Anda di halaman 1dari 4

Kasus bisnis dan

perlindungan konsumen

KELOMPOK 10 :
FERINA ( 18507416 )
UCIYATI ( 18507551 )
VALENSIA FRANSISKA ( 18507555 )
KASUS BISKUIT BERACUN
Kasus biskuit beracun merupakan kasus keracunan massal yang menghebohkan
Indonesia pada tahun 1989. Kasus ini bermula dari kecerobohan pihak produsen
biskuit ketika amonium bikarbonat (NH4HCO3) (sejenis bahan pembuat biskuit
supaya renyah) telah tertukar dengan natrium nitrat (NaNO3)(sejenis bahan
berbahaya sewaktu pemindahan bahan-bahan tersebut).Kasus ini bahkan
menyebabkan 141 orang korban dengan 35 orang di antaranya meninggal dunia.
Selain itu, salah satu pabrik terkait yang menghasilkan biskuit yang positif mengandung
racun, PT Toronto di Palembang mengambil tindakan berupa membakar sisa biskuit yang
positif mengandung racun. Kasus ini dianggap sebagai titik awal keamanan pangan di
Indonesia dan bagaimana manajemen mutu makanan diperhatikan.
Keamanan Pangan sebelum diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 138: Setiap Orang yang melakukan
Produksi Pangan untuk diedarkan, yang dengan sengaja menggunakan bahan apa pun
sebagai Kemasan Pangan yang dapat melepaskan cemaran yang membahayakan kesehatan
manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
KASUS SPBU

• Perilaku curang pengusaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) ternyata
masih marak terjadi. Praktik ini mengakibatkan kerugian pada masyarakat yang tidak
menyadari telah ditipu saat mengisi bahan bakar. Berbagai modus dilakukan oknum
SPBU tersebut salah satunya dengan memanipulasi alat ukur pada pompa bensin
sehingga seolah-olah bahan bakar yang diisi ke kendaraan konsumen sesuai dengan
harga yang dibayarkan. Temuan SPBU curang ini didapati Direktorat Jenderal
Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan saat
melakukan sidak langsung ke sejumlah SPBU di wilayah Pantai Utara pada 15-23 Mei
2019.
• Dalam kajian tersebut menyatakan perbuatan curang dalam hal takaran adalah suatu
tindakan penipuan dan digolongkan sebagai tindak kejahatan-Penjelasan Undang –
Undang Nomor 2 tahun 1981 tentang Metrologi Pasal 33 ayat 1) yang dapat dilakukan
oleh setiap pelaku usaha dalam bentuk apa saja, baik dalam proses produksi, penyaluran
maupun penawaran. Untuk melindungi masyarakat dari ketidaktepatan jumlah dalam
pengukuran, Pemerintah telah mengaturnya melalui Undang - Undang No. 2 tahun 1891
tentang Metrologi Legal.
KASUS
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN PT ADIRA FINANCE VS
KONSUMEN
• kasus yang terjadi pada 19 Juli 2019 di Lubukpakam Kabupaten Deliserdang, sepeda motor Honda
Vario milik sepasang suami istri Taufik Praharto dan Rusmanda Sari diambil secara diam-diam di area
parkir PT Adira Finance saat mereka sedang berada dilantai dua kantor tersebut. Kendaraan sepeda
motor dengan plat nomor BK 3475 MBA ini adalah objek perjanjian pembiayaan antara mereka dan
pihak PT Adira Finance. Karena belum memiliki uang untuk dapat membayar cicilan kredit selama dua
bulan terakhir, pelaku usaha memberikan surat panggilan untuk datang ke kantornya dan membawa
motor tersebut dengan alasan ingin dilihat kerangka mesinnya. Ternyata, rupanya disana mereka
disodorkan kertas Berita Acara Serah Terima kendaraan bermotor dan disuruh menandatanganinya
dalam keadaan kertas tersebut ditutupi tulisannya sehingga mereka tidak mengetahui apa yang mereka
tandatangani. Diketahui bahwa sebenarnya mereka sebelumnya telah membayar cicilan tersebut
sebanyak 17 kali untuk perbulannya sebesar Rp 784.000,00. HRD dari kantor.
• Pada kasus ini hak perlindungan konsumen mengalami kerugian sebab penarikan sepeda motor yang
dilakukan oleh pelaku usaha jasa tersebut tidak dilakukan dengan prosedur yang sebagaimana mestinya
(bahkan didalam Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia cara tersebut tidak
dibenarkan) dan melanggar hak-hak konsumen yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal konsumen mengalami kerugian akibat penggunaan
jasa yang disediakan pelaku usaha, undang-undang telah mengatur bahwa konsumen dapat meminta
hak ganti kerugian/kompensasi atas apa yang dialaminya.

Anda mungkin juga menyukai