Anda di halaman 1dari 30

Mata kuliah BATUBARA 2016

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

MASERAL PADA BATUBARA


MASERAL PADA BATUBARA

KLASIFIKASI MASERAL
Maseral pada batubara analog dengan mineral
pada batuan. Maseral merupakan bagian terkecil dari
batubara yang bisa teramati dengan mikroskop.
Maseral dikelompokan berdasarkan tumbuhan atau
bagian tumbuhan menjadi tiga grup, yaitu :
1. Vitrinit
2. Liptinit (Exinit)
3. Inertinit
KLASIFIKASI MASERAL
 1. Vitrinit
Vitrinit adalah hasil dari proses pembatubaraan materi humic yang
berasal dari selulosa (C6H10O5) dan lignin dinding sel tumbuhan yang
mengandung serat kayu (woody tissue) seperti batang, akar, daun.
Vitrinit adalah bahan utama penyusun batubara di indonesia (>80 %).
Dibawah mikroskop, kelompok maseral ini memperlihatkan warna
pantul yang lebih terang dari pada kelompok liptinit, namun lebih
gelap dari kelompok inertinit, berwarna mulai dari abu-abu tua
hinggga abu-abu terang.
Kenampakan dibawah mikroskop tergantung dari tingkat
pembantubaraanya (rank), semakin tinggi tingkat pembatubaraan
maka warna akan semakin terang. Kelompok vitrinit mengandung
unsur hidrogen dan zat terbang yang presentasinya berada diantara
inertinit dan liptinit. Mempunyai berat jenis 1,3 – 1,8 dan kandungan
oksigen yang tinggi serta kandungan volatille matter sekitar 35,75 %.
KLASIFIKASI MASERAL
 2. Liptinit (Exinit)
Liptinit tidak berasal dari materi yang dapat terhumifikasikan melainkan berasal dari sisa
tumbuhan atau dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, gangang (algae), kutikula,
getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan morfologi dan bahan
asalnya, kelompok liptinit dibedakan menjadi sporinite (spora dan butiran pollen),
cuttinite (kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite (maseral sekunder yang berasal dari
getah maseral liptinit lainya yang keluar dari proses pembantubaraan), suberinite (kulit
kayu/serat gabus), flourinite (degradasi dari resinit), liptoderinit (detritus dari maseral
liptinite lainya), alganitie (gangang) dan bituminite (degradasi dari material algae).

Relatif kaya dengan ikatan alifatik sehingga kaya akan hidrogen atau bisa juga sekunder,
terjadi selama proses pembatubaraan dari bitumen. Sifat optis : refletivitas rendah dan
flourosense tinggi dari liptinit mulai gambut dan batubara pada tangk rendah sampai
tinggi pada batubara sub bituminus relatif stabil (Taylor 1998) dibawah mikroskop,
kelompok liptinite menunjukan warna kuning muda hingga kuning tua di bawah sinar
flouresence, sedangkan dibawah sinar biasa kelompok ini terlihat berwarna abu-abu
sampai gelap. Liptinite mempunyai berat jenis 1,0 – 1,3 dan kandungan hidrogen yang
paling tinggi dibanding dengan maseral lain, sedangkan kandungan volatile matter sekitar
66 %.
KLASIFIKASI MASERAL
 3. Inertinit
Inertinit disusun dari materi yang sama dengang vitrinite dan liptinite tetapi
dengan proses dasar yang berbeda. Kelompok inertinite diduga berasal dari
tumbuhan yang sudah terbakar dan sebagian berasal dari hasil proses oksidasi
maseral lainya atau proses decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan
bakteri.
Kelompok ini mengandung unsur hidrogen paling rendah dan karakteristik
utamanya adalah reflektansi yang tinggi diantara kelompok lainya. Pemanasan
pada awal penggambutan menyebabkan inertinit kaya akan karbon. Sifat khas
inertinit adalah reflektinitas tinggi, sedikit atau tanpa flouresnse, kandungan
hidrogen, aromatis kuat karena beberapa penyebab, seperti pembakaran
(charring), mouldering dan pengancuran oleh jamur, gelifikasi biokimia dan
oksidasi serat tumbuhan.
Sebagian besar inertinit sudah pada bagian awal proses pembatubaraan.
Inertinite mempunyai berat jenis 1,5 – 2,0 dan kandungan karbon yang paling
tinggi dibanding maseral lain serta kandungan volattile matter sekitar 22,9 %.
KLASIFIKASI MASERAL

Gambar : Maseral vitrinit, inertinit dan liptinit (Identification of Coal


Components, Kentucky Geological Survey, 2006)
KLASIFIKASI MASERAL
Untuk pengelompokan maseral yang digunakan adalah mengacu pada
pengelompokan maseral berdasarkan Standart Australia (AS 2856-1986)
(Tabel 3.1) untuk hasil pengamatan klasifikasi maseral dalam presentase
volume (%vol).
Tabel 3.1 Klasifikasi group maseral berdasarkan Standar Australia
Group maseral Sub group maseral Type maseral

Vitrinite Tellovitrinite Textinite


Texto-ulminite
Eu – ulminite
Telocolinite

Detrovitrinite
Atrinite
Desinite
Desmocolinite
KLASIFIKASI MASERAL
Tabel 3.1 Klasifikasi group maseral berdasarkan Standar Australia

Gelovitrinite Corpogelinite
Porigelinite
Eugelinite
Liptinite Sporinite
Cutinite Resinit
Suberinite Fluorinite
Liptodetrinite
Exudatinite Alganite
Bituminite
Inertinite Teloinertinite Fusinite
Semifusinite
Scelorotinite
Detroinertinite Inertodetrinite
Micrinite
Geloinertinite macrinite
KLASIFIKASI MASERAL

 Maseral menghasilkan materi yang mudah


menguap (volattile matter). Materi ini banyak
dihasilkan oleh liptinite yaitu sekitar 66 %
sedangkan vitrinite menghasilkan 35,75 % dan
inertinite menghasilkan 22,9 %
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

Peranan maseral dalam analisis penetuan pengandapan batubara


didasarkan pada sifat-sifat yang dimilikinya, antara lain : sifat attribute
dan sifat skalar. Suatu lapisan batubara mulai dari lapisan dasar (floor)
hingga atas (roof) memiliki sifat tertentu, yang mencerminkan kondisi
lingkungan pengendapanya.

Sifat attribute adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada tidaknya
suatu maseral tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat
penting untuk dijadikan penciri suatu lingkungan tertentu (Diessel,
1992). Navale (1981) menyatakan bahwa batubara yang diendapkan
pada lingkungan lagoon relatif kaya akan desmocolinit, batubara dari
lingkungan upper delta plain dan fluviatil (wet frorest Swamp) kaya akan
vitrinit dan material klastik seperti mineral lempung, sedangkan
batubara dari lingkungan air tawar biasanya lebih kaya akan telinit,
resinit dan inertinit.
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

Sifat skalar dari suatu maseral bukan didasarkan atas faktor


kehadiran atau morfologi maseral tertentu, tetapi didasarkan pada
hubungan kuantitatif antara tiap maseral dalam batubara. Diessel
(1992) memperkenalkan dua parameter utama dalam penertuan
fasies batubara berdasarkan komposisi maseral pada batubara yaitu:
1. TPI
TPI (Tissue Presevation Index) menyatakan perbandingan antara
struktir jaringan pada maseral yang terawetkan dan struktur
jaringan yang tidak terawetkan (terdekomposisi). TPI juga dapat
menunjukkan derajat humifikasi yang terjadi pada lahan gambut
dalam proses penggambutan. Tingginya derajat humifikasi dapat
menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan sel yang
dinyatakan oleh harga TPI yang kecil.
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

Pengrusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi pada
tanaman yang mengandung banyak seloluse (tanaman perdu), sedangkan
tanaman yang banyak mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sulit
dihancurkan.
Semakin meningkatnya harga TPI dapat menunjukkan semakin tingginya
presentasi kehadiran tumbuhan-tumbuhan kayu dalam hal ini ditunjukkan
dengan banyaknya presentasi telovitrinit.
Sementara itu bila harga TPI , maka maseral vitrinit akan disertai oleh
kehadiran cutinit yang biasanya akan cepat terhancurkan oleh air laut.
Kombinasi antara kandungan densinit dan cutinit yang banyak dengan kandungan
vitrinit yang sedikit dapat menggambarkan bahwa batubara berasal dari serta
tumbuhan perdu pada suatu lingkungan Marsh
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

2. GI
GI (Gelification Index) berhubungan dengan kontinuitas kelembaban pada lahan gambut
serta menyatakan perbandingan antara maseral yang terbentuk karena proses gelifikasi
dan maseral yang terbentuk akibat proses oksidasi.

Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini semakin kecil
harga GI menunjukan tingkat oksidasi yang semakin besar.
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

Tingkat gelifikasi akan memberikan beberapa gambaran antara lain :


1. Menunjukan basah keringnya kondisi pembentukan batubara. Hal
ini terjadi karena gelifikasi membutuhkan keadaan lembab yang
kontinyu.
2. Sebagai indikator pH relatif karena efektifitas bakteri dapat
berlangsung pada derajat keasaman rendah
3. Sebagai ukuran proses diagenesa selama gelifikasi biokimia
Kombinasi TPI dan GI dapat dipergunakan untuk memperkirakan
derajat dekomposisi dan penentuan lingkungan pengendapan
batubara. Nilai TPI dan GI yang tinggi dapat mengindikasikan
tingkat dekomposisi aerobik yang rendah, sebaliknya kondisi kering
dicirikan oleh nilai TPI rendah dan GI yang tinggi mengindikasikan
dekomposisi aerobik yang terbatas
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

PENGARUH AIR TANAH DAN VEGETASI


Salah satu parameter dalam pembentukan mire / lahan gambut
(rheotophic, mesotropic dan ombrotopic) adalah kondisi pengaruh air
tanah yang dicerminkan melalui nilai indeks GWI (Graoundwater Index)
yang secara langsung berhubungan dengan kontinuitas air hujan dan
suplai nutrisi / ion-ion yang ada pada air.

Rheotropic mire menerima suplai air dari aliran tanah, air dari
lingkungan dan air hujan sehingga kaya akan suplai nutrisi dan ion serta
kandungan mineral, sementara ombrotropic mire hanya akan menerima
dari air hujan sehingga miskin nutrisi (oligotropic). Rheotrophic mire
dapat dibagi menjadi Fen, Swamp, dan Marsh yang tergantung pada
tingkat genangan air pada lahan gambut. Sementara mire dapat
diistilahkan sebagai Bogs (Moore, 1987 dalam Calder 1991).
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

GWI merupakan rasio perbandingan antara jumlah tumbuhan yang


tergelifikasi kuat terhadap jaringan tumbuhan yang tergelifikasi lemah.
Perbandingan ini dapat menggaqmbarkan proses gelifikasi yang
menyimpulkan tentang keadaan suplai air dan pH dari suatu lahan gambut /
mire.

Pada lingkungan rawa yang berkembang menjadi kondisi rawa di bawah


pengaruh air tanah yang semakin berkurang akan menghasilkan gambut yang
lebih baik (Grosse – Braukman, 1979, Tallis, 1983, Moore, 1987 dalam Calder
1991). Bukti kondisi ini dapat terlihat pada lapisan batubara yang menunjukan
perubahan tendensi umum secara vertikal. Perubahan tendensi umum
tersebut diantaranya adalah penurunan kadar sulfur dan abu, kenaikan
pengawetan jaringan tumbuhan, penurunan gelifikasi biokimia dan
penurunan maseral liptinite yang berasal darin lingkungan air (Calder, 1991)
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

Dalam perhitungan GWI juga dimasukan parameter mineral matter selain maseral.
Kegunaan parameter mineral matter disini dapat mengindikasikan asal mula dari
dominasi detrital masuk pada mire dan juga dapat mengasumsikan ukuran
kondisi rawa gambut (Rheotrophic, mesotrophic dan ombrotropic). (Cecil, C.B
dalam Taylor, 1998)
Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam GWI, aspek
vegetasi (Vegetation Index) juga dapat dijadikan petunjuk dalam
menginterpretasikan asal mula suatu lahan gambut (paleomire). Secara teori lahan
gambut dapat dibedakan berdasarkan tipe tumbuhan pembentuk dengan
menggunakan paramater kesamaan antar maseral.
Tumbuhan yang kaya akan lignin ditunjukan dengan kandungan telovitrinit, fusinit
dan semifusinit yang tinggi. Dalam hal ini, suberinit dan resinit adalah maseral
penyerta. Tumbuhan asal perdu yang kaya selulosa melalui proses pembatubaraan
akan membentuk batubara yang kaya akan detrovitrinit, inertodetrinit dan
liptodetrinit (Teichmuller, 1989). Kondisi seharusnya akan diindikasikan oleh
kehadiran maseral alganite. Sementara sporanite dan cutinite mempunyai distribusi
yang sama pada batubara yang terbentuk dari tumbuhan bawah air. 
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA


Sulfur dalam batubara terdapat dalam bentuk inorganik, dan organik. Sulfur
inorganik banyak ditemui dalam bentuk senyawa sulfida ( piritik) dan sulfat.
Sulfida organik adalah unsur atau senyawa sulfur yang terikat dalam rantai
hidrokarbon material organik.
Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur
syngenetic yang erat hubunganya dengan proses fisika dan kimia selama proses
penggambutan (Mayers, 1982) dan juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat
diamati sebagai pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia
pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky, 1968)
Menurut Suits dan Arthur (2000) sulfat umumnya dari sedimen laut dangkal,
direduksi senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida, kemudian
dioksidasi oleh geohite (FeOOH) atau hidrogen sulfida dan mereduksi ferric
iron (Fe3+) menjadi senyawa ferrous iron (Fe2+). Oksigen sering kali
menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur
sulfat (S0).
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

Horne et.al (1978) menjelaskan bahwa penurunan cekungan dengan


kecepatan tinggi selama sedimentasi umumnya akan menghasilkan
beragam geometri dan petrografi batubara, tetapi kandungan sulfurnya
rendah. Apabila penurunan berjalan secara perlahan maka akan menghasilkan
kemenerusan lapisan secara luas tapi kandungan sulfurnya tinggi.
Mansfield and Spackman (1968) menyatakan bahwa batubara dibawah
pengaruh air laut mempunyai kandungan sulfur yang tinggi dibandingkan
yang di airtawar.
Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut
akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi serta pirit
berbentuk framboidal dan kristal euhedral (Williams and Keith, 1963,
Naeval, 1996, Cohen 1983, Davies and Raymond, 1983, Casagrande 1987
dalam International Journal of Coal Geology, 1992). Sedangkan batubara yang
terendapkan di lingkungan darat/air tawar umumnya didominasi oleh sulfur
organik dengan presentasi pirit rendah.
KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA

Dilingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 5 – 8 dan EH


cukup rendah, kecuali pada beberapa centimeter dari
permukaan. Sulfat berlimpah dan umumnya cukup ion Fe
yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air laut atau
penguraian dari bahan tumbuhan dan mineral. Keadaan ini
menyebabkan aktifitas bakteri sangat berperan untuk
terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan
batubara pada ait tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya
rendah. Sulfat terlarut juga rendah (± < 40 ppm). Sehingga
sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri rendah.
Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung
pada kondisi pH, Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit
khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas bakteri.
KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA

Dari hasil penelitian mengenai bentuk dan keberadaan sulfur pada batubara dan
gambut. Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan yaitu :

a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1 %) mengandung lebih banyak sulfur
organik daripada sulfur piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur
tinggi lebih banyak mengandung sulfur piritik dari pada organik.
b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang
berasal dari lingkungan laut
c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya paling tinggi pada bagian roof dan floor
lapisan batubara.

Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya terendapkan
pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan lapisan
bawahnya berupa sedimen klasik yang terendapkan pada lingkungan darat juga.
Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang tinggi berasosiasi
dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau laut (Cecil 1979)
KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA

Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur


adalah reaksi reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri.
Berikut skema yang menunjukan urutan proses pembentukan sulfur
dalam batubara.
Gambar 3.4. Skema pembentukan
sulfur dalam batubara (modifikasi
dari Suits & Arthur, 2000)
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

 Ward (1984) menyebutkan sulfur dalam batubara meliputi sulfur sulfat, sulfida sulfur dan
organic sulfur yang kesemuanya merupakan penjumlahan dalam total sulfur dalam analisa
proksimat.
 Kandungan sulfur dalam batubara terdiri :
1. Sulfur sulfat.
Senyawa yang tebentuk sebagai kalsium sulfat (CaSO4) dalam batubara dan merupakan
sumber belerang yang tidak dominan (<0,05%). Sulfur sulfat banyak dipengaruhi oleh air
laut
2. Sulfur pirit
Sulfur yang terdapat dalam batubara dalam bentuk besi sulfida, muncul sebagai markasit
atau pirit. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) tetrapi
berbeda pada sistem kristalnya, pirit (isometrik) dan markasit (orthorombik) Taylor
(1998). Diendapkan bersamaan/seumur dengan pembentukan batubara dan memiliki
ukuran 0,5 – 40 mm. Berasal dari mineral- mineral tanah yang dilepaskan untuk tanaman,
terutaman pada tanah dengan drainase terbatas, banyak terdapat pada rawa-rawa.
3. Sulfur organic
Sulfur yang terikat dengan senyawa organik pada struktur molekul hidrokarbon pada
struktur batubara dan tidak dapat dipisahkan.
MASERAL DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

Unsur yang mempengaruhi kandungan sulfur:

1. Plant remains. Merupakan sisa-sisa tumbuhan yang terdapat pada


lapisan roof dan floor batubara. Berdasarkan pengamatan lapangan
hadirnya plant remains diisi sulfur organik akan mempengaruhi nilai
sulfur. Plant remains menaikan total sulfur betubara. Pada saat
pembusukan sulfur tidak ikut membusuk dan tersisa hingga pada
saat pembentukan batubara (Stach’s, 1982 vide Putrasakti 2007)
2. Penyebaran mineral pirit pada batubara
Kehadiran mineral pirit pada batubara sebagian dapat dihilangkan
dengan mencuci karena pirit bercampur pada cleat sebagai markasit.
Pengaruh pirit terhadap total sulfur jauh lebih besar dibandingkan
pengaruh plant reamins terhadap jumlah total sulfur.
KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA

Menurut Caraccio (1977, vide Putrasakti, 2007) ada


empat bentuk pirit dalam batubara, yaitu :
1. Euhedral pirit, butiran kasar >25 mikron
2. Replecment mengantikan mineral asli tumbuhan
3. Flaty, berupa lembaran mengisi cleat
4. Frambodial pirit. Berasal dari pengurangan sulfur
oleh mikroba organisme yang dijumpai di
lingkungan air laut hingga air payau dan tidak
pada air tawar. Memiliki kenampakan fisik yang
bulat
KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA

Gambar 3.5. Bentuk - bentuk mineral pirit dalam batubara :


 a) Pirit berbentuk famboidal;
 b) Pirit berbentuk konkresi;
 c) Pirit dalam bentuk Nodule;
 d) pirit epigenetik sebagai pengisi rekahan / cleat (Stach 1982 dalam coal petrology)
KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA

Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air tanah
yang mengandung ion besi. Bentuk pirit dari hasil reduksi ini biasanya framboidal
dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam material yang
terendapkan bersama batubara.
Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekwensi cleat karena kation
– kation yang terlarut (ion Fe) akan terbawa kedalam batubara oleh aliran yang telah
tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuck TD, dalam International Journal
of Coal Geology, 1992)
Pirit epigenetik umumnya hadir dalam bentuk masif, butiran kecil (granular) dan kristal
euhedral. Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh keterdapatan
sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok bagi pembentukanya
(Casagrande, 1987)
Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada
lingkungan laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam
bentuk pirit framboidal) terbentuk pada lingkungan pengendapan yang dipengaruhi oleh
trangresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam batuan sedimen yang
cukup tebal dan terendapkan sebelum fase trangresi (Cohen AD dalam Taylor 1998).
KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA

 Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubara berupa


sulfur syngenetik yang keterdapatanya dan distribusinya
dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama proses
pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara
dapat berasal dari material kayu dan pepohonan. Disamping
itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi dari sisa-sisa
organisme yang hidup selama perkembangan gambut.
 Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material
organik oleh proses penghancuran biokimia dan oksidasi.
Namun secara umum, penghancuran biokimia merupakan
proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur
organik, yang pembentukanya berjalan lebih lambat dari
lingkungan basah atau jenuh air (Cook, 1982)
KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA

 Navael (1981), sulfur organik atau bisa dikatakan sebagai pirit, mengindikasikan aktivitas
bakteri pereduksi sulfur dalam gambut. Deulfovibrio sedlfurican dan Clostridium nigrificans
mereduksi sulfat menjadi H2S yang diperlukan untuk terbentuknya pirit, dimana
unsur besi kemungkinan masuk ke dalam rawa yang terbawa dalam material lempung.
Oleh karena itu, pada umumnya pirit ditemukan pada lapisan lempung sebagai floor / roof
maupun sisipan.
 Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam
menertukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam
lingkungan marine atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen
sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi adalah
reduksi sulfat oleh material organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu
oleh adanya bakteri desulfovibrio dan desulfotomaculum (Trudinger dalam Mayers, 1982)
 Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau molekul
organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur (S0) kemungkinan mucul dari
proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam kisi-
kisi air, disamping itu S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S0)
dapat berekasi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. (Mayers,
1982)
KANDUNGAN SULFUR PADA BATUBARA

Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2S juga dapat bereaksi


dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis
interaksi antaea H2S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan
paling penting dalam mementukan kandungan sulfur organik dalam batubara
(Mayers, 1982). Disamping itu kandungan sulfur organik yang tinggi hanya akan
berasosiasi dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh &
Postuma, 1974, Bein, 1990, Zaback & Pratt dalam Suits & Arthur, 2000)

Bukti-bukti kimia dan molekul menyatakan bahwa sulfur organik pada


sedimen muda dan purba terbentuk pada awal proses diagenesa
(Nissenbaum & Kaplam, 1972; Casagrande, 1979; Kohnen, 1990 dalam Suits &
Arthur, 2000). Bukti dari isotop sulfur memperkuat hipotesa tersebut, pada sulfur
organik isotop sulfur 34S terkayakan relatif sama pada sulfur pirit untuk
batuan sedimen muda dan purba. Bukti isotop ini juga sering membuktikan
bahwa sulfur organik terbentuk setelah proses presipitsi pirit (Kaplan, 1963, Price
& Shieh, 1979, Francois, 1987, Raiswell, 1993 dalam Suits & Arthur, 2000)

Anda mungkin juga menyukai