Anda di halaman 1dari 43

PLENO MODUL 5

KELOMPOK 7
MODUL 5
LIMFADENOPATI
Penyakit Maman yang mencemaskan
Maman, seorang laki-laki berusia 25 tahun datang dengan asthenia yang telah berlangsung selama 6
bulan ke Poliklinik. Maman tidak mengalami demam, penurunan berat badan, atau berkeringat di malam hari
dan tidak menunjukkan gejala kecuali untuk asthenia yang sudah lama. Pemeriksaan fisik didapatkan normal,
kecuali adanya limfadenopati pada leher dengan konsistensi kenyal dan mobile yang berukuran 2 cm tanpa
dijumpai tanda inflamasi. Tidak ada nyeri menelan, Tidak dijumpai pembengkakan di aksila dan inguinal serta
tidak dijumpai hepatosplenomegali, pada pemeriksaan otorinolaringologi didapatkan hasil normal.
Pemeriksaan laboratorium didapati normal. Pemeriksaan tomografi pada leher, dada, perut, dan panggul tidak
menunjukkan limfadenopati lain, dan tidak ada bukti untuk sarkoidosis, tuberkulosis, atau kanker.
Pemeriksaan histologis limfadenopati didapatkan hiperplasia limfoid reaktif dengan organisasi granulomatosa.
Pemeriksaan PCR yang dilakukan didapatkan L donovani / DNA infantum. Dokter menegakkan Diagnosis
limfadenopati leishmanial terlokalisasi.
Keluarga Maman heran, kenapa pembengkakan leher yang kecil saja memerlukan pemeriksaan yang
banyak. Keluarga bertanya “Apakah benjolan ini kanker? dan Apakah penyakit ini tidak bisa sembuh?” tanya
keluarga Maman.
Keluarga Maman teringat tetangganya, Pak Tono yang mengalami benjolan di leher dan oleh dokter
dinyatakan TB kelenjar dan diharuskan mengkonsumsi obat rutin selama 6 bulan. Keluarga Maman semakin
bingung dengan benjolan dileher Maman.
Bagaimana anda menjelaskan pada keluarga mengenai apa yang terjadi pada Maman?
JUMP 1: TERMINOLOGI

1. Limfadenopati : kondisi di mana terjadi pembengkakan


atau pembesaran kelenjar getah bening.
2. Otorinolaringologi : cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
penilaian, diagnosis, pengobatan, &
gangguan kesehatan pada telinga, hidung,
tenggorokan, kepala, leher, mulut, sinus, &
laring.
3. Sarkoidosis : kondisi di mana tubuh mengalami
peradangan sel tubuh.
JUMP 2&3:
RUMUSAN MASALAH DAN HIPOTESA

1. Apa makna dari anamnesis pak maman?


Tidak demam : bukan infeksi virus/bakteri
Tidak ada penurunan BB : tidak adanya proses hipermetabolisme, dan
bukan keganasan
2. Bagaimana hasil interpretasi pemeriksaan fisik pak maman?
• Terdapat limfadenopati
• Tidak nyeri menelan: tidak terjadi peradangan/perdarahan
• Tidak ada pembengkakan di aksila: tidak terjadi metastasis
3. Apa kemungkinan penyebab pembengkakan pada leher pak maman?
Karena ditemukan parasit L.donovani
4. Bgmn interpretasi dari hasil px pak maman?
Limfoid hiperplasia reaktif karena pembesaran kel. Limfoid yang jinak dan dapat
mengecil kembali
5. Apa dx dan dd untuk pak maman?
Dx : limfadenopati leishmanial terlokalisasi
Dd : tb kelenjar
6. Apa saja px penunjang untuk pak maman?
• Pem darah
• Pem serologi
• Pencitraan: rontgen, CT-scan, MRI
• Biopsi kelenjar
7. Apa tata laksana untuk pak maman?
• Tranfusi darah
• Makanan tinggi protein
• Anti parasit
8. Bagaimana prognosis dan komplikasi pak maman?
Prognosis: jika tidak diobati dalam 2 tahun75-95% penderita dapat meninggal
Komplikasi: infeksi sekunder amubiasis, tuberkulosis, dan penyakit infeksi
parasit lainnya
9. Apakah benjolan pak maman termasuk kanker?
Tidak, karena gejalanya lebih mengarah pada infeksi monokleosis akibat dari
leishmanial donovani
10. Mengapa pak tono harus minum obat selama 6 bulan?
Karena penyakit pak tono disebabkan oleh mikobakterium TB, dan
untuk mengobatinya diharuskan minum OAT selama 6 bulan
11. Apakah benjolan yang dialami pak tono dan pak maman
merupakan hal yang sama?
Tidak, karena penyebabnya berbeda, penyakit pak maman
disebabkan oleh parasit L.donovani sedangkan penyakit pak tono
disebabkan oleh mikobacterium TB
JUMP 4: SKEMA
Limfadenopati

Non neoplastik Keganasan neoplasma

Penyebab lain infeksi limfoma

hodgkin Non hodgkin


bakteri parasit

Etio – mk
anamnesis
diagnosis px fisik
px penunjang
Tatalaksana

Komplikasi & prognosis


JUMP 5: LEARNING OBJECTIVE

1. Limfadenopati non neoplastik


2. Limfadenopati neoplastik
a. Limfoma hodgkin
b. Limfoma non hodgkin
LIMFADENOPATI NON NEOPLASTIK
LIMFADENITIS TB
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ terutama
paru-paru.

Berdasar atas lokasinya, tuberkulosis dikelompokkan menjadi tuberkulosis paru


dan ekstraparu.

Tuberkulosis ekstraparu dapat terjadi di berbagai organ seperti kelenjar getah


bening, pleura, abdomen, kulit, tulang, sendi, saluran kencing, dan sebagainya.

Manifestasi ekstraparu yang sering dijumpai adalah limfadenitis TB yang


merupakan proses peradangan pada kelenjar limfe atau kelenjar getah bening
akibat aktivitas bakteri penyebab tubekulosis.
Limfadenitis TB lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan dengan
lakilaki serta banyak diderita oleh pasien usia dewasa muda.

Bila dilihat dari segi usia, Limfadenitis TB banyak mengenai penderita diusia
dewasa muda, hal tersebut didukung dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Nidhi dkk. menunjukkan hal yang sama di mana Limfadenitis TB
banyak mengenai dewasa muda dengan rentan usia 21–30 tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh Viegas dkk. juga menunjukan hasil yang sama, di
mana penderita limfadenitis TB terbanyak berada dalam rentang usia antara 18–
45 tahun. Hal ini disebabkan usia dewasa muda adalah usia produktif dimana
usia produktif mempengaruhi risiko tinggi untuk terkena TB karena
kecenderungan untuk berinteraksi dengan orang banyak diwilayah kerja lebih
tinggi dibandingkan dengan bukan usia produktif sehingga insidensi TB banyak
mengenai dewasa muda.
Selain dari faktor usia, jenis kelamin, dan gaya hidup terdapat faktor lain yang
memengaruhi seseorang terkena limfadenitis TB yaitu riwayat kontak dan
riwayat TB sebelumnya.

Riwayat kontak serumah dengan penderita TB mempunyai peranan penting


dalam penyebaran TB. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Viegas
dkk. didapatkan 33,3% pasien TB limfadinitis memliki riwayat kontak erat
dengan penderita.

Riwayat TB sebelumnya juga menjadi salah satu faktor seseorang terkena


limfadenitis TB. Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya rekurensi dari
riwayat TB sebelumnya dipengaruhi oleh faktor pengobatan yang tidak tuntas,
imunitas, dan kuman TB. Sehingga seseorang dengan riwayat TB sebelumnya
berisiko lebih untuk terkena TB paru dan TB ekstra paru.
Gejala klinis dari limfadenitis TB adalah adanya massa yang tidak nyeri,
membesar secara gradual dalam beberapa minggu atau bulan, dan persisten.
Gejala sistemik yang mungkin terjadi adalah demam/menggigil, kehilangan berat
badan, atau malaise pada 43% pasien. Batuk dapat menjadi gejala yang
menonjol pada limfadenitis mediastinum.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah laboratorium darah


lengkap, radiologis foto toraks, bila perlu USG, CT scan dan MRI.

Pengobatan dari limfadenitis TB adalah dengan regimen obat anti tuberkulosis


yaitu isoniazid, rifampicin, pyrazinamid dan etambutol selama 2 bulan diikuti
isoniazid dan rifampicin selama 4 bulan dengan total 6 bulan pengobatan sesuai
dengan program directly observed treatment, short-course (DOTS).
Namun waktu pengobatan dapat diperpanjang disesuaikan dengan karakteristik
masing-masing individu. Terapi ditunda pada kehamilan.
LANGERHANS CELL HISTIOCYTOSIS
(LCH)
Langerhans cell histiocytosis (LCH) atau dulu disebut histiositosis X,
merupakan kondisi peningkatan jumlah sel (proliferasi) histiosit yang mirip
dengan sel Langerhans yang terdapat di berbagai jaringan atau organ.
Sel histiosit merupakan bagian dari sistem imun yang berfungsi untuk
memakan sel-sel asing yang masuk ke dalam tubuh (fagositosis) dan
berperan sebagai pembawa antigen, yaitu bahan atau zat yang dapat
memicu terbentuknya antibodi.
Epidemiologi

LCH merupakan suatu penyakit langka yang hanya ditemukan pada 0,5–
5,4 kasus per juta orang per tahunnya. Penyakit ini dapat terjadi pada semua
kelompok usia. Angka kejadian tertinggi pada usia 1 sampai 3 tahun.
Insidens berkisar antara 4 – 5,4 per 1000.000 anak pertahun. Anak laki-laki
berisiko dua kali lipat lebih besar mengalami LCH dibandingkan dengan anak
perempuan.
Manifestasi klinis
Berdasarkan kriteria Histiocyte society dikelompokkan dalam jumlah sistem
organ yang terlibat, yaitu :
1. Penyakit satu sistem
- Lesi soliter yaitu lesi tulang soliter, lesi terbatas pada kulit atau lesi
terbatas pada kelenjar getah bening.
- Lesi multipel yaitu lesi tulang multipel ataupun kelenjar getah bening
multipel
2. Penyakit multisistem yaitu lesi pada multi organ dengan atau tanpa
disfungsi organ
Gejala LCH dapat dibedakan berdasarkan organ yang terkena, diantaranya:
1. Tulang
Nyeri tulang yang terlokalisasi, Terdapat pembengkakan di atas tulang. Sel histiosit
yang menyerang tulang dapat menghancurkannya, sehingga tulang menjadi lebih
lunak. Lokasi yang paling umum adalah tengkorak, tulang paha, dan tulang
rusuk. Dapat juga dijumpai mata yang menonjol (proptosis).
2. Kulit dan membran mukosa
ruam berupa bercak, bentol, atau memar. Ruam dapat dijumpai pada badan, perut,
kulit kepala, dan anggota gerak.Kulit kepala dapat menjadi bersisik. Apabila
mengenai telinga, maka dapat keluar cairan dari telinga, atau memar pada kuku.
Pada bayi baru lahir, ruam kulit dapat menghilang sendiri.
3. Otak
LCH yang mengenai hipotalamus dan kelenjar hipofisis dapat
menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan diabetes insipidus, Kondisi
ini disebabkan gangguan hormon antidiuretik (ADH atau vasopresin) yang
berfungsi untuk mengatur jumlah urin yang keluar. Selain itu, LCH di
otak dapat menimbulkan gejala neurologis, yang meliputi
perubahan kecerdasan, perubahan perilaku, pandangan kabur, gemetar
(tremor), berkurangnya koordinasi otot (ataksia), gangguan pengucapan
bunyi bahasa (disartria), gerakan bola mata yang cepat tanpa disengaja
(nistagmus), dan kelumpuhan saraf kepala. 
4. Paru
batuk tidak berdahak, sesak napas, nyeri dada khususnya ketika menarik
napas, atau pneumotoraks spontan. LCH paru sering terjadi pada orang
dewasa perokok berusia 20-40 tahun.
5. Pembesaran kelenjar getah bening
Lokasi pembesaran kelenjar getah bening yang tersering adalah di leher,
rongga dada, dan perut.
6. Hati, limpa, dan sumsum tulang
Penyusupan sel-sel histiosit ke dalam hati dapat menyebabkan gangguan
fungsi hati. Pada limpa dan sumsum tulang, penyusupan sel-sel histiosit
menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah dan keping darah.
7. Saluran pencernaan
diare berkepanjangan, penurunan kadar albumin di dalam darah,
penurunan berat badan, dan perdarahan saluran cerna. Pada anak-anak,
dapat terjadi gangguan pertumbuhan, retardasi mental, dan tertundanya
masa pubertas.
 
Klasifikasi

Secara histopatologis, histiositosis dibedakan atas 3 kelas, yaitu:


• Kelas I: histiositosis sel Langerhans(LCH), yang meliputi penyakit Hand-Schüller-Christian,
penyakit Letterer-Siwe, granuloma eosinofilik, dan congenital self-healing Langerhans
histiocytosis(penyakit Hashimoto-Pritzker) Gambaran yang khas pada golongan ini adalah
ditemukannya granul Birbeck pada sel Langerhans.
• Kelas II: histiositosis sel non Langerhans, yang meliputi histiositosis sinus dengan
limfadenopati masif, histiositosis hemofagositik, xanthogranuloma, dan
retikulohistiositoma .ditandai dengan akumulasi sel mononuklear dari fagosit. monosit
normal merupakan sel yang terbanyak dengan gambaran eritrofagositosis.
• Kelas III: kelainan histiositik ganas, yang meliputi leukemia monositik akut, histiositosis
maligna, dan limfoma histiositik sejati (sarkoma histiositik) Golongan ini terdiri dari proliferasi
neoplastik dari monosit atau makrofag, termasuk leukemia monositik akut, keganasan
histiositosis dan sarkoma histiositosis.
Diagnosis
• Anamnesis: gejala-gejala seperti demam, nyeri tulang, gangguan
pertumbuhan, penurunan nafsu makan, diare, keinginan untuk banyak
minum karena sering merasa haus, keinginan untuk sering berkemih,
penurunan kemampuan beraktivitas, perubahan perilaku, dan perubahan
neurologis.
• Pemeriksaan klinis: apakah terdapat ruam pada kulit, ada atau tidaknya
kuning (ikterus), pucat, pembengkakan, pembesaran kelenjar getah bening,
keluarnya cairan dari telinga, kelainan mata, lesi di rongga mulut, serta
ukuran hati dan limpa & apakah terdapat kelainan saraf.
• Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, urin rutin, kimia darah, dan faktor
koagulasi. USG perut, foto rontgen dada, dan survei radiografi tulang juga
dianjurkan untuk mengetahui apakah LCH juga menyerang organ dalam
tubuh seperti hati, limpa, paru, dan tulang.
• Gold standard untuk menegakkan diagnosis LCH adalah dengan biopsi dan
pemeriksaan histologis dan imunologis.
Tata laksana
Berdasarkan jumlah sistem organ yang terkena.
• Pada lesi tulang soliter dilakukan kuretase. Bila ada risiko untuk fraktur spontan, nyeri
atau deformitas berat dapat diberikan steroid intralesi dengan menggunakan metil
prednisolon dengan dosis 75-150 mg. Bila lesi tidak memungkinkan untuk dilakukan
hal di atas dapat diberikan radioterapi dosis rendah.
• Untuk lesi pada kelenjar getah bening soliter atau lesi kulit nodular, dapat dilakukan
eksisi. Sedangkan untuk lesi kulit saja dapat diberikan steroid topikal. Jika lesi sangat
berat diberikan larutan nitrogen mustard 20% atau PUVA (psoralen and ultraviolet a
irradiation) fotokemoterapi.
• Pada penyakit multisistem tidak ada obat tunggal yang baku. Pada umumnya
menggunakan rejimen prednisolon, vinblastin, etoposid dengan dosis dan jangka
waktu yang berbeda-beda. diberikan pengobatan berupa vinkristin 1,5 mg/m2 , IV,
sitosin arabinosid 100 mg/m2 secara subkutan, dan prednisolon 40 mg/m2 , oral 3 kali
sehari dan dilakukan penurunan dosis setelah 4 minggu menjadi 20 mg/ m2 , sekali
sehari .
Komplikasi

Komplikasi yang ditimbulkan LCH antara lain diabetes


insipidus, gangguan fungsi pendengaran, gangguan fungsi
kognitif, gangguan fungsi otak kecil, dan risiko untuk menderita
kanker lain seperti leukemia dan limfoma. LCH juga dapat
mengalami kekambuhan atau perburukan menjadi penyakit
sistemik (mengenai seluruh tubuh)
Prognosis

LCH dengan risiko rendah umumnya memiliki prognosis yang baik.


Setelah diberikan pengobatan kombinasi, angka kelangsungan hidup dapat
mencapai 100%. Sekitar 65-80% pasien bebas dari kekambuhan (rekurensi).
Namun, LCH dengan risiko tinggi yang tidak memberikan respon setelah 12
minggu pengobatan, angka kelangsungan hidup menjadi kurang dari
20%. LCH dengan lesi unifokal (di satu tempat) umumnya dapat sembuh
sendiri. LCH dengan lesi multifokal (di banyak tempat) juga dapat sembuh
sendiri, namun risiko kematian lebih tinggi apabila penyakit ini mengenai
paru.
LIMFADENOPATI NEOPLASTIK
LIMFOMA HODGKIN
Limfoma hodgkin terjadi karena mutasi sel B pada sistem
limfatik, dgn hasil deteksi yaitu adanya sel abnormal reed-
stenberg dalam sel kanker. Limfoma hodgkin sendiri
merupakan jenis yg paling bisa disembuhkan dan
biasanya menyerang kelenjar getah bening yg terletak di
leher dan kepala. Umumnya pasien didiagnosis pd saat
usia 20 - 30 thn dan juga pada usia lebih dari 60 thn.
Epidemiologi
• kurva bimodal yang khas, puncaknya pd usia 15-
30 thn puncak lainnya pd usia 45-55 thn
• <10 thn = ♂ > ♀
• Remaja = ♂ = ♀
Gambaran Histopatologi
• Sel Reed Sternberg
• Klasifikasi Rye
1. Limfositik Predominan
2. Sel Campuran/MC
3. Deplesi Limfositik/LD
4. Nodul Sklerosis/NS
Gambaran Klinik
• Limfadenopati asimptomatik
• Demam, keringat malam hari, BB sulit naik bahkan
berkurang
• Lab : anemia normokromik normositik, neutrofilia,
leukositosis, limfositopeni, eosinofilia, monositosis,
LED ↑
Stadium
Stadium Karakteristik

I Pembesaran kelenjar limfe regional tunggal (I) atau pembesaran organ ekstra limfatik tunggal atau sesisi
(Ie)

II Pembesaran kelenjar limfe regional dua atau lebih yang masih sesisi dengan diafragma (II) atau
pembesaran organ ekstra limfatik satu sisi atau lebih yang masih sesisi dengan diafragma

III Pembesaran kelenjar limfe pada kedua sisi diafragma (III) disertai dengan pembesaran limpa (IIIs) atau
pembesaran organ ekstra limfatik sesisi (IIIe) atau kedua sisi (IIIse)

IV Pembesaran organ ekstralimfatik dengan atau tanpa pembesaran kelenjar limfe


Terapi

• Kemoterapi dg protokol MOPP (nitrogen mustard,


onkovin, prednison, prokarbasin), ABVD( adriamisin,
bleomisisn, vinblastin, dekarbasin), COPP
( siklofosfamid, onkovin, prokarbasin, prednison)
• Radiasi dosis rendah pada tempat terbatas
• Terapi suportif lain
Pengobatan
• Stadium I : radioterapi
• Stadium II : radioterapi dengan /
tanpa kemoterapi
• Stadium III & IV : kemoterapi
LIMFOMA NON HODGKIN
Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan prirner limfosit yang
dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan sangat jarang berasal dari sel NK
("natural killer") yang berada dalam sistem limfe yang sangat heterogen, baik tipe
histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun
prognosis.
• DIAGNOSIS
 riwayat pembesaran kelenjar getah bening/ massa tumor di tempat lain
(tulang,intra abdomen ,hidung,lambung)
 riwayat demam tanapa sebab yang jelas
 penutunan berat badan 10% dalam waktu 1 bulan
 keringat malam banyak,tanpa sebab yang sesuai
 pemeriksaan histopatologi tumor: sesuai dengan limfoma non hodgkin (LNH)
• DIAGNOSIS BANDING
limfoma hodgkin, limfadenitis, tuberkulosis, toksiplasmosis, filariasis, dan
tumor padat lain.
• PEMERIKSAAN PENUNJANG
 pemeriksaan sitologi kelenjar/ massa tumor untuk mengetahui LNH tersebut seta
keterlibatan kelenjar lain yang membesar
 laboratorium: darah tepi lengkap,gula darah,fungsi hati,fungsi ginjal
 aspirasi dan biopsi susmsum tulang
 CT-scan atau USG abdomen untuk mengetauhui adanya pembesaran KGB paraaorta
abdominalis atau KGB lainnya, massa tumor dalam abdomen
 foto thoraks untuk mengetahui pembesaran KGB mediastinum
 pemeriksaan telinga ,hidung, telinga, (THT) untuk melihat keterlibatan cincin waldeyer
 gastroslopi bila perlu untuk melihat keterlibatan lambung
 bone acan atau foto bone survey bila perlu untuk melihat keterlibatan

• KOMPLIKASI
 akibat langsung penyakitnya
 penekanan terhadap organ khususnya jalan nafas , usus, dan saraf
 mudah terjadi infeksi ,bisa fatal
 akibat efek samping :
1.aplasia susmsum tulang
2.gagal jantung oleh obat golongan atrasiklin
3.gagal ginjal oleh ibat sisplatinum
4.neuritis oleh obat vinkristin

• PROGNOSIS
Tergantung pada derajat keganasan, tingkat penyakit, bulk mass, keadaan
umum pasien dan ada tidaknya gangguan organ yang mempengaruhi
pengobatan :
 Derajat rendah : tidak dapat sembuh, namun dapat hidup lama
 Derajat keganasan menengah: sebagian dapat disembuhkan
 Derajat keganasaan tinggi: dapat disembuhkan,cepat meninggal apabiala
tidak di obati

Anda mungkin juga menyukai