Anda di halaman 1dari 50

LATAR BELAKANG MASALAH

Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae.


Global (World Health Organization, 2016):
• 2015 176.176 kasus (211.973 kasus baru; 0,21 kasus baru per 10.000 orang).
• 2014 213.899 kasus
• 2013 215.656 kasus
Indonesia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018):
• 2018 10.477 kasus (4,00 kasus / 100.000 penduduk) Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
• 2017 16.826 kasus (6,50 kasus / 100.000 penduduk)
Kalimantan Timur (Dinas Kesehatan Kota Samarinda, 2017; 2018):
• 2017 153 kasus baru
Samarinda (Dinas Kesehatan Kota Samarinda, 2017; 2018):
• 2016 26 kasus baru
• 2017 39 kasus baru
LATAR BELAKANG MASALAH
Masyarakat menjauhi penderita kusta karena kurangnya pengetahuan atau
pengertian juga kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta.
Berbagai salah persepsi tentang kusta yaitu merupakan penyakit keturunan,
akibat guna-guna, karena berhubungan seks saat haid, salah makan, hingga
penyakit sangat menular dan tidak dapat disembuhkan (Liliweri, 2007).
Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi terbentuknya perilaku
(Lawrence Green dalam Notoatmodjo, 2003).
Stigma dan diskriminasi masih melekat terhadap penderita kusta sehingga
membuat mereka tersisihkan di dalam kehidupan masyarakat (Tarigan, 2013).
LATAR BELAKANG MASALAH
Beberapa penelitian yang mencari hubungan antara pengetahuan masyarakat
dengan stigma terhadap penyakit kusta :
• Sulidah (2016) di kota Tarakan, Kalimantan Utara
• Garamina (2015) di kota Lampung
• Tamsuri (2010), di Kecamatan Tanjunganom Kabupaten Nganjuk.
Apakah terdapat hubungan antara
RUMUSAN Pengetahuan Mayarakat dengan Stigma
terhadap Penyakit Kusta di Kota
MASALAH Samarinda?
Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan masyarakat
dengan stigma terhadap penyakit kusta di kota
Samarinda

TUJUAN Tujuan Khusus

PENELITIAN 1. Mengetahui pengetahuan


penyakit kusta di kota Samarinda
masyarakat tentang

2. Mengetahui stigma terhadap penyakit kusta di kota


Samarinda

3. Mengetahui hubungan pengetahuan masyarakat


dengan stigma terhadap penyakit kusta di kota
Samarinda
M A N FA AT
PENELITIAN
MANFAAT BAGI PENELITI

MANFAAT ILMIAH

MANFAAT PRAKTIS
KUSTA
Penyakit kusta adalah penyakit kronik
yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang
pertama kali menyerang susunan saraf
tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,
mukosa (mulut), saluran pernapasan
bagian atas, sistem retikulo endotelial,
mata, otot, tulang dan testis (Harahap,
2015).
ETIOLOGI
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang
merupakan bakteri gram positif, bersifat obligat intraselular, basil
tahan asam dan tidak dapat dikultur (Lee, Rea, & Modlin, 2012)
Mycobacterum Leprae ini tidak membentuk spora, tidak bergerak dan
mempunyai macam-macam bentuk (pleomorfik) (Soedarto, 2009)
PAT O F I S I O L O G I
Beberapa ahli mengatakan bahwa kusta menular melalui saluran
pernafasan dan kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
dingin dan pada mukosa nasal namun sampai sekarang masih belum
diketahui dengan pasti bagaimana cara penularan kusta (Susilowati,
2014).
Invasi bakteri M.leprae ke sel Schwann demyelinisaasi
satu internodal yang rusak akan digantikan fungsinya oleh dua atau
tiga internodal yang lain konduksi stimulus yang lebih lemah yang
akan menyebabkan hilangnya sensasi pada satu area yang terkena
dampak (Naafs & Garbino, 2013)
PAT O F I S I O L O G I
Mycobacterium leprae hidup pada suhu rendah sehingga ia dapat
hidup dalam bagian tubuh manusia yang memiliki suhu lebih rendah
seperti mata, saluran pernafasan bagian atas, otot, tulang, testis,
saraf perifer dan kulit. Tanda dan gejala MH dapat timbul pada
penderita ketika M. Leprae telah tertular dalam tubuh manusia
(Lestari, 2015)
Penyakit akan berkembang kearah Tuberkuloid (TT) apabila sistem
imunitas seluler tinggi dan akan berkembang ke arah Lepramatosa
(LL) apabila sistem imunitas rendah (Hamzah, Aisah, & Djuanda,
2010)
PREVALENSI DAN
EPIDEMIOLOGI

P E N D E R I TA K U S TA T E R S E B A R
D I S E L U R U H D U N I A . J U M L A H YA N G
T E R C ATAT 8 8 8 . 3 4 0 P A D A T A H U N 1 9 9 7
( H A R A H A P, 2 0 1 5 ) . K E B A N Y A K A N K A S U S
K U S TA T E R J A D I D I I N D I A , B R A Z I L ,
I N D O N E S I A , M YA N M A R , M A D A G A S K A R
D A N N E P A L ( W O R L D H E A LT H
O R G A N I Z AT I O N , 2 0 1 6 ) .
PREVALENSI DAN
EPIDEMIOLOGI
Terdapat tren penurunan kasus setiap tahunnya dari 214.783 kasus pada
tahun 2016 menjadi 210.671 kasus baru pada tahun 2017 (World Health
Organization, 2018).
Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah kasus kusta terbanyak
ketiga di dunia mencatat terdapat 10.477 kasus baru kusta (4,0 per
100.000 penduduk).
Kalimantan Timur, tercatat 153 kasus baru (4,28 per 100.000 penduduk)
dengan 25 orang tercatat sebagai penderita kusta tipe PB dan 128 orang
tercatat sebagai penderita kusta tipe MB (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2018).
DIAGNOSIS

Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan


dan Bakterioskopi Histopatologis Serologis
Pemeriksaan Kerokan jaringan kulit
Bakteri lepra akan
mengaktifkan
Terbentuknya
antibodi pada
Fisik atau usapan dan kerokan
mukosa hidung yang
sistem imunitas tubuh seseorang
selular berupa yang terinfeksi
Kelaianan selanjutnya diwarnai makrofag. bakteri M. leprae,
gangguan saraf dengan pewarnaan (PGL-1) dan
tepi dan kelainan terhadap basil tahan asam antibodi
yang tampak (BTA) antiprotein 16 kD
pada kulit dan 35kD
PENGOBATAN
MDT (multi-drugs therapy)
•Pausibasilar
•Multibasilar
•Anak
•Pengobatan Terbaru
•Putus Obat
KOMPLIK ASI
Komplikasi yang paling umum dari kusta timbul dari trauma
saraf perifer, insufisiensi vena atau skar.
Komplikasi yang tidak umum adalah septikemia karena ulkus
kronik dan kontraktur sekunder karena pembentukan skar
(Lee, Rea, & Modlin, 2012)
PROGNOSIS
Adanya obat-obatan kombinasi, pengobatan
menjadi lebih sederhana dan lebih singkat,
prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada
kontraktur dan ulkus kronik, prognosis
menjadi kurang baik (Siregar, 2015).
PENGETAHUAN
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi
setelah orang melakukan pengindraan terhadap
objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca
indra manusia yaitu indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga (Wawan & Dewi, 2010)
1. Pengetahuan langsung (immediate)
2. Pengetahuan tidak langsung (mediate)
JENIS-JENIS 3. Pengetahuan indrawi (perceptual)
PENGETAHUAN 4. Pengetahuan konseptual (Conseptual)
5. Pengetahuan partikular (particular)
6. Pengetahuan keseluruhan (universal)
1. Pendidikan
FAKTOR-FAKTOR 2. Media Massa
YANG 3. Sosial Budaya dan Ekonomi
MEMPENGARUHI 4. Lingkungan
PENGETAHUAN 5. Pengalaman
6. Usia
1. INTUISI
SUMBER 2. RASIONAL
PENGETAHUAN 3. EMPIRIKAL
STIGMA
Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada
pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya
(KBBI, 2019)
Stigma ini kemudian menjadi identitas sosial
seseorang. Berbagai kualitas pada individu yang
ditempeli oleh stigma bias sangat acak mulai dari
warna kulit, cara berbicara, preferensi seksual,
hingga karena tinggal bersama dan
penyalahgunaan narkoba (Goffman, 1963)
1. CACAT TUBUH
TIPE-TIPE STIGMA 2. KARAKTER INDIVIDU
3. RAS, BANGSA, AGAMA
1. LABELING
2. STEREOTIPE
DIMENSI STIGMA 3. SEPARATION
4. DISKRIMINASI
Stigma mulanya adalah label (cap), bahwa si
penderita kusta itu “berbahaya” bagi
sesamanya, sebab kusta bisa menular,
STIGMA diturunkan kepada anak-anak, dan lebih celaka
MASYARAKAT lagi penyakit kusta dianggap “akibat kutukan
TERHADAP Tuhan” (Tarigan, 2013)

PENYAKIT KUSTA Artinya, karena stigma, penyandang kusta


menjadi manusia yang terasingkan dari
sesamanya, sehingga hidupnya hari demi hari
tidak bermakna.
Infiltrasi M. leprae

Subklinis Sembuh

Kerusakan saraf perifer; Sistem saraf perifer Kulit dan organ lainnya Lesi kulit
lesi saraf

KERANGKA
Diagnosis
Gejala Klinis
Bakterologik
Histopatologik
Serologik TEORI
Pendidikan
Kusta
Media Massa Labeling
Sembuh Pengobatan MDT Tidak berobat / gagal
Sosial Stereotipe
Pengetahuan Stigma
Ekonomi Separasi
Lingkungan Cacat Tubuh Diskriminasi

Pengalaman Karakter Individu

Usia Ras, Bangsa, Agama


Rendah

Pengetahuan Stigma
Masyarakat Sedang
Masyarakat
Terhadap
tentang Kusta
Penyakit Kusta
Tinggi

Buruk Sedang Baik


KERANGKA
KONSEP
DESAIN
PENELITIAN
O B S E RVA S I O N A L A N A L I T I K
D E N G A N P E N D E K ATA N
CROSS SECTIONAL
LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

1 2 3 4

Lokasi Wilayah Kerja


4 Puskesmas di Waktu April 2019
Penelitian Kota Penelitian
Samarinda
POPULASI & SAMPEL PENELITIAN
CARA
Teknik BESAR
POPULASI SAMPEL PENGAMBIL Kriteria Kriteria
Purposive SAMPEL
PENELITIAN PENELITIAN -AN Sampling Inklusi Ekslusi
PENELITIAN
SAMPEL

Kriteria Inklusi
1. Individu yang berusia 20-60 tahun di sekitaran wilayah kerja 4 Puskesmas di kota Samarinda.
2. Bersedia menjadi sampel penelitian dan bisa membaca.
3. Individu tidak menderita kusta.
Kriteria Ekslusi
1. Individu dalam kondisi sakit sehingga sulit untuk menjawab pertanyaan penelitian.
2. Individu tidak kooperatif.
BAHAN Kuesioner Pengetahuan dan Stigma
DAN ALAT Tentang Kusta
PENELITIAN
VARIABEL
Variabel bebas
(independent Variabel terikat
variable] (dependent variable)

PENELITIAN Pengetahuan Stigma Terhadap


Penyakit Kusta
Masyarakat
DEFINISI OPERASIONAL
01 02
Pengetahuan Masyarakat Stigma Terhadap Kusta
Pengetahuan masyarakat adalah Stigma masyarakat terhadap
pengetahuan kesehatan masyarakat penyakit kusta adalah segala
sekitar wilayah kerja Puskesmas di pemikiran dan perilaku
kota Samarinda tentang penyakit negatif masyarakat sekitar
kusta. wilayah kerja Puskesmas di
kota Samarinda terhadap
penyakit kusta.
CARA PENGUKURAN SAMPEL
Kuesioner berisi pertanyaan tentang pengetahuan, penilaian dilakukan apabila jawaban
benar mendapat nilai 1, jawaban salah mendapat nilai 0;
• Pengetahuan baik apabila menjawab ≥ 8 pertanyaan secara benar.
• Pengetahuan cukup apabila menjawab 5-7 pertanyaan secara benar.
• Pengetahuan kurang apabila menjawab ≤ 4 pertanyaan secara benar.

Kuesioner berisi pertanyaan tentang stigma, penilaian dilakukan dengan cara jawaban
tidak mendapat nilai 0, jawaban tidak tahu mendapat nilai 1, jawaban mungkin mendapat
nilai 2, jawaban ya mendapat nilai 3;
• Stigma buruk apabila berada di angka ≥ 30 ke atas berdasarkan total nilai.
• Stigma sedang apabila berada di kisaran angka 15-29 berdasarkan total nilai.
• Stigma baik apabila berada di angka ≤ 14 berdasarkan total nilai.
CARA KERJA PENELITIAN
Menggunakan
komputer
dengan
Data Sekunder : Data disajikan
PENGUMPULAN Data Primer : PENGOLAHAN software
microsoft excel
PENYAJIAN dalam bentuk
Data Demografi
DATA Kuesiner
penduduk DATA version 15.21.1 DATA narasi, tabel,
dan grafik.
dan SPSS
Statistics
version 24.0.0.0
ANALISIS DATA PENELITIAN

01 02
Analisis Univariat Analisis Bivariat
Pada analisis univariat, data yang Pada analisis bivariat, variabel bebas dan
dikumpulkan akan dianalisis secara variabel terikat akan diuji signifikansi
deskriptif untuk mengetahui sebaran hubungannya. Pada penelitian ini,
data pada masing-masing variabel bebas peneliti menggunakan uji komparatif
dan variabel terikat. chi-square dan uji korelasi jika terdapat
signifikansi hubungan antara variabel
bebas dan variabel terikat.
JADWAL PENELITIAN
GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di 4 Puskesmas di Samarinda yang berlokasi di kecamatan


Segiri, Temindung, Mangkupalas, dan Juanda. Lokasi pengumpulan data primer
diambil berdasarkan total jumlah kasus kusta terbanyak di Samarinda dalam 5
tahun terakhir berdasarkan penelitian sebelumnya. Penelitian ini dilakukan dengan
mengambil data primer pada tanggal 27-30 April 2019. Jumlah sampel yang
diambil di tiap Puskesmas adalah 25 orang, dengan total sampel 100 orang.
GAMBARAN DEMOGRAFI RESPONDEN
GAMBARAN DISTRIBUSI PENGETAHUAN MASYARAKAT

Sulidah (2016), Tarakan, menyatakan bahwa masyarakat yang memiliki pengetahuan kurang lebih banyak
daripada masyarakat yang memiliki pengetahuan cukup dan baik.
Ada beberapa hal yang memengaruhi tingkat pengetahuan : pendidikan, media masa, sosial budaya, ekonomi,
lingkungan, pengalaman, dan usia.
Lingkungan dan sosial budaya berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan kedalam individu yang
berada dalam lingkungan tersebut, kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran
apakah yang dilakukan baik atau buruk, dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya
walaupun tidak melakukan (Wawan & Dewi, 2010).
GAMBARAN DISTRIBUSI STIGMA MASYARAKAT
TERHADAP PENYAKIT KUSTA

Sulidah (2016), Tarakan, menyatakan bahwa masyarakat memiliki stigma sedang lebih banyak daripada
masyarakat yang memiliki stigma baik dan stigma buruk.

Allport dalam Sulidah (2016) menjelaskan bahwa pemahaman yang hanya didasarkan atas hasil pengamatan
fisik penderita kusta dan atau informasi dari seseorang yang telah terbentuk sikap negatif akan melahirkan
sikap negatif berikutnya.
GAMBARAN KARAKTERISTIK PENGETAHUAN
MASYARAKAT
Pendidikan :
Ar-Rasily (2016), Semarang menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau
proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu.
Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang dalam menyerap
dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi
pendidikan seseorang semakin baik pula pengetahuanya.

Sumber Pengetahuan :
Sari (2010), Jakarta, menyatakan informasi akan memberikan pengaruh pada
pengetahuan seseorang. Jika seseorang mendapatkan informasi yang baik dari berbagai
media misalnya TV, radio atau surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan
pengetahuan seseorang.
GAMBARAN KARAKTERISTIK RESPONDEN
YANG MEMILIKI STIGMA
Umur :
Tabah et al. (2018), Cameroon, menyatakan bahwa stigma terhadap penyakit kusta lebih buruk di
lingkungan masyarakat dewasa muda, daripada masyarakat remaja dan lansia. Umur dewasa muda adalah
umur produktif bagi seseorang untuk mengambil setiap keputusan dari apa yang dia tahu dan apa yang
dia percaya (Wawan & Dewi, 2010)

Jenis Kelamin :
Kaehler et al. (2015), Thailand, menyatakan bahwa stigma terhadap penyakit kusta lebih buruk pada
perempuan, daripada laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita memiliki rasa kekhawatiran yang lebih buruk
seperti penelitian Hastjarjo (2008) di Jogjakarta, yang menyatakan wanita memiliki pemikiran yang rumit
sehingga menyebabkan kecemasan yang buruk ini diakibatkan karena hormon yang meningkat atau
dilepaskan pada saat tertentu.

Riwayat Penyakit Kusta pada Keluarga :


Adhikari et al. (2014), Nepal, menyatakan bahwa stigma terhadap penyakit kusta lebih buruk pada
masyarakat yang tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit kusta, daripada masyarakat yang
mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit kusta.
Riwayat Penyakit Kusta pada Lingkungan Sekitar :
Adhikari et al. (2014), Nepal, menyatakan mengatakan bahwa stigma terhadap penyakit kusta lebih
buruk pada masyarakat yang tidak mempunyai riwayat tetangga dengan penyakit kusta, daripada
masyarakat yang memiliki riwayat tetangga dengan penyakit kusta.

Pendidikan Terakhir :
Adhikari et al. (2014), Nepal; dan Kaehler et al. (2015), Thailand, menyatakan bahwa stigma terhadap
penyakit kusta lebih buruk pada masyarakat yang memiliki pendidikan primer (SD), daripada masyarakat
yang memiliki penddikan sekunder (SMP) dan SMA.

Pekerjaan :
Adhikari et al. (2014), Nepal; dan Kaehler et al. (2015), Thailand, menyatakan bahwa stigma terhadap
penyakit kusta lebih buruk pada masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan dan bekerja sebagai petani,
daripada masyarakat yang memiliki pekerjaan swasta dan pegawai negri.
ANALISIS HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN
STIGMA TERHADAP PENYAKIT KUSTA

Secara statistik pola hubungan tersebut diuji menggunakan uji analisis Somer’s d dengan hasilnya berupa nilai
signifkansi sebesar 0.456 (p>0,05). Sehingga dapat diartikan bahwa hipotesis yang menyatakan ada hubungan
antara pengetahuan masyarakat dengan stigma terhadap penyakit kusta tidak dapat diterima. Nilai koefisien
korelasi sebesar 0,063; artinya kekuatan hubungan antara tingkat pengetahuan dengan stigma terhadap
penderita penyakit kusta sangat rendah (Sugiyono, 2011). Nilai koefisien korelasi menunjukan hubungan
tersebut berbanding lurus, yaitu semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka semakin buruk stigma dan
sebaliknya.
Rufina (2018), Jakarta, menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan stigma
terhadap penyakit kusta.
Caroline, Universitas Indonesia, menyatakan bahwa penyebab stigma bukan karena pengetahuan yang
kurang, melainkan karena manifestasi klinis yang tampak pada penderita penyakit kusta (Caroline,
Puspita, Widjaja, Sopandi, & Menaldi, 2011).
Adhikari, Nepal, juga mengatakan bahwa timbulnya stigma dikarenakan kecacatan dan disabilitas yang
tampak pada penderita penyakit kusta (Adhikari, Kaehler, Chapman, Raut, & Roche, 2014).
Goffman (1963) juga mengemukakan istilah stigma merujuk pada keadaan suatu kelompok sosial yang
membuat identitas terhadap seseorang atau kelompok tidak hanya berdasarkan pengetahuan namun
juga sifat fisik, perilaku, ataupun sosial yang dipersepsikan menyimpang dari norma-norma dalam
komunitas tersebut.
Allport dalam Sulidah (2016) juga menjelaskan pemahaman yang hanya didasarkan atas hasil
pengamatan fisik penderita kusta dan atau informasi dari seseorang yang telah terbentuk sikap negatif
akan melahirkan sikap negatif berikutnya.
Kelemahan dalam melakukan penelitian ialah variabel
yang digunakan dalam penelitian ini masih terbatas
pada variable pengetahuan masyarakat sebagai
variable independent dan stigma terhadap penyakit
kusta sebagai variable dependen. Kemungkinan masih
banyak faktor-faktor lain yang memengaruhi terjadinya
KETERBATASAN stigma terhadap penyakit kusta.

PENELITIAN
Penelitian belum dapat menggunakan jenis cohort
dikarenakan keterbatasan waktu dan memerlukan
penambahan kriteria inklusi mengenai faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi stigma masyarakat
terhadap penyakit kusta.
1. Tidak terdapat hubungan antara
pengetahuan dengan stigma terhadap
penyakit kusta.
2. Pengetahuan masyarakat kota
KESIMPULAN Samarinda tentang penyakit kusta
berada pada tingkatan cukup.
3. Stigma masyarakat terhadap penyakit
kusta di kota Samarinda berada pada
tingkatan sedang.
1. Perlu diberikan edukasi yang baik mengenai
penyakit kusta kepada masyarakat di kota
Samarinda agar pengetahuan dan empati
masyarakat tentang penyakit kusta semakin
meningkat dan diharapkan stigma terhadap
penyakit kusta menurun.
SARAN 2. Perlu penelitian lebih lanjut dengan metode lain
seperti cohort untuk melihat hubungan
pengetahuan masyarakat dengan stigma
terhadap penyakit kusta, dan lebih lanjut
mengenai faktor-faktor lain yang dapat
memengaruhi stigma masyarakat terhadap
penyakit kusta.

Anda mungkin juga menyukai