Anda di halaman 1dari 63

PROPOSAL

HUBUNGAN PENGETAHUAN MASYARAKAT


DENGAN STIGMA TERHADAP PENYAKIT KUSTA
DI KOTA SAMARINDA

RUTH PUTRI E. S.
1510015071

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019

i
PROPOSAL

HUBUNGAN PENGETAHUAN MASYARAKAT


DENGAN STIGMA TERHADAP PENYAKIT KUSTA
DI KOTA SAMARINDA

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


akademik Sarjana Kedokteran (S.Ked)

RUTH PUTRI E. S.
1510015071

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa karena atas
berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul
“Hubungan Pengetahuan Masyarakat dengan Stigma Terhadap Penyakit Kusta di Kota
Samarinda” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. Penulis menyadari bahwa dengan
bantuan berbagai pihak penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. H. Masjaya, M.Si selaku Rektor Universitas Mulawarman.
2. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
3. dr. Siti Khotimah, M.Kes selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter.
4. dr. Vera Madonna L. Toruan, M.Kes, M.Ked (DV), Sp.DV selaku dosen
pembimbing I yang telah banyak memberikan ilmu, ide, masukan, dan
bimbingan khususnya pada pemahaman teori dalam proses penyusunan skripsi.
5. dr. Yuniati, M.Kes, selaku pembimbing II yang telah memberikan banyak ilmu,
masukan, ide, dan bimbingan khususnya pada penulisan juga metode penelitian
dalam proses penyusunan skripsi.
6. dr. Agnes Kartini, Sp.KK, FINSDV selaku penguji I yang telah membantu
dalam perbaikan, saran-saran, dan bimbingan yang sangat dibutuhkan dalam
proses penulisan skripsi ini.
7. dr. Yetty Octavia Hutahaean, Sp.S selaku penguji II yang telah membantu
dalam perbaikan, saran-saran, dan bimbingan yang sangat dibutuhkan dalam
proses penulisan skripsi ini.
8. Seluruh dosen pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman atas
ilmu yang telah diberikan.
9. Seluruh staff akademik, kemahasiswaan, tata usaha, serta seluruh staff Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman yang membantu penulis selama
menyelesaikan studi di fakultas kedokteran.

i
10. Yang tercinta orang tua penulis, Lysman Jonter Sagala, S.T, M.Si dan dr.
Ritwati Sinaga, M.Si, serta saudara kandung penulis, Daniel Yori Winner
Sagala. Ucapan terimakasih, cinta, dan doa yang dapat penulis berikan kepada
Daddy, Mommy, dan Nieng.
11. Teman dekat penulis, Tian, Marina, Joerdy, dan Yedial yang telah banyak
membantu penulis selama ini dalam perkuliahan maupun dalam penelitian ini.
12. Teman-teman seperjuangan di CG, Marina, Isabel, Nia, Sachi, Fira, Arin, yang
sama-sama berjuang dari awal di FK Unmul, teman belajar selama penulis di
preklinik dan yang telah banyak membantu saya.
13. Teman seperjuangan Kostbar Liebe, Alex T., yang selalu memberi semangat,
mendengarkan keluh kesah penulis, selalu membantu dan meluangkan
waktunya untuk menemani penulis dalam menyusun skripsi ini.
14. Teman penulis dari SMA, Egha, Izal, Boo, Mifta serta teman-teman FIFA
SMAN 10 Samarinda angkatan 15.
15. Teman-teman ACROMION 2015, kakak dan adik tingkat penulis di FK Unmul
yang telah memberi saya semangat dan masukan. Terimakasih untuk tahun-
tahun terbaik dalam menjalani pre-kelinik di FK Unmul.
16. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang membantu
penulisan skripsi ini secara langsung maupun tidak langsung.
Akhir kata penulis memohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan
dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna
tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan serta bagi mereka yang membutuhkannya.

Samarinda, 3 Juli 2019


Penulis,

Ruth Putri E. S.

ii
ABSTRAK

Nama : Ruth Putri E. S.


Program Studi : Kedokteran
Judul : Hubungan Pengetahuan Masyarakat dengan Stigma Terhadap
Penyakit Kusta di Kota Samarinda

Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
leprae (M. leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat. Stigma pada penyakit kusta merupakan hambatan
untuk penemuan kasus dan efektivitas pengobatan penyakit kusta. Stigma bersifat
sosial dan dikonstruksi oleh masyarakat menyebabkan penderita kusta dikucilkan dari
aktivitas sosialnya. Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya stigma
terhadap penyakit kusta, salah satunya adalah pengetahuan masyarakat. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan masyarakat dengan stigma
terhadap penyakit kusta di Kota Samarinda. Penelitian ini merupakan penelitian
observasional analitik dengan desain cross sectional. Pengambilan data dilakukan
dengan mengunjungi 4 Puskesmas yang ada di Kota Samarinda dan menyebar
kuesioner ke masyarakat dengan menggunakan Teknik purposive sampling. Hasil
penelitian didapatkan sebanyak 100 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi dengan rincian; pengetahuan kurang sebanyak 22 responden, pengetahuan
cukup sebanyak 49 responden, dan pengetahuan baik sebanyak 29 responden; dan
stigma baik sebanyak 24 responden, stigma sedang sebanyak 62 responden, dan stigma
buruk sebanyak 14 responden. Analisis data menggunakan uji Somer’s d diperoleh nilai
p = 0,456; sehingga dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan antara pengetahuan
masyarakat dengan stigma terhadap penyakit Kusta di Kota Samarinda.
Kata kunci : pengetahuan masyarakat, stigma, kusta, Kota Samarinda

iii
ABSTRACT

Name : Ruth Putri E.S.


Study Program : Medical Education
Title : Relationship between Community Knowledge and Stigma
Against Leprosy in Samarinda City

Leprosy is a chronic disease caused by Mycobacterium leprae (M. leprae) which


first attacks the peripheral nervous system, then attack the skin, and to other organs
except the central nervous system. The stigma in leprosy is an obstacle to case
finding and handling of leprosy. The socially dangerous stigma and constructed by
the community causes people affected by leprosy to be excluded from their social
activities. There are several factors that support the stigma of leprosy, one of them
is community knowledge. This research aims to study the relationship between
community knowledge and stigma against leprosy in Samarinda City. This research
was an analytic observational study with a cross sectional design. Data collection
was carried out with the contribution of 4 Puskesmas in Samarinda City and
questionnaires to the community using purposive sampling technique. The results
of the study obtained 100 respondents who met the inclusion and exclusion criteria
with detailed; poor knowledge as many as 22 respondents, sufficient knowledge as
many as 49 respondents, and good knowledge as many as 29 respondents; and good
stigma of 24 respondents, moderate stigma of 62 respondents, and bad stigma of
14 respondents. Data analysis using Somer’s d test obtained p value = 0.456; So it
can be concluded that there was no relationship between community knowledge and
stigma against leprosy in Samarinda City.
Keywords : community knowledge, stigma, leprosy, Samarinda City

iv
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
ABSTRAK ............................................................................................................ iii
ABSTRACT .......................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .............................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... x
BAB 1 ..................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 3
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................................................ 3
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 3
1.4.1 Manfaat Praktis .............................................................................................. 3
1.4.2 Manfaat Ilmiah............................................................................................... 4
1.4.3 Manfaat bagi peneliti ..................................................................................... 4
BAB 2 ..................................................................................................................... 5
2.1 Kusta ................................................................................................................ 5
2.1.1 Etiologi dan Patogenesis Kusta ..................................................................... 5
2.1.2 Epidemiologi Kusta ....................................................................................... 6
2.1.3 Diagnosis Kusta ............................................................................................. 8
2.1.4 Pengobatan Kusta ........................................................................................ 11
2.1.5 Komplikasi Kusta ........................................................................................ 13
2.2 Pengetahuan ................................................................................................... 14
2.2.1 Jenis-jenis Pengetahuan ............................................................................... 14
2.2.2 Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan ........................................... 15
2.2.3 Sumber pengetahuan .................................................................................... 16
2.3 Stigma ............................................................................................................ 17
2.3.1 Tipe-tipe dan dimensi stigma....................................................................... 17
2.3.2 Stigma masyarakat terhadap kusta............................................................... 18
2.4 Kerangka Teori .............................................................................................. 20
BAB 3 ................................................................................................................... 21

v
3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 21
3.2 Hipotesis Penelitian ....................................................................................... 21
BAB 4 ................................................................................................................... 22
4.1 Desain Penelitian ........................................................................................... 22
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................... 22
4.2.1 Lokasi Penelitian ......................................................................................... 22
4.2.2 Waktu Penelitian.......................................................................................... 22
4.3 Populasi dan Sampel ...................................................................................... 22
4.3.1 Populasi Penelitian....................................................................................... 22
4.3.2 Sampel Penelitian ........................................................................................ 22
4.3.3 Kriteria Sampel ............................................................................................ 22
4.3.4 Besar Sampel ............................................................................................... 23
4.3.5 Cara Pengambilan Sampel ........................................................................... 24
4.4 Instrumen Penelitian ...................................................................................... 24
4.4.1 Uji Validitas ................................................................................................. 24
4.4.2 Uji Reabilitas ............................................................................................... 24
4.5 Variabel Penelitian ......................................................................................... 25
4.6 Definisi Operasional ...................................................................................... 25
4.7 Cara Kerja ...................................................................................................... 26
4.7.1 Pengumpulan Data ....................................................................................... 26
4.7.2 Pengolahan dan Penyajian Data................................................................... 26
4.8 Analisis Data .................................................................................................. 27
4.8.1 Analisis Univariat ........................................................................................ 27
4.8.2 Analisis Bivariat .......................................................................................... 27
4.9 Alur Penelitian ............................................................................................... 27
4.10Jadwal Penelitian ........................................................................................... 28
BAB 5 ................................................................................................................... 30
5.1 Gambaran Umum Penelitian ...................................................................... 30
5.2 Analisis Univariat......................................................................................... 30
5.2.1 Gambaran Demografi Responden............................................................ 30
5.2.2 Gambaran Distribusi Pengetahuan Masyarakat .................................... 31
5.2.3 Gambaran Distribusi Stigma Masyarakat terhadap Penyakit Kusta .. 32
5.2.5 Gambaran Karakteristik Pengetahuan Responden ............................... 32
5.2.6 Gambaran Karakteristik Responden yang Memiliki Stigma ................ 33
5.3 Analisis Bivariat ........................................................................................... 35

vi
5.3.1 Analisis Hubungan Pengetahuan dengan Stigma terhadap Penyakit
Kusta .................................................................................................................... 35
BAB 6 ................................................................................................................... 36
6.1 Interpretasi Hasil ......................................................................................... 36
6.1.1 Analisis Univariat ...................................................................................... 36
6.1.2 Analisis Bivariat ......................................................................................... 39
6.2 Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 40
BAB 7 ................................................................................................................... 41
7.1 Kesimpulan ................................................................................................... 41
7.2 Saran ............................................................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 42
Lampiran Inform Consent dan Kuesioner ............................................................. 46

vii
DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 2.1 Prevalensi Epidemiologi……………........……….......…………….......8


Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian..……………........……………........….29
Tabel 5.1 Gambaran Demografi Responden...…………......……………........….31
Tabel 5.2 Gambaran Distribusi Pengetahuan Masyarakat Samarinda..............….31
Tabel 5.3 Gambaran Distribusi Stigma Masyarakat Samarinda.......................….32
Tabel 5.4 Gambaran Karakteristik Pengetahuan Responden........………........….33
Tabel 5.5 Gambaran Karakteristik Responden yang Memiliki Stigma.......….….34
Tabel 5.6 Hasil Tabulasi Silang Pengetahuan Masyarakat dengan Stigma
Terhadap Penyakit Kusta..……………........……........………........….35

viii
DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 2.1 Kerangka Teori……………………………………………………...21


Gambar 3.1 Kerangka konsep……………………………………………………22

ix
LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1 Inform consent dan kuesioner……........…………………......……...46

x
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae.
Bakteri kusta ini merupakan kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
Mycobacterium, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) dan gram positif.
Kusta menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Penyakit kusta merupakan salah satu
penyakit yang terdapat di negara-negara berkembang dan menyebabkan masalah
yang sangat kompleks, bukan hanya melibatkan segi medis saja namun juga
meliputi masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.
Penyakit kusta umumnya terjadi akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut
dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan,
dan kesejahteraan sosial pada masyarakat (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2012).

World Health Organization (2016) menerangkan bahwa, prevalensi penyakit


kusta yang terdaftar secara global pada akhir 2015 adalah 176.176 kasus dengan
jumlah kasus baru yang dilaporkan secara global selama tahun 2015 adalah 211.973
(0,21 kasus baru per 10.000 orang). Pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah kasus
baru mengalami penurunan dari tahun 2014 sebanyak 213.899 kasus dan pada tahun
2013 sebanyak 215.656 kasus. Penurunan jumlah kasus baru tetap menempatkan
Indonesia dalam tiga besar negara dengan jumlah kasus kusta terbanyak di dunia
setelah India dan Brazil (World Health Organization, 2016).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018) menerangkan di


Indonesia sendiri jumlah kasus baru kusta adalah 10.477 kasus (4,00 kasus per
100.000 penduduk) dengan tiga besar provinsi yang memiliki kasus terbanyak
adalah Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Jumlah ini mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya dengan jumlah kasus baru sebanyak 16.826 kasus
(6,50 kasus per 100.000 penduduk) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2017). Provinsi Kalimantan Timur tercatat terdapat 153 kasus baru pada tahun

1
2017. Kota Samarinda, pada tahun 2016 terdapat 26 kasus baru dan pada tahun 2017
terdapat 39 kasus baru (Dinas Kesehatan Kota Samarinda, 2017; 2018).

Berdasarkan sejarah, penyakit kusta merupakan penyakit yang ditakuti oleh


keluarga dan masyarakat. Zaman dulu telah terjadi pengasingan secara spontan
karena penderita merasa rendah diri dan malu. Masyarakat menjauhi penderita
kusta karena kurangnya pengetahuan atau pengertian juga kepercayaan yang keliru
terhadap penyakit kusta (Soedarjatmi, Istiarti, & Widagdo, 2009). Masyarakat yang
kekurangan informasi menganggap kusta sebagai penyakit kutukan. Salah persepsi
tentang kusta diantaranya adalah penyakit keturunan, akibat guna-guna, karena
berhubungan seks saat haid, salah makan, hingga penyakit sangat menular dan tidak
dapat disembuhkan (Liliweri, 2007).

Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa


pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi terbentuknya perilaku.
Kejadian dan keparahan penyakit kusta dapat dipengaruhi oleh faktor sosial,
ekonomi, ras, kebiasaan, adat budaya serta gaya hidup dari masyarakat itu sendiri.
Stigma buruk dan diskriminasi terhadap penyakit kusta tidak saja dilakukan oleh
masyarakat awam yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
penyakit kusta, tetapi dapat juga dapat dilakukan oleh petugas kesehatan. Stigma
dan diskriminasi masih melekat terhadap penderita kusta sehingga membuat
mereka tersisihkan di dalam kehidupan masyarakat kita yang majemuk (Tarigan,
2013). Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena
pengaruh lingkungannya (KBBI, 2019).

Peneliti menemukan beberapa penelitian yang mencari hubungan antara


pengetahuan masyarakat dengan stigma terhadap penyakit kusta. Penelitian yang
dilakukan oleh Sulidah (2016) di kota Tarakan, Kalimantan Utara, didapatkan hasil
bahwa tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap penyakit kusta
mempengaruhi stigma dari penyakit tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Garamina (2015) di kota Lampung dan penelitian yang dilakukan
oleh Tamsuri (2010), di Kecamatan Tanjunganom Kabupaten Nganjuk.

2
Berdasarkan latar belakang di atas, kurangnya pengetahuan tentang kusta
masih menimbulkan stigma buruk di masyarakat. Ada beberapa penelitian yang
dilakukan di Indonesia, namun peneliti belum menemukan penelitian serupa di
Kalimantan Timur, khususnya kota Samarinda. Karena itulah peneliti tertarik untuk
meneliti tentang hubungan pengetahuan masyarakat dengan stigma terhadap
penyakit kusta di Kota Samarinda.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah terdapat hubungan antara pengetahuan masyarakat dengan stigma
terhadap penyakit kusta di kota Samarinda?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan pengetahuan masyarakat dengan stigma terhadap penyakit kusta di kota
Samarinda.

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dilakukannya penelitian ini meliputi :

1. Mengetahui pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta di kota


Samarinda.
2. Mengetahui stigma terhadap penyakit kusta di kota Samarinda.
3. Mengetahui hubungan pengetahuan masyarakat dengan stigma terhadap
penyakit kusta di kota Samarinda.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Praktis


Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai :

1. Menambah informasi bagi Dinas Kesehatan kota Samarinda tentang


pentingnya pengetahuan kesehatan tentang penyakit kusta dalam upaya
pencegahan munculnya stigma masyarakat terhadap penyakit kusta.

3
2. Menambah informasi bagi masyarakat dan mampu menurunkan stigma
yang buruk terhadap penyakit kusta.

1.4.2 Manfaat Ilmiah


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk :

1. Data acuan bagi penelitian tentang kusta selanjutnya khususnya dalam


mengetahui hubungan pengetahuan kesehatan dengan munculnya stigma
terhadap penyakit kusta.
2. Menjadi dasar dalam pengembangan penelitian institusi pendidikan dan
institusi kesehatan mengenai pengetahuan dan stigma terhadap penyakit
kusta.

1.4.3 Manfaat bagi peneliti


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk :

1. Menambah pengetahuan dan pemahaman peneliti tentang hubungan


pengetahuan masyarakat dengan stigma terhadap penyakit kusta.
2. Menerapkan teori pembelajaran yang telah didapatkan di pre-klinik
dalam bidang ilmu penyakit kulit dan kelamin khususnya penyakit kusta.
3. Menambah wawasan bagi peneliti mengenai pembuatan karya ilmiah
khususnya dalam penelitian observasional analitik.
4. Memenuhi syarat tugas akhir dalam memperoleh gelar sarjana
kedokteran (S. Ked).

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian
atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis (Harahap, 2015).
Timbul manifestasi klinis berupa lesi kulit, neuropati perifer, dan hilangnya sensasi
nyeri pada lesi kulit yang jika dibiarkan terus-menerus akan menimbulkan
deformitas dan kecacatan (Mukundan, Chambers, Waters, & Larsen, 2015).

2.1.1 Etiologi dan Patogenesis Kusta


Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri M. leprae yang merupakan bakteri
gram positif, bersifat obligat intraselular, basil tahan asam dan tidak dapat dikultur
(Lee, Rea, & Modlin, 2012). M. leprae ini tidak membentuk spora, tidak bergerak
dan mempunyai macam-macam bentuk (pleomorfik) (Soedarto, 2009). G. A.
Hansen menemukan bakteri M. leprae ini pada tahun 1874, namun sampai saat ini
belum dapat dibiakkan dalam media artifisial (Brown & Burns, 2005). Dinding sel
bakteri ini terdiri dari rangka peptidoglikan yang terjalin dengan arabinogalaktan
dan asam mikolat. Protein imunogenik yang terhubung dengan dinding sel tersebut
juga ditemukan di dalam sitoplasma (James, Elston, & Berger, 2016).

Bakteri M.leprae masuk ke sel Schwann dan menyebabkan terjadinya


demyelinisaasi, yaitu hilangnya selubung myelin dari serabut saraf. Hal ini bisa
terjadi hanya pada segmen tertentu, misal beberapa segmen internodal terkena
sedangkan yang lain terhindar. Biasanya, satu internodal yang rusak akan
digantikan fungsinya oleh dua atau tiga internodal yang lain, sehingga akan terjadi
konduksi stimulus yang lebih lemah. Jika terus berlanjut, maka akan terjadi
hilangnya sensasi pada satu area yang terkena dampak (Naafs & Garbino, 2013).

Beberapa ahli mengatakan bahwa kusta menular melalui saluran pernafasan


dan kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan pada mukosa nasal
namun sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti bagaimana cara

5
penularan kusta (Susilowati, 2014). M. leprae hidup pada suhu rendah sehingga ia
dapat hidup dalam bagian tubuh manusia yang memiliki suhu lebih rendah seperti
mata, saluran pernafasan bagian atas, otot, tulang, testis, saraf perifer dan kulit.
Tanda dan gejala kusta dapat timbul pada penderita ketika M. Leprae telah tertular
dalam tubuh manusia (Lestari, 2015). Penderita yang mengandung bakteri lebih
banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat bahkan dapat sebaliknya
sehingga menyebabkan M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah. Respon imun yang berbeda yang membuat timbulnya reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif menyebabkan
ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit. Perkembangan
kusta bergantung pada kerentanan seseorang ketika M. leprae telah masuk ke dalam
tubuh. Derajat sistem imunitas seluler pasien memengaruhi respon tubuh setelah
masa tunas dilampaui. Penyakit akan berkembang kearah Tuberkuloid (TT) apabila
sistem imunitas seluler tinggi dan akan berkembang ke arah Lepramatosa (LL)
apabila sistem imunitas rendah (Hamzah, Aisah, & Djuanda, 2010). Selain itu,
dalam kusta tipe lepromatosa, jumlah kuman dan distribusi lesi juga tergantung
pada temperatur kulit. Bagian tubuh yang lebih hangat (misal scalp yang berambut,
ketiak, dan inguinal) tidak dijumpai lesi sedangkan bagian tubuh yang lebih dingin
(misal hidung, pipi, alis, dan daun telinga) dijumpai beberapa lesi (Nunzi, Massone,
& Noto, 2013).

2.1.2 Epidemiologi Kusta


Penderita kusta tersebar diseluruh dunia. Jumlah yang tercatat 888.340 pada
tahun 1997 (Harahap, 2015). Kebanyakan kasus kusta terjadi di India, Brazil,
Indonesia, Myanmar, Madagaskar dan Nepal (World Health Organization, 2016).
Meski begitu, Masalah epidemiologi dari penyakit kusta belum diketahui secara
pasti. Penularan hanya didasarkan pada anggapan klasik yaitu kusta menular
melalui kontak kulit secara langsung yang lama dan erat (Wisnu, Sjamsoe-Daili, &
Menaldi, 2016). Kapan penyakit ini menjalar ke Indonesia tidak dapat diketahui
dengan pasti, tapi diduga bahwa penduduk pertama dari Jawa mungkin berasal dari
dari Hidia Muka dan Belakang, negeri yang terkenal dengan sarang kusta yang
membawa ke pulau Jawa (Harahap, 2015).

6
Tabel 2.1 Prevalensi yang teregistrasi pada akhir 2017 dan deteksi kasus baru selama
2017 berdasarkan wilayah WHO (dikutip dari World Health Organization, 2018)

Jumlah kasus yang Jumlah kasus baru yang


teregistrasi (prevalensi per terdeteksi (tingkat deteksi
Wilayah WHO 10.000 penduduk), akhir kasus baru per 100.000
2017 penduduk), selama 2017

Afrika 30.654 (0,28) 20.416 (1,90)

Amerika 31.527 (0,31) 29.101 (2,86)

Timur
4.405 (0,06) 3.550 (0,51)
Mediterania

Asia Tenggara 119.055 (0,60) 153.487 (7,72)

Pasifik Barat 7.040 (0,04) 4.084 (0,21)

Eropa 32 (0,00) 33 (0,00)

Total secara
192.713 (0,25) 210.671 (2,77)
global

Statistik untuk kusta yang diterima secara resmi pada tahun 2017 dari 159
negara mencatat prevalensi kusta terdaftar adalah 0,25 per 10.000 penduduk dengan
192.173 kasus kusta pada pengobatan akhir di tahun 2017. Di tahun tersebut pula
dilaporkan terdapat 210.671 kasus baru (2,8 per 100.000 penduduk) di seluruh
dunia (lihat tabel 2.1) (World Health Organization, 2018).

Terdapat tren penurunan kasus setiap tahunnya dari 214.783 kasus pada tahun
2016 menjadi 210.671 kasus baru pada tahun 2017. Penurunan ini disebabkan oleh
pendekatan penemuan kasus aktif yang diadopsi oleh program nasional dan
peningkatan pengumpulan data (World Health Organization, 2018).

Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah kasus kusta terbanyak


ketiga di dunia mencatat terdapat 10.477 kasus baru kusta (4,0 per 100.000
penduduk). Kasus terbanyak terdapat pada daerah Jawa Timur, Jawa Barat, dan

7
Sulawesi Selatan, sedangkan untuk case detection rate tertinggi berada di provinsi
Papua Barat, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara. Di Kalimantan Timur, tercatat 153
kasus baru (4,28 per 100.000 penduduk) dengan 25 orang tercatat sebagai penderita
kusta tipe PB dan 128 orang tercatat sebagai penderita kusta tipe MB (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2018).

2.1.3 Diagnosis Kusta


Diagnosis kusta susah ditegakkan jika masih dalam tahap awal dan lebih
mudah dikenali saat pasien sudah dalam tahap lanjut, namun dapat dicari kelainan-
kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan yang tampak
pada kulit (Wisnu, Sjamsoe-Daili, & Menaldi, 2016; Yawalkar, 2014). Terdapat
tanda-tanda yang dapat pula menjadi petunjuk dalam diagnosis kusta. Tanda-tanda
tersebut antara lain sebagai berikut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2012).

1. Tanda-tanda pada Kulit


a. Bercak kulit yang merah atau putih dan/atau plakat pada kulit,
terutama pada wajah dan telinga
b. Bercak yang tidak gatal atau mati rasa
c. Kulit mengkilap atau kering bersisik
d. Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat dan/atau tidak
berambut
e. Lepuh yang tidak nyeri
2. Tanda-tanda pada Saraf
a. Nyeri tekan dan/atau spontan pada saraf
b. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak
c. Kelemahan anggota gerak dan/atau wajah
d. Adanya cacat (deformitas)
e. Luka (ulkus) yng sulit sembuh
3. Lahir dan tinggal di daerah endemik kusta dan mempunyai kelainan kulit
yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat
keterlibatan saraf tepi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2012).

8
Berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga ataupun masyarakat di
sekitarnya dapat timbul ketika seorang ahli mendiagnosis seseorang menderita
kusta. Penderita harus berada di bawah pengamatan hingga timbul gejala-gejala
yang jelas apabila ada keragu-raguan sedikit saja pada saat diagnosis bahwa
penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosis kusta dan klasifikasi harus dilihat secara
menyeluruh baik dari segi klinis, bakteriologis, immunologis dan histopatologis.
Menemukan kasus kusta cukup dengan menggunakan anamnesis dan pemeriksaan
klinis saja dalam mendiagnosis kusta di lapangan (Hamzah, Aisah, & Djuanda,
2010).

2.1.3.1 Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)


Pemeriksaan bakterioskopik dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis
dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan
dan kerokan mukosa hidung yang selanjutnya diwarnai dengan pewarnaan terhadap
basil tahan asam (BTA), misalnya dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (Wisnu,
Sjamsoe-Daili, & Menaldi, 2016).

Hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan lokasi lesi di kulit yang
diharapkan paling padat oleh kuman. Terdapat beberapa ketentuan lokasi dari
pengambilan kerokan jaringan kulit yaitu sebagai berikut.
1. Ambil kerokan jaringan dari 2 atau 3 tempat, bisa dari cuping telinga
kanan dan kiri serta kelainan kulit (lesi) yang aktif
2. Lesi kulit yang paling aktif dilihat dari gambaran lesi yang meninggi dan
kemerahan. Jika tidak ada lesi kulit yang sesuai, ambil smear dari lokasi
yang sebelumnya diketahui aktif atau lokasi dimana smear sebelumnya
positif.
3. Kulit muka sebaiknya dihindarkan karena alasan kosmetik, kecuali tidak
ditemukan kelainan kulit di tempat lainnya.
4. Pemeriksaan ulang dilakukan di lokasi lesi yang sma dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
5. Sebaiknya petugas yang mengambil dan memeriksa smear tidak
dilakukan oleh orang yang sama. Hal ini untuk menjaga pengaruh
gambaran klinis terhadap hasil pemeriksaan bakteriologi (Kementerian

9
Kesehatan Republik Indonesia, 2012; Wisnu, Sjamsoe-Daili, & Menaldi,
2016).
Jikalau lokasi lesi telah ditentukan, lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit
antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemi. Tujuannya adalah agar darah
yang dihasilkan minimal sehingga tidak mengganggu gambaran sediaan. Irisan
dibuat sampai ke dermis yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel
lepra) yang di dalamnya terdapat bkteri M. leprae. Kerokan kemudian dioleskan di
kaca objek, difiksasi dengan dilewatkan di atas api, kemudian diwarnai dengan
pewarnaan Ziehl-Neelsen (Clapasson & Canata, 2013).
Sediaan dapat diperiksa dengan menggunakan mikroskop dan kaca sediaan
diolesi dengan minyak imersi. Kepadatan basil tahan asam (BTA) dinyatakan
dengan Indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6 menurut Ridley dengan rentang
jumlah bakteri 0 jika tidak terdapat basil dalam 100 lapangan pandang (LP; oil
immersion field; OIF); 1 jika terdapat 1-10 basil dalam 100 LP; 2 jika terdapat 1-10
basil dalam 10 LP; 3 jika terdapat 1-10 basil dalam 1 LP; 4 jika terdapat 10-100
basil dalam 1 LP; 5 jika terdapat 100-1000 basil dalam 1 LP; dan 6 jika terdapat >
1000 basil dalam 1 LP (Lee, Rea, & Modlin, 2012). Bakterioskopik negatif pada
penderita tidk berarti bahwa orang tersebut tidak mengandung bakteri M. leprae
(Wisnu, Sjamsoe-Daili, & Menaldi, 2016).

2.1.3.2 Pemeriksaan Histopatologik


Pada pemeriksaan histopatologik yang dilihat adalah bentukan dari sel-sel
yang terinfeksi kusta. Jika bakteri kusta masuk, maka akan terdapat sistem imunitas
selular berupa makrofag untuk memfagosit bakteri tersebut. Makrofag ke tempat
bakteri disebabkan karena faktor kemotaktik. Jikalau berlebih dan tidak ada lagi
yang difagosit, maka makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidk dapat
bergerak kemudian menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang
berlebihan dan dikelilingi oleh limfosit akan menjadi tuberkel yang merupakan
penyebab utama dari kerusakan jaringan dan kecacatan. Makrofag yang tidak dapat
memfagosit bakteri M. leprae akan membentuk sel Virchow atau sel lepra yang
dapat menjadi tempat penyebarluasan infeksi (Wisnu, Sjamsoe-Daili, & Menaldi,
2016).

10
Sel-sel tersebut diperiksa dengan sebelumnya dilakukan biopsi jaringan kulit.
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menegakkan diagnosis dan membedakan tipe
kusta dikarenakan tiap tipe kusta memiliki perbedaan gambaran histopatologik
yang khas. Misal tipe tuberkuloid memiliki tuberkel dalam gambaran
histopatologiknya (Clapasson & Canata, 2013).

2.1.3.3 Pemeriksaan Serologik


Pemeriksaan serologik pada kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi bakteri M. leprae. Antibodi yang terbentuk bersifat
spesifik terhadap bakteri M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-
1) dan antibodi antiprotein 16 kD dan 35kD. Selain itu, terapat pula antibodi yang
tidak spesifik terhadap bakteri M. leprae, yaitu anti-lipoarabinomanan (LAM), yang
dihasilkan juga oleh bakteri M. tuberculosis (Wisnu, Sjamsoe-Daili, & Menaldi,
2016).

2.1.4 Pengobatan Kusta


Pengobatan kusta dimulai tahun 1949 dengan diamino difenil sulfon (DDS)
sebagai obat tunggal. DDS diberikan 100 mg per hari dan diminum 6 hari dalam
seminggu selama 3-5 tahun untuk PB dan 5-10 tahun untuk MB, bahkan bisa
seumur hidup. Pemberian DDS sebagai obat tunggal ternyata menimbulkan
resistensi. Pada tahun 1962, diperkenalkanlah obat klofazimin yang memiliki efek
antibakterial terhadap bakteri M.leprae dan efikasinya terhadap reaksi kusta.
Rifampisin sebagai salah satu obat kusta diperkenalkan pada tahun 1970 dan
mempunyai efek bakterisidal. Oleh karena itu, pada tahun 1982, WHO
merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk
tipe PB maupun tipe MB (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012;
Talhari & Ameen, 2013).

Tujuan pengobatan dengan menggunakan MDT adalah untuk memutuskan


mata rantai penularan, mencegah resistensi obat, memperpendek masa pengobatan,
meningkatkan keteraturan berobat, dan mencegah terjadinya cacat atau mencegah
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2012; Wisnu, Sjamsoe-Daili, & Menaldi, 2016). Diagnosis

11
dini, pengobatan secara teratur dan akurat dengan MDT dapat mencegah kecacatan
pada kusta (Wewengkang, Palandeng, & Rombot, 2016).

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (2012)


sebagai berikut:
1. Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.
Selama 6-9 bulan pengobatan 6 dosis harus diselesaikan. Kemudian akan
dinyatakan Released From Treatment (RFT) yaitu berhenti minum obat
kusta meskipun secara klinis lesinya masih aktif apabila telah selesai
minum 6 dosis tersebut. Tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan
istilah Completion of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam
pengawasan menurut WHO (2012).
2. Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan
dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
c. DDS 100 mg/hari diminum di rumah.
Selama maksimal 36 bulan, pengobatan 24 dosis harus diselesaikan.
Dapat dikatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif apabila telah selesai minum 24 dosis tersebut.
Pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18
bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT menurut WHO (2012).
3. Dosis untuk anak berdasarkan Pedoman Nasional Program Pengendalian
Kusta (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012):
a. Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)
 2 Kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
 1 tablet dapson/DDS 50 mg

12
Satu blister untuk 1 bulan, dibutuhkan 6 blister yang diminum selama
6-9 bulan.
b. Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan : hari pertama (diminum di depan petugas)
 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
 3 tablet lampren @50 mg (150 mg)
 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1bulan, dibutuhkan 12 blister yang diminum selama
12-18 bulan.
4. Pengobatan MDT terbaru
Pengobatan MDT terbaru dengan menggunakan metode Rifampicin
Ofloxacin Minocyclin (ROM). Menurut WHO (2012), dosis tunggal
rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dapat
diberikan pada pasien kusta PB dengan lesi hanya satu dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan 6 dosis dalam 6 bulan dapat
diberikan untuk pasien tipe PB dengan 2-5 lesi. Obat alternatif dan
dianjurkan diberikan dapat digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan
pada penderita dengan tipe MB.
5. Putus Obat
Pasien dinyatakan drop out (DO) apabila pasien kusta tipe PB yang tidak
minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya, sedangkan pasien
kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya (Mansjoer, Suprohaita, & Wardhani, 2005).

2.1.5 Komplikasi Kusta


Komplikasi yang paling umum dari kusta timbul dari trauma saraf perifer,
insufisiensi vena atau skar. Komplikasi yang tidak umum adalah septikemia karena
ulkus kronik dan kontraktur sekunder karena pembentukan skar (Lee, Rea, &
Modlin, 2012).

2.1.7 Prognosis

13
Adanya obat-obatan kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan
lebih singkat, prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus
kronik, prognosis menjadi kurang baik (Siregar, 2015).

2.2 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra
manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Wawan & Dewi,
2010). Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses
pembelajaran. Proses belajar ini dipengaruhi beberapa faktor dari dalam seperti
motivasi dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia serta keadaan sosial
budaya (KBBI, 2019).

2.2.1 Jenis-jenis Pengetahuan


Pada umumnya pengetahuan dibagi dalam beberapa jenis, diantaranya
(Wawan & Dewi, 2010):
1. Pengetahuan langsung (immediate) adalah pengetahuan langsung yang
hadir dalam jiwa tanpa melalui proses penafsiran dan pikiran. Umumnya
dibayangkan bahwa kita mengetahui sesuatu itu sebagaimana adanya,
khususnya perasaan ini berkaitan dengan realitas-realitas yang telah
dikenal sebelumnya seperti pengetahuan tentang pohon, rumah,
binatang, dan beberapa individu manusia.
2. Pengetahuan tidak langsung (mediate) adalah hasil dari pengaruh
interpretasi dan proses berpikir serta pengalaman-pengalaman yang lalu.
Apa yang kita ketahui dari benda-benda eksternal banyak berhubungan
dengan penafsiran dan penyerapan pikiran kita.
3. Pengetahuan indrawi (perceptual) adalah sesuatu yang dicapai dan diraih
melalui indra-indra lahiriah. Sebagai contoh, kita menyaksikan satu
pohon, batu, atau kursi, dan objek-objek ini yang masuk ke alam pikiran
melalui indra penglihatan akan membentuk pengetahuan kita.
4. Pengetahuan konseptual (Conseptual) adalah pengetahuan yang juga
tidak terpisah dari pengetahuan indrawi. Pikiran manusia secara langsung

14
tidak dapat membentuk suatu konsepsi-konsepsi tentang objek-objek dan
perkara-perkara eksternal tanpa berhubungan dengan alam eksternal.
Alam luar dan konsepsi saling berpengaruh satu dengan lainnya dan
pemisahan di antara keduanya merupakan aktivitas pikiran.
5. Pengetahuan partikular (particular) adalah pengetahuan yang berkaitan
dengan satu individu, objek-objek tertentu, dan realitas-realitas khusus.
Misalnya ketika kita membicarakan satu kitab atau individu tertentu,
maka hal ini berhubungan dengan pengetahuan partikular itu sendiri.
6. Pengetahuan keseluruhan (universal) adalah pengetahuan yang meliputi
keseluruhan yang ada, seluruh hidup manusia.

2.2.2 Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan


Pada umumnya ada beberapa hal yang mempengaruhi tingkat pengetahuan
itu sendiri, berikut faktor-faktor yang dapat memegaruhi (Wawan & Dewi, 2010):
1. Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan
seeorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.
2. Media masa yang didisain secara khusus untuk mencapai masyarakat
yang sangat luas. Jadi contoh dari media massa ini adalah televisi, radio,
koran, dan majalah.
3. Sosial budaya dan ekonomi juga mempengaruhi, kebiasaan dan tradisi
yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang
dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan bertambah
pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang
juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk
kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi
pengetahuan seseorang.
4. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh
terhadap proses masuknya pengetahuan kedalam individu yang berada
dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal

15
balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap
individu.
5. Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali
pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi
masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan
memberikan pengetahuan dan keterampilan professional serta
pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan
kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari
keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah
nyata dalam bidang kerjanya.
6. Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap
dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin
membaik.

2.2.3 Sumber pengetahuan


Pengetahuan yang kita ketahui ini memiliki sumber (source) diataranya
adalah (Wawan & Dewi, 2010):
1. Intuisi adalah sebuah pemikiran eksperiman, coba-coba yang berawal
dari sebuah pertanyaan akan keraguan dan lahirlah insting. Daya atau
kemampauan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tampa ada
dipelajari terlebih dahulu.
2. Rasional atau pengetahuan yang bersumber dari akal adalah suatu
pengetahuan yang dihasilkan dari proses belajar dan mengajar, diskusi
ilmiah, pengkajian buku, pengajaran seorang guru, dan sekolah. Hal ini
berbeda dengan pengetahuan intuitif atau pengetahuan yang berasal dari
hati.
3. Emperikal atau indra manusia merupakan alat dan sumber pengetahuan,
dan manusia mengenal objek-objek fisik dengan perantaraanya. Setiap
orang yang kehilangan salah satu dari indranya akan sirna
kemampuannya dalam mengetahui suatu realitas secara partikular.

16
2.3 Stigma
Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena
pengaruh lingkungannya (KBBI, 2019). Stigma sebagai suatu isyarat atau petanda
yang dianggap sebagai “gangguan” dan karenanya dinilai kurang dibanding orang-
orang normal. Individu-individu yang diberi stigma yang dianggap sebagai individu
yang cacat, membahayakan, dan agak kurang dibandingkan orang lain pada
umunya (KPA, 2013). Goffman dalam bukunya Stigma : notes on the management of
spoiled identity (1963) menjelaskan bahwa ketika label yang diberikan kepada
seseorang dan diketahui orang banyak (audiens) maka label tersebut akan menjadi
permanen yang disebut stigma. Stigma ini kemudian menjadi identitas sosial seseorang.
Berbagai kualitas pada individu yang ditempeli oleh stigma bias sangat acak mulai dari
warna kulit, cara berbicara, preferensi seksual, hingga karena tinggal bersama dan
penyalahgunaan narkoba (Goffman, 1963).

2.3.1 Tipe-tipe dan dimensi stigma


Goffman (1963) mendefinisikan 3 tipe stigma sebagai berikut :
1. Stigma yang berhubungan dengan cacat tubuh yang dimiliki oleh
seseorang.
2. Stigma yang berhubungan dengan karakter individu yang umum
diketahui seperti bekas narapidana, pasien rumah sakit jiwa dan lain
sebagainya.
3. Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama. Stigma
semacam ini ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui keluarga.
Link dan Phelan mengatakan stigma mengacu pada pemikiran Goffman,
komponen-komponen dari stigma sebagai berikut (Scheid & Brown, 2010) :
1. Labeling
Labeling adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan
berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggota masyarkat tersebut
(Scheid & Brown, 2010). Berdasarkan pemaparan di atas, labeling adalah
penamaan berdasarkan perbedaan yang dimiliki kelompok tertentu.
2. Stereotip
Stereotip adalah komponen kognitif yang merupakan keyakinan
tentang atribut personal yang dimiliki oleh orang-orang dalam suatu

17
kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu (Taylor, Peplau, & Shears,
2009). Rahman (2013) mengatakan stereotip merupakan keyakinan
mengenai karakteristik tertentu dari anggota kelompok tertentu.
3. Separation
Separation adalah pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak memiliki
stigma atau pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok yang mendapatka
stigma). Hubungan label dengan atribut negatif akan menjadi suatu
pembenaran ketika individu yang dilabel percaya bahwa dirinya memang
berbeda sehingga hal tersebut dapat dikatakan bahwa proses pemberian
stereotip berhasil (Scheid & Brown, 2010).
4. Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena
keanggotaannya dalam suatu kelompok (Rahman, 2013). Menurut Taylor,
Peplau, dan Sears (2009) diskriminasi adalah komponen tingkah laku yang
merupakan perilaku negatif terhadap individu karena individu tersebut
adalah anggota dari kelompok tertentu.

2.3.2 Stigma masyarakat terhadap kusta

Sifat biologis penyakit tersebut boleh jadi dapat dikikis habis berkat adanya
kemajuan ilmu kedokteran disertai perbaikan gizi dan sanitasi. Lain halnya dengan
stigma, aspek tersebut sangat sulit terhapus dari lingkaran kehidupan seseorang
karena ia bersifat sosial dan dikonstruksi oleh masyarakat. Ia mulanya adalah label
(cap), bahwa si penderita kusta itu “berbahaya” bagi sesamanya, sebab kusta bisa
menular, diturunkan kepada anak-anak, dan lebih celaka lagi penyakit kusta
dianggap “akibat kutukan Tuhan” (Tarigan, 2013).

Individu-individu yang diberi stigma dianggap sebagai individu yang cacat,


membahayakan, dan sedikit kurang dibandingkan orang lain pada umumnya
(Fitriani, 2011). Seiring waktu, label tersebut melekat kuat pada diri penderita kusta
sehingga semakin sulit dilepaskan. Stigma membuat penyandang kusta menjalani
hidupnya bagaikan terpenjara, bukan oleh tembok tebal dan jeruji besi yang kuat,
melainkan oleh masyarakat. Karena stigma, penyandang kusta menjadi manusia
yang terasingkan dari sesamanya, sehingga hidupnya hari demi hari tidak

18
bermakna. Banyak orang enggan untuk menjalin relasi sosial dan berinteraksi
dengan penderita kusta (Tarigan, 2013).
Stigma merupakan hambatan untuk penemuan kasus dan efektivitas
pengobatan penyakit kusta. Banyak upaya telah dilakukan untuk mengurangi
stigma yang melekat pada penyakit kusta. Misalnya, layanan penyakit kusta telah
diintegrasikan ke dalam sistem perawatan kesehatan umum untuk mengurangi
perbedaan antara orang yang terkena penyakit kusta dengan mereka yang menderita
kondisi kesehatan lainnya (Sermrittirong & Brakel, 2014).

19
Infiltrasi M. leprae
2.4 Kerangka Teori
Subklinis Sembuh

Kerusakan saraf perifer; Sistem saraf perifer Kulit dan organ lainnya Lesi kulit
lesi saraf

Diagnosis
Gejala Klinis
Bakterologik
Histopatologik
Serologik

Pendidikan Kusta
Media Massa
Sembuh Pengobatan MDT Tidak berobat / gagal
Labeling
Sosial Stereotipe
Pengetahuan Stigma
Ekonomi Separasi

Lingkungan Cacat Tubuh Diskriminasi

Pengalaman Karakter
Usia Individu
Ras, Bangsa,
Agama
Gambar 2.1 Kerangka Teori 20
BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Baik
Pengetahuan Stigma Masyarakat
Masyarakat tentang Terhadap Penyakit Sedang
Kusta Kusta
Buruk

Kurang Sedang Baik

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2 Hipotesis Penelitian


Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H0:

Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan masyarakat dan stigma terhadap


penyakit kusta di kota Samarinda.

H1:

Terdapat hubungan antara pengetahuan masyarakat dan stigma terhadap penyakit


kusta di kota Samarinda.

21
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan
cross-sectional untuk mengetahui hubungan pengetahuan masyarakat dengan
stigma terhadap penyakit kusta di kota Samarinda.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian ini dilakukan di sekitar wilayah kerja pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas) di Kota Samarinda.

4.2.2 Waktu Penelitian


Pengambilan data dilakukan selama satu bulan, yaitu pada bulan April 2019.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di sekitar wilayah
kerja Puskesmas yang ada di Kota Samarinda.

4.3.2 Sampel Penelitian


Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat yang ada pada saat peneliti
melakukan penelitian di Kota Samarinda yang memenuhi kriteria yang ditetapkan
oleh peneliti.

4.3.3 Kriteria Sampel

4.3.3.1 Kriteria Inklusi


Kriteria inklusi yang ditetapkan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.

1. Individu yang berusia 20-60 tahun di sekitar wilayah kerja Puskesmas di


kota Samarinda.
2. Bersedia menjadi sampel penelitian dan bisa membaca.

22
3. Individu tidak menderita kusta.

4.3.3.2 Kriteria Eksklusi


Kriteria eksklusi yang ditetapkan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.

1. Individu dalam kondisi sakit sehingga sulit untuk menjawab pertanyaan


penelitian.
2. Individu tidak kooperatif.

4.3.4 Besar Sampel


Penentuan besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus yang akan
digunakan adalah rumus analitik kategorik tidak berpasangan (Dahlan, 2013)
sebagai berikut :

N=

(1.96 √2 × 0.6 × 0.4 + 0.84 √0.7 × 0.3 + 0.5 × 0.5)2


N=
(0.7 − 0.5)
= 91
Keterangan:
N : Jumlah sampel yang dibutuhkan
Zα : Derivat baku alfa (1.96)
Zβ : Derivat baku beta (0.84)
P2 : Proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya (0.5)
P1 : Proporsi efek pada kelompok kasus P1 = P2 + 0.2 = 0.5+0.2 = 0.7
P1-P2 : Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna (0.2)
Q1 : 1 - P1 = 1 - 0.7 = 0.3
Q2 : 1 – P2 = 1 - 0.5 = 0.5
P : (P1+P2) / 2 = (0.7 + 0.5) / 2 = 0.6
Q : 1 – P = 1 – 0.6 = 0.4
Jadi total sampel menurut rumus diatas adalah ± 91.

23
4.3.5 Cara Pengambilan Sampel
Sampel penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling dan
dilakukan secara subjektif dimana peneliti menentukan pengambilan sampel
dengan cara menetepkan ciri-ciri khusus yang sesuai dengan tujuan penelitian
sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian.

4.4 Instrumen Penelitian


Kuesioner berisi pertanyaan yang berhubungan dengan variabel yang diteliti.
Data tersebut nantinya merupakan data primer yang dikumpulkan langsung dari
lokasi penelitian. Kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu :
a. Kuesioner A berupa data demografi koresponden dan pengetahuan
tentang penyakit kusta.
b. Kuesioner B berisikan pertanyaan tentang stigma masyarakat
terhadap penyakit kusta.

4.4.1 Uji Validitas


Menurut Notoatmojo (2010), validitas adalah suatu indeks yang menunjukan
alat ukur benar-benar mengukur apa yang diukur. Sebuah instrumen dikatakan valid
bila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkap data variabel
yang diteliti secara tepat. Kuesioner penelitian ini telah diuji validitasnya (Kaehler,
Adhikar, Raut, Marahatta, & Chapman, 2015). Validitas EMIC scale telah diuji
pada penelitian SARI project team di Cirebon, Jawa Barat (Peters, et al., 2014).
Pada penelitian tersebut, dikatakan EMIC-CSS memiliki validitas yang memadai
untuk menilai stigma sosial penyakit kusta dalam Bahasa Indonesia.

4.4.2 Uji Reabilitas


Uji reabilitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui adanya konsistensi
alat ukur dalam penggunaannya atau dengan kata lain alat ukur tersebut mempunyai
hasil yang konsisten apabila digunakan berkali-kali pada waktu yang berbeda
(Notoatmojo, 2010). Kuesioner penelitian ini telah diuji reabilitasnya (Kaehler,
Adhikar, Raut, Marahatta, & Chapman, 2015). Reliabilas EMIC scale telah diuji
pada penelitian SARI project team di Cirebon, Jawa Barat (Peters, et al., 2014).
Pada penelitian tersebut, dikatakan EMIC-CSS memiliki reliabilitas yang memadai
untuk menilai stigma sosial penyakit kusta dalam Bahasa Indonesia.

24
4.5 Variabel Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan metode penelitian,
maka variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Variabel bebas : pengetahuan masyarakat


2. Variabel terikat : stigma masyarakat terhadap penyakit kusta

4.6 Definisi Operasional


Berdasarkan variabel penelitian yang telah ditetapkan, definisi operasional
pada masing-masing variabel adalah sebagai berikut.

1. Pengetahuan masyarakat adalah pengetahuan kesehatan masyarakat


sekitar wilayah kerja Puskesmas di kota Samarinda tentang penyakit
kusta.
Cara ukur : Kuesioner
Alat ukur : Kuesioner
Hasil ukur : 1) Baik (pengetahuan diatas 75%)
2) Cukup (pengetahuan antara 50%-74%)
3) Kurang (pengetahuan dibawah 50%)
Skala : Ordinal
2. Stigma masyarakat terhadap penyakit kusta adalah segala pemikiran dan
perilaku negatif masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas di kota
Samarinda terhadap penyakit kusta.
Cara ukur : Kuesioner
Alat ukur : Kuesioner
Hasil ukur : 1) Baik (stigma dibawah 33%)
2) Sedang (stigma antara 34%-65%)
3) Buruk (stigma diatas 66%)
Skala : Ordinal

Cara pengukuran sampel adalah :


a. Kuesioner berisi pertanyaan tentang pengetahuan, penilaian
dilakukan apabila jawaban benar mendapat nilai 1, jawaban salah
mendapat nilai 0;

25
1) Pengetahuan dianggap baik apabila menjawab 8 pertanyaan
secara benar.
2) Pengetahuan dianggap cukup apabila menjawab 5-7 pertanyaan
secara benar.
3) Pengetahuan dianggap kurang apabila menjawab kurang dari
atau sama dengan 4 pertanyaan secara benar.
b. Kuesioner berisi pertanyaan tentang stigma, penilaian dilakukan
dengan cara jawaban tidak mendapat nilai 0, jawaban tidak tahu
mendapat nilai 1, jawaban mungkin mendapat nilai 2, jawaban ya
mendapat nilai 3;
1) Stigma dianggap buruk apabila berada di angka 30 ke atas
berdasarkan total nilai.
2) Stigma dianggap sedang apabila berada di kisaran angka 15-29
berdasarkan total nilai.
3) Stigma dianggap baik apabila berada di angka kurang dari atau
sama dengan 14 berdasarkan total nilai.

4.7 Cara Kerja

4.7.1 Pengumpulan Data


Teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan
data sekunder. Data primer didapatkan dengan membagikan kuesioner kepada
responden. Pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi dan pengisian
lembar kuesioner di seluruh Puskesmas yang ada di Kota Samarinda. Data sekunder
diperoleh saat pengambilan jumlah populasi di awal penelitian.

4.7.2 Pengolahan dan Penyajian Data


Data yang didapatkan dari kuesioner dan data dari Dinas Kesehatan Kota
Samarinda akan diolah menggunakan aplikasi Microsoft Office Excel 2007 dan
SPSS Statistic 25. Penyajian data ditampilkan dalam bentuk grafik, tabel, dan
narasi.

26
4.8 Analisis Data
Analisis data dilakukan dalam dua bentuk analisis, yaitu analisis univariat dan
analisis bivariat.

4.8.1 Analisis Univariat


Pada analisis univariat, data yang dikumpulkan akan dianalisis secara
deskriptif untuk mengetahui sebaran data pada masing-masing variabel bebas dan
variabel terikat.

4.8.2 Analisis Bivariat


Pada analisis bivariat, variabel bebas dan variabel terikat akan diuji
signifikansi hubungannya. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan uji komparatif
chi-square dan uji korelasi jika terdapat signifikansi hubungan antara variabel
bebas dan variabel terikat.

4.9 Alur Penelitian


Berdasarkan metode penelitian yang telah dipaparkan, maka peneliti telah
menerapkan alur penelitian sebagai berikut.

Pengajuan surat izin penelitian ke Kepala


Dinas Kesehatan Kota Samarinda

Permohonan izin pengambilan data dan sampel


ke Puskesmas-Puskesmas di Kota Samarinda

Pengambilan data dari kuesioner

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Analisis dan penyajian data

27
4.10 Jadwal Penelitian
Jadwal penelitian yang akan peneliti lakukan dijelaskan pada matriks timeline
di bawah ini :

28
Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Waktu (Bulan)

Desember Januari Februari Maret April


Kegiatan
2018 2019 2019 2019 2019

2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyusunan
proposal
penelitian
Seminar
proposal
Revisi proposal
penelitian dan
permohonan
izin penelitian
Penelitian,
analisis,
pengolahan
data,
penyusunan
hasil serta
pembahasan
Seminar hasil
Revisi skripsi
dan penyusunan
manuskrip
publikasi ilmiah

29
BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Penelitian


Penelitian ini dilakukan di 4 Puskesmas di Samarinda yang berlokasi di
kecamatan Segiri, Temindung, Mangkupalas, dan Juanda. Lokasi pengumpulan
data primer diambil berdasarkan total jumlah kasus kusta terbanyak di Samarinda
dalam 5 tahun terakhir berdasarkan penelitian sebelumnya. Jumlah sampel yang
diambil di tiap Puskesmas adalah 25 orang, dengan total sampel 100 orang.
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data primer pada tanggal 27-30
April 2019 untuk mengetahui hubungan pengetahuan masyarakat dengan stigma
terhadap penyakit kusta. Data penelitian ini diambil dari kuesioner yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi sehingga didapatkan sampel sebanyak 100 orang.
Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional cross sectional dengan
mengambil seluruh responden yang memenuhi syarat sebanyak 25 orang per
Puskesmas.

5.2 Analisis Univariat


5.2.1 Gambaran Demografi Responden
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui dari 100 responden, 44 responden
adalah laki-laki dan 56 responden adalah perempuan. Mayoritas responden berusia
20-29 tahun (52 responden) dan minoritas responden berusia 50-60 tahun (8
responden). Umur responden yang paling muda adalah 20 tahun dan umur
responden yang peling tua adalah 57 tahun dengan rata-rata umur responden 32
tahun. Mayoritas responden bekerja sebagai swasta (30 responden), dan minoritas
responden bekerja sebagai petani (1 responden).

Mayoritas responden memiliki pendidikan terakhir sekolah menengah


atas/kejuruan (58 responden) sedangkan minoritas responden memiliki pendidikan
terakhir sekolah dasar (5 responden). Sebanyak 92 responden tidak memiliki
keluarga dengan riwayat penyakit kusta dan 1 responden memiliki keluarga dengan
riwayat penyakit kusta. Sebanyak 69 responden tidak memiliki lingkungan sekitar

30
dengan riwayat penyakit kusta, dan 2 responden memiliki lingkungan sekitar
dengan riwayat penyakit kusta seperti pada tabel 5.1.

Tabel 5.1 Gambaran Demografi Responden


No. Variabel Responden Jumlah (n) Presentase (%)
1. Jenis Kelamin
Laki-Laki 44 44%
Perempuan 56 56%
2. Umur
20-29 tahun 52 52%
30-39 tahun 21 21%
40-49 tahun 19 19%
50-60 tahun 8 8%
3. Pekerjaan
Petani 1 1%
Pegawai Negri Sipil 10 10%
Swasta 30 30%
Pelajar/Mahasiswa 19 19%
Ibu Rumah Tangga 28 28%
Tidak Bekerja 12 12%
4. Pendidikan Terakhir
SD 5 5%
SMP 12 12%
SMA/SMK 58 58%
Sarjana/S1 25 25%
5. Riwayat penyakit kusta pada keluarga
Ya 1 1%
Tidak 92 92%
Tidak Tahu 7 7%
6. Riwayat penyakit kusta pada lingkungan
sekitar
Ya 2 2%
Tidak 69 69%
Tidak Tahu 29 29%

5.2.2 Gambaran Distribusi Pengetahuan Masyarakat


Gambaran mengenai pengetahuan masyarakat, dari penelitian didapat 100
responden, 29 responden (29%) memiliki pengetahuan baik, 49 responden (49%)
memiliki pengetahuan cukup dan 22 responden (22%) memiliki pengetahuan
kurang seperti pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Gambaran Pengetahuan Masyarakat Samarinda


Pengetahuan Jumlah Persentase
(n = 100)
Baik 29 29
Cukup 49 49
Kurang 22 22

31
5.2.3 Gambaran Distribusi Stigma Masyarakat terhadap Penyakit Kusta
Gambaran mengenai stigma masyarakat, dari penelitian didapat 100
responden, 14 responden (14%) memiliki stigma buruk, 62 responden (62%)
memiliki stigma sedang dan 24 responden (24%) memiliki stigma baik seperti pada
tabel 5.3.

Tabel 5.3 Gambaran Stigma Masyarakat terhadap Penyakit Kusta


Stigma Jumlah Persentase
(n = 100)
Buruk 14 14
Sedang 62 62
Baik 24 24

5.2.4 Gambaran Karakteristik Pengetahuan Responden


Gambaran karakteristik pengetahuan responden dapat dilihat pada Tabel
5.4. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui dari 100 responden, mayoritas
responden mempunyai pendidikan terakhir sekolah menengah atas/kejuruan.
Responden yang mempunyai pendidikan terakhir sekolah menengah atas/kejuruan
memiliki pengetahuan cukup (27 responden), pengetahuan baik (18 responden), dan
pengetahuan kurang (13 responden) .
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui dari 100 responden, mayoritas
responden tidak pernah mendapat informasi penyakit kusta. Responden yang
mendapat sumber informasi dari TV/Koran/Radio kebanyakan memiliki
pengetahuan baik (12 responden) dan responden yang tidak pernah menerima
informasi penyakit kusta mayoritas memiliki pengetahuan cukup (20 responden)
dan pengetahuan kurang (17 orang).

32
Tabel 5.4 Gambaran Karakteristik Pengetahuan Responden
Pengetahuan Masyarakat
No. Variabel Responden Kurang Cukup Baik
(N) (%) (N) (%) (N) (%)
1. Pendidikan Terakhir
SD 2 40% 3 60% 0 0%
SMP 4 33% 5 42% 3 25%
SMA/SMK 13 22% 27 47% 18 31%
Sarjana/S1 3 12% 14 56% 8 32%
2. Sumber Pengetahuan Masyarakat
Dokter Umum dan Puskesmas 0 0% 2 33% 4 67%
Rumah Sakit 0 0% 4 50% 4 50%
Fasilitas Kesehatan Lainnya 0 0% 6 75% 2 25%
Internet 0 0% 2 33% 4 67%
Teman/Keluarga 2 20% 6 60% 2 20%
TV/Koran/Radio 3 13% 9 37% 12 50%
Tidak Pernah Menerima Informasi 17 45% 20 52% 1 3%
Penyakit Kusta

5.2.5 Gambaran Karakteristik Responden yang Memiliki Stigma


Gambaran karakteristik responden yang memiliki stigma di kota Samarinda
dapat dilihat pada Tabel 5.5. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui dari 100
responden, mayoritas responden berada di umur 20-29 tahun. Responden yang
berada di umur 20-29 tahun memiliki stigma sedang (37 responden), stigma rendah
(9 responden), dan stigma buruk (9 responden) . Mayoritas responden mempunyai
jenis kelamin perempuan. Responden yang mempunyai jenis kelamin perempuan
memiliki stigma sedang (36 responden), stigma rendah (10 responden), dan stigma
buruk (10 responden) .
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui dari 100 responden, mayoritas
responden tidak mempunyai riwayat penyakit kusta pada keluarga. Responden yang
tidak mempunyai riwayat penyakit kusta pada keluarga memiliki stigma sedang
(55 responden), stigma rendah (19 responden), dan stigma buruk (18 responden) .
Mayoritas responden tidak mempunyai riwayat penyakit kusta pada lingkungan
sekitar. Responden yang tidak mempunyai riwayat penyakit kusta pada lingungan
sekitar memiliki stigma sedang (41 responden), stigma rendah (13 responden), dan
stigma buruk (15 responden) .
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui dari 100 responden, mayoritas
responden mempunyai pendidikan terakhir sekolah menengah atas/kejuruan.
Responden yang mempunyai pendidikan terakhir sekolah menengah atas/kejuruan

33
memiliki stigma sedang (35 responden), stigma rendah (12 responden), dan stigma
buruk (11 responden) . Mayoritas responden mempunyai pekerjaan swasta.
Responden yang mempunyai pekerjaan swasta memiliki stigma sedang (20
responden), stigma rendah (5 responden), dan stigma buruk (5 responden).

Tabel 5.5 Gambaran Karakteristik Responden yang Memiliki Stigma


Stigma Masyarakat terhadap
No. Variabel Responden Penyakit Kusta
Baik Sedang Buruk
(N) (%) (N) (%) (N) (%)
1. Umur
20-29 9 17% 37 71% 6 12%
30-39 3 14% 13 62% 5 24%
40-49 5 26% 10 53% 4 21%
50-60 2 26% 3 37% 3 37%
2. Jenis Kelamin
Laki-Laki 9 21% 27 61% 8 18%
Perempuan 10 18% 36 64% 10 18%
3. Riwayat Penyakit Kusta pada Keluarga
Ya 0 0% 1 100% 0 0%
Tidak 19 21% 55 60% 18 19%
Tidak Tahu 0 0% 7 100% 0 0%
4. Riwayat Penyakit Kusta pada
Lingkungan Sekitar
Ya 0 0% 2 100% 0 0%
Tidak 13 19% 41 59% 15 22%
Tidak Tahu 6 21% 20 69% 3 10%
5. Pendidikan Terakhir
SD 1 20% 3 60% 1 20%
SMP 1 8% 10 84% 1 8%
SMA/SMK 12 21% 35 60% 11 19%
Sarjana/Strata 1 5 20% 15 60% 5 20%
6. Pekerjaan
Petani 0 0% 0 0% 1 100%
Pegawai Negri Sipil 2 20% 6 60% 2 20%
Swasta 5 16% 20 68% 5 16%
Pelajar/Mahasiswa 5 26% 11 58% 3 16%
Ibu Rumah Tangga 4 14% 19 68% 5 18%
Tidak Bekerja 3 25% 7 58% 2 17%

34
5.3 Analisis Bivariat
5.3.1 Analisis Hubungan Pengetahuan dengan Stigma terhadap Penyakit
Kusta
Berdasarkan hasil pengolahan data, masyarakat dengan stigma buruk
terbanyak terjadi pada pengetahuan cukup sebanyak 9 orang (18,36%) dan
masyarakat dengan stigma baik terbanyak terjadi pada pengetahuan cukup
sebanyak 11 orang (22,45%). Secara statistik pola hubungan tersebut diuji
menggunakan uji analisis Somer’s d dengan hasilnya berupa nilai signifkansi
sebesar 0.456 (p>0,05). Sehingga dapat diartikan bahwa hipotesis yang menyatakan
ada hubungan antara pengetahuan masyarakat dengan stigma terhadap penyakit
kusta tidak dapat diterima.
Hasil penelitian dalam tabel 5.6 diperoleh pengetahuan kurang 0,063 kali
lebih berpeluang terjadi pada stigma buruk dibandingkan stigma baik (p=0,456;
CI=0,058-0,068). Pada uji korelasi, diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,063,
artinya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan stigma sangat rendah
Sugiyono, (2011). Nilai koefisien korelasi menunjukan hubungan tersebut
berbanding lurus, yaitu semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka semakin buruk
stigma dan sebaliknya.

Tabel 5.6 Hasil Tabulasi Silang Pengetahuan Masyarakat dengan Stigma Terhadap
Penyakit Kusta
Pengetahuan Stigma Prevalence Confidence
Buruk Sedang Baik Ratio Interval P
N % N % N % (PR)
Kurang 3 13,63 16 72,73 3 13,63
Cukup 9 18,36 29 59,18 11 22,45 0,063 0,058-0,068 0,456
Baik 7 24,14 18 62,06 4 13,79

35
BAB 6
PEMBAHASAN

6.1 Interpretasi Hasil


6.1.1 Analisis Univariat
6.1.1.1 Distribusi Pengetahuan Masyarakat
Hasil penelitian di 4 Puskesmas kota Samarinda pada tahun 2019 menunjukan
bahwa masyarakat yang memiliki pengetahuan cukup (49 responden) lebih banyak
daripada masyarakat yang memiliki pengetahuan kurang (22 responden) dan baik
(29 responden). Hasil penelitian ini berbeda dengan teori penelitian yang dilakukan
oleh Sulidah (2016) pada penelitian yang dilakukan di Tarakan, yang menyatakan
bahwa masyarakat yang memiliki pengetahuan kurang lebih banyak daripada
masyarakat yang memiliki pengetahuan cukup dan baik. Pada umumnya ada
beberapa hal yang memengaruhi tingkat pengetahuan, faktor-faktor yang dapat
memegaruhi adalah : pendidikan, media masa, sosial budaya, ekonomi, lingkungan,
pengalaman, dan usia. Lingkungan dan sosial budaya berpengaruh terhadap proses
masuknya pengetahuan kedalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut,
kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah
yang dilakukan baik atau buruk, dengan demikian seseorang akan bertambah
pengetahuannya walaupun tidak melakukan (Wawan & Dewi, 2010).

6.1.1.2 Distribusi Stigma Masyarakat terhadap Penyakit Kusta


Hasil penelitian di 4 Puskesmas kota Samarinda pada tahun 2019
menunjukan bahwa masyarakat yang memiliki stigma sedang (62 responden) lebih
banyak daripada masyarakat yang memiliki stigma baik (24 responden) dan buruk
(14 responden). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sulidah (2016) pada penelitian yang dilakukan di Tarakan, menyatakan bahwa
masyarakat memiliki stigma sedang lebih banyak daripada masyarakat yang
memiliki stigma baik dan stigma buruk. Allport dalam Sulidah (2016) menjelaskan
bahwa sikap terdiri dari tiga komponen yaitu kepercayaan/keyakinan, ide dan
konsep tentang obyek; kehidupan emosional atau evaluasi terhadap obyek; dan
kecenderungan untuk bertindak. Pemahaman yang hanya didasarkan atas hasil

36
pengamatan fisik penderita kusta dan atau informasi dari seseorang yang telah
terbentuk sikap negatif akan melahirkan sikap negatif berikutnya.

6.1.1.3 Distribusi Karakteristik Pengetahuan Responden


Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses
pembelajaran (KBBI, 2019). Pengetahuan terbagi atas tiga bentuk yaitu
pengetahuan kurang, pengetahuan cukup dan pengetahuan baik. Pada penelitian ini,
mayoritas responden dengan pendidikan terakhir sekolah menengah atas/kejuruan
memiliki pengetahuan kurang sebanyak 13 orang, pengetahuan cukup 27 orang dan
pengetahuan baik 18 orang. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ar-
Rasily (2016) di Semarang yang menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu
kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan
kemampuan tertentu. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya
seseorang dalam menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada
umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang semakin baik pula pengetahuanya.
Berdasarkan data yang didapatkan, mayoritas responden yang tidak pernah
menerima informasi penyakit kusta memiliki pengetahuan kurang sebanyak 17
orang, pengetahuan cukup 20 orang dan pengetahuan baik 1 orang. Hasil penelitian
ini berbeda dengan hasil penelitian Sari (2010) di Jakarta, yang menyatakan
informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. Jika seseorang
mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media misalnya TV, radio atau
surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.

6.1.1.4 Distribusi Karakteristik Responden yang Memiliki Stigma


Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena
pengaruh lingkungannya (KBBI, 2019). Stigma terbagi atas tiga bentuk yaitu
stigma baik, stigma sedang dan stigma buruk. Berdasarkan data yang didapatkan
bahwa mayoritas umur yang memiliki stigma sedang adalah umur dewasa muda
(20-29 tahun) sebanyak 27 orang. Hal ini dikarenakan pada umur dewasa seseorang
sudah bisa memilih keputusannya sendiri. Umur dewasa muda adalah umur
produktif bagi seseorang untuk mengambil setiap keputusan dari apa yang dia tahu
dan apa yang dia percaya (Wawan & Dewi, 2010). Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Tabah et al. (2018) di Cameroon, yang menyatakan bahwa

37
stigma terhadap penyakit kusta lebih buruk di lingkungan masyarakat dewasa
muda, daripada masyarakat remaja dan lansia.

Berdasarkan data yang didapatkan bahwa wanita lebih banyak memiliki


stigma baik 10 orang, sedang 36 orang dan buruk 10 orang. Hal ini dikarenakan
wanita memiliki rasa kekhawatiran yang lebih buruk seperti penelitian Hastjarjo
(2008) di Jogjakarta, yang menyatakan wanita memiliki pemikiran yang rumit
sehingga menyebabkan kecemasan yang buruk ini diakibatkan karena hormon yang
meningkat atau dilepaskan pada saat tertentu. Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian Kaehler et al. (2015) di Thailand, yang menyatakan bahwa stigma
terhadap penyakit kusta lebih buruk pada perempuan, daripada laki-laki.
Berdasarkan data yang didapatkan bahwa masyarakat yang tidak mempunyai
riwayat keluarga dengan penyakit kusta lebih banyak memiliki stigma sedang 55
orang, baik 19 orang dan buruk 18 orang. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Adhikari et al. (2014) di Nepal, yang menyatakan bahwa stigma terhadap
penyakit kusta lebih buruk pada masyarakat yang tidak mempunyai riwayat
keluarga dengan penyakit kusta, daripada masyarakat yang mempunyai riwayat
keluarga dengan penyakit kusta.

Berdasarkan data yang didapatkan bahwa masyarakat yang tidak


mempunyai riwayat tetangga dengan penyakit kusta lebih banyak memiliki stigma
sedang 41 orang, baik 13 orang dan buruk 15 orang. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian Adhikari et al. (2014) di Nepal, yang menyatakan
mengatakan bahwa stigma terhadap penyakit kusta lebih buruk pada masyarakat
yang tidak mempunyai riwayat tetangga dengan penyakit kusta, daripada
masyarakat yang memiliki riwayat tetangga dengan penyakit kusta. Berdasarkan
data yang didapatkan bahwa masyarakat yang memiliki pendidikan terakhir
SMA/SMK lebih banyak memiliki stigma sedang 35 orang, baik 12 orang dan
buruk 11 orang. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Adhikari et al.
(2014) di Nepal, dan Kaehler et al. (2015) di Thailand, yang menyatakan bahwa
stigma terhadap penyakit kusta lebih buruk pada masyarakat yang memiliki
pendidikan primer (SD), daripada masyarakat yang memiliki penddikan sekunder
(SMP) dan SMA.

38
Berdasarkan data yang didapatkan bahwa masyarakat yang memiliki
pekerjaan swasta lebih banyak memiliki stigma sedang 20 orang, stigma baik 5
orang dan stigma buruk 5 orang. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian
Adhikari et al. (2014) di Nepal dan Kaehler et al. (2015) di Thailand, yang
menyatakan bahwa stigma terhadap penyakit kusta lebih buruk pada masyarakat
yang tidak memiliki pekerjaan dan bekerja sebagai petani, daripada masyarakat
yang memiliki pekerjaan swasta dan pegawai negri.

6.1.2 Analisis Bivariat


6.1.2.1 Analisa Hubungan Pengetahuan Masyarakat dan Stigma Terhadap
Penyakit Kusta di Kota Samarinda

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang


bermakna antara pengetahuan masyarakat dengan stigma terhadap penyakit kusta.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Rufina (2018) di Jakarta, yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dengan stigma terhadap
penyakit kusta. Pada penelitian ini, didapati nilai koefisien korelasi sebesar 0,063
(tabel 5.6), artinya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan stigma terhadap
penderita penyakit kusta sangat rendah (Sugiyono, 2011). Hal tersebut juga didapati
oleh penelitian Caroline di Universitas Indonesia. Pada penelitian tersebut, Caroline
dan tim mengungkapkan bahwa penyebab stigma bukan karena pengetahuan yang
kurang, melainkan karena manifestasi klinis yang tampak pada penderita penyakit
kusta (Caroline, Puspita, Widjaja, Sopandi, & Menaldi, 2011). Penelitian Adhikari
di Nepal juga mengatakan bahwa timbulnya stigma dikarenakan kecacatan dan
disabilitas yang tampak pada penderita penyakit kusta (Adhikari, Kaehler,
Chapman, Raut, & Roche, 2014).
Goffman (1963) juga mengemukakan istilah stigma merujuk pada keadaan
suatu kelompok sosial yang membuat identitas terhadap seseorang atau kelompok
tidak hanya berdasarkan pengetahuan namun juga sifat fisik, perilaku, ataupun
sosial yang dipersepsikan menyimpang dari norma-norma dalam komunitas
tersebut. Allport dalam Sulidah (2016) juga menjelaskan bahwa sikap terdiri dari
tiga komponen yaitu kepercayaan/keyakinan, ide dan konsep tentang obyek;

39
kehidupan emosional atau evaluasi terhadap obyek; dan kecenderungan untuk
bertindak. Pemahaman yang hanya didasarkan atas hasil pengamatan fisik penderita
kusta dan atau informasi dari seseorang yang telah terbentuk sikap negatif akan
melahirkan sikap negatif berikutnya.

6.2 Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan
stigma terhadap penyakit kusta pada masyarakat sekitar wilayah kerja Puskesmas
di Samarinda. Rancangan penelitian ini menggunakan studi observasional analitik
dengan metode cross sectional dan menggunakan data primer. Penelitian belum
dapat menggunakan jenis cohort dikarenakan keterbatasan waktu dan memerlukan
penambahan kriteria inklusi mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
stigma masyarakat terhadap penyakit kusta.

40
BAB 7
PENUTUP

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan peneliti
menyimpulkan bahwa:
1. Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan stigma terhadap penyakit
kusta.
2. Pengetahuan masyarakat kota Samarinda tentang penyakit kusta berada pada
tingkatan cukup.
3. Stigma masyarakat terhadap penyakit kusta di kota Samarinda berada pada
tingkatan sedang.

7.2 Saran
1. Perlu diberikan edukasi yang baik mengenai penyakit kusta kepada masyarakat
di kota Samarinda agar pengetahuan dan empati masyarakat tentang penyakit
kusta semakin meningkat dan diharapkan stigma terhadap penyakit kusta
menurun.
2. Perlu penelitian lebih lanjut dengan metode lain seperti cohort untuk melihat
hubungan pengetahuan masyarakat dengan stigma terhadap penyakit kusta, dan
lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi stigma
masyarakat terhadap penyakit kusta.

41
DAFTAR PUSTAKA

Adhikari, B., Kaehler, N., Chapman, R. S., Raut, S., & Roche, P. (2014, June).
Factors Affecting Perceived Stigma in Leprosy Affected Persons in
Western Nepal. (C. H. Oladele B. Akogun, Penyunt.) PLOS Neglected
Tropical Diseases, 8(6), 1-8.
Brown, R. G., & Burns, T. (2005). Lecture Notes Dermatologi Edisi 8. Jakarta:
Erlangga.
Clapasson, A., & Canata, S. (2013). Laboratory Investigations. Dalam E. Nunzi,
Massone, & Cesare, Leprosy: A Practical Guide (hal. 55-62). Verlag:
Springer.
Dahlan, M. S. (2013). Besar Responden dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Dinas Kesehatan Kota Samarinda. (2017). Profil Kesehatan Kota Samarinda
Tahun 2016. Samarinda: Dinas Kesehatan Kota Samarinda.
Dinas Kesehatan Kota Samarinda. (2018). Laporan Kesehatan Kota Samarinda
Tahun 2017. Samarinda: Dinas Kesehatan Kota Samarinda.
Fitriani, S. (2011). Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Garamina, H. J. (2015). Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Terhadap
Stigma Penyakit Kusta. Agromed Unila, 2(3), 326-332.
Goffman, E. (1963). Stigma : notes on the management of spoiled identity.
London: Penguin Books.
Hamzah, M., Aisah, S., & Djuanda, A. (2010). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Harahap, M. (2015). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Hastjarjo, T. (2008). Mengintegrasikan Psikologi Wanita. Yogyakarta: FP UGM.
James, W. D., Elston, D. M., & Berger, T. G. (2016). Andrews' Diseases of The
Skin: Clinical Dermatology (12th ed.). Philadelphia: Elsevier.
Kaehler, N., Adhikar, B., Raut, S., Marahatta, S. B., & Chapman, R. S. (2015).
Perceived Stigma towards Leprosy among Community Members Living
Close to Nonsomboon Leprosy Colony in Thailand. PLOS ONE, 1-11.
KBBI. (2019). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dipetik Februari 14, 2019, dari
Pengetahuan: http://kbbi.web.id/pengetahuan
KBBI. (2019). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dipetik Februari 14, 2019, dari
Stigma: http://kbbi.web.id/stigma

42
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Pedoman Nasional Program
Pengendalian Kusta. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015, Maret 13). InfoDatin Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Kusta, hal. 1-2.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Data dan Informasi: Profil
Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta: Author.
KPA. (2013). Data Tentang Jumlah Kasus dan Stigma Masyarakat terhadap HIV
Aids. Dipetik Februari 14, 2019, dari Info HIV Aids Stigma di
Masyarakat: http://www.aidsindonesia.or.id/
Lee, D. J., Rea, T. H., & Modlin, R. L. (2012). Leprosy. Dalam L. A. Goldsmith,
S. I. Katz, B. A. Gilchrest, A. S. Paller, D. J. Leffell, & K. Wolff,
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine Ed. 8 (hal. 2253-2262).
New York: The McGraw-Hill Companies.
Lestari, W. (2015). Kondisi psikososial dan ekonomi penderita penyakit kusta
(studi pada penderita penyakit kusta di kelurahan kampung sawah
kecamatan tanjung karang timur kota bandar lampung (Skripsi). Bandar
Lampung: Universitas Lampung.
Liliweri, A. (2007). Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Mansjoer, A., Suprohaita, & Wardhani, W. I. (2005). Kapita Selekta Kedokteran.
Jakarta: Media Aesculapius.
Mukundan, H., Chambers, M., Waters, R., & Larsen, M. H. (2015).
Tuberculosis,Leprosy and Other Mycobacterial Diseases of Man and
Animals : The Many Hosts of Mycobacteria. London: CAB International.
Naafs, B., & Garbino, J. A. (2013). Peripheral Nerves in Leprosy. Dalam E.
Nunzi, & C. Massone, Leprosy: A Practical Guide (hal. 153-161). Verlag:
Springer.
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Notoatmojo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Nunzi, E., Massone, C., & Noto, S. (2013). Physical Examination: Skin. Dalam E.
Nunzi, & C. Massone, Leprosy: A Practical Guide (hal. 65-73). Graz:
Medical University of Graz.

43
Peters, R., Dadun, Brakel, W., Zweekhorst, M., Damayanti, R., Bunders, J., &
Irwanto. (2014). The Cultural Validation of Two Scales to Assess Social
Stigma in Leprosy. PLOS Neglected Tropical Disease, 1-13.
Rahman, A. (2013). Psikologi sosial integrasi pengetahuan wahyu dan
pengetahuan empirik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Scheid, T., & Brown, T. (2010). A handbook for the study of mental health social
context, theories, and system second edition. New York: Cambridge
University Press.
Sermrittirong, S., & Brakel, W. (2014). Stigma in Leprosy : concept causes and
determinants. PubMed, 34-47.
Siregar, R. (2015). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 3. Jakarta: EGC.
Soedarjatmi, Istiarti, T., & Widagdo, L. (2009). Faktor-faktor Yang
Melatarbelakangi Persepsi Penderita Terhadap Stigma Penyakit Kusta.
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 18-24.
Soedarto. (2009). Penyakit Menular di Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.
Sulidah. (2016). Hubungan pengetahuan dan sikap masyarakat terkait kusta
terhadap perlakuan diskriminasi pada penderita kusta. Medika Respati, XI,
53-65.
Susilowati, D. (2014). Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
partisipasi penderita kusta dalam kelompok perawatan diri (kpd) di
kabupaten brebes (Skripsi). Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Tabah, E. N., Nsagha, D. S., Bissek, A.-C. Z.-K., Njamnshi, T. N., Njih, I. N.-N.,
Pluschke, G., & Njamnshi, A. K. (2018, February 12). Community
knowledge, perceptions and attitudes regarding leprosy in rural Cameroon:
The case of Ekondotiti and Mbonge health districts in the South-west
Region. (U. o. Joseph M. Vinetz, Penyunt.) PLOS Neglected Tropical
Diseases, 1-17.
Talhari, S., & Ameen, M. (2013). Drugs in Leprosy. Dalam E. Nunzi, & C.
Massone, Leprosy: A Practical Guide (hal. 281-286). Verlag: Springer.
Tamsuri, A. (2010). Hubungan pengetahuan dan perilaku pencegahan penularan
penyakit kusta di wilayah kerja puskesmas tanjunganom kabupaten
nganjuk. Jurnal AKP(2), 8-12.
Tarigan, N. P. (2013). Masalah Kusta Dan Diskriminasi Serta Stigmatisasinya Di
Indonesia. Humaniora, 4(45), 432-444.
Taylor, S., Peplau, L., & Shears, D. (2009). Psikologi sosial edisi dua belas.
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Wawan, A., & Dewi, M. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan
Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.

44
Wewengkang, K., Palandeng, H. M., & Rombot, D. V. (2016, Mei). Pencegahan
Kecacatan Akibat Kusta di Kota Manado. Jurnal Kedokteran Komunitas
dan Tropik, 4(2), 87-92.
Wisnu, I. M., Sjamsoe-Daili, E. S., & Menaldi, S. L. (2016). Kusta. Dalam S. L.
Menaldi, K. Bramono, & W. Indriatmi, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
(Ed. 7) (hal. 87-102). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
World Health Organization. (2012). WHO Expert Committee on Leprosy. Geneva:
World Health Organization.
World Health Organization. (2016). Global Leprosy Report in 2015. Geneva:
Author.
World Health Organization. (2018). Global Leprosy Update, 2017: Reducing The
Disease Burden Due to Leprosy. Weekly Epidemiological Record, 93(35),
445-456.
Yawalkar, S. J. (2014). Leprosy forMedical Practitioners and Paramedical
Workers. Basle: Novartis Foundation.

45
Lampiran Inform Consent dan Kuesioner
Kuesioner Penelitian Pengetahuan dan stigma penyakit Kusta

Bagian I :

A : Inform Consent dan Lembar Persetujuan

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Judul Penelitian : Hubungan Pengetahuan Masyarakat Dengan Stigma


Terhadap Penyakit Kusta di Kota Samarinda.
Peneliti : Ruth Putri E.S.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bersedia untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini. Saya mengerti bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui stigma yang dimiliki oleh masyarakat terhadap penyakit kusta.

Sebelum mengisi kuesioner ini, Saya telah dijelaskan prosedur, tujuan, manfaat,
resiko penelitian dan hak untuk menolak berpartisipasi. Dalam penelitian ini, Saya
akan mengisi kuesioner yang diberikan oleh peneliti. Data serta identitas saya
sebagai responden akan dijamin kerahasiannya oleh peneliti.

Saya memiliki hak untuk bertanya kepada peneliti jika ada hal yang tidak Saya
ketahui saat mengisi kuesioner. Demikian surat pernyataan ini Saya tanda tangani
dengan sukarela dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Samarinda, ............. Maret 2019

(Responden)

46
B : Data Demografi

1. Kode responden : ....................................................(diisi oleh peneliti)


2. Nama responden :
3. Umur :
4. Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan
5. Agama :
a. Islam
b. Kristen
c. Katolik
d. Hindu
e. Budha
f. Lainnya....
6. Status :
a. Menikah
b. Belum Menikah
7. Sejarah kesehatan keluarga : apakah ada anggota keluarga anda yang
terkena penyakit kusta?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak Tahu
8. Apakah ada tetangga/ orang sekitar anda yang terkena kusta?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak Tahu
9. Pendidikan terakhir :
a. SD
b. SMP
c. SMA/SMK
d. Sarjana/Strata 1
10. Pekerjaan :
a. Petani
b. PNS

47
c. Swasta
d. Pelajar/Mahasiswa
e. Ibu/Bapak Rumah Tangga
f. Tidak Bekerja
g. Lainnya

C. Pengetahuan tentang penyakit kusta.

1. Apakah anda pernah menerima informasi mengenai penyakit kusta?


a. Ya
Jika iya, dimana anda menerima informasi tersebut (jawaban boleh dari
1)?
1) Rumah Sakit
2) Dokter Umum
3) Puskesmas
4) Fasilitas Kesehatan lainnya
5) TV/Koran/Radio
6) Teman/Keluarga
7) Lainnya...
b. Tidak
2. Apakah anda tahu penyebab kusta?
a. Ya
Jika iya, tolong pilih salah satu di bawah ini :
1) Bakteri atau mikroorganisme
2) Kutukan Tuhan
3) Karma
4) Lainnya...
b. Tidak
3. Apakah menurut anda kusta sangat menular?
a. Ya
b. Tidak
4. Apakah anda tahu cara penularan kusta?
a. Ya

48
Jika iya, bagaimana cara penularannya?
1) Udara
2) Air
3) Makanan
4) Hewan
5) Nyamuk
6) Kontak erat dengan penderita kusta
Lainnya...
b. Tidak
5. Apakah menurut anda kusta bisa diobati?
a. Ya
b. Tidak
6. Apakah anda tahu tanda dan gejala dari penyakit kusta?
a. Ya
Jika iya, bagaimana tanda dan gejalanya?
1) Gatal-gatal di daerah alat kelamin, timbul nanah
2) Tekanan darah tinggi, pusing-pusing
3) Batuk-batuk lebih dari 3 minggu, batuk darah
4) Bercak pucat / merah pada kulit, penurunan sensitivitas pada
bercak
5) Demam tinggi, badan menggigil, tidak nafsu makan
b. Tidak
7. Apakah menurut anda kusta adalah penyakit yang mematikan?
a. Ya
b. Tidak
8. Apakah menurut anda kusta adalah hukuman (dari Tuhan) karena telah
melakukan sesuatu yang buruk dalam hidup?
a. Ya
b. Tidak
9. Apakah menurut anda kusta merupakan penyakit keturunan?
a. Ya
b. Tidak

49
10. Apakah menurut anda penderita kusta dapat sembuh?
a. Ya
b. Tidak

Bagian II :

Skala Stigma untuk komunitas yang tidak terkena kusta.

No. Pertanyaan Ya Mungkin Tidak Tidak


Tahu
3 2 1 0
1. Apakah menurut anda penderita kusta akan
menyembunyikan penyakitnya dari orang lain?
2. Apabila anggota keluarga anda terkena kusta,
apakah anda akan merasa diri anda kurang/rendah,
karena orang ini?
3. Di lingkungan anda, apakah kusta merupakan
sesuatu yang memalukan?
4. Apakah orang lain akan berpikir penderita kusta
orang yang rendah?
5. Apakah jika mengetahui seseorang terkena kusta
memiliki efek buruk bagi orang lain?
6. Apakah orang lain di lingkungan anda akan
menghindari penderita kusta?
7. Apakah orang lain akan menolak jika diajak
berkunjung ke rumah penderita kusta?
8. Apakah tetangga dan kenalan penderita kusta akan
memandang rendah keluarga penderita kusta?
9. Apakah kusta menyebabkan masalah pada keluarga
penderita?
10. Apakah keluarga memiliki kekhawatiran jika
terbuka tentang anggota keluarganya yang terkena
kusta?

50
(lanjutan)
11. Apakah kusta menyebabkan penderitanya kesulitan
menikah?
12. Apakah kusta menyebabkan masalah pada
pernikahan penderita kusta?
13. Apakah kusta menyebabkan masalah pada kerabat
dari penderita untuk menikah?
14. Apakah kusta menyebabkan penderitanya kesulitan
mendapatkan pekerjaan?
15. Apakah orang lain enggan membeli makanan dari
penderita kusta?

51

Anda mungkin juga menyukai