Anda di halaman 1dari 17

Peluang dan tantangan pelaksanaan CITES di

Indonesia

Oleh :
AISYAH TRI PUTRI NASUTION 1703101010050
NADILA ULFA 1703101010174
 
PENGERTIAN CITES

• CITES (Convention on International Trade in Endangred Species of Wild Fauna


and Fauna) merupakan suatu konvensi internasional yang mengatur tentang
bagaimana perlindungan terhadap fauna dan flora yang langkah dan hampir
punah terhadap perdagangan internasional spesimen yang mengakibatkan
kelestarian satwa liar menjadi terancam.Misi dan tujuan konvensi ini adalah
melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional
spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies
tersebut terancam.
• CITES merupakan sebuah jawaban atas dua buah usaha yang dilakukan secara
internasional untuk mengutuk manajemen kehidupan margasatwa di antara
kekuasaan negara-negara kolonial, yaitu Konvensi London pada tahun 1900
yang dirancang untuk memastikan konservasi dari seluruh spesies dan hewan
liar di Afrika yang kegunaannya ditujukan untuk manusia, yang kedua adalah
Konvensi London tahun 1933 berkenaan dengan preservasi flora dan fauna di
masing-masing negaranya.
CITES memuat tiga lampiran (appendix) yang menggolongkan keadaan
tumbuhan dan satwa liar pada tingkatan yang terdiri dari :

• 1) Apendiks I CITES
• Appendix I merupakan lampiran yang memuat daftar dan melindungi
seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala
bentuk perdagangan internasional secara komersial. Perdagangan
spesimen dari spesies yang termasuk Appendix I yang ditangkap di alam
bebas adalah ilegal dan hanya diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa,
misalnya untuk penelitian, dan penangkaran. Satwa dan tumbuhan yang
termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran
dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan beberapa
persyaratan. Di Indonesia, tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang masuk
dalam Appendix I CITES mamalia 37 jenis, Aves 15 jenis, Reptil 9
jenis, Pisces 2 jenis, total 63 jenis satwa dan 23 jenis tumbuhan.
Apendiks II CITES

• Appendix IImerupakan lampiran yang memuat daftar dari


spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin
akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut
tanpa adanya pengaturan. Selain itu, Apendiks II juga
berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan
spesies yang di daftar dalam Apendiks I.Di Indonesia, yang
termasuk dalam Appendix II yaitu mamalia 96 jenis, Aves
239 jenis, Reptil 27 jenis, Insekta 26 jenis, Bivalvia 7 jenis,
Anthozoa 152 jenis, total 546 jenis satwa dan 1002 jenis
tumbuhan (dan beberapa jenis yang masuk dalam CoP 13).
Apendiks III CITES
• Appendix III merupakan lampiran yang memuat daftar spesies
tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara
tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan
memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota
CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan
ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I. Jumlah yang
masuk dalam Appendix II sekitar 300 spesies. Spesies yang
dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah spesies yang
dimasukkan ke dalam daftar setelah salah satu negara anggota
meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur
perdagangan suatu spesies. Di Indonesia saat ini tidak ada
spesies yang masuk dalam Appendix III.
PELUANG DAN HAMBATAN PELAKSANAAN
CITES DI INDONESIA

• Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki


keanekaragaman hayati tertingi di dunia, termasuk tingkat
endemisme yang tinggi. Tingkat endemisme yang tinggi yang
dilengkapi dengan keunikan tersendiri membuat Indonesia
memiliki peran yang penting dalam perdagangan flora dan
fauna di dunia, sehingga Indonesia menjadi salah satu
pemasok terbesar perdagangan fauna dan flora dunia. Hal ini
tentu saja merupakan peluang yang besar bagi Indonesia
untuk dapat memanfaatkan kekayaan tumbuhan dan satwanya
untuk meningkatkan pendapatan ekonomi, termasuk bagi
masyarakat yang tinggal di sekitar habitat satwa.
• Kerjasama antar negara dalam melakukan pengawasan terhadap
peredaran tumbuhan dan satwa liar merupakan suatu keuntungan
bagi negara dengan sumberdaya alam hayati yang begitu besar
seperti Indonesia.
• Banyak usaha penyelundupan tumbuhan dan satwa liar dari
Indonesia yang bisa digagalkan di negara tujuan karena adanya
kerjasama ini sehingga kerugian Indonesia yang ditimbulkan karena
perdagangan tumbuhan dan satwa liar illegal dapat semakin ditekan.
• Berdasarkan keinginan untuk memanfaatkan tumbuhan dan satwa
secara berkelanjutan, Indonesia telah turut meratifikasi CITES
(Convention on International Trade in Endangered of Wild Flora and
Fauna) melalui Keppres No. 43 tahun 1978. Harus diakui bahwa
walaupun sudah diratifikisi dalam waktu yang cukup lama , tetapi
peraturan CITES belum dapat diimplementasikan secara optimal
untuk mendukung perdagangan tumbuhan dan satwa yang
berkesinambungan
• Indonesia pernah memperoleh ancaman ‘total trade ban’ dari
sekretariat CITES karena dianggap tidak cukup peraturan
nasional yang memadai yang dapat dipergunakan untuk
mendukung implementasi CITES. Disisi lain, ternyata
pemahaman dari seluruh pemangku pihak (stake holders)
tentang CITES serta manfaatnya masih belum utuh sehingga
seringkali menimbulkan salah pengertian yang tentu saja tidak
kondusif untuk mendukung implementasi CITES.
Peluang pelaksanaan CITES di indonesia :
• implementasi CITES di Indonesia memperlihatkan peningkatan yang signifikan,
khususnya dalam hal peningkatan pelibatan pemangku pihak, termasuk Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dalam isu mengenai CITES. Bahkan pihak LSM telah
memperoleh pengakuan yang memadai dari Otoritas Ilmiah (Scientific Authority)
maupun Otoritas Pengelola (Management Authority) untuk berperan serta
dalam pelaksanaan CITES sesuai dengan kapasitas dan fungsi yang dimiliki.
Dalam dua pelaksanaan COP CITES terakhir, pihak pemerintah secara terbuka
mendiskusikan posisi dengan seluruh pemangku pihak, untuk memperoleh
masukan yang memadai untuk dijadikan dasar bagi penentukan posisi
pemerintah Indonesia. terdapat peluang yang besar untuk dapat
mengimlementasikan CITES di Indonesia secara optimal, misalnya semakin
banyaknya pihak yang peduli dan turut serta dalam pelaksanaan CITES, tetapi
beberapa masalah masih harus segera dapat diselesaikan, sehingga pemanfaatan
tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan secara berkelanjutan melalui
mekanisme CITES.
Tantangan pelaksaan CITES Di indonesia :
Kendala yang terjadi di dalam otoritas CITES di
Indonesia yaitu :
1. belum optimalnya koordinasi antara aparat penegak hukum
serta instansi terkait lainnya dalam menangani perdagangan
ilegal trenggiling di Indonesia,
2. kurangnya sosialisasi mengenai optimalisasi penegakan
hukum dalam legislasi nasional CITES kepada masyarakat
dan pejabat instansi terkait,
3. terbatasnya SDM sebagai informan mengenai jenis-jenis
tumbuhan dan satwa yang dilindungi,
4. berasal dari luar CITES dan otoritas CITES di Indonesia.
Kasus
• indonesia dihadapi kasus perdagangan trenggiling ke vietnam dan Cina.
• kendala dari kasus ini juga disebabkan dari negara tujuan perdagangan
ilegal trenggiling dari Indonesia.
• Kurang mendukungnya sikap dan kebijakan negara konsumen, terutama
negara-negara ASEAN dan Cina, terhadap masuknya produk-produk
hidupan liar secara ilegal dari Indonesia.
• Sepanjang negara-negara konsumen tersebut merasa menerima
keuntungan dari barang haram tersebut, maka enforcement hampir pasti
tidak dilakukan, bahkan di negara-negara tertentu dengan sengaja dibuat
sistem pemutihan produk-produk haram tersebut. Istilah bahwa negara-
negara tetangga kita melakukan pencucian produk-produk ilegal dari
Indonesia, sudah banyak diketahui masyarakat internasional.
• Penyebab lain dari luar otoritas CITES dan Indonesia adalah dilihat dari
komitmen dan kepentingan negara partner Indonesia dalam penanganan
perdagangan ilegal trenggiling yaitu Cina dan Vietnam. Dalam kerja sama
otoritas Indonesia dan Cina menunjukkan keseriusan dalam penanganan
perdagangan ilegal satwa liar yang berasal dari Indonesia menuju Cina
• Dikarenakan masih tingginya perdagangan ilegal trenggiling dari Indonesia
menuju Cina dan masih tingginya permintaan Trenggiling dari Cina,
Indonesia dan Cina menandatangani MoU kerja sama implementasi CITES
antara Otoritas Pengelola CITES Republik Indonesia dan Otoritas
Pengelola Republik Rakyat Tiongkok. MoU tersebut bertujuan untuk
menciptakan hubungan kerja sama yang baik dan saling menguntungkan
antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok serta
kesepakatan secara umum untuk bekerja sama dalam mencapai
pengelolaan tumbuhan dan satwa liar yang legal dan berkelanjutan.
Sayangnya peningkatan kerja sama lebih lanjut ini baru disahkan pada
tahun 2014, sehingga pada periode 2005-2013 MoU tersebut belum
memberikan penanganan yang maksimal terhadap perdagangan ilegal
trenggiling dari Indonesia menuju Cina.
• Selain Cina sebagai negara penerima terbesar di Asia, Vietnam
juga salah satu negara penerima perdagangan ilegal trenggiling di
Asia. Vietnam selain menjadi negara transit perdagangan ilegal
trenggiling juga sebagai negara penerima yang menjadikan
trenggiling sebagai obat-obatan dan menu makanan di restoran. Di
Vietnam trenggiling menjadi salah satu mamalia yang sering di
perdagangkan, dan disita oleh instansi terkait karena perburuan
dan perdagangan ilegal trenggiling. The Carnivore and pangolin
Program Conservation (CPCP) merupakan pusat lembaga yang
dibentuk untuk penyelamatan trenggiling di Cuc Phuong National
Park Vietnam. Terlibatnya dua negara yaitu Cina dan Vietnam
sebagai negara penerima terbesar perdagangan ilegal trenggiling
dari Indonesia menggambarkan jika dua negara tersebut
merupakan kendala besar yang menyebabkan pengangkutan
trenggiling secara ilegal dari Indonesia terus berlangsung.
• Meskipun kedua negara saling memiliki
komitmen dengan Indonesia dalam membentuk
kerja sama seperti penandatanganan MoU, akan
tetapi permintaan trenggiling dari masyarakat
Cina dan Vietnam masih sangat tinggi. Masih
kurangnya pengawasan pada batasan-batasan
negara antara keduanya mengakibatkan
distribusi trenggiling yang berasal dari Indonesia
menuju Vietnam serta Cina dengan mudah
masuk. Hal ini menunjukkan jika kerja sama
yang berlangsung antar negara belum efektif.
• Dari kasus tersebut dapat disimpulkan kerja sama antara
CITES dan Indonesia terdapat kurangnya responotoritas
Indonesia dalam penanganan perdagangan ilegal
trenggiling di Indonesia dan ketiadaan respon yang baik
antara negara anggota CITES sebagai negara penerima.
Ketiadaan respon otoritas yang baik dalam menghadapi
kendala-kendala yang terjadi inilah yang menyebabkan
kerja sama yang dilakukan antara Indonesia dengan CITES
tidak berjalan dengan baik dan ketiadaan respon yang baik
antara negara anggota CITES sebagai negara penerima
yang menyebabkan angka kasus perdagangan ilegal
trenggiling terus tinggi dalam kurun waktu 2005-2013
walaupun Indonesia telah meratifikasi CITES sejak lama.
• Dari beberapa kendala yang terjadi, dapat
disimpulkan juga jika tidak ada kesalahan yang
terjadi dalam pelaksanaan CITES di Indonesia
khususnya dalam penanganan perdagangan ilegal
trenggiling. Akan tetapi kendala yang terjadi
terdapat pada respon otoritas CITES di Indonesia
dan respon otoritas CITES dari negara penerima
yaitu Cina dan Vietnam. Berdasarkan kendala
tersebut, kami melihat adanya ketidakselarasan
antar pihak otoritas di Indonesia dan ketiadaan
respon yang baik dari otoritas CITES negara-
negara penerima.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai