(PENANGGALAN)
LITURGI
HANTARAN
Kata “Kalender” (Calendae-arum: hari pertama tiap bulan;
calendarium: penanggalan, almanak, buku piutang)
mengindikasikan suatu sistem pembagian waktu dan bagian-bagian
yang teratur yang membentuk tahun dengan bulan-bulan, minggu-
minggu, dan hari-hari serta peristiwa-peristiwa yang berhubungan
dengannya.
Kalender paling umum dipergunakan adalah calendario solare atau
tropicale yang diukur dari permulaan musim primavera (semi) ke
musim primavera selanjutnya.
Akan tetapi, beberapa budaya dan agama juga memiliki kalender
tersendiri yang mereka susun berdasarkan kegiatan-kegiatan
kultual entah berupa pesta-pesta menetap atau pesta-pesta
temporal.
Kalender liturgi yang disebut di sini adalah kalender Gereja
Katolik yang mengatur perayaan-perayaan liturgi yang
dirayakan sepanjang satu tahun dalam Gereja Katolik.
Dalam Pedoman Tahun Liturgi dan Penanggalan Liturgi
(PTLPL) yang diundangkan tahun 1969 disebut:
“Penanggalan Liturgi yang berlaku bagi seluruh ritus
Romawi disebut penanggalan umum;
sedangkan yang hanya berlaku bagi suatu Gereja
setempat atau suatu tarekat religius disebut
penanggalan khusus” (PTLPL 48).
1. DATA SEJARAH
Penggunaan kalender yang berhubungan dengan liturgi
sudah dimulai pada abad-abad awal kekristenan,
khususnya sejak pertengahan abad ke-2.
Bentuk kalender liturgi gereja sudah mulai menetap sejak
pertengahan abad ke-4.
Ada dua Kalender liturgi kuno yang dapat dijadikan sebagai
dokumen penting: Cronografo Filocalino dan Cronografo
Romano.
Cronografo Filocalino adalah almanak yang tersusun sekitar thn. 336-
354 oleh Furio Dionisius Filocalus (+ 382).
Kalender ini sangat dihubungkan dengan perayaan-perayaan liturgi
dari Paus Damasus yang merayakan peristiwa para martir.
Bagian pertama dari dokumen berisi ttg. Peringtan2 tahunan romawi
dan pesta-pesta tradisional, diikuti dgn peringatan2 penting seturut
astrologi dari 7 hari dalam pekan.
Bagian kedua, berisi sejumlah informasi seputar aturan sipil dan
beberapa indikasi langsung kekristenan, dua daftar yang berkaitan
dengan penahbisan uskup dan kesaksian para martir.
Dari kalender itu ditemukan daftar para paus yang bukan
martir (dari Lusius, +254, sampai Silvester, + 335).
Sementara dalam bagian depositio martyrum dimulai dengan
Natal Kristus pada tgl 25 Desember. Dilanjutkan dengan
daftar para martir yang dipestakan di Roma sejak Januari
hingga Desember dengan tgl kemartiran dan tempat
dikuburkan: dari Paus Cllistus (+222) hingga para martir pada
kekejaman Dioclezianus sampai thn 305.
PENANGGALAN UNIVERSAL
(PENANGGALAN LITURGI
UNTUK RITUS ROMAWI)
Ket:
1.Huruf besar tebal: HR
2.Huruf biasa tebal: Pesta
3.Huruf biasa: Pw
4.Huruf miring: Pf
JANUARI
1: Oktaf Natal, SANTA MARIA BUNDA ALLAH
2: St. Basillius Agung dan Gregorius Nazianze , uskup dan Pujangga Gereja
3: Nama Yesus Tersuci
6: EPIPHANI (dirayakan pada hari Minggu antara tgl 2 - 8 Januari )
7: St. Raymundus Penyafort - Imam
13: St. Hilarius Poitiers , uskup dan PG
17: St. Antonius Abas
20: St Fabianus , paus dan martir; St Sebastian , martir
21: St Agnes , perawan dan martir
22: St Vincentius , diakon dan martir
24: St Fransiskus de Sales , uskup dan PG
25: St Paulus , rasul
26: St Timotius dan Titus , uskup - Peringatan
27: St Angela Merici , perawan
28: St Thomas Aquinas , imam dan PG
31: St John Bosco , Imam
Catt: Minggu setelah Epiphani ( atau, jika Epiphani dirayakan pada 7 atau 8 Januari,
hari Senin berikutnya ): Baptisan Tuhan - Pesta
FEBRUARI
1: S. Yustin Martyr
2: S. Marcellinus dan Petrus, para martir
3: S. Karolus Lwanga dkk, para martir
5: S. Bonifasius, uskup dan martir
6: S. Norbert, uskup
9: S. Efrem, diakon dan PG
11: S Barnabas, Rasul
13: S. Antonius dari Padua, imam dan PG
19: S. Romualdus, Abas
21: S. Aloysius Gonzaga, religius
22: S. Paulinus dari Nola, uskup; atau Santo Yohanes Fisher, uskup dan martir; dan
Thomas More, martir
24: KELAHIRAN SANTO YOHANES PEMBAPTIS
27: S. Sirilus dari Alexandria, uskup dan PG
28: S. Irenaeus , uskup dan martir
29: S. PETRUS DAN PAULUS, RASUL
30: Para Martir Pertama Gereja Roma
JULI
3: S. Thomas, Rasul
4: S. Elizabeth dari Portugal
5: S. Anthonius Maria Zaccaria, imam
6: S. Maria Goretti, perawan dan martir
9: S. Agustinus Zhao Rong dkk, para martir (sejak 2019)
11: S.Benediktus, Abas
13: S. Henrikus
14: S. Kamillus de Lellis, imam
15: S. Bonaventura, uskup dan PG
16: Maria Bunda Karmel (sejak 2019)
20: S. Apollinaris, uskup dan martir
21: S. Laurensius dari Brindisi, imam dan PG
22: S. Maria Magdalena (Pesta sejak 2019)
23: S. Birgitta, biarawati
24: S. Sharbel Makhluf, pertapa (sejak 2019)
25: S. Yakobus, rasul
26: S. Yoakim dan Anna, orangtua S.P.Maria
29: S. Marta
30: S. Petrus Krisologus, uskup dan PG
31: S. Ignatius dari Loyola, imam
AGUSTUS
1 Agustus: S. Alphonsus Maria de Liguori, uskup dan PG
2 Agustus: S. Eusebius dari Vercelli, uskup, [atau S. Petrus Julian Eymard, imam]
4 Agustus: S. Yohanes Maria Vianney, imam
5 Agustus: Dedikasi Basilika S. Maria Maggiore
6 Agustus: Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya (Transfigurasi Tuhan)
7 Agustus: S. Sixtus II, paus, dan rekan, martir; atau S. Kayetanus, imam
8 Agustus: S. Dominikus, imam
9 Agustus: S. Teresa Benedicta dari Salib (Edith Stein), perawan dan martir
10 Agustus: S. Laurensius, diakon dan martir
11 Agustus: S. Klara, perawan
12 Agustus: S. Jane Frances de Chantal , religius
13 Agustus: S. Ponsianus, paus, dan Hippolytus, imam, martir
14 Agustus: S. Maximilian Maria Kolbe, imam dan martir
15 Agustus: S.P.MARIA DIANGKAT KE SURGA
16 Agustus: S. Stefanus dari Hongaria
19 Agustus: S. Yohanes Eudes, imam
20 Agustus: S. Bernardus dari Clairvaux, abas dan PG
21 Agustus: S. Pius X, Paus
22 Agustus: S. Perawan Maria, Ratu
23 Agustus: S. Rosa dari Lima, perawan
24 Agustus: S. Bartolomeus, Rasul
25 Agustus: S. Ludovikus; atau S. Yoseph dari Calasanz, imam
27 Agustus: S. Monika
28 Agustus: S. Agustinus dari Hippo, uskup dan PG
29 Agustus: Wafatnya S. Yohanes Pembaptis, Martir
SEPTEMBER
TAHUN LITURGI
DALAM
EMPAT ABAD PERTAMA
1
PERAYAAN
HARI MINGGU
1.1 ASAL USUL HARI MINGGU SEBAGAI HARI
IBADAT
Data biblis (PB): Keaslian apostolik hari Minggu sebagai hari ibadat:
1 Kor 16: 1-2
Paulus telah berjanji dalam Konsili Yerusalem untuk mengingat orang-
orang miskin di Gereja ini (bdk. Gal 2:10). Maka, ia menulis kepada umat
di Korintus untuk agar menyediakan persembahan dalam bentuk mata
uang demi tujuan membantu orang miskin.
Paulus menekankan bahwa hari pengumpulan derma itu dilaksanakan
pada “setiap hari pertama pekan”. Itu berarti hari pertama sesudah Sabtu
yaitu hari Minggu.
Paulus menunjuk hari ini untuk menjamin keteraturan pengumpulan
dana bagi kaum miskin.
Abad II di Roma, menurut kesaksian Yustinus, pengumpulan derma ini
dilaksanakan pada akhir pertemuan jemaat yang merayakan Ekaristi ada
hari Minggu.
Kis 20: 7-12: Paulus di Troas
Konteks: Paulus di Troas.
Hari terakhir ia tingga di Troas persis “hari pertama dalam minggu itu”.
Semua umat berkumpul untuk memecah-mecahkan roti (ungkapan menunjuk pada
perayaan Ekaristi (bdk. Luk 24:35; Kis 2:46; 1Kor 10:16).
Tempat perkumpulan adalah di “ruang atas” (bdk. Mrk 14:15).
“Banyak lampu” menerangi ruangan.
Indikasi: umat merayakan ekaristi pada hari pertama dalam pekan
Kapan persisnya perayaan itu terjadi?
Tradisi Yahudi: hari dihitung dari sore ke sore. Karena itu, pertemuan itu terlaksana
pada hari Sabtu sore, yang sudah dihitung juga sebagai hari Minggu.
Tradisi Yunani-Romawi: hari dihitung dari malam ke malam. Karena itu, pertemuan
terebut kiranya terlaksana pada hari Minggu sore/malam.
Why 1: 9-10
Ini satu-satunya perikope yang mengatakan hari pertama pekan sebagai “hari Tuhan”
(Yunani mengungkapkan kata sifat kyriake, dari ungkapan ini muncul nama kristiani “hari
Minggu” dari Latin dominica dies).
Istilah “hari Tuhan” memiliki kesejajaran dengan “perjamuan Tuhan” (1Kor 11:20).
Kata sifat kyriake, berhubungan dengan kyrios atau Tuhan yang bangkit sebagai Mesias
dan Putera Allah (bdk. Kis 2:36; 1Kor 12:13).
Konteks perikope:
Bukan secara langsung berkaitan dengan peribadatan
Ada kaitannya dengan Didache yang mengatakan hari Tuhan adalah hari untuk berkumpul
yang dilaksanakan secara teratur guna merayakan ekaristi: “berkumpullah kalian pada hari
Minggu Tuhan, pecah-pecahkanlah roti dan bersyukur, setelah kalian mengaku dosa,
sehingga kurban kalian menjadi murni”.
Konteks perikope:
Bukan secara langsung berkaitan dengan peribadatan
Ada kaitannya dengan Didache yang mengatakan hari
Tuhan adalah hari untuk berkumpul yang dilaksanakan
secara teratur guna merayakan ekaristi:
“berkumpullah kalian pada hari Minggu Tuhan,
pecah-pecahkanlah roti dan bersyukur, setelah
kalian mengaku dosa, sehingga kurban kalian
menjadi murni”.
Hari Minggu sbg Hari Tuhan
Mengandung aspek eskatologis: keterlibatan Allah secara sempurna dalam waktu-
waktu messianis.
Mewartakan keseluruhan misteri paska Yesus Kristus, bukan hanya kebangkitan.
Alasan penetapan hari Minggu
Peristiwa-peristiwa penampakan Yesus sesudah kebangkitan-Nya: hari pertama pekan
atau hari pertama setelah sabat (Mat 28:1; Mrk 16:2; Luk 24:1); Wanita-wanita saleh
menuju makam (Yoh 20:1); sore hari Yesus menampakkan diri kepada para rasul (Yoh
20:19).
Delapan hari kemudian saat Thomas ada (Yoh 20:26)
Hari yang sama dengan kebangkitan (Emaus, Luk 24:13)
Makan bersama dengan para murid (Luk 24: 30.42; Mrk 16:14; Kis 1:10.41).
Ekaristi, inti perayaan hari Minggu sejak itu, dihubungkan dengan perjamuan-
perjamuan ini.
Kis 20:7-12 = eksplisit menyinggung perayaan hari Mingu.
Hari Minggu lahir dalam kondisi pengalaman
ekaristi dan spiritual (pneumatis dan
eskatologis) terhadap penampakan-
penampakan Kristus yang bangkit di
Yerusalem.
1.2 HARI SABAT dan Hubungannya dengan
HARI Minggu
Hari Sabbat: arti harafiah “berhenti”, “beristirahat”. Karakter utama
hari Sabbat adalah bebas dari kerja.
Hari Sabbat adalah hari yang kudus mili Tuhan. Satu-satunya hari yang
memiliki nama dalam penanggalan orang Yahudi. Hari-hari lain selalu
dikaitkan dengan Sabat (hari pertama sesudah Sabat, hari kedua, hari
ketiga, dst).
Tradisi orang Israel memberi arti teologis yang indah atas perayaan hari
Sabbat. Bermakna persekutuan: Tanda kebersamaan dan kekeluargaan.
Setiap orang Israel mengalami unisitas iman atas janji-jani messianis
seraya mengenang Allah pencipta yang “beristirahat pada hari ketujuh”
(Kel 20:11; Kej 2:1-3) dan Allah pembebas dari perbudakan Mesir (Ul
5:12-15)
Problem Hubungan Sabbat-Minggu
Pada awal kekristenan problem hubungan antara Sabbat Yahudi
dengan hari Minggu kristen merupakan persoalan yang sungguh-
sungguh rumit.
Polemik ini juga sudah muncul pada masa pelayanan publik Yesus (lih.
Mat 12:1-8; Mrk 3:1-6; Luk 14:1-6). Teks-teks tsb menggambarkan
situasi Yesus menunjukkan misiNya di dalam lingkungan Yahudi.
Polemik itu masih terbawa-bawa dalam pengalaman hidup orang
kristen di antara orang Yahudi serta adanya pertengkaran-
pertengkaran intern di kalangan komunitas-komunitas kristen yang
masih mempraktekkan Sabbat.
Sikap Yesus atas hari Sabbat:
Yesus menyatakan diri sebagai “Tuhan atas Sabat” dan sabat
dibuat untuk pelayanan manusia (Mrk 2:27-28). Ini dimengerti
sebagai penjelasan kondisi messianis-Nya.
Yesus tidak pernah menghapus Sabat.
Yesus memelihara tradisi yang baik pada hari sabat tetapi
sekaligus menyempurnakannya. “Aku datang bukan untuk
meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Mat
5:17).
Orang-orang kristen awal:
Orang kristen awal yang berasal dari Yahudi tetap mempraktekkan
hukum dan menghadiri keizah dan sinagoga (Kis 13:14.44; 17:2;
18:4).
Missionaris di Filipi juga berkumpul pada hari Sabat di suatu tempat
doa di luar pintu gerbang kota (Kis 16:13);
Perlahan-lahan orang kristen awal mengubah istirahat dari Sabat
ke hari Minggu meskipun mereka masih tetap memelihara tradisi
sabat.
Paulus melawan kecenderungan-kecenderungan ke arah kebiasaan
Yahudi yang nampak dalam komunitas Galatia (Gal 4:8-10) dan
Kolose (Kol 2:16-17).
Orang kristen awal (bapa-bapa apostolik abad III) dengan cepat
mengelaborasi suatu teologi tentang hari Sabbat:
Ide-ide Yahudi tetap dipegang tetapi dengan perubahan motivasi di
kalangan orang kristen.
Ibr 4:4: berbicara tentang istirahat sabat (bdk. Mzm 95:8-11; Kej 2:2)
sebagai dimensi eskatologis, masa depan: sabat sempurna, istirahat
integral yang akan memberi kelengkapan terhadap janji Allah.
Sabat dan istirahatnya adalah suatu kebaikan surgawi dan masa depan.
Umat Allah yang berziarah di dunia berjalan ke arah masa depan, ke
keselamatan di masa depan, pelepasan dari yang jahat dan mengalami
karya-karya baik, puncak segala kebaikan dalam Kristus.
1.3 Nama-nama hari Minggu: pendekatan teologis
Hari pertama setelah Sabat
Istilah yang paling tua untuk menyebut hari Minggu adalah hari pertama
setelah Sabat. Ini sungguh terminologi Yahudi.
Dalam cerita Injil (Mrk 16: 2--), terminologi ini menggaungkan kembali
kebangkitan Yesus yang terlaksana pada hari pertama setelah Sabat.
“Hari pertama” mengingatkan peristiwa Kej 1, permulaan penciptaan dan
terutama terhadap penciptaan terang (Kej 1: 3-5). Hari kristen beribadat
disebut dengan ungkapan hari matahari.
Yustinus memakai simbolisasi tersebut dengan menghubungkan secara
eksplisit permulaan penciptaan dengan kebangkitan Tuhan:
“Kita perhatikan jemaat komunitas kita dalam hari matahari karena hari
itu adalah hari pertama Allah mengalahkan kegelapan dan materi,
menciptakan dunia dan karena Yesus Kristus Penyelamat kita pada hari
itu bangkit dari antara orang mati”.
Bapa-bapa Gereja banyak mengambil simbolisme biblis tentang
cahaya. Mereka menginterpretasikan penciptaan “pertama”
sebagai tipe dan figur dari penciptaan “kedua”. Kebangkitan
Tuhan menjadi misteri sentral dalam pemaparan mereka.
Para nabi telah menyadari keselamatan masa depan sebagai
suatu ciptaan baru (Yes 41: 20; 45:8; 48:7).
Hari Minggu dihubungkan dengan awal maka disebut “hari
pertama”, di mana penciptaan menandai permulaan
keselamatan yang berpuncak dalam paska Kristus. Misteri Kristus
Tuhan merangkul seluruh masa lalu, berangkat dari penciptaan.
Hari Minggu, hari Tuhan, mengingatkan penciptaan pertama
dan baru.
Hari Minggu adalah kenangan paska, tetapi dilihat sebagai
pusat unik keselamatan Allah.
Ungkapan “hari pertama pekan” dihubungkan dengan hari
Minggu mengetengahkan tema paska (mingguan) sebagai
perjalanan dari kegelapan kepada terang, kemenangan atas
kematian, kebangkitan dan kebaharuan hidup.
Hari Minggu menjadi hari kegembiraan bagi orang Kristen.
Hari TUHAN
Hari Tuhan (Why 1:10) dan dalam Didache dimengerti dalam konteks kultual.
Hari Tuhan mengingatkan kita pada hari kebangkitan, karena Tuhan (Kyrios) adalah
gelar yang dikenakan pada Yesus yang telah bangkit (Rom 1:4; 10:9; Fil 2:11).
Dalam peristiwa Pentakosra, Petrus berkata: “Seluruh kaum Israel harus tahu dengan
pasti bahwa Allah telah memuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan
Kristus” (Kis 2:36).
Hironimus: “Hari Tuhan, hari kebangkitan, hari orang-orang kristen adalah hari kita.
Karena itu disebut juga hari Tuhan, karena dalam dia Tuhan diangkat pemenang
kepada Bapa”.
Hari Minggu dimaksudkan sebagai hari penampakan kekuatan, keagungan, dan
kemenangan Kristus, yang dalam kebangkitan dijadikan sumber kehidupan , rahmat
dan kekuatan.
Hari Tuhan adalah hari berkumpulnya komunitas-komunitas kristern pertama
untuk melaksanakan kenangan akan Tuhan dengan ekaristi atau “perjamuan
Tuhan” (1Kor 11:20):
Kita dari perjanjian baru, dengan merayakan paska kita setiap
hari Tuhan, selalu kita cicipi tubuh Penyelamat, selalu kita
ambil bagian dalam darah Anak Domba...
Hari Minggu adalah juga hari Gereja yang kembali menghidupinya dalam jemaat
ekaristi. Dalam PE mingguan, Gereja mengambil kesadaran sebagai synaksis:
“komunitas terpanggil” untuk perayaan.
Hari Tuhan adalah kenangan dan kehadiran Tuhan yang bangkit di antara para
pengikut-Nya yang berkumpul dalam nama-Nya: orang-orang kristen, para
pentobat, berkumpul dalam jemaat pesta dan kegembiraan untuk mewartakan
kehadiran historis-pengalaman sakramnetal akan misteri paska Tuhan.
HARI KEDELAPAN
Ungkapan hari Kedelapan dikutib dari Yoh 20:26 perihal kebangkitan dan
penampakan Yesus.
Hari kedelapan berhubungan dengan hari pertama setelah hari ketujuh.
Ini memuat makna eskatologis. Sabat tetap hari ketujuh yang menutup PL
sementara hari kebangkitan Kristus, hari Minggu, adalah “hari
kedelapan”, permulaan waktu baru (PB).
Hari kedelapan memuat suatu realitas baru, mewartakan kebahagiaan
kekal, pertemuan definitif dengan Tuhan.
Surat Barnabas (thn. 135) mengungkapkan kaitan hari Minggu dengan
“hari kedelaoan”: “Kita berpesta dalam kegembiaraan pada hari
kedelapan, pada waktu itu juga Kristus bangkit dari antara orang mati dan
menampakkan diri naik ke surga”.
Simbolisme hari Minggu sebagai hari kedelapan dikaitkan juga dengan
tipologi pembaptisan dan penyunatan (Kol 2:11-13) dalam hari kedelapan
dan dari air bah dari mana menyelamatkan diri delapan orang: Nuh,
1.4 Perkembangan Lanjut Hari Minggu dalam Abad IV
Pengaruh hukum kekaisaran:
Pada 03 Maret 321 (delapan tahun sesudah kebebasan beribadat orang
kristern), kaisar Konstantinus mengeluarkan suatu undang-undang.
Ditetapkan bahwa pada “hari matahari” orang harus beristirahat dari
kerja hukum, masyarakat kota dan semua tukang (kecuali orang desa).
Pada Juli 321, hukum lain kekaisaran menekankan larangan bekerja
pada hari Minggu bagi setiap hakim dan memberi kebebasan kepada
semua budak.
Pada tahun 337, muncul hukum baru mengenai hari Minggu dengan
motivasi yang lebih religius dan dengan mengekplisitkan pada
pelaksanaan peribadatan.
Pengaruh Sinode dan Konsili
Dari abad IV, beberapa sinode provinsi memberikan norma-norma dan aturan yang
berjalan dalam keharusan ikut serta dalam ekaristi hari Minggu.
Konsili di Elvira, Spanyol (300-302 atau 306-313) menegaskan:
“Barangsiapa yang berada di suatu kota tidak pergi ke gereja selama tiga minggu, ....
harus dihukum...”.
Di Jerusalem dan gereja-gereja Timur
Sejak abad IV dimensi peribadatan hari Minggu disolidkan dan dikembangkan dengan
tugas berdoa mingguan.
Pada akhir abad IV, di Jerusalem dan gereja-gereja Timur seluruh komunitas kristen
mengenal veglia mingguan. Adanya veglia mingguan ini tertulis dalam catatan Egeria.
Veglia itu diisi dengan offisi dengan mazmur-mazmur dan doa. Puncak perayaan adalah
bacaan Injil tentang kebangkitan. Uskup sendiri yang mewartakan Injil dengan
mewartakan kebangkitan, seperti malaikat, di hadapan makam kosong. Ini adalah tugas
populer meriah; yang menyerukan hari Minggu sebagai kenangan mingguan tentang
misteri paska.
2
PERAYAAN
PASKA
TAHUNAN
2.1 Data Perayaan
Beberapa pengarang berpendapat bahwa Gereja Apostolik
sudah mengenal perayaan paska tahunan.
Pendapat tersebut didasarkan pada data biblis: cerita paska
dalam Kisah para Rasul (12:3-4; 20:6), kisah perjamuan malam
terakhir sebagai perjamuan paska yang dilakukan oleh Yesus
bersama murid-murid-Nya (Mrk 14:14; Mat 26:18; Luk 22:8),
dan Paulus menginterpretasikan kematian Yesus sebagai
kurban paska (1Kor 5:7).
Bukti-bukti pertama yang jelas mengenai perayaan paska
tahunan terdapat dalam pertengahan abad II dan berasal
dari Asia Kecil. Gereja-gereja di Asia Kecil merayakan
paska pada 14 Nisan, hari di mana orang-orang Yahudi
mengorbankan anak domba.
Orang-orang kristen ini disebut Quartodecimani. Mereka
yakin bahwa kematian Kristus telah mengganti Pesah
Yahudi. Mereka merayakan paska sambil berpuasa pada
14 Nisan dan mengakhiri puasa dengan perayaan ekaristi
pada malam antara 14 dan 15 Nisan.
Gereja-gereja lain diaturkan dari Roma, merayakan
paskan hari Minggu setelah 14 Nisan.
NB:
“Quartodecimanisme” (quarta decima = "yang keempat belas")
adalah istilah yang digunakan sebagai sebutan bagi
kebiasaan umat Kristen perdana untuk mulai merayakan Paskah
pada malam hari ke-14 bulan Nisan (Aviv/Abib) dalam kalender
Alkitab Ibrani). Waktu senja pada hari tersebut menurut Alkitab
adalah "Paskah bagi Tuhan“ (Imamat 23:5).
Berdasarkan kronologi Yesus, mereka menyatakan bahwa 14
Nisan adalah hari dimana Yesus disalib di Yerusalem (Yoh 9:14;
19:31.42). Injil-Injil Sinoptik menyebutkan bahwa peristiwa
tersebut terjadi pada hari pertama Perayaan Roti Tak Beragi
(Mat 26:17).
Dalam agama Yahudi modern, Paskah dan hari raya Roti Tidak
Beragi dirayakan selama tujuh hari, dimulai pada waktu senja
yang mengawali hari ke-15 bulan Nisan (yaitu senja tanggal 14
Nisan di mana domba Paskah seharusnya disembelih).
Pada pertengahan abad IV, Eusebius dari Kaisarea
menceritakan bahwa pada akhir abad II terjadi suatu
kontroversi sehubungan dengan pelaksanaan hari paska.
Titik persoalan adalah apakah paska dirayakan pada hari
kematian Yesus atau pada hari kebangkitan Yesus.
Quartodecimani merayakan paska pada hari kematian Yesus;
Kristen lainnya seturut tradisi merayakannya pada hari
kebangkitan.
Puncak perselisihan terjadi pada tahun 190. Paus Viktor (193-
203) memberi ancaman ekskomunikasi bagi kamunitas-
komunitas kristen quartodecimani.
Uskup Ireneus dari Lion mengingatkan pihak kepausan di
Roma tentang perselisihan ini: 50 tahunan sebelum Polikarpus
dari Smirna berada di Roma untuk mengetengahkan argumen
yang sama kepada Paus Anicetus, keduanya sampai pada
persetujuan untuk menghormati tradisi-tradisi.
Pantas dicatat bahwa data paska mingguan sudah diletakkan
pada perjalanan abad III.
Dekrit Paska dari Konsili Nice (325) tidak lagi membahas
kontroversi paska dengan para quartodecimani karena
kelompok tersebut sudah lenyap.
Hal yang dibicarakan dalam dekrit tersebut adalah perbedaan
utam yang dipraktekkan untuk melaksanakan paska dalam
gereja-gereja berbeda yang beberap di antaranya mengikuti
perhitungan baru yang sudah disesuaikan sedikit oleh orang
Yahudi.
2.2 Sifat Perayaan
Dokumen-dokumen dari abad II-III menyebut bahwa esensi
paska adalah puasa. Lamanya puasa berbeda-beda dari
Gereja ke Gereja. Puasa itu diikuti dengan doa dan bacaan
pada malam hari, ditutup dengan ekaristi.
Sudah pada akhir abad II, paska adalah suatu pesta yang
berlangsung selama 50 hari.
Pada masa ini, paska diadakan untuk merayakan
kenangan akan kematian Kristus yang dilaksanakan pada
malam hari dan berpuncak pada perayaan ekaristi.
Pada malam hari itu, cerita paska yang dimuat dalam
Keluaran mempunyai peranan penting.
Paska juga merupakan hari yang cocok untuk
pembaptisan.
2.3 Bingkai Teologis
Paska adalah perayaan kematian Kristus yang
menyelamatkan, puncak sejarah keselamatan.
Sengsara Kristus mengandung nilai keselamatan dan
keberuntungan bagi manusia yang berdosa.
Paska dilengkapi secara sempurna oleh Yesus Kristus,
pemenang atas dosa dan kematian.
Muatan perayaan paska ialah kemenangan Kristus
mengalahkan kematian, puncak dari seluruh karya
keselamatan.
2.4 Proses lanjut Paska dalam perjalanan abad IV
PERKEMBANGAN
PERAYAAN-PERAYAAN PASKA
ABAD IV-XVI
Sejak abad V hingga VII sumber-sumber tentang perayaan Paska di
Roma sudah tersedia. Beberapa sumber yang pantas dicatat
adalah: Sermon-sermon Leo Agung, Sacramentarium-
sacramentarium Romawi awal, Ordines dan Lectionarium.
Penyusunan Tahun Liturgi sangat kuat sejak abad V-VII meskipun
sudah dimulai pada abad-abad sebelumnya.
Perayaan Trihari Paska dengan persiapannya, Prapaska, dan
sesudahnya, Masa Paska, sampai awal abad VII dilaksanakan di
wilayah Roma.
Sejak pertengahan abad VII dan awal VIII perayaan-perayaan
tersebut tersebar ke wilayah luar Roma bahkan melewati
pegunungan Alpen, yakni daerah Gallia-Prancis.
Bentuk perayaan ini kemudian dipengaruhi budaya Jerman
sehingga terbentuk perayaan Romawi-Jerman pada abad X.
Pada abad XII-XIII dilaksanakan kodifikasi seluruh buku-buku
liturgi di kuria Romawi.
Pada abad XVI muncul buku-buku liturgi hasil pembaharuan
Konsili Trente, yang lazim disebut dengan istilah liturgi Tredentia.
Pada periode panjang ini perayaan siklus Paska dibaharui dan
dikembangkan. Pada mulanya Kamis Suci merupakan hari terakhir
masa Puasa, sebagai bagian dari Trihari Suci dan antisipasi
perayaan Malam Paska ke Sabtu Suci. Dengan ini, perayaan
Trihari Suci bukan lagi memuat perayaan sengsara-kematian-
kebangkitan, tetapi menjadi Trihari “(sengsara) kematian”.
Pemisahan kesengsaraan-kematian Kristus dari kebangkitan-Nya
demikian akan jelas bahwa “Trihari kematian” akan diikuti “Trihari
Kebangkitan” kedua, yakni hari Minggu, Senin dan Selasa Paska.
1.1 Trihari Suci dan Pekan Suci
Pada akhir abad IV, Ambrosius memakai ungkapan
Triduum Sacrum untuk Kristus yang telah menderita,
beristirahat dalam kubur dan dibangkitkan.
Augustinus memakai ungkapan Sacratissimum Triduum
Crucifixi, Sepulti, Suscitati.
Mengenai perayaan-perayaan Trihari Suci di Roma,
sekitar tahun 416, dalam surat Paus Innocentius I kepada
uskup Decentius dari Gubbio disinggung tentang sebuah
perayaan khusus untuk kesengsaraan pada hari Jumat
dan kebangkitan pada hari Minggu, bukan hanya puasa
pada hari Jumat dan Sabtu.
Kamis Suci
Pada akhir abad IV, Kamis Suci merupakan hari rekonsiliasi bagi
para pendosa.
Kemudian pada abad VII, rekonsiliasi para pendosa itu dimasukkan
dalam kerangka sebuah misa pagi yang dirayakan di tituli,
sebagaimana dilukiskan dalam Gelatianum Vetus (GeV) no. 352-
359, 360-363, 364-367.
GeV membuktikan bahwa ada misa kedua pada hari Kamis itu,
dirayakan pada sore hari di tituli. Tema utama ialah traditio ganda:
pengkhianatan Yudas dan pendirian atau penyerahan (tradidit)
ekaristi kepada para murid (GeV, 391-394; bdk. GrH, 328-332).
Di Lateran, Paus merayakan satu misa pada tengah hari untuk
mengenang Perjamuan Tuhan. Ketika itu minyak krisma
dikonsakrir dan kedua minyak lain diberkati (GeV, 375-390; bdk.
GrH, 333-337).
Pontificale Romano-Germanico (PRG) abad X hanya
mengenal misa krisma dan misa sore hari tersebut, yang
didahului pada jam 9 pagi (PRG XCIX, 222.252), dan
menempatkan rekonsiliasi para pendosa sebelum misa
krisma (PRG XCIX, 224).
Buku-buku liturgi pada abad XIII dan Missale Romanum
(MR) 1570 hanya memiliki rumusan yang sesuai untuk misa
pengenangan pendirian ekaristi. Pelaksanaan misa krisma
dan pemberkatan minyak-minyak terjadi dalam katedral-
katedral. Hal ini dilaporkan oleh Pontificali [bdk. Pontificale
Romanum (PR) 1596]
Pada abad XVI, satu-satunya misa Kamis Suci sudah
didahulukan pada pagi hari.
Penyimpanan dan penyembahan Sakramen Mahakudus pada hari
Kamis Suci sudah ada pada abad XII-XIII. [Ini kiranya ada kaitannya
dengan penetapan Pesta Tubuh Tuhan pada thn. 1264]. Tempat
penyimpanan waktu itu adalah sakristi yang dihiasi secara meriah.
Buku-buku liturgi pada abad XVI mencatat bahwa tempat
penyimpanan Sakramen Mahakudus ialah di bagian depan gereja,
di atas altar, dan pemindahannya dilaksanakan dengan perarakan.
Penyimpanan Sakramen Mahakudus akan merupakan unsur
penting bagi Kamis Suci sebagai suatu hari dari Trihari Suci.
Pencucian kaki sebagai unsur liturgi Kamis Suci mulai terlaksana di
Roma ketika PRG tiba di kota Roma. Pencucian kaki dilaksanakan
setelah Ibadat Sore.
Jumat Agung – Sabtu
Suci
Pada pertengahan abad VII terdapat suatu paparan dalam GrH (338-355)
menyangkut liturgi kepausan tentang perayaan Jumat Agung. Liturgi
kepausan itu memakai orationes sollemnes sebagai bagian dari Liturgi Sabda
yang dirayakan di Basilika Salib Suci (dari) Yerusalem di Roma.
Dalam perayaan-perayaan yang dipimpin oleh para imam di tituli, Liturgi
Sabda digabungkan dengan penyembahan Salib dan Komuni umat (GeV,
395-418).
Pada permulaan abad VIII, penghormatan Salib masuk ke liturgi kepausan,
tetapi Paus dan Klerus tidak menyambut (Ordo Romanus [OR] XXIII).
Dalam buku-buku liturgi abad XIII tertulis bahwa hanya Paus yang
menyambut. Dengan demikian terbuka jalan bagi praktik bahwa komuni
direservir hanya untuk pemimpin perayaan. Peraturan ini berlangsung terus
sampai pembaharuan Pius XII pada tahun 1956.
Sabtu Suci dari mulanya adalah suatu hari tanpa liturgi. Hari itu merupakan
hari doa, penitensi, dan puasa.
Malam
Paska
Puncak Trihari Suci dan seluruh Pekan Suci adalah Malam Paska.
Pada malam itu, totum paschale sacramentum dirayakan.
Sermon Leo Agung (pada Malam Paska): “Cerita Injil telah
menjelaskan kepada kita seluruh misteri Paska”. Ini menunjukkan
bahwa bacaan Injil pada malam itu berisi fakta-fakta
kesengsaraan dan kebangkitan Tuhan.
Pada thn. 385, Paus Siricus menyatakan bahwa Malam Paska
adalah malam besar untuk pembaptisan; dan Leo Agung
mengakui bahwa terdapat banyak calon yang pada waktu itu
mempersiapkan dirinya selama masa puasa.
Pada awal abad VI, Ekaristi yang menutup Malam Paska disadari
oleh Yohanes Diakon sebagai suatu bagian dari Sabtu.
Dalam GeV ditemukan, di samping rumusan orationes et preces
ad missam in nocte (463-462) ada misa kedua paska, Dominicum
Pascha (465-467). Di sini, misa Malam Paska menjadi bagian dari
hari Minggu.
Dalam abad VI sudah ada keinginan untuk mendahulukan liturgi
Malam Paska ke sore hari Sabtu. Keingina itu tetap ada pada
tahu-tahun selanjutnya. Paus Pius V melarang misa setelah
tengah hari (MR 1570) maka misa Malam Paska dipindahkan ke
pagi hari.
Pada abad VII terdapat struktur rituale Malam Paska yang kaya;
terdiri dari 3 unsur fundamental: perayaan Sabda, perayaan
Baptisan, perayaan Ekaristi [untuk Lit Kepausan (GrH, 362-382);
untuk lit di tituli ( GeV, 425-462)]. Tetapi, lit di tituli dimulai
dengan pendupaan dan pemberkatan lilin paska. Ritus ini
kemudian diterima oleh lit kepausan.
Perayaan Malam Paska mengalami perkembangan baru
sejak abad VIII. Sepanjang abad VIII liturgi kepausan
menerima tanda cahaya tetapi tanpa rumusan.
PR XII (XXXII, 1-10) merupakan dokumen pertama yang
memuat: rumus-rumus pemberkatan api baru, perarakan
dengan aklamasi-aklamasi Lumen Christi, pemberkatan lilin
Paska, dan teks Exsultet.
Ritus agung untuk cahaya itu tampaknya sebagai titik
berangkat praktek pendupaan dalam perayaan-perayaan di
sore hari.
Hari Minggu
Paska
Misa hari Minggu Paska tidak dengan cepat muncul
di Roma. Perayaan hari Minggu Paska telah
berkembang dengan tendensi yang selalu lebih kuat
untuk mendahulukan malam Paska ke sore hari
Sabtu.
Dalam GeV ditemukan, di samping rumusan
orationes et preces ad missam in nocte (463-462) ada
misa kedua paska, Dominicum Pascha (465-467). Di
sini, misa Malam Paska menjadi bagian dari hari
Minggu.
MINGGU
PALMA
Hari Minggu sebelum Minggu Paska disebut dalam GeV (329-333) disebut
Dominica in palmas de passione Domini.
Daun-daun palma tidak disebut dalam seluruh Epistolari dan Evangeliari
Romawi pada abad VII dan VIII.
Praktek pemakaian daun-daun palma di Roma baru terlaksana pada abad X.
Rumusan Gelasianum untuk mengungkapkan hari ini adalah lebih baik: hari
Minggu sengsara.
Proses daun-daun palma menjadi suatu kebiasaan baru terjadi dengan
adanya Ordo de Die Palmarum dari PRG (XCIX, 162-206) yang sangat
berpengaruh pada buku-buku liturgi Romawi pada abad XIII.
Sejak abad XIII, liturgi hari Minggu Palma mengkombinasikan perayaan
Romawi antik untuk sengsara dan kenangan akan masuknya Yesus ke
Yerusalem.
Karakter Pekan Suci berakar pada abad VI-VII. Inti sentralnya adalah
sengsara Tuhan.
1.2 Paska Lima Puluh Hari
Pekan Suci dan Trihari Suci dilanjutkan dengan perayaan lima puluh
hari Paska sebagai satu kesatuan pesta.
Pengaturan hari-hari Minggu dalam masa Paska sudah
memperkenalkan garis-garis Pentakosta dalam sumber-sumber
liturgi Romawi yang lebih tua.
Beberapa tulisan Romawi dari akhir abad IV dan awal abad V
membuktikan bahwa kata “Pentakosta” senantiasa untuk menunjuk
hari kelimapuluh bukan seluruh periode limapuluh hari Paska.
Leo Agung menghayati bahwa peristiwa turunnya Roh Kudus atas
para Rasul merupakan isi utama hari Pentakosta. Leo Agung juga
pertama kali memberi kesaksian mengenai perayaan kenaikan di
Roma pada hari keempatpuluh setelah Paska.
Perkembangan antisipasi veglia paska pada Sabtu menginginkan
pembentukan liturgi khusus dan tersendiri untuk Minggu Paska. Teks-teks
liturgi menggarisbawahi peristiwa kebangkitan sebagai aspek parsial dari
satu-satunya misteri paska.
Rumusan In dominica sancta ad missam dalam GrH (383-391) diterima
kemudian oleh MR 1570.
Selanjutnya terdapat suatu rumusan untuk Minggu Paska yang secara jelas
dipisahkan dari perayaan-perayaan vigilia.
Hari Oktaf Paska jatuh pada hari Sabtu sebelum Minggu disebut post albas
(GrH, 429-434). Dengan cara ini, oktaf menghilangkan makna awalnya,
mereduksi pekan paska ke hari Minggu, Senin, dan Selasa.
Pemendekan tersebt telah ada pada abad VII/VIII dalam OR I yang
memperlihatkan hanya ada tiga liturgi stasional pada: Minggu, Senin, dan
Selasa.
Dalam MR 1570 hari-hari oktaf pada hari Rabu dst menjadi Senin dan Selasa.
1.3 Masa Puasa - Prapaska
Puasa muncul sebagai suatu masa persiapan mendahului puasa Paska pada
Jumat Agung dan Sabtu Suci.
Hironimus, dalam suratnya kepada Marcella sekitar tahun 384, memberi
kesaksian pertama bahwa di Roma eksistensi masa puasa (quadragesima)
adalah puasa.
Sermon-sermon Leo Agung pada masa Puasa memiliki isi yang jelas bersifat
asketis-moral yang dipusatkan pada puasa dan praktek kebajikan.
Puasa juga menjadi bingkai yang sesuai untuk persiapan akhir bagi para
katekumen yang akan dibaptis pada Malam Paska.
Liturgi Masa Puasa sangat kuat dipengaruhi tema-tema yang bersifat
katekumenal.
Masa Puasa adalah juga masa penintensi bagi mereka yang harus
menjalankan penitensi publik.
Permulaan Masa Puasa, ditetapkan pada Minggu VI sebelum Paska.
Kemudian diantisipasi ke hari Rabu sebelumnya. Ini desebut dalam GeV, 83:
Caput Quadragesima. Tampaknya, antisipasi ini dibuat agar tercapai 40 hari
puasa.
Pada hari Rabu ini pendosa-pendosa publik, dengan mengenakan pakaian
penitensial dan menaburi kepada dengan debu, dijauhkan dari jemaat dan
wajib menjalankan penitensi publik.
Pada abad V, seturut kesaksian Innocentius I, di Roma Para penitensi
didamaikan pada hari Kamis sebelum Paska.
Sejak abad V, masa Prapaska menjadi masa persiapan calon baptis
(katekumen) dan masa persiapan para pentobat menyambut puasa dengan
lebih sering menghadiri liturgi Sabda Allah, doa yang lebih intensif dan
panjang, dan khususnya berpuasa.
Menjelang akhir abad XI penintensi publik ini hilang dan digantikan dengan
penaburan abu kepada seluruh umat beriman yang dilakukan pada hari Rabu
sebelum hari Minggu I Puasa.
MR 1570 menempatkan ritus penaburan abu itu sebelum perayaan ekaristi.
PERAYAAN-PERAYAAN
PASKA SETELAH
PEMBAHARUAN
KONSILI VATIKAN II
C. L.Gaol
Sejak penerbitan MR 1570 sampai abad XX, khususnya
sampai pembaharuan dari Konsili Vatikan II, tidak terjadi
perubahan-perubahan penting dalam struktur perayaan
sekitar Paska.
Kebaharuan paling nyata dalam periode ini adalah
pemugaran vigilia paska pada tahun 1951 oleh Pius XII.
Pemugaran itu dimasukkan ke dalam peraturan baru
seluruh Pekan Suci, Ordo Hebdomadae Sanctae
Instauratus yang diterbitkan pada tahun 1956.
Ordo ini dimasukkan ke dalam edisi MR 1962.
Pembaharuan ini kemudian disempurnakan oleh KV II.
Hasil pembaharuan sesudah KV II seputar
perayaan-perayaan Paska dituliskan dalam:
Normae Universalies de Anno Liturgica et de
Calendario, 18-31 (Pedoman Tahun Liturgi
dan Penanggalan Liturgi), 21 Maret 1969.
Litterae Circulares de Festis Paschalibus
Praeparandis et Celaebrandis (Perayaan Paska
dan Persiapannya), 16 Januari 1988.
Puncak perayaan-perayaan sekitar Paska dan seluruh
Tahun Liturgi ialah Trihari Paska “sengsara dan
kebangkitan”.
Dalam keseluruhannya, Vigili Paska dihayati sebagai “induk
semua vigili”.
Masa Paska (50 hari Paska) dirayakan sebagai “satu
perayaan besar”, “Hari Minggu Agung”.
Masa Prapaska adalah persiapan untuk Paska “dengan
mengenang pembaptisan dan tobat”.
Pekan Suci bertujuan untuk “menghormati sengsara Kristus
mulai dari persitiwa Kristus masuk kota Yerusalem sebagai
Almasih”.
TRIHARI PASKA
Banyak umat dan imam masih memegang paham Trihari Suci, istilah yang
merujuk pada hari Kamis Suci, Jumat Agung, dan Sabtu Suci.
Istilah yang dipergunakan dalam buku-buku liturgi post KV II adalah Sacrum
Triduum Paschale (Trihari Suci Paska, atau lebih singkat: Trihari Paska) yang
merujuk pada hari Jumat Agung, Sabtu Suci, dan Minggu Paska.
Trihari Paska ini menunjukkan suatu periode yang dimulai dari Misa sore in
Cena Domini pada hari Kamis Suci sore, berpuncak pada Malam Paska, dan
berakhir dengan Ibadat Sore hari Minggu Paska (PLTL, 19; MR 1970; PPDP,
38).
Kurun waktu itu selayaknya juga disebut: “Trihari Penyaliban, Pemakaman,
dan Kebangitan Kristus”, hari-hari di mana misteri Paska dipentaskan dan
diwujudkan (PPDP, 38).
Secara menyeluruh, Trihari Paska mengenangkan misteri kematian dan
kebangkitan Kristus sebagai satu kesatuan.
Secara skematis, kita dapt ringkaskan perayaan tentang moment-moment
essensial dari Trihari Paska, sbb:
TRIHARI PASKA:
Jumat, Sabtu, Minggu