Anda di halaman 1dari 29

MANAJEMEN PERPAJAKAN

DAN TAX TREATY


SAAR & GAAR
By Kelompok 3
Allegheno Ditoananto (165020300111008)
Kharisma Dwi Kurniawan (175020307111053)
TAX TREATY
Tax Treaty atau yang lebih dikenal dengan P3B (Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda) adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar
kedua negara yang mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh penduduk salah satu negara atau penduduk
kedua negara dalam persetujuan tersebut.
Tujuan P3B ada 5:

1. Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha


(Harapannya, dunia usaha bisa mendapatkan kepastian hukum karena
membayar pajak hanya dikenakan satu kali, yaitu pada negara domisili).
2. Peningkatan investasi modal dari luar negeri
(P3B ini diharapkan dapat menarik negara luar untuk menanamkan modalnya
di Indonesia).
3. Peningkatan SDM
(Pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara tempat
menempuh pendidikan atau pelatihan diharapkan dapat meningkatkan
kompetensi mahasiswa dan karyawan tersebut).
4. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak
(Hal ini dapat mengetahui jika ada penduduk yang memenuhi kewajiban
perpajakan sehingga dapat dideteksi sedini mungkin).
5. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara
(Hal ini mengutamakan prinsip saling menguntungkan serta tidak
memberatkan penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha).
Model P3B ada 2, yaitu:
1. Model OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development) dengan anggota yang terdiri dari 26
negara. Perjanjian model OECD ini disusun dan
dikembangkan oleh komite yang dibentuk oleh negara-
negara OECD khusus untuk memecahkan masalah-
masalah perpajakan yang ada dalam kumpulan negara
tersebut. Pada model ini hak pemajakan diusahakan lebih
banyak pada negara domisili.
2. Model UN (United Nations) Sekjen PBB menerbitkan The
United Nations Model Double Taxation Convention
Between Developed and Developing Countries atau
dikenal dengan nama Model UN. Model UN memiliki tujuan
Tax Treaty yang lebih luas, yaitu meningkatkan investasi
asing, serta sebagai alat untuk pertumbuhan ekonomi dan
sosial dari negara-negara berkembang. Berdasarkan
tujuan ini, Model UN menginginkan hak pemajakan lebih
banyak di negara berpenghasilan.
SAAR
Secara definisi, SAAR (Specific Anti Avoidance Rule) merupakan ketentuan anti
penghindaran pajak yang bersifat khusus seperti:

 Controlled Foreign Company (CFC) Rule


 Arm’s Length Rule
 Advance Pricing Agreement
 Debt to Equity Ratio.

Kesulitan menangkal skema penghindaran pajak seringkali menimbulkan rasa


frustasi bagi otoritas pajak di suatu negara. Pasalnya, penggunaan SAAR hanya
efektif dalam mencegah skema penghindaran pajak tertentu saja. Padahal,
skema penghindaran pajak atau praktik Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)
semakin kompleks dan kadang tidak mampu diikuti oleh kecepatan pemerintah
dalam merubah ketentuan. Pada saat itulah, penggunaan GAAR menjadi krusial.
GAAR
Secara definisi, GAAR (General Anti Avoidance Rule) merupakan ketentuan
anti penghindaran pajak yang bersifat umum yang tidak dibatasi kepada
subyek atau obyek tertentu. GAAR akan menyasar pada suatu skema yang
melibatkan suatu transaksi yang secara umum tidak akan dilakukan, selain
hanya untuk alasan manfaat pajak bagi wajib pajak.

Dalam hal ini, GAAR berdiri diatas asumsi bahwa penghindaran pajak
dilakukan pada transaksi atau suatu skema yang tidak memiliki substansi
bisnis. Oleh sebab itu, GAAR memberikan kewenangan kepada otoritas
pajak untuk membatalkan atau mengoreksi suatu transaksi untuk tujuan
pajak jika transaksi tersebut tidak memiliki substansi ekonomi atau
semata-mata dilakukan hanya untuk mendapatkan keuntungan pajak.
SAAR DAN GAAR DI
BERBAGAI NEGARA
Seoul, Korea Selatan
-> Salah satu topik pembahasan adalah pencegahan praktik penghindaran
pajak berganda (Anti Tax Avoidance). Pada kenyataannya, perkembangan Tax
Avoidance sudah semakin canggih dan agresif, serta sulit untuk dideteksi
secara efektif serta memerlukan sumber daya yang besar bagi suatu negara
atau yurisdiksi untuk mengungkapnya. Hal tersebut di atas terjadi karena
landscape perpajakan internasional telah mengalami perubahan yang
mendasar (Fundamental Changes) yang dipengaruhi oleh 4 variabel:
1. Globalisasi
2. Digitalisasi
3. Underground Economy
4. Pertumbuhan Ekonomi Dunia
SAAR DAN GAAR DI
BERBAGAI NEGARA
Canberra, Australia; Kuala Lumpur, Malaysia; Beijing, China
-> Mengingat permasalahan penghindaran pajak sudah semakin
“sophisticated and complexity”, ada beberapa negara seperti Australia,
Malaysia, China yang sudah menerapkan GAAR untuk melengkapi
ketentuan SAAR bahkan, Australia selangkah lebih maju di bidang
regulasinya karena sudah menerapkan Multinational Anti Avoidance Law
(MAAL) dan Diverted Profit Tax (DPT) untuk mencegah praktik
penghindaran pajak yang dipengaruhi oleh dampak kemajuan digitalisasi
informasi, komunikasi dan teknologi.
CFC RULE SEBAGAI ANTI TAX
AVOIDANCE
Controlled foreign corporation (CFC) adalah perusahaan terkendali yang
dimiliki oleh wajib pajak dalam negeri yang berada di negara yang
mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali (tax
haven country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda pengakuan
penghasilan dalam rangka penghindaran pajak (tax avoidance).
CFC RULE SEBAGAI ANTI
TAX AVOIDANCE
Suatu transaksi diindikasikan sebagai Tax Avoidance apabila dalam
pelaksanaannya terdapat tindakan berikut:
1. Wajib Pajak atau Badan berusaha membayar pajak lebih sedikit atau
kurang yang seharusnya terutang dengan memanfaatkan kewajaran
interpetasi hukum pajak.
2. Wajib Pajak berupaya melakukan penundaan pembayaran pajak.
3. Wajib Pajak berusaha agar pengenaan pajak bukan atas keuntungan
sebenarnya yang diperoleh
KETENTUAN ANTI PENGHINDARAN
PAJAK DI INDONESIA
1. Anti Thin Capitalization (Pasal 18 ayat 1 UU PPh dan PMK Nomor 169/PMK.03/2015)
-> Merupakan upaya Wajib Pajak mengurangi beban pajak dengan cara memperbesar
pinjaman, sehingga beban bunganya bertambah dan labanya kecil.
2. Controlled Foreign Company (CFC) Rules (Pasal 18 ayat 2 UU PPh)
-> Memuat aturan mengenai kewenangan Menteri Keuangan menetapkan saat
diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada
Badan Usaha di luar negeri yang tidak menjual saham di bursa efek paling rendah
50%
3. Transfer Pricing (Pasal 18 ayat 3 UU PPh)
-> Memuat kewenagan DJP untuk menentukan kembali besar penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besar
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa
KETENTUAN ANTI PENGHINDARAN
PAJAK DI INDONESIA
4. Anti-Treaty Shopping (PER-25/PJ/2010)
-> Mengatur tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda.
5. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PER-32/PJ/2011)
-> Mengatur tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dalam transaksi antara Wajib Pajak dan Pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
CONTROLLED FOREIGN CORPORATION
(CFC)
 Pengertian Controlled Foreign Companies or Corporation

Aturan yang dibuat untuk mencegah Wajib Pajak (WP) disuatu negara melakukan
tax deferral atas penghasilannya, dengan cara melakukan transaksi atau investasi
di negara-negara yang dikenal dengan sebutan tax heaven, karena tarif pajak di
negara-negara tersebut sangat rendah atau bahkan tidak ada pajak sama sekali.

Ada 4 kelompok Tax Heaven :


1.Classical tax haven

2.Tax havens

3.Special tax regimes

4.Treaty tax havens

 tujuan aturan CFC adalah agar Wajib Pajak tidak memindahkan penghasilannya
ke luar negeri dengan mendirikan perusahaan di negara-negara tertentu karena
ketentuan perpajakannya sangat longgarsyarat
 Secara umum ada tiga jenis penghasilan yang berhubungan dengan kebijakan
ketentuan CFC yaitu:

1.passive investment type income (penghasilan-penghasilan dari investasi) dikenakan


oleh semua negara yang mempunyai ketentuan CFC. Penghasilan pasif berupa
dividen, bunga, sewa atau royalty.
2.active business income (penghasilan dari kegiatan usaha), secara umum ketentuan
CFC membebaskan jenis penghasilan tersebut (kecuali Hongaria, Selandia Baru,
Swedia).
3.base company income (penghasilan selain passive income yang termasuk kategori
tainted income), dikenakan oleh beberapa negara tetapi ada juga yang sama sekali
tidak mengenakannya. Tainted income adalah penghasilan yang diperoleh CFC yang
terhadapnya dapat diterapkan ketentuan tentang CFC. Penghasilan yang masuk dalam
kategori ini misalnya penjualan harta atau pemberian jasa yang dilakukan di luar
negara domisili dari pemegang saham CFC.
 Ada beberapa cara untuk melakukan tax avoidance berhubungan dengan
penggunaan CFC antara lain seperti:
1. Wajib Pajak dapat mengalihkan pendapatan uang bersumber dari dalam
negeri ke entitas di luar negeri yang dikuasainya (controlled foreign entity)
yang didirikan di negara tax haven
2. Wajib Pajak dapat mendirikan anak perusahaan di negara tax haven untuk
memperoleh sumber pendapatan di luar negeri atau untuk menerima
dividen atau distribusi lain dari anak perusahaan di luar negeri tersebut.

Pengawasan Penghindaran Pajak atas Controlled Foreign Corporation:


3. Melalui Surat Pemberitahuan (SPT)
4. Himbauan Pembetulan SPT
5. Melalui Pemeriksaan

 Deteksi Penghindaran Pajak Controlled Foreign Corporation dan


tindak Lanjutnya langkah-langkah yang dapat diterapkan sebagai berikut :
1.Penyusunan Profile Wajib Pajak

2.Kerja sama dengan Otoritas Pajak Negara Lain (EOI=Exchange Of


Information)
3.Kerja sama dengan Bank Indonesia (aliran dana)
SEJAK PERMULAAN TAHUN 2002, ADA 22 NEGARA TELAH MEMBUAT CFC
RULES, YAITU SEBAGAI BERIKUT :
No. Negara Tahun No. Negara Tahun
1 United States 1962 12 Finland 1995

2 Canada 1972 13 Indonesia 1995

3 Germany 1972 14 Portugal 1995

4 Japan 1978 15 Spain 1995

5 France 1980 16 Hungaria 1997

6 United Kingdom 1984 17 Mexico 1997

7 New Zealand 1990 18 South Africa 1997

8 Australia 1990 19 South Korea 1997

9 Sweden 1990 20 Argentina 1999

10 Norway 1990 21 Italy 2000

11 Denmark 1995 22 Estonia 2000


PENERAPAN CONTROLLED FOREIGN CORPORATION RULES DI
INDONESIA
Hukum Positif Controlled Foreign Corporation Rules di
Indonesia
Apabila WPDN Indonesia menjalankan usaha di luar negeri melalui
suatu cabang (BUT) maka berdasarkan ketentuan pasal 4 (1) UU
PPh Nomor 17 Tahun 2000, Wajib Pajak tersebut akan dikenakan
pajak berdasarkan penghasilan global (world wide income)
termasuk penghasilan dari cabang dimaksud. Pajak atas
penghasilan global tersebut dapat dikurangi dengan kredit pajak
luar negeri. Namun, di pihak lain seandainya WPDN tersebut
menjalankan usaha di luar negeri melalui suatu anak perusahaan,
secara umum tidak akan ada pengenaan pajak di Indonesia. Pajak
tersebut akan ditangguhkan sampai penghasilan badan tersebut
dibagikan dalam bentuk dividen kepada pemegang saham WPDN
Indonesia.
 Dalam pasal 18 (2) UU PPh secara eksplisit menyatakan :
“Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya
dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada
badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut :
1.Besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut
paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang
disetor; atau
2.Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya
memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen)
dari jumlah saham yang disetor.
 Penetapan saat perolehan dividen tersebut dilakukan apabila
dipenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
1.Besarnya pemilikan saham, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama
dengan WPDN lainnya sekurang-kurangnya adalah 50%
2.Badan tersebut tidak menjual saham di bursa efek (go public)

3.Badan tersebut bertempat kedudukan di beberapa negara tertentu


(designated jurisdiction).
NEGARA-NEGARA TAX HAVEN BERDASARKAN
KETENTUAN PERPAJAKAN INDONESIA
No. Negara No. Negara
1 Argentina 17 Macau
2 Bahama 18 Mauritius
3 Bahrain 19 Mexico
4 Balize 20 Netherland Antiles
5 Bermuda 21 Nikaragua
6 British Isle 22 Panama
7 British Virgin Island 23 Paraguay
8 Caymand Island 24 Peru
9 Channel Island Greensey 25 Qatar
10 Channel Island Jersey 26 St. Lucia
11 Cook Island 27 Saudia Arabia
12 El Salvador 28 Uruguay
13 Estonia 29 29 Venezuela
14 Hongkong 30 Vanuatu
15 Liechtenstein 31 Yunani
16 Lithuania 32 Zambia
GAMBARAN CFC DI INDONESIA
A Corp
List of tax haven
countries (KMK
650/KMK.04/1994)

Indonesia Dividen -50% modal saham


yang disetor, atau
- 50% bersama-sama
WPDN lainnya dari
PT A
Saat perolehan jumlah saham yang
dividen bln ke-4 disetor
setelah berakhirnya
pelaporan SPT dari
luar negeri tersebut
 Cara penangguhan pajak

CONTOH : PT A memberikan pinjaman kepada PT B sebesar Rp. 10 milyar dengan pengenaan bunga 10% atas
pinjaman tersebut. Atas pinjaman tersebut, pendapatan bunga untuk PT A di potong pajak oleh PT B
sebesar 15% yaitu sebesar Rp. 150 juta. Penghitungan PPh badan oleh PT A atas penghasilan bunga
tersebut dikenakan PPh badan sebesar 30% yaitu Rp. 300 juta. Potongan pajak atas bunga oleh PT B
sebagai kredit pajak oleh PT A sehingga total pajak yang dibayar PT A sebesar Rp. 150 juta, tetapi
yang menjadi total beban pajak adalah Rp. 300 juta.

Apabila PT menanamkan modalnya di A Corp. negara Caymand Island (salah satu negara tax haven)
sebesar Rp. 10 milyar dan dana tersebut oleh A Corp. dipinjamkan kepada PT B di Indonesia, maka
atas pinjaman tersebut dikenakan potongan pajak bunga sebesar 20%. Karena tidak ada hubungan
perjanjian perpajakan dengan negara Caymand Island, maka pajak yang dipotong oleh PT B sebesar
Rp. 200 juta maka atas penghasilan bunga yang diperoleh A Corp. dari PT B sebesar Rp. 800 juta.
Oleh A Corp. penghasilan bunga Rp. 800 juta tidak dikenakan pajak di negara Caymand Island. Untuk
menghindar adanya pemungutan pajak di negara PT A (Indonesia) atas penghasilan bunga tersebut
maka penghasilan bunga tidak dibagikan (parkir di negara Corp. A). Penangguhan atas pembagian
dividen tersebut merugikan penerimaan negara yang mana seharusnya dikenakan pajak atas negara
PT A sebesar 30% dari 1000 juta sebesar Rp. 300 juta.

Ini menunjukkan adanya tindakan penangguhan pajak (deffered tax) atas penghasilan yang diperoleh
KEBIJAKAN ANTI-TAX
AVOIDANCE
 Semakin biasnya batas-batas antar negara akan mendorong aliran modal kecakupan pasar yang
lebih luas. ASEAN merupakan kawasan yang sangat potensial dalam berinvestasi maupun bagi
dunia usaha. Harmonisasi kebijakan pajak untuk mengembangkan daya saing pasar ASEAN
merupakan langkah yang menarik untuk dilakukan. Multilateral instrument mengenai anti-tax
avoidance di kawasan ASEAN dapat mengurangi potensi harmful tax competition antar negara.
Upaya tax avoidance seperti CFC dapat diminimalisasi untuk menciptakan lingkungan usaha
yang adil dan saling menguntungkan. Melalui kesepakatan multilateral ASEAN, desain
CFC Rules dapat mendorong kepastian alokasi hak pemajakan yang seimbang bagi seluruh
negara dan menghindari terjadinya double taxation.
 Sebagai pasar terbesar di regional, pemerintah Indonesia
perlu memastikan bahwa laba fiskal multinational enterprises (MNEs) benar-
benar dialokasikan ke dalam negeri melalui peningkatan efektivitas ketentuan permanent
establishment ataupun pedoman transfer pricing. Sebaliknya, aksi outward investment Wajib
Pajak Dalam Negeri juga harus dipastikan tidak keluar dari substansi bisnis dan menghilangkan
basis pemajakan melalui skema CFC maupun hybrid mismatch. Suatu regulasi CFC yang
efektif merupakan keniscayaan ditengah pesatnya perekonomian digital
serta makin terintegrasinya perekonomian ASEAN.
 Perbaikan regulasi sudah selayaknya dilakukan untuk meningkatkan releva
nsinya dengan dinamika perekonomian. Meskipun begitu, kebijakan yang
diambil tentu perlu menyeimbangkan aspek kesederhanaan dari
CFC Rules itu sendiri. Desain regulasi yang lebih tertarget dan
akurat biasanya akan berbanding lurus dengan kompleksitas regulasi.
Kerangka regulasi CFC yang kuat dan efektif dapat menekan risiko praktik
BEPS dan tax deferral oleh wajib pajak. Rekomendasi OECD
terakit enam building blocks CFC Rules perlu diserap sesuai arah dan
tujuan kebijakan perpajakan Indonesia untuk membangun regulasi anti-tax
avoidance yang menyehatkan iklim investasi.
TREATY SHOPPING DAN ANTI TAX
AVOIDANCE
 Treaty shopping adalah praktik yang dilakukan oleh wajib pajak suatu
negara yang tidak melakukan tax treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda/P3B) dan mendirikan anak perusahaan di negara yang
memiliki tax treaty, kemudian melakukan investasi melalui anak
perusahaan itu sehingga investor dapat menikmati tarif pajak rendah dan
fasilitas-fasilitas perpajakan lainnya.
TREATY SHOPPING DAN ANTI TAX
AVOIDANCE
 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty dibuat
sebagai upaya untuk menghindari terjadinya pajak berganda antara dua
Negara. Akan tetapi dalam praktinya, P3B justru dimanfaatkan oleh wajib
pajak untuk menghindari pajak melalui skema treaty shopping. Treaty
Shopping adalah suatu skema yang dilakukan untuk mendapatkan fasilitas,
misalnya penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang
disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda, oleh subjek
pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut.
 Treaty Shopping merupakan sebuah upaya penyalahgunaan P3B (treaty
abuse) karena karena menggunakan pasal-pasal dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda yang tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan dibuatnya tax treaty, yaitu untuk menghindari pajak berganda dan
mencegah terjadinya penghindaran pajak.
 Ada beberapa contoh upaya penyalahgunaan P3B, di antaranya, transaksi
yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan
menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-
mata untuk memperoleh manfaat P3B. Contoh lain, transaksi dengan
struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan
substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan
maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B. Contoh lainnya
lagi, penerima manfaat P3B bukan merupakan pemilik yang sebenarnya
atas manfaat ekonomis dari suatu transaksi (beneficial owner).
 Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebenarnya sudah mengantisipasi
terjadinya penyalahgunaan P3B. Yakni melalui Peratura Dirjen Pajak
Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan PER-
25/PJ/2010. Peraturan tersebut kemudian diganti dengan PER-10/PJ/2017
tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
 Contoh nyata yang sedang saya hadapi adalah begini. Perusahaan yang saya
CONTO periksa adalah PT D. Ia mebayar royalti kepada PT C yang berdomisili di Uni Emirat
H: Arab (UEA). PT A membayar royalti atas penggunaan sebuah merek sabun mandi.
Antara Indonesia dan UEA sudah ada P3B. Dalam P3B itu, diatur tentang tarif royalti
yaitu 5%. Maka PT D membayar royalti kepada PT C dengan tarif sesuai P3, lima
persen.
 Persoalanya, siapa pemilik sebenarnya manfaat ekonomis (beneficial owner) atas
merek sabun tersebut? Berdasarkan seritifikat merek yang dikeluarkan oleh
Direktorat Kekayaan Intelektual, pemilik merek atas sabun dimaksud adalah PT A
yang berdomili di Hongkong. PT A mengadakan perjanjian pemberian lisensi kepada
PT B yang berdomisili di Swiss. Berdasarkan dokumen BPOM, pemberi otorisasi
penggunaan merek di Indonesia adalah PT B. Pada setiap kemasan sabun yang dijual
di Indonesia tertera “Made under authority of PT B”.
 Lalu, di mana posisi PT C sebagai penerima royalti dari wajib pajak yang saya
periksa? Saya menduga PT C merupakan perusahaan cangkang (conduit). Ia
dibentuk oleh sebuah korporasi hanya untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di
P3B Indonesia – UEA, di mana dalam P3B tersebut tarif pajak atas royalti relaif
rendah yaitu 5 persen. Menurut hemat saya, PT C bukan beneficial owner atas
merek sabun tersebut. Beneficial owner yang sebenarnya adalah PT B yang
berdomisili di Swiss. Tarif pajak royalti yang diatur dalam P3B Indonesia – Swiss
adalah 12.5%. Dengan demikian ada dugaan telah terjadi penyalahgunaan P3B.
Untuk menentukan apakah entitas luar negeri yang menerima penghasilan
dari Indonesia (WPLN) itu sebagai beneficial owner atau bukan, PER-
10/PJ/2017 memberikan kriteria sebagai berikut:
a) bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee;
atau
b) bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau
Conduit, yang harus memenuhi ketentuan:

1. mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau


hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
2. tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi
kewajiban kepada pihak lain;
3. menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban yang dimiliki; dan
4. tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk
meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia
kepada pihak lain.
TERIMA KASIH
 APAKAH SUDAH PAHAM SEMUANYA ?

Anda mungkin juga menyukai