alternatif pemecah masalah yang terbaik akan menghindarinya. Dalam arti positif,
argumen dapat disamakan dengan penalaran logis untuk menjelaskan atau mengajukan bukti
rasional tentang suatu sersi. Bila seseorang mengajukan alasan untuk mendukung suatu
gagasan atau pandangan, dia biasanya menawarkan suatu argumen. Argumen dalam arti
positif selalu dijumpai dalam bacaan, percakapan, dan didalam diskusi ilmiah. Argumen
merupakan bagian penting dalam pengembangan pengetahuan. Agar memberi keyakinan,
argumen harus dievaluasi kelayakan atau validitasnya.

Anatomi Argumen
Argumen terdiri atas serangkaian asersi. Asersi berkaitan dengan yang lain dalam
bentuk inferensi atau penyimpulan. Sersi dapat berfungsi sebagai premis atau konklusi (atau
asersi kunci) yang merupakan komponen argumen. Berikut ini adalah beberapa contoh
argumen (beberapa argumen dalam akuntansi):
 Merokok adalah penyebab kanker karena kebanyakan penderita kanker adalah
perokok.
 Jika suatu bianatng menyusui, maka binatang tersebut mempunyai paru-paru karena
semua binatang menyusui mempunyai paru-paru.
 Kreditor adalah pihak yang dituju oleh pelaoran keuangan sehingga statmen keuangan
harus memuat informasi tentang kemampuan membayar utang.
 Karena akuntansi menekankan subtasni daripada bentuk, statmen kauangan beberapa
perusahaan yang secara yuridis terpisah tapi secra ekonomik merupakan satu
perusahaan terus konsolidasi.
 Karena akuntansi menganut kesatuan usaha ekonomik, beberapa perusahaan yang
secara yuridis terpisah harus dianggap sebagai satu kesatuan kalau perusahaan-
perusahaan tersebut ada di bawah satukendali. Oleh karena itu, laporan konsolidasian
harus disusun oleh perusahaan pengendali.

4
Indikator konklusi Indikator premis
Inggris Indonesia Inggris Indonesia

So Karena itu jadi, maka Since Oleh karena


Lhus Dengan demikian For Karena, mengingat
Therefore Oleh karena itu Because Karena
Hence Oleh karena itu Assuming that Dengan asumsi bahwa
Be cocluded that Disimpulkan bahwa For the reason that Dengan alasan bahwa
Consequently Sebagai akibatnya

Premis dan konklusi dapat diidentifikasikan oleh kaidah Caderblom dan Pauselen
(1986) disebut principle of charitable interpretation (prinsip interprestasi pendukung.
Prinsip ini menyatakan bahwa bila terdapat lebih dari satu interprestasi terhadap suatu
argumen, argumen harus diinterprestasikan sehingga premis-premis yang terbentuk
memberi dukungan paling kuat terhadapkonklusi yang dihasilkan.

Jenis Argumen
Argumen dibedakan menjadi argumen langsung dan tak langsung, formal dan
informal, serta meragukan dan meyakinkan. Klasifikasi yang ditinjau dari bagaimana
penalaran (reasoning) diterapkan untuk menurunkan konklusi merupakan klasifikasi
yang sangat penting dalam pembahasan buku ini. Dalam hal ini argumen dapat
dibedakan menjadi argumen deduktif dan argumen induktif.
Argumen Deduktif
Argumen atau penalaran deduktif adalah proses penyimpulan yang berawal dari suatu
pernyataan umum yang disepakati (premis) ke pernyataan khusus sebagai simpulan
(konklusi), argumen deduktif disebut juga argumen logis (logical argumen) sebagai
pasangan argumen ada benarnya (plausible argument). Argumen logis adalah argumen
yang asersi konklusinya tersirat atau dapat diturunkan/didedukasi dari asersi-asersi lain
yang diajukan. Disebut argumen logis karena kalau premis-premisnya benar konklusi
mereflesi realitas. Hal inilah yang membedkan argumen sebagai bukti rasional dan bukti
fisis/langsung/empiris berupa fakta.
Evaluasi Penalaran Deduktif
Tujuan utama mengevaluasi argumen adalah untuk menentukan apakah konklusi argumen
benar dan meyakinkan. Untuk suatu argumen deduktif (logis), Nickerson (1986)
mengajukan empat pertanyaan yang harus dijawab, yaitu:
1. Apakah tia lengkap?
2. Apakah artinya jelas?
3. Apakah tia valid? (apakah konklusi mengikuti premis?
4. Apakah premis dapat dipercaya (diterima)?
Keempat pertanyaan diatas merupakan kriteria evaluasi yang terdiri atas kelengkapan,
kejelasan, keasahihan, dan kepercayaan. Apabila jawaban untuk keempat pertanyaan di
atas positif (ya), maka konklusi memberi keyakinan tentang kebenrannya.

5
Penalaran Deduktif Dalam Akuntansi
Investor dan kreditor merupakan pengambil
Premis 1 keputusan dominan dalam perekonomian
yang didasarkan pada mekanisme pasar

Agar investor bersedia menanamkan modal


Premis 2 dalam suatu perusahaan, harus disediakan
informasi tentang perusahaan kepada
investor dan kreditor.

Keputusan investasi dan kredit memerlukan


Premis 3 Argumen sebagai
informasi tentang kemampuan perusahaan
menghasilkan laba dan membayar hutang. hasil penalaran
deduktif

Kemampuan perusahaan membayar hutang


Premis 4 dapat dijulukkan dengan informasi tentang
likuiditas, solvensi, dan probabilitas melalui
statment keuangan.

Laporan keuangan harus memuat elemen:


Konklusi aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan biaya,
rugi, untung, investasi pemilik, distribusi ke
pemilik, dan laba.

Argumen Induktif
Penalaran ini berawal dari suatu pernyataan atau keadaan yang khusus dan
berakhir dengan pernyataan umum yang merupakan generalisasi dari keadaan khusus
tersebut. Berbeda dengan argumen deduktif yang merupakan argumen logis, argumen
induktif lebih bersifat sebagai arrgumen ada benarnya. Dalam argumen logis, konklusi
merupakan generalisasi dari premis sehingga tujuan argumen adalah untuk
meyakinkan bahwa probabilitas atau kebolehjadian kebenaran konklusi cukup tinggi
atau sebaliknya. Ketidakbenaran konklusi cukup rendah kebolehjadiannya.
Argumen Dengan Analogi
Argumen induktif sebenarnya merupakan salah satu jenis penalaran
nondeduktif. Salah satu penalaran nondeduktif lainnya adalah argumen dengan
analogi. Penalaran dengan analogi adalah penalaran yang ,enurunkan konklusi atas

6
dasar kesamaan atau kemiripan karakteristik, pola, fubgsi, atau hubungan unsur suatu
objek yang disebutkan dalam suatu asersi. Analogi bukan merupakan suatu bentuk
pembuktian tetapi merupakan suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi
mempunyai kebolehjadian untuk benar.
Argumen Sebab-Akibat
Menyatakan konklusi sebagai akibat dari asersi tertentu merupakan salah
bentuk argumen yang disebut argumen dengan penyebaban atau generelisasi kausal.
Hubungan penyebaban biasanya dinyatakan dalam struktur “X menghasilkan Y” atau
“X memaksa Y terjadi” atau “X menyebabkan Y terjadi” atau “Y terjadi akibat X”
atau “Y berubah karena X berubah”. Tetapi pernyataan tersebut sebenarnya hanyalah
cara memverbalkan bahwa A bervariasi atau berasosiasi dengan B tetapi tidak
menunjukkan bahwa apa yang sebenarnya terjadi merupakam hubungan kausal.
Penalaran Induktif dalam Akuntansi
Penalaran induktif dalam akuntansi pada umumnya digunakan untuk
menghasilkan pernyataan umum yang menjadi penjelasan (teori) terhadap gejala
akuntansi tertentu. Pernyataan-pernyataan umum tersebut biasanya berasal dari
hipotesis yang diajukan dan diuji dalam suatu penelitian empiris. Hipotesis
merupakan generalisasi yang dituju oleh penelitian akuntansi. Bila bukti empiris
konsisten dengan (mendukung) generalisasi tersebut maka generalisasi tersebut
menjadi teori yang valid dan mempunyai daya prediksi yang tinggi.
Secara statistis, generalisasi berarti menyimpulkan karakteristik populasi atas
dasar karakteristik sampel melalui pengujian statistis. Misalnya, suatu teori harus
diajukan untuk menjelaskan mengapa terjadi perbedaan luas atau banyak-nya
pengungkapan dalam statemen keuangan antar perusahaan. Teori tersebut misalnya
dinyatakan dalam perayataan umum (proposisi) terakhir dalam daftar diatas yaitu
ukuran perusahaan berasosiasi positif dengan tingkat pengungkapan sukarela.
Untuk sampai pada proposisi dalam contoh tersebut, tentu saja diperlukan
argumen dalam bentuk rerangka atau landasan teoretis. Dalam proposisi ini, ukuran
perusahaan" dan "tingkat pengungkapan sukarela" merupakan konsep .Agar
sedangkan "berasosiasi positif" merupakan hubungan yang diteorikan. Agarproposisi
dapat diuji, konsep dalam proposisi harus didefinisi secara operasional menjadi suatu
variabel yang dapat diamati dalam dunia nyata sehingga konsep abstrak dapat diukur

7
Gambar 2.11
Contoh Penalaran Induktif dalam Akuntansi

Tataran abstrak
Rerangka /landasan
teoretis

Hubungan teoritis
Konsep : Ukuran
Konsep: pengungkapan
Perusahaan
sukarela
Proposisi

Tataran empiris Definisi operasional

Generalisasi
Sebaga
i
penala
Variabel X : Aset Variabel Y: Banyaknya ran
Hipotesis pengungkapan yang tidak
diwajibkan oleh standar induktif
Pengukuran Pengukuran
sampel sampel

sampel X Y
Pengujian hubungan secara statistis
(dengan regresi ,korelasi atau lainnya)

8
Setelah definisi operasional diukur untuk sampel amatan, konsep-konsep yang
diteorikan direpresentasi dalam bentuk variabel dan diberi notasi (misalnya X dan Y)
agar analisis data mudah dilakukan. Untuk menguji hipotesis, hubungan antara
variabel diuji dengan alat statistis tertentu (misalnya regresi). Bila pengujian secera
statistis menunjukkan bahwa hubungan antara variabel secara statistis signifikan,
berarti ada keyakinan tinggi (misalnya tingkat keyakinan 959%) bahwa teori yang
diajukan didukung secara empiris sehingga dapat dilaku- kan generalisasi. Dari
contoh di atas, generalisasi secara formal dapat dinyatakan dalam penalaran induktif
sebagaimana tampak pada argumen di bawah ini.
Premis : Pengamatan (sampel) menunjukkan bahwa makin besar aset perusahaan
makln banyak butir pengungkapan yang disajikan perusahaan dalam statemen
keuangan. Hubungan inl secara statistis slgnlfkan pada a = 0,05.
Konklusi : Ukuran atau besar-keclnya (size) perusahaan berasosiasi posif dengan
tingkat pengungkapan sukarela (voluntary disclosures) dalam statemen
keuangan. Bila dikaitkan dengan perspektif teori yang lain, teori akuntansi normatif
biasanya berbasis penalaran deduktif sedangkan teori akuntansi positif biasanya
berbasis penalaran induktif. Secara umum dapat dikatakan bahwa teori akuntansi
sebagai penalaran logis bersifat normatif, sintaktik, semantik, dan deduktif sementara
teori akuntansi sebagai sains bersifat positif, pragmátik, dan induktif .

F. KECOHAN (FALLACY)
Dalam kehidupan sehari-hari (baik akademik maupun nonakademik), acapkali dijumpai
bahwa argumen yang jelek, lemah, tidak sehat, atau bahkan tidak masuk akal ternyata
mampu meyakinkan bạnyak orang sehingga mereka terbujuk oleh argumen tersebut
padahal seharusnya tidak. Bila hal ini terjadi, akan banyak praktik, perbuatan, atau
tindakan dalam masyarakat yang dilandasi oleh teori atau alasan yang tidak sehat.
Akibatnya praktik itu sendiri menjadi tidak sehat. Cederblom dan Paulsen (1986)
membahas hal ini dengan mengajukan pertanyaan:Why are bad aiguments sometimes
convincing?" Pertanyaan tentang adanya kecohan penalaran dalam akuntansi misalnya
adalah "Mengapa istilah yang salah banyak dipakai orang?
Telah dibahas sebelumnya bahwa keyakinan mempunyai beberapa sifat yang menjadikan
perubahan atau pemertahanan keyakinan tidak semata-mata dilandasi oleh validitas dan
kekuatan argumen tetapi juga oleh faktor manusia. Dalam kasus tertentu (bahkan dalam
konteks ilmiah atau akademik), manusia lebih terbujuk atau terkecoh oleh emosi atau
kepentingan pribadi daripada logika. Dengan kata lain, keyakinan tidak selalu diperoleh
melalui argumen logis atau akal sehat. Apapun faktor yang menyebabkan, bila terdapat
suatu asersi yang nyatanya membujuk dan dianut banyak orang padahal seharusnya tidak
lantaran argumen yang diajukan mengandung cacat (faulty), maka pasti terjadi kesalahan
yang disebut kecohan atau salah nalar (fallacy). Cederblom dan Paulsen (1986)
mendefinisi pengertian kecohan sebagai berikut:
A fallacy is a kind of argument or appeal that tends to persuade us, even though it is
faulty. .. Fallacies are arguments thal tend o persuade but should not persuade (hlm.
102).

9
Stratagem (Ralat: selanjutnya kata strategem seharusnya ditulis stratagem)
Stratagem adalah pendekatan atau cara-cara untuk mempengaruhi keyakinan orang
dengan cara selain mengajukan argumen yang valid atau masuk akal (reasonable
argument). Stratagem merupakan salah satu bentuk argumen karena merupakan upaya
untuk menyakinkan seseorang agar dia percaya atau bersedia mengerjakan sesuatu.
Berbeda dengan argumen yang valid, stratagem biasanya digunakan untuk membela
pendapat yang sebenarnya keliru atau lemah dan tidak dapat dipertahan kan secara
logis. Karenanya, stratagem dapat mengandung kebo- hongan (deceit) dan muslihat
(trick). Biasanya, stratagem digunakan dengan niat semata-mata untuk memaksakan
kehendak, membujuk orang agar meyakini sesuatu, menjadikan hal yang tidak
baik/benar kelihatan baik/benar, atau menja tuhkan lawan bicara dalam debat atau
perselisihan. Berikut ini dibahas beberapa strategem yang sering dijumpai dalam
diskusi atau perdebatan baik politis maupun akademik.
Persuasi Tak langsung
Persuasi taklangsung merupakan strategem untuk menyakinkan seseorang akan
kebenaran suatu pernyataan bukan langsung melalui argumen atau penalaran
melainkan melalui cara-cara yang sama sekali tidak berkaitan dengan validitas
argumen. Contoh persuasi taklangsung banyak dijumpai dalam periklanan
(advertising). Untuk membujuk agar orang mau membeli produk, orang tidak
disuguhi argumen tentang mengapa produk tersebut berkualitas melainkan ditunjuki
pemandangan babwa seorang selebritis 'menggunakan produk tersebut. Harapannya
adalah orang yang tidak menggunakan produk akan merasa bahwa dia tidak termasuk
dalam golongan yang bergaya hidup selebritis.
Membidik Orangnya
Strategem ini digunakan untuk melemahkan atau menjatuhkan suatu posisi atau
pernyataan dengan cara menghubungan pernyataan atau argumen yang diajukan
seseorang dengan pribadi orang tersebut. Alih-alih mengajukan kontra-argumen
(counter-argunent) yang lebih valid, pembicara mengajukan kejelekan atau sifat yang
kurang menguntungkan dari lawan berargumen. Taktik ini sering disebut argumentum
ad hominem.
Menyampingkan Masalah
Strategem ini dilakukan dengan cara mengajukan argumen yang tidak bertumpu pada
masalah pokok atau dengan cara mengalihkan masalah ke masalah yang lain yang
tidak bertautan. Hal ini sering dilakukan orang jika dia (karena sesuatu hal) tidak
bersedia menerima argumen yang dia tahu lebih valid dari argumen yang
dipegangnya. Penyampingan masalah ini juga merupakan salah satu contoh salah
nalar karena penyampingan dilakukan dengan memberi penjelasan yang tidak
menjawab masalah.
Strategem penyampingan masalah (avoiding the issue) sering digunakan oleh
politikus untuk menghidari pertanyaan yang dapat memalukannya dalam suatu jumpa
pers dengan cara menyalah artikan pertanyaan dan menjawab pertanyaan
disalahartikan tersebut. Penyampingan masalah pokok sering disebut dengan taktik

10
red herring dalam perdebatan politik untuk menutupi atau menghindari kekalahan
dalam argumen. Red herrirg adalah praktik dalam perburuan untuk menghalangi
anjing pelacak membaui sasaran dengan cara memasang ikan herring melintang pada
jalan setapak atau jejak (trail).
Misrepresentasi
Strategem ini digunakarı biasanya untuk menyanggah atau menjatuhkan posisi lawa
dengan cara memutarbalikkan atau menyembunyikan fakta baik secara halus maupun
terang- terangan. Hal ini dapat dilakukan denga cara misalnya:Mengekstremkan posisi
lawan ,menyalah artikan maksud posisi lawan atau menonjolkan kelemahan dan
menyembunyikan keunggulan argunmen .
Imbauan Cacah
Strategem ini biasanya digunakan untuk mendukung suatu posisi dengah
menunjukkan bahwa banyak orang melakukan apa yang dikandung posisl tersebut.
Sebagai contoh, suatu kelompok memegang posisi untuk membolehkan penaikan
harga (mark-up) kontrak atau tender karena banyak rekanan melakukan hal tersebut.
Dalam promosi produk, pengiklan membuat klaim "Sembilan dari sepuluh bintang
film nenggunakan sabun merek X" untuk membujuk konsumer agar membeli sabun
tersebut, Imbauan cacah (appeal to number) didasarkan pada asumsi bahwa majoritas
orang melakukan suatu hal atau popularitas suatu hal menunjukkan bahwa hal tersebut
adalah benar atau tidak dupat salah. Mengajukan asumsi ini untuk mendukung posisi
tidak sama dengan mengaJukan argumen tetapi lebih merupakan strategem.
Imbauan Autoritas
Strategem ini mirip dengan imbauan cacah kecuali bahwa banyaknya orang atau
popularitas diganti dengan autoritas. Strategem ini dapat juga dianggap sebagai salah
satu jenis argumen ad hominem (membidik orangnya). Argumen membidik orangnya
yang dibahas sebelumnya berusaha menjatuhkan daya bujuk argumen imbauan
autoritas, dengan menjatuhkan kredibilitas penggagasnya. Dengan imbauan autoritas
orang berusaha meningkatkan daya bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bahwa
posisi tersebut dipegang oleh orang yang mempunyai autoritas dalam masalah
bersangkutan tanpa menunjukkan bagaimana autoritas bernalar.
Berkaitan dengan strategem ini adalah imbauan autoritas yang tidak tepat (appeal to
inappropriate authority). Dengan taktik ini, penalar berusaha untuk meningkatkan
kredibilitas dan daya bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bahwa posisi tersebut
juga dipegang oleh orang yang diakui sebagai ahli di bidang yang tidak berpautan
dengan masalah yang dibahas.
Imbauan Tradisi
Dalam beberapa hal, orang sering mengerjakan sesuatu dengan cara tertentu semata-
mata karena memang begitulah cara yang telah lama dikerjakan orang. Dalam dunia
ilmiah atau akademik, orang sering memegang suatu keyakinan dengan mengajukan
argumen bahwa memang demikianlah orang-orang mempunyai keyakinan. Namun,
kenyataan bahwa sesuatu telah lama dikerjakan dengan cara tertentu di masa lampau
tidak dengan sendirinya menjadi argumen untuk meneruskan cara tersebut khususnya
kalau terdapat cara lain yang terbukti valid atau baik (secara rasional dan praktis)

11
Imbauan terhadap tradisi juga mempunyai justifikasi seingga tradisi tidak dapat
ditinggalkan begitu saja. Akan tetapi, justifikasi tersebut dapat menjadi kecohan kalau
dipaksakan secara membabi buta. Hal yang perlu dicatat dalam kaitannya dengan
argumen ini adalah bahwa maksud baik tradisi tidak merupakan alasan yang kuat
untuk mempertahankannya atau untuk menolak mempertimbangkan bukti baru kalau
memang terdapat bukti kuat baru bahwa maksud tersebut tidak lagi valid. Prinsip ini
sering disebut the purpose defeats the law.
Dilema Semu
Dilema semu (false dilemma) adalah taktik seseorang untuk mengaburkan argumen
dengan cara menyajikan gagasannya dan satu alternatif lain kemudian
mengkarakterisasi alternatif lain sangat jelek, merugikan, atau mengerikan sehingga
tidak ada cara lain kecuali menerima apa yang diusulkan penggagas. Misalnya, dalam
suatu perdebatan tentang amandemen udang-undang dasar, seorang anggota fraksi
mengatakan (untuk meyakinkan anggota dewan yang lain):
"Kita harus menyetujui amandemen Ini atau negara kita akan hancur.
Imbauan Emosi
Apa yang dibahas sebelumnya adalah stratagem yang semata-mata menggunakan
muslihat (trick) yang oleh Cederblom dan Paulsen (1986) disebut tipu daya
(kecekatan) tangan yesulap (sleight of hand) tanpa melibatkan emosi pihak yang
dituju. Daya bujuk argumen sering dicapai dengan cara membaurkan emosi dengan
nalar (disebut confusing emotion with reason atau motive in place of suppori).
Pendeknya, daya nalar orang dimatikan dengan cara menggugah emosinya. Membidik
orangnya (argumen ad hominem) atau imbauan autoritas sebenarnya merupakan salah
satu bentuk imbauan emosi.
Dengan menggugah emosi, pengargumen sebenarnya berusaha menggeser dukungan
nalar (support) validitas argumennya dengan motif (motive). Dua stratagem yang
dapat digunakan untuk mencapai hal ini adalah imbauan belas kasih (appeal to pity)
dan imbauan tekanan/kekuasaan (appeal to force).

G. SALAH NALAR (REASONING FALLACY)


Suatu argumen boleh jadi tidak meyakinkan atau persuasif karena argume tersebut tidak
didukung dengan penalaran yang valid. Dengan kata lain, argumen menjadi tidak efektif
karena tia mengandung kesalahan struktur logika atau karena tidak masuk akal
(unreasonable). Salah nalar terjadi apabila penyimpulan tidak didasarkan pada kaidah-
kaidah penalaran yang valid. Jadi, salah nalar adalah kesalhan struktur atau proses formal
penalaran dalam menurunkan simpulan sehingga simpulan menjadi salah satu atau tidak
valid. Walaupun salah nalar dapat dipakai sebagai suatu strategem atau penalaran yang
layak sering didukung dengan strategem, tidąk selayaknyalah kaidah penalaran yang
sangat baik ditolak semata-mata karena sering disalahgunakan .Penalaran juga bersifat
kontekstual. Artinya, penalaran valid yang efektif dalam konteks yang satu belum tentu
efektif dalam konteks yang lain.
Menegaskan Konsekuen

12
Telah disinggung sebelumnya bahwa agar argumen valid maka harus merigikuti kaidah
menegaskan anteseden (affirming the antecedent atau modus ponens). Bila simpulan
diambil dengen pola premis yang menegaskan konsekuen, akan terjadi salah nalar.

Menyangkal Anteseden
Kebalikan dari salah nalar menegaskan konsekuen adalah menyangkal
anteseden.Menyangkal Antesedeneden Suatu argumen yang mengandung penyangkalan
akan valid apabla konklusaltarik mengikuti kaidah menyangkal konsekuen (denying the
atau modus tollens). Bila simpulan diambil dengan struktur premis yang menyangkal
anteseden, simpulan akan meniadi tidak valid. Berikut struktur dan contoh argu-men yang
valid dan salah nalar.
Pentaksaan (Equivocation)
Salah nalar dapat terjadi apabila ungkapan dalam premis yang satu menpunyai makna
yang berbeda dengan makna ungkapan yang sama dalam prémis lainnya. Dapat juga,
salah nalar terjadi karena konteks premis yang satu berbeda dengan konteks premis
lainnya. Secara struktural, argumen di atas menjadi salah nalar karena kata nothing dalam
premis major, nothing bermakna tidak ada satupun dari himpunan objek yang memenuhi
syarat sehingga kebahagiaan abadi adalah satu – satunya yang terbaik. Sementara itu
nothing dalam premis minor bermakna tidak tersedianya anggota lain dalam himpunan
yang didalamnya ham sandwhich bukan satu – satunya yang terbaik. Jadi, nothing dalam
premis major mensyiratkan kebahagiaan abadi adalah satu – satunya yang terbaik.
Sementara itu, nothing dalam premis minor mensyiratkan ham sandwich sebagai sesuatu
yang terjelek sehingga konsklusi tidak masuk akal atau tidak valid. Salah nalar seperti ini
terjadi karena penalar bermaksud menerapkan kaidah transivitas, tetapi tidak memenuhi
syarat. Transivitas dan contoh dapat dinyatakan sebagai berikut :
Kaidah Contoh :
Premis (1) : B < C Premis (1) : baroto lebih rajin daripada candra
Premis (2) : A > B Premis (2) : anton lebih rajin daripada baroto

Konklusi : A > C Konklusi : anton lebih rajin daripada candra


Argumen dalam contoh diatas valid apabila unsur B atau baroto mengacu pada
maknaatau objek yang sama sehingga tidak terjadi pentaksaan.
Perampatan lebih (over generalization)
Salah nalar yang bnayak di jumpai di dalam kehidupan sehari hari adalah
melekatkan karakteristik sebagian kecil anggota ke seluruh anggota himpunan,kelas,atau
kelompok secara berlebihan. Bila seorang menyimpulkan bahwa seorang warga
kampung x adalah pencuri karena dia mendapati bahwa dua pencuri yang baru saja di
tangkap berasal dari kampung X maka dia telah melakukan salah nalar. Perampatan atau
Generalisasi itu sendiri bukan merupakan salah nalar kemampuan merampatkan
merupakan suatukemampuan intelektual yang sangat penting dalam pengembangan ilmu.
Maslah nya adalah bila drajat perampatan begitu ektrimsehingga mengabaikan
kemungkinan bahwa apa yang di amati merupkan pengecualian. Dalam penelitian

13
empiris, ukuran sampel yang terlalu kecil dan kurangnya kerepresentatifan sampel dapat
menghasilkan konklusi yang keliru.
Salah nalar yang bertalian dengan perampatan lebih adalah apa yang dikenal
dengan istilah penstereotipaan. Salah nalar ini terjadi bila penalar mengkategori
seseorang sebagai anggota suatu kelompok kemudian melekatkan semua sifat atau
kualitas kelompok kepada orang tersebut. Misalnya, orang mengetahui bahwa para
akuntan publik umumnya adalah kaya (sifat kelompok). Salah nalar dapat terjadi
kalau penalar menyimpulkan bahwa Hariman pasti kaya karena dia adalah akuntan
publik.
Parsialitas (Partiality)
Penalaran kadang – kadang terkecoh karena dia menarik konklusi hanya atas
dasar sebagian dari bukti yang tersedia yang kebetulan mendukung konklusi. Hal ini
mirip dengan perampatan lebih lantaran sampel kecil atau ketakrepresentatifan bukti.
Kadang – kadang kita sengaja memilih dan meletakan bobot yang tinggi pada bukti
(argumen) yang cenderung mendukung konklusi atau keyakinan yang kita sukai
dengan mengabaikan bukti yang menentang konklusi tersebut. Kesalahan semacam
ini tidak harus merupakan suatu strategem karena penalar tidak bermaksud mengecoh
atau menjatuhkan lawan tetapi karena semata – mata dia tidak objektif dalam
penggunaan atau pengumpulan bukti.
Dalam penelitian,peneliti sering bias dalam pengumpulan data dengan membuat
pertanyaan yang mengarahkan responden. Bila peneliti berupaya untuk mendukung
teori yang disukainya dengan mengarahkan bukti secara bias, hal tersebut disebut
membangun kasus.
Pembuktian dengan Analogi
Analogi merupakan cara untuk membuktikan validitas atau kebenaran suatu
asersi. Analogi lebih merupakan suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi
konklusi mempunyai kebolehjadian untuk benar. Dengan kata lain, bila premis benar,
konklusi atas dasar analogi belum tentu benar. Jadi analogi dapat menghasilkan salah
nalar. Menyatakan bahwa dua objek sama atau serupa dalam beberapa aspek, lebih
dimaksudkan untuk menunjukkan kemiripan kedua objek tersebut. Namun demikian,
mengetahui bahwa dua objek sama dalam aspek a,b dan c tidak menjadi bukti bahwa
kedua objek tersebut juga sama dalam aspek d. Bila diketahui bahwa kedua objek
tersebut serupa dalam aspek d maka analogi tidak diperlukan untuk membuktikannya.
Bila tidak diketahui bahwa dua objek sama dalam aspek d salah nalar dapat terjadi
bila orang mengatakan bahwa karena X analogus dengan Y dalam aspek a,b,dan c, X
juga pasti punya d karena Y punya d. Jadi Y punya d bukan merupakan bukti bahwa
X punya d meskipun X dan Y analogus. Kesalahan semacam ini dapat dicontohkan
sebagai berikut :

Premis (1) : komputer mempunyai CPU yang bekerja seperti otak.


Premis (2) : otak berpikir
Konklusi : komputer berpikir
Dalam pengembangan istilah, analogi sering diartikan sebagai mengikuti
kaidah atau struktur ungkapan yang sama. Dengan makna ini, menggunakan analogi

14
untuk menurunkan istilah bukan merupakan salah nalar tetapi merupakan sarana untuk
mengaplikasi kaidah secara taat asas. Salah nalar justru akan terjadi kalau kaidah tidak
diikuti.

Meruncukan urutan kejadian dengan penyebaban


Dalam percakapan sehari-hari atau diskusi, kesalahan yang sering dilakukan
orang adalah merancukan urutan kejadian (temporal succession) dengan penyebaban
(causation). Bila kejadian B selalu mengikuti kejadian A, orang cenderung
menyimpulkan bahwa B disebabkan oleh A. Karena malam selalu mengikuti siang,
tidak berarti bahwa siang menyebabkan malam. Salah nalar terjadi bila urutan
kejadian disimpulkan sebagai penyebaban. Kesalahan ini sering disebut dalam bahasa
Latin post hoc ergo propter hoc (setelah ini, maka karena ini).
Telah dibahas sebelumnya bahwa urutan kejadian hanyalah merupakan salah
satu syarat untuk menyatakan adanya penyebaban (lihat kembali subbahasan
Argumen Sebab-Akibat di Syarat ini merupakan syarat perlu (necessary condition)
untuk penyebaban tetapi bukan syarat cukup (sufficient condition). Kalau A memang
menyebabkan B maka perlu dipenuhi syarat bahwa A selalu mendahului B. Syarat ini
makin kuat mendukung penyebaban bilamana hubungan A dan B adalah asimetri.
Artinya, kejadian “A mendahului B” tidak sama atau tidak berpasangan dengan
kejadian “B mendahului A” (kejadian “B mendahului A” tidak ada). Dua syarat lain
yang harus dipenuhi agar cukup untukmenyatakan adanya penyebaban adalah B
bervariasi dengan A dan tidak ada faktor lain selain A yang menyebabkan B berubah.
Dalam penelitian ekperimental yang bertujuan untuk menguji hubungan
penyebaban, konklusi dapat salah atau meragukan karena terdapat faktor penyebab
selain yang diteliti yang ternyata juga mempengaruhi faktor akibat. Bilahal ini terjadi,
maka dikatakan bahwa penelitian tersebut mempunyai validitas internal (internal
validity) yang rendah.
Menarik Simpulan Pasangan
Kemampuan seseorang untuk menyajikan argumen sering menjadikan
argumen yang valid atau benar menjadi kurang meyakinkan. Akibatnya, orang sering
lalu menyimpulkan bahwa konklusinya tidak benar atau valid. Hal penting yang perlu
diingat adalah bahwa kemampuan seseorang untuk menyajikan argumen
yangmendukung atau menyangkal suatu posisi tidak menentukan kebenaran (truth)
atau ketakbenaran (falsity) konklusi (posisi). Kebenaran konklusi atau posisi memang
harus didukung oleh argumen yang meyakinkan.
Salah nalar terjadi kalau orang menyimpulkan bahwa suatu konklusi salah
lantaran argumen tidak disajikan dengan meyakinkan (tidak konklusif) sehingga dia
lalu menyimpulkan bahwa konklusi atau posisi pasanganlah yang benar.
Kecohan ini mirip dengan bentuk salah nalar menyangkal anteseden yang telah
dibahas sebelumnya. Kecohan ini dapat dinyatakan sebagai berikut :

15
Premis (1) : jika seorang dapat menyajikan suatu argumen yang meyakinkan maka
konklusi benar
Premis (2) : pak antoni menyajikan argumennya dengan tidak meyakinkan
Konklusi : posisinya tidak benar. Posisi pasangannya yang benar

Jadi, mengambil konklusi pasangan lantaran konklusi yang diajukan tidak


disajikan secara meyakinkan merupakan suatu salah nalar. Kalau suatu pernyataan
yang memang valid disajikan dengan argumen yang kurang efektif, maka hal terbaik
yang dapat disimpulkan adalah bahwa validitas atau kebenaran pernyataan tersebut
belum terungkap atau ditunjukkan tetapi tidak berarti bahwa pernyataan tersebut
takbenar. Dengan demikian, kurang meyakinkannya suatu konklusi tidak dengan
sendirinya membenarkan konklusi yang lain (pasangan).
Dalam pengembangan ilmu dikenal suatu pendekatan atau semangat untuk
menguji suatu teori yang disebut penyanggahan atau refutasi ilmiah (scientific
refutation). Semangat ini dilandasi oleh pikiran bahwa suatu teori ilmiah tidak harus
dapat dibuktikan benar tetapi harus dapat disanggah (dibuktikan salah) kalau tia
memang salah; misalnya dengan pengajuan teori baru yang lebih baik.
Dasar pikiran ini sering disebut dengan prinsip ketersalahan atau
keterbuktisalahan (principle of falsifiability). Bila ilmuwan tidak dapat menunjukkan
dengan meyakinkan bahwa teori barunya lebih valid, maka ilmuwan terpaksa
“menerima” teori yang disanggahnya. Prosedur penyimpulan semacam ini bukan
merupakan salah nalar tetapi lebih merupakan usaha untuk mencapai ketegaran ilmiah
(scientific rigor). Hal ini penting agar orang tidak dengan mudah mengganti teori
dengan teori yang belum teruji secara meyakinkan. Namun, prosedur ini mengandung
risiko yaitu ilmuwan tidak menolak teori yang disangkalnya padahal teori tersebut
sebenarnya salah. Jadi, ilmuwan “menerima” teori yang salah. Risiko ini disebut
kesalahan penyimpulan (error of inference) dan harus dihindari.
Dalam penelitian ilmiah (empiris), konklusi atau teori biasanya dinyatakan
dalam bentuk hipotesis. Konklusi pasangan yang dibahas di atas sering ditempatkan
sebagai hipotesis nol (null atau default hypothesis) sedangkan hipotesis (teori baru)
yang diajukan dan akan diuji ditempatkan sebagai hipotesis alternatif (alternative
hypothesis). Kalau peneliti tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang sangat kuat
untuk mendukung teorinya (bukti-bukti empiris yang diajukan tidak mendukung
secara statistis hipotesis alternatif), maka peneliti terpaksa menyimpulkan (tidak
menolak) hipotesis nol. Jadi, bila bukti empiris tidak cukup meyakinkan untuk
menyimpulkan hipotesis alternatif, maka dikatakan bahwa peneliti gagal menolak
hipotesis nol (to fail to reject the null or default hypothesis).
Dalam hal ini, peneliti menghadapi dua jenis risiko kesalahan penyimpulan
yaitu menyimpulkan hipotesis nol padahal sebenarnya tia salah atau menyimpulkan
hipotesis alternatif padahal sebenarnya tia salah. Dalam bahasa statistika, kesalahan
menyimpulkan hipotesis alternatif (atau menolak hipotesis nol) padahal kenyataannya
hipotesis alternatif adalah salah disebut dengan kesalahan Tipa I atau α. Sebaliknya,
kesalahan menyimpulkan hipotesis nol (tidak menolak hipotesis nol) padahal
kenyataannya hipotesis nol adalah salah disebut dengan kesalahan Tipa II atau β.

16
Prosedur refutasi ilmiah juga diterapkan dalam sistem pengadilan dengan
dianutnya asas praduga takbersalah (presumption of innocence). Pengadilan harus
memutuskan (menyimpulkan) bahwa seorang terdakwa bersalah (guilty) atau tak
bersalah (innocent atau not guilty). Penyimpulan ini sejalan dengan pengujian
hipotesis yang dibahas di atas. Dengan asas praduga takbersalah, terdakwa harus
dianggap takbersalah sampai terbukti memang bersalah (until proven guilty) sehingga
posisi takbersalah ditempatkan sebagai hipotesis nol dan posisi bersalah sebagai
hipotesis alternatif. Tugas jaksalah atau penuntutlah untuk menunjukkan bukti-bukti
yang meyakinkan bahwa terdakwa bersalah. Dengan kata lain, beban pembuktian
(burden of proof) ada di tangan penuntut. Bila penuntut tidak dapat mengajukan bukti-
bukti yang sangat meyakinkan, maka hakim atau juri harus memutuskan bahwa
terdakwa takbersalah dengan risiko kesalahan bahwa terdakwa sebenarnya memang
bersalah (benar-benar melakukan kejahatan yang dituduhkan). Kesalahan ini dapat
dipadankan dengan kesalahan Tipa II. Dapat juga terjadi risiko kesalahan bahwa
terdakwa yang memang tidak bersalah dinyatakan salah. Risiko ini merupakan
kesalahan Tipa I. Hal yang perlu diingat adalah bahwa, dengan bukti yang sama,
mengecilkan risiko yang satu akan berakibat memperbesar risiko yang lain. Masalah
bagi pengadilan atau negara adalah manakah risiko yang akan ditekan sekecil-
kecilnya. Asas praduga takbersalah pada umumnya diterapkan dengan harapan bahwa
risiko kesalahan Tipa I adalah sekecil-kecilnya atau bahkan mendekati nol.

H. ASPEK MANUSIA DALAM PENALARAN


Stratagem dan salah nalar yang dibahas di atas belum mencakup semua
stratagem dan kecohan yang mungkin terjadi. Masih banyak cara atau proses yang
mengakibatkan kecohan. Uraian di atas juga belum menyinggung aspek manusia
dalam penalaran. Namun, pembahasan di atas memberi gambaran bahwa penalaran
untuk meyakinkan kebenaran atau validitas suatu pernyataan bukan merupakan proses
yang sederhana.
Telah disinggung sebelumnya bahwa mengubah keyakinan melalui argumen
dapat merupakan proses yang kompleks karena pengubahan tersebut menyangkut dua
hal yang berkaitan yaitu manusia yang meyakini dan asersi yang menjadi objek
keyakinan. Manusia tidak selalu rasional dan bersedia berargumen sementara itu tidak
semua asersi dapat ditentukan kebenarannya secara objektif dan tuntas. Hal ini tidak
hanya terjadi dalam kehidupan umum sehari-hari tetapi juga dalam dunia ilmiah dan
akademik yang menuntut keobjektifan tinggi. Yang memprihatikan dunia akademik
adalah kalau para pakar pun lebih suka berstratagem daripada berargumen secara
ilmiah. Berikut ini dibahas beberapa aspek manusia yang dapat menjadi penghalang
(impediments) penalaran dan pengembangan ilmu, khususnya dalam dunia akademik
atau ilmiah.
Penjelasan Sederhana
Rasionalitas menuntut penjelasan yang sesuai dengan fakta. Kebutuhan akan
penjelasan terhadap apa yang mengusik pikiran merupakan fundasi berkembangnya
ilmu pengetahuan. Namun, keingingan yang kuat untuk memperoleh penjelasan
sering menjadikan orang puas dengan penjelasan sederhana yang pertama ditawarkan

17
sehingga dia tidak lagi berupaya untuk mengevaluasi secara saksama kelayakan
penjelasan dan membadingkannya dengan penjelasan alternatif. Dengan kata lain,
orang menjadi tidak kritis dalam menerima penjelasan. Akibatnya, argumen dan
pencarian kebenaran akan terhenti sehingga pengembangan ilmu pengetahuan akan
terhambat.

Kepentingan Mengalahkan Nalar


Hambatan untuk bernalar sering muncul akibat orang mempunyai kepentingan
tertentu (vested interest) yang harus dipertahankan. Kepentingan sering memaksa
orang untuk memihak suatu posisi (keputusan) meskipun posisi tersebut sangat lemah
dari segi argumen.
Dalam dunia akademik dan ilmiah, kepentingan untuk menjaga harga diri
individual atau kelompok (walaupun semu) dapat menyebabkan orang (akademisi
atau ilmuwan) berbuat yang tidak masuk akal. Hal ini terjadi umumnya pada mereka
yang sudah mendapat julukan pakar atau ilmuwan yang kebetulan mempunyai
kekuasaan politis (baik formal atau informal). Nickerson (1986) menggambarkan hal
ini dengan mengatakan bahwa people with good reasoning ability may find
themselves behaving in an unreasonable way.
Kebebasan akademik merupakan suatu ciri penting lingkungan akademik yang
kondusif untuk pengembangan pengetahuan dan profesi (khususnya akuntansi).
Kebebasan akademik harus diartikan sebagai kebebasan untuk berbeda pendapat
secara akademik dalam suatu forum yang memungkinkan akademisi berargumen
secara terbuka. Sikap akademisi yang patut dihargai adalah kebersediaan untuk
berargumen.
Sikap ilmiah menuntut akademisi (termasuk pengelola suatu institusi) untuk
berani membaca dan memahami gagasan alternatif dan, kalau gagasan tersebut valid
dan menuju ke perbaikan, bersedia membawa gagasan tersebut ke kelas atau diskusi
ilmiah dan bukan malahan mengisolasinya. Keberanian dan kebersediaan seperti itu
merupakan suatu ciri sikap ilmiah dan akademik yang sangat terpuji (respected). Ini
tidak berarti bahwa ilmuwan/akademisi harus selalu setujudengan suatu gagasan.
Ketidaksetujuan dengan suatu gagasan itu sendiri (setelah berani membaca)
merupakan suatu sikap ilmiah asal dilandasi dengan argumen yang bernalar dan valid.
Ketidakberanian dan ketidakbersediaan itulah yang merupakan sikap tidak ilmiah
(akademik) dan justru hal ini sering terjadi dalam dunia akademik tidak hanya pada
masa sekarang tetapi juga masa lalu.
Sikap pakar dan akademisi yang tidak masuk akal tersebut, yang sering
disebut sebagai sikap yang insulting the intelligence, dikemukakan Hirshleifer (1988)
sebagai berikut :
All sciences advance through disagreement. In astronomy the geocentric model of
Ptolemy was opposed by the new heliocentric model of Copernicus; in chemistry
Priestley supported the phlogiston theory of combustion while Lavoisier propounded
the oxidation theory; and in biology the creationisme of earlier naturalists was
countered by Darwin’s theory of evolution. It is not universal agreement but rather

18
the willingness to consider evidence that signals the scientific approach. For
Galileo’s opponents to disagree with him about Jupiter’s moons was not unscientific
of itself; what was unscientific was their refusal to look through his telescope and see.
Sikap kolega senior Galileo untuk tidak bersedia mempertimbangkan bukti
yang diajukan Galileo melalui teleskopnya sebenarnya merupakan sikap tidak ilmiah.
Apapun motifnya, sikap tersebut menjadi tidak masuk akal mengingat kolega Galileo
tersebut adalah para pakar dan ilmuwan (bahkan juga merupakan pemuka masyarakat
dan penguasa). Sikap kurang terpuji ini akan menjadikan perbedaan pandangan
(disagreement) tidak akan terbuka untuk didiskusi dan kebenaran ilmiah tidak akan
dicapai. Keadaan ini dapat membingungkan masyarakat akademik dan menghambat
pengembangan pengetahuan.
Lingkungan akademik seperti di atas biasanya berkembang akibat sikap
akademisi itu sendiri yang membentuk budaya akademik. Budaya akademik yang
dapat menghambat kemajuan pengetahuan adalah apa yang penulis sebut sebagai
sindroma tes klinis (kalau diinggriskan menjadi clinical test syndrom) dan mentalitas
Djoko Tingkir (Djoko Tingkir mentality).
Sindroma Tes Klinis
Sindroma ini menggambarkan seseorang yang merasa (bahkan yakin) bahwa
terdapat ketidakberesan dalam tubuhnya dan dia juga tahu benar apa yang terjadi
karena pengetahuannya tentang suatu penyakit. Akan tetapi, dia tidak berani untuk
memeriksakan diri dan menjalani tes klinis karena takut bahwa dugaan tentang
penyakitnya tersebut benar. Akhirnya orang ini tidak memeriksakan diri ke dokter dan
mengatakan pada orang lain bahwa dirinya sehat. Jadi, orang ini takut mengetahui
kebenaran gagasan sehingga menghindarinya secara semu.
Dalam dunia akademik, sindroma semacam ini dapat terjadi kalau seseorang
mempunyai pandangan yang menurut dirinya sebenarnya keliru atau tidak valid lagi
karena adanya pandangan atau gagasan baru. Gagasan baru dia peroleh karena dia
sering mendengar dari kolega atau mahasiswa. Orang lain memperoleh gagasan baru
tersebut dari artikel atau hasil penelitian ilmiah. Dalam kondisi seperti ini, akademisi
sering tidak berani untuk membaca sumber gagasan karena takut jangan-jangan
pendapatnya yang telah telanjur disebarkan kepada mahasiswa benar-benar keliru.
Dapat juga, akademisi tersebut memang berani membaca dan benar-benar dapat
menerima argumen tetapi di muka umum (kelas) dia bersikap seolah-olah tidak
pernah tahu gagasan baru tersebut (bersikap tak peduli) apalagi membahasnya di kelas
dengan cukup dalam. Manifestasi lain dari sindroma ini adalah akademisi (dosen)
mengisolasi gagasan baru agar mahasiswa tidak pernah tahu semata-mata untuk
menutupi kelemahan suatu gagasan lama yang dianutnya. Bila sindroma semacam ini
banyak diindap oleh akademisi, dapat dipastikan kemajuan pengetahuan dan profesi
akan terhambat dan rugilah dunia pendidikan.
Mentalitas Djoko Tingkir
Bila kepentingan mengalahkan nalar sebagaimana digambarkan dalam kasus
Galileo di atas, maka pengembangan ilmu pengetahuan dapat terhambat dan pada
gilirannya praktik kehidupan yang lebih baik juga ikut terhambat. Sayangnya,
ilmuwan atau akademisi yang merasa ada di bawah kekuasaan kolega senior sering

19
memihak seniornya dan mengajarkan apa yang sebenarnya salah dengan
menyembunyikan apa yang sebenarnya valid semata-mata untuk menghormati kolega
senior (atau kelompoknya) atau untuk melindungi diri dari tekanan senior. Akibatnya,
timbul situasi yang di dalamnya argumen yang lemah harus dimenangkan dan
dilestarikan semata-mata karena kekuasaan. Ini berarti kekuasaan lebih unggul dari
penalaran.
Budaya Djoko Tingkir digunakan untuk menggambarkan lingkungan
akademik atau profesi seperti ini karena konon perbuatan Djoko Tingkir yang tidak
terpuji harus dibuat menjadi terpuji dengan cara mengubah skenario yang sebenarnya
terjadi semata-mata untuk menghormatinya karena dia bakal menjadi raja
(kekuasaan). Dalam dunia akademik, status pakar merupakan kekuasaan atau autoritas
akademik. Kepakaran merupakan kekuasaan karena orang dapat memperoleh
kekuasaan dan kedudukan (baik politik, struktural, atau institusional) lantaran
pengetahuan atau ilmunya. Namun, tidak semestinya kalau kekuasaan tersebut lalu
menentukan ilmu. Dunia akademik harus mengembangkan ilmu atas dasar validitas
argumen dan bukan atas dasar kekuasaan politik/jabatan.
Merasionalkan Daripada Menalar
Bila karena keberpihakan, kepentingan, atau ketakkritisan, orang telanjur
mengambil posisi dan ternyata posisi tersebut salah atau lemah, orang ada kalanya
berusaha untuk mencari-cari justifikasi untuk membenarkan posisinya. Dalam hal ini,
tujuan diskusi bukan lagi untuk mencari kebenaran atau validitas tetapi untuk
membela diri atau menutupi rasa malu. Bila hal ini terjadi, orang tersebut sebenarnya
tidak lagi menalar (to reason) tetapi merasionalkan (to rationalize). Sikap
merasionalkan posisi dapat terjadi karena keterbatasan pengetahuan orang
bersangkutan dalam topik yang dibahas tetapi orang tersebut tidak mau mengakuinya.
Agar argumen berjalan dengan baik, para penalar paling tidak harus mempunyai
pengetahuan yang cukup dalam topik yang dibahas. Kurangnya pengetahuan (topical
knowledge) dapat menjebak orang untuk lari ke stratagem daripada argumen yang
layak.
Sikap merasionalkan dalam diskusi dapat menimbulkan pertengkaran mulut,
perselisihan pendapat (dispute), atau debat kusir. Dalam situasi ini, pihak yang terlibat
dalam diskusi biasanya tidak lagi mengajukan argumen yang sehat untuk mendukung
posisi tetapi mengajukan argumen kusir (pedestrian argument) untuk menyalahkan
pihak lain dan memenangi perselisihan. Jadi, tujuan diskusi bukan lagi mencari solusi
tetapi mencari kemenangan (kadang-kadang menangnya sendiri). Memenangi debat
(selisih pendapat) dan meyakinkan suatu gagasan adalah dua hal yang sangat berbeda.
Untuk memenangi selisih pendapat, faktor emosional lebih banyak berperan daripada
faktor rasional atau penalaran. Pakarpun kadang-kadang lebih suka berdebat daripada
berargumen. Hal ini dikemukakan Nickerson (1986) sebagai berikut :
Disputes often arise when each of the two people builds a case favoring the opposite
conclusion and tries to convince the other person that he or she is wrong. Disputes
can be very frustrating. Even highly intelligent people sometimes act childishly when
engaged in them.

20
... “winning” a dispute and persuading someone to believe something are not
necessarily the same things. Indeed, winning a dispute may be the least likely way of
winning an opponent over your point of view. Disputes are rarely resolved by reason,
because the disputing parties typically are not seeking resolution; rather each is
seeking to win.

Persistensi
Karena kepentingan tertentu harus dipertahankan atau karena telah lama
melekat dalam rerangka pikir, seseorang kadang-kadang sulit melepaskan suatu
keyakinan dan menggantinya dengan yang baru. Dengan kata lain, orang sering
berteguh atau persisten terhadap keyakinannya meskipun terdapat argumen yang kuat
bahwa keyakinan tersebut sebenarnya salah sehingga dia seharusnya melepaskan
keyakinan tersebut.
Sampai tingkat tertentu persistensi merupakan sikap yang penting agar orang
tidak dengan mudahnya pindah dari keyakinan atau paradigma yang satu ke yang lain.
Paradigma adalah satu atau beberapa capaian ilmu pengetahuan pada masa lalu (past
scientific achievements) yang diakui oleh masyarakat ilmiah pada masa tertentu
sebagai basis atau tradisi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan praktik
selanjutnya. Capaian (achievements) dalam ilmu pengetahuan (sciences) dapat berupa
filosofi, postulat, konsep, teori, prosedur ilmiah, atau pendekatan ilmiah. Untuk
menjadi paradigma, suatu capaian harus mempunyai penganut yang cukup teguh dan
capaian tersebut bersaing dengan capaian atau kegiatan ilmiah lain yang juga
mempunyai sekelompok penganut. Paradigma harus terbuka untuk diperbaiki atau
diganti oleh capaian pesaing atau baru sehingga dimungkinkan terjadi pergeseran atau
pergantian paradigma dari masa ke masa (conversion of paradigm). Konversi dapat
terjadi pada diri ilmuwan secara individual pada masa hidupnya atau pada generasi
ilmuwan ke generasi ilmuwan berikutnya. Riwayat terjadinya konversi paradigma
antargenerasi disebut oleh Thomas Kuhn sebagai revolusi ilmiah (scientific
revolution).
Dalam dunia ilmiah, persistensi untuk tidak melepaskan suatu keyakinan dapat
dimaklumi kalau tujuannya adalah untuk memperoleh argumen atau bukti yang kuat
untuk menunjukkan bahwa keyakinan yang dianut memang salah.
Tidak selayaknyalah suatu keyakinan atau paradigma dipertahankan kalau
memang terdapat bukti yang sangat meyakinkan bahwa tia salah. Namun, manusia
tidak selalu dapat bersikap objektif dan tidak memihak (impartial). Karena
kepentingan tertentu yang perlu dipertahankan, ilmuwan atau pakar pun sering
bersikap demikian sehingga konversi keyakinan sulit terjadi. Thomas Kuhn (1970)
menunjukkan contoh sebagai berikut :
Priestley never accepted the oxygen theory, nor Lord Kelvin the electromagnetic
theory, and so on. The difficulties of conversion have often been noted by scientists
themselves. Darwin, in a particulary perceptive passage at the end of his Origin of
Species, wrote: “Although I am fully convinced of the truth of the views given in this
volume..., I by no means expect to convince experienced naturalists whose mind are

21
stocked with a multitude of facts all viewed, during a long course of years, from a
point of view directly opposite to mine. ... [B]ut I look with confidence to the future,
—to young and rising naturalists, who will be able to view both sides of the question
with impartiality.” And Max Planck, ..., sadly remarked that “a new scientific truth
does not triumph by convincing its opponents and making them see the light, but
rather because its opponents eventuallydie, and a new generation grows up that is
familiar with it” (hlm. 151)

Memang menyedihkan apa yang dikatakan Planck bahwa gagasan baru yang
benar (a new scientific truth) mengungguli atau menang atas gagasan yang keliru
bukan lantaran pemegang gagasan lama sadar dan melihat sinar kebenaran melainkan
lantaran generasi baru telah menggantinya. Mengapa hal ini terjadi? Kuhn
menjelaskan hal ini dengan menyatakan (penebalan oleh penulis):
... scientists, being only human, cannot always admit their errors, even when
confronted with strict proof. I would argue, rather, that in these matters neither proof
nor error is at issue. The transfer of allegience from paradigm to paradigm is a
conversion experience that cannot be forced (hlm. 151).
Sebagai manusia, ilmuwan atau pakar tidak selalu dapat mengakui
kesalahannya meskipun dihadapkan pada bukti yang sangat telak (strict proof). Lagi
pula konversi paradigma (atau keyakinan) bukanlah hal yang dapat dipaksakan
sehingga resistensi adalah takterhindarkan dan sah-sah saja (legitimate).
Berkaitan dengan persistensi adalah gejala psikologis atau perilaku manusia
untuk terpaku pada makna suatu simbol atau objek dan kemudian menjadikan orang
tidak mampu melihat makna alternatif atau objek alternatif. Orang secara intuitif
melekatkan makna pada suatu objek melalui pengalamannya dan sering tidak
menyadari bahwa makna tersebut bersifat kontekstual di masa lalu dan tidak lagi
relevan dengan situasi yang baru. Perilaku semacam ini dikenal dengan istilah
keterpakuan atau fiksasi fungsional (functional fixation). Dalam akuntansi,
keterpakuan ini digunakan untuk menjelaskan mengapa investor tidak mampu untuk
mengubah keputusannya sebagai tanggapan atas perubahan proses akuntansi dalam
menyediakan data laba. Orang hanya melihat angka laba (bottom line) dalam statemen
laba-rugi tanpa memperhatikan bagaimana laba tersebut ditentukan atau terpengaruh
oleh perubahan metoda (proses) akuntansi. Keterpakuan fungsional juga merupakan
penghambat terjadinya argumen yang sehat. Orang yang sudah terpaku dengan istilah
“harga pokok penjualan” akan sangat sulit untuk dapat menerima istilah “kos barang
terjual” yang sebenarnya lebih tepat menggambarkan makna istilah aslinya yaitu cost
of goods sold.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek manusia sangat berperan
dalam argumen yang bertujuan mencari kebenaran. Rasionalitas merupakan unsur
penting dalam argumen. Walaupun demikian, faktor-faktor psikologis dan emosional,
kekuasaan, dan kepentingan pribadi atau kelompok juga berperan dan dapat
menghalangi terjadinya argumen yang sehat.

22
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berpikir logis dan sistematis
untuk membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan terhadap suatu pernyataan atau
asersi. Pernyataan dapat berupa teori (penjelasan) tentang suatu fenomena atau
realitas alam, ekonomik, politik, atau sosial. Penalaran perlu diajukan dan dijabarkan
untuk membentuk, mempertahankan, atau mengubah keyakinan bahwa sesuatu
(misalnya teori, pernyataan, atau penjelasan) adalah benar. Penalaran melibatkan
inferensi (inference) yaitu proses penurunan konsekuensi logis dan melibatkan pula
proses penarikan simpulan/konklusi (conclusion) dari serangkaian pernyataan atau
asersi. Proses penurunan simpulan sebagai suatu konsekuensi logis dapat bersifat
deduktif maupun induktif. Penalaran mempunyai peran penting dalam pengembangan,
penciptaan, pengevaluasian, dan pengujian suatu teori atau hipotesis.

23
DAFTAR PUSTAKA

Suwardjono. Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi tiga.


Yogyakarta : BPFE- YOGYAKARTA,2005.

24

Anda mungkin juga menyukai