diperlukan?
Alasan dilakukannya studi FarEpi
Manfaat studi FarEpi diklasifikasikan dalam konsep:
1. Peraturan/Kebijakan
2. Pemasaran
3. Legalitas
4. Klinis
1. Peraturan/Kebijakan
Peraturan: Sebuah rancangan untuk studi farmakoepidemiologi
postmarketing dibutuhkan sebelum obat disetujui untuk dipasarkan.
Sebagian besar studi yang dibutuhkan berupa uji klinik acak, yang dirancang
untuk klarifikasi efikasi obat dan toksisitas obat.
1. Peraturan/Kebijakan
Studi postmarketing dilakukan untuk merespon laporan efek samping obat.
Studi ini akan menyelidiki apakah efek samping ini terjadi lebih sering pada
subjek terpapar obat dari pada yang tidak menggunakan, serta berapa besar
resiko peningkatan efek samping.
2. Pemasaran
1. Untuk membantu perluasan pemasaran dengan dokumentasi keamanan obat.
Karena keterbatasan informasi yg tersedia tentang efek suatu obat baru,
umumnya dokter ragu-ragu untuk meresepkan obat baru, hingga mulai
banyak dilaporkan tentang efikasi & keamanan obat tersebut.
Studi postmarketing formal yang melaporkan keuntungan dan kerugian obat
ini dibanding kompetitornya dapat mempercepat meluasnya pemasaran suatu
obat.
2. Pemasaran
2. Untuk meningkatkan pengakuan merk
3. Untuk membantu penetapan kriteria baru terhadap obat, antara lain membuka
pasar baru, alternatif penggunaan (misal untuk anak atau geriatri), indikasi
baru, mengurangi pembatasan label.
4. Untuk menjaga bertahannya obat di pasar. Kegagalan menjawab pertanyaan
akan efek smaping suatu obat dapat mengakibatkan kehilangan pasar bahkan
penarikan obat antisipasi dengan studi farmakoepidemiologi
Contoh
Pfizer tidak pernah mendanai studi untuk mengantisipasi pertanyaan bahwa
Piroxicam (Feldene) lebih beresiko menyebabkan kematian akibat
perdarahan saluran cerna pada lansia dibanding NSAID lain, namun saat itu
sudah banyak studi farmakoepidemiologi tentang keamanan Piroxicam,
sehingga Feldene bisa diselamatkan pemasarannya.
Contoh
Namun McNeil, saat muncul pertanyaan tentang reaksi anafilaksis yang
disebabkan zomepirac, tidak mampu menyediakan data yang meyatakan
keamanan obat tersebut akhirnya obat ditarik dari peredaran.
Syntex, saat launching ketorolac parenteral, langsung melakukan studi
cohort postmarketing. Saat dilaporkan ada beberapa efek samping, hasil
studi cohort telah selesai dan segera dipublikasi sehingga menyelamatkan
obat dari pasar.
3. Legalitas
Semua obat mempunyai efek samping. Keputusan obat
disetujui untuk dipasarkan dan keputusan dokter untuk
meresepkan tergantung pada keseimbangan antara
keuntungan dan resiko obat.
Bila mengalami efek merugikan akibat pemakaian obat,
konsumen dapat mengajukan gugatan di peradilan,
namun harus bisa membuktikan penyebab, kerusakan dan
bukti telah terjadi kelalaian.
Menghadapi tuduhan pengadilan akan efek merugikan
obat, perusahaan tidak bisa mengelak bila semua hal di
atas dapat dibuktikan.
3. Legalitas
Untuk membuktikan bahwa memang obat dapat
menyebabkan efek samping di atas bila digunakan
dengan benar, bukan dari kelalaian pengguna, pabrik
dapat melakukan studi farmakoepidemiologi.
Studi ini juga dapat melindungi pabrik dari tuduhan
tanpa dasar.
4. ASPEK KLINIS
a. Uji hipotesis
Hipotesis masalah berdasarkan struktur obat
Masalah ditengarai berdasarkan uji praklinik atau
klinik
Masalah muncul berdasarkan laporan spontan
Kebutuhan untuk perhitungan frekuensi kejadian efek
samping
4. ASPEK KLINIS
b. Studi penyusunan hipotesis, dibutuhkan berdasarkan:
Bila merupakan senyawa kimia baru
Untuk mengetahui profil keamanan dari suati golongan
obat
Keamanan relatif obat dibanding obat-obat lain di
kelasnya
Formulasi
Penyakit yang akan diterapi, meliputi durasi,
prevalensi, keparahan dan apakah ada terapi alternatif
a. Uji hipotesis
Tujuan utama dari sebagian besar studi far-epi adalah untuk
uji hipotesis. Hipotesis dapat diuji berdasarkan kelas struktur
kimia suatu obat.
Contoh: studi terhadap cimetidin dilakukan karena cimetidn
mempunyai kesamaan struktur dengan metiamide, yang telah
ditarik dari peredaran karena menyebabkan agranulositosis.
Hipotesis juga dapat didasarkan temuan studi premarketing
dan postmarketing baik dengan hewan coba maupun uji klinis.
Bila suatu obat memang menyebabkan efek samping, uji
hipotesis juga bisa dilakukan untuk menghitun g frekuensi
kejadian efek samping.
b. Studi penyusunan hipotesis
Pada prinsipnya semua obat membutuhkan studi ini,
namun diprioritaskan pada obat yang lebih penting untuk
dipelajari.
Contoh : senyawa kimia baru lebih perlu diuji
dibandingkan “mee too product”, karena belum adanya
data-data keamanan senyawa yang sejenis sehingga obat
baru lebih berpeluang menimbulkan efek samping.
Profil keamanan suatu kelas obat juga merupakan
pertimbangan penting untuk memutuskan perlunya
dilakukan studi postmarketing obat baru dari kelas yang
sama.
b. Studi penyusunan hipotesis
Profil dari obat lama dari kelas yang sama dapat
digunakan untuk memprediksi profil obat baru.
Formulasi obat dapat menjadi pertimbangan perluya
dilakukan studi far-epi formal.
Penyakit yang kan diterapi juga merupakan
pertimbangan perlu tidaknya studi postmarketing
dilakukan.
Obat yang digunakan untuk terapi penyakit kronis
akan digunakan dalam jangka panjang, sehingga
diperlukan studi efek samping jangka panjang.
b. Studi penyusunan hipotesis
Juga obat yang digunakan untuk terapi penyakit umum perlu
diuji, karena banyaknya pasien yang akan menggunakan obat
ini.
Obat yang digunakan untuk terapi penyakit yang self-limited,
karena toksisitas serius tidak bisa diterima. Terutama obat yang
digunakan oleh individu sehat, seperti kontrasepsi oral.
Orang dengan penyakit ringan tapi menggunakan obat untuk
penyakit parah, dapat lebih rendah toleransinya terhadap
toksisitas.
Penting juga untuk melihat adanya alternatif terapi, sehingga
dibandingkan keuntungan dan resiko obat baru dengan obat
yang sudah biasa digunakan.
SAFETY VS RISK
Tidak ada obat yang total aman.
Obat dikatakan aman jika resikonya dapat diterima.
Sehingga pengujian keamanan obat melibatkan 2
aspek, yaitu pengukuran resiko dan pertimbangan
diterimanya resiko tersebut.
Pengukuran resiko merupakan fokus dari studi
farmakoepidemiologi.
Pertimbangan diterimanya resiko merupakan :
Toleransi resiko
Faktor yang mempengaruhi toleransi resiko
a. Bentuk efek samping:
(1)keparahan efek samping pasti lebih sulit diterima
dibanding efek samping yang lebih ringan
(2) reversibilitas yang ireversibel (seperti cacat janin)
akan lebih sulit diterima
(3) frekuensi
(4) “Dread disease” / penyakit menakutkan (AIDS, CA)
(5) langsung vs tertunda
(6) terjadi pada semua orang vs orang tertentu yg sensitif
(7) diketahui dengan pasti atau tidak
Faktor yang mempengaruhi toleransi resiko
b. Karakteristik paparan
(1) Esensial vs opsional (ES kemoterapi lebih dapat
diterima karena dibandingkan dengan benefitnya sebagai
live saving drug atau live prolong, tapi efek samping
tidak disukai bila obat tsb untuk pasien yang sehat
(vaksin, kontrasepsi)
(2) Ada vs tidak. Ex. Penundaan pemasaran beta bloker
selama 6 tahun (karena belum selesainya uji klinis) telah
menimbulkan banyak kematian. Kematian ini dianggap
lebih berat dibandingkan banyaknya efek samping beta
bloker itu sendiri.
Faktor yang mempengaruhi toleransi resiko
(3) adanya terapi alternatif. Untuk penyakit serius &
yang belum ada terapi lain, suatu obat walaupun punya
efek samping berbahaya, lebih dapat diterima. Ex.
Zivozudine untuk terapi AIDS
(4) asumsi resiko oleh probandus. Ex. Pasien lebih
mudah menerima resiko kematian akibat penyakit yang
berhubungan dengan merokok, dibanding efek
samping obat yg tidak biasa. Pasien harus mengetahui
lebih dulu apa resiko yang akan dialami sebelum
mengkonsumsi obat.
Faktor yang mempengaruhi toleransi resiko
(5) pemakaian obat dengan benar vs kesalahan
pemakaian. Ex. Obat yg kurang diterima karena
adiktif, ternyata banyak disalahgunakan. Tretinoin
bersifat teratogenik, tapi masih banyak digunakan
untuk terapi akne.
c. Persepsi evaluator
Insiden kematian akibat merokok sangat tinggi, tapi
tidak pernah dipermasalahkan dibanding sedikit
kematian akibat kecelakaan pesawat. Analogi : Efek
teratogen akibat pemakaian tretinoin tidak pernah
dipermasalahkan tapi efek teratogen karena obat X
dipermasalahkan.