Anda di halaman 1dari 50

BAHAN AJAR MINGGU KE-10

 Antibiotika adalah senyawa kimia yang


dihasilkan oleh mikroorganisme
(terutama fungi) atau dihasilkan
secara sintetik yang dapat membunuh
atau menghambat perkembangan
bakteri dan organisme lain
Berdasarkan spektrum kerja :
 AB spektrum luas  bekerja pada berbagai
jenis mikroba. Contoh : ampicillin, gentamicin
 AB spektrum sempit  bekerja hanya pada
beberapa jenis mikroba saja. Contoh :
penisilin
Berdasarkan kemampuan penghambatan :
 AB membunuh mikroba  bakterisida,
fungisida, virusida
 AB menghambat pertumbuhan mikroba 
bakteriostatik, fungistatik,
1. Golongan penisilin.
AB paling efektif dan paling kurang toksik.
Bersifat bakterisidal dengan cara
menghambat sintesis dinding sel
Golongan penisilin dapat terbagi menjadi :
- Penisilin natural yaitu yang didapat dari
jamur Penicillium chrysogenum  G & V
- Penisilin antistafilokokus,  metisilin,
oksasilin dan nafsilin.
- Penisilin dengan spektrum luas ampisilin
dan amoksisilin.
- Penisilin antipseudomonas karbenisilin,
tikarsilin dan piperasilin.
2. Golongan sefalosporin.
Golongan ini hampir sama dengan penisilin
karena mempunyai cincin beta laktam. Terbagi
menjadi 4 kelompok :
- Generasi pertama bertindak sebagai subtituen
penisilin G misalnya sefalotin, sefaleksin,
sefazolin, sefradin.
- Generasi kedua  sefamandol dan sefaklor.
- Generasi ketiga sefoksitin (termasuk dlm
sefamisin), sefotaksim dan moksalatam.
- Generasi keempat cefepime.
3. Golongan tetrasiklin
AB spektrum luas yang bersifat bakteriostatik
dengan cara menghambat sintesis protein.
4. Golongan aminoglikosida
Golongan ini hanya digunakan untuk bakteri gram
negatif enterik. Aminoglikosida bersifat
bakterisidal yang berikatan dengan subunit
30S/50S sehingga merupakan penghambat
sintesis protein yang ireversibel.
Contoh : streptomisin, neomisin
5. Golongan makrolida
Golongan makrolida berikatan pada subunit 50S
ribosom, sehingga menghambat translokasi
peptidil tRNA yang diperlukan untuk sintesis
protein  bersifat bakteriostatis, namun dalam
konsentrasi tinggi  bakteriosidal.
Macrolide biasanya menumpuk pada leukosit dan
akan dihantarkan ke tempat terjadinya infeksi.
Macrolide biasanya digunakan untuk Diphteria,
Legionella mycoplasma, dan Haemophilus .
Spektrum kerjanya hampir sama dg penisilin
Contoh : erythromycin dan azythromycin
6. Golongan sulfonamida dan trimetropim
Trimetropim menghambat asam
dihidrofolik reduktase bakteri
(antimetabolit)
7. Golongan flurokuinolon
Mekanisme kerja : menghambat pertumbuhan
bakteri dengan cara masuk melalui porins dan
menyerang DNA girase dan topoisomerase 
replikasi dan transkripsi DNA.
Fluorokuinolon merupakan golongan AB
terbaru  ciprofloksasin
Infeksi yang disebabkan oleh jamur disebut
mikosis.
Infeksi jamur secara umum dibedakan
menjadi infeksi jamur sistemik dan topikal
(dermatofit dan mukokutan)
Antijamur untuk infeksi sistemik :
amfoterisin B, flusitosin, grup azol
(ketokonazol,flukonazol, itrakonazol)
Antijamur untuk infeksi topikal :
griseofulvin, imidazol, tolnaftat, nistatin,
kandisidin, haloprogin, natamisin.
• Kelompok polyene (amfoterisin B, nistatin, natamisin),
Mekanisme kerja : mengikat Ergosterol pada dinding sel
jamur mengakibatkan membran sel jamur bocor dan licin
• Kelompok azol (ketokonazol, ekonazol, klotrimazol,
mikonazol, flukonazol, itrakonazol),
 Mekanisme kerja : menghambat sintesis ergosterol

• Kelompok lainnya, yaitu griseofulvin, dan flusitosin,


terbinafin, tolnaftat, haloprogin, naftifin, selensulfida,
pirition
 Terbinafin bekerja menghambat sintesis
 Ergosterol (menghambat squalen epoksidase)
 Griseovulfin terikat di keratin, sehingga kulit akan
resisten terhadap infeksi jamur
 Adalah agen yang membunuh virus atau yang menekan
kemampuan untuk bereplikasi dan menghambat kemampuan
untuk berkembang biak dan bereproduksi.
 Pengembangan antivirus (AV) tertinggal jauh dg AB  sebag
besar AV BUKAN AB  pemakaian AB antibakteri utk virus
tdk efektif
 Virus hanya terdiri atas materi genetik DNA atau RNA,
dengan beberapa enzim, terbungkus mantel protein.
  secara teknis tidak hidup  sulit untuk dibunuh
  virus bereplikasi (membuat salinan dari diri mereka
sendiri) dengan “membajak mesin” dari sel host  sulit
membunuh virus tanpa membunuh sel.
  virus juga bisa tetap tertidur (dormant) di dalam tubuh
tanpa replikasi, dapat menghindari obat-obatan yang
menghambat replikasi
Figure:
The Major
sites of
antiviral
drug
action
(Katzung,
Chapter
55)
Antiviral drugs Target Mode of action Example
Fusion inhibitors Viral surface proteins or Inhibit binding, fusion and entry of virusCyclosporine; Enfuvirtide
host cell receptors to the host cell and thus prevent Maraviroc; Docosanol
noninfected cells from infection Amantadine; Palivizumab
DNA polymerase Viral DNA polymerase Binds directly to active site of DNA Nucleoside analog :
inhibitors polymerase or terminate growing chain Idoxuridine; Vidarabine; Acyclovir
of DNA, as lack 3’OH group thus prevent Nucleotide analog :
s the further formation of Cidofovir;
phosphodiester bonds Pyrophosphate analog
Foscarnet; Phosphonoacetic acid
Reverse Viral replication Inhibits action of RT either binding NRTIs (Non Nucleoside RTIs):
Transcriptase directly to the enzyme or terminating the Zidovudine; Didanosine; Zalcitabine; Stavudine;
iIhibitors (RTIs) growing DNA chain Lamivudine
ntRTIs (nucleotide analogue RTIs):
Tenofovir; Adefovir
NNRTIs :
Efavirenz; Nevirapine; Delavirdine; Etravirine
Integrase inhibitors Integration of viral DNA Blocks the action of integrase Raltegravir
to host genome
Portmanteau RT as well as integrase Researchers are currently attempting to design
inhibitors inhibitors a suitable drugs
Protease inhibitors Activity of viral Inhibits the cleavage of nascent proteins Saquinavir; Indinavir; Amprenavir; Nelfinavir;
proteases of virus needed for assembly and Ritonavir
formation of new virions
Signaling inhibitors Signaling pathways Prevents signaling by blocking any key Resveratrol
component of the signaling pathways, Ribavirin
which are essensial for viral replication Diethyldithiocarbamate
 Parasitic protozoa: live in or on humans

• Malaria
• Leishmaniasis
• Amebiasis
• Giardiasis
• Trichomoniasis
• Sleeping Sickness
• Toxoplasmosis
• Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)
 Penyebab plasmodium (4 spesies).
 Penyebab : gigitan nyamuk dewasa atau penularan
melalui transfusi darah yg terinfeksi malaria,
penggunaan bersama jarum suntik dg orang yang
terinfeksi.
 Malarial Parasite (plasmodium)
 Siklus hidup independen (2) :
 Sexual cycle: in the mosquito
 Asexual cycle: in the human
 Obat-obatan hanya efektif selama siklus
aseksual.
Cth AB utk malaria : gol. Sulfonamida, tetrasiklin
dan doksisiklin, klindamisin, azithromycin.
Asexual cycle:
two phases
Exoerythrocytic :
occurs “outside”
the erythrocyte
Erythrocytic:
occurs “inside”
the erythrocyte
Metronidazole  amebiasis, trichomoniasis,
giardiasis
Paromomycin  amebiasis, cryptosporiasis
Pentamidine  P. carini pneumonia,
Pyrimethamine  malaria, toxoplasma
Tinidazole  giardiasis
Paromomycin sulfate  amebiasis
Doksisiklin  malaria
Tetrasiklin  malaria, amebiasis
Klindamisin  malaria, toxoplasma
 obat yang digunakan untuk
membrantas atau mengurangi cacing
dalam lumen usus atau jaringan tubuh
 Cacing merupakan organisme besar
dan mempunyai struktur yang
kompleks  pengobatan spesifik
 diethylcarbamazine : menghambat
kecepatan embriogenesis
 thiabendazole : menghambat enzim
spesifik cacing, yaitu fumarat
reduktase
 Mebendazole : menghambat asupan
glukosa dan nutrien lainnya shg
menyebabkan autolisis dan kematian
 Definisi
 Tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan
pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis
normal yang seharusnya atau dengan kadar hambat
minimalnya.

 Multiple drugs resistance


 Resistensi terhadap dua atau lebih obat maupun
klasifikasi obat.

 Cross resistance
 Resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat lain
yang belum pernah dipaparkan
 Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam
satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau
hilangnya efektivitas obat / senyawa kimia / bahan
lainnya yang digunakan untuk mencegah /
mengobati infeksi.

  Bakteri yang mampu bertahan hidup 


berkembang biak, menimbulkan lebih banyak
bahaya.

  Kepekaan bakteri terhadap antimikroba


ditentukan oleh kadar hambat minimal
1. Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur
antibiotika.
 Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G dengan cara
menghasilkan beta-laktamase, yang merusak obat tersebut.
2. Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat.
 Misalnya tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi
tidak pada bakteri yang resisten.
3. Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran
bagi obat.
 Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida
berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik
pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai
reseptor pada organisme yang rentan.
4. Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang
langsung dihambat oleh obat.
 Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid
tidak lagi membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi seperti sel
mamalia dapat menggunakan asam folat yang telah dibentuk
5. Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat
melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit
dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada mikroba yang
rentan.
 Misalnya beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid
menghasilkan dihidropteroat sintetase yang mempunyai afinitas
yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA

 Penyebab utama resistensi antibiotika


adalah penggunaannya yang meluas dan
irasional termasuk berdasarkan indikasi
yang kurang tepat
1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional):
 terlalu singkat, dosis terlalu rendah, diagnosa awal yang salah,
potensi tidak adekuat.
2. Faktor yang berhubungan dengan pasien.
 Pasien dengan pengetahuan yang salah  menganggap wajib
diberikan AB dalam penanganan penyakit meskipun tdk
disebabkan oleh bakteri (mis disebabkan virus, seperti flu,
batuk-pilek, demam).
 Pasien berkemampuan finansial  minta diberikan terapi AB
terbaru dan mahal meskipun tidak diperlukan.
 Pasien membeli antibiotika sendiri (self medication).
 Pasien bermampuan finansial rendah  tidak mampu
menuntaskan regimen terapi.
3. Peresepan berlebihan:
 Diberikan dalam jumlah besar  biaya perawatan yang tidak
perlu meningkat  meningkatkan seleksi resistensi terhadap
obat-obatan baru
3. Peresepan:
  terjadi ketika diagnose awal belum pasti.
 Klinisi sering kesulitan menentukan AB yang tepat karena
kurangnya pelatihan thd penyakit infeksi dan tatalaksana
antibiotiknya.
4. Penggunaan monoterapi :
 dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi,
penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan
resistensi.
5. Perilaku hidup sehat:
 terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci
tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-
alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.
6. Penggunaan di rumah sakit:
 adanya infeksi endemik atau epidemik memicu
penggunaan AB yang lebih massif pada bangsal-bangsal
rawat inap terutama di ICU. Kombinasi antara pemakaian
antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan
adanya pasien yang sangat peka terhadap infeksi,
memudahkan terjadinya infeksi nosokomial
7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak:
 AB juga dipakai untuk hewan ternak  digunakan sebagai
suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang
pertumbuhan hewan ternak.
 Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan
meningkatkan terjadinya resistensi.
 Selain itu meninggalkan sisa residu pada karkas 
terjadi pemakaian dosis subterapeutik pd manusia tanpa
disengaja.
8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran
oleh perusahaan farmasi serta didukung pengaruh
globalisasi,
 memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga
jumlah antibiotika yang beredar semakin luas. Hal ini
memudahkan akses masyarakat luas terhadap AB.
9. Pengawasan:
 Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah
dalam distribusi dan pemakaian AB.
  pasien dapat dengan mudah mendapatkan AB
meskipun tanpa peresepan.
  kurangnya komitmen dari instansi terkait untuk
mengendalikan penyebaran infeksi
• Mempelajari bentuk molekul enzim
yang dihasilkan oleh drug-resistant
bacteria  desain “fighter molecule”
 enzim deaktif  bakteri kembali
sensitive thd AB

• Mencari sumber AB baru


• Skrining awal kandidat AB (in vitro, in
silico)
• Uji mutagenitas (uji Ames)
• Uji toksisitas (LD50)
• Uji aktivitas antimikroba (MIC, MBC)
(CLSI method)
• Uji potensi antibiotic (Kirby Bauer method)
• Mikroorganisme yang digunakan dalam proses
fermentasi biasanya bukan dari “wild type” 
modifikasi atau mutasi secara genetic  mikroba
unggul.
• Strain improvement (pemuliaan galur) dilakukan secara
fisik, kimia maupun genetic
• Mutasi fisik misalnya dengan penyinaran UV, sinar X
• Mutasi kimia dengan senyawa kimia tertentu
• Mutasi biologi dengan cara “gene amplification”, dimana
beberapa salinan gen pengkode enzim yang terlibat
dalam produksi AB yang dituju dapat diinsersikan ke
dalam suatu plasmid, lalu diinsersikan ke dalam suatu sel
host untuk produksi
• MIC (minimum inhibitory concentration)
• MBC (minimum bactericidal concentration)
• CLSI method (Clinical and Laboratory Standard
Institute)

 Uji sensitivitas mikroba terhadap beberapa


antibiotic
1. Metode difusi

• Metode disc diffusion (Tes Kirby dan Bauer)


 Utk menentukan aktivitas agen antimikroba.
 Piringan berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar
yang telah ditanami m.o berdifusi pd media agar

 Area jernih  adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme


pd permukaan media agar.

• E-test
 Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC / KHM
(kadar hambat minimum),
 Metode ini digunakan strip plastik mengandung agen antimikroba
dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan permukaan
media agar yang telah ditanami m.o.
 Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya yang
menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pada media agar

Fig. 1. Comparative detection of the disk susceptibility of Fig.2. A Staphylococcus aureus


Escherichia coli A TCC 26922 with the modified Kirby-Bauer isolate tested by the Etest gradient
method and the standard Kirby-Bauer method. A, Modified Kirby- diffusion method with vancomycin
Bauer with 0.2% 1 tetrazolium; B, modified Kirby-Bauer with 0.5% (VA), daptomycin (DM), and linezolid
MTT-tetrazolium; C, standard Kirby-Bauer method. (LZ) on MH Agar
•Ditch-plate technique
Sampel uji berupa agen antimikroba diletakkan pada parit
yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam
cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan
mikroba uji ( maksimum 6 macam ) digoreskan kearah
parit yang berisi agen antimikroba.

•Cup-plate technique
Serupa dengan mitode disc diffusion, dimana dibuat
sumur pada media agar yang telah ditanami dengan
mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen
antimikroba yang akan diuji.
•Gradient-plate technique
Menggunakan variasi konsentrasi mulai dari 0 hingga
maksimal.
Media agar dicairkan dan larutan uji ditambahkan 
campuran kemudian dituang kedalam cawan petri dan
diletakkan dalam posisi miring.
Nutrisi kedua selanjutnya dituang diatasnya.
Media diinkubasi 24 jam (agar agen antimikroba berdifusi
dan permukaan media mengering).
Mikroba uji (maksimal 6 macam) digoreskan pada arah
mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah.
Hasil diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan
mikroorganisme maksimum yang mungkin dibandingkan
dengan panjang pertumbuhan hasil goresan
2. Metode dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair
(broth dilution) dan dilusi padat (solid dilution).
•Metode dilusi cair/broth dilution tes (serial dilution)
Metode ini mengukur MIC dan MBC
Prosedur : membuat seri pengenceran agen antimikroba
pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji.
Larutan uji pada kadar terkecil yang terlihat jernih
tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji  KHM 
dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan
mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi
selama 18-24 jam  jika tetap jernih  ditetapkan
sebagai KBM.
•Metode dilusi padat
Serupa dengan metode dilusi cair
namun menggunakan media padat
(solid).
Keuntungan : satu konsentrasi agen
antimikroba uji dapat digunakan
untuk menguji beberapa mikroba uji.

UJI AKTIVITAS ANTI FUNGI


Pengujiannya sama hanya media
berbeda
Media yang umum digunakan : Figure 3.
A broth microdilution
Sabouroud Dextrose Liquid/solid, susceptibility panel containing 98
Czapex Dox, dan media khusus fungi reagent wells and a disposable
lain. tray inoculator
• Perbaikan prosedur culturing
• Extremophiles
• Endophytes
• Mikroba laut
• Biosintesis kombinatorial
Perbaikan prosedur culturing

• Perkembangan terbaru dalam teknik


pengambilan biakan dari alam (mis: dari
tanah dan laut)
• Gel-encapsulated single cells (gel micro-
doplets = GMDs)
• Proses ini mencegah terjadinya “over
growth” oleh mikroba yang cepat
tumbuh, dan dapat menstimulasi
pertumbuhan mikroba yang termasuk
dalam slow-growing microbes
• Mikroba yang sulit dibiakkan secara in
vitro
 Acuan dalam mengeksplor tanah untuk
menggali potensi mikrobanya serta guideline
untuk proses produksinya
Extremophiles
• Mikroba yang hidup dalam habitat yang ekstrem,
misalnya asidofil (acidic sulfurous hotsprings) atau
alkalofil
• Mikroba termofil atau hipertermofil
• Mikroba yang hidup dalam air yang mengandung logam
atau lingkungan dengan polusi tinggi
Endophytes
• Mikroba yang berasosiasi dengan tumbuhan
• Dapat bersifat simbiosis atau patogenik
• Banyak ditemukan senyawa bioaktif baru, misalnya :
Kakadumycin dari endofit Streptomycetes pada
tanaman Grevillea pteridifolia
Endofit Aspergillus nidulans sebagai senyawa anti
kanker
Mikroba Laut
• Sedimen laut merupakan sumber potensial  terdapat bakteri
Actinomycetes yang unik,
misalnya Salinospora  salinosporamide A  inhibitor
proteasome yang sangat poten
• Endo-symbiosis antara bakteri dan fungi
Rhizopus dan Bulkhorderia  rhizoxin  awalnya dikembangkan
sbg pest control sekarang sbg anti kanker
Biosintesis Kombinatorial
• Penggalian informasi tentang
 peran PKS (polyketide synthase enzymes) dan gennya pada
beberapa bakteri
 Peran dan fungsi NRP (Non-Ribosomal Peptide Synthetase)
• Kombinasi informasi diarahkan pada sintesis senyawa baru
melalui proses rekayasa genetika
 Contoh : sintesis ephotilone dari mycobacterium Sorangium
cellulosum
 Pengembangan skala lab  Pengembangan skala pilot 
Pengembangan skala industry
 AB diproduksi dalam skala industry melalui proses fermentasi
atau total sintesis kimia atau kombinasi keduanya
 Proses fermentasi dengan menggunakan inoculum mikroba
minimum dalam “large containers “ (100.000 – 150.000 liter
atau lebih), dengan kondisi yang diatur
 Pengontrolan perlu dilakukan karena AB adalah metabolit
sekunder  Hasil optimal perlu kondisi optimal  Produk 
diekstraksi, diisolasi, dan dimurnikan.
 Cara pemurnian : kromatografi penukar ion, adsorpsi, atau
pengendapan kimiawi
 Cara sintesis kimia melibatkan reaksi berantai menggunakan
pelarut organik, katalis dan proses kimia lainnya
 Formulasi medium untuk mikroorganisme
 Sterilisasi medium dan lainnya
 Produksi yang aktif
dan inokulasi kultur
murni
 Ekstraksi produk
dan pemurnian
 Penanganan
produk limbah
(effluent)
Gambar Penggunaan
Saccharomyces cerevisiae
untuk memproduksi
“selenium yeast”

Anda mungkin juga menyukai