Dalam hal ini, GAAR berdiri diatas asumsi bahwa penghindaran pajak
dilakukan pada transaksi atau suatu skema yang tidak memiliki substansi
bisnis. Oleh sebab itu, GAAR memberikan kewenangan kepada otoritas
pajak untuk membatalkan atau mengoreksi suatu transaksi untuk tujuan
pajak jika transaksi tersebut tidak memiliki substansi ekonomi atau
semata-mata dilakukan hanya untuk mendapatkan keuntungan pajak.
SAAR DAN GAAR DI
BERBAGAI NEGARA
Seoul, Korea Selatan
-> Salah satu topik pembahasan adalah pencegahan praktik penghindaran
pajak berganda (Anti Tax Avoidance). Pada kenyataannya, perkembangan Tax
Avoidance sudah semakin canggih dan agresif, serta sulit untuk dideteksi
secara efektif serta memerlukan sumber daya yang besar bagi suatu negara
atau yurisdiksi untuk mengungkapnya. Hal tersebut di atas terjadi karena
landscape perpajakan internasional telah mengalami perubahan yang
mendasar (Fundamental Changes) yang dipengaruhi oleh 4 variabel:
1. Globalisasi
2. Digitalisasi
3. Underground Economy
4. Pertumbuhan Ekonomi Dunia
SAAR DAN GAAR DI
BERBAGAI NEGARA
Canberra, Australia; Kuala Lumpur, Malaysia; Beijing, China
-> Mengingat permasalahan penghindaran pajak sudah semakin
“sophisticated and complexity”, ada beberapa negara seperti Australia,
Malaysia, China yang sudah menerapkan GAAR untuk melengkapi
ketentuan SAAR bahkan, Australia selangkah lebih maju di bidang
regulasinya karena sudah menerapkan Multinational Anti Avoidance Law
(MAAL) dan Diverted Profit Tax (DPT) untuk mencegah praktik
penghindaran pajak yang dipengaruhi oleh dampak kemajuan digitalisasi
informasi, komunikasi dan teknologi.
CFC RULE SEBAGAI ANTI TAX
AVOIDANCE
Controlled foreign corporation (CFC) adalah perusahaan terkendali yang
dimiliki oleh wajib pajak dalam negeri yang berada di negara yang
mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali (tax
haven country) yang dibentuk dengan maksud untuk menunda pengakuan
penghasilan dalam rangka penghindaran pajak (tax avoidance).
CFC RULE SEBAGAI ANTI
TAX AVOIDANCE
Suatu transaksi diindikasikan sebagai Tax Avoidance apabila dalam
pelaksanaannya terdapat tindakan berikut:
1. Wajib Pajak atau Badan berusaha membayar pajak lebih sedikit atau
kurang yang seharusnya terutang dengan memanfaatkan kewajaran
interpetasi hukum pajak.
2. Wajib Pajak berupaya melakukan penundaan pembayaran pajak.
3. Wajib Pajak berusaha agar pengenaan pajak bukan atas keuntungan
sebenarnya yang diperoleh
KETENTUAN ANTI PENGHINDARAN
PAJAK DI INDONESIA
1. Anti Thin Capitalization (Pasal 18 ayat 1 UU PPh dan PMK Nomor 169/PMK.03/2015)
-> Merupakan upaya Wajib Pajak mengurangi beban pajak dengan cara memperbesar
pinjaman, sehingga beban bunganya bertambah dan labanya kecil.
2. Controlled Foreign Company (CFC) Rules (Pasal 18 ayat 2 UU PPh)
-> Memuat aturan mengenai kewenangan Menteri Keuangan menetapkan saat
diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada
Badan Usaha di luar negeri yang tidak menjual saham di bursa efek paling rendah
50%
3. Transfer Pricing (Pasal 18 ayat 3 UU PPh)
-> Memuat kewenagan DJP untuk menentukan kembali besar penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besar
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa
KETENTUAN ANTI PENGHINDARAN
PAJAK DI INDONESIA
4. Anti-Treaty Shopping (PER-25/PJ/2010)
-> Mengatur tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda.
5. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PER-32/PJ/2011)
-> Mengatur tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dalam transaksi antara Wajib Pajak dan Pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
CONTROLLED FOREIGN CORPORATION
(CFC)
Pengertian Controlled Foreign Companies or Corporation
Aturan yang dibuat untuk mencegah Wajib Pajak (WP) disuatu negara melakukan
tax deferral atas penghasilannya, dengan cara melakukan transaksi atau investasi
di negara-negara yang dikenal dengan sebutan tax heaven, karena tarif pajak di
negara-negara tersebut sangat rendah atau bahkan tidak ada pajak sama sekali.
2.Tax havens
tujuan aturan CFC adalah agar Wajib Pajak tidak memindahkan penghasilannya
ke luar negeri dengan mendirikan perusahaan di negara-negara tertentu karena
ketentuan perpajakannya sangat longgarsyarat
Secara umum ada tiga jenis penghasilan yang berhubungan dengan kebijakan
ketentuan CFC yaitu:
CONTOH : PT A memberikan pinjaman kepada PT B sebesar Rp. 10 milyar dengan pengenaan bunga 10% atas
pinjaman tersebut. Atas pinjaman tersebut, pendapatan bunga untuk PT A di potong pajak oleh PT B
sebesar 15% yaitu sebesar Rp. 150 juta. Penghitungan PPh badan oleh PT A atas penghasilan bunga
tersebut dikenakan PPh badan sebesar 30% yaitu Rp. 300 juta. Potongan pajak atas bunga oleh PT B
sebagai kredit pajak oleh PT A sehingga total pajak yang dibayar PT A sebesar Rp. 150 juta, tetapi
yang menjadi total beban pajak adalah Rp. 300 juta.
Apabila PT menanamkan modalnya di A Corp. negara Caymand Island (salah satu negara tax haven)
sebesar Rp. 10 milyar dan dana tersebut oleh A Corp. dipinjamkan kepada PT B di Indonesia, maka
atas pinjaman tersebut dikenakan potongan pajak bunga sebesar 20%. Karena tidak ada hubungan
perjanjian perpajakan dengan negara Caymand Island, maka pajak yang dipotong oleh PT B sebesar
Rp. 200 juta maka atas penghasilan bunga yang diperoleh A Corp. dari PT B sebesar Rp. 800 juta.
Oleh A Corp. penghasilan bunga Rp. 800 juta tidak dikenakan pajak di negara Caymand Island. Untuk
menghindar adanya pemungutan pajak di negara PT A (Indonesia) atas penghasilan bunga tersebut
maka penghasilan bunga tidak dibagikan (parkir di negara Corp. A). Penangguhan atas pembagian
dividen tersebut merugikan penerimaan negara yang mana seharusnya dikenakan pajak atas negara
PT A sebesar 30% dari 1000 juta sebesar Rp. 300 juta.
Ini menunjukkan adanya tindakan penangguhan pajak (deffered tax) atas penghasilan yang diperoleh
KEBIJAKAN ANTI-TAX
AVOIDANCE
Semakin biasnya batas-batas antar negara akan mendorong aliran modal kecakupan pasar yang
lebih luas. ASEAN merupakan kawasan yang sangat potensial dalam berinvestasi maupun bagi
dunia usaha. Harmonisasi kebijakan pajak untuk mengembangkan daya saing pasar ASEAN
merupakan langkah yang menarik untuk dilakukan. Multilateral instrument mengenai anti-tax
avoidance di kawasan ASEAN dapat mengurangi potensi harmful tax competition antar negara.
Upaya tax avoidance seperti CFC dapat diminimalisasi untuk menciptakan lingkungan usaha
yang adil dan saling menguntungkan. Melalui kesepakatan multilateral ASEAN, desain
CFC Rules dapat mendorong kepastian alokasi hak pemajakan yang seimbang bagi seluruh
negara dan menghindari terjadinya double taxation.
Sebagai pasar terbesar di regional, pemerintah Indonesia
perlu memastikan bahwa laba fiskal multinational enterprises (MNEs) benar-
benar dialokasikan ke dalam negeri melalui peningkatan efektivitas ketentuan permanent
establishment ataupun pedoman transfer pricing. Sebaliknya, aksi outward investment Wajib
Pajak Dalam Negeri juga harus dipastikan tidak keluar dari substansi bisnis dan menghilangkan
basis pemajakan melalui skema CFC maupun hybrid mismatch. Suatu regulasi CFC yang
efektif merupakan keniscayaan ditengah pesatnya perekonomian digital
serta makin terintegrasinya perekonomian ASEAN.
Perbaikan regulasi sudah selayaknya dilakukan untuk meningkatkan releva
nsinya dengan dinamika perekonomian. Meskipun begitu, kebijakan yang
diambil tentu perlu menyeimbangkan aspek kesederhanaan dari
CFC Rules itu sendiri. Desain regulasi yang lebih tertarget dan
akurat biasanya akan berbanding lurus dengan kompleksitas regulasi.
Kerangka regulasi CFC yang kuat dan efektif dapat menekan risiko praktik
BEPS dan tax deferral oleh wajib pajak. Rekomendasi OECD
terakit enam building blocks CFC Rules perlu diserap sesuai arah dan
tujuan kebijakan perpajakan Indonesia untuk membangun regulasi anti-tax
avoidance yang menyehatkan iklim investasi.
TREATY SHOPPING DAN ANTI TAX
AVOIDANCE
Treaty shopping adalah praktik yang dilakukan oleh wajib pajak suatu
negara yang tidak melakukan tax treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda/P3B) dan mendirikan anak perusahaan di negara yang
memiliki tax treaty, kemudian melakukan investasi melalui anak
perusahaan itu sehingga investor dapat menikmati tarif pajak rendah dan
fasilitas-fasilitas perpajakan lainnya.
TREATY SHOPPING DAN ANTI TAX
AVOIDANCE
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty dibuat
sebagai upaya untuk menghindari terjadinya pajak berganda antara dua
Negara. Akan tetapi dalam praktinya, P3B justru dimanfaatkan oleh wajib
pajak untuk menghindari pajak melalui skema treaty shopping. Treaty
Shopping adalah suatu skema yang dilakukan untuk mendapatkan fasilitas,
misalnya penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang
disediakan oleh suatu perjanjian penghindaran pajak berganda, oleh subjek
pajak yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut.
Treaty Shopping merupakan sebuah upaya penyalahgunaan P3B (treaty
abuse) karena karena menggunakan pasal-pasal dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda yang tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan dibuatnya tax treaty, yaitu untuk menghindari pajak berganda dan
mencegah terjadinya penghindaran pajak.
Ada beberapa contoh upaya penyalahgunaan P3B, di antaranya, transaksi
yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan
menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-
mata untuk memperoleh manfaat P3B. Contoh lain, transaksi dengan
struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan
substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan
maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B. Contoh lainnya
lagi, penerima manfaat P3B bukan merupakan pemilik yang sebenarnya
atas manfaat ekonomis dari suatu transaksi (beneficial owner).
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sebenarnya sudah mengantisipasi
terjadinya penyalahgunaan P3B. Yakni melalui Peratura Dirjen Pajak
Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan PER-
25/PJ/2010. Peraturan tersebut kemudian diganti dengan PER-10/PJ/2017
tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Contoh nyata yang sedang saya hadapi adalah begini. Perusahaan yang saya
CONTO periksa adalah PT D. Ia mebayar royalti kepada PT C yang berdomisili di Uni Emirat
H: Arab (UEA). PT A membayar royalti atas penggunaan sebuah merek sabun mandi.
Antara Indonesia dan UEA sudah ada P3B. Dalam P3B itu, diatur tentang tarif royalti
yaitu 5%. Maka PT D membayar royalti kepada PT C dengan tarif sesuai P3, lima
persen.
Persoalanya, siapa pemilik sebenarnya manfaat ekonomis (beneficial owner) atas
merek sabun tersebut? Berdasarkan seritifikat merek yang dikeluarkan oleh
Direktorat Kekayaan Intelektual, pemilik merek atas sabun dimaksud adalah PT A
yang berdomili di Hongkong. PT A mengadakan perjanjian pemberian lisensi kepada
PT B yang berdomisili di Swiss. Berdasarkan dokumen BPOM, pemberi otorisasi
penggunaan merek di Indonesia adalah PT B. Pada setiap kemasan sabun yang dijual
di Indonesia tertera “Made under authority of PT B”.
Lalu, di mana posisi PT C sebagai penerima royalti dari wajib pajak yang saya
periksa? Saya menduga PT C merupakan perusahaan cangkang (conduit). Ia
dibentuk oleh sebuah korporasi hanya untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di
P3B Indonesia – UEA, di mana dalam P3B tersebut tarif pajak atas royalti relaif
rendah yaitu 5 persen. Menurut hemat saya, PT C bukan beneficial owner atas
merek sabun tersebut. Beneficial owner yang sebenarnya adalah PT B yang
berdomisili di Swiss. Tarif pajak royalti yang diatur dalam P3B Indonesia – Swiss
adalah 12.5%. Dengan demikian ada dugaan telah terjadi penyalahgunaan P3B.
Untuk menentukan apakah entitas luar negeri yang menerima penghasilan
dari Indonesia (WPLN) itu sebagai beneficial owner atau bukan, PER-
10/PJ/2017 memberikan kriteria sebagai berikut:
a) bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee;
atau
b) bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau
Conduit, yang harus memenuhi ketentuan: