Anda di halaman 1dari 70

KONSEP

ETIK
BACKGROUND
 Perawat profesional harus menghadapi tanggung
jawab etik dan konflik yang mungkin meraka alami
sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik
profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran,
hak klien, perubahan sosial dan hukum telah
berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik.
Standart perilaku perawat ditetapkan dalam kode
etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan
internasional, nasional, dan negera bagian atau
provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip
etik dalam pengambilan keputusan dan mencakup
nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan
semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki
tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan
bertindak sebagai advokat klien.
 Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki
suatu landasan dan lindungan yang jelas. Para
perawat harus tahu berbagai konsep hukum yang
berkaitan dengan praktik keperawatan karena
mereka mempunyai akuntabilitas terhadap
keputusan dan tindakan profesional yang mereka
lakukan. Secara umum terhadap dua alasan
terhadap pentingnya para perawat tahu tentang
hukum yang mengatur praktiknya. Alasan pertama
untuk memberikan kepastian bahwa keputusan dan
tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan
prinsip-prinsip hukum. Kedua, untuk melindungi
perawat dari liabilitas
DEFINISI
 Etik atau ethics berasal dari kata yunani, yaitu
etos yang artinya adat, kebiasaaan, perilaku,
atau karakter. Sedangkan menurut kamus
webster, etik adalah suatu ilmu yang
mempelajari tentang apa yang baik dan buruk
secara moral. Dari pengertian di atas, etika
adalah ilmu tentang kesusilaan yang
menentukan bagaimana sepatutnya manusia
hidup di dalam masyarakat yang menyangkut
aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang
menentukan tingkah laku yang benar, yaitu :
 baik dan buruk
 kewajiban dan tanggung jawab (Ismani,2001).
 Etik mempunyai arti dalam penggunaan umum.
Pertama, etik mengacu pada metode penyelidikan
yang membantu orang memahami moralitas perilaku
manuia; yaitu, etik adalah studi moralitas. Ketika
digunakan dalam acara ini, etik adalah suatu
aktifitas; etik adalah cara memandang atau
menyelidiki isu tertentu mengenai perilaku manusia.
Kedua, etik mengacu pada praktek, keyakinan, dan
standar perilaku kelompok tertentu (misalnya : etik
dokter, etik perawat).
Etika berbagai profesi digariskan dalam kode etik
yang bersumber dari martabat dan hak manusia
(yang memiliki sikap menerima) dan kepercayaan
dari profesi
DEFINISI
 Moral, istilah ini berasal dari bahasa latin yang
berarti adat dan kebiasaan. Pengertian moral
adalah perilaku yang diharapkan oleh
masyarakat yang merupakan “standar
perilaku” dan nilai-nilai” yang harus
diperhatikan bila seseorang menjadi anggota
masyarakat di mana ia tinggal.
Etiket atau adat merupakan sesuatu yang
dikenal, diketahui, diulang, serta menjadi
suatu kebiasaan didalam masyarakat, baik
berupa kata-kata atau suatu bentuk perbuatan
yang nyata.
KODE ETIK
 Kode etik adalah suatu pernyataan formal mengenai
suatu standar kesempurnaan dan nilai kelompok.
Kode etik adalah prinsip etik yang digunakan oleh
semua anggota kelompok, mencerminkan penilaian
moral mereka sepanjang waktu, dan berfungsi
sebagai standar untuk tindakan profesional mereka.
Kode etik disusun dan disahkan oleh organisasi atau
wadah yang membina profesi tertentu baik secara
nasional maupun internasional. Kode etik
keperawatan di Indonesia telah disusun oleh Dewan
Pimpinan Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia melalui Musyawarah Nasional PPNI di
jakarta pada tanggal 29 November 1989.
 Kode etik keperawatan Indonesia tersebut terdiri dari
 Bab 1, terdiri dari empat pasal, menjelaskan tentang
tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga, dan
masyarakat.
 Bab 2, terdiri dari lima pasal menjelaskan tentang
tanggung jawab perawat terhadap tugasnya.
 Bab 3, terdiri dari dua pasal, menjelaskan tanggung jawab
perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan
lain.
 Bab 4, terdiri dari empat pasal, menjelaskan tentang
tanggung jawab perawat terhadap profesi keperawatan.
 Bab 5, terdiri dari dua pasal, menjelaskan tentang
tanggung jawab perawat terhadap pemerintah, bangsa,
dan tanah air.
Tanggung jawab Perawat
terhadap klien
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat, diperlukan peraturan tentang hubungan
antara perawat dengan masyarakat, yaitu sebagai
berikut :
○ Perawat, dalam melaksanakan pengabdiannya,
senantiasa berpedoman pada tanggung jawab yang
bersumber pada adanya kebutuhan terhadap
keperawatan individu, keluarga, dan masyarakat.
○ Perawat, dalam melaksanakan pengabdian dibidang
keperawatan, memelihara suasana lingkungan yang
menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan
kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga
dan masyarakat.
○ Perawat, dalam melaksanakan kewajibannya terhadap
individu, keluarga, dan masyarakat, senantiasa
dilandasi rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan
tradisi luhur keperawatan.
Tanggung jawab Perawat
terhadap tugas

○ Perawat, memelihara mutu pelayanan keperawatan


yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam
menerapkan pengetahuan serta keterampilan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu,
keluarga, dan masyarakat.
○ Perawat, wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya sehubungan dengan tugas yang
dipercayakan kepadanya, kecuali diperlukan oleh pihak
yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Lanjutan
○ Perawat, tidak akan menggunakan pengetahuan
dan keterampilan keperawatan yang dimilikinya
dengan tujuan yang bertentangan dengan norma-
norma kemanusiaan.
○ Perawat, dalam menunaikan tugas dan
kewajibannya, senantiasa berusaha dengan
penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh
pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit,
umur, jenis kelamin, aliran politik, agama yang
dianut, dan kedudukan sosial.
○ Perawat, mengutamakan perlindungan dan
keselamatan pasien/klien dalam melaksanakan
tugas keperawatannya, serta matang dalam
mempertimbangkan kemampuan jika menerima
atau mengalih-tugaskan tanggung jawab yang ada
hubungannya dengan keperawatan.
Tanggung jawab Perawat
terhadap Sejawat

Tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat


dan profesi kesehatan lain sebagai berikut :
○ Perawat, memelihara hubungan baik antara sesama
perawat dan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam
memelihara keserasiaan suasana lingkungan kerja
maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan
secara menyeluru.
○ Perawat, menyebarluaskan pengetahuan,
keterampilan, dan pengalamannya kepada sesama
perawat, serta menerima pengetahuan dan
pengalaman dari profesi dalam rangka meningkatkan
kemampuan dalam bidang keperawatan.
Tanggung jawab Perawat
terhadap Profesi
○ Perawat, berupaya meningkatkan kemampuan
profesionalnya secara sendiri-sendiri dan atau
bersama-sama dengan jalan menambah ilmu
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang
bermanfaat bagi perkembangan keperawatan.
○ Perawat, menjungjung tinggi nama baik profesi
keperawatan dengan menunjukkan perilaku dan
sifat-sifat pribadi yang luhur.
○ Perawat, berperan dalammenentukan pembakuan
pendidikan dan pelayanan keperawatan, serta
menerapkannya dalam kagiatan pelayanan dan
pendidikan keperawatan.
○ Perawat, secara bersama-sama membina dan
memelihara mutu organisasi profesi keperawatan
sebagai sarana pengabdiannya.
Tanggung jawab Perawat
terhadap Negara

○ Perawat, melaksanakan ketentuan-ketentuan


sebagai kebijsanaan yang telah digariskan oleh
pemerintah dalam bidang kesehatan dan
keperawatan.
○ Perawat, berperan secara aktif dalam
menyumbangkan pikiran kepada pemerintah dalam
meningkatkan pelayanan kesehatan dan
keperawatan kepada masyarakat.

Tujuan Kode Etik Keperawatan

 Pada dasarnya, tujuan kode etik keperawatan adalah upaya


agar perawat, dalam menjalankan setiap tugas dan fungsinya,
dapat menghargai dan menghormati martabat manusia. Tujuan
kode etik keperawatan tersebut adalah sebagai berikut :
 Merupakan dasar dalam mengatur hubungan antar perawat, klien atau
pasien, teman sebaya, masyarakat, dan unsur profesi, baik dalam
profesi keperawatan maupun dengan profesi lain di luar profesi
keperawatan.
 Merupakan standar untuk mengatasi masalah yang silakukan oleh
praktisi keperawatan yang tidak mengindahkan dedikasi moral dalam
pelaksanaan tugasnya.
 Untuk mempertahankan bila praktisi yang dalam menjalankan tugasnya
diperlakukan secara tidak adil oleh institusi maupun masyarakat.
 Merupakan dasar dalam menyusun kurikulum pendidikan
kepoerawatan agar dapat menghasilkan lulusan yang berorientasi pada
sikap profesional keperawatan.
 Memberikan pemahaman kepada masyarakat pemakai / pengguna
tenaga keperawatan akan pentingnya sikap profesional dalam
melaksanakan tugas praktek keperawatan.
KONSEP
HUKUM
HUKUM KEPERAWATAN

 Fungsi Hukum dalam Praktek Keperawatan


Hukum mempunyai beberapa fungsi bagi
keperawatan :
 Hukum memberikan kerangka untuk menentukan
tindakan keperawatan mana yang sesuai dengan
hukum.
 Membedakan tanggung jawab perawat dengan
profesi yang lain.
 Membantu menentukan batas-batas kewenangan
tindakan keperawatan mandiri.
 Membantu dalam mempertahankan standar praktek
keperawatan dengan meletakkan posisi perawat
memiliki akuntabilitas di bawah hukum (Kozier, Erb,
1990)
 Undang-Undang Praktek Keperawatan
 Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang
kesehatan
○ BAB I ketentuan Umum, pasal 1 ayat 3
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
○ Pasal 1 ayat 4
Sarana kesehatan adalah tempat yang
dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia
Nomor : 1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang
Registrasi dan Praktek Perawat
(sebagai revisi dari SK No.647/MENKES/SK/IV/2000)
○ BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 :
Dalam ketentuan menteri ini yang dimaksud dengan
 Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat
baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Surat ijin perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti
tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan
pekerjaan keperawatan diseluruh Indonesia.
 Surat ijin kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis
untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh
wilayah Indonesia.
○ BAB III perizinan,
Pasal 8, ayat 1, 2, & 3 :
 Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada
sarana pelayanan kesehatan, praktek perorangan atau
kelompok.
 perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada
sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK
 Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok
harus memiliki SIPP

Pasal 9, ayat 1
 SIK sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 2 diperoleh
dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
 Pasal 10
 SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.

Pasal 12
 SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 3 diperoleh
dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
 SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki
pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan
keperawatan dengaan kompetensi yang lebih tinggi.
 Surat ijin praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah
bukti tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan
praktek perawat.

Pasal 13
 Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan atau SIPP
dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan
keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode
etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek
keperawatan.
 Pasal 15
 Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang
untuk :
- Melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian,
penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan
tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
- Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir (i)
meliputi: intervensi keperawatan, observasi keperawatan,
pendidikan dan konseling kesehatan.
- Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana
dimaksudhuruf (i) dan (ii) harus sesuai dengan standar asuhan
keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi.
- Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakuakn berdasarkan
permintan tertulis dari dokter.

Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20 :
 Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan,
perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15.
 Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
 Pasal 21
 Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus
mencantum SIPP di ruang prakteknya.
 Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak
diperbolehkan memasang papan praktek.

Pasal 31
 Perawat yang telah mendapatkan SIK atau SIPP dilarang :
- Menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum
dalam izin tersebut.
- Melakukan perbuatan bertentangan dengan standar
profesi.
 Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan
darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang
tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 butir a.
APLIKASI DALAM
KEP. GERONTIK
BACKGROUND
 Dalam bidang geriatri, masalah etika
(termasuk hukum) sangat penting artinya,
bahkan diantara berbagai cabang
kedokteran mungkin pada cabang inilah
etika dan hukum paling berperan.
 Kane (1994) dkk menyatakan : ”…. ethic is
fundamental part of geriatrics. While it is
central to the practice of medicine it self,
the dependent nature of geriatric patients,
makes it a special concern………….”.
 Fenomena pd geriatri terkait dg etik &
hukum, antara lain:
 keputusan tentang mati hidup penderita.
 Apakah pengobatan diteruskan atau
dihentikan.
 Apakah perlu tindakan resusitasi.
 Apakah makanan tambahan per infuse tetap
diberikan pada penderita kondisi yang
sudah jelas akan meninggal?
 Dalam geriatric aspek etika ini erat dengan
aspek hukum, sehingga pembicaraan
mengenai kedua aspek ini sering disatukan
dalam satu pembicaraan.
 Aspek hukum penderita denagn
kemampuan kognitif yang sudah sangat
rendah seperti pada penderita dementia
sangat erat kaitannya dengan segi etik.
Antara lain berbagai hal mengenai
pengurusan harta benda enderita lansia
 Beberapa hal tersebut perlu mendapatkan
perhatian di Indonesia
 Dimana geriatri merupakan bidang ilmu
yang baru saja mulai berkembang.
 Oleh karena itu, beberapa dari prinsip etika
yang dikemukakan berikut ini sering belum
terdapat / dilaksanakan di Indonesia.
 Pengertian dan pengetahuan mengenai hal
ini akan memberi gambaran bagaimana
seharusnya masalah etika dan hukum pada
perumatan penderita lanjut usi diberlakukan.
Prinsip etika penderita usia lanjut
(Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
 Empati
1. ”simpati atas dasar pengertian yang dalam”.
2. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri
harus memandang seorang lansia yang sakit dengan
pengertian, kasih sayang dan memahami rasa
penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut.
3. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar,
tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-
protective dan belas-kasihan.
4. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus
memahami proses fisiologis dan patologik dari penderita
lansia.
Yang harus dan yang ”jangan”

 Atau non-maleficence dan beneficence.


 Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada
keharusan untuk mengerjakan yang baik
untuk penderita dan harus menghindari
tindakan yang menambah penderitaan bagi
penderita.
 Terdapat adagium primum non nocere
(”yang penting jangan membuat seseorang
menderita”).
 Otonomi

yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu


mempunyai hak untuk menentukan
nasibnya, dan mengemukakan keinginannya
sendiri.
Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan,
akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut
berdasar pada keadaan, apakah penderita
dapat membuat putusan secara mandiri dan
bebas.
 Keadilan

prinsip pelayanan geriatri harus


memberikan perlakuan yang sama
bagi semua penderita. Kewajiban
untuk memperlakukan seorang
penderita secara wajar dan tidak
mengadakan pembedaan atas
dasar karakteristik yang tidak
relevan.

 Kesungguhan Hati

suatu prinsip untuk selalu memenuhi


semua janji yang diberikan pada
seorang penderita.
Ket : prinsip Otonomi
 penderita harus ikut berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan dan
pembuatan keputusan. Pada akhirnya
pengambilan keputusan harus bersifat
sukarela
 keputusan harus telah mendapat
penjelasan cukup tentang tindakan atau
keputusan yang akan diambil secara
lengkap dan jelas.
 keputuan yang diambil hanya dianggap
sah bila penderita secara mental dianggap
kapabel
Hal yg mempengaruhi
(aspek otonomi)
 realitas klinik adanya gangguan proses
pengambilan keputusan (misalnya pada
keadaan depresi berat, tidak sadar atau
dementia).
Bila gangguan tersebut demikian berat,
sedangakan keputusan harus segera
diambil, maka keputusan bisa dialihkan
kepada wakil hukum atau walimkeluarga
(istri/suami/anak atau pengacara). Dalam
istilah asing keadaan ini disebut sebagai
surrogate decission maker.
Lanjutan …..
 Apabila keputusan yang diharapkan
bantuannya bukan saja mengenai aspek
medis, tetapi mengenai semua aspek
kehidupan (hukum, harta benda dll) maka
sebaiknya terdapat suatu badan
pemerintah yang melindungi kepentingan
penderita yang disebut badan perlindungan
hukum (guardianship board)
(Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al,
1994).
ARAHAN KEINGINAN PENDERITA
(advance directives)
(Reuben et al, 1996, Kane et al, 1994)

 Dalam hal menghargai hak otonomi penderita, dikenal apa yang


disebut sebagai arahan keinginan penderita, yaitu ucapan atau
keingginan penderita yang diucapkan pada saat penderita masih
dalam keadaan kapasitas fungsional yagn baik. Arahan keinginan
yang diucapkan ini sebaiknya dicatat/direkam untuk kemudian
digunakan sebagai pedoman bilamana diperlukan untuk
pengam,bilan keputusan pada saat kapasitas fungsional penderita
terganggu atau menurun. Bahkan apabila arahan tersebut tidak
dicatat/direkam, tetap mempunyai kekuatan hukum, asalkan terdapat
saksi-saksi yang cukup pada saat arahan tersebut diucapkan.
 Yang lebih kuat dari arahan keinginan pendeita adalah apa yang
disebut sebagai testament kematian (living will), yaitu suatu
pernyataan dari penderita saat masih kapabel secara fungsional
didepan seorang petugas hukum (pengacara/notaries). Testament
kematian ini bisa memberi kekuatan hokum atas tindakan dokter
unruk memberikan, menghentikan atau melepas segala tindakan
pemberian alat Bantu perpanjangan hidup.
PEMBERIAN PERALATAN
PERPANJANGAN HIDUP
(Life Sustaining Device)
 Salah satu aspek etika yang penting dan tetap
controversial dalam pelayanan geriatric adalah
penggunaan perpanjangan hidup, antara lain
 Ventilator
 resusitasi kardio-pulmoner
 Pada usia lanjut apalagi kalau penyakitnya
sudah meluas (advanced), pemberian
peralatan tersebut seringkali diperdebatkan
justru merupakan tindakan yang “kejam”
(futile treatment).
PERUMATAN PENDERITA TERMINAL & HOSPIS
(Shaw, 1984; Kane et al, 1994; Ruben et al,
1996; Pearlman, 1990)

 Apakah penderita perlu


diberitahu
 Kalau jelas-jelas semua
tindakan medis/operatif
tidak bisa dikerjakan,
apakah ada hal lain yang
perlu dilakukan, atau
apakah etis kalau dokter
tetap memaksakan
pemberian sotostatika
atau tindakan lain ?
ASPEK HUKUM DAN ETIKA

 Produk hukum tentang Lanjut Usia dan


penerapannya disuatu negara merupakan
gambaran sampai berapa jauh perhatian
negara terhadap para Lanjut Usianya
 Tahun 1965 di Indonesia diletakkan
landasan hukum, yaitu Undang-Undang
nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi
Orang Jompo
 Bila dibandingkan dengan keadaan di
negara maju, di negara berkembang
perhatian terhadap Lanjut Usia belum
begitu besar
FENOMENA
 Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person
Home Act (1954), Home Nursing Subsidy Act (1956), The
Home and Community Care Program (1985), Bureau for
the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care
(1992), Charter for Resident’s Right (1992), Community
Option Program (1994), dan Aged Care Reform Strategy
(1996).
 Di Amerika Serikat di undangkan Social Security Act
yang meliputi older American Act (Title III), Medicaid (Title
VII), Medicare (Title XIX, 1965), Social Service block Plan
(Title XX) dan Supplemental Security Income (Title XVI).
Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal
Responsibility Act (1982), Omnibus Budget Reconcilliation
Act (OBRA, 1987), The Continuun of Long-term Care
(1987) dan Program of All Care of the Elderly (PACE,
1990).
 Di Inggris di undangkan National
Assistence Act, Section 47 (1948) dan
telah ditetapkan standardisasi
pelaytanan di rumah sakit serta di
masyarakat. Juga telah ditentukan ratio
tempat tidur per lanjut usia dan
continuing care.
 Di Singapura dibentuk Advisory Council
on the Aged, Singapore Action Group of
Elders (SAGE) dan The Elders’ Village.
Produk hukum dan perundang-
undangan (Lanjut Usia)
1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan
bagi Orang Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia nomor 2747).
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja.
3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita.
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
nasional.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha
Perasuransian.
Lanjutan ….
1. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.
2. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman.
3. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang PErkembangan
Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera.]
4. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
5. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang
Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan
Perkembangan Kependudukan.
8. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia (Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai
pengganti undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang
Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
Undang-undang Nomor 13 tahun
1998 ini berisikan antara lain :

 Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab


pemerintah, masyarakat dan kelembagaan.
 Upaya pemberdayaan.
 Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia
potensial dan tidak potensial.
 Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
 Perlindungan sosial.
 Bantuan sosial.
 Koordinasi.
 Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
 Ketentuan peralihan.
PERMASALAHAN

 Produk Hukum
Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak,
belum semua produk hukum dan perundang-
undangan mempunyai Peraturan Pelaksanaa
• Begitu pula, belum diterbirkan Peraturan Daerah,
Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk Teknisnya,
sehingga penerapannya di lapangan sering
menimbulkan permasalahan. Undang-undang
terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang
Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan
sosial Lanjut Usia, sehingga perlu dipertimbangkan
diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat
mengatasi permasalahan Lanjut Usia secara
spesifik.
Keterbatasan prasarana

 Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia


yang terbatas di tingkat masyarakat,
pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan
tingkat I dan tingkat II, sering
menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut
Usia. Demikian pula, lembaga sosial
masyarakat dan ortganisasi sosial dan
kemsyarakatan lainnya yang menaruh minat
pada permasalahan ini terbatas jumlahnya.
Hal ini mengakibatkan para Lanjut Usia tak
dapat diberi pelayanan sedini mungkin,
sehingga persoalanya menjadi berat pada
saat diberikan pelayanan.
 Keterbatasan SDM
Terbatasntya kuantitas dan kualitas tenaga
yang dapat memberi pelayanan serta
perawatan kepada Lanjut Usia secara
bermutu dan berkelanjutan mengakibatkan
keterlambatan dalam mengetahui tanda-
tanda dini adanya suatu permasalahan
hukum dan etika yang sedang terjadi.
Dengan demikian, upaya mengatasinya
secara benar oleh tenaga yang
berkompeten sering dilakukan terlambat
dan permasalahan sudah berlarut.
Tenaga yang dimaksud berasal
dari berbagai disiplin ilmu, antara
lain :
 Tenaga ahli gerontology
 Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatric, psikogeriatri,
neurogeriatri, dokter spesialis dan dokter umum terlatih,
fisioterapis, speech therapist, perawat terlatih.
 Tebaga sosisal : sosiolog, petuga syang mengorganisasi
kegiatan (case managers), petugas sosial masyarakat,
konselor.
 Ahli hukum: sarjana hokum terlatih dalam gerontology,
pengacara terlatih, jaksa penunutut umum, hakim terlatih.
 Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontology, konselor.
 Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana,
mahasiswa, pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus
lembaga ketahanan masyarakat desa, Rukun Warga/RW,
Rukun Tetangga/RT terlatih.
 Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga
Isu hukum dan etika
(Mary Ann Christ, et al.,1993)

 Pelecehan dan ditelantarkan (abuse and


neglect)
 Tindak kejahatan (crime)
 Pelayanan perlindungan (protective services)
 Persetujuan tertulis (informed consent)
 Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of
life and related ethical issues)
Pelecehan dan ditelantarkan
(abuse and neglect)
 Pelecehan dan ditelantarkan merupakan
keadaan atau tindakan yang menempatkan
seseorang dalam situasi kacau, baik
mencakup status kesehatan, pelayanan
kesehatan, pribadi, hak memutuskan,
kepemilikan maupun pendapatannya. Pelaku
pelecehan dapat dari pasangan hidup, anak
lelaki atau perempuan bila pasangan hidupnya
telah meninggal dunia atau orang lain.
Pelecehan atau ditelantarkan dapat
berlangsung lama ata8u dapat terjadi reaksi
akut, bila suasana sudah tidak tertanggungkan
lagi.
Penyebab pelecehan menurut
International Institute on Agening
(INIA, United Ntions-Malta, 1996)

 Beban orang yang merawat Lanjut usia


tersebut sudah terlalu berat.
 Kelainan kepribadian dan perilaku Lanjut usia
atau keluarganya.
 Lanjut Usia yang diasingkan oleh keluarganya.
 Penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat
adiktif lainnya.
 Faktor lainnya yang terdapat di keluarga
seperti :
 Perlakuan salah terhadap Lanjut Usia.
 Ketidaksiapan dari orang yang akan merawat
Lanjut Usia.
 Konflik lama di antara Lanjut Usia dengan
keluarganya.
 Perilaku psikopat dari Lanjut Usia dan atau
keluarganya.
 Tidak adannya dukungan masyarakat.
 Keluarga mengalami kehilangan
pekerjaan/pemutusan hubungan kerja.
 Adanya riwayat kekerasan dalam keluarga.
Upaya pencegahan keterlantaran pasif
(passive neglect) dan keterlantaran aktif
(active neglec)t
 Terhadap keterlantaran pasif atau tak
disengaja:
 Mendapatkan orang yang di[ercaya untuk
melakukan tindakan hukum atau melakukan
transaksi keuangan.
 Mengusahakan bantuan hukum dari seorang
pengacara.
 Terhadap keterlantaran aktif atau tindak pelecehan:
 Mengusahakan agar Lanjut Usia tidak terisolir.
 Anggota keluarga tetap dekat dan memperhatikan Lanjut
Usia selalu mendapatkan informasi baik tentang keadaan
fisi, emosi, maupiun keadaan keuangan Lanjut Usia
tersebut.
 Orang yang merawat lanjut Usia menyadari
keterbatasannya tidak ragu-ragu mencari pertolongan atau
melimpahkan tanggung jawaabnya kepada fasilitas yang
lebih mampu, manakala mereka tidak sanggup lagi
merawatnya.
 Masyarakat mengemban sistem pengamatan terhadap
tindak pelecehan kepada Lanjut Usia (neighbourhood
watch).
 Melaksanakan program pelatihan tentang perawatan Lanjut
Usia jompo di rumah, pengenalan tanda-tanda terjadinya
tidak pelecehan, pemberian bantuan kepada Lanjut Usia,
cara melakukan intervensi dan melakukan rujuakn kepada
fasilitas yang lebih mampu.
Tindak intervensi
 Memberikan dukungan kepada korban
pelecehan.
 Lanjut Usia di rumah dan panti Tresna Wredha
berhak menolak tindakan intervensi tertentu.
 Melatih keluarga untuk melaksanakan
tindakan pelayanan tertentu.
 Memberikan pertolongan dan pengobatan
kepada orang yang melecehakan Lanjut Usia
tersebut.
 Mengajukan tuntutan hukum kepada orang
yang melecehakan Lanjut Usia tersebut.
Gejala yanag terlihat pada
pelecehan atau ditelantarkan
 Gejala fisik berupa memar, patah tulang yang tidak jelas
sebabnya, higiena jelek, malnutrisi dan adanya bukti
melakukan pengobatan yang tidak benar.
 Kelainan perilaku berupa rasa ketakutan yang berlebihan
menjadi penurut atau tergantung, menyalahkan diri, menolak
bila akan disentuh orang yang melecehkan, memperlihatkan
tanda bahwa miliknya akan diambil orang lain dan adanya
kekurangan biaya transpor, biaya berobat atau biaya
memperbaikik rumahnya.
 Adanya gejala psikis seperti stres, cara mengatasi suatu
persoalan secara tidak benar serta cara mengungkapkan rasa
salah atau penyesalan yang tidak sesuai, baik dari Lanjut Usia
itu sendiri maupun orang yang melecehkan.
Jenis pelecehan &ditelantarkan
 Pelecehan fisik atau
menelantarkan fisik.
 Pelecehan psikis atau melalui
tutur kata.
 Pelanggaran hak.
 Pengusiran.
 Pelecehan di bidang materi
atau keuangan.
 Pelecehan seksual.
Tindak kejahatan (crime)

 Lanjut usia pada umumnya lebih takut


terhadap tindak kejahatan bila dibandingakan
dengan ketakutan terhadap penyalit dan
pendapatan yang berkurang. Kerugian yang
diderita oleh mereka tidak melebihi
penderitaan yang dialami oleh kaum muda.
Hanya akibat yang ditimbulkan pada Lanjut
Usia lebih parah, berupa rasa ketakutan,
kesepian, merasa terisolasi dan tidak berdaya.
 Faktor yang mempengaruhi tindak kejahatan
berupa factor fisik, keuangan dan kedaan
lingkungan di sekitar Lanjut Usia tersebut.
Jenis tindak kejahatan

 Penodongan.
 Pencurian dan perampokan.
 Penjambretan.
 Perkosaan.
 Penipuan dalam pengobatan penyakit.
 Penipuan oleh orang tak dapat dipercaya,
pemborong, sales, dll.
Pelayanan perlindungan
(protective services)
 Pelayanan perlindungan adalah pelayanan
yang dibeikan kepada para Lanjut Usia yang
tidak mempu melindungi dirinya terhadap
kerugian yang terjadi akibat mereka tidak
dapat merawat diri mereka sendiri atau
dalam melakukan kiegiatan sehari-hari.
 Pelayanan perlindungan bertujuan
memberikan perlindungan kepada para
Lanjut Usia, agar kerugian yang terjadi
ditekan seminimal mungkin. Pelayanan yang
diberikan akan menimbulkan keseimbangan
di antara kebebasan dan keamanan.
Jenis pelayanan
 pelayanan medik, sosial atau hukum.
 Pelayanan medik: pelayanan perorangan.
 Pelayanan gawat darurat.
 Pelayanan berupadukungan guna meningkatkan
ADL (activities of daily life).
 Pelayanan Sosial: dukungan sosial.
 Bantuan perumahan, Bantuan keuangan/sembako.
 Pelayanan hokum: bantuan pengacara (power of
attorney).
 Penunjukan (conservatorship).
 Perlindungan (informal guardianship).
Perlindungan hukum

 Bantuan pengacara (power of attorney).


Lanjut Usia harus cukup kompeten untuk mengambil
inisitif dalam menyerahkan urusannya kepada orang
lain.
 Joint Tenancy.
Joint tenancy merupakan suatu produk hokum yang
memungkinkan Lanjut Usia lain atau seorang
pengacara untuk mengurus urusan seorang Lanjut
Usia.
 Intervivos trust.
Pada keadaan ini seorang lanjut usia menunjuk orang
lain sebagai pewaris.
 Conservatorship.
 Perorangan atau sebuah badan ditunjuk oleh pengadilan
untuk melindungi ha milik seorang lanjut usia yang telah
dianggap ta sanggup atau inkompeten, pada umumnya bila
lanjut usia tersebut berusia lebih dari 75 tahun.
 Permohonan suatu Conservatorship biasanya diajukan oleh
keluarga atau instansi.
 Dengan adanya Conservatorship ini, seorang lanjut usia tak
lagi dapat bersuara dan megurus keuangannya serta
menentukan tempat tinggalnya atau mengambil suatu
keputusan penting lainnya.

 Informal guardianship.
Pengaturan jenis ini berdasakan suatu hokum, akan tetapi
meruakan suatu kesepakatan bahwa pelindung bagi lanjut
usia tersebut adalah tetangganya, panti atau suatu
perusahaan.
Persetujuan tertulis
(Informed consent).
 Persetujuan tertulis merupakan suatu
persetujuan yang diberikan sebelum prosedur
atau pengobatan diberikan kepada seorang
lanjut usia .
 Syarat yang diperlukan bila seorang lanjut usia
memberikan persetujuan ialah ia masih
kompeten dan telah mendapatkan informasi
tentang manfaat dan risiko dari suatu prosedur
atau pengobatan tertentu yan g diberikan
kepadanya. Bila seorang lanjut usia
inkompeten, persetujuan diberikan oleh
pelindung atau seorang wali.
Kualitas kehidupan dan isu etika
(quality of life and related ethical
issue).
 Berbagai factor yang mempengaruhi pengambilan
keputusan yang yang mempengaruhi kualitas
kehidupan lanjuy usia adalah:
 Kemajuan ilmu kedoktean di bidang diagnostic seperti CT-
scan dan katerisasi jantung, MRI, dsb.
 Kemajuan dibidang pengobatan seperti transplatasi
organ, raidasi.
 Bertambahnya risiko pengobatan.
 Biaya pengobatan yang meningkat.
 Manfaat pengobatan yang masih diragukan.
 Database yang diperlukan sebagai dasar pengambilan
keputusan.
Isu etika
 Untuk mengawali atau melanjutkan
pengobatan terhadap lanjut usia yang
sakit berat.
 Mempertahankan atau melepaskan
infuse atau tube feeding.
 Melakukan tindakan yang biayanya
mahal.
 Euthanasia.
Isu euthanasia
 merupakan isu yang hangat dipertentangan di luar negeri,
tetapi belum merupakan hal yang penting di Indonesia,
mengingat hal ini bertentangan denagn hokum dan
perundang-undangan serta kode etik kedokteran di
Indonesia. Di luar negeri keputusan yang diambil berupa :
 Keinginan lanjut usia dan keluarganya.
 Derajat penderitaan dan derajat gangguan kognitif lanjut usia
tersebut.
 Prognosa penyakit yang diderita.
 Kualitas kehidupan dari lanjut usia.
 Perawatan yang sedang diberikan.
 Jenis euthanasia yang diberikan adalah active euthanasia
(orang luar mempercepat lanjut usia untuk mengakhiri
hidupnya) dan passive euthanasia (orang lain atau
petugas kesehatan menolak memberikan pertolongan
ytertentu kepada penderita terminal)
RANGKUMAN

 Dibandungkan dengan keadaan negara maju,


hukum perundang-undangan terhadap lanjut usia di
Indonesia masih memiliki banyak kekurangan,
antara lain belum adanya undang-undang tentang
lanjut usia (Senior Citizen’s Act), elayanan
berkelanjutan bagi lanjut usai 9Continuum of Care),
tunjangan pelayanan dan peraawatan terhadap
lanjut usai (Medicare), hak penghuni panti (Charter
of Resident’s Right) dan pelayanan lanjut usia di
masyarakat. Keadaaan ini menimbulkan berbagai
permasalahn. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998
tetang kesejahteran lanjut usia merupaan langkah
awal guna m3ningkatkan perhatian pemerintah dan
masyarakat kepada lanjut usia.
DAFTAR PUSTAKA
 Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi.
Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut), Edisi 2. 2000. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.
 SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony.
Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari
Berbagai Aspek. 2005. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai