Anda di halaman 1dari 11

Panggilan Hidup Manusia Menurut kitab Suci

Kelompok :
1. Brigita Juliana Simanjuntak
( 3201906132 )
2. Dwi Jesica Inka M
( 3201906030 )
3. Mardonius
( 3201906032 )
4. Neizzy Nopena Stefani Runse
( 3201906069 )
5. Oktavia Riza
( 3201906060 )
6. Tiberius Tutul
( 3201906031 )
Manusia dalam Kitab Suci

• Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk manusia,dan


manusia itu diciptakan untuk melayani Allah, untuk
mencintai-Nya dan untuk mempersembahkan seluruh
ciptaan kepada- Nya. Tidak ada makhluk yang diciptakan
dengan martabat yang luhur seperti manusia. Dalam Kitab
Kejadian 1: 26-31, Allah menciptakan manusia secitra dan
segambar dengan Allah. Anda diharapkan mengenal diri
sebagai pribadi, Citra Allah dan dipanggil agar mampu
hidup sebagai Citra Allah yang bersyukur atas keberadaan
dirinya, menghargai hak azasi manusia, dan mampu
bekerjasama dengan sesama, menjaga kelestarian
lingkungan hidup serta mampu berelasi dengan Tuhan
sebagai pencipta kehidupan.
Manusia Diciptakan Menurut Gambar Allah

• Kitab Kejadian menuliskan kisah penciptaan menekankan


bagaimana Allah menempatkan manusia sebagai ciptaan-Nya yang
khusus. Manusia disebut sebagai gambar Allah (imago Dei) yang
mewakili Allah di dunia. Artinya, keberadaan manusia menunjukkan
bahwa Allah ada. Manusia menjadi begitu sangat penting dan berarti
karena segala sesuatu di dunia ini harus diarahkan kepada manusia
sebagai pusat dan puncaknya. Kitab Kejadian melukiskan tentang
penciptaan dan memberikan kepada manusia tempat mulia dalam
alam semesta. Penciptaan manusia tidak hanya merupakan penutup
dari segenap karya ciptaan Allah, tetapi dalam penciptaan manusia
itu terkandung penggenapan dan makna dari seluruh pekerjaan
Allah. Manusia diperintahkan memenuhi bumi dan
menaklukkannya, dan manusia berkuasa atas semua makhluk (Kej.
1:27-31).
Hakikat Manusia sebagai Citra Allah

1. Martabat Manusia sebagai Citra Allah


Berdasarkan kitab Kej. 1:26-28; dan Kej. 2:7-8, 15-18, 21-25 tampak
bahwa manusia diciptakan oleh Allah Sang Pencipta pada hari ke-6
dengan bersabda dan bertindak. Dalam kisah penciptaan itu,
manusia diciptakan dalam proses yang terakhir setelah semua yang
ada di alam semesta diciptakan. Artinya, manusia diciptakan
sebagai puncak ciptaan Allah. Manusia diciptakan sesuai dengan
gambar dan rupa Allah, dengan karunia istimewa yaitu akal budi,
hati/perasaan, dan kehendak bebas. Adanya karunia akal- budi
menjadikan manusia bisa atau memiliki kemampuan untuk
memilih, karunia hati/perasaan menjadikan manusia bisa
merasakan, dan karunia kehendak bebas menjadikan manusia
mampu membangun niat-niat. Karunia-karunia itu menjadikan
manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki kesadaran dan
kebebasan.
Allah menempatkan martabat manusia di atas ciptaan yang lain.
Hanya manusia yang secitra dengan Allah. Dari segala ciptaan
yang kelihatan, hanya manusia "mampu mengenal dan mencintai
Penciptanya dan oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas
semua makhluk di dunia ini, untuk menguasainya dan
menggunakannya sambil meluhurkan Allah" (GS 12,3). Lebih tegas
lagi para Bapa Konsili menyatakan bahwa “Allah sebagai Bapa
memelihara semua orang, menghendaki agar mereka merupakan
satu keluarga, dan saling menghargai dengan sikap persaudaraan.
Sebab mereka semua diciptakan menurut gambar Allah, yang
menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal mendiami
muka bumi (Kis 17:26). Mereka semua dipanggil untuk satu tujuan,
yakni Allah sendiri” (GS 24,1). Manusia merupakan satu-satunya
makhluk, yang Allah kehendaki demi dirinya sendiri (bdk. GS 24,3).
2. Martabat Manusia sebagai Anak Allah

Manusia sebagai makhluk ciptaan yang mempunyai citra dan rupa Allah mempunyai tujuan
yang diberikan oleh Allah sendiri. Tujuan hidup manusia sangat mempengaruhi martabat
manusia. Tujuan hidup manusia itu pada dasarnya di luar segala daya pemikiran manusia, di
luar segala perhitungan manusia bahkan di luar pengertian manusia itu sendiri. Tujuan hidup
manusia pada dasarnya bersifat transendental (bersifat ilahi dan mengatasi segala-galanya),
yaitu memenuhi kerinduan manusia mencapai kesempurnaan dalam segala-galanya, yaitu
suatu kebahagiaan abadi berupa kehidupan kekal, hidup berbahagia bersama Allah Bapa di
surga (Lihat Yoh. 17:1-3; 1Yoh. 3:2; 1Kor. 2:9). Dalam teks tersebut dilukiskan bahwa
tujuan hidup manusia masing-masing adalah persatuan dengan hidup Allah Tritunggal untuk
selama-lamanya. Sebagai anak Allah, manusia terpanggil untuk hidup bersatu dengan Bapa-
Nya sesuai dengan rencana Allah. Martabat manusia sebagai anak Allah merupakan kunci
untuk memahami sebenarnya siapa manusia. Manusia dipanggil untuk hidup dalam
persekutuan dengan Allah Bapa berkat wafat dan kebangkitan Kristus yang memanggil
manusia untuk lahir kembali sebagai anak Allah. Maka martabat manusia tidak tergantung
pada bangsa, jenis, usia, bakat, kedudukan dan keberhasilan seseorang. Martabat manusia
melebihi semua hal tersebut. Allah telah mengangkat manusia sebagai anak-Nya dengan
menyerahkan . Putra-Nya yang tunggal, Yesus Kristus. Maka, martabat manusia diangkat
dan disempurnakan dalam relasi dengan Yesus Kristus Putra Allah (1Yoh. 4:9-10).
3. Martabat Manusia sebagai Pribadi Sosial

“No man is an island”, artinya ‘manusia tidak ada yang hidup sendirian.’ Dalam
kehidupannya manusia sadar akan dirinya bersama dengan orang lain. Manusia
bersama dengan orang lain, secara bersama-sama memberikan arti dan nilai dan saling
memanusiawikan. Anda menjadi pribadi justru dalam pengakuan dari sesama. Manusia
diciptakan untuk berelasi dan bersekutu. Relasi dan persekutuan ini memperlihatkan
suatu ketergantungan dasariah antarmanusia sebagai makhluk yang selalu ada bersama.
Karena itu, manusia hidupnya tergantung satu sama lain. Allah tidak menciptakan
manusia seorang diri: sebab sejak awal mula “Ia menciptakan mereka pria dan wanita”
(Kej. 1:27). Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antarpribadi.
Sebab dari kodratnya yang terdalam, manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan
dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya. Hidup
di tengah-tengah manusia lain merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, sebagai
citra Allah manusia adalah pribadi sosial, yang di satu sisi sebagai anugerah yang layak
“disyukuri” dan di lain pihak mengandung tugas panggilan/perutusan yaitu
“membangun”. Karenanya, kita perlu membangun kesadaran bahwa kita hidup dalam
suatu komunitas kebersamaan. Kesadaran itu, hendaknya dihayati dengan sikap-sikap
yang menunjang tercapainya kerja sama dan saling pengertian dan peduli di antara
sesama manusia
Mengomunikasikan Panggilan dan Tugas Perutusan Manusia
sebagai citra Allah

• Manusia merupakan puncak dari seluruh ciptaan Allah. Kepada manusia diberikan
martabat yang luhur dan kuasa untuk mengatur dan menata segala ciptaan-Nya.
Keluhuran martabat manusia diberikan oleh Allah tentu dengan maksud dan
tujuan yang luhur dan mulia. Ada panggilan tugas perutusan manusia yang
terkandung didalamnya. Hidup adalah rahmat, panggilan dan perutusan.
Pernyataan ini mencoba menguak bagaimana posisi manusia dalam karya
penyelenggaraan ilahi. Setiap manusia yang terlahir di dunia pasti mendapatkan
rahmat. Rahmat tersebutlah yang membuat manusia hadir dalam identitasnya
yang sangat personal, dalam segala keunikannya. Dalam setiap kelahiran manusia,
menurut cara apa pun, termasuk yang disebut sebagai kehamilan yang tidak
diinginkan, di sana ada kehendak Ilahi. Tanpa kehendak Ilahi, kelahiran takkan
terjadi. Jadi, bukan karena kebetulan seseorang terlahir dari pasangan ayah dan
ibunya. Setiap manusia yang terlahir, dipanggil untuk turut serta dalam karya
penyelenggaraan Ilahi. Tidak terkecuali dan tidak pandang bulu, apa pun
agamanya, suku bangsanya, bahasanya, profesinya, di mana pun dan kapan pun ia
hidup, dia dipanggil untuk turut serta dalam karya penyelenggaraan- Nya.
Panggilan ini berlaku untuk seluruh kehidupan manusia.
Kesimpulan

• Manusia menjadi berharga karena manusia memiliki harga diri baru sehingga hidupnya bernilai.
Memperhatikan keprihatinan yang terjadi di masyarakat mengenai pelanggaran terhadap hak asasi
manusia, Konsili menekankan sikap hormat kepada manusia, sehingga setiap orang wajib memandang
sesamanya, tidak seorang pun terkecualikan, sebagai dirinya yang lain, terutama mengindahkan perihidup
mereka beserta upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup secara layak. Apa saja yang berlawanan
dengan kehidupan, misalnya pembunuhan, penumpasan suku, pengguguran, euthanasia dan bunuh diri ;
apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia seperti kondisi-kondisi hidup yang tidak layak sebagai
manusia, 20 pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan orang-orang perbudakan, penculikan,
pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak; begitu pula kondisi-kondisi kerja yang memalukan,
sehingga kaum buruh diperalat semata-mata untuk menarik keuntungan dan tidak diperlakukan sebagai
pribadi-pribadi yang bebas dan bertanggungjawab; itu semua dan hal-hal lain yang serupa merupakan
perbuatan yang keji. Sementara mencoreng peradaban manusiawi, perbuatan-perbuatan itu lebih
mencemarkan mereka yang melakukannya, daripada mereka yang menanggung ketidakadilan, dan sangat
berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta (Gaudium et Spess, Art. 27). “Makna paling luhur martabat
manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak asal
mulanya manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup, karena ia
diciptakan oleh Allah dalam cinta kasih-Nya, dan hidupnya lestari berkat cinta kasih-Nya. Dan manusia
tidak sepenuhnya hidup menurut kebenaran, bila ia tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih itu, serta
menyerahkan diri kepada Penciptanya” (GS 19; 1). Manusia adalah citra Allah yang melebihi seluruh alam
sekitarnya. Dengan cara yang berbeda dan unik, setiap orang mencerminkan kemahamuliaan Ilahi. Setiap
orang adalah istimewa dan tidak tergantikan. Manusia dipanggil untuk hidup dalam persekutuan dengan
Allah Bapa berkat wafat dan kebangkitan Kristus, yang memanggil kita untuk lahir kembali sebagai anak
Allah.
Thank you...

Anda mungkin juga menyukai