Anda di halaman 1dari 172

HALAMAN JUDUL

ANALISIS RISIKO KEJADIAN DIABETES MELITUS


PADA PASIEN TB DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KAMONJI KOTA PALU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
kesehatan masyarakat (S.KM)

NUR MIFTA HULDJANNAH


P 101 17 028

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2020
i
PERNYATAAN PERSETUJUAN SEMINAR SKRIPSI

ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

iii
PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam tugas akhir ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan

Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secra tertulis

diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Palu, 15 Desember 2020


Penulis

(Nur Mifta Huldjannah)

P 101 17 028

iv
ABSTRAK

Nur Mifta Huldjannah. Analisis Risiko Kejadian Diabetes Melitus pada Pasien
TB di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Kota Palu (di bawah bimbingan Muh.
Jusman Rau).

Peminatan Epidemiologi
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Tadulako
Oktober 2020

Negara yang memiliki beban TB seperti Indonesia akan terkena dampak


peningkatan kormobid Diabetes Melitus, sehingga Indonesia mempunyai beban
ganda dalam penyelesaian penyakit menular dan penyakit tidak menular. Kota
Palu merupakan salah satu Kabupaten/Kota yang memiliki kasus TB tertinggi di
Sulawesi Tengah sebanyak 693 kasus dan kasus Diabetes Melitus di Kota Palu
sebanyak 5.824 kasus. Kejadian TB-DM di Puskesmas Kamonji dilaporkan
berjumlah 18 kasus. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor risiko
kejadian TB-DM di wilayah kerja Puskesmas Kamonji Kota Palu. Penelitian ini
menggunakan desain penelitian case-control serta sampel menggunakan teknik
Purposive Sampling yang berjumlah 64 responden dengan perbandingan 1:3.
Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa IMT (OR = 0,227) merupakan faktor protektif. Sedangkan
Umur (OR = 4,012), Riwayat Diabetes Melitus (OR = 16,465) dan Perilaku
Merokok (OR = 3,800) merupakan faktor risiko dari kejadian TB-DM di wilayah
kerja Puskesmas Kamonji. Determinan TB-DM yaitu Riwayat Diabetes Melitus (p
0,000). Upaya pencegahan untuk menekan kejadian TB-DM yaitu melakukan
screening PTM secara teratur, pengaturan pola makan yang tepat, melakukan
aktivitas fisik dan meningkatkan kesadaran perilaku merokok yang baik.

Kata Kunci: Diabetes Melitus, Faktor Risiko, Tuberkulosis

v
ABSTRACK

vi
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini dengan

judul “Analisis Risiko Kejadian Diabetes Melitus pada Pasien TB di Wilayah

Kerja Puskemas Kamonji Kota Palu” dapat diselesaikan sebagai salah satu

syarat dalam penyelesaian studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Tadulako. Salawat dan salam dihaturkan atas junjungan kita Nabi Muhammad

SAW beserta keluarga dan para sahabat sekalian.

Tulisan ini penulis persembahkan untuk ibunda tercinta Hilda dan

ayahanda tercinta Yusman Saganta sebagai ucapan terima kasih yang setulus hati

untuk kedua orang tua penulis yang senantiasa mengingatkan dalam kebaikan,

memberi kasih sayang, dukungan dan terutama do’a restu yang tulus dan tak

terhingga kepada penulis.

Dalam penyusunan hasil penelitian ini, penulis sangat berterima kasih

kepada bapak Muh. Jusman Rau, S.KM., M.Kes selaku pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan arahan serta memberi banyak masukan yang sangat

membantu penulis.

vii
Penulis juga banyak mengucapkan banyak terima kasih kepada semua

pihak yang telah mambantu baik secara langsung maupun tidak sejak awal sampai

pada proses penyelesaian hasil penelitian ini, yaitu kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Mahfudz, MP selaku Rektor Universitas Tadulako.

2. Bapak Prof. Dr. Nurdin Rahman, M.Si., M.Kes selaku Dekan Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulako.

3. Ibu Lusia Salmawati, S.KM., M.Sc selaku Wakil Dekan Bidang Akademik

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulako.

4. Ibu Dr. Rosmala Nur, M.Si, selaku Wakil Dekan Bidang Umum dan

Keuangan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulako

5. Bapak Muh. Jusman Rau, S.KM., M.Kes, selaku Wakil Dekan Bidang

Kemahasiswaan, dan sebagai dosen pembimbing yang telah banyak

memberikan masukan serta bimbingan bagi kesempurnaan tugas akhir ini.

6. Ibu Rasyika Nurul Fadjriah, S.KM., M.Kes selaku Koordinator Program Studi

Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulako dan sekaligus menjadi penguji I

penulis mengucapkan terima kasih atas segala masukan dan saran yang sangat

bermanfaat diberikan kepada penulis.

7. Ibu Dilla Srikandi Syahadat, S.KM., M.Kes selaku penguji II, penulis

mengucapkan terima kasih atas segala ilmu, kritik maupun saran yang sangat

bermanfaat yang diberikan kepada penulis untuk kesempurnaan tugas akhir

ini.

8. Seluruh Dosen pengajar dan staf administrasi dalam lingkungan fakultas

kesehatan masyarakat yang telah membimbing dan telah membagikan ilmu

viii
pengetahuannya kepada penulis serta telah membantu dalam pengurusan

administrasi penulis selama studi.

9. Kepada bapak/ibu dosen Epidemiologi yang telah banyak memberikan

semangat, motivasi, saran, serta ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.

10. Kak Ancu dan Kak Marlin selaku pemegang program Penyakit Menular di

Puskesmas UPTD Urusan Puskesmas Kamonji, staf administrasi dan seluruh

jajarannya yang telah memberikan banyak masukan dan kemudahan selama

meneliti.

11. Kepada adik saya, Baim dan Ama yang telah banyak membantu penulis serta

memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

12. Kepada tanteku tercinta Tante Nan, Tante Lina dan Tua yang telah

memberikan semangat serta do’a dan motivasi kepada penulis.

13. Kepada teman-teman seperjuangan ALONE yakni Ana, Zia, Eka, Widi dan

Anggi yang telah memberikan semangat dan membantu penulis untuk

menyelesaikan tugas akhir ini.

14. Kepada kak Puti Andalusia Saringando Banilai, S.KM, kak Rusdi, S.KM dan

Septiani, S.KM yang sudah banyak membantu penulis.

15. Teman-teman Kelas D terima kasih untuk kebersamaan kekeluargaan dan

kebahagiaan yang telah diberikan hingga saat ini.

16. Teman-Teman peminatan Epidemiologi 2017, terima kasih atas semua

dukungan dan doanya.

17. Teman-Teman seperjuangan VERTIN17Y yang telah sama-sama menjalani

setiap proses dalam menempuh pendidikan di FKM UNTAD.

ix
18. Dan orang-orang yang sudah mendukung dan membantu saya yang tidak

dapat saya sebutkan satu-satu namanya. Semoga Allah SWT sembalas

kebaikan kalian.

Teriring do’a yang tulus dari penulis, semoga Allah SWT berkenan

membalas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan dengan amal pahala yang

berlimpah dan keberkahan dalam hidup kepada semua pihak yang telah membantu

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu baik memberikan dukungan materil

maupun imateril kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

Olehnya, kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan untuk

kesempurnaan penulisan ini. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat

bermafaat untuk pembacanya. Aamiin.

Wasssalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Palu, 15 Oktober 2020

Penulis

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
PERNYATAAN PERSETUJUAN SEMINAR SKRIPSI ...................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. iii
PERNYATAAN ..................................................................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
ABSTRACK ............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv
DAFTAR GRAFIK .............................................................................................. xvi
DAFTAR ARTI SIMBOL SINGKATAN .......................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 10
2.1 Tuberkulosis Paru ............................................................................ 10
2.2 Diabetes Melitus .............................................................................. 20
2.3 Hubungan Diabetes Melitus dan TB ................................................ 25
2.4 Faktor Risiko Terjadinya TB-DM ................................................... 27
2.5 Sintesa Penelitian ............................................................................. 48
2.6 Kerangka Teori ................................................................................ 57
BAB III KERANGKA KONSEP.......................................................................... 58
3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti ........................................... 58
3.2 Alur Kerangka Konsep .................................................................... 60

xi
3.3 Definisi Oprasional dan Kriteria Obyektif....................................... 61
3.4 Hipotesis Penelitian ......................................................................... 64
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 65
4.1 Jenis Penelitian ................................................................................ 65
4.2 Alur Penelitian ................................................................................. 66
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 67
4.4 Populasi dan Sampel ........................................................................ 67
4.5 Pengambilan Data ............................................................................ 70
4.6 Analisis Penyajian Data ................................................................... 71
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 74
5.1 Hasil Penelitian ................................................................................ 74
5.2 Pembahasan ..................................................................................... 89
5.3 Keterbatasan Penelitian.................................................................. 113
BAB VI PENUTUP ............................................................................................ 114
6.1 Kesimpulan .................................................................................... 114
6.2 Saran .............................................................................................. 114
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 116
LAMPIRAN ........................................................................................................ 122

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Dosis Rekomendasi Anti TB Kategori I Untuk Dewasa……………. 19

Tabel 2.2 Kriteria Diabetes menurut Kosensus PERKENI……………………. 24

Tabel 2.3 Kategori Indeks Massa Tubuh Menurut Kriteria Asia Pasifik…….... 30

Tabel 2.4 Kategori Indeks Massa Tubuh Menurut Kriteria Amerika Eropa…... 31

Tabel 2.5 Kerangka Teori……………………………………………………… 57

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja


Puskesmas Kamonji Tahun 2020………………………………….. 76

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja


Puskesmas Kamonji Tahun 2020………………………………….. 76

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir di Wilayah


Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020…………………………….. 77

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan di Wilayah


Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020…………………… 78

Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Indeks Massa Tubuh di


Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020…………………… 78

Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Diabetes Melitus di


Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020…………………… 79

Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok di Wilayah


Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020…………………………….. 79

Tabel 5.8 Faktor Risiko Umur Terhadap TB-DM di Wilayah Kerja


Puskesmas Kamonji Tahun 2020…………………………………… 80

Tabel 5.9 Faktor Risiko Indeks Massa Tubuh Terhadap TB-DM di Wilayah
Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020…………………………….. 82

xiii
Tabel 5.10 Faktor Risiko Riwayat Diabetes Melitus Terhadap TB-DM di
Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020…………………… 83
Tabel 5.11 Faktor Risiko Perilaku Merokok Terhadap TB-DM di Wilayah
Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020…………………………… 84

Tabel 5.12 Nilai Signifikan Masing-masing Variabel pada Uji Multivariat……. 85

Tabel 5.13 Hasil Uji Multivariat Model I di Wilayah Kerja Puskesmas


Kamonji Tahun 2020……………………………………………… 86

Tabel 5.14 Hasil Uji Multivariat Model II di Wilayah Kerja Puskesmas


Kamonji Tahun 2020……………………………………………….. 86

Tabel 5.15 Hasil Uji Multivariat Model III di Wilayah Kerja Puskesmas
Kamonji Tahun 2020……………………………………………….. 87

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patogenesis Tuberkulosis .................................................................. 14

Gambar 2.2 Fase 5 infeksi Mycobacterium tuberculosis ...................................... 16

Gambar 2.3 Patafisiologi Diabetes Melitus .......................................................... 23

Gambar 2.4 Kerangka Teori.................................................................................. 57

Gambar 3.1 Alur Kerangka Konsep ...................................................................... 60

Gambar 4.1 Desain Penelitian Case Control ........................................................ 65

Gambar 4.2 Alur Penelitian................................................................................... 66

xv
DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1 Distribusi Responden Menurut Jawaban Pertanyaan Perilaku

Merokok……………………………………………………………. 80

xvi
DAFTAR ARTI SIMBOL SINGKATAN

Simbol/Singkatan Arti Simbol/Singkatan


% Satuan Persen
< Kurang dari
> Lebih dari
≤ Kurang dari atau sama dengan
≥ Lebih dari atau sama dengan
o
C Derajat Celcius
α Alfa
γ Gamma
β Beta
AIDS Acquires Immune Deficiency Syndrom
BTA Basil Tahan Asam
CDR Case Detection Rate
CI Confidance Interval
CMI Cell Mediated Immunity
DM Diabetes Melitus
DMG Diabetes Mellitus Gestational
DNA Deoksiribonuklead Acid
DOTS Direct Observed Treatment Short-course
DTH Delayed Type Hypersensitivity
HIV Human Immunodeficiency Virus
IDF International Diabetes Federation
IFN Interferon
IGF Impaired Glucose Fasting
IGT Impaired Glucose Tolerance
IL Interluekin
IMT Indeks Masa Tubuh
INH Isoniazid

xvii
KEMENKES Kementerian Kesehatan
kg Kilogram
MDG’S Millennium Development Goals
OAT Obat Anti Tuberkulosis
OR Odds Ratio
PERKENI Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
RI Republik Indonesia
RR Risk Ratio
RS Rumah Sakit
RSUD Rumah Sakit Umum Daerah
SDG’S Sustainable Development Goals
TB Tuberkulosis
TBC Tuberculosis
Th Thelper
TLR Toll-Like Receptor
TNF Tumor Necrosis Factor
TTGO Test Toleransi Glukosa Oral
WHO World Health Organization

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Dokumentasi

Lampiran 2 : Jadwal Penelitian

Lampiran 3 : Surat Keterangan

Lampiran 4 : Permohonan Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 5 : Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden

Lampiran 6 : Persetujuan Pengambilan Gambar Responden

Lampiran 7 : Kuesioner Penelitian

Lampiran 8 : Master Tabel

Lampiran 9 : Hasil Analisis Univariat, Bivariat dan Multivariat

xix
BAB I PENDAHULUAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis (TB) masih menjadi beban kesehatan

masyarakat semenjak ditetapkannya TB sebagai global emergency oleh WHO

pada tahun 1992. Berbagai macam upaya penanggulangan dan pencegahan

yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik skala nasional maupun internasional

(Chritianto, 2018). Salah satunya, pada era MDG’S (Millennium Development

Goals) WHO merancang gerakan “STOP TB” dengan DOTS (Direct-

Observed Treatment, Short-course) sebagai salah satu pilar pentingnya.

Namun, semenjak era MDG’S berakhir pada tahun 2015 dan dimulainya era

SDG’S (Sustainable Development Goals) masalah TB masih menjadi

perhatian dunia (Bothamley et al., 2018).

Pergantiaan era MDG’S dengan SDG’S tersebut, program STOP TB

pun digantikan dengan program END-TB. Tujuan dari program END-TB

yakni untuk mengakhiri epidemi TB di seluruh dunia. Program ini memiliki

tiga indikator keberhasilan yakni mengurangnya angka mortalitas TB

sebanyak 95% pada tahun 2035 dibandingkan dengan tahun 2015,

mengurangnya angka insiden TB sebanyak 90% pada tahun 2035

dibandingkan dengan tahun 2015 dan 0 (nol) biaya yang perlu dikeluarkan

oleh penderita TB dalam rangka pengobatan penyakitnya (WHO, 2015).

1
Semenjak program END-TB diberlakukan, penyakit TB pun masih

menjadi salah satu dari 10 penyebab kematian utama di seluruh dunia dan

penyebab pertama kematian akibat satu agen infeksi sebelum HIV/AIDS.

Tuberkulosis (TB) adalah jenis infeksi penyakit menular yang disebabkan

oleh Mycobacterium Tuberculosis. WHO menyatakan bahwa setengah

penduduk dunia mengidap penyakit ini di mana sebagian besar berada di

negara berkembang diantara tahun 2000 sampai 2018 angka mortality rate

dari penyakit TBC sebesar 42%. Menurut laporan WHO, terdapat 10 juta

kasus penderita TB Baru di dunia, kondisi ini lebih baik dibandingkan dengan

laporan WHO tahun 2011 yang menyatakan bahwa jumlah kasus penderita

TB di dunia sebanyak 12 juta atau 178 per 100.000 (WHO, 2019).

Berdasarkan Laporan WHO tahun 2019, angka estimasi tahun 2018

diperkirakan bahwa kasus baru (incident) TB sekitar 10 juta jiwa di seluruh

dunia, di mana 5.7 juta penderita laki-laki, 3.2 juta penderita perempuan dan

1.1 juta penderita anak-anak. Akibat penyakit ini, terdapat 1.5 juta jiwa yang

meninggal dunia (251.000 jiwa diantaranya HIV positif). Sebanyak 8 negara

yang menyumbangkan 66% kasus baru, diantaranya India (27%), China (9%),

Indonesia (8%), Philipina (6%), Pakistan (5%), Nigeria (4%), Bangladesh

(4%) dan Afrika Selatan (3%) (WHO, 2019).

Angka estimasi kasus baru (incident) di Indonesia sebesar 500 per

100.000 penduduk setiap tahunnya (WHO, 2019). Kemenkes RI mencatat,

jumlah kasus TB di Indonesia sebanyak 566.623 kasus bila dibandingkan

dengan data tahun 2017 angka penemuan kasus mengalami peningkatan

2
sebanyak 119.891 kasus dari 446.732 kasus. Jumlah kasus tuberkulosis pada

laki-laki lebih tinggi yaitu 1.3 kali banyak dibandingkan pada perempuan.

Gambaran kasus TB berdasarkan umur, kasus TB terbanyak ditemukan pada

kelompok umur 45-54 tahun sebesar 14.2% diikuti kelompok umur 25-34

tahun sebesar 13.8% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 13.4%

(Kementerian Kesehatan RI, 2019).

Sulawesi Tengah termasuk salah satu Provinsi yang telah dilaporkan

terkait adanya kasus TB, berdasarkan estimasi prevalence dari Case

Detection Rate (CDR) tahun 2018 tercatat sekitar 417/100.000 penduduk

menderita TB semua tipe (Dinas Kesehatan Sulteng, 2019). Kota Palu

merupakan salah satu Kabupaten/Kota yang melaporkan peningkatan kasus

TB BTA+ setiap tahunnya. Tercatat jumlah kasus baru BTA+ yang

ditemukan pada tahun 2017 sebanyak 467 kasus, angka tersebut meningkat

jika dibandingkan dengan jumlah kasus tahun 2016 yaitu 439 kasus.

Gambaran kasus TB BTA+ menurut kelompok jenis kelamin, kasus BTA+

pada laki-laki selalu lebih tinggi daripada perempuan, di mana jumlah

penderita laki-laki sebanyak 289 kasus dan perempuan 178 kasus (Dinas

Kesehatan Kota Palu, 2018).

Setiap hari jumlah kasus pasien TB terus bertambah, diperkirakan

setiap 30 detik terdapat satu orang yang tertular dan setiap jamnya ada 8-12

orang meninggal akibat TB. (Sembiring, 2019). Menurut WHO, diperkirakan

5-10% dari 1.7 miliar orang yang terinfeksi TB akan mengalami

pengembangan penyakit selama hidupnya. Namun terdapat beberapa kriteria

3
populasi yang memiliki risiko lebih besar untuk terinfeksi TB salah satunya

penderita Diabetes Melitus (DM) (Prameyllawati and Saraswati, 2019).

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme yang

dikarenakan meningkatnya kadar gula darah (glukosa) seseorang di dalam

tubuh yang tinggi melebihi batas normal (hyperglycemia) akibat dari

penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau fungsi insulin

(resistan insulin) (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Kadar gula darah yang

tinggi dapat menimbulkan gangguan fungsi imun sehingga menyebabkan

penderitanya rentan terinfeksi TB (Mihardja, Lolog and Ghani, 2015).

Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF), saat ini

terdapat 463 juta kasus Diabetes Melitus di dunia. Gambaran kasus Diabetes

Melitus berdasarkan jenis kelamin, jumlah kumulatif pada laki-laki sebanyak

240 juta kasus dan pada perempuan sebanyak 222 juta kasus. Diperkirakan

pada tahun 2045 jumlah kasus tersebut akan mengalami peningkatan lebih

dari 50%. (International Diabetes Federation, 2019).

Indonesia merupakan salah satu dari 36 negara yang termasuk dalam

anggota International Diabetes Federation, tercatat sebanyak 10 juta

penduduk Indonesia menderita Diabetes Melitus dan angka prevalence

mencapai angka 6.2% (International Diabetes Federation, 2019).

Berdasarkan data Riskesdas 2018 prevalensi Diabetes Melitus di Indonesia

mencapai 2.0% (Kemenkes, 2018). Sedangkan menurut laporan dari 8 Rumah

Sakit di Kota Palu, penderita Diabetes Melitus yang menjalani rawat jalan

pada tahun 2017 sebanyak 5.824 kasus (Dinas Kesehatan Kota Palu, 2018).

4
Prevalensi Diabetes Melitus terus mengalami peningkatan terutama

Diabetes Melitus tipe II. Hal ini disebabkan perubahan gaya hidup, tingginya

angka obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik yang pada umumnya terjadi di

negara-negara yang mulai mengalami industrialisasi (Hoa et al., 2018). Hal

ini juga merupakan salah satu penyebab angka tuberkulosis terus mengalami

peningkatan dan sulit untuk diberantas. Sebab banyak pasien Diabetes

Melitus yang mudah terkena tuberkulosis aktif (Sembiring, 2019).

Tuberkulosis dan Diabetes Melitus merupakan masalah kesehatan,

hubungan keduanya telah banyak dibuktikan dan lebih terjadi di negara

endemik TB dengan beban Diabetes Melitus yang terus meningkat (Baghaei

et al., 2013). TB Paru tidak akan sembuh dengan baik pada penderita diabetes

yang tidak terkontrol. Kedua penyakit ini mempunyai karakteristik yang

berbeda, sehingga sering tidak dapat terdiagnosis dan terapinya sulit,

mengingat interaksi obat TB (OAT) dan obat antidiabetik oral (Rohman,

2018).

Kormorbid TB-DM merupakan timbulnya kedua penyakit pada

individu sehingga orang tersebut dapat menderita Diabetes Melitus terlebih

dahulu kemudian terinfeksi TB ataupun sebaliknya (Prameyllawati and

Saraswati, 2019). Seseorang yang menderita Diabetes Melitus memiliki risiko

3-5 kali lipat untuk terkena Tuberkulosis (Baghaei et al., 2010). Meskipun TB

lebih erat kaitannya dengan penyakit defisiensi imun lainnya seperti HIV,

tetapi jumlah orang dengan diabetes jauh lebih besar. Hal tersebut membuat

5
Diabetes Melitus merupakan faktor risiko yang lebih signifikan untuk TB

pada tingkat populasi (Rohman, 2018).

Studi penelitian mengenai efek Diabetes Melitus pada epidemiologi

TB yang dilakukan di 13 negara beban TB tertinggi menunjukkan bahwa

terdapat 6 juta kasus TB dan 1,1 juta kematian TB dapat dihindari dengan

cara pengendalian Diabetes Melitus (Restrepo, 2016). Penelitian yang

dilakukan di Bali terhadap penderita TB-DM menyebutkan bahwa faktor

risiko kejadian Diabetes Melitus pada penderita TB meliputi umur, jenis

kelamin, pekerjaan, pendidikan, kadar glukosa darah, status gizi, kondisi fisik

rumah, perilaku merokok dan lamanya menderita Diabetes Melitus (Dewi et

al., 2017). Penelitian lainnya yang dilakukan di Vietnam tentang faktor risiko

kejadian TB pada pasien Diabetes Melitus meliputi umur, jenis kelamin,

riwayat Diabetes Melitus, tipe TB dan IMT.

Umur merupakan salah satu dari faktor risiko kejadian TB-DM,

seseorang yang berusia lanjut lebih rentan untuk terkena penyakit infeksi

dikarenakan menurunnya fungsi organ dan menurunnya sistem imunitas

dalam tubuh. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hoa et al (2018) di

Vietnam menyatakan bahwa seseorang yang berumur 45-65 tahun berisiko 6

kali lipat untuk terkena TB-DM.

Status IMT pada penderita TB-DM telah terbukti menjadi faktor risiko

independen untuk TB baik di negara maju maupun berkembang. Salah satu

faktor risiko Diabetes Melitus adalah berat badan yang berlebih (overweight),

namun pasien Diabetes Melitus cenderung mengalami penurunan berat badan

6
seiring dengan perjalanan penyakit. TB paru merupakan salah satu penyakit

kronis yang juga memberikan gejala penurunan berat badan yang signifikan

(Amin and Bahar, 2006). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Nasruddin, Hadi and Pratiwi (2017) menyatakan bahwa seseorang yang

memiliki status gizi kurang (underweight) berisiko 7 kali lebih besar untuk

menderita TB-DM dibandingkan dengan status gizi normal dan lebih.

Salah satu faktor risiko terjadinya TB-DM yaitu adanya riwayat

diabetes mellitus dalam keluarga. Diabetes Melitus cenderung diturunkan

atau diwariskan, bukan ditularkan. Anggota keluarga penderita Diabetes

Melitus memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit sebesar 2-6

kali dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita Diabetes

Melitus (Shabella, 2013). Berdasarkan penelitian Tenaye et al (2019), riwayat

Diabetes Melitus merupakan faktor risiko TB-DM dengan nilai OR 3,14

artinya orang yang memiliki riwayat Diabetes Melitus berisiko 3,14 kali lebih

besar untuk menderita TB-DM.

Perilaku merokok merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya

penyakit kardiovaskular serta penyebab utama lain dari kematian di seluruh

dunia. Studi penelitian menunjukkan hubungan merokok dengan kejadian TB

pertama kali dilaporkan pada tahun 1918 (Wijaya, 2015). Menurut penelitian

yang dilakukan oleh Sharma et al (2019) di Nepal menyatakan bahwa

seseorang yang memiliki perilaku merokok berisiko 2 kali lipat terkena

penyakit TB-DM dibandingkan dengan yang tidak merokok

7
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di

salah satu Puskesmas di Kota Palu yaitu Puskesmas Kamonji. Pasien TB-DM

terus mengalami peningkatan, pada tahun 2019 tercatat 9 pasien TB-DM

sedangkan pada bulan Januari sampai bulan Juni 2020 tercatat sebanyak 18

penderita.

Permasalahan mengenai penyakit TB-DM telah diteliti, namun faktor

risiko kejadian Diabetes Melitus pada penderita TB di Kota Palu belum dikaji

lebih dalam. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian mengenai “Analisis Risiko Kejadian Diabetes

Melitus pada Pasien TB di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Kota Palu”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji

dalam penelitian ini adalah apa saja faktor risiko kejadian Diabetes Melitus

pada pasien TB di Wilayah Kerja Puskemas Kamonji Kota Palu?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis

faktor risiko kejadian TB-DM di wilayah kerja Puskesmas Kamonji

Kota Palu.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk menganalisis umur sebagai faktor risiko TB-DM.

2. Untuk menganalisis IMT sebagai faktor risiko TB-DM.

8
3. Untuk menganalisis riwayat Diabetes Melitus pada keluarga

sebagai faktor risiko TB-DM.

4. Untuk menganalisis perilaku merokok sebagai faktor risiko TB-

DM.

5. Untuk mengetahui faktor risiko yang paling kuat pengaruhnya

dalam kejadian TB-DM di Puskesmas Kamonji Kota Palu.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.2 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan

terkait dengan faktor risiko TB-DM, serta dapat digunakan sebagai

salah satu referensi untuk pengembangan penelitian terkait di masa

yang akan datang.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Puskesmas Kamonji Kota Palu

Sebagai bahan kajian dalam penyusunan program terkait

penanggulangan TB-DM melalui pengendalian faktor risiko

kejadian Diabetes Melitus pada penderita TB.

2. Bagi Penderita Tuberkulosis

Sebagai informasi bagi penderita TB untuk mengubah

gaya hidup menjadi lebih baik sehingga TB-DM tidak terjadi

bersamaan.

9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini mampu hidup selama

berbulan-bulan di tempat yang sejuk dan gelap terutama di tempat

yang lembab. Bakteri TB ini dapat menginfeksi paru-paru namun

dapat pula menginfeksi organ lain seperti tulang, sendi, selaput otak,

kelenjar getah bening dan lainnya. Penyakit TB di luar paru biasa

disebut TB extrapulmoner atau TB Extra Paru (Carolus, 2017; Irianto,

2018).

Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis)

antara lain sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2015):

1. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6

mikron.

2. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl

Neelsen.

3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antaran lain Lowenstein

Jensen, Ogawa.

4. Kuman Nampak berbentuk batang berwarna merah dalam

pemeriksaan dibawah mikroskop.

10
5. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam

jangka waktu lama pada suhu antara 4oC sampai -70oC.

6. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar

ultraviolet.

7. Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar

kuman akan mati dalam waktu beberapa menit.

8. Dalam dahak pada suhu antara 30-70oC akan mati dalam waktu

lebih kurang 1 minggu.

9. Kuman dapat bersifat dormant (“tidur” atau tidak berkembang).

2.1.2. Epidemiologi

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang tertua yang

pernah diidentifikasi dari manusia. Penyakit ini ditemukan sekitar

3400 tahun sebelum masehi, ketika para ilmuwan mendapatkan

gambaran khas tuberkulosis tulang pada mumi seorang anak kecil di

Mesir yang mengalami kelainan karena Tuberkulosis. Gambaran

mikroskopis yang khas ini tidak hanya ditemukan di Mesir namun

terdapat juga di daerah Peru pada masa 700 sebelum masehi didalam

tulang mumi (Koendhori, Kusumaningrum and Mertaniasih, 2013).

Penyakit Tuberkulosis merupakan jenis penyakit yang menjadi

masalah kesehatan dunia, WHO menyatakan bahwa setengah

penduduk dunia mengidap penyakit ini di mana sebagian besar berada

di negara berkembang diantara tahun 2000 sampai 2018 angka

mortality rate dari penyakit TBC sebesar 42%. Menurut laporan

11
WHO, terdapat 10 juta kasus penderita TB Baru di dunia, kondisi ini

lebih baik dibandingkan dengan laporan WHO tahun 2011 yang

menyatakan bahwa jumlah kasus penderita TB di dunia sebanyak 12

juta atau 178 per 100.000 (WHO, 2019).

Berdasarkan Laporan WHO tahun 2019, angka estimasi tahun

2018 diperkirakan bahwa kasus baru (incident) TB sekitar 10 juta jiwa

di seluruh dunia, di mana 5.7 juta penderita laki-laki, 3.2 juta

penderita perempuan dan 1.1 juta penderita anak-anak. Terdapat 8

negara yang menyumbangkan 66% kasus baru diantaranya India

(27%), China (9%), Indonesia (8%), Philipina (6%), Pakistan (5%),

Nigeria (4%), Bangladesh (4%) dan Afrika Selatan (3%) (WHO,

2019).

Menurut laporan Kemenkes RI, pada tahun 2018 ditemukan

jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 566.623 kasus, data ini

mengalami peningkatan setiap tahunnya seperti pada tahun 2017

tercatat 446.732 kasus tuberkulosis di Indonesia. Menurut kelompok

umur, kasus tuberkulosis pada tahun 2018 paling banyak ditemukan

pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebesar 14,2% diikuti

kelompok umur 25-34 tahun sebesar 13,8% dan pada kelompok umur

35-44 tahun sebesar 13,4% (Kementerian Kesehatan RI, 2019).

Penyebab terjadinya peningkatan beban masalah TB yaitu

tingginya kasus kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat

seperti pada negara-negara berkembang, perubahan demografik,

12
dampak pandemik HIV dan kegagalan program TB selama ini

diakibatkan oleh tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan,

organisasi pelayanan TB, tatalaksana kasus, salah persepsi terhadap

manfaat dan efektifitas (Ditjen PPM & PL Depkes, 2016).

2.1.3. Patogenesis

Tuberkulosis paru ditularkan melalui aerosol atau percikan

dahak infeksius (droplet nuclei) yang terhirup masuk saluran

nafas.penularan yang mudah inilah yang mendasari hasil survei yang

dilakukan WHO di beberapa nWilayaegara menghasilkan estimasi

bahwa sepertiga penduduk dunia telah terpapar oleh tuberkulosis

(Koendhori, Kusumaningrum and Mertaniasih, 2013).

Ketika seorang penderita TB batuk atau bersin, ia akan

menyebarkan 3.000 kuman ke udara. Percikan dahak yang amat kecil

ini melayang-layang di udara dan mampu menembus dan bersarang

dalam paru orang-orang disekitarnya. Bagi orang yang memiliki

kekebalan baik, kuman TB yang ada di tubuhnya tidak aktif atau

berada dalam keadaan tidur (dormant). Dengan kondisi demikian,

orang tersebut mengidap infeksi TB laten sehingga tidak ditemukan

gejala apapun (Carolus, 2017).

13
Sumber : Depkes, 2008
Gambar 2.1 Patogenesis Tuberkulosis

Menurut Dewi (2019), daya penularan seorang pasien TB

ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Jumlah bakteri Mycobacterium tuberculosis di dalam paru

maupun droplet di udara sekitar pasien.

2. Efektivitas ventilasi.

3. Lama paparan.

4. Tingkat keganasan galur Mycobacterium tuberculosis.

Sementara itu, terdapat lima fase pada infeksi tuberkulosis

paru, yaitu:

14
1. Fase 1, infeksi TB dimulai ketika Mycobacterium tuberculosis

mencapai alveoli paru. Pada fase ini pertumbuhan Mycobacterium

Tuberculosis tidak terjadi karena Mycobacterium tuberculosis

sering kali telah rusak atau dihambat oleh makrofag alveolar

melalui proses fagositosis. Tidak semua Mycobacterium

tuberculosis dapat dieliminasi, sebagian Mycobacterium

tuberculosis berada dan bermultiplikasi dalam nonaktif makrofag

alveolar.

2. Fase 2, merupakan fase simbiosis. Mycobacterium tuberculosis

bermultiplikasi dalam immanature nonaktivated makrofag

sehingga membentuk lesi yang disebut tubercle. Makrofag

nonaktif masuk ke dalam sirkulasi darah melalui tubercle disebut

monosit. Dua proses utama yang terjadi pada fase simbiosis

adalah:

a. Multiplikasi Mycobacterium tuberculosis tanpa menampakan

kerusakan host.

b. Makrofag dalam terakumulasi terutama di paru.

3. Fase 3, fase saat terjadi nekrosis caseous jumlah Mycobacterium

tuberculosis yang ada menjadi statis sebab pertumbuhan

Mycobacterium tuberculosis dihambat oleh respons imun

melawan tuberculin-like antigens yang dirilis oleh

Mycobacterium tuberculosis.

15
4. Fase 4, merupakan fase pengontrol saat infeksi Mycobacterium

tuberculosis memberikan gejala klinis, CMI memiliki peran

penting pada fase ini. Bila jumlahnya CMI berkurang maka

Mycobacterium tuberculosis keluar dari ujung nekrosis caseous

dan bermultiplikasi serta menjadi aktif.

5. Fase 5, fase liquefaction, Mycobacterium tuberculosis memiliki

kemampuan menghindari respons imun host. Saat liquefaction

makin banyak bentukan sentra caseous Mycobacterium

tuberculosis bermultiplikasi ekstraseluler mencapai jumlah besar

sehingga menyebabkan klinis infeksi miliar atau seluruh tubuh

(Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Fase 5 infeksi Mycobacterium tuberculosis

2.1.4. Gejala Klinis

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-

macam atau malah tanpa keluhan sama sekali (PDPI, 2011). Keluhan

yang terbanyak adalah:

16
1. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi

kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41 Serangan

demam pertama dapat sembuh sebentar, kemudian dapat timbul

kembali begitu seterusnya.

2. Batuk/Batuk Darah

Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya

iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk non- produktif

kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif. Keadaan

lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah

yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi

pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

3. Sesak Nafas

Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah

lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-

paru.

4. Nyeri Dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila

infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan

pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien

menarik/melepaskan nafasnya.

17
5. Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun.

Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia. Gejala malaise

sering ditemukan berupa tidak ada nafsu makan, berat badan

menurun, nyeri otot, keringat malam, dan lain lain. Gejala malaise

ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak

teratur.

2.1.5. Klasifikasi Tuberkulosis

Menurut Koendhori, Kusumaningrum and Mertaniasih (2013),

penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis secara

standar penting untuk penentuan regimen OAT. Klasifikasi penyakit

TB berdasarkan “definisi kasus” meliputi empat hal sebagai berikut:

1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: TB paru atau Ekstraparu.

2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): TB

dengan BTA positif atau BTA negatif.

3. Riwayat pengobatan TB sebelumnya, pasien TB baru atau sedah

pernah diobati.

4. Status HIV pasien, TB ko-infeksi HIV.

2.1.6. Terapi Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan

pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan

rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap

Anti Tuberkulosis (OAT). Anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan

18
untuk tuberkulosis diglongkan atas dua lini, yaitu lini pertama dan

kedua. OAT kategori I adalah rifampicin, isoniazid, pyrazinamide,

ethambutol dan strestomycin. OAT kategori II adalah antibiotic

golongan fluoro-quinolon (ciprofloxasin, ofloxasin, levofloxasin,

mofifloxacin), ethionamide, PAS, cycloserine, amikacin, kanamycin

dan capreomycin (Dewi, 2019).

Tabel 2.1 Dosis Rekomendasi Anti TB Kategori I Untuk Dewasa


Dosis Rekomendasi
Anti TB Harian 3 kali/minggu
Lini I Dosis Maksimum Dosis Maksimum
(mg/kg) (mg) (mg/kg) (mg)
Isoniazid 5 (4-6) 300 1- (8-12) 900
Rifampicin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pyrazinamide 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Ethambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -

Menurut Dewi (2019), pengobatan TB dilakukan dalam 2

tahap, yaitu:

1. Tahap Intensif

a. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap

hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah

terjadi resistensi.

b. Pada tahap ini biasanya pendertia tidak dapat menularkan lagi

bakteri dalam kurun waktu 2 minggu.

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negative

dalam jangka waktu 1-2 bulan.

19
d. Pada terapi katergori I, pasien TB mendapatkan OAT

2HRZE/4H3R3 setiap hari selama 56 hari. Di mana R

(Rifampicin), H (INH), Z (Pyrazinamide) dan E

(Ethambutol).

e. Pada terapi kategori II, pasien TB mendapatkan OAT 2

HRZES/HRZE/5H3R3E3. Selama 56 hari mendapatkan

HRZES (Streptomycin) dan 28 hari mendapatkan HRZE.

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan, pasien mendapat jenis obat yang lebih

sedikit disbanding pada tahap intensif, tetapi pengobatannya

dalam jangka waktu yang lebih lama. Pada tahap ini sangat

penting agar kuman persister (dormant) dapat terbunuh sehingga

mencegah kekambuhan.

Jenis OAT yang diberikan pada tahap ini yaitu :

a. Kategori I, OAT RH selama 16 minggu diminum sebanyak 3

kali seminggu. Dapat ditambahkan 1 bulan terapi sisipan.

b. Kategori II, OAT HRE selama 20 minggu diminum sebanyak

3 kali seminggu.

2.2 Diabetes Melitus

2.2.1. Definisi

Diabetes Melitus adalah ganguan metabolisme yang ditandai

dengan terjadinya hyperglycemia dan intoleransi glukosa. Kondisi ini

timbl dari gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang

20
disebabkan oleh ketidakmampuan pankreas dalam melepaskan

hormon insulin (Sen, De and Chakroborty, 2016). Kadar gula darah

yang tinggi dikeluarkan melalui air seni (urine), sehingga air seni

mengandung gula atau manis sehingga disebut sebagai penyakit

kencing manis. Kencing manis pada akhirnya bisa menimbulkan

komplikasi baik akut maupun kronis (Marewa, 2015).

Diabetes Melitus sering juga disebut sebagai the great

imitator, karena penyakit ini bisa merambah ke seluruh organ tubuh

manusia dan menimbulkan berbagai dampak yang sangat serius baik

itu komplikasi akut ataupun kronis (Marewa, 2015).

2.2.2. Etiologi

Penyebab Diabetes Melitus menurut (Irianto, 2018)

diklasifikasikan menjadi 4 kategori berdasarkan jenisnya, yaitu:

1. Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes Melitus Tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel

beta pankreas aldbat sehingga terjadi reaksi auto imun. Pada tipe

ini hormon insulin tidak diproduksi, sehingga penderita harus

mendapat suntikan insulin setiap hari selama hidupnya atau biasa

disebut dengan istilah Insulin Dependent Diabetes Mellitus

(IDDM) atau Diabetes Melitus yang tergantung pada insulin

untuk mengatur metabolism gula dalam darah.

Diabetes Melitus tipe 1 kebanyakan terjadi pada usia <40

tahun dan kasus di dunia hanya 10% dari populasi penderita

21
Diabetes Melitus. berdasarkan kondisinya, tipe ini merupakan

Diabetes Melitus yang paling parah.

2. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh resistensi hormon

insulin karena jumlah reseptor insulin pada permukaan sel

berkurang. Hal ini menyebabkan glukosa tidak dapat masuk

kedalam sel insulin.

Pada Diabetes Melitus tipe 2 kebanyakan terjadi pada usia

>40 tahun dan kasus di dunia sebanyak 90 dari populasi penderita

Diabetes Melitus, hal ini disebabkan gaya hidup yang tidak sehat

serta faktor keturunan.

3. Diabetes Melitus Spesifik

Diabetes Melitus spesifik disebabkan karena kelainan

genetik spesifik, penyakit pankreas, gangguan endokrin lain, efek

obat-obatan, bahan kimia, infeksi virus dan lain-lain.

4. Diabetes Kehamilan (Gestational)

Diabetes Melitus Gestational (DMG) adalah suatu

gangguan toleransi karbohidrat yang terjadi atau diketahui

pertama kali pada saat kehamilan sedang berlangsung.

2.2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta

pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari

Diabetes Melitus tipe 2. Kegagalan sel beta menjadi lebih dini dan

22
akan menjadi lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Selain otot, liver dan sel beta, terdapat beberapa organ lain dalam

proses patogenesis yaitu: jaringan lemak (meningkatnya lipolysis,

gastrointestinal deficiency incretin), sel alpha pankreas

(hiperglukagomia), ginjal (peningkatan absorbs glukosa) dan otak

(resistensis insulin).

Gambar 2.3 Patafisiologi Diabetes Melitus


Menurut Defronzo dalam PERKENI (2015) menyebutkan

bahwa kedelapan organ tersebut berperan sentral dalam proses

pathogenesis penderita Diabetes Melitus tipe 2 sebagai the ominous

octet (PERKENI, 2015).

2.2.4 Kriteria Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan salah satu penyakit yang banyak

diderita oleh kelompok usia lanjut. Untuk mendiagnosis seseorang

menderita diabetes mellitus, kriteria yang dapat digunakan adalah

23
kriteria berdasarkan PERKENI 2015 (Sarbini, Zulaekah and Isnaeni,

2019).

Tabel 2.2 Kriteria Diabetes menurut Konsensus PERKENI


Belum
Bukan
Kadar Glukosa Pasti Diabetes
Darah Diabetes
Darah Diabetes Melitus
Melitus
Melitus
Kadar glukosa Plasma vena < 100 100-199 ≥ 200
darah sewaktu
Darah kapiler < 90 90-199 ≥ 200
(mg/dl)
Kadar glukosa Plasma vena < 100 100-125 ≥126
darah puasa
Darah kapiler < 90 90-99 ≥100
(mg/dl)

Penegakan Diabetes Melitus dapat dilakukan dengan 3 cara

menurut PERKENI 2015 dalam (Sarbini, Zulaekah and Isnaeni, 2019)

melalui:

1. Ada keluhan klinis dan kadar glukosa plasma sewaktu ≥ 200

mg/dl.

2. Dengan ada tanda klasik dan kadar glukosa plasma puasa ≥ 126

mg/dl.

3. Dengan Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban 75

gram glukosa dan puasa 10 jam. Akan ditemukan IGT (impaired

glucose tolerance) apabila 2 jam 140-199 mg/dl atau IGF

(impaired fasting glucose) apabila plasma puasa berkisar antara

100-125 mg/dl. Diagnosis diabetes apabila glukosa 2 jam pada

TTGO ≥ 200 mg/dl.

24
2.3 Hubungan Diabetes Melitus dan TB

Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko tersering

pada pasien Tuberkulosis (TB) paru. Saat ini, angka prevalensi TB paru terus

mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan angka prevalensi pasien

Diabetes Melitus. Hiperglikemia mengganggu aktivitas innate immunity

tetapi terjadi hiperaktivitas adaptive immunity. Hal ini merugikan pada infeksi

TB, sebab sel Th1 meningkatkan rilis IFN- γ yang memiliki peran dominan

pada reaksi delayed type hypersensitivity (DTH)/ hipersensitif tipe lambat.

Paparan Mycobacterium tuberculosis secara terus-menerus serta

berkelanjutan dan kondisi hiperglikemia dapat mempercepat proses

pembentukan granuloma. Berdasarkan hal tersebut, diduga kerusakan

jaringan paru dan pembentukan kavitas lebih mudah terjadi pada pasien

Diabetes Melitus yang tidak terkontrol (Dewi, 2019).

Intoleransi glukosa akibat TB terjadi melalui mekanisme inflamasi

sehingga terjadi peningkatan sitokin IL-1 dan TNF-α apabila keduanya

mengalami peningkatan maka sitokin IL-1 dan TNF-α akan menstimulus

hormon anti insulin sebagai penyebab intoleransi glukosa. Selain itu,

intoleransi glukosa dapat dikarenakan adanya stress akut maupun inaktifitas

sehingga mendorong sekresi hormon stress (epinefrin, glukagon, kortisol dan

hormon pertumbuhan) yang berdampak pada meningkatnya kadar gula darah

hingga 200 mg/dl (Guptan & Shah dalam Sasmita, 2017).

Disfungsi sel beta pankreas merupakan penyebab lain dari timbulnya

Diabetes Melitus pada penderita TB selain intoleransi glukosa darah.

25
Disfungsi sel beta pankreas atau penurunan sekresi insulin sehingga

jumlahnya tidak adekuat merupakan defek metabolik pada Diabetes Melitus

akibat kompensasi untuk mempertahankan kadar glukosa normal. Disfungsi

sel beta pankreas salah satunya bermanifestasi melalui penumpukan amyloid

pankreas. Amyloid pankreas ini merupakan karakteristik utama pada

penderita Diabetes Melitus, kondisi penempukan protein (amyloid) pada

organ dan/atau jaringan sehingga mengakibatkan timbulnya penyakit disebut

amilodosis. Amilodosis terjadi melalui dua cara, yaitu kuman TB

mengeluarkan toksinnya melalui aliran darah atau kuman TB langsung

menyerang pankreas menyebabkan produksi amyloid pada pankreas yang

selanjutnya dapat menimbulkan Diabetes Melitus (Broxmeyer, 2011).

Sel-sel efektor yang sering berkontribusi terhadap infeksi

Mycobacterium tuberculosis adalah fagosit, yaitu makrofag alveolar,

perkusor monosit dan limfosit sel-T. Makrofag alveolar, berkolaborasi dengan

limfosit sel-T, berperan penting dalam mengeliminasi infeksi tuberkulosis

(Wijaya, 2015). Kondisi hiperglikemia pada penderita Diabetes Melitus

menyebabkan perubahan ekspresi dan sensitivitas TLR terhadap

Mycrobactrium tuberculosis, hal ini menyebabkan makrofag host tidak efektif

melakukan fagositosis (Dewi, 2019).

Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa makrofag alveolar

pada penderita TB paru dengan komplikasi Diabetes Melitus menjadi kurang

teraktivasi. Penurunan kadar respons Th-1, produksi TNF-α, IFN-γ, serta

produksi IL-1 β dan IL-6 juga ditemukan pada penderita TB paru disertai

26
Diabetes Melitus dibandingkan pada penderita TB tanpa Diabetes Melitus.

Penurunan produksi IFN-γ sangat signifikan pada pasien TB paru dengan

Diabetes Melitus tidak terkontrol dibandingkan pada pasien TB paru dengan

Diabetes Melitus terkontrol. Dalam 6 bulan produksi IFN-γ akan kembali

normal, baik pada pasien TB paru maupun pasien TB paru dengan Diabetes

Melitus terkontrol, tetapi produksi IFN-γ akan terus menurun pada pasien TB

paru dengan Diabetes Melitus tidak terkontrol (Wijaya, 2015; Wijayanto et

al., 2015).

2.4 Faktor Risiko Terjadinya TB-DM

2.4.1 Umur

Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam

penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan

maupun kematian di dalam hampir semua keadaan menunjukkan

adanya hubungan dengan umur (Notoatmodjo, 2014). Penderita TB-

DM umumnya terjadi pada umur tua (≥45 tahun). Hal ini disebabkan

berkurangnya fungsi organ tubuh sehingga menyebabkan gangguan

fungsi pankreas dan kerja dari insulin sehingga seorang yang berumur

≥45 tahun memiliki peningkatan risiko terjadinya Diabetes Melitus

dan perkembangan penyakit infeksi. Menurut anjuran PERKENI,

apabila seseorang yang berumur ≥45 tahun harus dilakukan

pemeriksaan glukosa darah (Utami, 2004). Selain itu seseorang yang

berumur lanjut lebih rentan untuk terkana infeksi M. tuberculosis. Hal

ini disebabkan sistem biologi seseorang mengalami penurunan, yang

27
akan merusak sistem barrier dan mekanisme klirens microbial pada

sistem pernafasan (Fauziah, Basyar and Manaf, 2016).

Peningkatan prevalensi TB-DM disebabkan karena pola diet

dan gaya hidup yang tidak sehat yang selama ini dilakukan yang

mendorong terjadinya ketidakpekaan sel terhadap insulin. Akibatnya

kadar glukosa darah akan meningkat. Selain itu, individu yang berusia

lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot

sebesar 35%. Penurunan aktivitas mitokondria ini disebabkan karena

adanya proses apoptosis (mekanisme kematian sel) yang melebihi

replikasi dan neogenesis (pembentukan) sehingga terjadi penurunan

progresif jumlah sel beta pankreas. Hal ini berhubungan dengan

peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% dan memicu terjadinya

resistensi insulin. (Mahendra et al., 2008; Decroli, 2019).

Peningkatan proses apoptosis disebabkan karena adanya faktor

genetik, kadar stress oksidatif pada sel dan peningkatan kadar

metabolit seperti asam lemak bebas yang mengganggu keseimbangan

apoptosis. Peningkatan kadar glukosa berlebih dapat secara langsung

menyebabkan apoptosis pada sel beta pankreas melalui aktivasi fas

lingad yang akan mengaktifkan caspase-3 dan caspase-8, regulator

apoptosis dalam tubuh (Chandra et al., 2001; Meadler et al., 2001).

Selain itu, kondisi hiperglikemia pada penderita Diabetes Melitus

menyebabkan perubahan ekspresi dan sensitivitas TLR terhadap

Mycrobactrium tuberculosis, hal ini menyebabkan makrofag host

28
tidak efektif melakukan fagositosis. Proses fagositosis sangat berperan

penting dalam mengeliminasi bakteri Mycobacterium tuberculosis

(Dewi, 2019).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi et

al (2017), menyatakan adanya hubungan antara umur dengan kejadian

TB-DM di Kota Denpasar dengan nilai p = 0,027 selain itu seseorang

yang berumur <60 tahun berisiko 7,47 kali lipat terkena TB-DM

(Dewi et al., 2017). Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh

Hoa et al (2018) di Vietnam menyatakan bahwa seseorang yang

berumur 45-65 tahun berisiko 6 kali lipat untuk terkena TB-DM.

2.4.2 Indeks Massa Tubuh (IMT)

1. Pengertian Indes Massa Tubuh

Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari

perhitungan antara berat badan (BB) dan tinggi badan (TB)

seseorang. Penggunaan rumus ini hanya dapat diterapkan pada

seorang dengan usia 18 hingga 70 tahun, dengan struktur tulang

belakang normal, bukan atlet atau binaragawan, dan bukan ibu

hamil atau menyusui. IMT dipercayai dapat menjadi indikator

atau menggambarkan kadar adipositas dalam tubuh seseorang

(Setyawati and Hartini, 2018).

IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi

penelitian menunjukkan bahwa IMT berkorelasi dengan

pengukuran secara tidak langsung lemak tubuh seperti

29
underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry. IMT

merupakan alternatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh

karena murah serta metode skirining kategori berat badan yang

mudah dilakukan (Setyawati and Hartini, 2018).

Berdasakan metode pengukuran IMT menurut WHO 2011

dalam (Setyawati and Hartini, 2018), untuk menentukan indeks

massa tubuh maka dilakukan dengan cara responden diukur

terlebih dahulu berat badannya dengan timbangan kemudian

diukur tinggi badannya dan dimasukkan ke dalam rumus dibawah

ini:

Berat badan (kg)


IMT = Tinggi badan (𝑚2 )

2. Kategori Indeks Massa Tubuh

Hasil dari perhitungan IMT, kemudian dikategorikan

untuk menentukan status gizi seseorang.

Tabel 2.3 Kategori Indeks Massa Tubuh menurut Kriteria


Asia Pasifik

Kategori Indeks Massa Tubuh ( kg/m2)


Underweight <18.5
Normal 18.5 – 22.9
Overweight 23.0 – 24.9
Obese I 25.0 – 29.9
Obese II ≥ 30

30
Tabel 2.4 Kategori Indeks Massa Tubuh menurut Kriteria
Amerika Eropa
Kategori BMI (kg/m2) Risiko Cormorbiditas
Rendah (tetapi risiko
terhadap masalah-
Underweight <18.5
masalah klinis lain
meningkat)
Batas Normal 18.5 – 24.9 Rata-rata
Overweight ≥ 25
Pre-obese 25.0 – 29.9 Meningkat
Obese I 30.0 – 34.9 Sedang
Obese II 35.0 – 39.9 Berbahaya
Obese III ≥ 40.0 Sangat berbahaya

3. Indeks Massa Tubuh sebagai Faktor Risiko TB-DM

Status gizi kurang (underweight) dapat mengakibatkan

individu rentan terhadap infeksi, salah satunya tuberkulosis.

Penyakit tuberkulosis menyebabkan gangguan absorbsi gizi

sehingga banyak zat gizi yang harusnya bermanfaat namun tidak

diserap oleh tubuh, ini yang mengakibatkan tubuh penderita

tuberkulosis sangat kekurangan gizi atau underweight dan tidak

disokong dengan energi. Keadaan ini yang dapat meningkat

seseorang menderita tuberkulosis dan infeksi sekunder lainnya

(Sembiring, 2019).

Status IMT pada penderita TB-DM telah terbukti menjadi

faktor risiko independen untuk TB baik di negara maju maupun

berkembang. Salah satu faktor risiko Diabetes Melitus adalah

31
berat badan yang berlebih (overweight), namun pasien Diabetes

Melitus cenderung mengalami penurunan berat badan seiring

dengan perjalanan penyakit. TB paru merupakan salah satu

penyakit kronis yang juga memberikan gejala penurunan berat

badan yang signifikan (Amin and Bahar, 2006). Penurunan berat

badan terjadi karena Mycobacterium tuberculosis akan

mengaktifasi makrofag, pengaktifan makrofag ini dapat melalui

berbagai perangsangan antara lain (1) fagositosis; (2) kontak

reseptor dengan partikel antigen eksogen; (3) akibat dipicu oleh

sitokin yang dilepaskan oleh sel T-helper (Th). Setelah

mengaktifkan makrofag oleh IFN-γ maka akan diproduksinya

pirogen endogen IL-1, IL-4,IL-6 (sebagai tanda bahaya apabila

tidak terjadi reaksi fagositosis) dan TNF-α yang akan menyebar

ke pembuluh darah sistemik dan menembus masuk

hematoencephalic barrier dan bereaksi terhadap hipotalamus

(Wedhani, 2011; Dewi, 2019).

Efek sitokin pirogen endogen pada hipotalamus

menyebabkan produksi prostaglandin. Prostaglandin ini akan

merangsang cortex cerebal (respon behavioral) sehingga nafsu

makan menurun dan hormon leptin (mengatur metabolisme dan

nafsu makan) mengalami peningkatan sehingga menimbulkan

supresi atau penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu makan ini

akan mengakibatkan daya tahan tubuh menurun karena tidak

32
terpenuhinya kebutuhan gizi sehingga seseorang akan lebih

mudah terserang penyakit (Ramzie, 2010; Wedhani, 2011).

Menurut Aesharyanto and Kawijaya (2011), penurunan

berat badan pada penderita Diabetes Melitus yang memiliki

infeksi Tuberkulosis karena terjadi defek sekresi insulin (insulin

kurang) maupun adanya gangguan kerja insulin (resistensi

insulin) mengakibatkan glukosa darah tidak dapat masuk ke

dalam sel otot dan jaringan lemak. Akibatnya untuk memperoleh

sumber energi untuk kelangsungan hidup dan menjalankan

fungsinya, maka otot dan jaringan lemak akan memecahkan

cadangan energi yang terdapat dalam dirinya sendiri melalui

proses glikogenolisis dan lipolisis. Proses glikogenolisis dan

lipolisis yang berlangsung terus menerus pada akhirnya

menyebabkan massa otot dan jaringan lemak akan berkurang dan

terjadilah penurunan berat badan. Penurunan berat badan tersebut

dapat menjadikan status IMT penderita berubah dari kelompok

overweight menjadi kelompok normoweight atau underweight.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Lusiani (2019), menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan

antara status IMT yang kurang dengan kejadian TB-DM di RSUD

Dr. Soetomo Surabaya dan di Poli Paru RS Swasta Surabaya,

dengan nilai p = 0,038. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh

Nasruddin, Hadi and Pratiwi (2017) menyatakan bahwa seseorang

33
yang memiliki status gizi kurang (underweight) berisiko 7 kali

lebih besar untuk menderita TB-DM dibandingkan dengan status

gizi normal dan lebih.

2.4.3 Riwayat Diabetes Mellitus

Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam

diri manusia yang dibawa sejak lahir, keturunan adalah faktor resiko

yang tidak mungkin dihindari (Setyawan, 2019). Diabetes Melitus

cenderung diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Anggota

keluarga penderita Diabetes Melitus memiliki kemungkinan lebih

besar terserang penyakit sebesar 2-6 kali dibandingakan dengan

anggota keluarga yang tidak menderita Diabetes Melitus (Shabella,

2013).

Anak yang lahir dari orangtua penderita Diabetes Melitus

(DM) akan mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan dengan anak

yang lahir dari orang tua bukan penderita Diabetes Melitus. Apabila

seseorang yang memiliki riwayat Diabetes Melitus tidak mengatur

dietnya dan tidak melakukan berbagai macam upaya pencegahan,

maka faktor genetik itu akan berkembang menjadi faktor risiko

Diabetes Melitus pada dirinya (Setyawan, 2019). Kondisi ini juga

akan memperparah sistem imun tubuh, sehingga paru-paru menjadi

rentan terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis (Broxmeyer,

2011).

34
Secara genetik terdapat dua patofisiologi yang mendasari

terjadinya Diabetes Melitus, yaitu:

1. Resistensi Insulin

Resistensi insulin merupakan kondisi umum bagi orang-

orang dengan berat badan overweight. Insulin tidak dapat bekerja

secara optimal di sel otot, lemak dan hati sehingga memaksa

pankreas mengkompensasi untuk memproduksi insulin lebih

banyak. Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak

adekuat guna mengkompensasi peningkatan resistensi insulin,

maka kadar glukosa darah akan meningkat, pada saatnya akan

terjadi hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik pada Diabetes

Melitus tipe 2 semakin merusak sel beta dan memperburuk

resistensi insulin sehingga penyak Diabetes Melitus tipe 2 semakin

progresif (Decroli, 2019).

Secara klinis, resistensi insulin adalah adanya konsentrasi

insulin yang lebih tinggi dari normal yang dibutuhkan untuk

mempertahankan normoglikemia. Pada tingkat seluler, resistensi

insulin menunjukan kemampuan yang tidak adekuat dari insulin

signaling mulai dari pre-reseptor, reseptor, dan post reseptor.

Secara molekuler beberapa faktor yang diduga terlibat dalam

patogenesis resistensi insulin antara lain, perubahan pada protein

kinase B, mutasi protein Insulin Receptor Substrate (IRS),

peningkatan fosforilasi serin dari protein IRS, Phopatidylinositol 3

35
Kinase (PI-3 Kinase), protein kinase C dan mekanisme molekuler

dari inhibisi trasnskripsi gen IR (Insulin Receptor) (Decroli, 2019).

2. Disfungsi Sel Beta Pankreas

Pada perjalanan penyakit Diabetes Melitus terjadi

penurunan fungsi sel beta pankreas dan peningkatan resistensi

insulin yang berlanjut sehingga terjadi hiperglikemia kronik dengan

segala dampaknya. Hiperglikemia kronik juga berdampak

memperburuk disfungsi sel beta pankreas (Decroli, 2019).

Sebelum diagnosis Diabetes Melitus ditegakkan, sel beta

pankreas dapat memproduksi insulin secukupnya untuk

mengkompensasi peningkatan resistensi insulin. Pada saat

diagnosis Diabetes Melitus ditegakkan, sel beta pankreas tidak

dapat memproduksi insulin yang adekuat untuk mengkompensasi

peningkatan resistensi insulin oleh karena pada saat itu fungsi sel

beta pankreas yang normal tinggal 50%. Pada tahap lanjut dari

perjalanan Diabetes Melitus, sel beta pankreas diganti dengan

jaringan amiloid, akibatnya produksi insulin mengalami penurunan

sedemikian rupa, sehingga secara klinis Diabetes Melitus sudah

menyerupai Diabetes Melitus yaitu kekurangan insulin secara

absolut (Decroli, 2019).

Sel beta pankreas merupakan sel yang sangat penting di

antara sel lainnya seperti sel alfa, sel delta, dan sel jaringan ikat

pada pankreas. Disfungsi sel beta pankreas terjadi akibat kombinasi

36
faktor genetik dan faktor lingkungan. Jumlah dan kualitas sel beta

pankreas dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain proses

regenerasi dan kelangsungan hidup sel beta itu sendiri, mekanisme

selular sebagai pengatur sel beta, kemampuan adaptasi sel beta

ataupun kegagalan mengkompensasi beban metabolik dan proses

apoptosis sel (Decroli, 2019).

Pada orang dewasa, sel beta memiliki waktu hidup 60 hari.

Pada kondisi normal, 0,5 % sel beta mengalami apoptosis tetapi

diimbangi dengan replikasi dan neogenesis. Normalnya, ukuran sel

beta relatif konstan sehingga jumlah sel beta dipertahankan pada

kadar optimal selama masa dewasa. Seiring dengan bertambahnya

usia, jumlah sel beta akan menurun karena proses apoptosis

melebihi replikasi dan neogenesis. Hal ini menjelaskan mengapa

orang tua lebih rentan terhadap terjadinya Diabetes Melitus

(Decroli, 2019).

Pada masa dewasa, jumlah sel beta bersifat adaptif terhadap

perubahan homeostasis metabolik. Jumlah sel beta dapat

beradaptasi terhadap peningkatan beban metabolik yang

disebabkan oleh obesitas dan resistensi insulin. Peningkatan jumlah

sel beta ini terjadi melalui peningkatan replikasi dan neogenesis,

serta hipertrofi sel beta (Decroli, 2019).

Ada beberapa teori yang menerangkan bagaimana

terjadinya kerusakan sel beta, diantaranya adalah teori

37
glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan penumpukan amiloid. Efek

hiperglikemia terhadap sel beta pankreas dapat muncul dalam

beberapa bentuk. Pertama adalah desensitasi sel beta pankreas,

yaitu gangguan sementara sel beta yang dirangsang oleh

hiperglikemia yang berulang. Keadaan ini akan kembali normal

bila glukosa darah dinormalkan. Kedua adalah ausnya sel beta

pankreas yang merupakan kelainan yang masih reversibel dan

terjadi lebih dini dibandingkan glukotoksisitas. Ketiga adalah

kerusakan sel beta yang menetap (Decroli, 2019).

Pada Diabetes Melitus, sel beta pankreas yang terpajan

dengan hiperglikemia akan memproduksi reactive oxygen species

(ROS). Peningkatan ROS yang berlebihan akan menyebabkan

kerusakan sel beta pankreas. Hiperglikemia kronik merupakan

keadaan yang dapat menyebabkan berkurangnya sintesis dan

sekresi insulin di satu sisi dan merusak sel beta secara gradual

(Decroli, 2019).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Raghuraman et al (2014), menyatakan adanya hubungan riwayat

Diabetes Melitus pada keluarga dengan kejadian Diabetes Melitus

pada penderita TB di India. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh

Hoa et al (2018) di Vietnam menyatakan seseorang yang memiliki

riwayat Diabetes Melitus pada keluarga berisiko 2,35 kali berisiko

38
menderita TB-DM dibandingkan yang tidak memiliki riwayat

penyakit Diabetes Melitus pada keluarga.

2.4.4 Perilaku Merokok

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons

seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan

penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan.

Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respons dan stimulus

atau perangsang (Notoatmodjo, 2014).

Respons atau reaksi manusia terdiri dari dua jenis yaitu

respons pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap) dan respons aktif

(tindakan yang nyata atau praktis). Sedangkan stimulus atau

rangsangan disini terdiri dari empat unsur pokok yaitu sakit dan

penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan linkungan (Notoatmodjo,

2014).

Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat

diketahui melalui persepsi. Persepsi adalah sebagai pengalaman yang

dihasilkan melalui panca indra. Faktor-faktor yang mempengaruhi

terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua, yaitu (1) Faktor Intern

(pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya

yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar) (2) Faktor

Ekstern (iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan dan sebagainya)

(Notoatmodjo, 2014).

39
Menurut Smet tahun 2013 dalam bukunya Management of

Affect Theory (Romlah, 2015), terdapat beberapa jenis perilaku

merokok yaitu:

1. Perilaku perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif

Pleasure relaxation adalah perilaku merokok hanya untuk

menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah di dapat;

Stimulation to pick them up adalah perilaku merokok yang hanya

dilakukan sekedar untuk menyenangkan perasaan; Pleasure of

handling the cigarette adalah perilaku merokok berdasarkan

kenikmatan yang diperoleh dari memegang rokok.

2. Perilaku perokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif

Perilaku ini dilakukan oleh seorang perokok untuk

menghilangkan perasaan negatif dalam dirinya. Misalnya

seseorang akan merokok apabila marah, cemas, gelisah sehingga

mereka menganggap rokok sebagai penyelamat.

3. Perilaku perokok yang adiktif

Jenis perilaku ini perokok sudah mengalami adiksi, sehingga

mereka menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah

efek dari rokok yang dihisapnya berkurang.

4. Perilaku merokok yang sudah jadi kebiasaan

Mereka menggunakan rokok sama sekali bukan karena untuk

mengendalikan perasaan, tetapi karena efek dari zat-zat adiktif

40
dalam rokok yang membuat perokok menjadi kecanduaan atau

kebiasaan.

Perilaku merokok merupakan faktor risiko penting untuk

terjadinya penyakit kardiovaskular serta penyebab utama lain dari

kematian di seluruh dunia. Studi penelitian menunjukkan hubungan

merokok dengan kejadian TB pertama kali dilaporkan pada tahun

1918 (Wijaya, 2015). Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Sharma, Babita et al (2019) di Nepal menyatakan bahwa seseorang

yang memiliki perilaku merokok berisiko 2 kali lipat terkena penyakit

TB-DM dibandingkan dengan yang tidak merokok

Kondisi TB-DM semakin parah jika dilihat dari status

merokok, jumlah rokok yang dihisap dan lamanya seseorang merokok.

1. Status Merokok

Merokok menyebabkan inflamasi dan stress oksidatif pada

sel tubuh menyebabkan terganggunya fungsi sel sehingga

meningkatkan risiko terkena Diabetes Melitus (Thapa, Paudel and

Thapa, 2015). Menurut Yufang, dkk (2012) dalam menyatakan

bahwa terdapat beberapa mekanisme yang berkontribusi pada

hubungan antara merokok dengan Diabetes Melitus tipe 2.

Perokok aktif cenderung lebih kurus dibandingkan dengan orang

yang tidak merokok, namun perokok akan cenderung mengalami

peningkatan berat badan ketika mereka berhenti merokok.

41
Status merokok seseorang dapat dibagi menjadi beberapa

golongan tergantung pada jumlah rokok yang dikonsumsi.

Menurut Kemenkes RI (2012), klasifikasi atau golongan perokok

yaitu:

a. Tidak merokok

b. Merokok ringan (tidak setiap hari)

c. Merokok sedang (merokok setiap hari dalam jangka kecil)

d. Merokok berat (merokok lebih dari satu bungkus tiap hari)

e. Berhenti merokok/pernah merokok

Menurut Dicpinigaitis tahun 2003 dalam Brahmadhi and

Annisa (2016), menyatakan bahwa gambaran gejala klinik

penderita yang perokok selalu lebih tinggi dari pada bukan

perokok. Peluang batuk lebih tinggi pada perokok dibandingkan

bukan perokok. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan

sensitivitas batuk seseorang, batuk dihasilkan dari stimulasi

reseptor sensorik dalam traktus respiratorius yang disebabkan

oleh zat adiktif yang terkandung dalam rokok yaitu Tar.

Janson menyebutkan bahwa pajanan asap rokok dapat

berisiko mengakibatkan penurunan aktivitas mukosiliar epitel,

penurunan bersihan partikel asing oleh epital dan abnormalitas

permeabilitas vascular dapat meningkatkan risiko seseorang

terinfeksi TB. Menurut International Union Against Tuberculosis

and Lung Disease (IUATLD) menyatakan bahwa pajanan asap

42
rokok berhubungan dengan risiko penularan TB paru, terutama

pajanan asap sekunder (secondhand smoke) (Romlah, 2015).

Paparan asap rokok yang terus-menurus dapat merusak

mekanisme pertahan paru. Bulu-bulu getar dan alat lain yang ada

di paru rusak akibat asap rokok sehingga memudahkan masuknya

kuman TB. Selain itu, masuknya kuman TB dapat merusak

sebagian mekanisme pertahanan paru sehingga mengganggu

kebersihan mukosillier dan mengakibatkan terjadinya penurunan

fungsi makrofag alveolar paru untuk fagositosis (Riza and

Sukendra, 2017).

Kandungan asap rokok yaitu nikotin dapat juga

mempengaruhi penurunan kadar oksigen di dalam darah karena

naiknya kadar karbon monoksida, meningkatkan jumlah asam

lemak, glukosa, kortisol dan hormon lainnya di dalam darah.

Selain itu, zat nikotin dapat memicu apoptosis dari sel beta

pankreas sehingga proses produksi insulin menjadi terganggu.

Apabila hormon kortisol bekerja terus menurus untuk memecah

glukosa dan tidak disertai dengan pengeluaran insulin yang cukup

untuk mengaturnya maka kadar glukosa dalam tubuh menjadi

tidak terkontrol (Sherwood, 2012).

Risiko orang yang merokok sebesar 30-40% lebih tinggi

untuk terkena Diabetes Melitus dibandingkan orang yang tidak

merokok (Thapa, Paudel and Thapa, 2015). Menurut penelitian

43
Zhang et al (2011), menunjukkan bahwa paparan asap rokok pada

perokok pasif dan merokok aktif secara positif dan secara

independen terkait dengan risiko Diabetes Melitus tipe 2. Perokok

pasif menghisap rokok 75% dari asap rokok yang dikeluarkan

oleh perokok aktif (Kemenkes RI, 2010).

2. Jumlah Rokok yang dihisap

Teori dose respons relationship menyatakan bahwa semakin

banyak pajanan yang masuk ke dalam tubuh maka semakin tinggi

pula risikonya dan semakin berat pula efek yang ditimbulkan

(Kamaura et al., 2011). Jumlah rokok yang dihisap sejalan dengan

teori tersebut, semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap

makan nikotin dalam darah juga semakin banyak.

Secara farmakologi, konsentrasi nikotin biasanya sekitar 5%

dari 100 gram berat tembakau. Satu batang rokok biasanya

mengandung 8-20 mg nikotin. Tubuh mampu menyerap 1 mg

nikotin untuk satu batang rokok yang dihisap. Kadar nikotin 4-6

mg yang diisap oleh orang dewasa setiap hari sudah membuat

seseorang ketagihan. Kadar nikotin yang banyak juga

berpengaruh pada banyaknya pelepasan hormon kortisol

(Romlah, 2015).

Hormon kortisol merupakan hormon antagonosis insulin.

Hormon inilah yang memicu pemecahan glukosa terus menurus

karena hormon ini bertugas untuk merangsang proses

44
glikogenolisis di hati dan gluconeogenesis di otot dan lemak

sehingga kerja insulin akan terganggu. Akibatnya sel beta

pankreas akan merespons dengan memproduksi dan melepaskan

insulin lebih banyak (Sherwood, 2012). Selain itu, nikotin yang

terdapat dalam rokok menyebabkan resistensi reseptor insulin dan

menghambat sekresi insulin sehingga dapat meningkatakan kadar

glukosa darah (Bergman et al., 2012). Nikotin juga dapat

menyebabkan penurunan sekresi dari insulin dengan mekanisme

nikotin menempel di nicotinic acetylcholine receptor (nAChRs)

pada sel beta pankreas (Bergman et al., 2012).

Menurut Kemenkes RI (2012), klasifikasi atau golongan

status perokok berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap

setiap harinya yaitu:

a. Perokok ringan (1-10 batang perhari)

b. Perokok sedang (11-20 batang perhari)

c. Perokok berat (lebih dari 20 batang perhari)

3. Lama Merokok

Lamanya merokok didefinisikan dari usia awal merokok

sampai saat berhenti merokok. Menurut Chen et al 1995 dalam

(Afiati, 2015), membagi durasi merokok yakni:

a. Perokok ringan (1-9 tahun)

b. Perokok sedang (10-19 tahun)

c. Perokok berat (>20 tahun)

45
Lama merokok merupakan faktor risiko terhadap masuknya

Mycobacterium tuberculosis karena paparan kronis nikotin dalam

asap rokok dapat merusak makrofag alveolar paru-paru sehingga

mempengaruhi limfosit sel T yang berfungsi membedakan jenis

pathogen dan berfungsi dalam meningkatkan kekebalan setiap

kali tubuh terpapar oleh pathogen (Achmadi dalam Sasmita,

2017). Selain itu, paparan yang cukup lama dari nikotin

mengakibatkan penurunan sekresi insulin.

Salah satu kandungan rokok yang berbahaya bagi tubuh yaitu

Karbon Monoksida. Karbon monoksida adalah suatu zat yang

beracun yang tidak berwarna dan tidak berbau. Gas Karbon

monoksida mempunyai kemampuan yang lebih kuat

dibandingkan oksigen untuk mengikat hemoglobin dalam sel

darah merah, sehingga membuat sel darah merah kekurangan

oksigen (Kemenkes RI, 2012).

Sel tubuh yang kekurangan oksigen akan melakukan spasme

(menciutkan pembuluh darah). Apabila proses ini terjadi dalam

kurun waktu yang lama, maka pembuluh darah akan mudah rusak

dengan terjadinya proses penyempitan. Dampak yang lebih parah

akibat dari terpaparnya zat Karbon monoksida dapat

menyebabkan hilangnya kesadaran sampai meninggal. Pada

saluran pernafasan kecil, terjadi radang ringan hingga

penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lender.

46
Pada jaringan paru, terjadi peningkatan sel radang dan kerusakan

alveoli (Kemenkes RI, 2012).

47
2.5 Sintesa Penelitian

Tabel 2.4 Tabel Sintesa Penelitian


Peneliti Karakteristik
No Judul Hasil
(Tahun) Subjek Instrumen Metode
Hasil penelitian
menunjukkan faktor risiko
dari TB-DM di Kota
Risk factors of
Penelitian ini Denpasar yaitu:
pulmonary Pasien Diabetes
menggunakan 1. Karakteristik sosio-
D.P. Risma Dewi tuberculosis among Melitus disertai
1. Kuesioner pendekatan demografi (umur,
et al (2017) diabetes mellitus TB dan tanpa
Case Control domisili, pendidikan,
patients in Denpasar disertai TB
Study pekerjaan)
City
2. Kontrol glukosa rendah
3. Status gizi
4. Lingkungan fisik rumah
Faktor Risiko Pasien Diabetes Jenis Hasil penelitian
Lusiani, Etik Terjadinya Melitus di Poli penelitian menunjukkan variebel IMT
2 Kuesioner
(2019) Manifestasi TB Paru Endokrin RSUD observasional (p=0,038) dan praktik
pada Penderita Dr. Soetomo dengan pengendalian Diabetes

48
Diabetes Melitus Surabaya dan di pendekatan Melitus (p=0.002) pada
Tipe 2 dengan Tes Poli Paru RS Case Control penderita Diabetes Melitus
Mantoux Positif Swasta di Study tipe 2
Surabaya Sedangkan variabel
jenis kelamin (p=0.295),
usia (p=1.000), pendidikan
(p=0.119), pekerjaan
(p=1.000), lamanya
menderita Diabetes Melitus
(p=0.784), riwayat
pengobatan Diabetes
Melitus (p=0.458), riwayat
merokok (p=1.000), HbA1c
(0.195) dengan kejadian TB
paru pada penderita
Diabetes Melitus tipe 2
Nasruddin, Analisis Faktor- Pasien TB di RS Rekam Penelitian ini Hasil penelitian yang
3. Hermiaty et al Faktor Risiko RS Ibnu Sina Medik 2015- merupakan menunjukkan faktor yang
(2017) Terjadinya TB Paru Makassar. 2016 penelitian berisiko terhadap kejadian

49
pada Pasien Diabetes analitik TB-DM yaitu status gizi
Melitus Tipe 2 di RS deskriptif (p=0.035) dan riwayat
Ibnu Sina Makassar dengan kontak TB Paru (p=0.000).
pendekatan Sedangkan yang tidak
cross sectional menjadi faktor risiko dari
dengan kejadian TB-DM yaitu jenis
menggunakan kelamin (p=0.573), umur
teknik total (p=0.717), riwayat
sampling. merokok (p=0.390), lama
menderita Diabetes Melitus
(P=0.962), dan HbA1C
(p=0.352)
Faktor risiko Diabetes
Prevalence and Penelitian ini
Melitus pada penderita TB,
Associated Factors Pasien TB-DM menggunakan
yaitu:
Hoa, N.B et al of Diabetes Mellitus di Hospital pendekatan
4. Rekam medik 1. Umur (<0.001)
(2018) Among Tuberculosis National Lung, Cross
2. Jenis Kelamin (0.007)
Patients in Hanoi, Hanoi Sectional
3. Riwayat Diabetes
Vietnam Study
Melitus di Keluarga

50
(<0.001)
Sedangkan variabel
yang tidak menjadi faktor
risiko TB-DM yaitu
perilaku merokok, IMT dan
tingkat pendidikan.

Faktor risiko Diabetes


Melitus pada penderita TB,
Glycemic Control Masyarakat Penelitian ini
yaitu:
Lee, Pin-Hui et al and Risk Of yang dilakukan menggunakan
5. Kuesioner 1. Umur (<0.001)
(2016) Tuberculosis: A Screening di pendekatan
2. Jenis Kelamin (<0.001)
Cohort Study New Taipei City Cohort Study
3. IMT (<0.001)

Prevalence of Pasien TB Paru Penelitian ini Hasil penelitian ini


Diabetes Mellitus dan TB menggunakan menunjukkan faktor risiko
Pande, Tripti et al Rekam
6. Amongst Extraparu di RS pendekatan yang berhubungan pada
(2018) Medik
Hospitalized Kasturba, Resrospektif penderita TB-DM adalah
Tuberculosis Manipal Cohort Study Umur, TB Extraparu, dan

51
Patients at an Indian Underweight.
Tertiary Care
Center: A
descriptive Analysis
Hasil penelitian ini
Penelitian ini menunjukkan faktor risiko
Faktor Terjadinya Pasien Diabetes menggunakan yang berhubungan pada
Wijayanto et al TB Paru pada Pasien Melitus disertai pendekatan penderita TB-DM adalah
7. Kuesioner
(2015) Diabetes Melitus TB dan tanpa Cross kontak dengan penderita
Tipe 2 TB Sectional TB, IMT kurang, lama
Study menderita Diabetes Melitus
<1 tahun dan HbA1c >8.
Populasi dalam Instrument Dalam penelitian ini
Diabetes Mellitus Penelitian ini
penelitian ini yang variabel yang berisiko
among Adult menggunakan
adalah 463 digunakan Diabetes Melitus pada
Tenaye, Lucy et Tuberculosis pendekatan
8. pasien TB di dalam penderita TB yaitu: umur
al (2019) Patients Attending Cross
semua Klinik penelitian ini ≥41 tahun (OR = 9,95 CI:
Tuberculosis Clinics Sectional
TB Kota adalah (1.9,44.4)); riwayat keluarga
in Eastern Ethiopia Study
Diredawa kuesioner, diabetes mellitus (OR

52
alat =3.14, 95% CI: (1.23,8.02)).
antropometri
dan alat tes
gula
Instrument Variabel yang berisiko
Sampel populasi
yang untuk terkena TB-DM yaitu:
dari penelitian
digunakan alkohol (OR = 12.307,
ini semua pasien
dalam Penelitian ini 2.856-57.067); riwayat
Study of the TB yang berusia
penelitian ini menggunakan keluarga Diabetes Melitus
magnitude of 15 tahun dan
yakni pendekatan (OR = 2.463, 0.638-10.024);
diabetes and its terdaftar di
kuesioner Cross merokok (OR = 2.247,
Sharma, Babita et associated risk National
9. yang berbasis Sectional 0.728-11.948).
al (2019) factors among the Tuberculosis
WHO- Study selama 6
tuberculosis patients Control
STEPS di bulan (1 Sep
of Morang, Eastern Program dan
mana berisi 2018- 28 Feb
Nepal sementara
data sosio- 2019)
melakukan
demografi
pengobatan
dan faktor
selama 2 bulan.
risiko

53
perilaku;
Global
Physical
Activity
Questionnair
e (GPAQ)
yang berasal
dari WHO;
dan kuesioner
dari DASS-
21 untuk
variabel
stress
Risk of tuberculosis Jumlah sampel Instrument Penelitian ini Variabel yang
in patients with TB-DM (kasus) yang menggunakan merupakan faktor risiko dari
Pealing, Louise et diabetes: population sebanyak digunakan pendekatan TB-DM yakni: umur (RR =
10.
al (2015) based cohort study 222,731 pasien dalam Cohort Study 1.03, 1.02-1.04); perokok
using the UK dan sebanyak penelitian ini dari tahun aktif (RR = 1.67, 1.27-
Clinical Practice 1,218,616 berupa 1990-2013. 2.19); alkohol (RR = 1.04,

54
Research Datalink pasien TB tanpa kuesioner dan 0.69-1.59); IMT <20 (RR =
Diabetes data pasien 1.00)
Melitus TB yang
(kontrol) yang disertai
telah di diagnose Diabetes
dari tahun 1990- Melitus.
2013
Tobacco Smoking, Hasil yang didapatkan
Alcohol Drinking, dalam penelitian ini yakni:
Diabetes, Low Body Instrument IMT <18.5 kg/m2 (RR =
Mass Index and the Total sampel dalam 14 6.4), perilaku merokok (RR
Studi
Risk of Self- dari penelitian studi = 3.8); alkohol (RR = 3.2).
penelitian yang
Patra, Jayadeep et Reported Symptoms ini adalah penelitian di
11. digunakan
al (2014) of Active 72,684 orang 14 negara
yakni studi
Tuberculosis: yang berusia yang menjadi
meta-analisis
Individual 18+. kasus
Participant Data tertinggi TB
(IPD) Meta-
Analyses of 72,684

55
Individuals in 14
High Tuberculosis
Burden Countries
Peneliti Variabel yang menjadi
Sampel dari menggunaka faktor risiko dalam
penelitian ini n data dari penelitian ini adalah:
Factors associated berjumlah 45 SINAN dan Studi Alkohol p = 0.001 (OR
Lea, Marcelle with tuberculosis in kasus yang data penelitian yang = 6.612, 95% CI: 2.151-
12. Lemos et al a population of menderita Laboratorium digunakan 20.330); riwayat kontak TB
(2019) diabetics: A case- diabetes dengan Central yakni Case- p = 0.003 (OR = 4.418,
control study infeks TB dan Municipal control study 95%CI: 1.678-11.631); dan
90 sampel sebagai gula darah puasa p = 0.000
kontrol. panduan (OR= 1.017, 95% CI: 1.007-
wawancara. 1.026).

56
Faktor dapat dimodifikasi:
2.6 Kerangka Teori • Stress
• Perilaku merokok
Gambar 0.4 Kerangka Teori
• IMT
Faktor Sosio-demigrafi • Konsumsi alkohol
• Pola Makan
• Kepadatan perumahan
• Aktivitas fisik kurang
• Sarana Pelayanan Iflamasi • Hipertensi & kolestrol tinggi
Kesehatan menyebabkan
sitokin IL-1 dan
• Iklim Sekresi hormon
Kadar
TNF-α anti insulin
(epinefrin, gula
Stress dan
Tuberkulosis glukagon, kortisol) darah
M. tb TB
inaktifitas DM kormorbid
Produksi amyloid DM
Gangguan fungsi
Faktor Lingkungan tersimpan di
pankreas
• Kepadatan hunian pankreas Faktor tidak dapat dimodifikasi:

• Pencahayaan • Usia

• Ventilasi • Jenis Kelamin

• Suhu • Riwayat Diabetes Melitus

• Kelembapan • Ras/Etnis

• Jenis lantai • Riwayat diabetes gestational

• Jenis dinding • Riwayat lahir BBLR


Gambar 2.5 Keranga Teori

Sumber : Achmadi, 2005; Kemenkes RI, 2014; Broxmeyer, 2011; dan Guptan & Shah, 2000
57
BAB III KERANGKA KONSEP

BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti

Tuberkulosis (TB) adalah jenis infeksi penyakit menular yang

disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini merupakan salah

satu dari 10 penyebab kematian utama di seluruh dunia dan penyebab pertama

kematian akibat satu agen infeksi sebelum HIV/AIDS (WHO, 2019). Bakteri

Mycobacterium Tuberculosis dapat menular melalui percikan ludah saat

batuk, bersin dan batuk (Irianto, 2018). Percikan dahak yang menyebar

diudara dapat mempu menembus dan berserang di paru-paru manusia,

sehingga penularan ini bisa terjadi di mana saja (Carolus, 2017).

Menurut WHO, diperkirakan 5-10% dari 1,7 miliar orang yang

terinfeksi TB akan mengalami pengembangan penyakit selama hidupnya.

Namun terdapat beberapa kriteria populasi yang memiliki risiko lebih besar

untuk terinfeksi TB salah satunya penderita Diabetes Melitus (Prameyllawati

and Saraswati, 2019).

Hubungan TB dan Diabetes Melitus memiliki sifat dua arah, artinya

penderita TB dapat mengalami Diabetes Melitus akibat dari bakteri

Mycobacterium tuberculosis yang mampu menyebabkan terjadinya

hiperglikemia, intoleransi glukosa dan kerusakan pankreas. Sebaliknya,

penderita Diabetes Melitus juga memiliki risiko untuk menderita TB karena

pada penderita Diabetes Melitus mengalami hiperglikemia yang bedampak

58
pada penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi sehingga rentan terhadap

infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.

TB dan Diabetes Melitus dapat terjadi bersamaan apabila didukung

dengan adanya faktor risiko. Faktor risiko terjadinya kejadian Diabetes

Melitus pada penderita TB yang akan peneliti kaji dalam penelitian ini,

sebagai berikut:

1. Umur

Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam

penyelidikan-penyelidikan epidemiologi (Notoatmodjo, 2014). Umur

sebagai determinan suatu penyakit tergambar jelas dalam kajian

“National Institute on Aging and US Department of Helath and Human

Services” (Pitriani and Herawanto, 2019).

2. Indeks Masa Tubuh

Indeks Masa Tubuh (IMT) adalah hubungan antara tinggi badan

dan berat badan. Salah satu faktor risiko Diabetes Melitus adalah berat

badan yang berlebih (overweight), namun pasien Diabetes Melitus

cenderung mengalami penurunan berat badan seiring dengan perjalanan

penyakit (Amin and Bahar, 2006). Penurunan berat badan tersebut dapat

menjadikan status IMT penderita berubah dari kelompok overweight

menjadi kelompok normoweight atau underweight

3. Riwayat Diabetes Melitus

Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri

manusia yang dibawa sejak lahir, keturunan adalah faktor resiko yang

59
tidak mungkin dihindari. Namun faktor keturunan ini bisa dimodifikasi

dengan upaya dari pelayanan kesehatan yang memberikan edukasi

terhadap penyakit-penyakit yang dapat diturunkan (Setyawan, 2019).

4. Perilaku Merokok

Merokok merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya

penyakit kardiovaskular serta penyebab utama lain dari kematian di

seluruh dunia (Wijaya, 2015). Risiko orang yang merokok sebesar 30-

40% lebih tinggi untuk terkena Diabetes Melitus dibandingkan orang

yang tidak merokok (Thapa, Paudel and Thapa, 2015).

3.2 Alur Kerangka Konsep

Umur

IMT Kormorbid

Riwayat Diabetes TB-DM


Melitus
Perilaku Merokok

Keterangan : = Variabel Bebas

= = Variabel Terikat

Gambar 3.21 Alur Kerangka Konsep

60
3.3 Definisi Oprasional dan Kriteria Obyektif

1. TB Kormorbid Diabetes Melitus

a Definisi Operasional

Penderita TB BTA (+) yang menderita kormorbid Diabetes

Melitus berdasarkan pemeriksaan gula darah sewaktu ≥200mg/dl

yang tercatat dalam rekam medik. Kejadian TB-DM diketahui

berdasarkan catatan Puskesmas Kamonji Kota Palu

b Kriteria Objektif

Kasus : Penderita TB Paru yang memiliki kormorbid DM

dan memiliki kadar gula darah sewaktu

≥200mg/dl.

Kontrol : Penderita TB Paru yang tidak memiliki

kormorbid DM.

2. Umur

a Definisi Operasional

Umur adalah lama waktu hidup dalam satuan tahun penuh

sejak lahir sampai menderita penyakit TB-DM atau TB tanpa

Diabetes Melitus.

b Kriteria Objektif

Risiko Tinggi : Jika penderita berumur ≥ 45 tahun

Risiko Rendah : Jika penderita berumur < 45 tahun

61
3. Indeks Masa Tubuh

a Definisi Operasional

Indeks Masa Tubuh adalah ukuran berdasarkan data

antropometri yakni berat badan dalam kilogram (kg) dibagi dengan

tinggi badan badan dalam meter kuadrat (m 2) berdasarkan Asia

Pasifik tahun 2000.

b Kriteria Objektif

Risiko Tinggi : Jika penderita memiliki status IMT underweight

<18.5

Risiko Rendah : Jika penderita memiliki status IMT Normal 18.5

– 22.9

4. Riwayat Diabetes Melitus

a Definisi Operasional

Riwayat Diabetes Melitus adalah kondisi di mana penderita

memiliki orang tua yang pernah didiagnosis menderita Diabetes

Melitus

b Kriteria Objektif

Risiko Tinggi : Jika penderita memiliki riwayat Diabetes Melitus

Risiko Rendah : Jika penderita tidak memiliki riwayat Diabetes

Melitus

62
5. Perilaku Merokok

a. Definisi Operasional

Perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup

asap rokok (tembakau yang dibakar) dengan menggunakan filter atau

kretek yang dilakukan secara intensif dalam kehidupan sehari-sehari.

Perilaku merokok diukur berdasarkan pertanyaan dari kuesioner

dengan jawaban tertinggi diberi skor 1 dan terendah diberi skor 0.

Dihitung menggunakan Skala Guttman, dengan memberikan

beberapa alternative jawaban: pertanyaan positif di mana 1=Ya dan

0=Tidak sedangkan pertanyaan negatif di mana 1=Tidak dan 0=Ya.

Jumlah pertanyaan sebanyak 8 butir, yang terdiri dari 1 pertanyaan

positif pada soal No: 3 sedangkan pertanyaan negatif sebanyak 7

soal yaitu pada soal No:1,2,3,4,5,6,7, dan 8. Adapun perhitungannya,

yaitu:

Skor tertinggi = Jumlah pertanyaan x Bobot tetinggi (100%)

= 8 x 1 = 8 (100%)

Skor terendah = Jumlah pertanyaan x Bobot terendah

=8x0=0

Tentukan persentase: 0/10 (100%) = 0%

Skor tertinggi − Skor terendah


Interval = Banyaknya pilihan

100% − 0%
= 2

= 50%

Skor standar = Skor Tertinggi – Nilai Interval

63
= 100% - 50%

= 50%

b. Kriteria Objektif

Risiko Rendah : Jika skor jawaban responden ≥50%

Risiko Tinggi : Jika skor jawaban responden <50%

3.4 Hipotesis Penelitian

1. Usia merupakan faktor risiko dari kejadian TB-DM di Puskesmas

Kamonji Kota Palu

2. Riwayat Diabetes Melitus pada keluarga merupakan faktor risiko dari

kejadian TB-DM di Puskesmas Kamonji Kota Palu.

3. Indeks Masa Tubuh merupakan faktor risiko dari kejadian TB-DM di

Puskesmas Kamonji Kota Palu.

4. Perilaku merokok merupakan faktor risiko dari kejadian TB-DM di

Puskesmas Kamonji Kota Palu.

64
BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan survey

analitik, dengan desain Case Control Study, yakni suatu penelitian yang

bertujuan untuk mengetahui kemungkinan hubungan antara paparan dengan

penyakit dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol

berdasarkan status paparannya. Desain penelitian dengan pendekatan case

control adalah suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor

risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan restrospektif, dimulai

dengan mengidentifikasi pasien dengan efek atau penyakit tertentu (kelompok

kasus) dan kelompok tanpa efek (kelompok kontrol), kemudian diteliti faktor

risiko yang dapat menerangkan mengapa kelompok kasus terkena efek

sedangkan kelompok kontrol tidak (Saraswati, 2015).

Faktor Risiko (+) Penderita TB Paru Populasi


yang menderita
DM (Kasus)
Faktor Risiko (-)

Matching Sampel
(Jenis Kelamin)

Faktor Risiko (+) Penderita TB Paru


tanpa DM
Faktor Risiko (-) (Kontrol)

Arah Penelitan (Retrospektif)


Gambar 4.1 Desain Penelitian Case Control

65
4.2 Alur Penelitian

Urutan langkah penelitian diuraikan dalam gambar berikut ini:

Pengumpulan data awal

Identifikasi masalah

Merumuskan Masalah,
Tujuan dan Manfaat

Menentukan Desain
Penelitian

Menentukan Populasi dan


Sampel Penelitian

Melakukan Pengumpulan
Data

Mengolah dan menganalisis


data

Penyajian Data, Hasil dan


Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Gambar 4.2 Alur Penelitian

66
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan 01 Agustus – 09 September

2020 di wilayah kerja Puskesmas Kamonji.

4.4 Populasi dan Sampel

4.4.1 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan dari subjek penelitian, yang

memiliki karakteristik tertentu. Populasi kasus dalam penelitan ini

adalah semua penderita TB-DM yang berdomisili di wilayah kerja

Puskesmas Kamonji Palu sebanyak 18 orang. Sedangkan populasi

kontrol adalah semua penderita TB BTA (+) yang berdomisili di

wilayah kerja Puskesmas Kamonji Palu sebanyak 88 orang.

4.4.2 Sampel

1. Jumlah Sampel

Sampel penelitian ini adalah sebagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi

besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada

pada populasi, misal karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu,

maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari

populasi tersebut. Adapun sampel kasus dari penelitian ini

sebanyak

Untuk menentukan ukuran sampel, peneliti menggunakan

rumus slovin sebagai berikut:

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑 2 )

67
Keterangan :

𝑛 = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d = Tingkat kepercayaan ( 𝛼: 90% atau 10%)

18
𝑛=
1 + 18 (0,12 )

18
𝑛=
1 + 18 (0,01)

18
𝑛=
1 + 0.18

18
𝑛=
1.18

𝑛 = 15,2= 16 responden

Berdasarkan perhitungan diatas maka besar sampel dalam

penelitian ini minimal 16 responden, maka sampel yang diambil

dari kelompok kasus penderita TB-DM dan kelompok kontrol

yang diambil dari kelompok TB paru dengan perbandingan 1:3

sehingga jumlah sampel menjadi 64 responden, terdiri dari 16

orang kelompok kasus dan 48 orang kelompok kontrol.

2. Teknik Sampling

Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan

teknik pengambilan sampel dengan mempertimbangkan kriteria

tertentu yang dibuat oleh peneliti.

68
Kriteria inklusi dan ekskulisi sebagai berikut:

a. Sampel Kasus

1) Kriteria Inkulis

• Penderita TB-DM yang telah didiagnosa oleh tenaga

kesehatan yang memiliki alamat atau bertempat

tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kamonji Palu.

• Dapat berkomunikasi dengan baik.

• Bersedia menjadi responden.

2) Kriteria Eksklusi

• Nomor telepon tidak ada di data sekunder Puskesmas

Kamonji Palu.

• Sudah 3 kali dihubungi untuk ditanya kesediaan

menjadi responden tetapi tidak diangkat.

• Tidak bersedia menjadi responden.

• Penderita yang dinyatakan meninggal

b. Sampel Kontrol

1) Kriteria Inkulis

• Penderita TB tanpa kormorbid Diabetes Melitus yang

telah didiagnosa oleh tenaga kesehatan yang memiliki

alamat atau bertempat tinggal di wilayah kerja

Puskesmas Kamonji Palu.

• Memiliki jenis kelamin yang sama dengan kasus.

• Dapat berkomunikasi dengan baik.

69
• Bersedia menjadi responden.

2) Kriteria Eksklusi

• Nomor telepon tidak ada di data sekunder Puskesmas

Kamonji Palu.

• Sudah 3 kali dihubungi untuk ditanya kesediaan

menjadi responden tetapi tidak diangkat.

• Tidak bersedia menjadi responden.

• Penderita yang dinyatakan meninggal.

4.5 Pengambilan Data

4.5.1 Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh

peneliti terhadap sasaran. Pengambilan data dilakukan dengan

menggunakan teknik wawancara langsung dan keusioner yang

ditujukan untuk mengetahui usia, jenis kelamin, riwayat Diabetes

Melitus di keluarga, perilaku merokok, indeks massa tubuh dan

kepadatan hunian.

4.5.2 Data Sekunder

Data sekunder digunakan sebagai data penunjang atau

pelengkap data primer yang ada relevansinya dengan keperluan

penelitian. Data sekunder diperoleh dari data instansi seperti : Dinkes

Kota Palu, Dinkes Provinsi Sulawesi Tengah dan Puskesmas Kamonji

Kota Palu, buku, jurnal dan referensi-referensi lainnya yang

berkaitan dan dapat mendukung terlaksananya penelitian.

70
4.6 Analisis Penyajian Data

Analisis data dilakukan setelah data terkumpul dengan menggunakan

3 cara yaitu:

4.6.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan dengan cara deskriptif untuk

menunjukkan distribusi frekuensi masing-masing variabel yang

diteliti. Analisa deskriptif ini dilakukan untuk mengetahui distrubusi

frekuensi variabel dependen (kormorbid TB-DM) dan variabel

independen (usia, riwayat Diabetes Melitus di keluarga, perilaku

merokok, indeks masa tubuh). Data disajikan dalam bentuk tabel

frekuensi dan narasi.

4.6.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada faktor risiko

Umur, Indeks Massa Tubuh, Riwayat Diabetes Melitus dan Perilaku

Merokok terhadap kejadian TB-DM. untuk membandingkan faktor

risiko terjadinya TB-DM antara kasus dan kontrol maka digunakan

rumus Odd Ratio (OR).

Rumus OR :

𝑎/𝑐 𝑎𝑑
Odd Ratio (OR) = 𝑏/𝑑 = 𝑏𝑐

Angka Confidence Interval (CI) = 95%

Keterangan

a = Jumlah kasus dengan faktor risiko positif (+)

b = Jumlah kontrol dengan faktor risiko positif (+)

71
c = Jumlah kasus dengan faktor risiko negatif (-)

d = Jumlah kontrol dengan faktor risiko positif (+)

Adapun tabel 2 kontingensi sebagai berikut :

Paparan Kasus Kontrol Total

+ a b a+b

- c d c+d

Total a+c b+d a+b+c+d

Tabel 5.1 Tabel Kontingensi (2x2)


Interpretasi hasil OR :

a. Jika OR > 1 dan 95% CI tidak mencakup angka 1, maka vaariabel

yang diteliti merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB-DM.

b. Jika OR < 1 dan 95% CI tidak mencakup angka 1, maka variabel

yang diteliti bukan merupakan faktor protektif, bukan faktor

risiko terhadap kejadian TB-DM.

c. Jika OR = 1, maka variabel yang diteliti tidak memiliki hubungan

kausal terhadap kejadian TB-DM.

4.6.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariat adalah analisis yang digunakan untuk

mengetahui hubungan lebih dari satu variabel independen dengan satu

variabel dependen. Analisis multivariat ini digunakan untuk

mengetahui variabel independen yang paling kuat pengaruhnya

terhadap kejadian TB-DM. Persamaan uji regresi logistic ganda yaitu:

𝑝
In ( ) = 𝑎 + 𝑏1 𝑋1 + 𝑏2 𝑋2 + ⋯ + 𝑏𝑘 𝑋𝑘
1−𝑝

72
Di mana :

Ln (p/1-p) : logold (logid). Logaritme natural dari odds.

Odds : Rasio probabilitas suatu peristiwa untuk terjadi

dan probabilitas suatu peristiwa untuk tidak terjadi.

a : Konstanta (intersep).

b1 , b2 , … bk : Koefisien regresi variabel predictor (slope).

X1 , X2 , … Xk : Variabel predictor yang pengaruhnya akan

diteliti.

p : Probabilitas untuk terjadinya efek dari variabel

dependen yang dikotomus.

4.6.4 Penyajian Data

Penyajian data secara deskriptif akan ditampilkan dalam

bentuk narasi dan beberapa tabel distribusi kemudian diikuti uji

statistik hubungan antara variabel independen (bebas) dan dependen

(terikat).

73
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Keadaan Geografis dan Demografi

UPTD Puskesmas Kamonji merupakan salah satu pusat

pelayanan kesehatan masyarakat yang berada di wilayah

Kecamatan Palu Barat Kota Palu dengan batas-batas sebagai

berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Palu.

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Palu

c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Nunu, Bayaoge

dan Balaroa

d. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Donggala Kodi,

Tipo dan Balaroa.

Wilayah kerja UPTD Urusan Puskesmas Kamonji terletak

pada belahhan Barat Kota Palu dengan wilayah seluas ± 20 km2

yang seluruhnya dapat dilalui dengan kendaraan roda empat.

Jenis tanah di wilayah kerja UPTD Urusan Puskesmas

Kamonji termasuk lempung berpasir dengan luas daratan 92%,

perbukitan 6,0% dan pengunungan 2,0%.

74
2. Kondisi Suhu dan Kelembaban Udara

Secara umum suhu dan kelembaban rata-rata di wilayah

kerja UPTD Urusan Puskesmas Kamonji secara umum berkisar

antara 20 – 30 oC untuk dataran tinggi dan 26 – 32 oC untuk

daratan rendah, dengan kelembaban udara berkisar antara 68% –

81%.

3. Keadaan Penduduk

a. Pertumbuhan Penduduk

Pada tahun 2019, jumlah penduduk di Wilayah Kerja

UPTD Urusan Puskesmas Kamonji mencapai 52.215 jiwa

atau mengalami peningkatan sekitar 1.32 % dibanding Tahun

2018 yang mencapai 51.537 jiwa. Kecenderungan

peningkatan ini dimungkinkan oleh kondisi Kota Palu yang

masuk dalam kategori ekonomi kreatif maka dilakukan

pemerataan penduduk.

b. Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk di Wilayah Kerja UPTD

Puskesmas Kamonji tahun 2018 tercatat 4.923 jiwa/km2 dan

tahun 2019 tercatat 5.016 jiwa/km2 dengan luas wilayah 10,4

km2, ini menunjukkan adanya peningkatan dibandingkan

tahun 2017.

75
c. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian rumah di Wilayah Kerja Puskesmas

Kamonji tahun 2019 rata-rata 4 orang per rumah dengan

jumlah keseluruhan rumah sebanyak 12.800 rumah dan

jumlah penduduk sebanyak 52.215 jiwa.

d. Komposisi Penduduk

Komposisi penduduk dibedakan menjadi 2 komposisi, yaitu:

1) Menurut Kelompok Umur

Komposisi penduduk menurut kelompok umur

menunjukkan bahwa 13.278 jiwa atau 25.43% yang

berusia belum produktif (0-14 tahun), penduduk berusia

produktif (15-64 tahun) sebesar 36.540 jiwa atau 64% dan

usia tidak produktif (65+ tahun) sebesar 2.397 jiwa atau

10.57%.

2) Menurut Jenis Kelamin

Komposisi penduduk menurut jenis kelamin di

Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kamonji tahun 2019

yaitu 26.252 jiwa penduduk laki-laki (50,3%) dan 25.963

jiwa penduduk perempuan atau 49,7%, yang berarti

jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibanding jumlah

penduduk perempuan.

76
5.1.2 Analisis Univariat

1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Distribusi responden berdasarkan umur pada penelitian

ini disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur di


Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020
Umur Frekuensi Persentase
14-22 8 12,5
23-31 12 18,8
32-40 12 18,8
41-49 11 17,1
50-58 13 20,3
59-67 5 7,9
68-76 3 4,6
Total 64 100,0
Sumber: Data Primer, 2020
Berdasarkan data Tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 64

responden, jumlah responden tertinggi berada pada kelompok

umur 50-58 tahun sebanyak 13 orang (20,3%) sedangkan jumlah

responden terendah berada pada kelompok umur 68-76 tahun

sebanyak 3 orang (4,6%).

2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin pada

penelitian ini disajikan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase
Laki-laki 36 56,2
Perempuan 28 43,8
Total 64 100,0
Sumber: Data Primer, 2020

77
Berdasarkan data Tabel 5.2 menunjukkan bahwa dari 64

responden, responden dengan jenis kelamin laki-laki memiliki

jumlah terbesar yaitu 36 orang (56,2%) sedangkan jumlah terkecil

yaitu 28 orang (43,8%) dengan jenis kelamin perempuan.

3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Distribusi responden berdasarkan pendidikan terakhir

pada penelitian ini disajikan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan


Terakhir di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020
Pendidikan Terakhir Frekuensi Persentase
Tidak Sekolah 1 1,6
SD/Sederajat 5 7,8
SMP/ Sederajat 10 15,6
SMA/ Sederajat 41 64,1
Perguruan Tinggi 7 10,9
Total 64 100,0
Sumber: Data Primer, 2020
Berdasarkan data Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari 64

responden, responden dengan pendidikan SMA/Sederajat

memiliki jumlah terbesar yaitu 41 orang (64,1%) sedangkan yang

tidak sekolah memiliki jumlah terkecil yaitu 1 orang (1,6%).

4. Distribusi Responden Berdasarkan Status Pekerjaan

Distribusi responden berdasarkan status pekerjaan pada

penelitian ini disajikan pada Tabel 5.4.

78
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Status
Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020
Status Pekerjaan Frekuensi Persentase
Tidak Bekerja 10 15,6
Buruh 4 6,2
Petani 1 1,6
Wiraswasta 21 32,8
Pegawai Swasta 3 4,7
Pegawai Negeri 3 4,7
Pelajar/Mahasiswa 10 15,6
URT 4 6,2
Lainnya 8 12,5
Total 64 100,0
Sumber: Data Primer, 2020
Berdasarkan data Tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari 64

responden, responden dengan status pekerjaan wiraswasta

memiliki jumlah terbesar yaitu 21 orang (32,8%) sedangkan

dengan status pekerjaan petani memiliki jumlah terkecil yaitu 1

orang (1,6%).

5. Distribusi Responden Berdasarkan Indeks Massa Tubuh

Distribusi responden berdasarkan status indeks massa

tubuh pada penelitian ini disajikan pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Indeks Massa


Tubuh di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020
IMT Frekuensi Persentase
Underweight 37 67,8
Normal 27 42,2
Total 64 100,0
Sumber: Data Primer, 2020
Berdasarkan data Tabel 5.5 menunjukkan bahwa sebagian

besar responden memiliki IMT underweight sebanyak 37 orang

(67,8%) sedangkan dengan IMT normal sebanyak 27 orang

(42,2%).

79
6. Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Diabetes Melitus

Distribusi responden berdasarkan riwayat Diabetes

Melitus pada penelitian ini disajikan pada Tabel 5.6.

Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat


Diabetes Melitus di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji
Tahun 2020
Riwayat Diabetes Melitus Frekuensi Persentase
Ya 23 35,9
Tidak 41 64,1
Total 64 100,0
Sumber: Data Primer, 2020
Berdasarkan data Tabel 5.6 menunjukkan bahwa sebagian

besar responden tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus dalam

anggota keluarga sebanyak 41 orang (64,1%) sedangkan yang

memiliki riwayat Diabetes Melitus sebanyak 23 orang (35,9%).

7. Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Merokok

Distribusi responden berdasarkan perilaku merokok pada

penelitian ini disajikan pada Tabel 5.7.

Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku


Merokok di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020
Perilaku Merokok Frekuensi Persentase
Risiko Tinggi 18 28,1
Risiko Rendah 46 71,9
Total 64 100,0
Sumber: Data Primer, 2020
Berdasarkan data Tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 64

responden, responden dengan perilaku merokok berisiko rendah

memiliki jumlah terbesar yaitu 46 orang (71,9%) sedangkan

responden dengan perilaku merokok berisiko tinggi memiliki

jumlah terkecil yaitu 18 orang (28,1%).

80
Grafik 5.1 Distribusi Responden Menurut Jawaban
Pertanyaan Perilaku Merokok
60
50
40
30
20
10
0
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
Ya 36 16 57 20 25 29 56 35
Tidak 28 48 7 44 39 35 8 29

Sumber: Data Primer, 2020


Berdasarkan grafik di atas, didapatkan hasil bahwa dari 64
responden, sebagian besar yang menjawab pertanyaan positif
mengenai pernah berhenti merokok (P3) sebanyak 57 orang.
Sedangkan untuk pertanyaan negatif paling banyak menjawab
mengenai anggota keluarga/teman/rekan kerja yang merokok (P7)
sebanyak 56 orang, pernah merokok (P1) sebanyak 36 orang dan
terpapar asap rokok (P8) sebanyak 35 orang.
5.1.3 Analisis Bivariat

Dalam analisis bivariat ini disajikan hasil penelitian tentang

besar risiko antara variabel bebas umur, indeks massa tubuh, riwayat

Diabetes Melitus dan perilaku merokok dengan variabel terikat yaitu

kejadian Diabetes Melitus pada penderita TB. Uji statistik yang

digunakan untuk analisis bivariat adalah uji Odd Ratio (OR) di mana

tingkat kemaknaan adalah 95%. Berikut hasil analisis bivariat faktor

risiko kejadian Diabetes Melitus pada penderita TB di wilayah kerja

Puskesmas Kamonji Kota Palu.

81
1. Faktor Risiko Umur Terhadap TB-DM

Faktor risiko Umur terhadap kejadian TB-DM disajikan

dalam Tabel 5.8.

Tabel 5.8 Faktor Risiko Umur Terhadap TB-DM di Wilayah


Kerja Puskesmas Kamonji Tahun 2020
Kejadian TB-DM OR (CI
Umur Kasus Kontrol Total
95%)
n % n %
Risiko Tinggi 11 68,8 17 35,4 28 4,012
Risiko Rendah 5 31,2 31 64,6 36 (1,195-
Total 16 100 48 100 64 13,472)
Sumber: Data Primer, 2020
Berdasarkan data Tabel 5.8 dari 16 responden mengalami

TB-DM, sebagian besar terjadi pada umur ≥ 45 tahun sebanyak

11 orang (68,8%) dibandingkan dengan responden yang

mengalami TB-DM pada umur < 45 tahun sebanyak 5 orang

(31,2%). Sedangkan dari 48 responden yang mengalami TB tanpa

Diabetes Melitus, sebagian besar terjadi pada umur < 45 tahun

sebanyak 31 orang (64,6%) dibandingkan dengan responden yang

mengalami TB tanpa Diabetes Melitus pada umur ≥ 45 tahun

sebanyak 17 orang (35,4%).

Hasil analisis uji Odd Ratio (OR) sebesar 4,012 (1,195-

13,472) dengan Confidence Interval (CI) 95%, karena nilai OR>1

serta nilai lower (1,195) dan upper (13,472) tidak mencakup

angka 1, maka umur merupakan faktor risiko dalam penelitian ini.

Artinya seseorang yang berumur ≥ 45 tahun akan berisiko 4,012

82
kali lebih besar mengalami TB-DM dibandingkan dengan orang

yang berumur <45 tahun.

2. Faktor Risiko Indeks Massa Tubuh Terhadap TB-DM

Faktor risiko indeks massa tubuh terhadap kejadian TB-

DM disajikan dalam Tabel 5.9.

Tabel 5.9 Faktor Risiko Indeks Massa Tubuh Terhadap


Kejadian TB-DM di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji
Tahun 2020
Kejadian TB-DM OR (CI
Indeks Massa
Kasus Kontrol Total
Tubuh 95%)
n % n %
Risiko Tinggi 5 31,2 32 66,7 37 0,227
Risiko Rendah 11 68,8 16 33,3 27 (0,067-
Total 16 100 48 100 64 0,776)
Sumber: Data Primer, 2020

Berdasarkan data Tabel 5.9 dari 16 responden yang

mengalami TB-DM, sebagian besar memiliki status IMT normal

sebanyak 11 orang (68,8%) dan hanya 5 orang (31,2%) yang

memiliki status IMT underweight. Sedangkan responden yang

mengalami TB tanpa Diabetes Melitus, sebagian besar memiliki

status IMT underweight sebanyak 32 orang (66,7%) dibandingkan

dengan responden yang memiliki status IMT normal sebanyak 16

orang (33,3%).

Hasil analisis uji Odd Ratio (OR) sebesar 0,227 (0,067-

0,776) dengan Confidence Interval (CI) 95%, karena nilai OR<1

serta nilai lower (0,067) dan upper (0,776) tidak mencakup angka

1, maka status IMT underweight merupakan faktor protektif

83
dalam penelitian ini. Artinya seseorang dengan status IMT

underweight dapat mengurangi risiko terjadinya TB-DM sebesar

0,227 daripada seseorang yang memiliki status IMT normal.

3. Faktor Risiko Riwayat Diabetes Melitus Terhadap TB-DM

Faktor risiko riwayat Diabetes Melitus terhadap kejadian

TB-DM disajikan dalam Tabel 5.10.

Tabel 5.10 Faktor Risiko Riwayat Diabetes Melitus Terhadap


Kejadian TB-DM di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji
Tahun 2020
Kejadian TB-DM OR (CI
Riwayat
Kasus Kontrol Total
Diabetes Melitus 95%)
n % n %
Risiko Tinggi 13 81,2 10 20,8 23 16,467
Risiko Rendah 3 18,8 38 79,2 41 (3,918-
Total 16 100 48 100 64 69,202)
Sumber: Data Primer, 2020

Berdasarkan data Tabel 5.10 dari 16 responden yang

mengalami TB-DM, sebagian besar memiliki riwayat Diabetes

Melitus sebanyak 13 orang (81,2%) dibandingkan dengan

responden yang memiliki tidak riwayat Diabetes Melitus

sebanyak 3 orang (18,8%). Sedangkan dari 48 responden yang

mengalami TB tanpa Diabetes Melitus, sebagian besar tidak

memiliki riwayat Diabetes Melitus sebanyak 38 orang (79,2%)

dan terdapat 10 orang (20,8%) yang memiliki riwayat Diabetes

Melitus.

Hasil analisis uji Odd Ratio (OR) sebesar 16,467 (3,918-

69,202) dengan Confidence Interval (CI) 95%, karena nilai OR>1

84
serta nilai lower (3,918) dan upper (69,202) tidak mencakup

angka 1, maka riwayat Diabetes Melitus merupakan faktor risiko

dalam penelitian ini. Artinya seseorang yang memiliki orang tua

yang mengalami Diabetes Melitus berisiko 16,467 kali lebih besar

mengalami TB-DM dibandingkan dengan orang yang tidak

memiliki riwayat orang tua yang mengalami Diabetes Melitus.

4. Faktor Risiko Perilaku Merokok Terhadap TB-DM

Faktor risiko perilaku merokok terhadap kejadian TB-DM

disajikan dalam Tabel 5.11.

Tabel 5.11 Faktor Risiko Perilaku Merokok Terhadap


Kejadian TB-DM di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji
Tahun 2020
Kejadian TB-DM OR (CI
Perilaku
Kasus Kontrol Total
Merokok 95%)
n % n %
Risiko Tinggi 8 50,0 10 20,8 18 3,800
Risiko Rendah 8 50,0 38 79,2 46 (1,142-
Total 16 100 48 100 64 12,646)
Sumber: Data Primer, 2020

Berdasarkan data Tabel 5.11 dari 16 responden yang

mengalami TB-DM, ditemukan masing-masing 8 orang (50,0%)

yang memiliki perilaku merokok risiko tinggi dan perilaku

merokok risiko rendah. Sedangkan dari 48 responden yang

mengalami TB tanpa Diabetes Melitus, sebagian besar memiliki

perilaku merokok yang risiko rendah sebanyak 38 orang (79,2%)

dan terdapat 10 orang (79,2%) yang memiliki perilaku merokok

risiko tinggi.

85
Hasil analisis uji Odd Ratio (OR) sebesar 3,800 (1,142-

12,646) dengan Confidence Interval (CI) 95%, karena nilai OR>1

serta nilai lower (1,142) dan upper (12,646) tidak mencakup

angka 1, maka perilaku merokok merupakan faktor risiko dalam

penelitian ini. Artinya seseorang yang memiliki perilaku merokok

yang risiko tinggi akan berisiko 3,800 kali lebih besar mengalami

TB-DM dibandingkan dengan orang yang memiliki perilaku

merokok risiko rendah.

5.1.4 Analisis Multivariat

Analisis multivariat digunakan untuk mengidentifikasi faktor

risiko kejadian TB-DM dengan memperhitungkan pengaruh variabel-

variabel lain secara bersama-sama. Selain itu, analisis multivariat

digunakan untuk melihat variabel independen mana yang paling besar

pengaruhnya terhadap variabel dependen. Berikut ini adalah hasil

analisis multivariat dengan uji regeresi binary logistik dengan

memasukkan variabel-variabel independen (umur, Indeks Massa

Tubuh, riawayat Diabetes Melitus dan perilaku merokok).

Tabel 5.12 Nilai Signifikan Masing-masing Variabel pada Uji


Multivariat
Variabel Sig
Umur 0,025
Indeks Massa Tubuh 0,017
Riwayat Diabetes Melitus 0,000
Perilaku Merokok 0,030
Berdasarkan Tabel 5.12 didapatkan hasil bahwa semua

variabel (umur, Indeks Massa Tubuh, riwayat Diabetes Melitus dan

86
perilaku merokok) yang berhak masuk sebagai kandidat uji multivariat

karena nilai p < 0,25.

Tabel 5.13 Hasil Uji Multivariat Model 1 di Wilayah Kerja


Puskesmas Kamonji Tahun 2020
95% C.I. EXP (B)
Variabel Sig. Exp (B)
Lower Upper
Umur .153 4.084 .593 28.108
Indeks Massa Tubuh .997 .000 .000 .
Riwayat Diabetes .997 2.670E9 .000 .
Melitus
Perilaku Merokok .040 7.516 1.096 51.559
Constant .047 .004
Sumber: Data Primer, 2020

Berdasarkan Tabel 5.13, pada pemodelan 1 didapatkan hasil

variabel Indeks Massa Tubuh dan riwayat Diabetes Melitus memiliki

nilai p value yang paling besar dibandingkan dengan variabel lainnya,

sehingga variabel Indeks Massa Tubuh dikeluarkan dari pemodelan

karena tidak terjadi perubahan pada nilai Exp B sebesar > 10%.

Tabel 5.14 Hasil Uji Multivariat Model 2 di Wilayah Kerja


Puskesmas Kamonji Tahun 2020
95% C.I. EXP (B)
Variabel Sig. Exp (B)
Lower Upper
Umur .095 3.553 .804 15.706
Riwayat Diabetes .000 17.176 3.522 83.758
Melitus
Perilaku Merokok .056 4.657 .960 22.588
Constant .001 .001
Sumber: Data Primer, 2020

Berdasarkan Tabel 5.14, menunjukkan bahwa setelah variabel

Indeks Massa Tubuh dikeluarkan dari pemodelan tidak terjadi

perubahan pada nilai Exp B > 10% di variabel riwayat Diabetes

87
Melitus sehingga variabel Indeks Massa Tubuh tetap dikeluarkan dari

pemodelan. Pada pemodelan 2, terdapat variabel yang nilainya paling

besar yaitu umur (0,095), sehingga variabel tersebut dikeluarkan dari

pemodelan.

Tabel 5.15 Hasil Uji Multivariat Model 3 di Wilayah Kerja


Puskesmas Kamonji Tahun 2020
95% C.I. EXP (B)
Variabel Sig. Exp (B)
Lower Upper
Riwayat Diabetes .000 18.294 3.924 85.294
Melitus
Perilaku Merokok .050 4.626 1.003 21.340
Constant .001 .001
Sumber: Data Primer, 2020

Berdasarkan Tabel 5.15, menunjukan bahwa setelah variabel

umur dikeluarkan dari pemodelan tidak terjadi perubahan pada nilai

Exp B > 10% sehingga variabel umur tetap dikeluarkan dari

pemodelan. Pada pemodelan 3 yang diuji secara bersamaan,

menunjukkan bahwa variabel riwayat Diabetes Melitus (0,000) dan

perilaku merokok (0,050) memiliki hubungan signifikan terhadap

kejadian TB-DM. Sehingga variabel riwayat Diabetes Melitus yang

paling berhubungan dengan kejadian TB-DM (p value = 0,000)

dengan nilai Exp B sebesar 18,294. Artinya seseorang yang memiliki

riwayat Diabetes Melitus berisiko mengalami kejadian TB-DM 16,467

kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki

riwayat Diabetes Melitus.

88
5.2 Pembahasan

1. Umur Sebagai Faktor Risiko Kejadian TB-DM

Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam

penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan

maupun kematian di dalam hampir semua keadaan menunjukkan

adanya hubungan dengan umur. Penderita TB-DM umumnya terjadi

pada umur tua (≥45 tahun) (Utami, 2004; Notoatmodjo, 2014).

Umur dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 2 yaitu risiko

tinggi dan risiko rendah. Umur yang dikategorikan risiko tinggi

apabila berumur ≥45 tahun dan dikategorikan risiko rendah apabila

berumur <45 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 5.8 dari 16 responden

mengalami TB-DM, sebagian besar terjadi pada umur ≥ 45 tahun

sebanyak 11 orang (68,8%) dibandingkan dengan responden yang

mengalami TB-DM pada umur < 45 tahun sebanyak 5 orang (31,2%).

Sedangkan dari 48 responden yang mengalami TB tanpa Diabetes

Melitus, sebagian besar terjadi pada umur < 45 tahun sebanyak 31

orang (64,6%) dibandingkan dengan responden yang mengalami TB

tanpa Diabetes Melitus pada umur ≥ 45 tahun sebanyak 17 orang

(35,4%). Hasil analisis uji Odd Ratio (OR) sebesar 4,012 (1,195-

13,472) dengan Confidence Interval (CI) 95%, karena nilai OR>1

serta nilai lower (1,195) dan upper (13,472) tidak mencakup angka 1,

maka umur merupakan faktor risiko dalam penelitian ini. Artinya

89
seseorang yang berumur ≥ 45 tahun akan berisiko 4,012 kali lebih

besar mengalami TB-DM dibandingkan dengan orang yang berumur

<45 tahun.

Hal ini dikarenakan pada umur ≥ 45 tahun terjadi penurunan

fungsi sel dan organ tubuh sehingga lebih berisiko untuk terserang

penyakit. Pernyataan tersebut sesuai literatur oleh Utami (2004), salah

satu faktor yang menyebabkan seseorang yang berumur ≥ 45 tahun

lebih berisiko terserangnya penyakit TB-DM karena berkurangnya

fungsi organ tubuh sehingga menyebabkan gangguan fungsi pankreas

dan kerja dari insulin sehingga seorang yang berumur ≥45 tahun

memiliki peningkatan risiko terjadinya Diabetes Melitus dan

perkembangan penyakit infeksi.

Selain itu bertambahnya umur seseorang akan mengalami

penuaan sel. Penuaan sel meliputi dua aspek yaitu (1) poliferasi dan

diferensiasi sel akhirnya akan berhenti; dan (2) mempertahankan

fungsi dasar sel, berhentinya pertumbuhan, namun masih

mempertahankan metabolisme. Salah satu faktor perangsang yang

dapat menginduksi penuaan sel yaitu stres oksidatif. Stres oksidatif

adalah keadaan ketidakseimbangan antara antioksidan protektif

(pertahanan antioksidan) dan peningkatan radikal bebas. Dampak dari

stres oksidatif ini akan meningkatkan modifikasi lipid, DNA dan

protein dalam jaringan sehingga terjadi keadaan hyperglycemia

(Suastika, 2018).

90
Walaupun demikian, berdasarkan hasil pada Tabel 5.8

didapatkan 5 orang yang berumur < 45 tahun tetapi mengalami TB-

DM. Menurut pengelola program TB di Puskesmas Kamonji, hal ini

dapat terjadi karena efek dari pemberian OAT yang dapat

meningkatkan kadar gula dalam darah. Sehingga terdapat penderita

yang berumur < 45 tahun dapat mengalami keadaan hyperglycemia.

Salah satu masalah terapi OAT yang cukup penting adalah

adanya interaksi obat. Interaksi OAT dapat menyebabkan perubahan

konsentrasi dari obat-obatan yang diminum bersamaan dengan OAT.

Contohnya rifampisin yang dapat merangsang pembentukan enzim

sitokrom P-450 isoenzyme CYP2C9 yang berfungsi untuk

memetabolisme glizipid sehingga mekanisme kinetika eliminasi

glizipid dalam darah akan terganggu dan berdampak pada kadar gula

dalam darah (Kemenkes RI, 2006). Selain itu, penggunaan etambutol

memiliki efek samping pada mata berupa berkurangnya ketajaman

penglihatan, buta warna untuk warna merah dan hijau sehingga

menimbulkan neuropati perifer yang merupakan salah satu keluhan

dari keadaan hyperglycemia (Baghei et al., 2015).

Keadaan hyperglycemia apabila tidak dikontrol dengan baik

akan berdampak pada meningkatnya risiko kejadian TB MDR. Hal ini

disebabkan penderita Diabetes Melitus memiliki konsentrasi plasma

OAT yang rendah terutama rifampisin (Rosdiana, 2017). Penelitian

yang dilakukan Baghei et al., (2015), menunjukkan rata-rata AUC

91
Rifampisin 53% lebih rendah dibandingkan penderita TB tanpa

Diabetes Melitus. Hal ini disebabkan oleh beratnya hyperglycemia

yang terjadi dan berkurangnya sekresi asam hidroklorida lambung

pada penderita Diabetes Melitus.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden juga

didapatkan 31 orang yang mengalami TB tanpa Diabetes Melitus pada

umur < 45 tahun. Hal ini terjadi karena pada umur produktif setiap

orang akan cenderung beraktivitas tinggi, sehingga kemungkinan

terpapar kuman Mycobacterium tuberculosis lebih besar. Berdasarkan

analisis univariat, sebagian besar responden bekerja diluar rumah serta

mereka juga sebagian besar tidak memiliki riwayat penyakit TB dalam

keluarga. Sehingga penularan kuman Mycobacterium tuberculosis

lebih besar terjadi saat bekerja.

Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Dewi et al (2017) di

Denpasar yang menyatakan umur diatas 45 tahun merupakan faktor

risiko kejadian TB-DM dengan nilai OR 7,47. Hal ini didukung

dengan penelitian oleh Tenaye et al (2019) di Kota Diredawa, Etopia

yang menyatakan umur ≥41 tahun merupakan faktor risiko TB-DM

dengan nilai OR = 9,95. Senada dengan penelitian oleh Pin-Hui et al

(2016) yang menyatakan umur merupakan faktor risiko dari kejadian

TB-DM (<0.001)

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Lusiani

(2019) yang menyatakan bahwa umur bukan merupakan faktor risiko

92
kejadian TB-DM (p=1,000). Karena dalam penelitiannya menyatakan

bahwa sebagian besar terjadi di umur produktif karena penderita

memiliki pekerjaan yang memungkinkan untuk berinteraksi dengan

banyak orang.

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan agar orang yang

berumur ≥ 45 tahun tidak mengalami TB-DM adalah melakukan

screening PTM khususnya gula darah bagi penderita TB melalui

Posbindu PTM di masing-masing wilayah tempat tinggal sehingga

penderita TB-DM mendapatkan pengobatan yang benar agar tidak

memperparah kondisi penderita TB-DM.

2. Indeks Massa Tubuh Sebagai Faktor Protektif Kejadian TB-DM

Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari perhitungan

antara berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang. Penggunaan

rumus ini hanya dapat diterapkan pada seorang dengan usia 18 hingga

70 tahun, dengan struktur tulang belakang normal, bukan atlet atau

binaragawan, dan bukan ibu hamil atau menyusui. IMT dipercayai

dapat menjadi indikator atau menggambarkan kadar adipositas dalam

tubuh seseorang (Setyawati and Hartini, 2018).

Indeks Massa Tubuh dalam penelitian ini ini dikategorikan

menjadi 2 yaitu risiko tinggi dan risiko rendah. Status IMT yang

dikategorikan risiko tinggi apabila status IMT-nya underweight dan

dikategorikan risiko rendah apabila status IMT normal. Berdasarkan

hasil analisis univariat menunjukkan bahwa dari 64 responden,

93
sebagian besar responden memiliki IMT underweight sebanyak 37

orang (67,8%) sedangkan dengan IMT normal sebanyak 27 orang

(42,2%). Dari hasil analisis uji Odd Ratio (OR) sebesar 0,227 (0,067-

0,776) dengan Confidence Interval (CI) 95%, karena nilai OR<1 serta

nilai lower (0,067) dan upper (0,776) tidak mencakup angka 1, maka

status IMT underweight merupakan faktor protektif dalam penelitian

ini.

Berdasarkan data Tabel 5.9, terdapat 5 orang pada kelompok

kasus dan 32 orang pada kelompok kontrol yang memiliki risiko

tinggi pada status IMT-nya. Dari hasil wawancara yang didapatkan

bahwa penderita TB-DM maupun TB tanpa Diabetes Melitus

mengalami penurunan berat badan yang cukup signifikan. Hal ini

dikarenakan penderita TB mengalami penurunan nafsu makan

sehingga mengakibatkan daya tahan tubuh menurun karena tidak

terpenuhinya kebutuhan gizi sehingga seseorang akan lebih mudah

terserang penyakit. Penurunan berat badan penderita TB-DM tersebut

dapat menjadikan status IMT penderita berubah dari kelompok

overweight menjadi kelompok normoweight atau underweight.

Pernyataan diatas sesuai dengan literatur oleh Ramzie (2010)

dan Wedhani (2011) yang menyatakan bahwa penurunan nafsu makan

disebabkan karena adanya efek sitokin pirogen endogen pada

hipotalamus menyebabkan produksi prostaglandin. Prostaglandin ini

akan merangsang cortex cerebal (respon behavioral) sehingga nafsu

94
makan menurun dan hormon leptin (mengatur metabolisme dan nafsu

makan) mengalami peningkatan sehingga menimbulkan supresi atau

penurunan nafsu makan. Selain itu, menurut Sembiring (2019) yang

menyatakan bahwa penyakit tuberkulosis menyebabkan gangguan

absorbsi gizi sehingga banyak zat gizi yang harusnya bermanfaat

namun tidak diserap oleh tubuh, ini yang mengakibatkan tubuh

penderita tuberkulosis sangat kekurangan gizi atau underweight dan

tidak disokong dengan energi. Keadaan ini yang dapat meningkat

seseorang menderita tuberkulosis dan infeksi sekunder lainnya

Penurunan berat badan terjadi karena Mycobacterium

tuberculosis akan mengaktifasi makrofag, pengaktifan makrofag ini

dapat melalui berbagai perangsangan antara lain (1) fagositosis; (2)

kontak reseptor dengan partikel antigen eksogen; (3) akibat dipicu

oleh sitokin yang dilepaskan oleh sel T-helper (Th). Setelah

mengaktifkan makrofag oleh IFN-γ maka akan diproduksinya pirogen

endogen IL-1, IL-4,IL-6 (sebagai tanda bahaya apabila tidak terjadi

reaksi fagositosis) dan TNF-α yang akan menyebar ke pembuluh

darah sistemik dan menembus masuk hematoencephalic barrier dan

bereaksi terhadap hipotalamus (Wedhani, 2011; Dewi, 2019). Selain

itu, menurut Reviono et al (2013) pasien TB juga mengalami

peningkatan proteolisis dan lipolisis yang mengganggu sintesis protein

dan lemak endogen sehingga REE meningkat. Keadaan ini disebut

95
sebagai blokade formasi energi (anabolic block) dan berhubungan

dengan proses wasting sehingga terjadi malnutrisi.

Walaupun demikian, didapatkan 11 responden yang status

IMT-nya normal namun mengalami TB-DM. Menurut hasil

wawancara terhadap responden, mereka juga mengalami penurunan

berat badan dengan alasan yang serupa seperti kelompok risiko tinggi.

Namun, penurunan badan yang terjadi pada kelompok kasus risiko

rendah tidak terlalu signifikan (±2-4 kg). Hal ini dikarenakan sebelum

mengalami TB-DM status IMT-nya berada pada kelompok overweight

dan mengalami perubahan menjadi IMT normal. Selain itu, menurut

pemaparan responden semenjak di diagnosis memiliki penyakit

kormorbid, mereka melakukan pengontrolan gula dengan baik dengan

rutin meminum OAD dan OAT dan mengatur pola makan yang baik.

Menurut Yusnitasari (2015) Diabetes Melitus tipe 2 sering dikaitkan

dengan IMT yang relatif tinggi oleh karena itu tidak mengherankan

dalam kebanyakan studi penderita TB dengan kormorbid Diabetes

Melitus memiliki IMT yang lebih tinggi dibandingkan penderita TB

tanpa Diabetes Melitus. Faktor risiko Diabetes Melitus, dengan

peningkatan IMT telah terbukti menjadi faktor protektif pada

penderita TB-DM dengan kontrol glukosa darah baik, dapat

menurunkan risiko TB dan kekambuhan TB.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden juga

didapatkan 16 orang yang memiliki status IMT normal namun

96
mengalami TB tanpa Diabetes Melitus. Menurut Arfiana, Kumiati and

Prayitno (2018) pada infeksi TB terjadi peningkatan kebutuhan energi

untuk mempertahankan fungsi normal tubuh sehingga terjadi

peningkatan penggunaan energi saat istirahat atau Resting Energy

Expenditure (REE) Peningkatan ini mencapai 10-30% dari kebutuhan

energi orang normal. Sehingga terdapat penderita TB yang memiliki

berat badan normal.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Yusnitasari (2015) yang mengatakan bahwa status IMT

seseorang merupakan faktor protektif (OR=0,80) terhadap kejadian

TB-DM karena rata-rata penderita TB-DM berada pada status gizi

normal (18,5kg/m2 – 22kg/m2). Namun, penelitian ini tidak sejalan

dengan penelitian Hoa et al (2018) yang menyatakan bahwa status

IMT underweight bukan merupakan faktor risiko kejadian TB-DM

(p=0,304).

Upaya yang dapat dilakukan agar menurunkan kejadian TB-

DM adalah dengan meningkatkan perilaku hidup sehat terutama dalam

pengaturan pola makan dan mempertahankannya. Pengaturan pola

makan yang sesuai dapat memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuh

agar sistem imun dapat bekerja dengan baik untuk melawan berbagai

penyabab penyakit infeksi.

97
3. Riwayat Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian TB-

DM

Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam

diri manusia yang dibawa sejak lahir, keturunan adalah faktor resiko

yang tidak mungkin dihindari (Setyawan, 2019). Diabetes Melitus

cenderung diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Anggota

keluarga penderita Diabetes Melitus memiliki kemungkinan lebih

besar terserang penyakit sebesar 2-6 kali dibandingkan dengan

anggota keluarga yang tidak menderita Diabetes Melitus (Shabella,

2013).

Riwayat Diabetes Melitus dalam penelitian ini dikategorikan

menjadi 2 yaitu risiko tinggi dan risiko rendah. Riwayat Diabetes

Melitus yang dikategorikan risiko tinggi apabila penderita memiliki

riwayat Diabetes Melitus dalam keluarganya dan dikategorikan risiko

rendah apabila penderita tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus

dalam keluarganya. Berdasarkan hasil uji univariat, menunjukkan

bahwa sebagian besar responden tidak memiliki riwayat Diabetes

Melitus dalam anggota keluarga sebanyak 41 orang (64,1%)

sedangkan yang memiliki riwayat Diabetes Melitus sebanyak 23 orang

(35,9%).

Namun, berdasarkan hasil uji bivariat menunjukkan bahwa dari

16 responden yang mengalami TB-DM, terdapat 13 orang yang

memiliki riwayat Diabetes Melitus (81,2%). Sedangkan dari 48

98
responden yang mengalami TB tanpa Diabetes Melitus, hanya 10

orang yang memiliki riwayat Diabetes Melitus. Hasil analisis uji odd

ratio (OR) sebesar 16,467 (3,918-69,202) dengan Confidence Interval

(CI) 95%, karena nilai OR>1 serta nilai lower (3,918) dan upper

(69,202) tidak mencakup angka 1, maka riwayat Diabetes Melitus

merupakan faktor risiko dalam penelitian ini. Seseorang yang

memiliki riwayat Diabetes Melitus berisiko mengalami kejadian TB-

DM 16,467 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak

memiliki riwayat Diabetes Melitus.

Hal ini dikarenakan sebagian besar responden yang mengalami

TB-DM memiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus dari Ibu kandung

mereka sehingga peluang untuk terkena Diabetes Melitus lebih besar.

Selain itu, alasan lainnya yaitu kurang melakukan aktivitas fisik, pola

makan yang tidak baik, dan mengalami stres akibat pengebotan yang

dilakukan. Pernyataan tersebut sesuai dengan literatur oleh Diabetes

UK (2012) yang menyatakan bahwa risiko untuk mendapatkan

Diabetes Melitus dari ibu lebih besar 10-30% dari pada ayah dengan

Diabetes Melitus. Hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam

kandungan lebih besar dari ibu. Jika kedua orang tua memiliki

Diabetes Melitus maka risiko untuk menderita Diabetes Melitus

sebesar 75%. Apabila saudara kandung menderita Diabetes Melitus

maka risiko untuk menderita Diabetes Melitus maka risiko untuk

menderita Diabetes Melitus adalah 10% dan 90% jika memiliki

99
saudara kembar identik. Senada dengan pendapat menurut Charles

(2010) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki riwayat Diabetes

Melitus terdapat beberapa antigen yang disebut HLA, di mana antigen

ini berhubungan dengan frekuensi tinggi timbulnya diabetes.

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa dari 48

responden yang mengalami TB tanpa Diabetes Melitus ditemukan 10

orang yang memiliki riwayat Diabetes Melitus. Faktor yang

menyebabkan adanya penderita yang memiliki riwayat Diabetes

Melitus namun tidak mengalami TB-DM karena faktor genetik tidak

akan berkembang menjadi faktor risiko Diabetes Melitus pada dirinya

apabila seseorang yang memiliki riwayat Diabetes Melitus mengatur

dietnya dan melakukan berbagai macam upaya pencegahan.

Walaupun demikian, didapatkan 3 responden yang tidak

memiliki riwayat Diabetes Melitus namun mengalami TB-DM. Hal ini

terjadi karena mereka yang masih kurang untuk menerapkan pola

hidup sehat dan mengalami stres akibat dari pengobatan yang mereka

jalani. Menurut Purwandari and Susanti (2017), diet yang tepat dapat

membantu mengontrol gula darah agar tidak meningkat melebihi nilai

ambang batas secara tiba-tiba. Pengaturan pola makan yang tidak baik

pada penderita TB-DM akan memperparah keadaan hyperglycemia

apabila tidak diseimbangi dengan aktivitas fisik secara teratur.

Menurut Panjaitan (2016), aktivitas fisik secara teratur dapat

meningkatkan mutu pembuluh darah dan memperbaiki semua aspek

100
metabolik termasuk meningkatkan kepekaan insulin serta

memperbaiki intoleransi glukosa. Aktivitas fisik yang baik dan teratur

dapat mengendalikan berat badan, kadar gula darah dan yang paling

penting memicu pengaktifan produksi insulin dan membuat kerjanya

menjadi lebih efisien. Aktivitas fisik juga mempermudah traspor

glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap

insulin.

Selain itu, keadaan stres yang dialami oleh penderita TB-DM

juga dapat memicu keadaan hyperglycemia. Menurut Badescu (2016),

menyatakan bahwa stres lebih umum terjadi pada orang dengan

penyakit kormorbid. Hal ini dikarenakan adanya beban psikologis

akibat sakit yang diderita sehingga menimbulkan kecemasan dan stres.

Penderita peyakit kormorbid dengan gejala stres cenderung kurang

puas dengan pengobatannya dan khawatir akan dampak sosial

sehingga mempengaruhi kualitas hidup. Stres tersebut dapat

mempengaruhi nafsu makan seseorang dan membuat penderita lapar,

terutama pada makanan tinggi karbohidrat dan lemak. Selain itu,

dengan adanya stres akan mendorong sekresi hormon stres (epinefrin,

glukagon, kortisol, dan hormon pertumbuhan) yang berdampak pada

meningkatnya kadar gula darah hingga 200 mg/dl (Guptan & Shah

dalam Sasmita, 2017).

Berdasarkan hasil uji bivariat menunjukkan bahwa terdapat 38

orang yang tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus dan mengalami

101
TB tanpa Diabetes Melitus. Hal ini disebabkan penderita tidak

memiliki faktor pencetus untuk terkena Diabetes Melitus. Menurut

Charles (2010), seseorang yang tidak memiliki faktor genetik hanya

berisiko sekitar 5-7% untuk mengidap Diabetes Melitus dibandingkan

dengan yang memiliki riwayat diabetes dalam keluarga.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Sharma et al (2019) di Nepal yang menyatakan bahwa riwayat

Diabetes Melitus dalam keluarga merupakan faktor risiko kejadian

TB-DM dengan nilai OR = 4,096. Hal ini didukung dengan penelitian

oleh Tenaye et al (2019) di Kota Diredawa, Etopia yang menyatakan

bahwa riwayat Diabetes Melitus merupakan faktor risiko dari kejadian

TB-DM dengan nilai OR = 3,14. Senada dengan penelitian yang

dilakukan oleh Hoa et al (2018) di Vietnam yang menyatakan bahwa

bahwa riwayat Diabetes Melitus merupakan faktor risiko kejadian TB-

DM dengan nilai OR = 2,71.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Rohman (2018) yang menyatakan bahwa riwayat Diabetes

Melitus bukan faktor risiko terhadap kejadian TB-DM (p=0,065)

dikarenakan jumlah sampel kasus yang menderita Diabetes Melitus

disebabkan karena pola hidup yang tidak sehat serta masih kurangnya

kesadaran masyarakat di Kabupaten Kulon Progo untuk melakukan

screening bagi yang memiliki riwayat Diabetes Melitus.

102
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan agar yang memiliki

riwayat Diabetes Melitus agar tidak berkembang menjadi faktor risiko

yaitu dengan mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat seperti

olahraga secara teratur dan pengaturan pola makan yang baik.

Pengaturan pola makan yang dianjurkan yakni konsumsi makan yang

memiliki zat gizi lengkap berupa karbohidrat sebanyak 50-60%,

lemak sebanyak 20-25%, protein sebanyak 15-20% serta sayur dan

buah. Serta melakukan olahraga secara rutin minimal 3-4 kali

seminggu dengan durasi 30-60 menit.

4. Perilaku Merokok Sebagai Faktor Risiko Kejadian TB-DM

Perilaku merokok merupakan faktor risiko penting untuk

terjadinya penyakit kardiovaskular serta penyebab utama lain dari

kematian di seluruh dunia. Studi penelitian menunjukkan hubungan

merokok dengan kejadian TB pertama kali dilaporkan pada tahun

1918 (Wijaya, 2015).

Perilaku merokok dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 2

yaitu perilaku merokok risiko tinggi dan perilaku merokok risiko

rendah. Perilaku merokok risiko tinggi apabila skor jawaban < 50%

dan perilaku merokok risiko rendah apabila skor jawaban ≥ 50%.

Berdasarkan hasil analisis univariat pada Tabel 5.7 menunjukkan

bahwa dari 64 responden, responden dengan perilaku merokok

berisiko rendah memiliki jumlah terbesar yaitu 46 orang (71,9%)

103
sedangkan responden dengan perilaku merokok berisiko tinggi

memiliki jumlah terkecil yaitu 18 orang (28,1%).

Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 3,800 (1,142-12,646)

dengan Confidence Interval (CI) 95%, karena nilai OR>1 serta nilai

lower (1,142) dan upper (12,646) tidak mencakup angka 1, maka

perilaku merokok merupakan faktor risiko dalam penelitian ini.

Berdasarkan wawancara dengan responden, terdapat responden yang

mengalami TB-DM dan memiliki perilaku merokok risiko tinggi

sebanyak 8 orang (50,0%) dan responden yang mengalami TB tanpa

Diabetes Melitus memiliki perilaku merokok risiko tinggi sebanyak 10

orang (20,8%). Hal ini dikarenakan, sebagian besar responden yang

pernah merokok dan mengalami TB-DM ditemukan pada kelompok

laki-laki. Menurut Purwandari et al (2020) dalam penelitiannya yang

menyatakan bahwa terdapat perbedaan peran antara peran laki-laki

dan perempuan dalam perilaku merokok. Laki-laki yang berperilaku

merokok dapat memberikan kesan macho, berani dan pria sejati

sedangkan perempuan lebih mendapatkan citra negatif di masyarakat

yaitu nakal dan jauh dari kesan feminism.

Perilaku merokok berisiko dapat meningkatkan kerentanan

paru-paru terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis karena racun

yang terdapat dalam rokok merusak mekanisme pertahanan paru-paru.

bulu getar dan alat lain dalam paru-paru yang berfungsi menahan

infeksi rusak akibat asap rokok. Akibatnya, pembuluh darah di paru

104
mudah bocor dan merusak sel pemakan bakteri pengganggu dan

menurunkan respon terhadap antigen, sehingga bila benda asing

masuk ke dalam paru-paru tidak ada pendeteksinya (PPTI, 2011).

Merokok juga menyebabkan inflamasi dan stres oksidatif pada sel

tubuh menyebabkan terganggunya fungsi sel sehingga meningkatkan

risiko terkena Diabetes Melitus (Thapa, Paudel and Thapa, 2015).

Kandungan asap rokok yaitu nikotin dapat juga mempengaruhi

penurunan kadar oksigen di dalam darah karena naiknya kadar karbon

monoksida, meningkatkan jumlah asam lemak, glukosa, kortisol dan

hormon lainnya di dalam darah. Selain itu, zat nikotin dapat memicu

apoptosis dari sel beta pankreas sehingga proses produksi insulin

menjadi terganggu. Apabila hormon kortisol bekerja terus menurus

untuk memecah glukosa dan tidak disertai dengan pengeluaran insulin

yang cukup untuk mengaturnya maka kadar glukosa dalam tubuh

menjadi tidak terkontrol (Sherwood, 2012).

Berdasarkan hasil pada Grafik 5.1, dalam 1 tahun terkahir dari

36 orang (56,2%) yang pernah merokok didapatkan 28 orang yang

berhenti untuk merokok. Hal ini dikarenakan, adanya dukungan dari

tenaga kesehatan berupa informasi tentang bahaya merokok bagi

kesehatan. Petugas kesehatan merupakan komponen penting dalam

pelaksanaan suatu pelayanan kesehatan. Adanya dukungan petugas

kesehatan yang dapat menjadi faktor pendorong dalam mengubah

perilaku seseorang. Faktor lainnya, disebabkan karena rasa takut

105
terhadap dampak yang lebih lanjut akibat penyakit yang diderita

apabila semakin lama untuk merokok.

Menurut Notoatmodjo (2014), perbuhan perilaku dalam diri

seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Persepsi adalah sebagai

pengalaman yang dihasilkan melalui panca indra. Perilaku juga dapat

timbul karena emosi, aspek psikologis yang mempengaruhi emosi

berhubungan erat dengan keadaan jasmani. Faktor-faktor yang

mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua, yakni

(1) Faktor intern: pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi

dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dar luar.

(2) Faktor ekstern: lingkungan sekitar, baik fisik maupun nonfisik

(iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan dan sebagainya).

Selain itu, dari hasil penelitian didapatkan responden memiliki

perilaku merokok yang berisiko karena lama merokok yang ≥ 10

tahun (39,1%) dan jumlah batang rokok yang dihisap per hari ≥ 10

batang (45,3%). Teori dose respons relationship menyatakan bahwa

semakin banyak pajanan yang masuk ke dalam tubuh maka semakin

tinggi pula risikonya dan semakin berat pula efek yang ditimbulkan

(Kamaura et al., 2011). Jumlah rokok yang dihisap sejalan dengan

teori tersebut, semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap

makan nikotin dalam darah juga semakin banyak. Menurut Achmadi

dalam Sasmita (2017) lama merokok merupakan faktor risiko terhadap

masuknya Mycobacterium tuberculosis karena paparan kronis nikotin

106
dalam asap rokok dapat merusak makrofag alveolar paru-paru

sehingga mempengaruhi limfosit sel T yang berfungsi membedakan

jenis pathogen dan berfungsi dalam meningkatkan kekebalan setiap

kali tubuh terpapar oleh pathogen. Selain itu, paparan yang cukup

lama dari nikotin mengakibatkan penurunan sekresi insulin.

Selain itu, menurut Yuwono (2010) menyatakan bahwa

semakin banyak paparan asap rokok yang masuk dalam tubuh akan

mempengaruhi kadar gula darah. Hal ini disebabkan adanya

rangsangan nikotin melalui peningkatan sistem kerja saraf simpatis

yang akan meningkatkan metabolisme tubuh melalui lipolisis dengan

meningkatkan gukonegenesis pada hati yang hasil akhirnya berupa

peningkatan gula darah dan asam lemak bebas.

Walaupun demikian, berasarkan wawancara dengan

responden, didapatkan hasil terdapat 8 orang yang memiliki perilaku

merokok yang risiko rendah tetapi mengalami TB-DM. Hal ini karena

penyebab TB-DM sangat kompleks. Kejadian TB-DM tidak

disebabkan oleh faktor perilaku merokok yang berisiko. Menurut

Dewi et al (2017) perilaku merokok yang baik tidak menjamin

seseorang tidak terkena TB-DM, karena terdapat banyak faktor risiko

yang bisa seseorang terkena TB-DM seperti terpaparnya bakteri M.tb,

riwayat Diabetes Melitus, gaya hidup yang tidak sehat, faktor

lingkungan dan sebagainya. Menurut Gordon dan Le Rich dalam

(Pitriani and Herawanto, 2019), kejadian penyakit bukan hanya

107
dipengaruhi oleh perilaku. Terdapat tiga komponen yang

menyebabkan sakit yaitu agent yang dapat menyebabkan terjadinya

penyakit seperti agent biologis, kimia, nutrisi, fisik. Host atau pejamu

yaitu tempat terjadi proses alamiah perkembangan penyakit seperti

genetik, umur, jenis kelamin, status fisiologis, perilaku. Lingkungan

yaitu semua faktor luar dari suatu individu seperti lingkungan fisik,

lingkungan biologi dan lingkungan sosial ekonomi.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa

masih banyak yang terpapar oleh asap rokok dari anggota

keluarga/rekan kerja/teman responden. Paparan asap rokok yang terus-

menurus dapat merusak mekanisme pertahan paru. Bulu-bulu getar

dan alat lain yang ada di paru rusak akibat asap rokok sehingga

memudahkan masuknya kuman TB (Riza and Sukendra, 2017). Selain

itu, kandungan asap rokok yaitu nikotin dapat dapat memicu apoptosis

dari sel beta pankreas sehingga proses produksi insulin menjadi

terganggu (Sherwood, 2012). Menurut Kemenkes RI (2010), perokok

pasif lebih berisiko karena menghisap rokok 75% dari asap rokok

yang dikeluarkan oleh perokok aktif.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Sharma et al (2019) di Nepal yang menyatakan bahwa perilaku

merokok merupakan faktor risiko kejadian TB-DM dengan nilai OR =

2,247. Hal ini didukung dengan penelitian oleh Pealing et al (2015) di

United Kingdom yang menyatakan bahwa perilaku merokok

108
merupakan faktor risiko dari kejadian TB-DM dengan nilai RR = 1.67.

Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi et al (2017) di

Denpasar yang menyatakan bahwa bahwa perilaku merokok

merupakan faktor risiko kejadian TB-DM dengan nilai OR = 2,80.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Leal, Maciel and Cade (2019) di Brazil menyatakan bahwa

perilaku merokok bukan faktor risiko dari kejadian TB-DM (p=0,060).

Hal ini dikarenakan jumlah kelompok kasus yang sebagian besar

perempuan yang tidak memiliki perilaku merokok.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian TB-

DM akibat dari perilaku merokok yakni mengurangi dan

menghentikan konsumsi rokok dengan cara mengganti rokok dengan

cemilan sehat dan perbanyak aktivitas fisik.

5. Determinan TB-DM pada penderita TB

Berdasarkan Tabel 5.12, didapatkan hasil bahwa semua

variabel (umur, Indeks Massa Tubuh, riwayat Diabetes Melitus dan

perilaku merokok) berhak masuk sebagai kandidat uji multivariat

karena nilai p < 0,25.

Berdasarkan Tabel 5.15, menunjukan bahwa variabel riwayat

Diabetes Melitus (0,000) dan perilaku merokok (0,050) memiliki

hubungan signifikan terhadap kejadian TB-DM. Sehingga variabel

riwayat Diabetes Melitus yang paling berhubungan dengan kejadian

TB-DM (p value = 0,000) dengan nilai Exp B sebesar 18,294. Artinya

109
seseorang yang memiliki riwayat Diabetes Melitus berisiko

mengalami kejadian TB-DM 16,467 kali lebih besar dibandingkan

dengan orang yang tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus.

Menurut Diabetes UK (2012) yang menyatakan bahwa risiko

untuk mendapatkan Diabetes Melitus dari ibu lebih besar 10-30% dari

pada ayah dengan Diabetes Melitus. Hal ini dikarenakan penurunan

gen sewaktu dalam kandungan lebih besar dari ibu. Jika kedua orang

tua memiliki Diabetes Melitus maka risiko untuk menderita Diabetes

Melitus sebesar 75%. Apabila saudara kandung menderita Diabetes

Melitus maka risiko untuk menderita Diabetes Melitus maka risiko

untuk menderita Diabetes Melitus adalah 10% dan 90% jika memiliki

saudara kembar identik. Senada dengan pendapat menurut Charles

(2010) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki riwayat Diabetes

Melitus terdapat beberapa antigen yang disebut HLA, di mana antigen

ini berhubungan dengan frekuensi tinggi timbulnya diabetes.

Selain itu, riwayat Diabetes Melitus dapat menjadi faktor

risiko apabila ada pecetusnya seperti pola makan yang tidak baik,

kurang beraktivitas fisik dan timbulnya stres. Menurut Bustan (2007),

fenomena yang terjadi dimasyarakat seiring dengan pergeseran zaman

menyebabkan perubahan pola makan yang alami menjadi modern.

Pilihan menu makanan dan cara hidup yang kurang sehat semakin

menyebar keseluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan

terjadinya penyakit degenerative, salah satunya Diabetes Melitus.

110
Gaya hidup dengan pola makan yang tidak baik yaitu diet yang tinggi

lemak, garam dan gula sehingga dapat mengakibatkan peningkatan

kadar glukosa darah. Menurut Dewi (2017), apabila seseorang

memiliki riwayat Diabetes Melitus dalam keluarga sebaiknya

melakukan pengaturan pola makan yang baik meliputi 6 kali makan

per hari yang dibagi menjadi 3 kali makan besar dan 3 kali makan

selingan serta melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan.

Selain pengaturan pola makan, faktor lain yang membuat

riwayat Diabetes Melitus menjadi faktor risiko yaitu kurangnya

aktivitas fisik. Menurut American Diabetes Association (2010)

aktivitas fisik secara teratur memperbaiki kontrol gula darah dan dapat

mencegah atau menghilangkan komplikasi secara positif

mempengaruhi lipid, tekanan darah, gangguan kardiovaskuler,

mortality dan kualitas hidup. Aktivitas fisik rendah memiliki risiko

diabetes tiga kali lebih besar dibandingkan dengan aktivitas fisik

tinggi. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa orang yang aktivitas

fisik sehari-harinya berat memiliki risiko lebih rendah untuk

menderita Diabetes Melitus dibandingkan dengan orang yang aktivitas

fisik sehari-harinya rendah (Trisnawati and Setyorogo, 2013).

Berdasarkan hasil wawancara dari responden yang mengalami

TB-DM mengatakan bahwa mereka mengalami stres akibat

pengobatan yang dijalani dan khawatir akan dampak sosial sehingga

mempengaruhi kualitas hidup. Menurut Ardiani et al (2018), reaksi

111
psikologis terhadap stres mengarah pada aktivitas hypothalamo-

pituitaryadrenal (HPA) axis yang menyebabkan berbagai kelainan

pada endokrin, seperti kortisiol yang tinggi dan tingkat steroid seks

rendah yang berlawanan dengan aktivitas insulin. Pada saat yang

sama, terlihat peningkatan lemak visceral (ketebalan meningkat) yang

memainkan peran penting dalam Diabetes Melitus dengan

berkontribusi dalam resistensi insulin. Stres menyebabkan produksi

kortisol yang berlebih. Kortisol adalah suatu hormon yang kerjanya

berlawanan dengan aktivitas insulin dan menyebabkan kadar gula

darah tinggi. Jika seseorang mengalami stres berat, maka kortisol yang

dihasilkan akan semakin banyak, hal ini kan mengurangi sensitivitas

tubuh terhadap insulin. Selain itu mood yang buruk juga berhubungan

denga pola makan dan penurunan aktivitas fisik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Sharma et al

(2019), yang menyatakan bahwa variabel riwayat Diabetes Melitus

merupakan kejadian Diabetes Melitus pada penderita TB dengan nilai

OR yang paling besar yaitu 4,096. Artinya bahwa penderita TB yang

memiliki riwayat Diabetes Melitus berisiko mengalami TB-DM 4,096

kali besar dibandingkakn dengan yang tidak memiliki riwayat

Diabetes Melitus.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian oleh Tenaye

et al (2019) yang menyatakan determinan kejadian TB-DM adalah

umur ≥41 tahun dengan OR tertinggi (OR=9).

112
5.3 Keterbatasan Penelitian

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini yaitu peneliti hanya dapat

mengkaji umur, Indeks Massa Tubuh, riwayat Diabetes Melitus dan perilaku

merokok. Sementara ada faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam

kejadian TB-DM seperti stres, pola makan dan aktivitas fisik .

113
BAB VI PENUTUP

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Umur merupakan faktor risiko kejadian TB-DM pada penderita TB di

wilayah kerja Puskesmas Kamonji.

2. Indeks Massa Tubuh merupakan faktor protektif kejadian TB-DM

pada penderita TB di wilayah kerja Puskesmas Kamonji.

3. Riwayat Diabetes Melitus merupakan faktor risiko kejadian TB-DM

pada penderita TB di wilayah kerja Puskesmas Kamonji.

4. Perilaku merokok merupakan faktor risiko kejadain TB-DM pada

penderita TB di wilayah kerja Puskesmas Kamonji.

5. Determinan TB-DM pada penderita TB di wilayah kerja Puskesmas

Kamonji adalah riwayat Diabetes Melitus.

6.2 Saran

Adapun saran dari hasil penelitian ini, yaitu:

1. Sebaiknya penderita TB-DM maupun TB tanpa Diabetes Melitus yang

berumur ≥ 45 tahun melakukan screening PTM di Posbindu PTM

secara teratur minimal 1 tahun sekali untuk mendeteksi dini terhadap

penyakit kronis sehingga tidak terjadi komplikasi atau memperparah

kondisi penderita TB-DM maupun TB tanpa Diabetes Melitus.

114
2. Sebaiknya penderita TB-DM mempertahankan dan meningkatkan

kesadaran akan konsumsi makanan bergizi dan pengaturan pola

makan yang tepat, agar gula darah dan status IMT yang dimiliki lebih

mudah terkontrol. Selain itu, dengan mengatur pola makan yang benar

dengan cara mengkonsumsi makanan bergizi dapat membuat sistem

imun bekerja dengan baik untuk melawan berbagai penyabab

penyakit infeksi.

3. Sebaiknya penderita TB-DM maupun TB tanpa Diabetes Melitus yang

memiliki riwayat Diabetes Melitus dalam keluarga lebih

meningkatkan kesadaran dalam pengontrolan gula darah, pengecekan

secara rutin agar dapat meminimalisir komplikasi yang lebih lanjut

akibat keadaan hiperglikemia. Selain itu, diharapkan penderita lebih

meningkatkan pola hidup sehat seperti mengatur pola diet yang baik

dan benar, melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit serta

mengelola stress dengan baik agar tidak menimbulkan keadaan

hyperglycemia.

4. Sebaiknya penderita TB-DM lebih meningkatkan kesadaran mengenai

perilaku merokok yang baik seperti mengikuti saran dari petugas

kesehatan untuk berhenti merokok sehingga dapat mengurangi risiko

terjadinya komplikasi penyakit yang dimilikinya seperti gangguan

kardiovaskular.

115
DAFTAR PUSTAKA

Aesharyanto, T. I. and Kawijaya, D. (2011) Modul Tutor Berat Badan Menurun.


Kendari: Fakultas Kedokteraan Universitas Haluleo.
Afiati, N. F. (2015) Survei perokok dan Kondisi Kesehatan Perokok di Wilayah
Rural (Desa Cilebut Barat Kabupaten Bogor) dan Urban (Kelurahan
Kalibata Kota Jakarta Selatan) Tahun 2015. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
American Diabetes Association (2010) ‘Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus’, Diabetes Care, 33, pp. 62–9.
Amin and Bahar (2006) Tubekulosis paru. Buku Ajar Ulmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Ardiani, H. et al. (2018) ‘Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian
Diabetes Mellitus Tipe 2 pada Wanita Usia Subur (WUS) di RSUD Kota
Madiun’, Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 3(2), pp. 81–89. doi:
10.14710/jekk.v3i2.4026.
Arfiana, M. R., Kumiati, T. and Prayitno, H. (2018) ‘Profil Status Gizi Penderita
Tuberkulosis Paru-Multi Drug Resistance dengan Diabetes Melitus Tipe 2
di RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2016’, Jurnal Respirasi, 4(1).
Badescu, S. (2016) ‘The Association between Diabetes Mellitus and Depression’,
Journal of Medicine and Life, 9(4).
Baghaei, P. et al. (2010) ‘Comparison of Pulmonary TB Patients with and without
Diabetes Mellitus Type II’, National Research Institute of Tubeculosis an
Lung Disease, 9(2), pp. 13–20.
Baghaei, P. et al. (2013) ‘Diabetes Mellitus and Tubeculsis Facts and
Controversies’, Journal of Diabetes and Metabolic Disorders, 12(1), p. 58.
Baghei et al. (2015) ‘Impact of Diabetes Mellitus on Tuberculosis Drug
Resistance in New Case Tuberculosis’, International Journal of
Mycobacteriology, 128(4).
Bergman, B. . et al. (2012) ‘Novel and Reversible Mechanisms of Smoking
Induced Insulin Resistance in Human’, Diabetes, 61(12).
Bothamley, G. et al. (2018) Tuberculosis. Wakefield: European Respiratory
Society.

116
Brahmadhi, A. and Annisa, Y. (2016) ‘Perbandingan Antara Penderita
Tuberkulosis Perokok dan Bukan Perokok Berdasarkan Basih Tahan Asam
(BTA) di RSUD Banyumas’, Juranal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan, 14(3).
Broxmeyer, L. (2011) Diabetes Mellitus, Tuberculosis and The Science of Denial
[serial online],
https://lawrencebroxmeyer.wordpress.com/2011/01/26/diabetes-mellitus-
tuberculosis-and-the-science-of-denial-by-dr-lawrence-broxmeyer/.
Bustan (2007) Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta.
Carolus, T. P. T. St. (2017) Tuberkulosis Bisa Disembuhkan! Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. Available at:
https://books.google.co.id/books?id=gCdIDwAAQBAJ.
Chandra, J. et al. (2001) ‘Role of Apoptosis in Pancreatic Beta-cell Death in
Diabetes’, Diabetes, 50(1).
Charles, F. (2010) Bersahabat dengan Diabetes Tipe I. Jakarta: Penebar Plus.
Chritianto, A. (2018) ‘Paradigma Baru Tuberkulosis pada Era Sustainable
Development Goals (SDGs) dan Implikasinya di Indonesia’, CDK, 45(1).
Decroli, E. (2019) Diabetes Melitus Tipe 2. Padang: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Dewi (2017) Menu Sehat 30 Hari untuk Mencegah dan Mengatasi Diabetes.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Dewi, B. D. N. (2019) Diabetes Mellitus & Infeksi Tuberkulosis - Diagnosis dan
Pendekatan Terapi. Yogyakarta: Andi Offset.
Dewi, D. P. R. et al. (2017) ‘Risk Factors of Pulmonary Tuberculosis Among
Diabetes Mellitus Patients in Denpasar City’, Public Health and
Preventive Medicine Archive, 5(1), pp. 24–29.
Diabetes UK (2012) Diabetes in The UK: Key Statistics on Diabetes.
Dinas Kesehatan Kota Palu (2018) ‘Profil Dinas Kesehatan Kota Palu Tahun
2017’, in. Palu.
Dinas Kesehatan Sulteng (2019) Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah
Tahun 2018. Sulawesi Tengah: Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah.
Ditjen PPM & PL Depkes (2016) Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Fauziah, D. F., Basyar, M. and Manaf, A. (2016) ‘Insidensi Tuberkulosis Paru
pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Ruang Rawat Inap Penyakit
Dalam RSUP Dr. Djamil Padang’, Jurnal Kesehatan Andalas, 5(2).

117
Hoa, N. B. et al. (2018) ‘Prevalence and Associated Factors of Diabetes Mellitus
Among Tuberculosis Patients in Hanoi, Vietnam’, BMC Infectious
Diseases. BMC Infectious Diseases, 18(603), pp. 1–9.
International Diabetes Federation (2019) IDF Diabetes Atlas, Ninth edition 2019.
Irianto, K. (2018) Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular. Kedua.
Edited by F. Zulhendri. Bandung: Alfabeta.
Kamaura, M. et al. (2011) Weight Gaind and Risk of Impaired Fasting Glucose
After Smoking Cessation. NCBI.
Kemenkes (2018) ‘HASIL UTAMA RISKESDAS 2018’.
Kemenkes RI (2006) Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Kemenkes RI (2010) Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor Risiko Diabetes
Melitus.
Kemenkes RI (2012) Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang
Pengamaan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau bagi
Kesehatan.
Kementerian Kesehatan RI (2015) Petunjuk Teknis Penemuan Pasien TB-DM di
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut. Jakarta: Kemenkes RI Dirjen
P2PL.
Kementerian Kesehatan RI (2019) Profil Kesehatan Indonesia 2018. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Koendhori, B. E., Kusumaningrum, D. and Mertaniasih, N. M. (2013) Buku Ajar
Tuberkulosis Diagnostik Mikrobiologis. Cet. 1. Surabaya: Airlangga
University Press.
Leal, M. L., Maciel, E. L. N. and Cade, N. V. (2019) ‘Factors associated with
tuberculosis in a population of diabetics: A case-control study’, Journal
Ciência & Saúde Coletiva, 24(9), pp. 3247–3256.
Lusiani, E. (2019) ‘Faktor Risiko Terjadinya Manifestasi TB Paru Pada Penderita
DM Tipe 2 Dengan Tes Mantoux Positif’, Jurnal Keperawatan
Muhammadiya, 14(9).
Mahendra, B. et al. (2008) Care Your Self Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar
PLUS+.
Marewa, L. W. (2015) Kencing Manis (Diabetes Mellitus) di Sulawesi Selatan.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

118
Meadler, K. et al. (2001) Glucose Induces Beta-cell Apoptosis Via Upregulatiion
of The Fas Receptor in Human Islets. San Diego: Academic Press.
Mihardja, L., Lolog, D. . and Ghani, L. (2015) ‘Prevalensi Diabetes Mellitus pada
Tuberkulosis dan Masalah Terapi’, Jurnal Ekologi Kesehatan, 14(04), pp.
350–358.
Nasruddin, H., Hadi, S. and Pratiwi, M. E. (2017) ‘Analisis Faktor-Faktor Risiko
Terjadinya TB Paru pada Pasien DM Tipe 2 di RS Ibnu Sina Makassar’,
Umi Medical Journal, 2(2).
Notoatmodjo, S. (2014) Kesehatan Masyarakat: Ilmu & Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.
Panjaitan, S. (2016) ‘Hubungan antara Aktivitas Fisik dan Kualitas Hidup Pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2 di Puskesmas Purnama Kecamatan Pontianak
Selatan Kota Pontianak’, Jurnal UNTAN, 3, pp. 1–19.
PDPI (2011) Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB).
Pealing, L. et al. (2015) ‘Risk of tuberculosis in patients with diabetes: population
based cohort study using the UK Clinical Practice Research Datalink’,
BMC Medicine. doi: 10.1186/s12916-015-0381-9.
PERKENI (2015) Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: PERKENI.
Pin-Hui, L. et al. (2016) ‘Glycemic Control and The Risk of Tuberculosis: A
Cohort Study’, PLOS ONE. doi: 10.1371/journal.pmed.1002072.
Pitriani and Herawanto (2019) Epidemiologi Kesehatan Lingkungan. Makassar:
Nas Media Pustaka.
PPTI (2011) Penyakit-penyakit Infeksi di Indonesia. Jakarta: Widya Medika.
Prameyllawati, D. M. and Saraswati, L. D. (2019) ‘Faktor Risiko
Ketidakikutsertaan Skrining Tuberkulosis (Studi pada Penderita Diabetes
Mellitus di Puskesmas Imogiri 1 Bantul)’, Jurnal Kesehatan Masyarakat
(e-Journal), 7(4).
Purwandari, E. et al. (2020) ‘Terapi Berhenti Merokok dengn Spritual Emotional
Freedom Technique (SEFT)’, Jurnal Warta LPM, 23(2), pp. 84–93.
Purwandari, H. and Susanti, S. N. (2017) ‘Hubungan Kepatuhan Diet Dengan
Kualitas Hidup pada Penderita DM di Poli Penyakit Dalam RSUD
Kertosono’, Jurnal Ilmiah Kesehatan Strada, 6(2), pp. 19–22.
Raghuraman, S. et al. (2014) ‘Prevalence of Diabetes Melitus Among
Tuberculosis Patietns in Urban Puducherry’, Journal of Medical Science,
06(01).

119
Ramzie, M. (2010) Gambaran Perubahan Berat Badan pada Pasien Tuberkulosis
selama Pengobatan DOTS dibalai Pengobatan Penyakit Paru-paru Medan
Tahun 2009. Universutas Sumatera Utara.
Restrepo, B. . (2016) ‘Diabetes and Tuberculosis’, Mycrobiology Spectrum,
04(06), pp. 1–19.
Reviono, J. et al. (2013) ‘Perbandingan Klinis, Radiologis dan Konversi Kultur
Penderita Multidrug Resistant Tuberculosis dengan Diabetes dan Non
Diabetes’, Jurnal Respir Indo, 33(2).
Riza, L. L. and Sukendra, D. M. (2017) ‘Hubungan Perilaku Merokok dengan
Kejadian Gagal Konversi Pasien Tuberkulosis Paru di Balai Kesehatan
Paru Masyarakat (BKPM) Wilayah Semarang’, Public Health Perspective
Journal, 2(1).
Rohman, H. (2018) ‘Kasus Tuberkulosis dengan Riwayat Diabetes Mellitus di
Wilayah Prevalensi Tinggi Diabetes Mellitus’, Jurnal Manajemen
Informasi Kesehatan Indonesia, 6(2).
Romlah, L. (2015) Hubungan Merokok Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rosdiana, D. (2017) ‘Tuberkulosis Paru Resistens Obat dan Kormobiditas
Diabetes Mellitus’, Jurnal Kesehatan Melayu, 1(1).
Saraswati, L. D. (2015) Buku Ajar Dasar Epidemiologi. Semarang: Indoprinting.
Sarbini, D., Zulaekah, S. and Isnaeni, F. N. (2019) Gizi Geriatri. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Sasmita, H. Y. (2017) Prevalensi dan Faktor Risiko Diabetes Melitus pada Pasien
Tuberkulosis di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember Tahun 2017,
Skripsi. Universitas Jember.
Sembiring, S. P. K. (2019) Indonesia Bebas Tuberkulosis. Edited by R. Awahita.
Bandung: CV Jejak.
Sen, S., De, B. and Chakroborty, R. (2016) Diabetes Mellitus in 21st Century.
Singapore: Springer Nature.
Setyawan, F. E. B. (2019) Pendekatan Pelayanan Kesehatan Dokter Keluarga
(Pendekatan Holistik Komprehensif). Surabaya: Zifatama Jawara.
Setyawati, A. and Hartini, E. (2018) Dasar Ilmu Gizi Kesehatan Masyarakat.
Yogyakarta: Deepublish.
Shabella, R. (2013) Terapi Herbal Buah Sayuran untuk Diabetes. Klaten: Cable
Book.

120
Sharma, B. et al. (2019) ‘Study of the magnitude of diabetes and its associated
risk factors among the tuberculosis patients of Morang, Eastern Nepal’,
BMC Public Health, 19(1545).
Sherwood, L. (2012) Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC.
Suastika, K. (2018) Penaan, Diabetes dan Insulin. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Tenaye, L. et al. (2019) ‘Diabetes Mellitus among Adult Tuberculosis Patients
Attending Tuberculosis Clinics in Eastern Ethiopia’, Biomed Research
International, 2019.
Thapa, B., Paudel, R. and Thapa, A. . (2015) ‘Prevalence of Diabetes among
Tuberculosis Patients and Associated Risk Factors in Kathmandu Valley’,
Journal of Tuberculosis, Lung Diseases & HIV/AIDS, 12(02).
Trisnawati, S. K. and Setyorogo, S. (2013) ‘Faktor Risiko Kejadian Diabetes
Melitus Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun
2012’, 5(1), pp. 6–11.
Utami, P. (2004) Tanaman Obat Untuk Mengatasi Diabetes Melitus. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Wedhani, R. (2011) Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis.
Jakarta: Universitas Indonesia.
WHO (2015) The End TB Strategy. Geneva.
WHO (2019) Global Tuberculosis Report 2019. Geneva.
Wijaya (2015) ‘Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Mellitus’, Kalbe Med,
42(6).
Wijayanto et al. (2015) ‘Faktor Terjadinya Tuberkuloasis Paru pada Pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2’, Jurnal Respirologi, 35(1), pp. 1–11.
Yusnitasari, A. S. (2015) ‘Kormobiditas Diabetes Mellitus Terhadapa Manifestasi
Klinik dan Kuliatas Hidup Pada Penderita Tuberkulosis Paru’, Jurnal
MKMI, 11(2), pp. 86–91.
Yuwono, H. S. (2010) Ilmu Bedas Vaskular: Sains dan Pengalaman Praktis.
Bandung: PT. Refika Aditama.
Zhang, L. et al. (2011) ‘Association Between Passive and Active Smoking and
Incident Type 2 Diabetes in Women’, Diabetes Care, 34.

121
LAMPIRAN

122
DOKUMENTASI

Suasana proses konsultasi dalam Poli Penyakit Menular

Pengukuran berat badan penderita TB Paru

123
Suasana wawancara dengan responden kelompok kasus

Suasana wawancara dengan responden kelompok kontrol

Suasana saat salah satu responden menandatangani Informant Concent

124
JADWAL PENELITIAN

Judul : Analisis Risiko Kejadian Diabetes Melitus Pada Pasien TB Di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Kota Palu
Nama : Nur Mifta Huldjannah
Stambuk : P 101 17 028

April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Desember


No Kegiatan
2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan
1
Proposal
Penyusunan
2
Instrumen
3 Ujian Proposal
Perbaikan
4
Proposal
Pelaksanaan
5
Penelitian
Pengumpulan
6
Data
Pengolahan
7 dan Analisis
Data
Ujian Hasil
8
Penelitian
9 Perbaikan
10 Ujian Skripsi

125
126
127
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Nur Mifta Huldjannah

NIM : P 101 17 028

Konsentrasi : Epidemiologi

Prog. Studi : Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat)

Universitas Tadulako

Alamat : Jl. Samudra 2, Lrg. 2

Bermaksud melakukan penelitian tentang “Analisis Risiko Kejadian

Diabetes Melitus Pada Pasien TB Di Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji

Kota Palu”. Penelitian ini akan menggunakan desain Kuantiatif dengan

pendekatan Survey analitik degan desain case control. Oleh karena itu, saya akan

menjelaskan beberapa hal terkait dengan penelitian yang akan saya lakukan

sebagai berikut:

1. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor risiko kejadian

Diabetes Melitus pada pasien TB di wilayah kerja Puskesmas Kamonji Kota

Palu

2. Manfaat penelitian ini secara garis besar adalah memberikan pengetahuan

terkait dengan faktor risiko TB-DM, serta fapat digunakan sebagai salah satu

referensi untuk pengembangan penelitian terkait di masa yang akan datang.

3. Responden penelitian ini adalah semua penderita Tuberkulosis BTA (+) di

Wilayah Kerja Puskesmas Kamonji Kota Palu.

128
4. Pengambilan data ini akan dilakukan secara mendalam selama beberapa kali

dengan mengisi kuesioner.

5. Waktu yang di gunakan menyesuaikan dengan kesepakatan.

6. Selama wawancara berlangsung diharapkan responden dapat menyampaikan

informasi secara utuh.

7. Waktu dan tempat pengisian kuesioner disesuaikan dengan keinginan

responden.

8. Selama pengisian kuesioner dilakukan, peneliti akan menggunakan alat bantu

berupa catatan, dan kamera foto untuk membantu kelancaran pengumpulan

data.

9. Proses wawancara akan dihentikan jika responden mengalami kelelahan,

kesedihan atau ketidaknyamanan dan akan dilanjutkan lagi jika responden

sudah merasa tenang untuk memberikan informasi, baik pada hari yang sama

maupun hari yang berbeda.

10. Penelitian ini tidak berdampak negatif bagi informan dan keluarganya.

11. Semua catatan dan data yang berhubungan dengan penelitian ini akan

disimpan dan dijaga kerahasiaannya.

12. Hasil data dari kuesioner akan di buang segera setelah kegiatan penelitian

selesai dilakukan.

13. Pelaporan hasil penelitian ini akan menggunakan kode, bukan nama

sebenarnya dari responden.

14. Responden dalam penelitian ini bersifat sukarela dan responden berhak untuk

mengajukan keberatan kepada peneliti jika terdapat hal-hal yang tidak

129
berkenan dan selanjutnya akan dicari penyelesaian masalahnya berdasarkan

kesepakatan antara peneliti dan responden.

15. Setelah selesai melakukaan pengisian kuesioner, peneliti akan memberikan

klarifikasi atau membacakan kembali hasi pengisian kuesioner tersebut.

Palu,…………………..2020

Peneliti

(Nur Mifta Huldjannah)

130
PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

(Consent)

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Pekerjaan :

Alamat :

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa setelah mendapatkan penjelasan

penelitian dan memahami informasi yang diberikan oleh peneliti serta mengetahui

tujuan dan manfaat dari penelitian, maka dengan ini saya secara sukarela bersedia

menjadi Responden dalam penelitian ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya serta penuh

kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak manapun.

Palu,……………………..2020

Yang Menyatakan

(………………………...)

131
PERSETUJUAN PENGAMBILAN GAMBAR RESPONDEN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Pekerjaan :

Alamat :

Menyatakan dengan ini saya bersedia foto/gambar saya dipublikasikan namun

dengan ketentuan (foto harus diblur) untuk kepentingan ilmiah dalam rangka

penyusunan Skripsi bagi peneliti dan tidak akan merugikan saya.

Demikian persetujuan ini saya buat dengan sebenar-benarnya serta penuh

kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak manapun.

Palu,………………..2020

Yang Menyatakan

(………………………)

132
KUESIONER PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN DIABETES MELITUS


PADA PASIEN TB DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KAMONJI KOTA PALU

No. Responden

PETUNJUK PENGISIAN:
1. Berilah tanda silang (X) pada jawaban yang paling sesuai.
2. Jawaban yang ibu berikan akan dijaga kerahasiannya maka diharapkan ibu
menjawab semua pertanyaan-pertanyaan di bawah ini sesuai dengan pendapat
atau keyakinan.
3. Tiap jawaban yang ibu kembalikan kepada kami merupakan bantuan yang tak
ternilai bagi penelitian ini, untuk itu peneliti mengucapkan pengahargaan
yang setinggi-tingginya.

Status Responden : Kasus/Kontrol

Tanggal Wawancara :

A. Identitas Responden

1. Nama :

2. Jenis Kelamin :

3. Tanggal Lahir : / /

4. Umur :

5. Alamat :

6. Pendidikan Terakhir
 Belum pernah sekolah  Tamat SMP  S1/S2/S3
 Tidak Lulus SD  Tamat SMA
 Tamat SD  D3/D4

133
7. Jenis Pekerjaan
 Tidak bekerja  Pegawai swasta
 Buruh  Pegawai negeri
 Petani  Pelajar/Mahasiswa
 Wiraswasta  Lainnya………………..
B. Indeks Massa Tubuh

1. Berapa berat badan anda saat ini? ………………….

2. Berapa tinggi badan anda saat ini? ………………….

C. Riwayat Diabetes Melitus

1. Apakah Ayah/Ibu anda anda pernah menderita Diabetes Melitus?

 Ya

 Tidak

2. Pernahkah anda pernah di diagnosis memiliki kadar gula darah tinggi

oleh petugas kesehatan?

 Ya

 Tidak

D. Perilaku Merokok

No Pernyataan Ya Tidak
1. Apakah anda pernah merokok?
2. Apakah sampai sekarang masih merokok?
3. Apakah anda pernah untuk berhenti merokok?
4. Apakah anda merokok setiap hari?
5. Apakah anda menghabiskan ≥10 batang perhari?
6. Apakah anda merokok selama ≥10 tahun?
Apakah ada anggota keluarga, teman atau rekan kerja
7.
anda yang merokok?

134
Jika ada, apakah anda sering terpapar oleh asap rokok
8.
tersebut?

135
RIWAYAT POSITIF
PERILAKU
NO NAMA STATUS JK UMUR PENDIDIKAN PEKERJAAN BB TB IMT DIABETES DIABETES
MEROKOK
MELITUS MELITUS
1 Ny. Z 1 2 61 3 1 50 1.56 2 1 1 2
2 Tn. M 2 1 41 5 2 42 1.58 1 2 2 2
3 Ny. M 2 2 18 5 7 50 1.63 2 2 2 2
4 Ny. K 2 2 48 5 8 44 1.57 1 1 2 2
5 Ny. A 2 2 62 5 1 35 1.56 2 2 2 2
6 Ny. AL 2 2 38 7 6 48 1.6 1 2 2 2
7 Ny. S 1 2 63 3 1 50 1.54 2 1 1 2
8 Tn. AW 1 1 69 5 1 37 1.58 1 1 1 1
9 Ny. S 2 2 40 5 4 42 1.55 1 2 2 2
10 Tn. H 1 1 39 5 4 47 159 2 2 1 1
11 Ny. L 2 2 53 5 4 48 1.63 1 2 2 2
12 Ny. Y 2 2 29 5 4 44 1.6 1 1 2 2
13 Ny. S 2 2 34 5 4 60 1.66 2 2 2 2
14 Tn. N 2 1 37 5 2 50 1.6 2 2 2 1
15 Tn. B 2 1 29 3 9 52 1.7 1 1 2 1
16 Tn. A 2 1 51 5 9 50 1.65 2 2 2 2
17 Tn. S 2 1 61 3 1 51 1.67 2 2 2 2
18 Tn. S 2 1 43 4 3 55 1.66 2 2 2 1
19 Tn. S 2 1 29 5 4 43 1.6 1 2 2 2
20 Tn. S 1 1 50 5 5 48 1.55 2 1 1 1
21 Ny. H 1 2 49 5 4 53 1.66 2 1 1 2

136
22 Tn. D 2 1 41 5 4 45 1.53 2 2 2 1
23 Tn. F 2 1 23 5 7 39 1.52 1 1 2 2
24 Tn. F 2 1 52 5 9 43 1.6 1 2 2 2
25 Tn. MF 2 1 35 5 4 49 1.64 1 2 2 2
26 Ny. S 1 2 43 5 4 43 1.53 1 1 1 2
27 Ny. J 1 2 51 4 8 54 1.66 2 1 1 2
28 Tn. A 1 1 70 5 1 40 1.6 1 1 1 1
29 Tn. BSP 2 1 64 5 1 36 1.65 1 2 2 1
30 Nn. F 2 2 28 7 9 47 1.58 2 2 2 2
31 Ny. H 2 2 40 5 8 50 1.66 1 2 2 2
32 Tn. MR 2 1 57 5 2 50 1.65 1 2 2 1
33 Tn. AR 2 1 31 4 4 44 1.63 1 1 2 1
34 Ny. A 2 2 45 5 4 45 1.57 1 2 2 2
35 Tn. AS 2 1 49 5 4 35 1.5 1 2 2 1
36 Tn. S 2 1 29 7 6 60 1.68 2 2 2 2
37 Nn. MF 2 2 18 4 7 57 1.65 2 2 2 2
38 Ny. F 2 2 45 5 6 40 1.57 1 2 2 2
39 Tn. MR 2 1 21 5 7 49 1.67 1 2 2 2
40 Tn. S 1 1 50 7 9 45 1.55 2 1 1 1
41 Tn. AA 2 1 56 4 1 59 1.68 1 1 2 2
42 Tn. IA 1 1 27 6 5 55 1.75 2 1 1 1
43 Tn. SSW 1 1 32 5 5 56 1.66 2 2 1 1
44 Tn. S 1 1 45 5 4 57 1.69 1 1 1 1
45 Ny. NA 2 2 14 4 7 30 1.52 1 2 2 2

137
46 Ny. H 2 2 28 5 4 32 1.59 1 2 2 2
47 Tn. S 2 1 35 5 4 38 1.6 1 2 2 2
48 Tn. A 2 1 24 5 7 42 1.66 1 2 2 2
49 Tn. MM 2 1 73 4 1 46 1.64 2 2 2 1
50 Ny. D 1 2 25 4 8 45 1.55 2 1 1 2
51 Tn. AK 1 1 52 1 1 58 1.75 2 2 1 2
52 Tn. AS 2 1 37 5 2 50 1.65 1 1 2 2
53 Ny.R 1 2 55 5 4 35 1.53 1 1 1 2
54 Nn. I 2 2 15 4 7 39 1.5 1 1 2 2
55 Ny. N 2 2 57 6 9 48 1.62 1 2 2 2
56 Ny. s 2 2 48 5 4 40 1.55 2 2 2 2
57 Ny. AF 2 2 22 5 7 46 1.6 1 2 2 2
58 Tn. HL 2 1 21 5 7 38 1.63 1 2 2 2
59 Tn. AD 2 1 28 3 4 49 1.68 2 2 2 2
60 Tn. HL 2 1 52 5 9 40 1.64 1 1 2 2
61 Tn. AT 2 1 18 5 7 45 1.54 2 2 2 2
62 Tn. F 2 1 32 6 9 39 1.58 1 2 2 1
63 Ny. H 2 2 50 5 4 51 1.57 2 2 2 2
64 Tn. DJ 2 2 38 4 4 45 1.58 1 1 2 2

Keterangan:
Pendidikan : 1. Tidak Sekolah Status : 1. Tidak bekerja
Status : 1. Kasus Terakhir 2. Tidak Lulus SD Pekerjaan 2. Buruh
2. Kontrol 3. Tamat SD/Sederajat 3. Petani
4. Tamat SMP/Sederajat 4. Wiraswastas
Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 5. Tamar SMA/Sederajat 5. Pegawai Swasta
2. Perempuan 6. D3/D4 6. Pegawai Negeri
7. S1/S2/S3 7. Pelajar/Mahasiswa
8. URT 138
9. Lainnya
IMT : 1. Risiko Tinggi Positif DM : 1. Risiko Tinggi Riwayat DM : 1. Risiko Tinggi
2. Risiko Rendah 2. Risiko Rendah 2. Risiko Rendah

Perilaku Merokok : 1. Risiko Tinggi


2. Risiko Rendah

139
1. Analisis Univariat

Status
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Kasus 16 25.0 25.0 25.0
Valid Kontrol 48 75.0 75.0 100.0
Total 64 100.0 100.0

Jenis Kelamin
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Laki-Laki 36 56.2 56.2 56.2
Valid Perempuan 28 43.8 43.8 100.0
Total 64 100.0 100.0

Umur
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid 14 1 1.6 1.6 1.6
15 1 1.6 1.6 3.1
18 3 4.7 4.7 7.8
21 2 3.1 3.1 10.9
22 1 1.6 1.6 12.5
23 1 1.6 1.6 14.1
24 1 1.6 1.6 15.6
25 1 1.6 1.6 17.2
27 1 1.6 1.6 18.8
28 3 4.7 4.7 23.4
29 4 6.2 6.2 29.7
31 1 1.6 1.6 31.2
32 2 3.1 3.1 34.4

140
34 1 1.6 1.6 35.9
35 2 3.1 3.1 39.1
37 2 3.1 3.1 42.2
38 2 3.1 3.1 45.3
39 1 1.6 1.6 46.9
40 2 3.1 3.1 50.0
41 2 3.1 3.1 53.1
43 2 3.1 3.1 56.2
45 3 4.7 4.7 60.9
48 2 3.1 3.1 64.1
49 2 3.1 3.1 67.2
50 3 4.7 4.7 71.9
51 2 3.1 3.1 75.0
52 3 4.7 4.7 79.7
53 1 1.6 1.6 81.2
55 1 1.6 1.6 82.8
56 1 1.6 1.6 84.4
57 2 3.1 3.1 87.5
61 2 3.1 3.1 90.6
62 1 1.6 1.6 92.2
63 1 1.6 1.6 93.8
64 1 1.6 1.6 95.3
69 1 1.6 1.6 96.9
70 1 1.6 1.6 98.4
73 1 1.6 1.6 100.0
Total 64 100.0 100.0

141
Pendidikan Terkahir
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak
1 1.6 1.6 1.6
Sekolah
Tamat SD 5 7.8 7.8 9.4
Tamat SMP 10 15.6 15.6 25.0
Tamat SMA 41 64.1 64.1 89.1
D3/D4 3 4.7 4.7 93.8
S1/S2/S3 4 6.2 6.2 100.0
Total 64 100.0 100.0

Jenis Pekerjaan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak bekerja 10 15.6 15.6 15.6
Buruh 4 6.2 6.2 21.9
Petani 1 1.6 1.6 23.4
Wiraswasta 21 32.8 32.8 56.2
Pegawai Swasta 3 4.7 4.7 60.9
Pegawai Negeri 3 4.7 4.7 65.6
Pelajar/Mahasiswa 10 15.6 15.6 81.2
URT 4 6.2 6.2 87.5
Lainnya 8 12.5 12.5 100.0
Total 64 100.0 100.0

IMT
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Risiko Tinggi 37 57.8 57.8 57.8
Risiko Rendah 27 42.2 42.2 100.0
Total 64 100.0 100.0

142
Riwayat Diabetes Melitus
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Risiko Tinggi 23 35.9 35.9 35.9
Risiko Rendah 41 64.1 64.1 100.0
Total 64 100.0 100.0

Perilaku Merokok
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Risiko Tinggi 18 28.1 28.1 28.1
Risiko Rendah 46 71.9 71.9 100.0
Total 64 100.0 100.0

Pernah Merokok
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Ya 36 56.2 56.2 56.2
Tidak 28 43.8 43.8 100.0
Total 64 100.0 100.0

Sampai Sekarang merokok


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Ya 16 25.0 25.0 25.0
Tidak 48 75.0 75.0 100.0
Total 64 100.0 100.0

143
Berhenti Merokok
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Tidak 7 10.9 10.9 10.9
Ya 57 89.1 89.1 100.0
Total 64 100.0 100.0

Merokok setiap hari


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Ya 20 31.2 31.2 31.2
Tidak 44 68.8 68.8 100.0
Total 64 100.0 100.0

Habis > 10 batang


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Ya 25 39.1 39.1 39.1
Tidak 39 60.9 60.9 100.0
Total 64 100.0 100.0

Merokok selama >10 tahun


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Ya 29 45.3 45.3 45.3
Tidak 35 54.7 54.7 100.0
Total 64 100.0 100.0

144
anggota keluarga merokok, teman dll
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Ya 56 87.5 87.5 87.5
Tidak 8 12.5 12.5 100.0
Total 64 100.0 100.0

Terpapar asap rokok


Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid Ya 35 54.7 54.7 54.7
Tidak 29 45.3 45.3 100.0
Total 64 100.0 100.0

2. Analisis Bivariat

Crosstab Umur
Status
Kasus Kontrol Total
Umur Risiko Tinggi Count 11 17 28
Expected Count 7.0 21.0 28.0
% within Status 68.8% 35.4% 43.8%
Risiko Rendah Count 5 31 36
Expected Count 9.0 27.0 36.0
% within Status 31.2% 64.6% 56.2%
Total Count 16 48 64
Expected Count 16.0 48.0 64.0
% within Status 100.0% 100.0% 100.0%

145
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Umur
(Risiko Tinggi / Risiko 4.012 1.195 13.472
Rendah)
For cohort Status =
2.829 1.111 7.203
Kasus
For cohort Status =
.705 .509 .976
Kontrol
N of Valid Cases 64

Crosstab IMT
Status
Kasus Kontrol Total
IMT Risiko Count 5 32 37
Tinggi Expected Count 9.2 27.8 37.0
% within Status 31.2% 66.7% 57.8%
Risiko Count 11 16 27
Rendah Expected Count 6.8 20.2 27.0
% within Status 68.8% 33.3% 42.2%
Total Count 16 48 64
Expected Count 16.0 48.0 64.0
% within Status 100.0% 100.0% 100.0%

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for IMT
(Risiko Tinggi / Risiko .227 .067 .766
Rendah)
For cohort Status =
.332 .130 .844
Kasus

146
For cohort Status =
1.459 1.041 2.046
Kontrol
N of Valid Cases 64

Crosstab Riwayat Diabetes Melitus


Status
Kasus Kontrol Total
Riwayat Risiko Count 13 10 23
Diabetes Tinggi Expected Count 5.8 17.2 23.0
Melitus
% within Status 81.2% 20.8% 35.9%
Risiko Count 3 38 41
Rendah Expected Count 10.2 30.8 41.0
% within Status 18.8% 79.2% 64.1%
Total Count 16 48 64
Expected Count 16.0 48.0 64.0
% within Status 100.0% 100.0% 100.0%

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Riwayat
Diabetes Melitus
16.467 3.918 69.202
(Risiko Tinggi / Risiko
Rendah)
For cohort Status =
7.725 2.454 24.319
Kasus
For cohort Status =
.469 .292 .753
Kontrol
N of Valid Cases 64

147
Crosstab Perilaku Merokok
Status
Kasus Kontrol Total
Perilaku Risiko Count 8 10 18
Merokok Tinggi Expected
4.5 13.5 18.0
Count
% within
50.0% 20.8% 28.1%
Status
Risiko Count 8 38 46
Rendah Expected
11.5 34.5 46.0
Count
% within
50.0% 79.2% 71.9%
Status
Total Count 16 48 64
Expected
16.0 48.0 64.0
Count
% within
100.0% 100.0% 100.0%
Status

Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Perilaku
Merokok (Risiko 3.800 1.142 12.646
Tinggi / Risiko Rendah)
For cohort Status =
2.556 1.132 5.771
Kasus
For cohort Status =
.673 .436 1.038
Kontrol
N of Valid Cases 64

148
3. Uji Multivariat

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

Step 1a Umur 1.389 .618 5.052 1 .025 4.012 1.195 13.472

Constant -.954 .912 1.095 1 .295 .385

a. Variable(s) entered on step 1: Umur.

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

Step 1a IMT -1.482 .620 5.707 1 .017 .227 .067 .766

Constant 3.338 1.038 10.332 1 .001 28.160

a. Variable(s) entered on step 1: IMT.

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

Step 1a Riwayat_
Diabetes 2.801 .733 14.625 1 .000 16.467 3.918 69.202
Melitus

Constant -3.064 1.033 8.794 1 .003 .047

a. Variable(s) entered on step 1:


Riwayat_Diabetes Melitus.

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

Step 1a Perilaku_me
1.335 .613 4.736 1 .030 3.800 1.142 12.646
rokok

Constant -1.112 1.025 1.176 1 .278 .329

149
Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

Step 1a Perilaku_me
1.335 .613 4.736 1 .030 3.800 1.142 12.646
rokok

a. Variable(s) entered on step 1:


Perilaku_merokok.

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

Step 1a Riwayat_Diabetes
21.705 6.440E3 .000 1 .997 2.670E9 .000 .
Melitus

IMT -20.800 6.440E3 .000 1 .997 .000 .000 .

Umur 1.407 .984 2.044 1 .153 4.084 .593 28.108

Perilaku_merokok 2.017 .982 4.215 1 .040 7.516 1.096 51.559

Constant -5.524 2.783 3.939 1 .047 .004

a. Variable(s) entered on step 1: Riwayat_Diabetes Melitus, IMT, Umur,


Perilaku_merokok.

Variables in the Equation

95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

Step 1a Riwayat_Diabetes
2.844 .808 12.373 1 .000 17.176 3.522 83.758
Melitus

Umur 1.268 .758 2.794 1 .095 3.553 .804 15.706

Perilaku_merokok 1.538 .806 3.645 1 .056 4.657 .960 22.588

Constant -7.541 2.334 10.439 1 .001 .001

a. Variable(s) entered on step 1: Riwayat_Diabetes Melitus, Umur,


Perilaku_Merokok.

Variables in the Equation

150
95.0% C.I.for EXP(B)

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

Step 1a Perilaku_merokok 1.532 .780 3.856 1 .050 4.626 1.003 21.340

Riwayat_Diabetes
2.907 .785 13.692 1 .000 18.294 3.924 85.294
Melitus

Constant -5.754 1.898 9.191 1 .002 .003

a. Variable(s) entered on step 1: Perilaku_merokok,


Riwayat_Diabetes Melitus.

151
RIWAYAT HIDUP

Dilahirkan dengan nama Nur Mifta Huldjannah di Tg. Padang, 16 Mei

1999. Anak pertama dari bapak Yusman Saganta dan ibu Hilda. Penulis

menjalani masa kecil di Kota Palu. Periode pendidikannya dimulai pada tahun

2005 di SDN Inpres Bumi Bahari, pada tahun 2011 melanjutkan pendidikan ke

Sekolah Menengah Pertama di SMPN 2 Palu. Kemudian melanjutkan ke Sekolah

Menengah Atas di SMK Nusantara Palu. Pendidikan Perguruaan Tinggi

dilanjutkan di Universitas Tadulako Palu, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM)

pada Program Studi Kesehatan Masyarakat, Peminatan Epidemiologi.

152

Anda mungkin juga menyukai