Anda di halaman 1dari 25

HUKUM DAN ETIK

DALAM PELAYANAN
GERONTIK/GERIATRI

Nadirawati, S.Kp., M.Kep


Pendahuluan
Etika sangat penting dalam
perawatan geriatri
Ethics a fundamental part of
geriatrics. While it is central to the
practice of medicine itself, the
dependent nature of geriatric patients,
makes it a special concern
Dilematis!!! penting!!!!!
Apakah pengobatan diteruskan
atau dihentikan
Apakah perlu tindakan resusitasi
Apakah makanan perinfus tetap
diberikan pada kondisi penderita yang
sudah jelas akan meninggal?
Etika  hukum sangat erat kaitannya
Prinsip Etika Pelayanan pada
Lansia
Empathy
Non-maleficence and
beneficence
Otonomi
Keadilan
Kesungguhan Hati
Veracity
Prinsip etika pelayanan
kesehatan pada lansia
Empati  memandang seorang lansia
yang sakit dengan pengertian, kasih
sayang dan memahami rasa penderitaan
yang dialami oleh penderita tersebut
◦ Tindakan empati diberikan dengan wajar,
tidak berlebihan sehingga tidak memberikan
kesan over-protective dan belas kasihan
Prinsip etika pelayanan
kesehatan pada lansia
Yang harus dan yang “jangan” (non-
malefience and beneficence)
◦ Perawatan geriatri  mengerjakan yang baik untuk
penderita dan harus menghindari tindakan untuk
menambah penderitaan (harm) bagi penderita
◦ Adagium primum non nocere  yang penting
jangan membuat seseorang menderita
◦ Contoh : menghibur pasien, pemberian terapi
modalitas atau farmakologi ( analgesic)
Prinsip etika pelayanan
kesehatan pada lansia
Otonomi  seseorang individu
mempunyai hak untuk menentukkan
nasibnya dan mengemukakan
keinginannya sendiri.
◦ Prinsip otonomi berupaya untuk melindungi
penderita yang fungsional masih kapabel
◦ Aspek penting memakai prinsip
paternalisme (seseorang menjadi wakil dari
orang lain untuk membuat suatu keputusan
Prinsip etika pelayanan
kesehatan pada lansia
Keadilan  memberikan pelayanan
atau perawatan yang sama bagi semua
penderita
Kesungguhan hati  prinsip untuk
memenuhi semua janji yang
diberikan pada seseorang penderita
Veracity : kejujuran
Aspek etika pada pelayanan geriatri
berdasarkan pada prinsip otonomi :
◦ Penderita harus berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan dan pembuatan keputusan.
Pengambilan keputusanbersifat sukarela
◦ Penderita harus mendapatkan penjelasan cukup
tentang tindakan atau keputusan yang akan diambil
secara lengkap dan jelas
◦ Keputusan yang diambil hanya dianggap sah bila
penderita secara mental kapabel

Informed Consent
Informed Consent
Penderita berhak menolak tindakan medis
yang disarankan oleh dokter/perawat, tetapi
tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila
berdasarkan pertimbangan dokter yang
bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut
tidak berguna (useless) atau bahkan berbahaya
(harmful)
Kapasitas untuk mengambil Keputusan
 Aspek hukum dan etik yang sangat rumit
 Penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita
haruslah dari kapasitas fungsional bukan atas label
diagnosis :
◦ Apakah penderita bisa buat/tunjukkan keinginan secara benar?
◦ Dapatkah penderita memberikan alasan tentang pilihan yang
dibuat?
◦ Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah
penderita mendapatkan penjelasan yang lengkap dan
benar)
◦ Apakah penderita mengerti implikasi bagidirinya?
(keuntungan dan kerugian dari tindakan tersebut) dan
mengerti pula berbagai pilihan yang ada?
Pendekatan fungsional tersebut memang sukar
karena seringkali terdapat fungsi yang baik
dari 1 aspek, tetapi fungsi yang lain sudah
tidak baik
Pertimbangan pada lansia gangguan
komunikasi akibat menurunnya pendengaran,
sehingga perlu waktu, upaya dan kesabaran
yang lebih guna mengetahui kapasitas
fungsional penderita
Prinsip Etika dibatasi
Oleh realitas klinik adanya
gangguan proses pengambilan
keputusan
Pada kasus berat  keputusan
dialihkan kepada wali hukum atau wali
keluarga (istri/anak (de
facto)/pengacara (de jure)
 Surrogate decision maker
Arahan Keinginan penderita
(advance directives)
Ucapan atau keinginan penderita yang
diucapkan pada saat penderita masih
dalam keadaan kapasitas fungsional yang
baik.
Arahan ini sebaiknya direkam atau dicatat.
Kalaupun tidak dicatat  yg penting
ada saksi
Testamen Kematian (living will) 
pernyataan penderita saat masih kapabel
didepan pengacara atau notaris dapat
dipakai dokter/perawat untuk mengambil
keputusan pengobatan atau perawatan
Life Sustaining Device ( Pemberian
peralatan perpanjangan hidup)
Contoh : ventilator atau RJP
Pada penedrita dewasa muda diharapkan
hidup penderita masih lama bila ditolong
Lansia dianggap tindakan yang kejam
if(futile treatment)
◦ Kekejaman fisiologik bila terapi/tindakan yang
diberikan tidak akan memberikan perbaikan (plausible
effect)
◦ Kekejaman kuantitatif bila diberikan tindakan
yang komplek / atau terapi terapi tidak ada gunanya
◦ Kekejaman kualitatif bila diberikan terapi yang baik
namun atau tindakan tidak menunjukkan perbaikan
Tindakan ini seringkali menimbulkan
tanggapan emsoional dari keluarga,
penghentian peralatan perpanjangan
hidup harus diberikan pertimbangan
yang sama
Dokter dan Perawat harus menjelaskan
hal ini kepada keluarga penderita dan
memberikan pengertian bahwa evaluasi
menunjukkan pemberian peralatan
tersebut dihentikan
Perumatan Penderita terminal dan
Hospis
Penderita yang secara medik didiagnosa
dalam keadaan teminal tidak terbatas hanya
pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak
bisa dipungkiri bahwa sebagian besar
merupakan penderita lanjut usia
Perawatan Hospis atau perawatan bagi
penderita terminal atau menuju kematian
merupakan bagian yang penting dari
penyakit geriatri
Lanjutan……

Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma


dalam, semua fungsi organ sudah jelas tidak bisa
membaik dengan berbagai pengobatan, nafas
agonal dan keadaan yang jelas ”tidak memberi
harapan”, masalahnya mungkin tidak begitu sulit.
Akan tetapi pada penderita yang masih sadar
penuh, masih mobilitas dengana berbagai fungsi
organ masih cukup baik, persoalan etika dan
hukum menjadi lebih rumit.
Pada penderita ini (misalnya dengan
diagnosis karsinoma metastasis lanjut),
beberapa hal perlu ditimbangkan :
◦ Apakah penderita perlu diberitahu
◦ Kalau jelas-jelas semua tindakan medis/operatif
tidak bisa dikerjakan, apakah ada hal lain yang
perlu dilakukan, atau apakah etis kalau
dokter/perawat tetap memaksakan pemberian
sotostatika atau tindakan lain ?
ASPEK HUKUM DAN ETIKA
Produk hukum tentang Lanjut Usia dan
penerapannya disuatu negara merupakan
gambaran sampai berapa jauh perhatian negara
terhadap para Lanjut Usianya.
Baru sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan
landasan hukum, yaitu Undang-Undang
nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi
Orang Jompo.
Bila dibandingkan dengan keadaan di
negara maju, di negara berkembang
perhatian terhadap Lanjut Usia belum
begitu besar.
Berbagai nproduk hokum dan perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut Usia atau
yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan sejak 1965.
beberapa di antaranya adalah :

 Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747).
 Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja.
 Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
 Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita.
 Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.
 Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
 Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
 Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
 Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang PErkembangan Kependudukan dan Pembangunan
keluarga Sejahtera.]
 Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
 Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
 Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga
Sejahtera.
 Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan.
 Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Tambahan lembaran Negar nomor
3796), sebagai pengganti undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998
ini berisikan antara lain :
◦ Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab
pemerintah, masyarakat dan kelembagaan.
◦ Upaya pemberdayaan.
◦ Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut
usia potensial dan tidak potensial.
◦ Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
◦ Perlindungan sosial.
◦ Bantuan sosial.
◦ Koordinasi.
◦ Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
◦ Ketentuan peralihan.
Permasalahan
Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga
◦ Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993),
berbagai isu hukum dan etika yang sering
terjadi pada hubungan Lanjut Usia
dengan keluarganya adalah :
 Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)
 Tindak kejahatan (crime)
 Pelayanan perlindungan (protective services)
 Persetujuan tertulis (informed consent)
 Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life
and related ethical issues)
Tindak intervensi bila telah terjadi
tindak pelecehan terhadap Lanjut Usia
adalah sebagai berikut :
 Memberikan dukungan kepada korban pelecehan.
 Lanjut Usia di rumah dan panti Tresna Wredha
berhak menolak tindakan intervensi tertentu.
 Melatih keluarga untuk melaksanakan tindakan
pelayanan tertentu.
 Memberikan pertolongan dan pengobatan
kepada orang yang melecehakan Lanjut Usia
tersebut.
 Mengajukan tuntutan hukum kepada orang yagn
melecehakan Lanjut Usia tersebut.

Anda mungkin juga menyukai