Anda di halaman 1dari 78

PERKEMBANGAN

ARSITEKTUR NUSANTARA
ARSITEKTUR HINDU-BUDHA

• PRESENTASI
• KELOMPOK I
• AULIA FARHANI 077
• FILEA M. BUDIARTI 084
• GILANG D. RAHAYU 088
HINDU

Berasal dari kata Sindhu dalam bahasa Sanskerta, yaitu nama sebuah sungai
yang disebut Indus. Menurut Gavin Flood, pada mulanya istilah 'Hindu' muncul
sebagai istilah geografis bangsa Persia untuk menyebut suku bangsa yang tinggal
di seberang sungai Sindu. Maka dari itu, awalnya istilah 'Hindu' merupakan
istilah geografis dan tidak mengacu pada suatu agama
SEJARAH AGAMA HINDU

Bangsa Arya Penyampaian ritual doa kepada


Bangsa Arya membuat
(Bangsa sistem Kasta
Dewa harus dilakukan oleh
Brahmana
Pendatang)

Bangsa Arya Pusat kebudayaan Hindu adalah


mengalahkan Bangsa di Mohenjo Daro (Lakarna) dan
Harapa (Punjat) 1.500 SM
asli India (Dravida

Datang ke India Perbedaan Bangsa Arya


dengan Bangsa Dravida itu
masuk melalui celah sendiri terdapat pada bagian Brahmana bisa meminta qurban
Carber (Pemisah fisiknya, yaitu Bangsa Arya berlebih. Pada akhirnya banyak
berkulit putih sedangkan masyarakat berpindah agama
daratan Eropa dan Bangsa Dravida berkulit menjadi Budha
Asia hitam.
PERBEDAAN HINDU - BUDHA
MASUK DAN BERKEMBANGNYA HINDU
DI INDONESIA

Teori Sudra
a. Teori Sudra
Alasannya karenaa mereka dianggap sebagai orang-orang buangan dan hanya hidup sebagai budak sehingga mereka
datang ke Indonesia dengan tujuan untuk mengubah kehidupannya. Pendukung teori ini adalah Von Van Faber Teori Waisya
b. Teori Waisya
Kasta waisya terdiri atas para pedagang. Tokoh yang mengemukakan pendapat tersebut adalah Dr. N.J. Krom. Ia
Teori Kesatria
berpendapat bahwa agama hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum pedagang yang datang untuk berdagang di
Indonesia, bahkan diduga ada yang menetap karena menikah dengan orang Indonesia.
Teori Brahmana
c. Teori Kesatria
Adanya kekacauan politik di India. Golongan kesatria yang kalah melarikan diri ke Indonesia dan menyebarkan agama
Hindu. Prof. Dr. Ir. J. L. Moens berpendapat bahwa yang membawa agma Hindu ke Indonesia adalah kaum kesatria atau
Teori Arus Balik
golongan prajurit. Hal ini di latar belakangi adanya kekacauan politik dan peperangan di india pada abad IV-V masehi. Para
prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia,bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia.

d. Teori Brahmana
Kedatanagan kaum brahmana ke Indonesia di duga untuk memenuhi undungan kepala suku yang tertaik dengan agama Hindu. Tokoh yang mengemukakan pendapat tersebut
adalah J.C. Van Leur. Ia perpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia di bawah oleh kaum brahmana karena hanya kaum brahmana yang berhak mempelajari dan
mengerti isi kitab suci Weda.

Ketiga teori tersebut sebetulnya juga memiliki kelemahan. Golongan kesatria dan waisya tidak menguasai bahasa Sanskerta. Oleh karena itu, kecil kemungkinan bagi mereka
untuk menyebarkan agama Hindu yang berintikan bahasa Sanskerta. Kita ketahui bahwa bahasa sanskerta adalah bahasa sastra tertinggi yang di pakai dalam kitab suci Weda.
Sebalikya, meskipun menguasai bahasa Sanskerta golongan brahmana tidak boleh menyeberangi laut. Hal ini di dasarkan pada kepercayaan Hindu kolot yang memiliki
pantangan tersebut

e. Teori Arus balik


Teori ini di kemukakan oleh F.D.K Bosch. Ia mengemukakan peranan bangsa Indonesia sendiri
dalam penyebaran dan pengembangan agama hindu. Penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh kaum terdidik. Akibat interaksinya dengan para pedagang India, di
Indonesia terbentuk masyarakat Hindu terdidik yang di kenal dengan sangha. Mereka giat mempelajari bahasa Sanskerta, kitab suci, sastra, dan budaya tulis. Mereka
kemudian memperdalam agama dan kebudayaan Hindu di India. Sekembalinya ke Indonesia mereka mengembangkan agama dan kebudayaan tersebut. Hal ini bisa diliat dari
peninggalan dan budaya yang memiliki corak keindonesiaan. Itulah empat teori tentang masuknya agama dan kebudayaan India ke Indonesia. Ke empat teori tesebut
menyebut faktor perdagangan sebagai penyebab masuknya Hindu- Budha ke Indonesia. Bisa jadi interaksi antara bangsa Indonesia dan India mustahil terjadi jika tidak ada
kontak dagang. Oleh karena itu, tidak aneh jika di berbagai daerah di temukan peninggalan Hindu- Budha
Dalam agama Hindu terdapat pembagian kasta atau pembagian manusia dalam agama
Hindu yaitu:
1. Kasta Brahmana, orang yang mengabdikan dirinya dalam urusan bidang spiritual
seperti sulinggih, pandita dan rohaniawan. Selain itu disandang oleh para pribumi.
2. Kasta Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan. Seseorang yang
menyandang gelar ini tidak memiliki harta pribadi semua harta milik negara.
3. Kasta Waisya, orang yang telah memiliki pekerjaan dan harta benda
sendiri petani, nelayan, pedagang, dan lain-lain.
4. Kasta Sudra, pelayan bagi ketiga kasta di atasnya.
Sedangkan di luar sistem kasta tersebut, ada pula istilah:
1. Kaum Paria, golongan orang rendahan yang tugasnya melayani para Brahmana
dan Ksatria.
2. Kaum Candala, golongan orang yang berasal dari Perkawinan Antar Warna, bangsa
asing.
MASUK DAN BERKEMBANGNYA BUDDHA DI
INDONESIA

Masuknya Buddha di kawasan Asia Tenggara melalui jalur perdagangan laut.


Negara-negara Asia Tenggara yang mendapat pengaruh Buddha, antara lain sebagai berikut:
Thailand : di Kerajaan Sukothai dan Ayuthia
Myanmar : berkembang masa pemerintahan Raja Anawasta (1044-1077 M)
Laos : berkembang pada masa Kerajaan Lan Xang
Kamboja : masa Raja Jayamarwan VII tahun 1211-1219 M
Nusantara : berkembang pesat di Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-9.

Penyebaran agama Buddha dilakukan oleh sebuah misi yang dikenal dengan Dharmaduta. Para ahli memperkirakan
pada abad II Masehi agama Buddha masuk ke Indonesia. Pendaapat mereka diperkuat dengan adanya penemuan arca
Buddha yang terbuat dari perunggu di Sempaga (Sulawaesi Selatan), Jember (Jawa Timur), dan Bukit Siguntang
(Sumatera Selatan).

Dilihat dari ciri-cirinya, arca tersebt berasal dari langgam Amarawati (India Selatan) dari abad II-V Masehi. Selain itu,
ditemukan juga arca perunggu berlanggam Gandhara (India Utara) di Kota Bangun, Kutai(Kalimantan Timur). Agama
Buddha masuk ke Indonesia dibawa oleh para biksu. Para biksu meyebarkan agama Buddha di Indonesia, diantaranya
berasal dari Kashmir yang bernama Gunawarman (420 M). Pada masa-masa berikutnya pengaruh budaya dan agama
buddha ibawa oleh orang-orang Indonesia sendiri yang belajar di perguruan tinggi Nalanda, India. Agama Buddha
yang tersiar di Indonesia terutama dari aliran Mahayana. Ajaran agama Buddha bersumber dari kitab suci “Tripitaka”.
PENGARUH AGAMA HINDU-BUDDHA DI INDONESIA

a. Bidang Kepercayaan
Sebelum budaya India masuk, di Indonesia telah berkembang kepercayaan yang berupa pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Kepercayaan itu bersifat Animisme dan Dinamisme. Animisme merupakan satu kepercayaan terhadap suatu benda yang dianggap
memiliki roh atau jiwa sedangkan dinamisme merupakan satu kepercayaan bahwa setiap benda memiliki kekuatan gaib. Dengan
masuknya kebudayaan India, penduduk Nusantara secara berangsur-angsur memeluk agama Hindu dan Buddha, diawalai oleh lapisan
elite para datu dan keluarganya.
b. Bidang Sosial
Dalam sistem pemerintahan asli Indonesia, masyarakat Indonesia tesusun dalam kelompok-kelompok desa yang dipimpin oleh kepala
suku. Sistem itu kemudian terpengaruh oleh ajaran agama Hindu-Buddha sehingga timbul kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha.
c. Bidang Teknologi
Peninggalan Hindu-Budhadalam bidang seni bangunan (arsitektur) yang berkembang di Indonesia adalah yang berupa candi, yupa, dan
prasasti. Candi di Indonesia berbentuk punden bertingkat yang digunakan sebagi makam raja dan bagian atas punden bertingkat
dibuatkan patung rajanya. Adapun Candi di India berbentul Stupa bulat yang digunakan sebagai tempat sembahyang atau memuja
dewa. Candi yang bercorak Hindu antara lain Candi Prambanan dan Candi Dieng. Candi yang bercorak Buddha antara lain Candi
Borobudur dan Candi Kalasan.
d. Bidang Kesenian
Dalam bidang seni rupa, pengaruh Hindu-Buddha berupa hiasan-hiasan pada dinding candi (relief) yang sesuai dengan unsur India. Di
bidang seni sastra, pengaruh tradisi Hindu-Buddha berupa
penggunaan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta pada prasasti-prasasti.Ada juga hasil kesusastraan Indonesia yang sumbernya dari
India,yaitu cerita ramayanadan mahabarata yang di jadikan lakon wayang.banyak kitab Hindu-Budha yang menjadi aset bangsa saat
ini,diantaranya Negarakertagama dan baratayudha.
e. Bidang Pendidikan
Di bidang pendidikan, pengaruh tradisi Hindu-Buddha dapat kita lihat bahwa sampai akhir abad ke-15,
ilmu pengetahuan berkembang pesat, khususnya di bidang sastra, bahasa, dan hukum. Kaum
Brahmana adalah kelompok yang berwewenang memberikan pendidikan dan pengajaran dalam
masyarakat Hindu-Buddha. Ssalah satu hasil dari perkembangan pendidikan, di kemukakan oleh ITsing,
bahwa di Sriwijaya terdapat “Universitas” yang dapat menampung ratusan mahasiswa birawan
Buddha untuk belajar agama.
BANGUNAN ARSITEKTUR KHAS HINDU

CANDI

Ciri utama candi bercorak Hindu:


● Fungsi candi Hindu adalah sebagai makam para raja.
● Bagian utama candi Hindu terdiri atas Bhurloka, Bhurvaloka dan Svarloka.
● Bagian puncak candi Hindu disebut Ratna.
● Secara keseluruhan, bentuk candi Hindu cenderung ramping.
● Arca yang ditemukan pada candi Hindu seperti arca dewa wisnu, syuwa, durga, ganesha
dan lain lain.
● Arah pintu utama pada candi Hindu menghadap ke Barat.
● Bahan yang digunakan dalam pembuatan candi Hindu adalah batu merah.

SALAH SATU CONTOH CANDI HINDU

Candi Prambanan, kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun sekitar
tahun delapan ratus lima puluh masehi. Candi yang memiliki tiga bangunan utama yang
menggambarkan Trimurti―tiga dewa yang ada dalam kepercayaan Hindu. Brahma, Wisnu
dan Siwa.
JENIS DAN FUNGSI CANDI

a. Jenis berdasarkan Agama


Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi dapat dibedakan menjadi candi Hindu, candi Buddha, paduan
sinkretis Siwa-Buddha, atau bangunan yang tidak jelas sifat keagamaanya dan mungkin bukan bangunan
keagamaan.

1. Candi Hindu, yaitu candi untuk memuliakan dewa-dewa Hindu seperti Siwa atau Wisnu, contoh: candi
Prambanan, candi Gebang, kelompok candi Dieng, candi Gedong Songo, candi Panataran, dan candi Cangkuang.
2. Candi Buddha, candi yang berfungsi untuk pemuliaan Buddha atau keperluan bhiksu sanggha, contoh candi
Borobudur, candi Sewu, candi Kalasan, candi Sari, candi Plaosan, candi Banyunibo, candi Sumberawan, candi
Jabung, kelompok candi Muaro Jambi, candi Muara Takus, dan candi Biaro Bahal.
3. Candi Siwa-Buddha, candi sinkretis perpaduan Siwa dan Buddha, contoh: candi Jawi.
4. Candi non-religius, candi sekuler atau tidak jelas sifat atau tujuan keagamaan-nya, contoh: candi Ratu Boko,
Candi Angin, gapura Bajang Ratu, candi Tikus, candi Wringin Lawang.
b. Jenis berdasarkan Hirarki dan Ukuran

Dari ukuran, kerumitan, dan kemegahannya candi terbagi atas beberapa hirarki, dari candi terpenting yang biasanya
sangat megah, hingga candi sederhana. Dari tingkat skala kepentingannya atau peruntukannya, candi terbagi menjadi:

1. Candi Kerajaan, yaitu candi yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan, tempat digelarnya upacara-upacara
keagamaan penting kerajaan. Candi kerajaan biasanya dibangun mewah, besar, dan luas. Contoh: Candi Borobudur,
Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Panataran.
2. Candi Wanua atau Watak, yaitu candi yang digunakan oleh masyarakat pada daerah atau desa tertentu pada suatu
kerajaan. Candi ini biasanya kecil dan hanya bangunan tunggal yang tidak berkelompok. Contoh: candi yang berasal
dari masa Majapahit, Candi Sanggrahan di Tulung Agung, Candi Gebang di Yogyakarta, dan Candi Pringapus.
3. Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh, dapat dikatakan memiliki fungsi
mirip makam. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati, raja Singhasari), candi Jajaghu (Pendharmaan
Wisnuwardhana, raja Singhasari), Candi Rimbi (pendharmaan Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu Hayam Wuruk),
Candi Tegowangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana (pendharmaan Bhre Wengker).
c. Jenis berdasarkan Fungsi

Candi dapat berfungsi sebagai:

1. Candi Pemujaan: candi Hindu yang paling umum, dibangun untuk memuja dewa, dewi, atau bodhisatwa tertentu, contoh: candi
Prambanan, candi Canggal, candi Sambisari, dan candi Ijo yang menyimpan lingga dan dipersembahkan utamanya untuk Siwa,
candi Kalasan dibangun untuk memuliakan Dewi Tara, sedangkan candi Sewu untuk memuja Manjusri.
2. Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha atau menyimpan relik buddhis, atau sarana ziarah agama Buddha. Secara
tradisional stupa digunakan untuk menyimpan relikui buddhis seperti abu jenazah, kerangka, potongan kuku, rambut, atau gigi
yang dipercaya milik Buddha Gautama, atau bhiksu Buddha terkemuka, atau keluarga kerajaan penganut Buddha. Beberapa stupa
lainnya dibangun sebagai sarana ziarah dan ritual, contoh: candi Borobudur, candi Sumberawan, dan candi Muara Takus
3. Candi Pedharmaan: sama dengan kategori candi pribadi, yakni candi yang dibangun untuk memuliakan arwah raja atau tokoh
penting yang telah meninggal. Candi ini kadang berfungsi sebagai candi pemujaan juga karena arwah raja yang telah meninggal
seringkali dianggap bersatu dengan dewa perwujudannya, contoh: candi Belahan tempat Airlangga dicandikan, arca
perwujudannya adalah sebagai Wishnu menunggang Garuda. Candi Simping di Blitar, tempat Raden Wijaya didharmakan sebagai
dewa Harihara.
4. Candi Pertapaan: didirikan di lereng-lereng gunung tempat bertapa, contoh: candi-candi di lereng Gunung Penanggungan,
kelompok candi Dieng dan candi Gedong Songo, serta Candi Liyangan di lereng timur Gunung Sundoro, diduga selain berfungsi
sebagai pemujaan, juga merupakan tempat pertapaan sekaligus situs permukiman.
5. Candi Wihara: didirikan untuk tempat para biksu atau pendeta tinggal dan bersemadi, candi seperti ini memiliki fungsi sebagai
permukiman atau asrama, contoh: candi Sari dan Plaosan
6. Candi Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contoh: gerbang di kompleks Ratu Boko, Bajang Ratu, Wringin Lawang,
dan candi Plumbangan.
7. Candi Petirtaan: didirikan didekat sumber air atau di tengah kolam dan fungsinya sebagai pemandian, contoh: Petirtaan Belahan,
Jalatunda, dan candi Tikus

Beberapa bangunan purbakala, seperti batur-batur landasan pendopo berumpak, tembok dan gerbang, dan bangunan lain yang
sesungguhnya bukan merupakan candi, seringkali secara keliru disebut pula sebagai candi. Bangunan seperti ini banyak ditemukan di
situs Trowulan, atau pun paseban atau pendopo di kompleks Ratu Boko yang bukan merupakan bangunan keagamaan.
KARAKTERISTIK ARSITEKTUR CANDI HINDU BUDHA DI INDONESIA

Karakteristik berdasarkan Lokasi

Kitab vartusastra dan silpasastra juga memberikan pedoman mengenai pemilihan lokasi tempat candi akan dibangun.

Hal ini terkait dengan pembiayaan candi, karena biasanya untuk pemeliharaan candi maka ditentukanlah tanah
sima, yaitu tanah swatantra bebas pajak yang penghasilan panen berasnya diperuntukkan bagi pembangunan dan
pemeliharaan candi.
Beberapa prasasti menyebutkan hubungan antara bangunan suci dengan tanah sima ini. Selain itu pembangunan tata letak candi juga
seringkali memperhitungkan letak astronomi (perbintangan).

Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting di Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci
sebaiknya didirikan di dekat air, baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua buah sungai, danau, laut, bahkan
kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk
bangunan suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di puncak bukit, di lereng
gunung, di hutan, atau di lembah.

Seperti kita ketahui, candi-candi pada umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan candi Borobudur terletak di dekat pertemuan sungai
Elo dan sungai Progo. Sedangkan candi Prambanan terletak di dekat sungai Opak. Sebaran candi-candi di Jawa Tengah banyak tersebar
di kawasan subur dataran Kedu dan dataran Kewu.
2. Tata Letak Arsitektur Candi

Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang berkelompok. Ada dua sistem dalampengelompokan atau tata letak kompleks
candi, yaitu:

1. Sistem konsentris, sistem gugusan terpusat; yaitu posisi candi induk berada di tengah–tengah anak candi (candi perwara). Candi
perwara disusun rapi berbaris mengelilingi candi induk. Sistem ini dipengaruhi tata letak denah mandala dari India. Contohnya
kelompok Candi Prambanan dan Candi Sewu.

2. Sistem berurutan, sistem gugusan linear berurutan; yaitu posisi candi perwara berada di depan candi induk. Ada yang disusun
berurutan simetris, ada yang asimetris. Urutan pengunjung memasuki kawasan yang dianggap kurang suci berupa gerbang dan
bangunan tambahan, sebelum memasuki kawasan tersuci tempat candi induk berdiri. Sistem ini merupakan sistem tata letak asli
Nusantara yang memuliakan tempat yang tinggi, sehingga bangunan induk atau tersuci diletakkan paling tinggi di belakang mengikuti
topografi alami ketinggian tanah tempat candi dibangun. Contohnya Candi Penataran dan Candi Sukuh. Sistem ini kemudian
dilanjutkan dalam tata letak Pura Bali.
Sistem Struktur Arsitektur Candi

Kebanyakan bentuk bangunan candi meniru tempat tinggal para dewa yang sesungguhnya,
yaitu Gunung Mahameru. Oleh karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai
macam ukiran dan pahatan berupa pola yang menggambarkan alam Gunung Mahameru.

Peninggalan-peninggalan purbakala, seperti bangunan-bangunan candi, patung-patung,


prasasti-prasasti, dan ukiran-ukiran pada umumnya menunjukkan sifat kebudayaan
Indonesia yang dilapisi oleh unsurunsur Hindu-Budha.

Pada hakikatnya, bentuk candi candi di Indonesia adalah punden berundak, dimana punden
berundak sendiri merupakan unsur asli Indonesia. Berdasarkan bagian-bagiannya,
bangunan candi terdiri atas tiga bagian penting, antara lain, kaki, tubuh, dan atap.
BAGIAN CANDI

Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan dunia bawah atau
bhurloka. Pada konsep Buddha disebut kamadhatu.
Yaitu menggambarkan dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis, raksasa dan asura, serta
tempat manusia biasa yang masih terikat nafsu rendah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang
dilengkapi dengan jenjang pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus membentuk
denahnya, dapat berbentuk persegi empat atau bujur sangkar.

Tangga masuk candi terletak pada bagian ini, pada candi kecil tangga masuk hanya terdapat pada
bagian depan, pada candi besar tangga masuk terdapat di empat penjuru mata angin. Biasanya
pada kiri-kanan tangga masuk dihiasi ukiran makara.

Pada dinding kaki candi biasanya dihiasi relief flora dan fauna berupa sulur-sulur tumbuhan, atau
pada candi tertentu dihiasi figur penjaga seperti dwarapala.

Pada bagian tengah alas candi, tepat di bawah ruang utama biasanya terdapat sumur yang
didasarnya terdapat pripih (peti batu). Sumur ini biasanya diisi sisa hewan kurban yang
dikremasi, lalu diatasnya diletakkan pripih. Di dalam pripih ini biasanya terdapat abu jenazah raja
serta relik benda-benda suci seperti lembaran emas bertuliskan mantra, kepingan uang kuno,
permata, kaca, potongan emas, lembaran perak, dan cangkang kerang.
Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap sebagai dunia
antara atau bhuwarloka. Pada konsep Buddha disebut rupadhatu.
Yaitu menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan
kesempurnaan batiniah. Pada bagian depan terdapat gawang pintu menuju ruangan dalam
candi. Gawang pintu candi ini biasanya dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-tengah pintu dan
diapit pola makara di kiri dan kanan pintu.

Tubuh candi terdiri dari garbagriha, yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya berisi arca
utama, misalnya arca dewa-dewi, bodhisatwa, atau Buddha yang dipuja di candi itu. Di bagian
luar dinding di ketiga penjuru lainnya biasanya diberi relung-relung yang berukir relief atau diisi
arca.

Pada candi besar, relung keliling ini diperluas menjadi ruangan tersendiri selain ruangan utama
di tengah. Terdapat jalan selasar keliling untuk menghubungkan ruang-ruang ini sekaligus untuk
melakukan ritual yang disebut pradakshina.

Pada lorong keliling ini dipasangi pagar langkan, dan pada galeri dinding tubuh candi maupun
dinding pagar langkan biasanya dihiasi relief, baik yang bersifat naratif (berkisah) atau pun
dekoratif (hiasan).
Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka. Pada
konsep buddha disebut arupadhatu.
Yaitu menggambarkan ranah surgawi tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai
kesempurnaan bersemayam. Pada umumnya, atap candi terdiri dari tiga tingkatan yang
semakin atas semakin kecil ukurannya.

Sedangkan atap langgam Jawa Timur terdiri atas banyak tingkatan yang membentuk kurva
limas yang menimbulkan efek ilusi perspektif yang mengesankan bangunan terlihat lebih
tinggi. Pada puncak atap dimahkotai stupa, ratna, wajra, atau lingga semu.

Pada candi-candi langgam Jawa Timur, kemuncak atau mastakanya berbentuk kubus atau
silinder dagoba. Pada bagian sudut dan tengah atap biasanya dihiasi ornamen antefiks, yaitu
ornamen dengan tiga bagian runcing penghias sudut.

Kebanyakan dinding bagian atap dibiarkan polos, akan tetapi pada candi-candi besar, atap
candi ada yang dihiasi berbagai ukiran, seperti relung berisi kepala dewa-dewa, relief dewa
atau bodhisatwa, pola hias berbentuk permata atau kala, atau sulur-sulur untaian roncean
bunga.
Bahan Bangunan Struktur Arsitektur Candi
Bahan material bangunan pembuat candi bergantung kepada lokasi dan ketersediaan bahan serta teknologi arsitektur masyarakat
pendukungnya. Candi-candi di Jawa Tengah menggunakan batu andesit, sedangkan candi-candi pada masa Majapahit di Jawa Timur
banyak menggunakan bata merah. Demikian pula candicandi di Sumatera seperti Biaro Bahal, Muaro Jambi, dan Muara Takus yang
berbahan bata merah. Bahanbahan untuk membuat candi antara lain:

a. Batu andesit, batu bekuan vulkanik yang ditatah membentuk kotak-kotak yang saling kunci. Batuandesit bahan candi harus dibedakan
dari batu kali. Batu kali meskipun mirip andesit tapi keras dan mudah pecah jika ditatah (sukar dibentuk). Batu andesit yang cocok untuk
candi adalah yang terpendam di dalam tanah sehingga harus ditambang di tebing bukit.
b. Batu putih (tuff), batu endapan piroklastik berwarna putih, digunakan di Candi Pembakaran di kompleks Ratu Boko. Bahan batu putih
ini juga ditemukan dijadikan sebagai bahan isi candi, dimana bagian luarnya dilapis batu andesit
c. Bata merah, dicetak dari lempung tanah merah yang dikeringkan dan dibakar. Candi Majapahit dan Sumatera banyak menggunakan bata
merah.
d. Stuko (stucco), yaitu bahan semacam beton dari tumbukan batu dan pasir. Bahan stuko ditemukan di percandian Batu Jaya.
e. Bajralepa (vajralepa), yaitu bahan lepa pelapis dinding candi semacam plaster putih kekuningan untuk memperhalus dan memperindah
sekaligus untuk melindungi dinding dari kerusakan. Bajralepa konon dibuat dari campuran putih telur, getah tumbuhan, kapur halus, dan
lain-lain. Bekas-bekas bajralepa ditemukan di candi Sari dan candi Kalasan. Kini pelapis bajralepa telah banyak yang mengelupas.
f. Kayu, beberapa candi diduga terbuat dari kayu atau memiliki komponen kayu. Candi kayu serupa dengan Pura Bali yang ditemukan kini.
Beberapa candi tertinggal hanya batu umpak atau batur landasannya saja yang terbuat dari batu andesit atau bata, sedangkan atasnya
yang terbuat dari bahan organik kayu telah lama musnah. Beberapa dasar batur di Trowulan Majapahit disebut candi, meskipun
sesungguhnya merupakan landasan pendopo yang bertiang kayu. Candi Sambisari dan candi Kimpulan memiliki umpak yang diduga candi
induknya dinaungi bangunan atap kayu. Beberapa candi seperti Candi Sari dan Candi Plaosan memiliki komponen kayu karena pada
struktur batu ditemukan bekas lubang-lubang untuk meletakkan kayu gelagar penyangga lantai atas, serta lubang untuk menyisipkan daun
pintu dan jeruji jendela.
Gaya Arsitektur Candi

Soekmono, seorang arkeolog terkemuka di Indonesia, mengidentifikasi perbedaan gaya


arsitektur (langgam) antara candi Jawa tengah dengan candi Jawa Timur. Langgam Jawa
Tengahan umumnya adalah candi yang berasal dari sebelum tahun 1000 masehi,
sedangkan langgam Jawa Timuran umumnya adalah candi yang berasal dari sesudah
tahun 1000 masehi. Candi-candi di Sumatera dan Bali, karena kemiripannya
dikelompokkan ke dalam langgam Jawa Timur
Candi Hindu Candi Budha
Fungsi Candi Hindu umumya berfungsi sebagai makam para raja Hindu Candi Budha memiliki fungsi sebagai tempat ibadah
yang pernah berkuasa. Abu jenazah para raja dimakamkan di atau tempat pemujaan para dewa bagi keluarga
candi. kerajaan dan masyarakat di zaman itu.
Struktur Sebagian besar bangunan candi Hindu umumnya terdiri dari 3 Sebagian besar bangunan candi Budha terdiri dari 3
bagian, yaitu bhurloka (bagian dasar candi yang menyimbolkan bagian, yaitu Kamadhatu (bagian dasar candi yang
dunia fana), bhurvaloka (tubuh candi yang menyimbolkan dunia menyimbolkan manusia yang identik dengan penuh
permurnian), dan svarloka (bagian atas/ atap candi yang dosa), Rupadhatu (bagian tengah candi yang
menyimbolkan dunia para dewa). menyimbolkan kehidupan manusia di dunia fana
yang penuh dengan nafsu), dan Arupadhatu (bagian
atas candi yang menyimbolkan manusia yang telah
mencapai nirwana).
Bentuk Puncak Candi Bagian teratas atau puncak pada bangunan candi Hindu disebut Bagian teratas atau puncak pada bangunan candi
Ratna yang bentuknya meruncing. Bundha disebut Stupa yang bentuknya tambun.
Arca Candi Sebagian besar bangunan candi Hindu biasanya dihiasi dengan Sebagian besar bangunan candi Budha dihiasi
arca-arca 3 dewa utama dalam kepercayaan Hindu (trimurti). dengan arca-arca Budha seperti arca kelompok
Ketiga dewa utama tersebut adalah Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dyani Bodhisatwa dan kelompok Dyani Budha.
dan Dewa Siwa.
Bentuk Bangunan Candi Candi-candi Hindu memiliki bentuk candi yang ramping. Candi-candi Budha memiliki bentuk bangunan candi
Contoh: Candi Prambanan yang tambun dan besar.
Contoh: Candi Borobudur
Arah Pintu Utama Pada bangunan candi Hindu, pintu utama candi berada di arah Pada bangunan candi Budha, pintu utama candi
Barat. berada di sebelah Timur.
Bahan Pembuatan Candi Sebagian besar bangunan candi Hindu dibuat dari batu-batu Sebagian besar bangunan candi Budha dibuat dari
merah yang tidak dibakar, bahkan ada beberapa candi yang batu andesit yang telah mengalami pemotongan
dibuat dari batu bata biasa. secara rapi.
Atap Candi Atap candi-candi Hindu menunjukan adanya undakan yang Atap candi-candi Budha umumnya hanya berupa satu
biasanya terdiri dari 3 tingkat undakan. tingkatan yang terdiri dari undakan-undakan
berukuran kecil namun jumlahnya banyak dan
membentuk satu kesatuan dengan bentuk
lengkungan halus.
Bentuk Puncak secara Umum Candi-candi Hindu memiliki bentuk puncak Dagoba yang Candi-candi Budha memiliki bentuk puncak kubus
berbentuk tabung.
Hiasan Relung dan Gawang Pintu pada Pada candi Hindu terdapat hiasan kepala Kala tengah yang Gawang pintu pada bangunan candi Budha umumnya
Candi terlihat menyeringai lengkap dengan bagian rahang bawah. berupa Gaya Kala Makara, yaitu kepala Kala dengan
Hiasan ini diletakan di bagian atas pintu. Pada pintu juga tidak peringai mulut yang mengaga lebar namun tanpa
terdapat Makara. rahang bagian bawah. Hiasan ini biasanya berada di
atas pintu utama dan terhubung dengan Makara
ganda.
Style Hiasan Relief pada Candi Pada sebagian besar bangunan candi Hindu, hiasan relief terlihat Pada sebagian besar bangunan candi Budha, hiasan
lebih rendah dan teksturnya tidak terlalu menonjol. Gambar relief relief terlihat lebih tinggi serta bertekstur menonjol.
lebih mirip dengan tokoh-tokoh pewayangan Bali. Gambar relief dibuat dengan gaya natural.
Kedatangan para pedagang, penjajah, dan penyerang ternyata
turut mempengaruhi teknik konstruksi dan gaya arsitektur
bangunan candi Hindu dan candi Budha. India, misalnya,
memiliki pengaruh yang paling besar terutama dari segi gaya
arsitektur candi (gaya arsitektur klasik).
Selain India, terdapat dua budaya lainnya yang turut sedikit
mengubah gaya arsitektur bangunan candi-candi Hindu dan
Budha yang ada di Indonesia. Sebut saja Arab dan China.
Sedang pengaruh dari bangsa-bangsa Eropa baru terlihat
ketika memasuki abad ke-18 dan 19.
Beberapa arti mengenai Mandala adalah :
•Istilah Sanskerta untuk diagram yang melambangkan alam semesta
•Seni desain asian timur yang melambangkan alam semesta, dengan berpola
pada lingkaran/ titik sumbu sebagi pusatnya.
•Artinya lingkungan / daerah / wadah / tempat / wilayah / bejana
Dalam pendekatan agama Hindu pengertian Mandala
berkaitan dengan pengertian dari Yantra, Sri Chakra
dan Siwa Lingga

Yantra~Mandala~Siwalingga~Sri Chakra

Yantra adalah sebuah bentuk geometrik seperti – dalam bentuknya yang paling sederhana – sebuah titik
(Bindu) atau segi tiga terbalik. Ada berbagai bentuk yang sangat rumit, simetris dan non-simetris, yang dapat
disebut Yantra. Semua bentuk-bentuk ini didasarkan atas bentuk-bentuk matematika dan metoda-metoda
tertentu.Yantra ini melambangkan para dewa seperti Siwa, Wishnu, Ganesha, Krishna dan khususnya Sakti.
Mantra dan Yantra sangat saling terkait. Pikiran dinyatakan dalam bentuk halus sebagai satu Mantra dan pikiran
yang sama dinyatakan dalam bentuk gambar sebagai sebuah Yantra. Percaya atau tidak, ada lebih dari sembilan
ratus Yantra. Salah satu dari Yantra yang terpenting adalah Sri Yantra, atau Navayoni Chakra, melambangkan
Siwa dan Sakti.
Sri Chakra Vatra

Mandala artinya “lingkaran.” Ia sesungguhnya bentuk Yantra yang paling rumit. Ia berwujud dalam
segala bentuk dan sifatnya sangat artisitik.

Dalam agama Hindu, Mandala digunakan sebagai alat bantu meditasi. Keindahan dari Pura-Pura Hindu
terletak dalam jumlah Mandala yang dipahat di batu-batu di dinding Pura.

Sebuah Mandala terdiri dari satu pusat dan garis-garis dan lingkaran-lingkaran diletakkan secara geometrik
di sekeliling lingkaran. Pusatnya biasanya adalah sebuah titik (Bindu).
Kita juga dapat melihat Mandala di Wihara Buddha. Dibalik setiap Mandala terdapat sejumlah besar
pikiran-pikiran. Kadang-kadang melihat sebuah Mandala seperti melihat melalui sebuah kaleidoscop.
DALAM PENDEKATAN AGAMA BUDHA
PENGERTIAN MANDALA

Mandala dalam konsep agama Hindu dan Buddha adalah


gambaran bagi alam semesta. Secara harafiah mandala
berarti “lingkaran”

Mandala ini terkait dengan kosmologi India kuno yang


berpusatkan Gunung Meru. Suatu gunung yang diyakini
sebagai pusat alam semesta.

Di dalam Tantrayana mandala juga menggambarkan alam kediaman


para makhluk suci, yang sangat penting bagi ritual atau sadhana
Tantra.
Saat berlangsungnya sadhana, sadhaka akan menyusun ulang
mandala ini baik secara nyata ataupun visualisasi.
KEDUDUKAN YANTRA DAN MANDALA TERHADAP CANDI

•Antara yantra dan mandala dalam suatu bangunan sangatlah penting artinya karena unsur-unsur inilah
yang dianggap memberikan kekuatan hidupnya suatu kuil atau candi.

•Istilah pendeman, peripih, atau sejenisnya yang sering ditemukan di dalam candi atau kuil pada
dasarnya tidak jauh berbeda artinya dengan yantra dan mandala.

•Dalam sejumlah kasus yang ditemukan di Indonesia, khususnya dalam angka pemugaran candi,
seringkali dijumpai batu atau bata yang berhias. Hiasan-hiasan itu ada yang berupa hanya garis-garis
bersilang, seolah-olah tanpa arti. Namun, banyak pula yang memiliki bentuk tertentu, sehingga secara
mudah kita dapat mengenalinya.

•Pada dasarnya kuil atau candi merupakan bentuk akhir dari proyeksi-proyeksi garis yantra.

•Titik-titik magis dari persilangan garis-garis itu merupakan tempat kedudukan dewa-dewa tertentu
yang menggambarkan mandala dalam sistem keagamaan candi yang bersangkutan.

•Seluruh komponen atau bagian yang terikat dan terkait dengan suatu candi atau gugusan percandian
haruslah ditafsirkan salam suatu kesatuan mandala.
•Yantra merupakan suatu konsep yang melandasi bentuk pendirian suatu bangunan suci,
yang pembangunannya terutama ditujukan sebagai sarana untuk menuju nirwana.

•Vastu-Purusha-Mandala merupakan gambaran tentang posisi arca dewa-dewa dalam


suatu candi.

•Apabila Vastu-Purusha-Mandala ini digunakan sebagai dasar perencanaan suatu kota


maka orientasi atau arah hadap kota itu memperhatikan kedudukan candi.

•Mandala dapat dipahami sebagai konfigurasi kosmis yang menggambarkan keletakan


kedudukan dewa-dewa berdasarkan hierarkis.

•Awalnya, kata mandala berasosiasi dengan bangunan suci yang berkembang pada masa
Weda. Namun, pada masa kemudian digunakan untuk menunjuk bentuk, gejala, atau
aktivitas yang cenderung berpola melingkar

•Dalam adaptasi bentuknya, mandala berkembang menjadi persegi, persegi panjang,


segitiga, dan sebagainya
Soeroso. 1998/1999. Jantra dan Mandala dalam Arsitektur Candi. Berkala Arkeologi Sangkhakala No.
III/1998-1999. Medan: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional – Balai Arkeologi Medan. Hlm. 41 – 57.
Mandala Lakshmi – Krishna

Mandala Lakshmi - Krishna adalah karya yang bersumber dari alam tidur (bawah sadar),
simbol Yantra terpadu dengan denah Candi Borobudur, seperti biasanya kesadaran yang
dimiliki terbimbing oleh kehendak cipta - karsa - rasa.

Sampai kelengkapan dari pengetahuan dan alasan gambar itu hadir, karena Diamond
Mandala dari penulis buku Candi Borobudur mengisyaratkan tingkatan pencerahan di Candi
Borobudur sebagai karunia pengetahuan yang menjelma bersamaan dengan kekuatan
alam. Evolusi spiritual bukan jargon retorika, lain dengan pencapaian yang terstimulasi dari
dalam diri.
Apa yang dimaksud dengan Mandala?

Mandala adalah kekuatan sekaligus kerendahan hati terhadap dunia itu sendiri.
Budaya Hindu – Buddha

Mandala secara harafiah disebut “lingkaran” dalam bahasa Sansekerta, asal


muasal dari semua penciptaan, bergerak dengan cara berputar. Rigweda
mengenalkan Mandala sebagai nama dari “pekerjaan”. Mandala juga adalah istilah
dari salah satu sepuluh buku Rigweda, kitab suci agama Hindu (Sruti).
Diagram Yantra Hindu adalah desain Mandala di kepercayaan Buddha. Yantra
berbentuk geometri suci yang menggambarkan aksara simbol Hindu yang mewakili
dimensi dan kedudukan para Dewa (Dev: sinar suci).
Obyek yang indah ini bermanfaat sebagai pusat ritual meditasi dalam praktek
Sadhana karena dianggap sebagai pintu pewahyuan, di setiap simbol Yantra
beresonansi secara sintesis yang memberikan pengalaman spiritual dari segi
konsep kosmik, contoh popular di masa kini adalah meditasi transedental - laku
japa mantra (berucap mantram suci selama 20 menit).
Fisik Candi Borobudur

Candi Borobudur adalah contoh karya kolosal Mandala tiga-dimensi yang masih
ada, bentuk dasar yang proporsional dan simetris, bangunan bertingkat di lokasi
danau purba, ukiran berupa relief dan patung Buddha adalah pengejewantahan
sejarah dari peradaban spiritual di tanah Jawa.

Sumber inspirasi dari karya Mandala adalah adopsi dari penampang vertikal Candi Borobudur dan disebut dalam buku:
Le Mandala de pierre de Borobudur
La structure de base de la plupart des mandalas de Niki repose sur le plan du temple de Borobudur, a Java.
Ce temple a ete bati par la dynastie des Sailendra pour celebrer le combat sans fin de l'humanite pour
parvenir a un plus haut niveau d'illumination - Les Mandalas de Niki, p. 15
CANDI BUDDHA DI INDONESIA
1. Candi Borobudur

Ciri-Ciri nya :
Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga
tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua
tingkat-tingkatannya beberapa stupa.
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi
candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut
Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi
pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
2. Candi Mendut

Ciri-Cirinya :
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran
makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.

Candi Mendut adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa Mendut,
kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi Borobudur.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra.

Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun
bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda
bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
3. Candi Ngawen

Ciri-Cirinya
:
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan
dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk
Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya.
Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari,
dan kala-makara.
Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah
Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang.

Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan
Mataram Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang tersebut dalam prasasti
Karang Tengah pada tahun 824 M.
4. Candi Lumbung

Ciri-cirinya

Candi Lumbung adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di
sebelah candi Bubrah. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno.

Candi ini merupakan kumpulan dari satu candi utama (bertema bangunan candi Buddha)
Dikelilingi oleh 16 buah candi kecil yang keadaannya masih relatif cukup bagus.
5. Candi Banyunibo

Candi Banyunibo yang berarti air jatuh-menetes (dalam bahasa Jawa) adalah candi Buddha yang berada tidak
jauh dari Candi Ratu Boko, yaitu di bagian sebelah timur dari kota Yogyakarta ke arah kota Wonosari.

Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno. Pada bagian atas candi ini
terdapat sebuah stupa yang merupakan ciri khas agama Buddha.

Ciri-cirinya:
Keadaan dari candi ini terlihat masih cukup kokoh dan utuh dengan ukiran relief kala-makara dan bentuk relief
lainnya yang masih nampak sangat jelas. Candi yang mempunyai bagian ruangan tengah ini pertama kali
ditemukan dan diperbaiki kembali pada tahun 1940-an, dan sekarang berada di tengah wilayah persawahan.
6. Kompleks Percandian Batujaya

Kompleks Percandian Batujaya adalah sebuah suatu kompleks sisa-sisa percandian Buddha kuna yang terletak di
Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut
percandian karena terdiri dari sekumpulan candi yang tersebar di beberapa titik.

Ciri-cirinya:
Dari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh secara umum sebagaimana layaknya sebagian besar
bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di bagian kaki atau dasar bangunan,
kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan.

Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit (juga disebut sebagai
unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini tidak memperlihatkan ukuran atau
ketinggian bangunan yang sama.
7. Candi Muara Takus

Candi Muara Takus adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia. Kompleks candi ini tepatnya
terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar atau jaraknya kurang lebih 135 kilometer
dari Kota Pekanbaru, Riau. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer
dan tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan.

Ciri-cirinya:
Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter diluar arealnya terdapat pula tembok tanah
berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam
kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka.

Bahan bangunan candi terdiri dari batu pasir, batu sungai dan batu bata.

Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di
sebelah hilir kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat
yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari
tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan
candi itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.
8. Candi Sumberawan

Candi Sumberawan hanya berupa sebuah stupa, berlokasi di Kecamatan Singosari, Malang. Dengan jarak
sekitar 6 km dari Candi Singosari. Candi ini Merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari dan digunakan oleh
umat Buddha pada masa itu.
Candi Sumberawan terletak di desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, +/- 6 Km, di
sebelah Barat Laut Candi Singosari, candi ini dibuat dari batu andesit dengan ukuran P. 6,25m L. 6,25m T.
5,23m dibangun pada ketinggian 650 mDPL, di kaki bukit Gunung Arjuna.
Pemandangan di sekitar candi ini sangat indah karena terletak di dekat sebuah telaga yang sangat bening
airnya. Keadaan inilah yang memberi nama Candi Rawan.

Ciri-cirinya:
Candi ini terdiri dari kaki dan badan yang berbentuk stupa. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki
candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur
sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta
(stupa) yang puncaknya telah hilang.
9. Candi Brahu

Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Buddha, didirikan abad 15 Masehi. Pendapat lain, candi ini berusia
jauh lebih tua ketimbang candi lain di sekitar Trowulan. Menurut buku Bagus Arwana, kata Brahu berasal dari kata
Wanaru atau Warahu.
Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci seperti disebutkan dalam prasasti Alasantan, yang ditemukan
tak jauh dari candi brahu. Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok pada tahun 861 Saka atau 9 September 939,

Ciri-cirinya:
Candi Brahu merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja Brawijaya. Anehnya dalam penelitian,
tak ada satu pakarpun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Lebih lebih setelah ada
pemugaran candi yang dilakukan pada tahun 1990 hingga 1995.
10. Candi Sewu

Candi Sewu adalah candi Buddha yang berada di dalam kompleks candi Prambanan (hanya beberapa ratus
meter dari candi utama Roro Jonggrang). Candi Sewu (seribu) ini diperkirakan dibangun pada saat kerajaan
Mataram Kuno oleh raja Rakai Panangkaran (746 – 784).

Candi Sewu merupakan komplek candi Buddha terbesar setelah candi Borobudur, sementara candi Roro
Jonggrang merupakan candi bercorak Hindu.
Menurut legenda rakyat setempat, seluruh candi ini berjumlah 999 dan dibuat oleh seorang tokoh sakti
bernama, Bandung Bondowoso hanya dalam waktu satu malam saja, sebagai prasyarat untuk bisa
memperistri dewi Roro Jonggrang. Namun keinginannya itu gagal karena pada saat fajar menyingsing,
jumlahnya masih kurang satu.
CANDI HINDU DI INDONESIA
1. Candi Cetho

Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit
(abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga
melakukan penelitian mengenainya.
Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas
Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang
tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten
Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.
Ciri-cirinya:
Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar
berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk
merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi,
leluhur masyarakat Dusun Cetho.
2. Candi Asu

Candi Asu adalah nama sebuah candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan
Sengi, kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, provinsi Jawa Tengah (kira-kira 10 km di sebelah timur laut dari
candi Ngawen). Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung
(Magelang). Nama candi tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya.
Ciri-cirinya :
Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang diperkirakan
penduduk sebagai arca asu ‘anjing’.
Disebut Candi Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi (candi Lumbung
yang lain ada di kompleks Taman Wisata candi Prambanan).

Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat Gunung Merapi, di daerah bertemunya
(tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur
sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian
atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut
dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua
buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ).
3. Candi Gunung Wukir

Candi Gunung Wukir atau Candi Canggal adalah candi Hindu yang berada di dusun Canggal,
kalurahan Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Candi ini tepatnya berada di atas
bukit Gunung Wukir dari lereng gunung Merapi pada perbatasan wilayah Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Menurut perkiraan, candi ini merupakan candi tertua yang dibangun pada saat
pemerintahan raja Sanjaya dari zaman Kerajaan Mataram Kuno, yaitu pada tahun 732 M (654
tahun Saka).

Ciri-cirinya:
Kompleks dari reruntuhan candi ini mempunyai ukuran 50 m x 50 m terbuat dari jenis batu andesit,
dan di sini pada tahun 1879 ditemukan prasasti Canggal yang banyak kita kenal sekarang ini.
Selain prasasti Canggal, dalam candi ini dulu juga ditemukan altar yoni, patung lingga (lambang
dewa Siwa), dan arca lembu betina atau Andini.
4. Candi Prambanan

Berdiri di bawah Candi Hindu terbesar di Asia Tenggara ini selarik puisi tiba-tiba terlintas di benak
Candi Prambanan yang dikenal juga sebagai Candi Roro Jonggrang ini menyimpan suatu legenda
yang menjadi bacaan pokok di buku-buku ajaran bagi anak-anak sekolah dasar.

Kisah Bandung Bondowoso dari Kerajaan Pengging yang ingin memperistri dara cantik bernama
Roro Jonggrang. Si putri menolak dengan halus. Ia mempersyaratkan 1000 candi yang dibuat
hanya dalam waktu semalam.

Bandung yang memiliki kesaktian serta merta menyetujuinya. Seribu candi itu hampir berhasil
dibangun bila akal licik sang putri tidak ikut campur. Bandung yang kecewa lalu mengutuk Roro
Jonggrang menjadi arca, yang diduga menjadi arca Batari Durga di salah satu candi.
5. Candi Gunung Sari

Candi Gunung Sari adalah salah satu candi Hindu Siwa yang ada di Jawa. Lokasi candi ini berdekatan
dengan Candi Gunung Wukir tempat ditemukannya Prasasti Canggal.

Ciri-cirinya:
Candi Gunung Sari dilihat dari ornamen, bentuk, dan arsitekturnya kemungkinan lebih tua daripada
Candi Gunung Wukir. Di Puncak Gunung Sari kita bisa melihat pemandangan yang sangat mempesona
dan menakjubkan.

Candi Gunung Sari terletak di Desa Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa
Tengah. Semoga di masa depan Candi Gunung Sari semakin dikenal oleh banyak orang untuk dapat
menemukan inspirasi dan keindahannya.
6. Arca Gupolo

Arca Gupolo adalah kumpulan dari 7 buah arca berciri agama Hindu yang terletak di dekat candi Ijo
dan candi Barong, di wilayah kelurahan Sambirejo, kecamatan Prambanan, Yogyakarta.

Gupolo adalah nama panggilan dari penduduk setempat terhadap patung Agastya yang ditemukan
pada area situs. Walaupun bentuk arca Agastya setinggi 2 meter ini sudah tidak begitu jelas, namun
senjata Trisula sebagai lambang dari dewa Siwa yang dipegangnya masih kelihatan jelas. Beberapa
arca yang lain, kebanyakan adalah arca dewa Hindu dengan posisi duduk.

Ciri-cirinya:
Di dekat arca Gupolo terdapat mata air jernih berupa sumur yang dipakai oleh penduduk setempat
untuk mengambil air, dan meskipun di musim kemarau panjang sumur ini tidak pernah kering. Menurut
legenda rakyat setempat,
Gupolo adalah nama patih (perdana menteri) dari raja Ratu Boko yang diabadikan sebagai nama candi
Ratu Boko (ayah dari dewi Loro Jonggrang dalam legenda candi Prambanan).
7. Candi Cangkuang

Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo, wilayah
Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Candi inilah juga yang pertama kali
ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu di Tatar Sunda.

Ciri-cirinya:
Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran
yang diresmikan pada tahun 1978.
Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi
30 cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi
ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m.
Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lébar 1,26 m.
8. Candi Gedong Songo

Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang
terletak di Desa Candi, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia tepatnya di
lereng Gunung Ungaran. Di kompleks candi ini terdapat lima buah candi.

Candi ini diketemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan merupakan peninggalan budaya Hindu dari
zaman Wangsa Syailendra abad ke-9 (tahun 927 masehi).

Ciri-cirinya:
Candi ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini terletak pada
ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut sehingga suhu udara disini cukup dingin (berkisar
antara 19-27°C)
Lokasi 9 candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran ini memiliki pemandangan alam yang indah. Di
sekitar lokasi juga terdapat hutan pinus yang tertata rapi serta mata air yang mengandung belerang.
9. Candi Pringapus

Candi Pringapus adalah candi di desa Pringapus, Ngadirejo, Temanggung 22 Km arah barat laut
ibu kota kabupaten Temanggung. Arca-arca berartistik Hindu yang erat kaitanya dengan Dewa
Siwa menandakan bahwa Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis.
Candi tersebut dibangun pada tahun tahun 772 C atau 850 Masehi menurut prasasti yang
ditemukan di sekitar candi ketika diadakan restorasi pada tahun 1932.

Ciri-cirinya:
Candi ini merupakan Replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat tinggal para dewata. Hal
ini terbukti dengan adanya adanya hiasan Antefiq dan Relief Hapsara-hapsari yang
menggambarkan makhluk setengah dewa. Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis
10. Candi Sukuh

Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang terletak di Kabupaten
Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah.
Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan
yoni. Candi ini digolongkan kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena
banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.

Ciri-cirinya:
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para
pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang
didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi
Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya
Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para
pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.
Jordaan, Roy E.. 1996. In Praise of Prambanan; Dutch Essays on the Loro Jonggrang Temple
Complex. Leiden: KITLV Press. Figure 1 Page 4

Candi Prambanan merupakan candi Hindu yang terbesar di Indonesia. Sampai saat ini belum dapat
dipastikan kapan candi ini dibangun dan atas perintah siapa, namun kuat dugaan bahwa Candi Prambanan
dibangun sekitar pertengahan abad ke-9 oleh raja dari Wangsa Sanjaya, yaitu Raja Balitung Maha Sambu.
Dugaan tersebut didasarkan pada isi Prasasti Syiwagrha yang ditemukan di sekitar Prambanan dan saat ini
tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Prasasti berangka tahun 778 Saka (856 M) ini ditulis pada masa
pemerintahan Rakai Pikatan.

Denah asli Candi Prambanan berbentuk persegi panjang, terdiri atas halaman luar dan tiga pelataran,
yaitu Jaba (pelataran luar), Tengahan (pelataran tengah) dan Njeron (pelataran dalam). Halaman luar
merupakan areal terbuka yang mengelilingi pelataran luar. Pelataran luar berbentuk bujur dengan
luas 390 m2. Pelataran ini dahulu dikelilingi oleh pagar batu yang kini sudah tinggal reruntuhan. Pelataran
luar saat ini hanya merupakan pelataran kosong. Belum diketahui apakah semula terdapat bangunan atau
hiasan lain di pelataran ini.
Di tengah pelataran luar, terdapat pelataran kedua, yaitu pelataran tengah yang berbentuk persegi
panjang seluas 222 m2. Pelataran tengah dahulu juga dikelilingi pagar batu yang saat ini juga sudah
runtuh. Pelataran ini terdiri atas empat teras berundak, makin ke dalam makin tinggi.

Di teras pertama, yaitu teras yang terbawah, terdapat 68 candi kecil yang berderet berkeliling, terbagi
dalam empat baris oleh jalan penghubung antarpintu pelataran. Di teras kedua terdapat 60 candi, di
teras ketiga terdapat 52 candi, dan di teras keempat, atau teras teratas, terdapat 44 candi. Seluruh
candi di pelataran tengah ini mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu luas denah dasar 6 m2
dan tinggi 14 m. Hampir semua candi di pelataran tengah tersebut saat ini dalam keadaan hancur. Yang
tersisa hanya reruntuhannya saja.
Pelataran dalam, merupakan pelataran yang paling tinggi letaknya dan yang dianggap sebagai tempat yang
paling suci.
Pelataran ini berdenah persegi empat seluas 110 m2, dengan tinggi sekitar 1,5 m dari permukaan
teras teratas pelataran tengah. Pelataran ini dikelilingi oleh turap dan pagar batu. Di keempat sisinya
terdapat gerbang berbentuk gapura paduraksa. Saat ini hanya gapura di sisi selatan yang masih utuh.

Di depan masing-masing gerbang pelataran teratas terdapat sepasang candi kecil, berdenah dasar
bujur sangkar seluas 1, 5 m2 dengan tinggi 4 m.
Di pelataran dalam terdapat 2 barisan candi yang membujur arah utara selatan.

Di barisan barat terdapat 3 buah candi yang menghadap ke timur. Candi yang letaknya paling utara adalah
Candi Wisnu, di tengah adalah Candi Syiwa, dan di selatan adalah Candi Brahma.

Di barisan timur juga terdapat 3 buah candi yang menghadap ke barat. Ketiga candi ini disebut candi wahana
(wahana = kendaraan), karena masing-masing candi diberi nama sesuai dengan binatang yang merupakan
tunggangan dewa yang candinya terletak di hadapannya.

Candi yang berhadapan dengan Candi Wisnu adalah Candi Garuda, yang berhadapan dengan Candi Syiwa
adalah Candi Nandi (lembu), dan yang berhadapan dengan Candi Brahma adalah Candi Angsa. Dengan
demikian, keenam candi ini saling berhadapan membentuk lorong. Candi Wisnu, Brahma, Angsa, Garuda dan
Nandi mempunyai bentuk dan ukuran yang sama, yaitu berdenah dasar bujur sangkar seluas 15 m2 dengan
tinggi 25 m.
Di ujung utara dan selatan lorong masing-masing terdapat sebuah candi kecil yang saling berhadapan, yang
disebut Candi Apit.
Model arsitektur rekonstruksi kompleks candi Prambanan, aslinya terdapat 240 candi berdiri di
kompleks ini.
Pintu masuk ke kompleks bangunan ini terdapat di keempat arah penjuru mata angin, akan tetapi
arah hadap bangunan ini adalah ke arah timur, maka pintu masuk utama candi ini adalah gerbang
timur.
Kompleks candi Prambanan terdiri dari:
1. 3 Candi Trimurti: candi Siwa, Wisnu, dan Brahma
2. 3 Candi Wahana: candi Nandi, Garuda, dan Angsa
3. 2 Candi Apit: terletak antara barisan candi-candi Trimurti dan candi-candi Wahana di sisi utara
dan selatan
4. 4 Candi Kelir: terletak di 4 penjuru mata angin tepat di balik pintu masuk halaman dalam atau
zona inti
5. 4 Candi Patok: terletak di 4 sudut halaman dalam atau zona inti
6. 224 Candi Perwara: tersusun dalam 4 barisan konsentris dengan jumlah candi dari barisan
terdalam hingga terluar: 44, 52, 60, dan 68
Maka terdapat total 240 candi di kompleks Prambanan.
Aslinya terdapat 240 candi besar dan kecil di kompleks Candi Prambanan. Tetapi kini hanya tersisa
18 candi; yaitu 8 candi utama dan 8 candi kecil di zona inti serta 2 candi perwara. Banyak candi
perwara yang belum dipugar, dari 224 candi perwara hanya 2 yang sudah dipugar, yang tersisa
hanya tumpukan batu yang berserakan.

Kompleks candi Prambanan terdiri atas tiga zona; pertama adalah zona luar, kedua adalah zona
tengah yang terdiri atas ratusan candi, ketiga adalah zona dalam yang merupakan zona tersuci
tempat delapan candi utama dan delapan kuil kecil.
Penampang denah kompleks candi Prambanan adalah berdasarkan lahan bujur sangkar yan terdiri
atas tiga bagian atau zona, masing-masing halaman zona ini dibatasi tembok batu andesit. Zona
terluar ditandai dengan pagar bujur sangkar yang masing-masing sisinya sepanjang 390 meter,
dengan orientasi Timur Laut – Barat Daya.

Kecuali gerbang selatan yang masih tersisa, bagian gerbang lain dan dinding candi ini sudah
banyak yang hilang. Fungsi dari halaman luar ini secara pasti belum diketahui; kemungkinan
adalah lahan taman suci, atau kompleks asrama Brahmana dan murid-muridnya. Mungkin dulu
bangunan yang berdiri di halaman terluar ini terbuat dari bahan kayu, sehingga sudah lapuk dan
musnah tak tersisa.
Candi Prambanan adalah salah satu candi Hindu terbesar di Asia Tenggara selain Angkor Wat. Tiga
candi utama disebut Trimurti dan dipersembahkan kepadantiga dewa utama Trimurti: Siwa sang
Penghancur, Wisnu sang Pemelihara dan Brahma sang Pencipta. Di kompleks candi ini Siwa lebih
diutamakan dan lebih dimuliakan dari dua dewa Trimurti lainnya. Candi Siwa sebagai bangunan
Candi Borobudur
oDimensi denah candi Borobudur berukuran panjang 121,66 meter
dan lebar 121,38 meter.
oTinggi 35,40 meter.
oStruktur bangunan berupa 9 teras berundak dengan stupa induk di
puncak.
oSecara filosofi dibagi tiga bagian yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, dan
Arupadhatu.
oSecara teknis Candi Borobudur terdiri dari lantai undag, selasar,
lorong tk I s.d tk IV, teras I s.d III dan stupa Induk.
oVolume batu sekitar 55.000 meter persegi (sekitar 2.000.000 blok
batu)

Pemugaran

Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua


Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi. Foto-
foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun
1890–1891. Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk
mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini.

Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat
untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor
van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van de
Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan
Umum.
Penanaman beton dan pipa PVCuntuk memperbaiki sistem drainase Borobudur pada pemugaran
tahun 1973
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada
pemerintah.

Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut
bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar
langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama.
Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki
lantai dan pancuran.
Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar
langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan
pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden

Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin
Theodor van Erp Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk
menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan membangun
kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan
banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran
tambahan sebesar 34.600 gulden.

Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung
batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah
pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit
batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan
keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak
Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada membersihkan
patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding
galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan. Van Erp menggunakan beton yang
menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh
bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih
lanjut diperlukan.
Patung Buddha yang tidak sempurna di Museum Karmawibhangga. Di belakangnya diletakkan chhatra atau parasol
tiga lapis yang seharusnya menghiasi puncak stupa utama borobudur tetapi diturunkan karena sering terkena
sambaran petir.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh.

Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk
pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini.

Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat. Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil
langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982. Fondasi
diperkukuh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan.

Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase
dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek kolosal ini
melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar
AS. Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun
1991. Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii)
"menampilkan pertukaran penting dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah
budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata kota dan
rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang
hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna
universal yang luar biasa".
Rehabilitasi

Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober dan November 2010. Debu vulkanik dari Merapi
menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometres (17 mi) arah barat-barat daya dari kawah Merapi.

Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimetres (1 in) menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November
2010, debu juga mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat
asam dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010 untuk
membersihkan luruhan debu.
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO telah menyumbangkan dana sebesar 3
juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan
waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan
suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.

Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan drainase yang tersumbat adonan
debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.
Sisi Arsitektural

Denah Borobudur
membentuk Mandala, lambang alam
semesta dalam kosmologi Buddha.
Detail Bangunan

Ukiran raksasa sebagai


kepala pancuran drainase

Arca singa penjaga


gerbang

Penampang candi Borobudur terdapat rasio perbandingan


4:6:9 antara bagian kaki, tubuh, dan kepala
Relief
Bagan Relief
Jumlah
Tingkat Posisi/letak Cerita Relief
Pigura

Kaki candi asli ----- Karmawibhangg 160


a
a. Lalitawistara 120
dinding b.
120
jataka/awadana

Tingkat I a.
372
jataka/awadana
langkan
b.
Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya dan jataka/awadana
128

citarasa estetik yang anggun


dinding Gandawyuha 128
Tingkat II
langkan jataka/awadana 100

dinding Gandawyuha 88
Tingkat III
langkan Gandawyuha 88
dinding Gandawyuha 84
Tingkat IV
langkan Gandawyuha 72
Jumlah 1460

Letak relief kisah-kisah naskah suci Buddha di


dinding Borobudur
DAFTAR PUSTAKA

http://
imagebali.net/detail-artikel/823-perbedaan-utama-arsitektur-
candi-hindu-dan-budha%20.php
http://danperbedaan.blogspot.co.id/2016/05/perbedaan-candi
-hindu-dan-budha.html
https://apaperbedaan.com/candi-hindu-dan-budha/
https://id.wikipedia.org/wiki/Candi
https://id.wikipedia.org/wiki/Templat:Candi_Hin
du_Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Candi_Hin
du
https://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Candi_Bu
ddha
https://id.wikipedia.org/wiki/Templat:Candi_Bu
ddha_Indonesia
Borobudur
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang
dibuat dengan sangat teliti dan halus. [57]Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan
selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam
kesenian dunia Buddha.[58]Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh yang
memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita
bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa,
seringkali digambarkan dengan posisi tubuh tribangga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit
condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki,
sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur
bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribangga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang. [59]
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa,
aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak
ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti
kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran relief
Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka
tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal
yang menggambarkan Kapal Borobudur.[60] Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari
purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang
terletak di sebelah utara Borobudur.[61]
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuno yang berasal dari
bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief
cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap
tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah
timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke
timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma.
Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan
merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja
memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala.
Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama
Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto
lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.
Lalitawistara

Pangeran Siddhartha Gautamamencukur rambutnya dan menjadi pertapa


Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang
Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah
selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di
sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut
menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu.
Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran
Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan
baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah Jataka
menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau
perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya
dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi
Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal
dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan
Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul
Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Pangeran Siddhartha Gautamamencukur rambutnya dan menjadi pertapa
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang
dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras.
Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari
tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk
menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang
Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief
tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran
Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok
penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari
makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang
bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam
usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan
orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka
atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat
dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala
atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam
usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura
didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab
lainnya yaitu Bhadracari.
Arca Buddha Mela
Dhya Arah
Loka
Mudr ni Mata
Arca mban si
a Budd Angi
gkan Arca
ha n

Relung
di pagar
Meman
langkan
Bhumis ggil
4 baris
parsa bumi Aksobh Timur
pertama
mudra sebagai ya
Rupadh
saksi
atusisi
timur

Relung
di pagar
langkan
Wara Kederm 4 baris
Ratnas Selatan
mudra awanan ambhaw pertama
a Rupadh
atusisi
selatan

Relung
di pagar
langkan
Semadi
Dhyana 4 baris
atau Amitabh Barat
mudra pertama
meditasi a
Rupadh

Sebuah arca Buddha di dalam stupa berterawang


atusisi
barat

Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila
dalam posisi teratai serta menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini
dipahat dari bahan batu andesit.[5]
Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya Relung

semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga
di pagar
langkan
Ketidak
Abhaya 4 baris
gentara Amoghas Utara
mudra pertama

88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu.[4] n iddhi
Rupadh
atusisi
utara

Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada
pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total
72 stupa.[4] Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak
penemuan monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).[62]
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus di antaranya, yaitu pada mudra atau Relung
di pagar

posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah Witarka Akal
Wairoca Tengah
langkan
baris
kelima

utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, di
mudra budi na (teratas)
Rupadh
atusem

mana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudrayang khas. Arca Buddha pada pagar ua sisi

langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat.
Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.[63]
Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi Timur, maka mudra arca-arca buddha di
Borobudur adalah: Di
dalam
72
Dharma Pemutar stupa di
chakra an roda Wairoca Tengah 3 teras
mudra dharma na melingk
ar Arup
adhatu
Arsitektur candi Prambanan berpedoman kepada tradisi arsitektur Hindu yang berdasarkan
kitab Wastu Sastra. Denah candi megikuti pola mandala, sementara bentuk candi yang
tinggi menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Prambanan memiliki nama
asli Siwagrha dan dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu mengikuti bentuk gunung
suci Mahameru, tempat para dewa bersemayam. Seluruh bagian kompleks candi mengikuti
model alam semesta menurut konsep kosmologi Hindu, yakni terbagi atas beberapa lapisan
ranah, alam atau Loka.
Seperti Borobudur, Prambanan juga memiliki tingkatan zona candi, mulai dari yang kurang
suci hingga ke zona yang paling suci. Meskipun berbeda nama, tiap konsep Hindu ini
memiliki sandingannya dalam konsep Buddha yang pada hakikatnya hampir sama.
Baik lahan denah secara horisontal maupun vertikal terbagi atas tiga zona.
Bhurloka (dalam Buddhisme: Kamadhatu), adalah ranah terendah makhluk yang fana;
manusia, hewan, juga makhluk halus dan iblis. Di ranah ini manusia masih terikat dengn
hawa nafsu, hasrat, dan cara hidup yang tidak suci. Halaman terlar dan kaki candi
melambangkan ranah bhurloka.
Bwahloka (dalam Buddhisme: Rupadhatu), adalah alam tegah, tempat orang suci, resi,
pertapa, dan dewata rendahan. Di alam ini manusia mulai melihat cahaya kebenaran.
Halaman tengah dan tubuh candi melambangkan ranah bwahloka.
Swahloka (dalam Buddhisme: Arupadhatu), adalah ranah trtinggi sekaligus tersuci tempat
para dewa bersemayam, juga disebut swargaloka. Halaman dalam dan atap candi
melambangkan ranah swahloka. Atap candi-candi di kompleks Prambanan dihiasi dengan
kemuncak mastaka berupa ratna (Sanskerta: permata), bentuk ratna Prambanan
merupakan modifikasi bentuk wajra yang melambangkan intan atau halilintar. Dalam
arsitektur Hindu Jawa kuno, ratna adalah sandingan Hindu untuk stupa Buddha, yang
berfungsi sebagai kemuncak atau mastaka candi.
Pada saat pemugaran, tepat di bawah arca Siwa di bawah ruang utama candi Siwa
terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih (kotak batu). Sumur ini sedalam 5,75
meter dan peti batu pripih ini ditemukan di atas timbunan arang kayu, tanah, dan tulang
belulang hewan korban. Di dalam pripih ini terdapat benda-benda suci seperti lembaran
emas dengan aksara bertuliskan Baruna (dewa laut) dan Parwata (dewa gunung). Dalam
peti batu ini terdapat lembaran tembaga bercampur arang, abu, dan tanah, 20 keping
uang kuno, beberapa butir permata, kaca, potongan emas, dan lembaran perak, cangkang
kerang, dan 12 lembaran emas (5 diantaranya berbentuk kura-kura,
ular naga (kobra), padma, altar, dan telur).
Tangga Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura berukir Kala-Makara
Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini.[53] Batu ini dipotong
dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali,
melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan
tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah
struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan
kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan
tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain.
Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat.
Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan
upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil
atau candi.[53] Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang
penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit dari
monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur
teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa
prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini.[54] Namanya
lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita rakyat
mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma
yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau
jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya.[55] Tentu saja satuan ini bersifat
relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio
perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari suatu fraktal
geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur.[55][56] Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut
dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi.
Hal yang sama juga berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.[54]
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.[54] Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi
4 metres (13 ft).[53] Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7 metres
(23 ft) dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 metres (6,6 ft), menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri
atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang
terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 metres (115 ft) dari permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung
susun tiga) yang kini dilepas adalah 42 metres (138 ft) . Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata angin yang membawa
pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang dihiasi
ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam
arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus
tersambung dengan tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.
Lorong koridor dengan galeri dinding berukir relief
Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami
gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden berundak atau piramida bertingkat yang ditemukan
dari periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur asli Indonesia dan perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha. [3]
Konsep rancang bangun[sunting | sunting sumber]
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran
konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan
secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.[51] Bagaikan
sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 metres
(404 ft) pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur. [34] Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 di antaranya adalah berkisah
tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief. [52] Kaki asli ini tertutup oleh
penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran
monumen.[52] Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata
kota.[34] Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang
diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhanggayang kini tersembunyi. Sebagian kecil
struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki
volume 13.000 meter kubik.[5]
Rupadhatu Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri
dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu,
tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawahdan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada
ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan. [5] Pada pagar langkan
terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat
pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti
tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa,
namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk.
Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang
berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-
lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni
arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam
stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui
penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang
salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan
kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di mana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas
dari lingkaran samsara.

Anda mungkin juga menyukai