Anda di halaman 1dari 31

Farmakoterapi Lanjut

Farmakogenetika dan Monitoring Terapi


Dengan Cara Mengukur Konsentrasi Obat
Dalam Plasma

Disusun Oleh:
Kelompok 4

Ahmad Sopyan Atsauri (20340171)


Rahelin Marlis Kido (20340172)
Feriza Fidya Ningsih (20340173)
Firdha Aprilya Utami (20340174)
Wulan Anggraeni (20340175)
Sherly Apriantika Dewi (20340176)
Agustin Elizabeth (20340177)

Dosen : Sulina Kristiono, Dra.MS


FARMAKOGENETIKA

 Farmakogenetika berhubungan
dengan modifikasi respon obat yang
dipengaruhi oleh tingkat herediter.
 Pengaruh genetik dan lingkungan
saling mempengaruhi untuk
meningkatka keinginan terapi.
 Contoh terapi variasi genetika dapat
dilihat pada pada Tabel 8.
Telah diketahui bahwa pada fenilbutazon setidaknya dua pertiga dari variasi
tingkat metabolisme disebabkan oleh pengaruh genetik dan sisanya karena
pengaruh lingkungan. Contoh lainnya yaitu sekitar 5% orang di Inggris Raya
adalah hydroxylators yang buruk dari debrisoquine dan memiliki
ketidakmampuan untuk memetabolisme obat tersebut. Dalam populasi lain,
sebagian kecil individu merupakan pemetabolisme debrisoquine yang buruk
(lihat asetilasi lihat di bawah). Baru-baru ini diketahui bahwa jika seseorang
merupakan pemetabolisme debrisoquine yang buruk, ia juga akan menjadi
pemetabolisme metoprolol yang lambat, encainide dan fenformin.
Tampaknya hidroksilasi semua obat dilakukan dengan bantuan enzim
sitokrom P450 di hati. Kepentingan klinis dari temuan ini belum dieksplorasi
sepenuhnya, setidaknya sebagian, karena belum ada obat yang diterapkan
dapat dianggap sebagai obat lini pertama dalam terapi.
Tabel 8. Respon obat abnormal yang ditentukan secara genetik
Isoniazid, procainamide, dan hydralazine dimetabolisme dengan asetilasi.
Pada populasi Kaukasia, sekitar 60% populasi termasuk asetilator lambat.
Akan tetapi, pada ras Eskimo Kanada, hampir 100% populasinya adalah
asetilator cepat. Alasan untuk variasi geografis ini masih belum diketahui.

Di sisi lain, pasien tuberkulosis, yang merupakan asetilator cepat, mungkin


kurang merespon terhadap isoniazid jika obat diberikan dua kali seminggu.
Asetilator cepat tampaknya lebih mungkin untuk mengembangkan
kerusakan hati setelah penggunaan isoniazid karena toksisitas ini
disebabkan oleh asetilator cepat asetilhidrazin metabolit akan menghasilkan
konsentrasi yang lebih tinggi dari sikap suh ini. Asetilator lambat
prokainamida dan hidralazin lebih rentan untuk mengembangkan lupus
eritematosus sistemik daripada scetylator cepat.
Porfiria intermiten akut dapat dipicu oleh obat-obatan seperti fenobarbiton.
Penyakit ini diturunkan sebagai autosom dominan dan disebabkan oleh
indusibilitas abnormal enzim d amino laevulinic acid synthetase.
Sekitar 100 juta orang di dunia berisiko
mengembangkan hemolisis yang diinduksi obat karena
kekurangan glukosa 6-fosfat dehidrogenase dalam sel
merah. Hemolisis dapat dipicu oleh berbagai obat
seperti primakuin, nitrofurantoin, dan sulfonamid (lihat
Tabel 9). Kondisi ini dibahas secara rinci di Bagian 19.
Hipertermia maligna adalah kondisi yang baru-baru ini
diketahui terjadi pada sekitar 1 dari 20.000 anestesi dan
mungkin disebabkan oleh kelainan kalsium yang terikat
oleh sarkoidema muskuiar. Sehubungan dengan
penggunaan obat anestesi seperti halotan,
suxamethonium atau nitrous oxide, daya tahan tubuh
dapat meningkat sebesar 2oC atau lebih banyak per jam.
Tabel 9. Beberapa obat yang menyebabkan hemolysis pada pasien dengan
defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase

Primaquine Sulphonamides

Quinine Dapsone

Chloroquine Nalidixic acid

Quinidine Nitrofurantoin

Probenecid Chloramphenicol

Aspirin  
Monitoring Terapi Dengan Cara Mengukur
Konsentrasi Obat Dalam Plasma

 Intensitas dan durasi respons obat ditentukan oleh


konsentrasi obat di tempat kerjanya yaitu reseptor.
Konsentrasi obat dalam plasma biasanya dapat
diukur untuk mengetahui apakah terjadi
perubahan konsentrasi pada reseptor.

 Untuk obat yang bertindak reversible,


pembentukan kompleks obat resptor mematuhi
hukum aksi massa:

Obat + Kompleks
Reseptor reseptor obat
Pada kesetimbangan, laju pembentukan dan disosiasi
kompleks reseptor obat adalah sama. Namun demikian,
banyak kejadian yang menyatakan bahwa efek
farmakologi tidak berkaitan dengan kadar obat dalam
plasma. Beberapa alasannya yaitu :

1. Sebagian zat terapiutik dapat diperoleh dari metabolit.

aktivitas SIKLOFOSFAMID, zat


sitoksik, yang berada dalam satu
atau lebih metabolit yg terbentuk
dari substansi induk oleh sistem
enzim mikrosom hati.

METILDOPA, suatu agen Anti-


Contoh: hipertensi yang bekerja melalui a-
methylnoradrenaline yang
dikeluarkan dari obat utama.

Procainamide, anti-arrhythmic
agent, memiliki metabolit N-acetyl
procainamide aktif.
2. Obat dapat bertindak secara irreversibel.
Kualitas obat aktif yang melekat pada reseptor tidak
terkait dengan konsentrasi plasma. Obat jenis ini
sering menempel pada reseptornya dan kemudian
mengikatnya secara kovalen dan sebagian kecil obat
tetap melekat pada situs-situs ini setelah sisa obat
menghilang dari tubuh.

3. Metode pengujian untuk konsentrasi obat plasma


mungkin tidak terlalu sensitif.

Contohnya : guanethidine dapat disimpan dalam


neuron adrenergik. Dalam kasus seperti ini, analisis
kinetika berdasarkan konsentrasi obat plasma dapat
diabaikan.
Ada beberapa syarat dalam menggunakan konsentrasi
plasma obat untuk memantau efek klinis, yaitu :

Kerja obat harus


reversibel

Obat tidak memiliki


metabolit aktif

Konsentrasi obat yang tidak


terikat dalam plasma harus
mencerminkan konsentrasi obat
yang tidak terikat pada reseptor

Peningkatan toleransi pada


reseptor seharusnya tidak menjadi
masalah penting seperti dengan
barbiturat dan etil alkohol
Efek farmakologis obat harus dicatat secara akurat.

Untuk obat-obatan seperti analgesik atau obat antiinflamasi


skala analog visual juga bisa digunakan.

Tidak ada Sakit yang


rasa sakit sangat parah

Gambar 7. Skala analog visual untuk digunakan dalam


penilaian rasa sakit
Apa yang harus di ukur – KONSENTRASI PLASMA TOTAL atau
KONSENTRASI BEBAS?

Pada prinsipnya, obat bebas yang berada dalam


kesetimbangan berada dalam reseptor.

Terdapat beberapa variasi cara pengikatan protein plasma,


meskipun lebih kecil jika dibandingkan dengan perbedaan
yang terjadi pada kecepatan metabolisme obat, menunjukkan
bahwa banyak kasus pengukuran konsentrasi obat yang sudah
memadai, namun ada beberapa hal yang menjadi batasan,
yaitu :
1. Apabila diberikan lebih dari satu obat
2. Pasien dengan penyakit yang mengganggu pengikatan
protein plasma
3. obat-obatan tertentu cenderung terlokalisasi dalam sel darah
merah
Indikasi Pemantauan Obat dalam Plasma

 Pemantauan terapeutik.
Ada beberapa obat yang lebih sulit di nilai efek klinis obatnya daripada
memantau konsetrasi dalam plasma. Hal ini tidak berlaku bagi obat –
obatan seperti : antihipertensi, antikoagulan dan hipoglikemik. Dimana
pemeriksaan klinis ( tekanan darah) atau tes laboratorium sederhana
(gula darah) harus menjadi dasar penyesuaian dosis.

 Kepatuhan pasien.
Merupakan masalah terapeutik yang paling sulit, apakah pasien
mengonsumsi obat sesuai resep.
Pada dosis tertentu (misalnya dosis tiga atau empat kali sehari) dan
karakteristik pasien tertentu (usia pasien, hubungan dengan
dokter/pasien yang buruk) dan banyak lagi aspek penting yang dapat
mempengaruhi konsentrasi obat terhadap kepatuhan pasien yang
belum di eksplorasi.
Jika respon pasien terhadap obat tersebut buruk, penting untuk
memantau konsentrasinya dalam cairan biologis (misalnya plasma, dan
urin)
Lanjutan Indikasi Pemantauan Obat dalam Plasma

 Pasien dengan gangguan ginjal.


Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal tetapi
membutuhkan terapi obat, obat yang diekskresikan melalui
ginjal akan menimbulkan efek toksik.

Misalnya :
Antibiotik golongan aminoglikosida dapat mengakibatkan
disfungsi ginjal lebih lanjut dan menyebabkan ototoksik.

 Overdosis Obat
Dalam kasus keracunan paracetamol, konsentrasi obat dalam
plasma diatas 200 mcg/ml pada waktu 4 jam atau 50 mcg/ml
dalam 12 jam setelah menelan dosis berlebih, berikan antagonis
tertentu seperti asetilsistein. (Gbr 8)
Gambar 8.
Hubungan antara konsentrasi plasma paracetamol dan waktu
setelah ingesti overdosis paracetamol.
Obat-obatan Yang Konsentrasi Plasmanya
Harus Dipantau

 Antikonvulsan
(antikejang)

FENITOIN.
• merupakan obat yang sulit digunakan karena kapasitas
metabolisme yang terbatas, jika seseorang
menggandakan dosis, maka konsentrasi plasma dapat
naik hingga enam kali lipat.
• Belum diketahui secara pasti bahwa pemantauan
konsentrasi plasma obat membantu secara klinis dan
penyesuaian dosis secara klinis menjadi 10-20 mcg/ml
akan mengurangi efek toksisitas obat.

• Masalah utama fenitoin yaitu mungkin kurangnya dosis.


Obat Kardiovaskular

 Untuk memantau kepatuhan dan penyesuaian dosis pada pasien


dengan gagal ginjal, pemantauan konsentrasi plasma digoksin yang
dilakukan terbukti bernilai.
 Beberapa wilayah menggunakan digoksin sebagai alternatif pada
pasien gagal ginjal.
 Peran digitalis glikosida dalam penatalaksanaan gagal jantung
jangka panjang masih menjadi perdebatan, meskipun sekarang
nampaknya terapi digoksin jangka panjang pada pasien memang
dapat meningkatkan curah jantung.

 Sebelumnya, penggunaan PROCAINAMIDE kurang digunakan


sebagai anti aritmia meskipun konsentrasi terapiutik dalam plasma
telah diuji. Keberadaan metabolit N-asetil prokainamida dalam
plasma dipertanyakan, nilai pengukuran obatnya tidak berubah.
 Pentingnya metabolit aktif masih harus diklarifikasi dalam
pemantauan rutin terhadap terapiutik.
Bronkodilator

Banyak penelitian yang telah


mengkonfirmasi tentang pemantauan
konsentrasi plasma TEOFILIN pada
pasien asma, terutama anak-anak.

Teofilin semakin terbukti sebagai obat


lini pertama dalam terapi asma.
Kisaran terapi yaitu antara 10 dan 20
mcg/ml
Obat sistem saraf pusat

Lithium  digunakan dalam pengobatan mania dan


psikosis manik-depresi, memiliki indeks terapi yang
rendah.

Lithium ditangani oleh tubuh dengan cara


serupa seperti natrium, ( Kisaran terapeutik
antara 0,5-1,5 mmol/L)

Pemberian bersama diuretik telah terbukti


menyebabkan gangguan konsentrasi plasma.

Terapi jangka panjang dengan lithium dapat


menyebabkan disfungsi ginjal yang membuat
pemantauan level plasma menjadi lebih
penting.
Antibiotik

Antibiotik golongan
Aminoglycosida misalnya
Gentamisin di eksresikan
oleh ginjal.

Dalam pasien penderita gagal ginjal


dapat mengakibatkan ototoksisitas
dan kerusakan ginjal lebih lanjut
kecuali dibuat penyesuaian dosis yang
tepat.
Obat Yang Dikonsumsi Dalam Dosis
Berlebih

Parasetamol menyebabkan kerusakan hati


bila dikonsumsi dalam dosis berlebih.
Sehingga perlu pemantauan kadar obat
dalam plasma, sebagai dasar untuk
menentukan apakah diberikan asetil sistein
untuk mencegah hepatotoksisitas.
Obat-obatan Yang Konsentrasi Plasmanya
Harus Dipantau
TERIMAKASIH
DISKUSI
1. Pertanyaan Kelompok 1 (Yeni)

Jelaskan mengapa pemantauan obat dalam darah perlu


dilakukan, dan Bagaimana cara pemantauan
konsentrasi obat dalam plasma?

Jawab :
Pemantauan obat dalam darah perlu dilakukan karena
untuk menjamin tercapainya kadar obat yang cukup
ditempat aksi/reseptor melalui aturan dosis yang di
berikan, sehingga dapat mencegah timbulnya efek toksik
dan mencapai clinical outcome pasien.
Cara untuk memantau kadar obat dalam darah yaitu
menggunakan sampel dari cairan biologis (berupa:
plasma darah, urin, saliva). Namun ada beberapa obat
yang tidak perlu dilakukan pemantauan konsentrasi obat
dalam plasma, misal : antihipertensi. obat hipertensi
dapat dilihat dari pengukuran tekanan darahnya setelah
pemberian obat tersebut. Untuk obat yang memiliki
indeks terapi yang rendah diperlukan mengukur kadar
plasma untuk pertimbangan penyesesuain dosis
2. Pertanyaan Kelompok 2 (Kartika)

Mengapa obat yang bersifat prodrug harus dilakukan


pemantauan terapi obat dalam plasma?

Jawab :
Karena obat prodrug merupakan jenis obat yang harus diubah
terlebih dahulu menjadi sebuah metabolit aktif, sehingga kita
dapat melihat apakah obat tersebut dapat menimbulkan efek atau
tidak.
Contoh : metildopa harus terlebih dahulu di ubah dalam bentuk
alfa-metilnonadrenalin yang aktif di dalam hati menggunakan
enzim mikrosom hati agar dapat menimbulkan efek terapi. Ketika
metildopa masih dalam bentuk prodrug obat tersebut tidak dapat
menimbulkan efek terapi, sehingga setelah obat tersebut berubah
dalam bentuk metabolit aktif kita harus memantau apakah kadar
obat tersebut sesuai dengan dosisnya atau tidak agar efek terapi
yang diharapkan dapat terjadi.
 
3. Pertanyaan Kelompok 3 (Rafika)

Tolong jelaskan kembali terkait obat reversibel


dan ireversibel, kemudian apa saja contoh dari
obat reversible dan irreversible?

Jawab :
Reversible  reaksi 2 arah, artinya reaksi tidak
akan terhenti. Karena produk bisa kembali
menjadi reaktan.
Contoh : Obat moclobemide (Antidepresan)
Ireversible  Ketika konsentrasi
pereaksi/reaktan habis, reaksi akan terhenti.
Contoh : certain (antiprespirant), phenelzine
(antidepresan), aspirin (Analgesik non opioid)
 
4. Pertanyaan Kelompok 5 (Nety)

Mengapa ada obat yang tidak menimbulkan efek terapi atau


menghasilkan efek terapi yang tidak maksimal?

Jawab :
1. Karena obat yang kita konsumsi akan melalui proses
ADME, absorpsi yaitu penyerapan obat, distribusi melalui
pembuluh darah dimana ketika obat terdistribusi ada obat
yang berikatan dengan protein plasma, ada yang tidak
berikatan dengan protein plasma. Obat yang tidak berikatan
dengan protein plasma disebut dengan obat bebas.
Sehingga terjadi penurunan konsentrasi obat yang awalnya
100% menjadi berkurang (misal : 80%). Obat bebas yang
tidak berikatan ini selanjutnya akan memasuki fase
metabolisme di hati, dimana obat yang melalui proses
metabolisme nantinya ada yang diubah menjadi bentuk
inaktif dan aktif. Hal ini juga menjadi salah satu faktor
penurunan kadar obat dalam darah (yg tadinya 80% bisa
menurun hingga 50%). Kemudian obat bebas yang tidak
berikatan dalam bentuk aktif nantinya akan menuju ke
target kerja obat.
2. Adanya interaksi obat (antar obat-makanan atau obat-obat)
5. Pertanyaan Kelompok 6 (Ida)

Pada slide tadi disebutkan ada 3 hal yang menjadi batasan dalam mengukur
konsentrasi obat dalam plasma, tolong jelaskan.

Jawab :
1. Apabila diberikan lebih dari satu obat
Maksudnya adalah: ketika pasien diberi obat lebih dari satu atau polifarmasi,
perpindahan obat bebas antar obat pertama dengan obat kedua dan seterusnya akan
meningkat secara sementara, sehingga kita perlu memantau kadar obat dalam
plasma sehingga dapat diperoleh hubungan yang lebih baik antara konsentrasi obat
bebas dengan efek yang ditimbulkan.

2. Pasien dengan penyakit yang mengganggu pengikatan protein plasma


Maksudnya :
Contoh : konsentrasi obat bebas difenilhidantoin akan meningkat pada pasien yang
menderita uremia (kadar urea dalam tubuh tinggi, karena ginjal tdk dapat menyaring
secara baik), kemudian apabila pasien tsb menderita epilepsi juuga maka telah
diketahui bahwa ternyata efek terapi yang ditimbulkan merespon dengan baik, dan
efek sampingnya mengalami penurunan.

3. Obat-obatan tertentu cenderung terlokalisasi dalam sel darah merah.


Ada beberapa obat yang dapat berikatan dengan sel darah, contohnya yaitu
propranolol dan chlortalidon berikatan dengan sel darah merah yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan plasma.
Kemudian obat klorokuin dapat berikatan dengan sel darah putih dibandingkan
dengan plasma. Nah obat – obatan seperti ini harus dilakukan pemantaun atau
eksplorasi lebih lanjut.
6. Pertanyaan Kelompok 7 (Indah)

Bagaimana obat dapat memperburuk fungsi


ginjal pada penderita gagal ginjal?

Jawab :

Karena pada pasien gagal ginjal sudah terjadi


penurunan fungsi ginjal, apabila diberikan obat
yang memiliki efek samping berupa penurunan
fungsi ginjal (contoh: aminoglikosida)
dikhawatirkan akan terjadi disfungsi organ
ginjal pada pasien, sehingga perlu adanya
pemantauan terapi obat pada pasien tersebut.

Anda mungkin juga menyukai