INTRA-COMPANY
TRANSFER PRICING
INTER-COMPANY
TRANSFER PRICING
DOMESTIC
TRANSFER PRICING
PENGELOMPOKAN TRANSFER PRICING
International TP Domestic TP
ARUS BARANG
$200
$100 $300
PENJELASAN ILUSTRASI KASUS 1
1. Dengan transfer pricing, laba tersebut dialokasikan ke Jepang,
Hongkong, Singapura dan Indonesia, padahal barang dari Jepang
langsung dikirim ke Indonesia, hanya kertasnya yang mampir-
mampir.
2. Karena dianggap memakai jasa broker Trading House Singapura,
perusahaan Indonesia harus membayar komisi US$50. Atas modal
kerja untuk melaksanakan pembelian itu dibiayai dengan pinjaman
dari grup dengan bunga 15% atau US$45. Berarti laba perusahaan
Indonesia tinggal US$5. Kalau atas bahan tersebut diperlukan jasa
teknik dari induk di Jepang dengan biaya US$30 (10%), akhirnya
perusahaan Indonesia justru menderita rugi US$25
Dari contoh tersebut, akhirnya muncul keanehan (anomali), yaitu bahwa
grup untung sekurang-kurangnya US$300, yang diperoleh dari
penjualan barang yang dibeli oleh orang Indonesia, tetapi perusahaan
di Indonesia malah menderita rugi US$25. Indonesia tidak dapat
memungut PPh dari perusahaan yang merugi tersebut.
ILUSTRASI KASUS 2
MBR Corp yang berkedudukan di Amerika Serikat menjual produknya ke anak
perusahaan PT MBR Indonesia
Perusahaan Uraian Normal Opsi A1 Opsi A2 Normal Opsi B1
MBR Corp AS Penjualan 10.000 11.000 8.000 10.000 11.000
HPP 6.000 6.000 6.000 6.000 6.000
Phsln Neto 4.000 5.000 2.000 4.000 5.000
PPh 20% 800 1.000 400
PPh 40 % 1.600 2.000
Tujuan transfer pricing rules ini adalah untuk menempatkan Wajib Pajak-
Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa menjadi Wajib Pajak yang
independen sehingga harga-harga yang digunakan di antara Wajib Pajak-
Wajib Pajak tersebut dapat dipastikan kewajarannya (arm’s length).
TRANSFER PRICING RULES DI INDONESIA
Melalui UU PPh, Indonesia telah mengadopsi transfer
pricing rules. Dalam Pasal 18 (3) UU PPh diatur bahwa
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk :
1. Menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan
2. Menentukan utang sebagai modal
3. Menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran
dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa.
KONSEP HUBUNGAN ISTIMEWA
Sesuai dengan Pasal 18 (4) UU PPh, hubungan istimewa dianggap
ada apabila:
1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak
langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, atau
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah
25% pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan
antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih
Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik
langsung maupun tidak langsung;
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda
dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.
HUBUNGAN ISTIMEWA = TRANSFER PRICING
Secara universal transaksi antar Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dikenal
dengan istilah transfer pricing
Dalam membandingkan harga harus diperhatikan kondisi yang menyebabkan perbedaan harga
antara lain :
1. Pasar-pasar yang berbeda secara geografis;
2. Potongan harga dan potongan kuantitas (diskon dan rabat);
3. Kualitas barang;
4. Biaya transportasi;
5. Asuransi.
Perbedaan harga yang diakibatkan oleh faktor-faktor di atas harus dieliminasi untuk mendapatkan
pembebanan harga yang wajar, dengan demikian penyesuaikan dapat dilakukan seperlunya sesuai
dengan keadaan
ILUSTRASI KASUS
PT Z menyerahkan penjualan barang X kepada
afiliasinya PT Y dengan harga franko tujuan
Rp 2.000.000
PT Z menyerahkan penjualan barang X kepada pihak
ketiga PT. A dengan harga franko pabrik Rp 2.000.000.
Biaya pengangkutan dan asuransi Rp 100.000
Dengan demikian harga jual wajar barang X kepada PT Y
adalah Rp 2.000.000 + Rp 100.000 = Rp 2.100.000.
RESALE PRICE
Metode ini dapat dipergunakan dalam hal Wajib Pajak yang diperiksa
bergerak dalam bidang usaha perdagangan yaitu produk yang telah
dibeli dijual kembali (resale) kepada pihak lainnya. Harga yang
terjadi pada penjualan kembali tersebut dikurangi dengan laba kotor
(mark up) wajar (yang mencerminkan jumlah untuk menutup biaya-
biaya dan laba dari si penjual kembali) merupakan harga jual wajar.
Penentuan harga pasar wajar dengan metode harga jual minus dilakukan
dengan mengurangkan suatu mark up wajar dari harga jual barang yang sama
pada mata rantai berikutnya. Mark up wajar diperoleh dengan
membandingkannya dengan transaksi yang tidak ada hubungan istimewa.
X SDN BHD
PENJUALAN KE PIHAK KE-3 125.000
MARJIN PENJUALAN 25%
LABA KOTOR TANPA INTANGIBLES 31.250
PEMBAHASAN KASUS
PENJUALAN 66.000
HPP (60.000)
LABA KOTOR 6.000 31.250
BIAYA OPERASI (5.000) (15.000)
LABA OPERASI 1.000 16.250
Residual profit grup adalah USD 45.000 – USD 17.250 = USD 27.750.
Di dalam perkembangan kedua perusahaan, ada dua beban yang dapat
dimasukkan untuk menentukan intangibles, yaitu biaya litbang dan
pemasaran.
Jika dimisalkan biaya litbang dan pemasaran yang dikeluarkan kedua
perusahaan adalah:
– PT Y Indonesia USD 3.000 (20%),
– X Sdn Bhd USD 12.000 (80%)
Pembagian residual profit menjadi
– PT Y Indonesia (20% x USD 27.750) USD 5.550
– X Sdn Bhd (80% x USD 27.750) USD 22.200
Dengan demikian, laba operasi masing-masing perusahaan setelah
penyesuaian, seperti terlihat pada Tabel 4, adalah:
– PT Y Indonesia USD 5.550 + USD 1.000 = USD 6.550
– X Sdn Bhd USD 16.250 + USD 22.200 = USD 38.450
PEMBAHASAN KASUS LANGKAH 2
PEMBAGIAN RESIDUAL PROFIT
URAIAN (USD)
HPP 5.000.000
BIAYA OPERASI 1.500.000
TOTAL BIAYA 6.500.000
NET MARK-UP (SESUAI PEMBANDING PT. MBR) 650.000
LABA OPERASI 7.150.000